8. DOSA Sebagai Pemicu Penderitaan

1. Dari kepercayaan kepada ketidakpercayaan

Ketika hubungan kepercayaan diputus, tentu ada akibatnya. Hal itu ter lihat pada Adam dan Hawa. Mereka menyembunyikan diri dari Allah. Mereka melarikan diri dan tidak lagi berani bertemu dengan Allah. Tetapi, mereka tidak hanya jauh dari Allah. Mereka pun merasa malu satu dengan yang lain (lih Kej 3:7). Melihat ini, kita bisa menyimpulkan bahwa hubung an dengan Allah tidak pernah terlepas dari hubungan-hubungan antarmanusia. Kepercayaan sudah hilang. Ketidakpercayaan yang benar-benar menohok, yang menyatakan diri dalam rasa malu.

2. Allah yang memulihkan hubungan

Akan tetapi, Allah tidak menjauhkan diri dari manusia-Nya yang pertama. Dia tidak membiarkan keretakan kepercayaan itu melebar, Dia bertindak untuk memperbaiki karena kesetiaan-Nya. Allah yang mencari dan memanggil manusia, ”Di manakah engkau?” (Kej 3:9; perhatikan, bukan Hawa yang dipanggil untuk bertanggung jawab, melainkan Adam; lih bab 7.5.). Kini, jelas betapa rusaknya hubungan mereka itu. Adam yang menimpakan kesalah an kepada istrinya dan juga kepada Allah, katanya ”Perempuan yang Kautempatkan di sisiku, dialah yang ... (Kej 3:12). Dan perempuan melimpahkan kesalahan itu kepada ular. Allah yang menunjukkan kepada mereka, bahwa-bagaimanapun-bukan Dia yang bersalah bahwa dari pihak diri-Nya hubungan tidak putus. Dia malah membangkitkan kepercayaan, yaitu dengan pemberitahuan yang mengejutkan bahwa kesalahan mereka akan dilenyapkan. Kejahatan, yang kini tak mungkin dianggap tidak ada, akan ditaklukkan oleh keturunan Adam dan Hawa (lih Kej 3:15).

3. Kesalahan dan malu

Tadi, dua kata yang mencolok, yaitu kesalahan dan malu. Kesalahannya adalah akibat kelakuan yang salah, malu yang memperlihatkan bagaimana perasaan karenanya. Allah tidak hanya menunjuk Dia memperhatikan kesalahan. Dijanjikan-Nya untuk melenyapkannya. Dia juga menaruh perhatian pada malu itu. Diberikan-Nya pakaian kepada Adam dan istrinya untuk menutupinya (lih Kej 3:21).

Mungkin ada yang berpikir, ”Mengapa kedua kata ini begitu rumit?”

Oleh karena perbedaan di antara dua kata ini cukup penting, sampai saat ini. Seseorang bisa berkata kepadamu bahwa ”aku mengampuni kesalahanmu”. Tetapi, itu belum berarti rasa malu Anda pun sudah hilang. Contoh yang jelas kita temukan dalam perumpamaan tentang anak yang hilang (lih Luk 15:11-32). Pada saat pulang, anak laki-laki mengatakan kepada ayahnya bahwa ”aku telah berdosa terhadap Bapa” (kesalahannya), dan ”aku tidak layak lagi disebut anak Bapa” (malunya). Maka jawaban ayah bukanlah ”aku mengampunimu, pergilah, kembalilah bekerja”. Jika demikian, yang terjadi hanyalah pengampunan kesalahannya. Padahal, Si Ayah ingin menunjukkan kepada anaknya itu bahwa dia diterima olehnya dengan seutuhnya. Untuk itu dirayakan dengan pesta, dan anak laki-laki itu diberikan jubah baru yang terbaik dan dikenakan cincin pada jarinya. Kesalahan dilenyapkan berkat pengampunan, rasa malu dihapuskan atas belas kasihan.

