22. Pada ROTI dan CAWAN

1. Pengalaman yang istimewa

Hari kemerdekaan nasional RI, 17 Agustus-selalu diraya kan dengan perasaan yang bercampur aduk. Di satu sisi, suasananya sedih karena memper ingati banyak orang yang telah mengorbankan diri demi kemerdekaan kita. Di sisi, lainnya suasa na senang dan meriah karena kemerdekaan itu sendiri. Dua perasaan itu juga mencirikan suasana perayaan Perjamuan Kudus dalam gereja Kristus. Kesedihan dan kekaguman untuk Dia yang telah menyerahkan nyawa-Nya untuk kita, sukacita dan rasa takjub menge nai pembebasan kita oleh Dia. Gereja memperingati kematian dan kebangkitan Kristus dalam satu acara, yaitu pada roti dan cawan, dengan rasa hormat, dan dalam ketakjuban yang hening karena Dia yang menyerahkan diri-Nya sendiri dalam kematian. Sekaligus diperingati dengan kegirangan dan sukacita karena kasih-Nya kepada kita, maka Dia menyerahkan diri-Nya. Dan kasih-Nya itu tetap ada, karena Dia hidup!

Ketika merenungkannya, tentu kita tidak akan pernah berpikir: hebat juga suasana pemakaman yang terjadi di gereja saat Perjamuan Kudus dirayakan! Memperingati selalu terjadi de ngan perasaan yang bercampur aduk. Dalam tata cara Perjamuan Kudus1, kita ”menikmati peringatan akan kematian pahit dan tragis dalam diri Kristus”.

1 Dr. Th. van den End, Ibid., hlm. 467-475.

2. Penetapan

Sama seperti pada baptisan, kita perlu mengakui bahwa Perjamuan Kudus ditetap kan oleh Kristus. Tanpa disahkan oleh orang yang memberikannya, sebuah bukti garansi tidak berlaku (bnd bab 21.2)! Kristus menetapkan Perjamuan Kudus pada waktu merayakan Paskah, sebuah pesta untuk mempergingati hari pembebasan dari Mesir, bersama-sama dengan para murid-Nya (lih Mat 26:20). Yesus yang memimpin perayaan itu. Lazimnya seperti yang dilakukan oleh para kepala rumah tangga dalam sebuah keluarga, Yesus Kristus pun menyela (menaruh) makanan-sesuai kebiasaan-memecah-mecahkan roti, sambil mengucapkan, ”Inilah roti kesengsaraan yang dimakan nenek moyang kita ketika di Mesir.” Kebiasaan ini dimaksudkan se bagai peringatan yang pahit akan masa lampau. Tetapi, sekarang kata-kata itu diubah oleh Kristus sendiri, menjadi ”Inilah tubuh-Ku!” Tindakan Yesus ini pasti mengejutkan para hadirin yang mendengar perkataan ini untuk pertama kalinya. Dan ketika cawan diedarkan, sekali lagi diucapkan-Nya kata-kata penetapan yang baru, ”inilah darah-Ku, darah perjanjian, yang ditumpahkan bagi banyak orang untuk pengampunan dosa-dosa.” Darah Yesus yang membebaskan kita dari semua dosa. Dengan demikian liturgi Paskah yang lama menerima cahaya dan arti yang baru (lih Mat 26:26-29). Yang cukup menarik ialah Tuhan Yesus tidak melanjutkannya dengan acara makan domba Paskah, yang sebenarnya merupakan inti perayaan Paskah itu. Padahal, Dia sendiri adalah Anak Domba Paskah yang disembelih bagi orang-orang kepunyaan-Nya.

3. Pengurbanan diri

Apa yang persis terjadi di meja Perjamuan Kudus? Berkaitan dengan pertanyaan ini, telah timbul banyak perselisihan, terutama tentang pokok ”apakah Kristus ikut hadir secara sub stansial?” Apa makna, ”Inilah tubuh-Ku”dan ”Inilah darah-Ku”? Apakah roti itu sungguh-sungguh berubah menjadi tubuh Kristus (Gereja Katolik Roma: transsubstansiasi)? Atau apakah tubuh itu hadir secara tersirat dalam tanda-tanda itu? Atau, apakah roti dan anggur itu tidak lebih dari sekadar tanda-tanda yang menunjuk ke tubuh (daging dan darah) Kristus?

