Banyak pertanyaan-pertanyaan dalam benak kita yang tidak pernah terjawab. Namun, pertanyaan-pertanyaan itu terus muncul. Salah satunya, yaitu ”Bagaimana manusia jatuh ke dalam dosa?” Saya lanjutkan saja mengajukan pertanyaan-pertanyaan karena akan timbul terus-menerus, yaitu ”Apakah Allah tidak mampu menjadikan manusia yang sangat baik sehingga tidak mungkin dia berdosa? Mengapa Allah tidak mencegah dosa, bukankah Dia yang memiliki segala kuasa? Sebenarnya bagaimana Allah memulai semua ini? Bukankah Allah sudah menge tahui sebelumnya bahwa semua nya akan gagal? Jika Allah telah mencegah dosa sebelum nya, Allah sendiri dan manusia pun pasti luput dari banyak sengsara. Atau, mungkinkah Allah mempergunakan dosa untuk mem buktikan diri-Nya sebagai Allah yang baik?”
Pertanyaan-pertanyaan itu keras dan tajam, bahkan hampirham pir kelewat batas. Karena besar risikonya, jika kita ingin meminta pertanggungjawaban dari Allah. Dan kita sungguh-sungguh akan melewati batas, jika-dalam pertanyaan-pertanya an tadi-kita menganggap kejahatan disebabkan oleh Allah. Namun demikian, tidak bisa juga melarang pertanyaan-pertanyaan itu sama sekali. Dalam Kitab Ayub pun disebut banyak pertanyaan yang berkait an dengan bagaimana Allah mengizinkan kejahatan terjadi. Pada waktu itu Allah tidak langsung menutup mulut Ayub. Pada prinsipnya, pertanyaan-pertanyaan itu tidak perlu dianggap tidak wajar, supaya kita pun belajar mengenal batas-batas kita sendiri. Boleh jadi, kita bergumul dengan pertanyaanpertanyaan itu, pada saat-saat tertentu. Tetapi, dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan seperti itu, hendaklah kita sadari kita akan sampai ke batas, yaitu Allah adalah Allah. Besar-Nya Allah mustahil dibayangkan. Jalan pikiran-Nya yang abadi tidak mampu kita ikuti. Kebaikan-Nya tidak terbayangkan. Al ah sama sekali tidak berurusan (toleransi) dengan kejahatan. Artinya, ja nganlah kita menjelekkan Allah, seolah-olah Dialah yang membuat kejahatan itu terjadi karena Allah bisa menggunakannya dengan begitu baik untuk memper lihatkan kemuliaan-Nya. ”Allah adalah terang dan di dalam Dia sama sekali tidak ada kege lapan” (1Yoh 1:5). Segala sesuatu semata-mata tergantung dari kenyataan itu!
Bagaimana kejahatan masuk ke dunia? Pertanyaan tersebut menunjukkan bahwa kejahatan di bumi, tidak ada pada mulanya, yang saya maksudkan adalah tidak benar yang baik dan yang jahat sudah ada dari mulanya, saling berdampingan. Memang kejahatan bermula dari sekitar takhta Allah, di mana ketika salah satu dari para malaikat, yakni malaikat yang memiliki kedudukan tertinggi, tidak mau tunduk kepada Allah. Makhluk yang pandai sekali yang ingin menan dingi Allah. Ia tidak mau lagi mengakui Allah sebagai yang Pertama. Sejak itu, kejahatan menjadi nyata. Malaikat yang tinggi itu jatuh teramat dalam, sambil menyeret banyak malaikat dalam kejatuhannya. Yudas mengatakan mereka sebagai malaikat-malaikat yang tidak setia lagi terhadap awal mereka (arti harfiah Yud 1:6). Artinya, mereka semua, awalnya adalah ciptaan Allah yang baik. Kejahatan selalu berarti perusakan terhadap yang baik.
Iblis juga memperdaya hal yang baik untuk menjalankan kejahatannya. Hal pertama yang Iblis lakukan, yaitu memutarbalikkan kebenaran. Dia menantang Hawa dengan berkata, ”Tentulah Allah berfirman ...” (Kej 3:1). Ungkapannya memang berisi banyak kebenaran, tetapi dia memutarbalikkannya sehingga dia membuat Allah dicurigai.
Hawa mengetahui dengan persis apa yang telah difirmankan Allah.
