Semua orang Kristen, laki-laki maupun perempuan, terpanggil untuk melayani sebagai imam, raja, dan nabi (KH, p/j 32). Khususnya, Reformasi gereja pada abad ke-16 kembali membuka mata kita untuk memahami bahwa bukan hanya pemimpin-pemimpin rohani melainkan-begitu kenyataannya-tiap-tiap orang Kristen memangku fungsi-fungsi itu (Bab 15.6). Semua orang Kristen masing-masing diurapi dengan Roh Kudus (1Yoh 2:27) untuk-sesuai istilah nya yang resmi-memenuhi jabatannya. Lebih dahulu ini disebut ”jabatan semua orang per caya” (bnd 1Ptr 2:9-10). Sebenarnya, kata ”jabatan” tidak terdapat sedemikian rupa dalam Alkitab. Dalam Perjanjian Baru, yang selalu dipakai adalah katakata ”pelayanan” dan ”mela yani”, yaitu dengan mengikuti Kristus, Sang Agung yang diurapi, yang datang untuk mela yani (lih Mrk 10:45). Dialah yang mengangkat dan memampukan semua orang Kristen untuk berfungsi dalam jemaat-Nya, yang lebih tepat disebut sebagai ”pusat pelayanan” (bnd 1Ptr 4:10-11). Untuk itu Roh Kudus-Nya menyediakan karunia-karunia yang diperlukan. Tiap-tiap orang Kristen dipanggil untuk menjadi kaki tangan bagi orang lain. Untuk itu, Kristus memakai tiap-tiap anggota tubuh-Nya dengan caranya sendiri. Semua itu terjadi demi pemba ngunan jemaat-Nya (lih 1Kor 12:14-27; Ef 4:16).
1 Berkaitan dengan bab ini, baca buku-buku LITINDO yang terbit dalam Seri Pembinaan Jemaat, khususnya Jemaat yang Hidup, Jemaat yang Presbiteral, Jemaat yang Pastoral, Jemaat yang Diakonal, Jemaat yang Tertib, Jakarta (yg diterbitkan oleh YKBK).
Selain panggilan umum semua orang Kristen tersebut, ada juga panggilan khusus. Kristus ingin memerintah jemaat-Nya melalui manusia. Pada awalnya Dia memberikan para rasul, misionaris, pemberita Injil, dan pengajar, dengan tugas istimewa menanam dan membangun jemaat-jemaat (lih Ef 4:11-12). ”Yang terungkap dalam tokoh rasul ialah kenyataan bahwa jemaat tidak hidup karena imannya, semangatnya, dan karunia-karunianya sendiri, tetapi diawali dengan pemberitaan firman yang disampaikan oleh saksi-saksi mata dan telinga” (demikianlah A.F.N. Lekkerkerker). Setelah mendirikan jemaat, para rasul langsung beralih ke penetapan penatua-penatua, laki-laki diberi tugas memimpin (lih Kis 14:23). Dengan demikian, Kristus ingin menjadikan ketertiban dan struktur dalam jemaat-Nya sehingga semuanya berjalan dengan rapi, demi damai sejahtera (lih 1Kor 14:33). Hendaklah semua karunia saling melengkapi sehingga seluruh jemaat terlibat. Oleh karena itu, diperlukan kepemimpinan, yaitu orang-orang yang berinisiatif sendiri dan yang memper lengkapi atau menginstruksikan orang-orang lain (lih Ef 4:11-12). Jabatan-jabatan yang khusus (penatua, diaken, pemberita Injil, misionaris) tentunya tidak dimaksudkan untuk menguasai jemaat, tetapi sebaliknya untuk melayaninya. Para penatua justru harus melindungi jemaat terhadap tindakan-tindakan yang dominan dan solistis. ”Hanya satu Rabimu dan kamu semua adalah saudara” (Mat 23:8).