Pertama, perlu kita perhatikan sambungan kata-kata Tuhan Yesus saat mengatakan ”Inilah ...” (lengkapnya: ”Ini adalah ...”). Pada waktu itu, semua orang yang turut merayakan perjamuan Paskah, langsung menyadari bahwa dengan ungkapan ”Inilah roti kesengsaraan” bukanlah roti di Mesir secara harfiah. Roti Paskah yang menanda kannya. Namun, kedua, roti itu tidak hanya sekadar tanda. Maksud perayaan itu ialah supaya kita juga mengalami apa yang ditandakan itu. Memperingati bukan berarti bahwa kita hanya mengenang kembali, tetapi kita juga sungguhsungguh menghayati apa yang kita peringati! Semua ini tentunya lebih daripada sekadar ritual.

Hal utama dalam Perjamuan Kudus bukanlah substansi yang kita makan, melainkan perjamuan itu ingin menjelaskan bahwa Siapa yang memberikan diri-Nya kepada kita melalui roti dan cawan itu, yaitu Kristus sendiri bersama segala yang dikerjakan-Nya (bnd PIGB, ps 35). Itu yang bisa juga kita simpulkan dari apa yang Yesus Kristus katakan. Yesus Kristus menghubungkan diri-Nya sendiri dengan roti dan cawan itu. Ketika berbicara tentang tubuh dan darah-Nya, Dia tidak berbicara ten tang salah satu substansi, tetapi tentang diri-Nya sendiri. Darah dan tubuh yang menunjuk kepada Kristus sendiri dalam pengurbanan diriNya di kayu salib: ”Begitulah Aku untuk kamu!” Pengurbanan yang penuh kasih itu dalam memberikan diri-Nya, itulah yang mencirikan Dia.

4. Cara yang begitu mengesankan

Lebih awal Yesus telah menyebut diri-Nya sebagai ”roti hidup” (lih Yoh 6:35, 48; TB edisi dua: roti kehidupan). Roti menjadi tanda Yesus dalam pengurbanan diri-Nya sendiri. Yesus mem berikan diri-Nya sepenuhnya sebagai roti yang hidup, yang membagi-bagikan dirinya sendiri. Kematian-Nya adalah roti kita, sarana kehidupan kita. Dia yang berkata, ”siapa saja yang memakan Aku, akan hidup oleh Aku” (Yoh 6:57). Tentu saja, itu tidak berarti bahwa dengan memakan sepotong roti, kita menggigit tubuh Yesus. Memang, daging Yesus yang memberi hidup (lih Yoh 6:51). Bukan karena hidup ilahi itu sendiri mengalir dari-Nya ke dalam kita, melainkan karena pekerjaan penebusan diselesaikan dalam tubuh itu (J. Kamphuis)! Dengan cara yang begitu mengesankan, Yesus ingin me ngatakan bahwa kita harus menerima Dia dalam pengurbanan diriNya dengan sepenuhnya dan dengan segenap hati kita.

Begitu juga dengan cawan. Cawan yang menunjukkan darah Kristus.

Ini pun yang menandakan Yesus dalam pengurbanan diri-Nya sendiri. Yesus mencurahkan darah-Nya yang mahal untuk menyelamatkan kita. Karena itu, cawan itu bisa juga disebut sulang kemerde kaan. Cawan itu sepenuhnya menandai sukacita karena kemerdekaan kita. Oleh karena itu kita mengucap syukur atasnya. Yesus memberikan diri-Nya kepada kita dengan seutuhnya. Dengan meminum dalam iman, itu berarti bahwa kita membuat Yesus sepenuhnya menjadi milik kita. Yesus tetap tinggal di surga, di sebelah kanan Allah. Tetapi, Yesus seolah-olah membagibagikan diri-Nya sendiri kepada kita melalui cawan yang kita terima.

Makan tubuh dan minum darah Kristus adalah cara yang tegas untuk mengatakan kita menerima Kristus dengan sepenuhnya sebagai ma na Dia ada bagi kita dalam pengurbanan diri-Nya. Sebenarnya dalam tiaptiap ibadah yang kita lakukan, kita pun makan dan minum dari Kristus. Kita makan dan minum dengan menerima perkataan-perkataan-Nya (lih Yoh 6:63). Hanya, ketika kita merayakan Perjamuan Kudus, semua ini dinyatakan dengan ekstra jelas kepada kita. Hendaklah Kristus memenuhi seluruh pikiran kita, sama seperti roti dan minuman yang diterima oleh tubuh kita.