Namun, Iblis tetap berhasil karena Hawa menuruti insinuasinya [insinuasi = tuduhan tidak langsung], yaitu dengan mengatakan bahwa buah pohon yang ada di tengah-tengah taman, mereka raba pun jangan, padahal Allah hanya melarang mereka makan buah pohon tersebut (lih Kej 3:3)! Lalu Iblis mengatakan kepada Hawa, kemung kinan dia memperoleh kedudukan yang lebih tinggi. Itu suatu godaan untuk menyamai Allah, yaitu men jadi seperti Allah dan menentukan sendiri apa yang baik dan yang jahat (lih Kej 3:5). Iblis menggambarkannya seolah-olah Allah mau tidak mau harus memberikan hukum yang sedemikian rupa karena Dia tidak mau disaingi. Tetapi, apakah dalam hubungan kasih di antara Dia dan manusia hal itu pernah terjadi? Kata Iblis, ”matamu akan terbuka.” Itu memang benar! Mata Hawa (akhirnya) benar-benar akan terbuka untuk yang baik dan yang jahat (lih Kej 3:7, 22). Tetapi, dampaknya bukan malah mengangkat kedudukannya, sebaliknya dia mengalami kemerosotan yang luar biasa! Posisi tinggi di bawah Allah berubah menjadi posisi aneh tanpa Allah.
Dalam Amsal 16:18 mengatakan, yang merupakan awal dosa yang sebenarnya ialah kesombongan. Karena sengsara dimulai bukan sejak Hawa makan ”buah terlarang” itu. Tetapi, dosa telah menjadi fakta, pada saat Hawa teperdaya oleh pikiran-pikiran Iblis. Dia memakan buah itu supaya mendapat pengertian (bnd Kej 3:6). Hawa tidak puas dengan posisinya yang tinggi. Dia ingin mencapai yang lebih tinggi lagi, tetapi oleh karena itu dia malah jatuh. Ciri khas dosa adalah murtad melawan Allah, entah karena kebaikan-Nya, atau kebijaksanaan-Nya, atau hak-Nya. Di sini, penyebab murtadnya manusia ialah ketiga hal di atas. Oleh dosa nya manusia menghina kebaikan Allah, padahal Allah telah mem berikan begitu banyak kebaikan kepada manusia. Kenyataan bahwa manusia berpikir dia lebih unggul dari Allah, mengganggu gugat kebijaksanaan-Nya. Dan hak Allah dibengkokkan, ketika manusia ingin menerima lebih banyak dari haknya sebagai manusia. Detail yang berani: aturan penciptaan pun dibalikkan Hawa. Hawa yang mengambil inisiatif karena membuat Adam ikut makan. Padahal, Adam adalah yang pertama bertanggung jawab. Adam bisa saja menolaknya, tetapi Adam malah membiarkan dirinya terseret dalam kejatuhan.
Alkitab menganggap kita semua bertanggung jawab, bersalah akan kejatuhan manusia ke dalam dosa (lih Rm 5:12). Kita tidak boleh menimpakan kesalahan kepada Adam dan Hawa. Sebab, pada situasi mereka, belum tentu kita tidak melakukan hal yang sama. Dan itu sudah cukup untuk membuat kita ikut bersalah. Saya selalu merasa ganjil untuk berpikir kembali dengan cara yang demikian. Sangat tidak mungkin kita memindahkan diri kita ke dalam manusia yang tidak berdosa. Jadi, tidak mungkin kita memperhadapkan diri kepada pilihan semacam itu.
Apa sebenarnya urusan kita dengan Adam dan Hawa? Bukankah kita korban kesalahan mereka? Mengapa kita yang harus menanggung akibat-akibatnya? Mereka memilih melawan Allah, apakah itu kesalahan kita? Bukan kita yang makan buah pohon itu!
Masalahnya saat kita mengajukan pertanyaan-pertanyaan tadi, kita ingin melepaskan diri kita dari Adam dan Hawa. Dan justru itu yang mustahil. Tidak mungkin kita mengasingkan diri kita dari leluhur kita yang pertama. Kita diciptakan bukan sebagai malaikat-malaikat yang tidak mengenal perkembangbiakan, tetapi kita semua berasal dari satu manusia, leluhur kita bersama (lih Kis 17:26). Berkaitan dengan itu, beberapa orang menyatakan kita telah ikut berdosa bersama-sama dengan Adam dan Hawa, karena pada saat itu kita sudah berada dalam tubuh (ungkapan yang berasal dari Ibr 7:10) atau gen-gen Adam secara fisik. Jadi, sebenarnya kita telah turut murtad pada waktu itu. Dan itulah sebabnya Allah meminta per tanggungjawaban kesalahan itu kepada kita juga. Pernyataan ini dikenal sebagai pernyataan realistis. Ada pernyataan yang lain lagi, yakni pernyataan foederalistis (dl bh Latin, foedus yang berarti perjanjian). Titik tolaknya ialah kita mempunyai relasi dengan Adam sebagai kepala umat manusia. Dialah pribadi yang unik, yang mempunyai tanggung jawab yang istimewa. Apa yang dia lakukan, bersifat menentukan untuk seluruh umat manusia. Kita semua dinilai berdasarkan satu perbuatan Adam itu, yang dilakukannya sambil mewakili seluruh umat manusia.