Saya tidak akan membahas seluruh diskusi tentang pokok ”Perempuan sebagai pejabat penatua atau pendeta” di sini. Karena dalam Perjanjian Baru para rasul dan para penatua bukan perempuan, mereka seolaholah diabaikan. Fungsi-fungsi kepemimpinan seperti itu biasanya tidak diberikan kepada para perempuan (lih 1Tim 2:11-15; 1Kor 14:34). Dengan tidak membahasnya, mungkin saya terkesan mengabaikan pokok bahasan yang sensitif ini. Tetapi, yang saya inginkan ialah meng hindari penyempitan wawasan. Jika sangat berfokus membahas tentang ”perempuan dan jabatan” itu, bisa jadi kita melupakan hal yang jauh lebih penting, yaitu bahwa dalam Perjanjian Baru seluruh jemaatlah yang harus
bertanggung jawab dan harus saling memperhatikan dan mengawasi terus menerus. Contoh yang jelas kita temui dalam 1 Tesalonika 5:1215. Pertama, Paulus mengarahkan diri kepada seluruh jemaat ”supaya kamu meng hormati mereka yang bekerja keras di antara kamu, yang memimpin kamu dalam Tuhan dan menegur kamu.” Lalu, Paulus langsung melanjutkan dengan menasihati seluruh jemaat, katanya ”tegurlah mereka yang hidup dengan tidak tertib, hiburlah mereka yang tawar hati, belalah mereka yang lemah, sabarlah terhadap semua orang ... usahakanlah senantiasa yang baik, terhadap kamu masing-masing dan terhadap semua orang.” Jadi, tugas-tugas pastoral ini tidak hanya dicadangkan untuk para anggota laki-laki, tetapi merupakan tanggung jawab semua anggota, laki-laki maupun perempuan.
Untuk pejabat gereja, khususnya yang melayani di bidang pemberitaan dan pengajaran firman Tuhan di Indonesia, biasanya digunakan nama pendeta. Nama ini agaknya diambil dari agama Hindu untuk ”pemuka, pemimpin agama atau jemaah, guru agama” (KBBI). Di Belan da masih selalu dipakai gelar domine, yang berasal dari bahasa Latin ”dominus”, artinya ”tuan” (bnd tuan dusun, tuan rumah). Nama-nama yang lain ialah: gembala (bh Latin ”pastor”), pengajar atau guru (bh Ibrani ”rabi”), dan pelayan firman Tuhan (bh Latin ”verbi divini minister”; bnd bh Inggris ”minister”). Nama-nama itu lebih tepat, dan sebenar nya lebih sesuai dengan Kitab Suci. Janganlah seorang pendeta berbuat salah dengan tindakan-tindakan yang ”dominan”. Majelis gereja wajib menghindari kesalahan itu. Dan jemaat pun jangan menyerahkan semua pekerjaan kepadanya. Dialah pelayan firman yang bertugas khusus dalam memberitakan firman Allah kepada jemaat, dari mimbar dan juga di rumahrumah. Dia menjadi gembala sekaligus pengajar (lih Ef 4:11). Sebenarnya, pendeta adalah seorang penatua yang dikhususkan untuk menekuni pem beritaan, dan yang dibebaskan dari tugas lain agar bisa melakukannya full time (lih 1Tim 5:17). Selain itu, tugasnya adalah untuk mengajar muda-mudi jemaat (katekisasi) dan mengurus pendidikan dan pembinaan yang jemaat perlukan. Dan bersama para penatua lainnya dia menetapkan pembagian kerja untuk pelayanan pastoral dalam situasi-situasi yang istimewa, seperti kesulitan-kesulitan rumah tangga, depresi, masalah-masalah dalam membesarkan anak-anak, jemaat yang sakit parah, pembimbingan dalam hal kematian, dan lain-lain. Dalam banyak hal sang pastor dipanggil untuk mendengar, untuk turut memikirkan dan diharapkan memberikan nasihat. Tetapi dalam semua nya itu, posisinya bukanlah sebagai atasan jemaat. Dia bekerja di dalam jemaat, bukan sebagai seorang solois (yang tidak suka bekerjasama), tetapi melayani bersama-sama dengan para anggota jemaat (laki-laki dan perempuan) untuk saling memberi kan sumbangannya.