5. Persekutuan

Persekutuan adalah sesuatu yang mendasar bagi perayaan Perjamuan Kudus. Kita duduk makan bersama-sama dengan Yesus sebagai Tuan pesta. Makan bersama-sama menciptakan ikatan. Persekutuan berarti bahwa sebuah ikatan yang intim, sebuah hubungan yang hangat. Kristus memakai bahasa kasih. Hal itu tidak mengherankan dalam kaitannya dengan pengurbanan diri-Nya. Tetapi, Kristus tidak hanya memberikan diri-Nya kepada kita, Dia juga meminta kita memberikan diri kita kepada-Nya. Yang menjadi inti meja perjamuan ialah kita menerima Dia, bahwa Dia menjadi satu dengan kita, dan kita dengan Dia. Dapat dikatakan bahwa hal ini bahkan lebih dari sekadar percaya kepada Kristus. Maksud perjamuan ialah supaya kita mengalami ikatan dengan Kristus (persekutuan iman). Kita bisa melihat, merasakan, dan menikmati betapa Kristus mengasihi kita! Dia menghendaki kita bertemu dengan Dia dengan cara ini. Orang percaya merespons suara Kristus untuk mengalami persekutuan dengan Dia.

Mungkin kita berpikir hal ini sangat intim. Walaupun demikian, itulah kata-kata yang dipakai Tuhan untuk mencirikan pergaulan de ngan Dia. Karena itu, bukanlah kebetulan Kitab Suci memandang per sekutuan dalam pernikahan sejajar dengan persekutuan kita dengan Kristus (lih Ef 5:32). Berkaitan dengan hal itu, kita merujuk pada ungkapan yang terkenal, ”... tulang dari tulangku dan daging dari dagingku” (Kej 2:23). Percaya kepada Kristus menyentuh seluruh kepribadian kita. Yang di bicarakan ialah persekutuan personal yang seutuhnya. ”Siapa yang mengikat kan dirinya pada Tuhan, menjadi satu roh dengan Dia” (1Kor 6:17).

Baptisan menunjukkan pada masuknya kita ke dalam perjanjiansuatu pertanda awal. Perjamuan dimaksudkan supaya kita mengalami pergaulan dalam perjanjian itu, yaitu menikmati ikatan intim dengan Kristus. Dan bukan hanya dengan Kristus! Kita juga diterima dalam perseku tuan di antara Bapa dan Anak. Kita boleh saling berbagi dalam ikatan kasih Allah sendiri, yaitu di antara Bapa, Anak, dan Roh Kudus, yang sudah ada sejak selama-lamanya. Melalui Tuhan Yesus kita juga bertemu dengan Bapa yang memberikan Anak-Nya. Perjamuan Kudus bukan semata-mata urusan orang percaya. Bukan kita yang menjadikan persekutuan itu. Tetapi, berkat anugerah, kita dipanggil pada persekutuan itu. Kita kembali ke tempat kita sebagai ciptaan di hadapan Allah Bapa. Kita boleh kembali hidup bagi-Nya. Kita diterima-Nya dengan sepenuhnya. Hanya dengan menikmati ikatan dengan Kristus, barulah kita hidup dengan sesungguhnya! Hidup ini seperti di firdaus, karena kita di ingatkan akan pohon kehidupan, yang ada di firdaus itu, yang kadang disebutkan sebagai sakramen firdaus (Calvin). Melalui tiang yang kering (”pohon kematian”) di Golgota kita seolah-oleh berhubungan lagi de ngan pohon kehidupan yang di firdaus (lih bab 6.3).

6. Roh Kudus yang mewujudkan hubungan

Tanpa karya Roh Kudus, tidak akan ada makna sepotong roti dan sedikit anggur bagi kita. Efeknya bagi kebahagiaan kita hanya sedikit. Tetapi, Roh Kuduslah yang membuat kita makan dan minum dengan mulut iman, sehingga sungguh-sungguh menerima ikatan dengan Kristus.

