”Gampang sekali kalian bicara. Kalian beranggapan seolah-olah semua anggota jemaat sungguh-sungguh anak Allah. Kalau saja kita termasuk dalam perjanjian Allah, semuanya pasti beres dan tidak ada yang gagal. Ibarat kita berdiri di atas sebuah eskalator, kita hanya perlu berdiri saja dan tangga itulah yang membawa kita naik. Apakah itu tidak terlalu gampang? Ini yang saya sebutkan sebagai otomatisme perjanjian. Tetapi, sekalipun kita semua dibaptis bahkan sampai seribu kali dan termasuk dalam perjanjian Allah, itu kan bukan jaminan bahwa hidup kita akan selalu baik adanya!”
Kecaman di atas biasanya diungkapkan oleh dua pihak. Per- tama, dari pihak Kristen Evange likal/Kharismatik, yang bertanyatanya apakah kita sudah sungguh-sungguh bertobat. Kedua, dari pihak Kristen Puritan, yang bertanya-tanya apakah Allah sudah sungguh-sungguh menerima kita sebagai anak-Nya. Tepatkah kecaman itu? Apakah benar, orang-orang Kristen Reformed bicara terlalu gampang, dan menganggap keselamatannya wajar saja? Apakah mereka memang berpandangan salah tentang perjanjian Allah yang mengakibat kan otomatisme?
Istilah itu membuat saya ngeri. Karena sebenarnya perjanjian sungguh berlawanan dengan otomatisme. Itu kombinasi yang sangat tidak mungkin! Apa yang harus saya bayangkan mengenai persahabatan yang otomatis? Dan apakah itu kombinasi yang otomatis?
Apa yang dimaksud dengan perjanjian? Kurang tepat kalau kita mendefinisikan sebagai janji dan tuntutan.1 Bayangkan kalau hanya itu saja yang bisa kita pahami dalam sebuah perkawinan. Berkaitan de ngan itu memang benar, tidak wajar kalau cinta datang dari satu pihak saja. Cinta selalu mempunyai dua sisi, yaitu saling memberikan (janji) maupun menerima (tuntutan). Tetapi, untuk cinta itu sendiri, kedua kata ”janji” dan ”tuntutan” tidak begitu berarti. Dalam Alkitab, perjanjian bersamaan dengan keterikatan, yang menun jukkan hubungan antara Allah dengan manusia. Allah Yang Maha Besar yang mengikat diri pada manusia dan yang mengakadkannya dengan janji-Nya. Cara Allah berhubungan dengan manusia, kita sebut sebagai perjanjian. Perjanjian itu dimaksud sebagai cara bergaul yang intim. Inisiatif untuk mengadakan perjanjian itu sepenuhnya berasal dari Allah. Melalui cara seperti itu, untuk pertama kalinya kita bertemu dengan kasih Allah yang memilih.
Dalam perjanjian yang sedemikian rupa kasih dan hak berjalan bersama-sama. Karena perjanjian itu terdiri dari sejumlah ketentuan yang wajib ditepati oleh semua pihak. Bagi mereka, penerimaan kasih adalah hak yang wajar. Dan mengenai pemberi annya, untuk menunjukkan kasih itu sungguh-sungguh diberikan, ada juga ancaman yang berfungsi kalau janji-janji tidak ditepati dengan setia. Perjanjian adalah cara normal yang Allah pakai untuk membangun hubungan dengan manusia. Berikut empat ciri khas yang menjelaskan cara Allah bergaul dengan manusia, yang terdapat dalam seluruh Alkitab, yaitu:
1. TUHAN yang memperkenalkan diri.
2. TUHAN yang terus-menerus meminta tanggapan yang penuh kasih dari manusia. Dia yang menetapkan tata cara pergaulan mereka. Dalam hal ini, perjanjian terjadi di mana kedua belah pihak samasama berusaha. 1 Janji pihak yang satu, merupakan hak pihak yang kedua. Artinya, jika di antara dua pihak yang satu memberikan janji, yang kedua berhak menuntutnya.