4. Akibat-akibat yang menyakitkan

Setelah dosa menjadi nyata, kejahatan tidak bisa ditarik kembali. Sudah ada kerusakan. Dan semua orang akan mengalami akibat yang ditimbulkan dari dosa itu.

  • Pertama, Allah berfirman kepada perempuan. Dengan kesakitan dan susah payah dia akan melahirkan anak-anaknya (lih Kej 3:16). Allah tidak mencabut karunia untuk mendapatkan anak, tetapi kesakitan dan susah payah akan mengikuti proses mengandung dan melahirkan. Yang harus dipikirkan di sini bukan hanya persalinan, tetapi juga masa-masa pengasuhan dan mendidik anak di masa ber ikutnya. Selanjutnya, perem puan akan mengalami bahwa hubungan dengan suaminya terganggu. Dia akan berahi kepada suaminya (dia akan mencoba menguasai suaminya; bnd ”ia sangat menggoda engkau”, Kej 4:7), tetapi suaminya akan berkuasa atasnya (dia akan menyalahgunakan posisi nya dengan menguasainya). Ini yang menunjukkan pertentangan di antara kedua jenis kelamin. Kesetaraan yang sehat dalam hubungan antara suami dan istri telah hilang. Sejarah memperlihatkannya dengan jelas.
  • Kemudian, Adam diberi tahu bahwa pekerjaan memang tidak diambil dari padanya, tetapi senantiasa akan berjalan dengan banyak susah payah (lih Kej 3:17-19). Sering kali bekerja harus dijalani dengan berpeluh dan membanting tulang. Dia akan melakukan tugasnya sambil ber keringat. Lagi pula, dia akan mengalami rintangan dari semak duri dan jeruju. Dengan kata lain, kehidupan manusia akan penuh penderitaan. Hasil yang diperolehnya agaknya akan sangat mengecewakan dan tidak seimbang dengan tenaga yang dia curahkan.
  • Engkau debu dan engkau akan kembali menjadi debu” (Kej 3:19). Semua orang akan mengalami kematian. Tidak seorang pun yang akan luput darinya. Cepat atau lambat, kita semua pasti akan meninggal. Di dalamnya tercakup segala yang mem bawa kita menuju kematian, misalnya, menurunnya ketahanan tubuh, penyakit, bencana. De ngan demikian, Allah menggenapi firman-Nya bahwa siapa pun yang memakan buah pohon, pastilah mati (bnd Kej 2:17).

5. Dosa sebagai pemicu penderitaan

Apakah tidak terlalu sederhana mengatakan asal dari segala penderitaan adalah dosa? Seolah-olah semua penyakit dan bencana disebabkan oleh dosa. Seperti yang terungkap dalam peri bahasa lama, ”Tiada dosa, tiada penderitaan”. Menurut firman Allah, dosa sungguh-sungguh adalah pemicu semua penderitaan. Karena dosa memasuki dunia, kejahatan mendapat banyak kesempatan. Sesungguhnya, dosa yang memicu kuasa kejahatan. Misalnya, maut tidak mempunyai kuasa sama sekali, jika dosa tidak ada (lih Rm 5:12; 1Kor 15:56). Semua ini tidak berarti bahwa semua penyakit atau bencana secara otomatis diakibatkan oleh dosa (seperti yang dipikirkan oleh teman-teman Ayub). Mengenai pen deritaan Ayub, pasti tidak demikian halnya (bnd Luk 13:1-5; Yoh 9:1-3). Namun, secara umum kita bisa katakan bahwa kejahatan tidak akan mengambil bagian dalam kehidupan manusia, kalau dosa tidak masuk ke dalam dunia. Akibatnya, kadang kala orang-orang yang baik harus menderita karena kejahatan orang-orang yang jahat, dan menanggung akibat-akibat kesalahan bersama-sama.