Tugas para penatua adalah untuk memimpin jemaat. Mereka bersamasama mengurus agar semuanya berjalan dengan rapi. Kebiasaan wakil penatua berjabat tangan dengan pendeta pada awal dan akhir ibadah Minggu (kadang juga terjadi serah-terima Alkitab) adalah tanda seluruh ibadah terjadi di bawah pimpinan dan tanggung jawab majelis gereja. Selanjutnya, para penatua bersama-sama mengawasi tiap-tiap anggota jemaat agar hidup sebagai orang Kristen. Ini tanggung jawab yang cukup berat, yaitu berjaga-jaga atas jiwa mereka (lih Ibr 13:17). Tugas penting me reka juga untuk memperlengkapi para anggota jemaat sehingga tiap-tiap mereka bisa dilibatkan untuk melayani yang lain. De ngan cara demikian jemaat dibangun (lih Ef 4:11-12). Sehubungan dengan itu, mereka pergi mengunjungi anggota-anggota jemaat yang termasuk kelompok pelayanan mereka2 untuk menghibur mereka dengan firman Allah, untuk meng ajar mereka, atau-jika perlu-untuk menasihati me reka dengan ”kasih yang lebih intensif” (disiplin; bnd bab 17.4). Awalnya, hal itu terjadi sehubungan dengan perayaan Perjamuan Kudus. Tetapi, lambat laun hal itu berkembang menjadi ”kunjungan rumah” yang dilakukan setahun sekali, dengan tambahan kunjungan-kunjungan pastoral yang 2 Dalam banyak jemaat, khususnya jemaat-jemaat yang besar jumlah anggotanya, jemaat dibagi-bagi ke dalam kelompok-kelompok atau wilayah-wilayah yang masing-masing dipertanggungjawabkan kepada seorang penatua.
lain.3 Selain itu, para penatua mempunyai tugas mendampingi pendeta, baik de ngan nasihat maupun dengan tindakan. Secara khusus, mereka mengawasi ajaran dan kehidupannya. Hendaklah jemaat dijaga terhadap ajaran-ajaran yang sesat, dan dibangun oleh pelayanan pendeta.
Dalam Kisah Para Rasul 6 kita baca para rasul tidak mampu melakukan segala pekerjaan sendiri. Karena itu, mereka mengangkat diakendiaken. Dari semula tugas para diaken ialah memelihara orang-orang miskin atau-dalam arti yang lebih luas-orang-orang yang memerlukan bantuan. Pada perayaan Perjamuan Kudus kita sering melihat mereka melayani meja. Pada awalnya, hal itu berkaitan dengan tugas mereka untuk mengurus ada nya makan dan minum yang secukupnya. Tetapi, pelayanan meja ini juga menunjukkan persekutuan Kristen kelihatan pada meja Perjamuan. Sesungguhnya, mata para diaken harus tertuju untuk menolong orang-orang yang lemah. Ternyata, berbagai instansi pemerintah pun kadang melakukan pelayanan yang sama, misalnya, perawatan orang jompo, pekerjaan sosial, pemeliharaan rumah tangga, dan bantuan dana. Meskipun demikian, pekerjaan masih banyak untuk para diaken. Mereka yang mengumpulkan sumbangan-sumbangan berupa dana atau barang, mengatur dan membagikannya, baik di dalam jemaat maupun di luar. Selain itu, mereka harus menjaga agar tidak seorang anggota jemaat pun yang menderita karena kekurangan, kesepian, atau hidup tanpa penghiburan. Dengan melakukan ”kunjungan rumah” kepada para anggota jemaat, mereka mengetahui kesulitan-kesulitan yang sedang dihadapi jemaat, sembari mendorong mereka untuk saling melayani (lih Ef 4:12). Adalah tugas para diaken untuk, sebisa mungkin, menyesuaikan karunia-karunia di dalam jemaat, yang satu dengan yang lain, dan mendorong warga-warga jemaat untuk bersikap ramah, suka memberi, dan bermurah hati. Karena itu para diaken juga sering disebut 3 Lih buku Jemaat yang Pastoral (telah disebut dalam Cat. 1). Kunjungan rumah adalah kunjungan yang khususnya dilakukan oleh penatua dan diaken untuk membicarakan keadaan rohani dan jasmani tiap-tiap anggota atau keluarga.
”komponis persekutuan”. Para diaken juga meng ikuti rapat-rapat majelis gereja, berkaitan dengan pokok-pokok kebijakan yang bersifat umum. Selain itu, sama seperti para penatua, mereka juga mengadakan rapat sendiri khususnya untuk membicarakan tugas spesifik mereka.