3. Jika perjanjian diabaikan, maka tidak bisa tidak hukuman akan terjadi sebagai bukti kasih itu sungguh-sungguh.
4. Yang terakhir, TUHAN setia terhadap hubungan-hubungan yang Dia adakan sendiri dalam penciptaan-Nya. Tidak ada pengecualian terhadap anak-anak. Mereka termasuk di dalamnya.
(Dalam paragraf-paragraf berikut saya merujuk ke empat ciri khas ini dengan mencantumkan butirnya di antara tanda kurung siku.)
Ternyata Allah menginginkan lebih dari hanya memiliki makhlukmakhluk yang bisa diatur sesuka-Nya. Dia ingin memberikan kasih dan menerimanya dalam hubungan dengan manusia-Nya. Dengan demikian, Dia ingin menghubungkan manusia pada diri-Nya. Allah yang datang kepada Adam dan Hawa. Dia yang berprakarsa [1]. Dia juga meminta mereka menanggapi kasih-Nya. Sebagai tandanya, ditempatkan-Nya pohon kehidupan di taman Eden. Dan sekali gus pohon pengetahuan tentang yang baik dan yang jahat, dengan perintah untuk jangan memakan buahnya (lih juga 6.5) [2]. Selanjutnya, ada akibat apabila mereka tidak menanggapi kasih-Nya; mereka akan mati [3]. Adam dan Hawa saling berhubungan sehingga mereka menerima perintah itu secara bersamasama, yaitu menunjukkan gambar Allah (lih Kej 1:26-28) [4].
Ketika manusia pertama memutuskan hubungan dengan Allah, Allah yang berinisiatif mencari mereka [1]. Dari pihak Allah sendiri tetap setia. Dia yang memulihkan hubungan. Hal itu dilakukan-Nya berdasarkan kebaikan hati-Nya (yang tidak bisa dituntut manusia). Itu sebabnya, hubungan yang dipulihkan ini disebut perjanjian anugerah. Allah memberikan janji-janji yang baru, yang juga meminta tanggapan iman dari manusia (lih Kej 3:15) [2]. Sekali lagi, ada ancaman apabila panggilan yang penuh kasih itu tidak dihiraukan yakni, mereka tetap tinggal dalam kubu musuh [3]. Dan kita pun demikian, karena Allah bekerja turuntemurun. Hal itu jelas bahwa Dia melibatkan keturunan manusia dengan sepenuhnya [4].
Pada zaman Nuh, keturunan Adam dan Hawa tidak merespons kasih Allah, sehingga Dia datang dengan hukuman-Nya yang mengancam. Nuh mendapat kasih karunia di mata Tuhan (lih Kej 6:5-8). Sekali lagi Tuhan yang mengambil inisiatif [1]. Tetapi, Dia juga meminta pilih an dari Nuh ketika Dia memberikan perintah kepadanya untuk membuat bahtera (lih Kej 6:14). Itu berarti bahwa Nuh harus menerima janjiNya dalam iman, ”Aku menyelamatkanmu, termasuk keluargamu” [2]. Ancam an air bah itu tetap memanggil orang untuk bertobat, ”siapa yang tidak menjawab kasih-Ku, mengundang amarah-Ku” [3]. Allah tetap setia akan hubungan-hubungan yang ada, melalui air bah sebagai pengerucutan kasih-Nya yang istimewa, harta warisan manusia yang benar dikonsentrasikan-Nya dalam hanya satu keluarga [4]. Dan sesudah air bah, Allah mengikrarkan perjanjian dengan Nuh dan keturunannya (lih Kej 9:8). Sekali lagi, kita mengenali cara bergaul yang sama dalam relasi Allah dengan manusia.
Atas perintah Tuhan, Abram mengambil beberapa binatang. Abram memotong binatang-binatang itu menjadi dua, lalu bagian-bagiannya masing-masing diletakkannya yang satu berhadapan2 dengan yang lain (lih Kej 15:9-10). Dengan demikian, membentuk sebuah jalan, tempat darah mengalir (jalan darah). Menurut kebiasaan pada zaman itu, untuk mengikrarkan perjanjian seharusnya dua pihak berjalan bersama-sama di tengah-tengah potongan-potongan itu. Dengan maksud, ”jika saya tidak menepati janji, saya siap mengalami pertumpahan darah seperti binatang-binatang itu”. Tetapi, di sini Allahlah yang mengadakan perjanjian itu. Hanya Dia yang berjalan melewati jalan darah itu! Inisiatif maupun kepastian terletak pada Allah semata-mata. Allah tidak bisa percaya akan Abram, sebaliknya Abram tentunya bisa percaya akan Allah. Allah bersumpah demi diri-Nya sendiri bahwa Dia akan menepati janji-janji-Nya. Dalam hal ini, perjanjian terjadi di mana hanya satu pihak 2 TL (”bertentangan dengan”) lebih tepat dari TB (”di samping”).