Roh Kuduslah yang mewujudkan hubungan. Kristus tidak turun dari surga ke bumi, tetapi oleh Roh Kudus kita dituntun kepada Kristus. Dia yang mewujudkan persekutuan itu. Pertama-tama kita diantar oleh Roh Kudus pada salib, tempat Kristus mati sambil berseru ”Sudah selesai!” (Yoh 19:30). Hal itu terjadi, 2000 tahun yang lalu, satu kali untuk selama-lamanya! Hal itu tidak perlu diulang kembali (sekalipun dalam kurban tanpa darah pada misa). Hanya atas dasar pendamaian pada waktu itu, kita dapat menikmati ikatan yang baru dengan Kristus sekarang ini. Dosa telah melepaskan ikatan itu, tetapi Dia memulihkannya. Iman yang mengarahkan diri ke kurban di kayu salib, yang sekaligus mencari persekutuan melalui Roh Kudus dengan Tuhan yang di surga. Roh Kuduslah yang mewujud kan hubungan itu (lih Kol 3:1). Dia yang membuat kita sungguh-sungguh memperingati kematian Yesus, bukan dalam arti kita mengenang ingatan-ingatan yang lama, melainkan kita menik mati ikatan dengan Kristus yang pernah mati, yang kini hidup di surga! Jadi, pada saat kita merayakan perjamuan, sesuatu yang hebat sungguh-sungguh terjadi. Roh Kudus mempersatukan kita dengan Kristus melalui peme cahan roti dan minum anggur dari cawan. Oleh pekerjaan Roh, kita sungguh-sungguh memperoleh bagian dalam Kristus di surga, sama seperti kita menerima tanda-tanda roti dan cawan. Mustahil kita memahaminya. Hal ini tetap menjadi misteri, rahasia iman.

Surga terbuka di atas meja perjamuan. Yesus Kristus yang menyambut kita di meja-Nya. Dia adalah Tuan pesta, hati-Nya terbuka untuk semua yang sudah ditebus-Nya. Hidup kita ada di atas, ”tersembunyi bersama dengan Kristus di dalam Allah” (Kol 3:1-3). Dari segi jarak memang terpisah, namun Roh menjembatani jarak itu sehingga berhubungan.

7. Efek Perjamuan Kudus

Hasil perjamuan sangat tidak seimbang dengan kesederhanaannya: hanya sepotong kecil roti yang dimakan dan seteguk anggur yang diminum. Mungkinkah hal-hal yang sesederhana ini berdampak begitu dalam pada jiwa kita? Hal ini terjadi, melampaui akal budi kita. Pekerjaan Roh tersembunyi bagi kita. Walaupun demikian, inilah perjamuan yang ditetapkan Kristus sebagai sarana di mana kehidupan rohani kita diberi makan. Lagi pula, bagaimana roti biasa dapat membuat kita tetap hidup adalah suatu misteri. Kita percaya makanan itu bergizi, dan dalam kepercayaan itu, kita menggunakan tangan dan mulut untuk menyantap makanan itu, dengan keyakinan, makanan itu akan membuat kita tetap hidup. Begitu juga, kita tidak mengerti bagaimana Perjamuan Kudus itu mampu memelihara hidup rohani kita. Tetapi, kita percaya kata-kata Yesus benar, dan dalam keyakinan itulah kita menyantap jamuan itu. Apakah ketidakpercayaan seseorang bisa membuat perjamuan tidak bermakna? Sakramen, yang dilayankan kepada orang yang tidak percaya itu, memang penuh dengan Kristus. Tetapi, jika orang itu menolak kebenaran, isi yang sesungguhnya, yaitu Kristus, maka dia tidak menerima Dia.

8. Ikatan di antara yang satu dan yang lain

Makan bersama-sama menciptakan ikatan, bukan hanya di antara kita dan Allah Tritunggal (butir 4), tetapi juga orang-orang percaya yang dipersatukan oleh-Nya. Sekali lagi, dipakai kata ”persekutuan”. Ikatan iman adalah ikatan yang kukuh dan hangat. Kita dihubungkan oleh Roh, maka kita saling menerima. Paulus mengatakan bahwa ”Kita, sekalipun banyak, adalah satu tubuh.” Roti adalah satu, dan ”kita semua mendapat bagian dalam roti yang satu itu” (1Kor 10:17). Ikatan kita dengan Kristus menciptakan ikatan antara sesama kita. Masing-masing kita dipersatukan-Nya menjadi persekutuan yang menentang kesunyian.