6. Kebiasaan minta maaf (alibi)

Orang yang kurang yakin akan fatalnya akibat yang ditimbulkan oleh dosa, biasanya tidak memahami dosa itu apa. Mungkin mereka memandang dosa sebagai perbuatan salah, kekurangan atau kekeliruan, yang gampang saja diselesaikan dengan ucapan ”Minta maaf!” (atau dl bh Inggris sorry). Penggunaan kata ”maaf” dalam arti yang sedemikian merupakan fenomena bahasa yang mencolok sejak dekade 90-an abad ke-20. Pengertian kata ini semakin menurun maknanya. Beberapa waktu lalu Elton John masih menyanyi ”Sorry seems to be the hardest word” (Maaf tampaknya kata yang paling sulit). Tetapi, sekarang ini tidak lagi seperti itu. Bahkan kadang kita mendengar orang telah meminta maaf sebelum dia melakukan hal yang perlu dimaafkan itu. Atau, ketika menegur anak karena perbuatannya, dia menjawab, ”Saya telah mengatakan ’maaf’ kan? Untuk apa kita membicarakan nya lagi?” Untuk permohonan maaf yang begitu gampang ini, kadang dipakai istilah alibi, yang berarti orang semakin menggunakan cara berdalih ini dengan maksud me nyangkal tanggung jawab mereka sendiri. Jika melakukan kesalahan, kita mencari alibi atau dalih. Dengan begitu kita menggeser kesalahan dari diri kita kalau ditegur karena perbuatan yang tidak semestinya.

7. Kasih yang mengharukan

Dosa tidak hanya tentang melakukan kesalahan, tetapi dosa juga bersifat merusak. Akibat yang paling utama adalah kita ”menohok” Allah, kemudian juga sesama kita, apalagi diri kita sendiri (lih Mzm 51:6; bnd 2Sam 11-12). Kenyataan itu baru akan kita ketahui, jika menyadari dosa tidak lain adalah kekurangan kasih. Jika ingin mengetahui apa itu dosa, hendaklah kita ”mendalaminya” menurut ukuran kasih yang mengharukan, yakni kasih kepada Allah dan sesama kita. Sesudah itu barulah kita akan mengetahui dengan baik apa itu dosa. Yang dimaksudkan dengan dosa bukan hanya pelang garan kita, melainkan juga kekurangan yang diakibatkan dosa terhadap yang lain!

Hal itu jelas kelihatan dalam peristiwa orang muda yang kaya itu (lih Mrk 10:17-27). Secara kasat mata, pemuda itu bukanlah orang yang tidak baik. Sebaliknya, dia layak dikasihi. Dia telah menuruti semua hukum Allah dengan begitu baik se hingga Tuhan Yesus mengasihinya. Lalu Yesus berkata kepadanya, ”Juallah segala yang kaumiliki dan bagibagikanlah itu kepada orang-orang miskin (kasih kepada sesama) ... kemudian datanglah ke mari dan ikutlah Aku (kasih kepada Allah).” Tetapi, perintah itu terlalu berat bagi pemuda ter sebut karena ternyata dia lebih mengasihi hartanya. Baru setelah diukurkan menurut kasih (semua perintah Allah yang mendasar padanya) penderitaan pemuda itu menjadi nyata. Penderitaan semacam itu perlu menjadi nyata pada kita semua.

Bukan tanpa alasan Tuhan Yesus merangkum hukum-hukum Allah sebagai berikut: pertama, ”Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu”. Dan kedua, ”Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri. Pada kedua perintah inilah tergantung seluruh hukum Taurat dan kitab para nabi” (Mat 22:37-40). Kasih, yaitu kasih kepada Allah dan kasih kepada sesama adalah sendi yang membuat semuanya berputar (bnd engsel pintu).

