”Saya sungguh percaya bahwa ada kehidupan sesudah kematian. Saya tidak percaya jika setelah kematian semuanya berakhir. Bagaimanapun, hidup akan berlangsung terus. Tentang bagaimana hidup saya kelak, saya tidak tahu. Yang pasti, hidup saya pasti berlanjut.”
Kata-kata seperti itu sering kita dengar dewasa ini, bahkan diucapkan juga oleh orang-orang non-Kristen. Pengalaman-pengalaman yang diceritakan oleh orang-orang yang hampir mati (orang-orang yang meregang nyawa, tetapi hidup kembali), mereka lihat sebagai pengukuhan bahwa kematian bukanlah akhir segala-galanya. Di tiap-tiap zaman orang mengatakan bahwa hidup akan berlanjut setelah kematian. Orang-orang Atena yang disapa Paulus pun, yakin tentang itu, saat ia mulai berbicara tentang kebangkitan tubuh. Mulai saat itu mereka meng anggap Paulus gila (lih Kis 17:18-32). Hal roh kita hidup terus sesudah kematian memang diakui orang dalam banyak agama, dalam berbagai variasi. Untuk itu, mereka bertitik tolak dari anggapan manusia memiliki suatu zat ketidakfanaan dalam dirinya sendiri. Tetapi, kebangkitan tubuh (artinya daging atau kebangkitan orang mati) ...? Apa yang masih tertinggal dari seseorang yang dikuburkan? Dan-maaf, agak kasar katanya-bukankah abu yang tertinggal sesudah pembakaran jenazah (kremasi), bisa diisi dalam kotak yang kecil saja (seperti kotak korek api)?
Kebangkitan dari kematian tidak bisa didasarkan atas pengalaman-pengalaman yang membawa kita pada kesimpulan bahwa tampaknya manusia memiliki suatu zat ketidak fanaan dalam dirinya sendiri. Tetapi, lebih daripada itu, kita percaya adanya kebangkitan karena kita percaya kepada Dia yang telah bangkit, Yesus Kristus. Iman itu bukan ”terkaan saja”, tetapi didasarkan atas fakta-fakta yang disampaikan oleh saksi-saksi mata dan telinga (lih bab 12.7).
Sebenarnya tidak mungkin kita memisahkan tubuh dan jiwa. Kitalah tubuh. Dan jiwa kita bukanlah sesuatu yang rohani, yang melayang-layang di luar tubuh. Jiwa saya berpikir, makan, minum, merindukan, dan sebagainya (lih Mzm 42). Jiwa kita adalah kita sendiri, mencakup perasaanperasaan kita yang paling dalam. Akunya kita berada dalam seluruh tubuh kita. Mustahil kita berdiri di luar diri kita sendiri. Tubuh dan jiwa merupakan satu kesatuan. Walaupun demikian, Yesus membedakan antara jiwa dan tubuh (lih Mat 10:28). Allah memang berkuasa untuk memisahkan apa yang tidak bisa kita pisahkan. Dia yang bisa menjamin kelanjutan hidup kepada kita, terlepas dari tubuh kita.
Setelah kematian, Allah tidak menyatakan bahwa tubuh kita akan ”habis total” (total loss). Tetapi, Dia membagi satu tabiat manusia (tubuh yang berjiwa) kita di dua tempat, yaitu surga dan bumi. Mengenai ”kemah tempat kediaman kita di bumi ini”, digambarkan seolah-olah kita tunawisma, tetapi kita mempunyai kediaman yang kekal di surga (2Kor 5:1). Kenyataan itu melebihi akal budi kita, melampaui pengertian kita, tetapi tidak menentangnya. Bagi Allah, kita bisa berada di dua tempat pada saat yang bersamaan, dalam kubur dan di surga.
Menurut pendapat orang-orang yang menolak pemisahan tubuh dan jiwa, jiwa orang mati berada dalam keadaan tidur. Sesudah hidup kita berakhir, jiwa kita tidak pergi ke surga, tetapi kita tinggal dalam kuburan seperti pada tempat tidur. Tetapi, ini jelas bertentangan dengan apa yang Kristus katakan kepada pembunuh di kayu salib, ”Hari ini juga engkau akan ada bersama-sama dengan Aku di dalam Firdaus” (Luk 23:43). Jiwa-jiwa di surga bukan juga sebagai hantu atau sosok roh halus. Karena kita tidak hanya membaca tentang jiwa-jiwa yang berseru (lih Why 6:10), tetapi juga tentang jiwa-jiwa yang memegang daun-daun palem di tangan mereka (Why 7:9). Seperti apa persis rupa penampakan mereka, tidak bisa diketahui pasti. Tetapi, sekalipun kita mendapatkan kediaman yang berbeda, dalam arti tertentu, kita tetap sama seperti kita yang sebelumnya. Kristus mengatakan tentang Allah bahwa ”Ia bukanlah Allah orang mati, melainkan Allah orang hidup” (yang dimaksudkan-Nya adalah Abraham, Ishak, dan Yakub, Mat 22:32). Sesudah kematian, keberadaan kita memang berbeda dari yang sebelumnya. Kita hanya belum sempurna (tanpa tubuh).