Dari semula majelis gereja hanya terdiri dari para penatua. Itu juga alasan nya, ketika direncanakan rapat, biasanya diberitahukan kepada jemaat bahwa ”Majelis akan bersidang bersama (atau tanpa) para diaken”. Tetapi, karena para diaken pun turut berpikir dan bersidang mengenai hal-hal yang bersifat umum, dalam percakapan umum mereka dihitung termasuk majelis gereja. Bahkan, dalam jemaat-jemaat yang kecil mereka menyumbang pendapat mengenai hal-hal pelayanan disiplin, sekalipun mereka tidak mempunyai hak suara.
Hanya majelis gerejalah yang disuruh Kristus untuk memimpin jemaat setempat. Klasis (perkumpulan utusan-utusan gereja-gereja yang sewilayah) atau sinode (sidang utusan-utusan gereja-gereja semua wilayah) tidak mempunyai hak itu. Kadang terkesan seolah-olah sinode yang menentukan semuanya, sebagai badan pengurus yang lebih tinggi. Tetapi, dalam gereja Reformed tidak dikenal badan pengurus sinode yang tetap. Sinode hanya ada selama sidang berlangsung. Tanggung jawab yang utama dalam jemaat terletak pada para penatua dan diaken yang diangkat oleh jemaat.
Sidang-sidang lainnya yang biasanya diadakan dalam gereja reformed ialah klasis, sinode wilayah, dan sinode am (umum, nasional).4 Kita tidak menyebutkannya sidang-sidang yang lebih tinggi, tetapi sidang-sidang yang lebih luas, karena para pesertanya yang mewakili jumlah gereja yang semakin besar. Pada umumnya, sidang-sidang itu diatur sebagai berikut:
Tata gereja adalah sebuah kumpulan kesepakatan-kesepakatan yang diperuntukkan bagi kehidupan gereja setempat maupun nasional. Pada 1550-an dirumuskan tata gereja reformed yang pertama di bawah pimpinan Calvin, yang kemudian diperlengkapi oleh sinode Emden (1571) dan sinode Dordrecht (1619).5 Beberapa kesepakatan langsung diambil dari Alkitab. Yang lain merupa kan penerapan praktis salah satu prinsip Alkitab (msl, mengenai pengurusan pendidikan untuk pelayan-pelayan firman Allah). Yang lain lagi mengatur apa yang gereja-gereja anggap baik dan berguna (msl, mengenai cara merayakan hari-hari raya Kristen). Gereja tidak bermaksud untuk mengatur segalanya, tetapi untuk membuat semuanya berlangsung dengan baik dan gereja-gereja hidup berdamai dengan Tuhan dan sesama. Tujuan utamanya adalah agar tidak seorang pun bersikap sebagai tuan sehingga pemerintahan gereja Kristus terjamin. Hanya satu Pemimpin kita, dan kita semua adalah pelayan (lih Mat 23:10-11).
Kata liturgi pun berarti ”pelayanan” (bh Inggris: service). Kata itu lebih dahulu dipakai untuk pelayanan tertentu dari rakyat kepada raja, misalnya, pembayaran pajak. Sama halnya dengan pelayanan raja kepada rakyatnya. Kita pun menggunakan kata ini, yakni untuk pelayanan Allah kepada umat-Nya dan sebaliknya, tetapi kita biasanya memakai istilahistilah seperti penyembahan, kebaktian, dan ibadah. Pada hari Minggu kita berkum pul, karena Allah ingin melayani kita dengan firman-Nya, sambil kita mela yani Dia dengan persembahan dan doa-doa kita. Dengan demikian, kita berliturgi. Sewajar nya, kita melayani Allah tiap-tiap hari. Arti kata ”agama” adalah pelayanan Allah!
Jika orang-orang berkumpul, perlu ada kesepakatan-kesepakatan yang menjamin semuanya berjalan secara teratur. Sama halnya di gereja. Dalam Perjanjian Lama, Allah mengatur banyak hal untuk menjaga agar 5 Dalam empat bab dibicarakan jabatan-jabatan, sidang-sidang gereja, pengawasan terhadap ajaran, ibadah, dan pelayanan disiplin.
semuanya dalam Kemah Suci dan pelayanan yang di sekitarnya, berlangsung dengan teratur. Dalam Perjanjian Baru, Tuhan menyerahkan pengaturan itu kepada kemandirian dan kemampuan jemaat. Tetapi, Dia memang memberikan petunjuk-petunjuk yang jelas, sekali lagi menurut prinsip bahwa peraturan yang melayani kedamaian. Sebab Allah tidak menghendaki kekacauan, tetapi damai sejahtera (1Kor 14:33).