Kalau ingin mengetahui apa itu dosa, dan seberapa buruk pengaruhnya, jangan membandingkan diri dengan orang lain. Karena jika demikian, mungkin saja kita merasa bahwa dosa kita belum seberapa. Andaikan kita duduk bersama di kamar yang gelap, ketika kita saling melihat satu dengan yang lain, kita mungkin berpikir, ”pasti tidak kelihatan”. Tetapi, saat ada yang pergi ke jendela membuka gordennya, sehingga cahaya masuk ke dalam kamar itu, bahkan butir-butir debu pun bisa terlihat dalam cahaya itu! Jika kita mengamat-amati hidup kita sedemikian rupa, barulah kita akan melihat berapa banyak kesalahan dan kekurangan kita.

Hanya dalam terang Allahlah kita bisa melihat bahwa dosa adalah penyebab utama segala penderitaan.

8. Dosa diukur menurut hak

Ada istilah yang sangat cocok sebagai pengukur dosa, yaitu kata hak atau keadilan. Dosa berarti, kita tidak memberikan kepada Allah apa yang berhak Allah terima. Atau orang lain tidak menerima apa yang berhak dia terima. Dalam pembahasan, manusia adalah gambar Allah, telah ditunjukkan berbagai hubungan (lih bab 6.3-6.). Kalau hubungan-hubungan itu menyimpang, itulah dosa.

  • Reposisi di bawah Allah, menjadi tanpa Allah. Orang bisa hidup dengan ”benar” bahkan kita bisa menjadikannya teladan untuk hidup kekristenan kita. Tetapi, jika mereka hidup tanpa Allah maka hidup mereka tidak akan mencapai tujuannya.
  • Reposisi di antara manusia, menjadi musuh manusia. Perbedaan-perbedaan antar manusia tidak salah, karena justru dengan perbedaanperbedaan itulah manusia dimaksudkan untuk bekerja sama dengan kemampuan masing-masing. Tetapi, dosa yang menimbulkan kecemburuan sehingga kerja sama berubah menjadi pertengkaran. Satu sama lain tidak saling menyukai dan tumbuh persaingan yang tidak sehat.
  • Reposisi terikatnya hubungan, menjadi lepasnya hubungan. Coba bayangkan, betapa ba nyaknya konflik-konflik yang terjadi dalam hubungan-hubungan antarmanusia, misalnya, hubungan orang tua-anak-anak, majikan-pekerja, guru-murid, dan seterusnya. Orang sering berpikir kejahatan disebabkan oleh hubungan-hubungan itu sendiri, lalu mereka berusaha mewujudkan kesamaan. Tetapi, bukan hubungan-hubung an itu yang menjadi masalah, melainkan orang-orang yang tidak saling memberikan apa yang masing-masing berhak terima. Manusia sendiri yang menjadi masalahnya. Inti permasalahan adalah masalah hati manusia.
  • Sama halnya hubungan manusia dengan alam semesta. Alam sering diperlakukan dengan tidak adil, karena pertumbuhan ekonomi le bih diutamakan. Pada momen tertentu, bisa dibe narkan pertanyaan berikut: apakah jumlah babi yang dipelihara tidak terlalu banyak, jika dikaitkan dengan jumlah kotoran dan polusi yang dihasilkan oleh binatang itu .... Tetapi, pertanyaan yang agaknya jauh lebih penting, demi alam kita, adalah apakah mungkin hidup kita sendiri sudah hampir sedemikian sama dengan cara hidup babi (sebuah contoh dari H. de Jong).