Sesungguhnya, bila kita mati apa yang akan tertinggal dari tubuh kita ini? Apakah sisanya akan sedikit, atau tidak akan ada sama sekali? Bagaimanapun, tubuh kita tidak dibinasakan, tetapi ditabur. Yang ditaburkan dalam kehinaan, dibangkitkan dalam kemuliaan (1Kor 15:42-44). Petani mana yang ingin melihat biji-biji gandum yang ditaburnya masih tetap dalam wujud semula (biji)? Dari tubuh yang lama lahirlah tubuh yang baru, yang sangat berbeda dari bentuk semula. Memang masih tetap tubuh yang sama, tetapi sangat berbeda. Perbedaan-perbedaan itu janganlah kita samarkan. Misalnya, pernikahan dalam bentuk yang sekarang tidak akan ada lagi (lih Mat 22:30). Dan kita tidak akan lagi mempunyai pencernaan, atau proses pembakaran makanan dalam tubuh kita se perti yang sekarang (lih 1Kor 6:13). Walaupun demikian, kita tetap adalah kita, yakni manusia yang berdarah-daging. Jadi, Allah tidak lagi memulai dari awal , tetapi pembaruan yang diwujudkan-Nya memang drastis. Tubuh kita tetap mempunyai identitas yang sama. Allah tetap setia pada apa yang pernah Dia buat. Dari rumah yang runtuh karena dosa Dia membangun istana untuk kita diami.
Allah tidak memperlakukan manusia sebagai produk massal. Kepada tiap-tiap kita yang menang akan dikaruniakan-Nya ”batu putih, yang di atasnya tertulis nama baru yang tidak diketahui oleh siapa pun, selain oleh yang menerimanya” (Why 2:17). Kristus sendiri pun mendapat nama yang baru. Nama kita yang baru itu yang menyatakan hakikat kita (lih Why 3:12), yakni akunya kita yang paling karakteristik, yang paling merupakan ciri khas, yang paling intim, dan yang paling menentukan siapa kita. Akhirnya, kekhasan kita masing-masing digambarkan de ngan tepat, kita dikenal dengan sesungguhnya, kita diterima dengan total (demikian O. Jager). Semua bakat yang pernah Allah taruh dalam kita, akan berkembang sepenuhnya. Allah itu serbabisa. Manusia diciptakan-Nya beraneka ragam. Dia tidak menjadikan kita satu model yang sama. Baik Allah maupun manusia akan mencapai akunya yang pas, dengan sempurna dan untuk selama-lamanya. Allah berkata, ”AKULAH AKU” (Kel 3:14). Dan manusia sebagai ciptaan pun akan boleh menga takannya, ”akulah aku”, yakni sampai batas tertentu, dengan memakai huruf-huruf kecil. Karena kita ciptaan, dan tetap ciptaan. Surga tidak akan membuat kita menjadi bukan lagi manusia. Di bumi yang baru kita semua akan diberi kemampuan untuk menjadi sesuai dengan apa yang Allah maksudkan. Dan kita akan mengenal Allah, sama seperti kita selalu dikenal oleh Dia (lih 1Kor 13:12).
Jika identitas kita tetap sama, apakah kelak kita masih akan saling mengenal? Bagai manapun, tidak untuk senantiasa terarah kepada diri kita sendiri. Di bumi yang baru, tidak seorang pun yang akan hidup sendirian atau untuk dirinya sendiri. Sedikit pun tidak ada tempat untuk egosentrisme. Allah yang membuat kita semua menjadi satu kesatuan yang erat, yang mengungguli hubungan kerabat dan pernikahan. Kita masing-masing dimasukkan dalam ”kumpulan besar orang banyak yang tidak bisa dihitung jumlahnya” (Why 7:9), rasa kesepian, tanpa kehilangan identitas kita. Itulah kabar yang teramat baik dan harap an yang menggembirakan!
Apakah tidak sayang semua harta kebudayaan akan hilang, di antaranya musik, lukisan-lukisan, bangunan-bangunan? Apakah yang kira-kira tidak akan hilang? Perhatikan, semua kekayaan itu berhubungan dengan dunia masa kini. Status dan nilainya mereka punyai hanya selama berada di dunia ini. Hendaknya kita tidak mencari makna seni dan kebudayaan dalam kekekalan, semua itu hanya untuk kehidupan yang sekarang. Sama seperti pernikahan dan pekerjaan kita tidak kekal, semua itu hanya berguna untuk kehidupan kita saat ini.