Menarik bahwa sebenarnya dosa memasuki dunia melalui Hawa. Namun, dalam Rm 5:12 kita baca bahwa ”dosa telah masuk ke dalam dunia melalui satu orang,” yaitu Adam. Dia yang merepresentasikan semua orang, termasuk Hawa! Rupanya hal itu digambarkan sedemikian sehingga Hawa terhitung dalam Adam. Baru pada saat Adam jatuh, seluruh umat manusia jatuh bersama dengan dia.
Dengan pernyataan-pernyataan tersebut, kita harus menyadarihal-hal apa yang Alkitab biarkan sebagai rahasia. Alkitab tidak menyajikan pernyataan tentang bagaimana dan mengapanya. Kita hanya mendengar bahwa Adam adalah leluhur kita, dan bahwa Allah memandang manusia sebagai satu kesatuan. Selanjutnya, firman Allah menarik kesimpulannya, yaitu bahwa ”semua orang telah berdosa” (lih Rm 3:9-20).
Akan tetapi, bisakah kita mewarisi kesalahan? Itulah pertanyaan yang terus-menerus timbul, ”Masakan saya harus dihukum karena kesalah an orang tua atau leluhur saya?” Tentu saja, tidak secara langsung. Allah sungguh-sungguh menegur orang tua akan tanggung jawab me reka, ”Perhatikan baik-baik, jika kamu menen tang Aku, keturunanmu akan mengalami dampaknya” (bnd Hukum Taurat yg ke-2). Walaupun demikian, Allah juga mengatakan dengan sangat jelas bahwa semua pribadi bertanggung jawab sendiri. Itu refrein dalam Yehezkiel 18:4, 20, ”Orang yang berbuat dosa, itu yang harus mati” (bnd Ul 24:16; 2Raj 14:6). Kita semua bertanggung jawab atas perbuatan-perbuatan kita sendiri. Kita tidak bisa me nimpakannya kepada orang yang lain. Tetapi, mungkinkah kita mau ditegur atas perbuatan leluhur kita yang pertama, Adam?
Berkaitan dengan dosa Adam, apa yang kita namakan dosa turunan, memang unik. Tidak mungkin kita menyamakannya dengan memikul kesalahan yang dilakukan oleh orang tua atau leluhur kita (sekalipun agak nya ada hubungan). Hubungan kita dengan Adam tetap unik. Dalam Roma 5:12 Paulus menimbulkan suasana yang makin tegang, dengan mengatakan, ”sama seperti dosa telah masuk ke dalam dunia melalui satu orang, dan melalui dosa itu juga maut, demikianlah maut itu telah menjalar kepada semua orang, karena semua orang telah berbuat dosa.”
Kedua-duanya benar, baik yang satu maupun yang lain, yaitu bahwa Adam yang jatuh ke dalam dosa, dan bahwa kita pun tidak bisa memaafkan diri karena berbuat dosa (bnd Rm 3:9-20). Pada waktu Adam berdosa itu, Allah telah meng hitung semuanya, termasuk segala kesalahan yang akan kita lakukan menjadi utang yang semakin besar, di masa depan. Manusia dipandang-Nya secara utuh. Kita bukan hanya orang yang melakukan dosa, kita juga orang yang berdosa sendiri (bnd Mrk 7:21; Luk 11:13).
Dalam Mazmur 51 Daud merumuskannya dengan sangat mengesankan. Mazmur itu adalah doanya sesudah dia melakukan dosa terhadap Batseba dan Uria. Mana mungkin Daud bisa melakukan hal-hal yang sedemikian? Mana mungkin orang yang dikasihi Allah ini bisa jatuh begitu dalam? Ketika Daud merenungkan masa lalunya, dia mengakui bahwa ”sesungguhnya, dalam kesalahan aku diperanakkan” (Mzm 51:7). Itulah sumber kesalahannya! Kenyataan itu tidak dipergunakannya untuk memaafkan diri, katanya, ”itulah yang terjadi hanya karena saya berasal dari Adam.” Tetapi, dia menerima tanggung jawab yang penuh atas perbuatannya sendiri. Dan sekaligus dia merujuk ke asalnya untuk menekankan betapa dalamnya kejahatan nya. Oleh karena itu, saya sendiri tidak begitu suka menggunakan sebutan ”dosa turunan” karena menimbulkan berbagai kesalahan pengertian, tetapi lebih senang menggunakan sebutan ”dosa asal”, seperti sumber yang beracun.