yang aktif [1]. Tetapi, dalam berlangsung nya perjanjian itu, kedua belah pihak saling berusaha. Di kemudian hari, ketika Tuhan menampakkan diri kembali kepadanya, Dia menuntut Abram mempertanggungjawabkan cara hidupnya, katanya ”Akulah Allah Yang Mahakuasa, hiduplah di hadapan-Ku dengan tidak bercela” (Kej 17:1) [2]. Allah yang mengadakan perjanjian. Tetapi, berjalannya perjanjian itu tidak berlangsung secara otomatis. Karena tuntutan yang ditetapkan-sudah tentu!-bukanlah prestasi imbalan. Tetapi, mengasihi dengan segenap hati meminta ”penyunatan hati” (= pertobatan; lih Kej 17:14; Ul 30:6; lih 16.4 dan 16.6). Kalau Abram dan keturunannya mengabaikan Allah, hukuman akan dijatuhkan dan lama-kelamaan mungkin juga pengucilan (lih Yer 34:18) [3]. Keturunan selalu yang ikut dibicarakan. Perhatikan penyunatan pada hari ke-8 setelah kelahiran sebagai tanda perjanjian dan bukti jaminan janji-janji Allah kepada anak-anak (lih Kej 15; 17; 21) [4].
Allah yang berprakarsa untuk membawa umat-Nya keluar dari Mesir. Allah terus mengusahakan hubungan dengan manusia (lih Kel 5:1). Sesudah mereka tiba di Gunung Sinai, Allah yang mengada kan perjanjian, sambil darah disiramkan (lih Kel 24:4-8). Sekali lagi, Dia memperkenal kan diri-Nya sendiri, ”Akulah TUHAN, Allahmu!”(Kel 20:2) [1]. Aturan-aturan hu bungan manusia dengan Allah dan dengan sesamanya ditetapkan dengan tegas, yakni lewat kesepuluh firman (lih Kel 20:1-17), yang dengannya Tuhan berkenan mengikat diri-Nya sendiri dengan umat-Nya. Apa yang dituntut Allah, juga dijanjikan umat, katanya, ”Segala firman Tuhan akan kami lakukan dan akan kami dengarkan” (Kel 24:7) [2]. Sejalan de ngan itu, ada ancaman-ancaman jika umat mengabai kan firman itu (lih Kel 20:5-7) [3]. Perintah ini juga berlaku untuk orang tua maupun kepada anak-anak mereka. Hendaklah orang tua mencamkannya kepada anakanak mereka karena mereka pun termasuk dalam perjanjian Tuhan (lih Ul 6:6-7). Hendaklah kata-kata dan perbuatan-perbuatan Allah mengilhami mereka sama seperti orang tua (lih Mzm 78:1-8) [4]. Allah tidak pernah mengajukan tuntutan-tuntutan-Nya tanpa memberikan janji-janjiNya. Tuntutan-tuntutan-Nya tidak pernah berdiri sendiri. Tuhan memberikan apa yang diminta-Nya. ”Dan TUHAN, Allah mu, akan menyunat hatimu dan hati keturunanmu, sehingga engkau me ngasihi TUHAN, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu, supaya engkau hidup” (Ul 30:6). Itulah salah satu rahasia perjanjian. Allah sendiri yang bergiat agar tersedia kasih balasan pada yang besar maupun yang kecil. Tetapi, Dia tidak melakukannya di luar mereka sendiri (lih Yes 59:21).