9. Apakah kita sama sekali tidak bisa berbuat apa pun yang baik?

Ketika merenungkan semuanya tadi, mungkin sekali kita mengeluh sambil berseru, ”Betapa hebatnya penderitaan kita! Apakah sesungguhnya kita tidak bisa berbuat apa pun yang baik?” Betapa seringnya orang mengumpati kita, katanya, ”Dasar! Kristen yang pesimis yang sematamata berpikir manusia tidak baik! Memangnya mereka buta terhadap hal-hal baik yang dikerjakan manusia?” Berhubung dengan itu, secara bertahap diambil kutipan dari Katekis mus Heidelberg (msl, p/j 5 dan 8). Bolehlah, asal saja mereka membacanya dengan tepat, yaitu ”menurut kodratku aku cenderung membenci Allah dan sesamaku manusia”. Artinya, kita bisa melakukannya. Dan pada pertanyaan apakah kita sama sekali tidak sanggup berbuat apa pun yang baik, dijawab, ”Ya, kecuali jika kita dilahirkan kembali oleh Roh Allah!”

Alkitab adalah buku yang sangat realistis. Alkitab memperlihatkan apa saja yang dilakukan oleh manusia berdosa! Tetapi, itu tidak berarti manusia sama sekali tidak bisa berbuat apa pun yang baik. Hanya, supaya kita menyadari bahwa sebagai manusia kita tidak akan pernah mampu mewujudkan firdaus di muka bumi ini, sekalipun semua tujuan kita memang baik (di bidang politik, sosial, dll). Mustahil kita menyelamatkan diri kita sendiri. Kenyataan bahwa kita tidak bisa berbuat baik berarti kita tidak bisa berbuat baik untuk keselamatan kita (PAD III/IV, ps 3). Lagi pula, ketika Alkitab menyebutkan dosa sebagai ”benci”, bukankah kita pantas disebut ”gunung api kebencian”. Benci dimulai ketika kasih itu berhenti.

10. Merasa minder?

Apakah pola pikir ini tidak menimbulkan perasaan minder? Betapa banyak orang yang bergumul dengan hal itu. Bayangkan kalau kita membenci diri kita sendiri .... Pasti banyak salah pengertian atas hal ini. Ketika Allah menunjukkan kepada manusia betapa buruknya akibat dari dosa, Allah tidak bermaksud supaya manusia membenci diri mereka sendiri. Maksud Allah, yaitu supaya mereka membenci dosa yang berdiam di dalam diri mereka! Siapa yang membenci dosanya, justru mengasihi dirinya! Allah tidak berkenan apabila ciptaan-ciptaan-Nya dicemarkan oleh dosa. Allah justru ingin menolong mereka melawan dosa itu! Manalah mungkin Allah Pencipta berkeinginan membuat ciptaanciptaan-Nya sendiri merasa minder? Jika demikian, bukankah Allah merendahkan ciptaan-Nya? Bukankah Kristus telah mengatakan bahwa ”Kasihilah sesamamu seperti dirimu sendiri”? Setidaknya, itu akan berarti bahwa kita mengasihi diri kita sendiri.

Perasaan-perasaan minder itu sangat kompleks. Kadang perasaan minder itu berhubungan dengan dosa dan penyakit. Boleh jadi, seseorang merasa minder karena dia tidak mempunyai apa yang orang lain miliki. Pada dasarnya, hal itu berarti kita menuntut dari diri kita apa yang tidak kita miliki sehingga kita tidak puas dengan diri kita sendiri sebagai ciptaan Allah. Tetapi, siapa yang mengecilkan dirinya, mengecilkan Penciptanya. Sesungguhnya, ketika kita menuntut diri kita memiliki itu pun termasuk dosa dan melanggar hukum ke sepuluh: ”Jangan mengingini ...” (Kel 20:17). Selain itu, perasaan-perasaan minder itu pun bisa dipicu oleh ketidakadaan penghargaan atau penerimaan diri, oleh karena kurang menghargai karunia-karunia yang ada padanya. Keminderan juga bisa disebabkan oleh gangguan psikis yang diderita seseorang sehingga dengan sedikit kesalahan saja hal itu membuatnya tidak bisa berpikir dengan tenang dan menimbulkan kerusakan hubungan. Justru dalam keadaan seperti itu, sangat penting kita menyadari bahwa betapa pun orang terluka, Allah tetap mengenal ciptaan-Nya sebagai anak manusia.