Gereja-gereja telah menetapkan berbagai tata ibadah6 yang semuanya mengandung sejum lah bagian pokok yang dipakai dalam semua ibadah. Tata ibadah ini tidak dimaksud sebagai alat paksaan yang kaku, tetapi sebagai pedoman dan sarana untuk menjamin pelayanan Allah kepada manusia dan sebaliknya, bisa berjalan sebaik-baiknya. Artinya, firman Allah dan pemberitaannya sebagai pusat, dan puji-pujian, doadoa, dan persembahan kita di sekitarnya.
Ibadah gereja dimulai dengan pengucapan votum, yang berarti kita menyerahkan diri ke pada Tuhan. Ini bukan doa, melainkan pernyataan ketergantungan. Asalnya, dari Mazmur 124:8, ”Perto longan kita adalah dalam Nama TUHAN, yang menjadikan langit dan bumi.” Dengan mengucapkan votum-atau menyanyikannya, seperti yang terjadi di banyak gereja-jemaat menyatakan kesiapannya di hadapan Allah. Diikuti oleh penerimaan salam dari Tuhan. Kata salam itu pun kutipan dari Kitab Suci. Kebanyakan kata salam dalam surat-surat Perjanjian Baru dimulai dengan, ”Kasih karunia dan damai sejahtera dari Allah Bapa dan dari Yesus Kristus, Tuhan kita, menyertai kamu” (msl, 1Kor 1:1). Dalam kebanyakan salam, Roh Kudus tidak disebut, mungkin karena kita percaya Dia hadir di dalamnya, sebagai Pengilham seluruh Kitab Suci (lih 2Tim 3:16). Tentu kita tidak akan menyampaikan salam dari orang yang sudah hadir sendiri.
Nyanyian jemaat mempunyai tempat yang penting dalam ibadah.
Bukankah Allah bersemayam di atas puji-pujian (lih Mzm 22:4)? Dia sangat menghargainya. Dalam nyanyian-nyanyian, kita berdoa dan bersyukur kepada Allah. Di antaranya juga terdapat nyanyian-nyanyian ratapan, dan ada yang bersifat nyanyian penyesalan. Untuk itu memang tersedia tempat dalam Kitab Mazmur, buku nyanyian untuk umat Allah. Selain mazmur-mazmur, Paulus sebutkan puji-pujian dan nyanyian rohani (lih Kol 3:16), yang dengannya kita meng hormati dan mela yani Allah. Sayangnya, pada Abad-abad Pertengahan paduan suara makin lama makin mengambil alih puji-pujian dari jemaat. Tetapi, pada masa Reformasi hal itu dipulihkan. Calvin yang mengurus mazmur-mazmur diiramakan, dan membuat jemaat kembali menyanyi sendiri.
Pada awal ibadah kita merendahkan diri di hadapan Allah. Kita menundukkan diri kita dan mengaku dosa kita kepada-Nya. Hal ini biasanya kita lakukan setelah mendengar Sepuluh Firman (lih Kel 20:1-17), yang membuat kita menyadari kesalahan kita. Sebuah unsur baru yang kembali dipakai ialah pernyataan bebas, setelah pengakuan dosa. Selain doa merendahkan diri ini ada juga doa memohon agar diterangi Roh Kudus. Dan pada akhir ibadah dinaikkan doa pengucapan syukur, yang disusul doa syafaat. Jemaat yang berdoa untuk gereja dan dunia.
Pengumpulan persembahan (kolekte) yang merupakan bagian ibadah yang istimewa. Hal memberikan persembahan menarik perhatian kita. Sekalipun orang menyetor sumbangan-sumbangan sukarela untuk gereja pada rekening bank, dalam ibadah kita jelas memperlihatkan bahwa hidup kita sebagai jemaat juga berarti kita ”mempersembahkan kurban” kepada Tuhan. Sering juga diadakan kolekte untuk diakonia, tetapi juga untuk berbagai tujuan gerejani dan diakonal yang khusus, misalnya, untuk jemaat lain yang membutuhkan bantuan atau untuk masyarakat sekitar yang mengalami kesu litan. Kita mengumpulkan persembahan, bukan hanya untuk membayar biaya-biaya dalam urusan jemaat kita sendiri, tetapi juga untuk membantu sesama kita.