Para nabi memberitakan perjanjian yang baru, setelah berkali-kali hubungan dengan Allah rusak karena ketidaksetiaan umat-Nya (lih Yer 31:31-34). Perjanjian yang baru itu lebih kuat dari yang lama, karena seka rang hubungan itu diwujudkan melalui darah Kristus (lih Luk 22:20; 1Kor 11:25). Sebagai Pengantara Dia mengambil tempat kedua pihak, Allah dan manusia (lih bagian 10.5). Penulis Kitab Ibrani menjelaskan hal itu. Kita tidak datang ke Gunung Sinai, tetapi ke Bukit Sion, ... Yerusalem surgawi, ... dan kepada Yesus, Pengantara perjanjian baru, dan kepada darah pemercikan, yang berbicara lebih kuat daripada darah Habel (lih Ibr 12:18-24). Perjanjian yang lama sudah berlalu, namun tidak menjadi usang. Nilainya sama seperti nilai pertunangan bagi seseorang yang kemudian telah menikah! Yang baru ialah berfungsi lebih kuat. Mengapa? Karena oleh kedatangan Kristus, masa perjanjian yang baru membawakan pemenuhan janji-janji Perjanjian Lama yang paling besar. Sebab Kristus adalah ”ya” bagi semua janji Allah (2Kor 1:20). Perjanjian yang baru disahkan-Nya untuk selama-lamanya. Kristus yang mengerjakan hak atas kasih Allah. Pengenalan akan kasih Allah diperbesar dan diperdalam, karena Anak-Nya membuat Dia dikenal sebagai Allah yang begitu baik, jauh lebih baik daripada yang kita ketahui sekarang (lih Ibr 8:11).
Pada hari Pentakosta Petrus mengaitkan pencurahan Roh Kudus dengan apa yang telah Allah firmankan sebe lumnya. Peristiwa itu (lih Kis 2) mengingatkan apa yang terjadi di Gunung Sinai (badai dan angin; Kel 19). Sekarang pun Allah yang mengambil inisiatif, yaitu ”Bagi kamulah janji (Roh Kudus) itu dan bagi anak-anakmu” (Kis 2:39) [1 dan 4]. Pola dasar perjanjian tetap sama. Dan perjanjian ini pun meminta tanggapan.
Ketika mereka mendengar hal itu, hati mereka tersayat, lalu mereka bertanya ... ”Apa yang harus kami perbuat?” Jawaban kepada mereka, ”Bertobatlah (penyunatan hati) dan hendaklah kamu masing-masing dibaptis ..., maka kamu akan mene rima karunia, yaitu Roh Kudus” (Kis 2:37-38) [2]. Sekali lagi nyatalah kasih Allah yang sungguh-sungguh. Jika sekarang orang masih menolak Dia, mereka tentunya akan mengalami murka Allah yang kudus [3]! Ancaman pun lebih kuat dari sebelumnya, Jagalah supaya kamu jangan menolak Dia yang berfirman. Sebab jikalau mereka, yang menolak Dia yang memperingatkan mere ka di bumi ini tidak luput, apalagi kita, jika kita berpaling dari Dia yang berbicara dari sorga (Ibr 12:25)? Tetapi, katakata ini pun merupakan penegasan akan kasih Allah yang menyala-nyala. Ia menghendaki supaya jangan ada yang binasa, melainkan supaya semua orang berbalik dan bertobat (2Ptr 3:9).
Ketika mengerti apa yang dimaksud dengan perjanjian, kemungkinan kita tidak langsung memakai kata ’otomatis’. Jika ada satu hal yang tidak berjalan otomatis, maka hal itu adalah perjanjian! Apa yang Allah janjikan bukanlah ramalan, melainkan janji. Kata-kata-Nya bersifat janji yang bisa dibandingkan dengan pernyataan kasih. Jika Anda mengatakan kepada seseorang bahwa ”aku mencintaimu”, itu pun bukan ramalan untuk masa depan, melainkan janji yang Anda ucapkan kini dan di sini. Pernyataan diucapkan Allah, ”Aku menga sihimu!” disahkan oleh pekerjaan Kristus. Tidak ada yang lebih indah daripada kita mengetahui ada Seorang yang begitu mengasihi kita. Allah ingin bergaul intim dengan kita.