Mengenai manusia jatuh ke dalam dosa, saya ingin menamainya sebuah kemungkinan yang tidak mung kin, yaitu untuk menunjukkan bahwa bukan penciptaan Allah yang menghasil kannya. Adam dan Hawa diciptakan dengan baik. Saat Allah menciptakan mereka, kejahatan bukanlah hal yang sudah mendarah daging dalam diri mereka. Mereka juga bisa melawan kejahatan itu. Pada dasarnya mereka tidak terjamah, dan terarah seluruhnya kepada Allah. Oleh karena itu, pilihan mereka untuk melawan Allah adalah pilihan yang ”tidak mungkin”. Sekalipun demikian, tetapi itu yang terjadi, beserta semua akibatnya. Tidak ada penjelas annya. Hal itu tetaplah suatu rahasia yang terbesar, masalah yang tidak terpecahkan bagi pikiran kita. Sama halnya bahwa kita dinyatakan bertanggung jawab bersama-sama (semua telah berbuat dosa) dan bahwa bagaimana kesalahan Adam yang ganjil itu (melalui satu orang dosa telah masuk ke dalam dunia) diperhitungkan menjadi dosa kita sen diri! Itulah sungguhsungguh rahasia. Tetapi, izinkan saya menyatakan ini: Bagaimana bisa kita menyingkirkan dosa yang ganjil yang dilakukan Adam pertama dari hidup kita? Dan bagaimana bisa kita menerima dengan tangan terbuka keadilan yang ganjil yang dilakukan Adam kedua, yaitu Yesus yang mengambil semua kesalahan dari kita? Perbuatan Adam pertama diperhitungkan kepada kita, sambil kita sendiri turut bersalah. Perbuatan Adam kedua diperhitungkan kepada kita, padahal tidak ada prestasi apa pun dari pihak kita.
Mengapa perlu kita diperhadapkan dengan dosa yang begitu dahsyat? Bukankah konfrontasi itu membuat kita menjadi suram? Apakah ini masih bisa disebut Injil (Kabar Baik)? Tidak bisa disangkal, kita melihat ke dalam jurang yang dalam. Tetapi, ada seseorang yang telah turun ke dalamnya, sampai ke dasarnya yang paling dalam itu. Anak Allah yang telah turun ke dalam kesalahan-kesalahan kita. Dia memasukinya secara mendalam. Tetapi, Dia tidak teng gelam di dalamnya. Segala kesalahan itu diseret-Nya ke dalam maut, tetapi Dia sendiri yang bangkit dari maut itu. Betapa pun besarnya kesalahan kita, Dia yang sanggup meniadakannya. Se karang, Dia bersama-sama kita melihat ke dalam jurang yang dalam itu, dan memperlihatkan kepada kita, betapa dalam Dia telah turun untuk kita. Itulah Injil yang sesungguhnya! Karena mana mungkin kita bisa menghargai karya keselamatan-Nya, jika tidak kita tahu betapa dalamnya kita telah jatuh?
1. Kejadian 3:1-8 dan Yohanes 8:42-45 (Kejatuhan yang dalam dan penyebabnya).
2. Yudas 3-7 (Tidak setia akan asalnya).
3. Mazum 51:1-15 (Kejahatan itu sangat dalam).
4. Roma 5:12-21 (Bersama Adam membagi kesalahan yang kolektif).
5. Yehezkiel 18:1-4, 19-21 (Setiap pribadi bertanggung jawab sendiri).
6. 1 Yohanes 1:1-5 (Tidak berhubungan semata-mata dengan kejahatan).
7. Ayub 34:1-15 (Allah tidak berbuat curang).
1. Bagaimana Anda menghadapi pertanyaan-pertanyaan, seperti ”Apakah Tuhan tidak dapat mencegah dosa?”
2. Hubungan kita dengan Adam pernah dibandingkan dengan seorang raja dan para warganya. Ketika raja mengambil keputusan, keputusan itu berdampak terhadap seluruh kerajaannya. Apakah perbandingan ini wajar?
3. Orang sering kali secara ejekan mengatakan bahwa ”buah apel merupakan awal semua sengsara”. Mengapa memakan buah terlarang itu akibatnya begitu fatal?
4. Berhubungan dengan Yehezkiel 18, apakah kesalahan diwarisi?
5. Tidak mungkin kita menjelaskan ”dosa turunan”.
6. Diskusikanlah kalimat ini: Mengakui ”dosa asal” membuat orang menjadi realistis.