Berkat yang diberikan pada akhir ibadah memberitakan Nama Allah.
Kepada Musa dikatakan bahwa dengan demikian Nama Allah diletakkan atas jemaat (lih Bil 6:27). Kita dikaitkan dengan Nama Tuhan, lalu melanjutkan hidup kita dalam Nama-Nya. Kita hidup di bawah tangantangan Allah yang memberkati. Berkat ini menunjukkan bahwa Allah ikut serta membawa kita sampai ke tujuan kita yang baik. Berkat yang sangat menjanjikan sekaligus mengancam, yaitu bagi semua orang yang tidak memberi diri dikuasai oleh Nama ini dalam kehidupan sehariharinya. Berkat Allah bukan untuk orang yang pasrah dalam arti negatif karena berkat Allah itu membutuhkan respons yang benar dari kita. Syukurlah, karena berkat ini berbicara tentang kasih karunia dan damai yang diberikan Allah. Kita diberkati untuk menjadi berkat. Menerima berkat Allah menunjukkan bahwa kita berbuat apa yang Allah sukai, yaitu melayani Dia. Kita pulang ke rumah masing-masing dengan membawa berkat Tuhan, agar senantiasa melangsungkan pelayanan kita kepada Allah.
1. Roma 12:3-8 (Menurut karunia-karunia masing-masing).
2. 1 Tesalonika 5:12-19 (Seluruh jemaat dilibatkan).
3. Efesus 4:7-13 (Diperlengkapi untuk membangun).
4. 1 Korintus 14:26-33 (Peraturan demi damai sejahtera).
5. Ibrani 10:19-25 (Saling memegang dan mendorong).
Allah).
7. Wahyu 4 (Ibadah surgawi).
1. Orang terlebih dahulu bicara tentang ”jabatan semua orang percaya.” Apa artinya? Bagai mana hal itu bisa disebut pada masa sekarang?
2. Karunia-karunia mana yang bisa Anda emban dalam jemaat Kristen?
3. Di beberapa gereja, orang berpendapat jabatan-jabatan penatua dan diaken tidak diperlukan.
4. Menurut Anda, seorang pendeta harus menekuni bidang-bidang khusus yang mana?
5. Apa sebenarnya arti kunjungan rumah tahunan yang dilakukan para penatua? Apakah kunjungan sekali setahun cukup? Apa pendapat Anda tentang fenomena ”kelompok-kelompok kecil?” Artinya, seluruh jemaat dibagi ke dalam sel-sel yang masing-masing terdiri dari delapan sampai sepuluh anggota jemaat. Mereka bergaul bersamasama dengan akrab, saling memperhatikan, bersama-sama membaca Alkitab dan berdoa.
6. Mengapa perempuan (tidak) bisa diterima sebagai pendeta dan penatua? Apakah karunia-karunia Roh tidak dibagikan kepada semua anggota jemaat, laki-laki maupun perem puan? Untuk menentukan jawaban yang Alkitabiah, lihat ayat-ayat Alkitab berikut ini: 1 Timotius 2:9-15; 1 Korintus 14:34-36 & Galatia 3:26-29; Kisah Para Rasul 21:9.
7. Diaken sering dipandang sebagai orang yang mengurus keuangan jemaat. Hal itu agaknya berkaitan dengan diaken yang mengumpulkan persembahan-persembahan (kolekte). Tetapi, apakah sesungguhnya itulah tugas pokok diaken?
8. Apa manfaat persepakatan gereja? Apakah gereja-gereja setempat tetap mempunyai kebebasan yang cukup?
9. Apakah kita perlu beribadah dua kali pada hari Minggu? Apakah tidak cukup kita beribadah sekali saja? Dalam mendiskusikan hal ini, perhatikan Ibrani 10:25.
10. Dalam sebuah tata gereja banyak hal yang tidak diatur. Apakah sebenarnya aturan-aturan itu perlu ditambah? Ataukah justru perlu dikurangi?
11. Kadang perubahan-perubahan liturgi bisa menyebabkan banyak akibat. Mengapa demikian? Apakah pengaturan ibadah begitu penting?