Kita boleh bertitik tolak dari kenyataan ini: sebagai Arsitek dunia yang baru, Allah akan tetap setia terhadap penciptaan-Nya yang lama. Allah sendiri yang menjamin kesinam bungannya. Segala yang pernah dimasukkan-Nya dalam penciptaan-Nya, juga akan muncul dari nya. Kita tak perlu takut di bumi yang baru nanti kita akan merasa bosan (karena hidup yang kekal itu tidak bisa dipandang secara menyeluruh). Semua yang ada di dunia sekarang ini bisa saja kita temukan dalam kehidup an kelak, bahkan lebih dari itu, misalnya, bakat-bakat musik. Biarlah komposisi-komposisi yang baru diperdengarkan. Atau bakat berbicara. Sudah tentu, bahasa kita jauh lebih kaya di bumi yang baru. Semua bakat itu pasti tidak akan dihapuskan. Semua kerinduan kita akan hal-hal yang menyenangkan dan yang bagus, kurang andal. Betapa kecilnya kita dibanding dengan kekayaan yang akan datang kelak. Jika Allah membuat sesuatu yang baru, kita tidak akan pernah mengalami kemunduran. Sukacita yang terbesar masih akan datang. Kita memerlukan hidup yang kekal untuk bisa menikmatinya sepenuhnya. Kita tidak akan pernah merasa bosan atau berhenti berbicara tentang itu.
Sang Pencipta mengetahui segala-galanya, bahkan pada saat yang bersamaan. Dialah yang Abadi. Menurut saya, kita sebagai ciptaan-Nya hanya mengetahui sebagian saja, bahkan makin lama makin lebih sedikit, dan tetap demikian halnya. Mungkin saja pengetahuan kita akan terus bertambah dengan berlangsungnya kekekalan, menjadi semakin kaya dan semakin dalam. Siapa yang memikirkannya dalam kebosanan, mungkin saja dia masih berada dalam kegelapan saat ini, atau bisa saja dia tidak sanggup melihat terang kemuliaan Allah yang bercahaya. Hen daklah kita yakin bahwa kejutan-kejutan besar yang sedang Allah sediakan akan melampaui tiap-tiap pikiran dan semua yang bisa kita bayangkan.
Dalam pikiran saya timbullah cerita dari abad Pertengahan mengenai dua biarawan yang terus sibuk dengan pertanyaan, bagaimana hidup kelak di bumi yang baru. Yang satu mempertahankan pendapat bahwa hidup yang baru, kurang lebih akan sama (taliter)
dengan hidup saat ini. Menurut dia, para peternak akan terus memerah susu sapi-sapinya, seperti biasa. Yang satu lagi mengatakan bahwa hidup yang baru nanti akan berbeda (aliter) dari hidup saat ini, tidak dunia wi, tetapi surgawi. Biarawan yang satu lebih dulu meninggal dari yang lain. Maka ditemukannya bahwa pendapat mereka berdua tidak benar. Sebab, ternyata dunia yang baru tidak taliter (kira-kira sama), juga tidak aliter (berbeda), tetapi totaliter aliter (berbeda total).
Meskipun demikian, yang paling indah ialah kita akan melihat Allah dalam segala kemuliaan-Nya. Kita akan melihat Dia dalam keadaan-Nya yang sebenarnya (1Yoh 3:2; bnd 1Kor 13:12), yaitu melalui Anak Domba yang adalah lampu kemuliaan Allah (lih Why 21:23). Kita akan melihat Allah dalam segala kemegahan, keagungan, serta kuasa-Nya, dan kemuliaan-Nya terpancar dalam semua yang diperbuat-Nya. Saat ini kita hanya bisa melihatnya sekilas saja karena dunia ini masih digelapi dosa dan dibayangi oleh kematian. Tetapi, apa yang akan terjadi, ketika selubung kematian itu diangkat? Satu kata: kemuliaan yang akan menyongsong kita. Yohanes menggambarkannya dalam bentuk simbol-simbol. Kadang simbol-simbol itu mengungkapkan jauh lebih banyak daripada kata-kata. Jalan-jalan yang terbuat dari emas murni, pintu-pintu gerbang dari mutiara, dan lautan dari kristal (lih Why 21), semua itu hanya merupakan pendekatan akan kemegahan Allah. Namun, sungguh-sungguh ada realitas yang sesuai dengan itu.