Kenyataannya, perjamuan tidak selalu dirayakan dengan penuh rasa hormat, bahkan bisa disalahgunakan, seperti yang jelas dalam 1 Korintus 11:17-34. Rupanya, Perjamuan Kudus dirayakan setelah selesai acara makan yang disebut jamuan kasih. Orang-orang kaya yang membawa makanan bagi kaum miskin bisa berbagi dalam kelimpahan mereka. Tetapi, ter nyata orang-orang kaya itu makan begitu banyak sehingga yang miskin hanya menonton saja. Tidak ada yang tersisa untuk mereka. Acara itu menjadi pesta mabuk-mabukan. Dengan begitu, mereka mendatangkan hukuman atas diri mereka sendiri karena tidak mengakui tubuh Tuhan (lih 1Kor 11:29). Ini jelas berkaitan dengan jemaat sebagai tubuh Kristus! Menolak dan mengabaikan anggota-anggota jemaat yang lain, namun ingin menikmati persekutuan dengan Kristus, dua hal yang saling bertentangan. Sikap seperti itu adalah sikap yang tidak tahu berterima kasih kepada Tuhan! Jadi, sikap yang ditegur Paulus ini tidak ada hubungannya dengan kelayakan diri kita di hadapan Allah, yaitu apakah kita sendiri layak duduk makan bersama-sama dengan Dia. Jika demikian halnya, tidak seorang pun yang bisa ikut meraya kan perjamuan. Justru perjamuan dimaksudkan untuk mereka yang menyadari dan mengakui bahwa mereka tidak layak di hadapan Allah. Satu-satunya kelayakan yang dengannya saya boleh duduk makan ialah ketidaklayakanku (Calvin). Roti dan anggur merupakan tanda-tanda dan jaminan kerelaan Allah untuk mengampuninya.

9. Terarah pada masa depan

Persekutuan yang terwujud pada Perjamuan Kudus terarah pada masa depan. Pada perayaan Paskah yang terakhir, Kristus mengatakan, ”Sebab Aku berkata kepadamu: Aku tidak akan memakannya lagi sampai itu digenapi dalam Kerajaan Allah.” Dan, ”Sebab Aku berkata kepada kamu: Mulai sekarang ini Aku tidak akan minum lagi hasil pokok anggur sampai Kerajaan Allah telah datang” (Luk 22:16, 18). Lalu, ”Aku menganugerahkan keraja an kepada kamu (pemahaman surat wasiat), sama seperti Bapa-Ku menganugerahkannya kepada-Ku, supaya kelak kamu makan dan minum semeja dengan Aku di dalam Kerajaan-Ku ...” (Luk 22:29-30). Perjamuan membuka pandangan ke masa depan, yang membuat kita melihat jauh ke depan. Perjamuan ialah makanan [bekal] untuk dimakan dalam per jalanan, yang dimaksudkan untuk me nimbulkan kerinduan kita akan perayaan pesta perkawinan Anak Domba. Oleh karena itu, tepat dikatakan bahwa di dalamnya kita mencicipi asas kebahagiaan kekal yang tersedia bagi kita (bnd KH p/j 58). Jika sungguh-sungguh percaya kepada Kristus, kita merasakan kesukaan yang akan datang. Dia menjamin masa depan yang gemilang, yaitu berkat penyerahan diri-Nya sebagai sumber kasih! Dalam roti Dialah roti kehidupan, dan dalam anggur Dialah penyebab sukacita. ”Bangkitlah dan angkatlah kepalamu, sebab pembebasanmu sudah dekat”, demikian kata Yesus sebelum perjamuan ditetapkan-Nya (lih Luk 21:28). Baiklah kita baca Yesaya 25:6-12 untuk mendapat gambaran tentang perjamuan yang TUHAN sediakan bagi segala bangsa, saat hidup kita semata-mata hanya diisi dengan perayaan suka cita. Arti harfiah kata ”ekaristi” (nama lain untuk perjamuan yang pakai oleh Gereja Katolik Roma) ialah pengucapan anugerah, pemberian syukur. Kita mengucapkan syukur, kita berterima kasih atas kasih karunia Allah dalam Kristus. ”Syukur hati tak henti kepada-Mu kuberi” (KJ 179).