11. Membarui gambar Allah

Bagi Allah, manusia adalah gambar dan rupa-Nya, sekalipun andai manusia tidak lagi memperlihatkan gambar-Nya itu (bnd Kej 9:6; Yak 3:9). Manusia tidak lagi menggambarkan Allah sebagaimana mestinya. Secara hakiki, dosa telah mencemarkan segala sesuatu sehingga gambar itu hampir-hampir tidak mungkin lagi dikenali. Walaupun demi kian, Allah tetap melihat ciptaan asli-Nya di dalam manusia. Sebenarnya gambar itu sudah hancur total setelah manusia jatuh ke dalam dosa, sama seperti cermin yang pecah, yang tidak bisa lagi diperbaiki. Namun, di dalam manusia masih terdapat sisa-sisa keadaan aslinya. Karena hubunganhubungan yang rusak, kepribadian-kepribadian kita seperti cermin yang pecah berkeping-keping. Tetapi, dalam semua orang, kita melihat kelipkelip yang menunjukkan tujuan Allah yang sebenarnya kepada manusia.

Allah sendiri yang memberikan gambaran manusia yang positif. Karena Kristus telah datang sebagai Manusia baru, yang sungguhsungguh memperlihatkan gambar Allah secara murni, terang, kelihatan, transparan. Dia yang datang untuk membarui kita menurut gambarNya (bnd Ef 4:24; Ibr 1:3)!

Setiap hari mendalami firman Tuhan

1. Kejadian 3:16-19 (Akibat-akibat kejahatan).
2. Markus 10:1-27 (Membongkar kedok manusia).
3. Yohanes 16:5-11 (Dia meyakinkan dunia akan dosa).
4. Roma 3:9-20 (Tanpa pengecualian apa pun).
5. 1 Korintus 15:54-58 (Maut mendapat kuasanya dari dosa).
6. Kolose 2:13-15 (Meluluhkan!).
7. 1 Yohanes 1:8-2:2 (Jangan biarkan dirimu disesatkan, tetapi siap dibimbing kepada-Nya).

Pertanyaan diskusi

1. Bagaimana kita mengetahui apa itu dosa? Untuk menilai diri kita sendiri, pakailah ukuran hukum yang terutama (kasih kepada Allah dan sesamamu) atau, ukurlah menurut hak.
2. Kadang kala orang baru menyadari tentang dosa setelah mereka tua; mereka tidak pernah menyadarinya lebih awal. Apakah Anda tahu itu?
3. ”Saya seterusnya akan makin membenci dosa.” Begitu bunyi sebaris sajak dari pengakuan iman yang dinyanyikan. Apa yang dimaksud dengan kata-kata itu?
4. Apakah kita melihat perbedaan antara kesalahan dan malu? Apa arti Tuhan ingin menyela matkan kita dari kedua-duanya bagi hidup kita?
5. Apakah kita peka akan pendapat orang bahwa menimpakan segala kesulitan di dunia pada dosa manusia adalah terlalu sederhana? Apakah kita sendiri kadang berpikiran seperti itu juga?
6. Tidak semua penderitaan selalu diakibatkan oleh dosa, meskipun ada kalanya penderitaan memang bisa merupakan akibat dari dosa tertentu. Apakah kita bisa menyebutkan situasi-situasi yang mendukung hal itu? Lalu, bagaimana?
7. Membenci dosa dan mengasihi orang berdosa, apakah hal itu bisa berjalan bersamaan?
8. Mengapa ajaran tentang dosa tidak perlu membuat kita merasa minder?

Informasi Buku

  1. PDF
  2. Penulis:
    Dr. Egbert Brink
  3. ISBN:
    978-602-1006-17-7
  4. Copyright:
    © 2000. Dr. Egbert Brink
  5. Penerbit:
    YAYASAN KOMUNIKASI BINA KASIH