Kemuliaan Allah terpancar dalam semua sifat-Nya, pun demikian dalam kebaikan-Nya. Hal itu nyata dalam janji Allah bahwa Dia sendiri yang akan tinggal bersama-sama dengan kita, dan Ia akan menghapus segala air mata dari mata kita (lih Why 21:3-4). Artinya, Dia sungguhsungguh akan melenyapkannya. Semuanya telah dihitung dan telah ditimbang-Nya. Darah, air mata, dan penderitaan kita mahal di mataNya (lih Mzm 72:14). Kerusakan total dikarenakan dosa dalam hidup manusia ... siapa yang dapat memulihkannya kecuali Dia? Dan sesudah Ia memulihkannya, pasti akan ada jawaban dari kita! Karena kemuliaan itu ganda: Allah memuliakan ciptaan-Nya, dan manusia memuliakan Allah (lih Why 21:24).
Jawaban kita untuk memuliakan Allah itu bisa kita ringkaskan dalam dua kata, yakni ”Amin!” dan ”Haleluya!” Amin itu akan kita ucapkan kelak dalam hidup yang kekal ketika melihat kembali keberadaan kita yang sementara dan akan sejarah total yang dari belakang kita pandang secara me nyeluruh. Dengan ungkapan ”Amin!” itu kita sungguh-sungguh mengiakan karya Allah yang dilanjutkan-Nya. Yang jahat diubahkanNya menjadi baik. Haleluya berarti bahwa seluruh surga bergema karena seruan ”Pujilah Tuhan!” menggema menjadi puji-pujian yang spontan. Udara penuh ungkapan-ungkapan pujian. Betapa besarnya sukacita kita, bila kita selalu menemukan kata-kata yang baru dalam pujian kita, lalu mencobanya bersama-sama dan menggemakannya sebagai tepuk tangan yang bergemuruh. Siapa yang percaya, pasti merasa rindu akan suasana surgawi (bnd 2Kor 5:2). Sementara membaca kata-kata ini, kita pasti akan merasakan dalam hati hakikat kesukaan yang kekal (lih 1Ptr 1:8-9; KH p/j 58).
1. Yesaya 26:12-19 (Orang-orang-Mu yang mati akan hidup kembali).
2. Yesaya 65:17-25 (Langit yang baru dan bumi yang baru).
3. Lukas 20:27-40 (Di hadapan-Nya semua orang hidup).
4. 1 Korintus 15:35-49 (Dibangkitkan dalam ketidakbinasaan).
5. 2 Korintus 4:16-5:8 (Tinggal bersama Tuhan).
6. 1 Tesalonika 4:13-17 (Diangkat untuk selama-lamanya bersama-sama dengan Tuhan).
7. 1 Yohanes 3:1-3 (Melihat Dia dalam keadaan-Nya yang sebenarnya dan menjadi sama seperti Dia).
1. Apakah dasar kebangkitan? Apakah kebangkitan dapat disamakan dengan pemikiran tentang reinkarnasi dengan cara tertentu?
2. Dalam Alkitab menguburkan digambarkan sebagai menabur. Apakah sebutan itu tepat untuk kremasi?
3. Kadang ada yang membayangkan orang-orang percaya yang telah meninggal dunia akan melakukan kegiatan seperti di bumi dari tribun surgawi (bnd buku Randy Alcorn, Deadline). Berkaitan dengan ini, apakah tepat mereka merujuk ke Ibrani 12:1-3? Menurut Anda, apakah jiwa-jiwa yang di surga sungguh-sungguh bisa mengikuti hidup kita di dunia?
4. Bolehkah kita saling bertemu kembali di surga dan di bumi yang baru? Apakah di sana kita saling mengenal lebih baik?
5. Bagi kita, apa arti gambar batu putih yang di atasnya tertulis nama baru yang tidak diketahui oleh siapa pun, selain oleh yang menerimanya? Apakah menerima nama yang baru itu juga berarti bahwa kita mendapatkan identitas yang sungguh-sungguh baru?
6. Apakah ada perbedaan antara kita mengatakan ”saya akan pergi menikamati kebahagiaan di surga” dan ”saya akan pergi menikmati kebahagiaan bagaikan langit jatuh ke bumi”?
7. Apakah kita akan menerima kembali tubuh kita sendiri, yang di dalamnya kita hidup saat ini? Atau hal itu hanya sekadar gambaran mengenai pembaruan yang total?
8. Apakah kelak di bumi yang baru masih banyak hal baru yang akan kita temukan? Apakah di sana kita mengalami pertumbuhan?
9. Apakah semua pertanyaan yang timbul dalam hati kita saat ini, akan terjawab kelak? Apakah kita akan mene rima jawaban untuk semua pertanyaan yang dimulai dengan kata ”mengapa”?
10. Anak Domba adalah lampu kemuliaan Allah (lih Why 21:23). Apa arti kemuliaan itu? Apakah Kristus adalah pusat yang bercahaya sampai selama-lamanya?