10. Ekskursi: Bolehkah anak-anak dan remaja turut merayakan perjamuan?

Sering dipertanyakan, mengapa anak-anak dan remaja tidak diperbolehkan turut merayakan Perjamuan Kudus. Mengapa hanya anggota sidi yang boleh makan roti dan minum anggur perjamuan?

1. Pro: Anak-anak pun ikut serta dalam perayaan Paskah Perjanjian Lama. Perjamuan Kudus menggantikan Paskah. Jadi, apa sebabnya anak-anak tidak boleh meng ambil bagian dalam jamuan perjanjian Perjanjian Baru? Perjamuan kan acara makan keluarga. Sama seperti yang terjadi pada perayaan Paskah, orang meraya kan perjamuan sebagai acara keluarga.

Kontra: Tentu benar, perjamuan ditetapkan Yesus pada saat peraya- an Paskah. Tetapi, hal ini tidak berarti bahwa kita serta-merta me nyimpulkan perjamuan adalah lanjutan Paskah, atau bahkan penggantinya. Ternyata, dalam menetapkan perjamuan, Tuhan menghubungkannya dengan unsur-unsur pemecahan roti dan pengedar an cawan. Tetapi, dua kegiatan ini tidak hanya ada dalam jamuan Paskah, melainkan terjadi juga pada acara makan pesta-pesta Yahudi yang lain. Perjamuan memang mengingatkan kita akan makanan Paskah. Sama seperti pembebasan dari perbu-

dakan dosa mengingatkan kita akan pembebasan dari perbudakan di Mesir. Namun, Tuhan Yesus sungguh-sungguh menetapkan sesuatu yang baru. Hal itu jelas dari kenyataan bahwa Dia tidak menyambungkan pada unsur inti Paskah, yaitu makan anak domba Paskah. Pada saat mereka makan anak domba itu, Dia tidak menunjuk kepada diri-Nya sendiri dengan kata-kata,”Akulah anak domba Paskah.” Lagi pula, perjamuan bukanlah acara makan keluarga, seperti halnya Paskah. Tuhan Yesus merayakannya bersama murid-murid-Nya. Perjamuan tidak diposisikan di dalam keluarga, tetapi di dalam persekutuan jemaat.

2. Pro: Oleh baptisan, anak-anak menjadi anggota-anggota jemaat dan termasuk dalam perjanjian Allah. Perjamuan adalah perayaan perjanjian itu. Jadi, atas dasar baptisan mereka, anak-anak berhak turut merayakan perjamuan sebagai acara makan jemaat. Apa alasannya baptisan anak diperbolehkan, tetapi perjamuan anak tidak? Padahal, anak-anak itu termasuk dalam jemaat. ”Biarkan anak-anak itu datang kepada-Ku, jangan halang-halangi mereka,” demikian kata Tuan pesta (Mrk 10:14).

Kontra: Tidak tepatlah argumentasi untuk mendukung baptisan anak dipakai untuk perjamuan anak. Pertama, semua orang setuju bahwa urutannya, yaitu orang dibaptis lebih dahulu, lalu dia merayakan perjamuan. Baptisan dan perjamuan tidak mungkin ditukar urutannya. Kedua, baptisan boleh dilayani hanya satu kali saja, pada hal perjamuan diulang terus-menerus. Apa yang sama sekali tidak diperboleh kan terjadi dalam baptisan, justru harus terjadi dalam perjamuan. Ada lagi perbedaan yang penting antara baptisan dan perjamuan, yakni kita mengalami baptisan secara pasif. Sebaliknya, perjamuan adalah acara makan yang mengharapkan keaktifan kita sendiri. Tuhan Yesus yang berkata, ”Ambil, makan, dan minum!” Dan siapa yang makan dan minum harus mengakui tubuh Tuhan (lih 1Kor 11:29). Kata mengakui (atau: membedakan) ini berarti: menilai benar-benar, menghargai dengan

sungguh-sungguh. Siapa yang makan dan minum, memberitakan kematian Tuhan (lih 1Kor 11:26). Akhirnya, Perjanjian Baru tidak memberikan petunjuk sedikit pun menge nai hal perjamuan bagi anak-anak. Padahal, itu benar-benar terjadi dalam baptisan anak: orang dibaptis dengan seisi rumahnya (lih Kis 16:33-34)!