Hidup dalam perjanjian Allah merupakan hak istimewa yang besar, sekaligus memberikan tanggung jawab yang besar pula. Bergaul dengan Allah juga berarti hidup itu penuh keseriusan. Karena jika kita mengabaikan Dia, membelakangi Dia, dan berbuat seakan-akan kita tidak membutuhkan kasih-Nya, kita sungguh-sungguh sedang bermain api. Janji Allah tetap berlaku, dan tidak mungkin ditiadakan. Janji itu bahkan berlaku untuk bayi yang meninggal pada saat dia masih teramat muda, dan yang belum bisa memberikan jawaban pada janji itu (PAD I.17). Tetapi, hal itu tidak berjalan dengan sendirinya. Mana mungkin kita bisa pernah menyebutkan hal-hal yang berjalan dengan sendirinya (secara otomatis), jika kita sendiri sudah tahu apa yang telah Yesus lakukan untuk kita! Hendaklah pengetahuan itu mengubahkan dan membarui kita hari demi hari. Seorang anak perjanjian pun harus bertobat tiap-tiap hari. Jika kita hidup sambil membelakangi Dia, atau hidup kita suam-suam kuku atau bahkan dingin (lih Why 3:15-16) dan menutup diri, maka lama-kelamaan kita murtad, sekalipun kita telah dibaptis sampai seratus kali. Jika hal itu terjadi, maka janji Allah tidak rusak, tetapi justru menentang kita dengan hebat sekali. Karena kita telah mengabaikan kasih-Nya.
Hal itu tidak bermaksud untuk membuat kita menjadi takut atau kurang yakin, tetapi untuk menghindarkan kita dari sikap menganggap semuanya berjalan dengan otomatis dan dari sikap percaya diri yang kebablasan. Maksud Allah ialah supaya kita memegang erat janji-Nya, dan berpegang teguh hanya kepada Allah saja. Ketika Dia menjanjikan sesuatu, kita bisa memercayainya dengan penuh keyakinan. Dia tidak akan pernah menarik kembali kata-kata-Nya.
1. Hosea 6:1-7 (Melanggar perjanjian seperti Adam).
2. Kejadian 15:1-11, 17-18 (Jalan darah sebagai jalan penghubung).
3. Kejadian 17:1-8 (Dengan Abram dan keturunannya).
4. Yosus 24:25-28 (Hubungan dipererat).
5. Yeremia 31:31-34 (Perjanjian yang baru).
6. 1 Korintus 11:23-26 (Perjanjian baru di dalam darah-Nya).
7. Ibrani 12:18-25 (Pengantara perjanjian baru).
1. Apa sebabnya orang-orang Kristen Reformed yang memegang sikap otomatisme sering digugat? Apakah mereka sendiri yang mempunyai alasan untuk hal itu?
2. Apakah Allah pernah mengadakan perjanjian dengan Adam dan Hawa? Jelaskan.
3. Mengapa Abram tidak melalui ”jalan darah” itu? Padahal, dia adalah mitra dalam perjanjian itu?
4. ”Karena semua perjanjian mempunyai dua bagian, yakni janji dan tuntutan, ... kita pun diajak ....” Demikianlah bunyi kalimat yang terkenal dalam Tata cara Pelayanan Baptisan Kudus.3 Apakah tidak lebih baik kita mengatakan ”karena semua perjanjian mempunyai dua mitra, kita pun dipanggil untuk menanggapi janji Allah dalam pergaulan yang intim”?
5. ”... kita pun diajak dan diwajibkan oleh Allah untuk hidup dalam ketaatan yang baru” (lanjutan kalimat tadi dalam Tata cara Pelayanan Baptisan Kudus). Apakah kita bisa menganggap pelaksanaan tuntutan-tuntutan yang Allah tetapkan dalam perjanjian sebagai semacam prestasi imbalan dari pihak kita? Apa sebenarnya perbedaan antara perjanjian dan sebuah kontrak?
6. Apa hubungan antara perjanjian yang lama dan yang baru (bnd Ibr 8)?
7. Apakah dalam perjanjian yang baru itu tanggung jawab kita lebih besar (lih Ibr 12:15-29)? Apakah bahasa yang mengancam itu memang masih cocok dalam perjanjian yang baru?
3 Bnd Th. van den End, Ibid., hlm. 458, 463.