3. Pro: Anak-anak percaya sama seperti orang tua mereka. Ketika mereka tidak diper bolehkan merayakan perjamuan, kita menyangkal bahwa mereka pun dapat beriman. Mengenai iman itu, bukankah Kristus justru membuat anak-anak menjadi teladan bagi kita yang dewasa? Lagi pula, bukankah anak-anak mudah dalam memahami bahasa simbol yang digunakan dalam sakramen? Iman mereka pun memerlukan pengukuhan, sama seperti iman kita. Dan mengenai doa, kita malah tidak akan menuntut doa anak sebagus doa orang dewasa. Apakah Allah tidak akan menerima doa anak yang demikian?

Kontra: Agar bisa turut dalam perjamuan, kita perlu menguji dan me- nilai diri kita sendiri. Kemampuan ini menuntut kematangan tertentu. Perjamuan Kudus adalah jamuan yang dikhususkan bagi jemaat yang mengaku imannya. Dengan cara seperti itulah Yesus menyapa para murid-Nya, dan Paulus menyapa jemaat. Tidak berarti anak-anak tidak percaya. Dalam hal ini mereka bahkan bisa menjadi contoh untuk kita yang dewasa. Tetapi, anak-anak jangan diharuskan men jadi seperti orang-orang dewasa. Seorang anak masih perlu bertumbuh dalam penge tahuan iman untuk bisa merayakan perjamuan dengan kesadaran yang penuh. Dari seorang anak tidak mungkin kita menuntut ia bertanggung jawab penuh. Memang benar, pada prinsipnya perjamuan diperuntukkan bagi orangorang Kristen yang dibaptis. Hanya, yang dimaksudkan ialah orangorang yang dalam hidupnya baptisan terwujud, baik sebagai firman Allah yang kelihatan maupun sebagai jawaban dirinya sendiri yang kelihatan (bnd 1Ptr 3:21).

Baptisan anak menunggu sebuah tindakan lanjutan, yaitu peng- akuan iman pribadi dari anak itu sendiri. Calvin menyebutkannya sebagai ”penggu naan sakramen untuk kedua kalinya. ”Pada saat anak-anak dibaptis, mereka belum mampu untuk mengaku iman sendiri. Penggunaan sakramen yang kedua kali itu terjadi di kemudian hari, yaitu ketika anak-anak itu mengaminkan baptisannya. Siapa yang belum mampu untuk mengaku imannya, menyatakan dirinya belum mampu menguji diri dan bertanggung jawab sendiri. Agak memaksakan, jika orang tua memasukkan roti dan anggur perjamuan ke dalam mulut anak-anak mere ka. Karena keputusan pribadi yang harus mereka ambil sendiri, kurang dihormati. Terjadinya baptisan anak memang adalah kesimpulan dari janji firman Allah yang diucapkan-Nya atas hidup anak-anak itu. Terjadinya perjamuan anak bukanlah kesimpulan dari firman Allah, tetapi mendahului jawaban yang Allah minta dari anak-anak itu sendiri (H. de Jong). Apa yang perlu anak-anak ucapkan sendiri, janganlah kita membuatnya menjadi hal yang otomatis semata-mata.

4. Bagaimana praktiknya di zaman Reformasi? Orang yakin bahwa baptis- an anak meminta jawaban yang cepat, yaitu pengakuan iman. Iman dan baptisan saling berkaitan, begitu pun baptisan dan perjamuan. Keikutsertaan dalam perjamuan janganlah ditunda karena alasan-alasan yang tidak perlu. Artinya, dalam praktik bahwa pemuda-pemudi, yang usianya kira-kira 12-15 tahun, diizinkan mengikuti perjamuan. Tetapi, ini didahului oleh program pelajaran (katekisasi) mengenai pokok-pokok inti ajaran Kitab Suci. Pengetahuan dasar diajarkan kepada mereka, tentang Allah Tritunggal, Kesepuluh Firman, dan Doa Bapa Kami. Pada waktu itu, mengaku iman disebut konfirmasi, yang berarti bahwa mengiakan, mengaminkan, atau meneguhkan janji Allah. Tetapi, setelah itu terjadi, katekisasi akan berlanjut terus! Karena masih banyak hal yang dapat diperdalam dan diperluas. Katekisasi itu biasanya dilanjutkan sampai usia orang menikah.

Pada abad ke-16 pemuda-pemudi berusia 12-15 tahun dinilai dan sudah menunjukkan sikap yang bertanggung jawab, dan tampaknya lebih cepat dewasa, juga lebih cepat menikah ketimbang di zaman kini. Dalam

praktiknya dewasa ini, banyak orang muda menunda-nunda peng akuan iman mereka sampai usia 18 atau 20 tahun. Itu berarti bahwa jarak antara baptisan dan perjamuan semakin jauh. Padahal, pengukuhan dan dorongan iman justru sangat dibutuhkan pada masa usia remaja (pubertas). Saat ini terdengar usulan-usulan untuk mengizinkan para pemuda lebih cepat meng ikuti perjamuan, setelah mengambil keputusan tentang iman mereka lebih dahulu, berdasarkan pendidikan selama beberapa tahun. Dengan cara demikian, anggota-anggota muda bertumbuh de ngan perlahan-lahan dalam iman, dan bisa diterima merayakan perjamuan lebih awal. Kemudian mereka dapat terus bertumbuh dan memperdalam pengetahuannya melalui katekisasi lanjutan, yang didampingi dengan perhatian pastoral bagi masalah-masalah kehidupan yang konkret. Perubahan seperti ini masih banyak dipertanyakan. Misalnya, bagaimana keputusan iman diuji setelah pengajaran selama beberapa tahun itu? Kapankah seorang pemuda/i yang berusia sekitar 16 tahun siap ikut merayakan Per jamuan Kudus? Bagaimana kebijakan dalam hal penundaan perjamuan untuk pemuda-pemudi yang ternyata masih mengalami banyak kesulitan dan belum siap mengaku imannya? Keuntungan dan kelemah an perubahan itu masih perlu diper timbangkan dengan baik.

Setiap hari mendalami firman Tuhan

1. Keluran 12:21-28 (Penetapan Paskah).
2. Keluran 24:6-11 (Makan dan minum di hadapan Allah).
3. Lukas 22:24-30 (Percakapan dalam perjamuan).
4. Kisah Para Rasul 2:41-47 (Roti dan cawan).
5. 1 Korintus 11:17-22 (Penyalahgunaan perjamuan).
6. Wahyu 3:14-22 (Dia datang makan bersama-sama).
7. Wahyu 19:6-10 (Perkawinan Anak Domba).

Pertanyaan diskusi

1. Apa yang membuat Perjamuan Kudus menjadi pengalaman yang begitu istimewa? Bagaimana pengalaman Anda mengikuti perjamuan?
2. Persekutuan dalam perayaan perjamuan sangat hakiki. Yang menjadi intinya ialah relasi intim kita baik dengan Kristus maupun dengan anggota-anggota jemaat lainnya. Apakah hal keintiman itu tidak berlebihan?
3. Apakah kita bisa menyalahgunakan perjamuan seperti yang terjadi dalam jemaat Korintus? Dengan cara-cara yang bagaimanakah bisa membuat perjamuan menjadi tidak kudus?
4. Dalam Tata cara perayaan Perjamuan Kudus yang klasik2 terdapat apa yang disebut ”katalog dosa-dosa”. Apakah Anda mengenali Kesepuluh Firman di dalamnya? Apa sebenarnya fungsi daftar ini?
5. Ada gereja-gereja yang kebanyakan jemaatnya takut-takut merayakan Perjamuan Kudus. Bahkan mereka yang telah mengaku imannya dengan yakin, tidak biasa duduk makan dan minum di meja perjamuan. Apakah kita bisa menghargai sikap seperti itu? Di sisi lain, ikut perjamuan dengan sembarangan juga tidak baik, bukan?
6. Apakah hanya anggota-anggota gereja sendiri yang diperbolehkan merayakan perjamuan? Atau, menurut Anda, bolehkah tamu-tamu yang berasal dari gereja lain ikut ambil bagian?
7. Apa pendapat Anda tentang beberapa bentuk perayaan perjamuan yang lazim dipakai, seperti:

  • Makan roti dan minum anggur sambil duduk bersama-sama di depan meja;
  • Roti dan cawan dibagi-bagi ke tempat duduk, lalu dinikmati entah langsung setelah menerimanya atau bersama-sama setelah semuanya menerimanya (anggur diberikan dalam cangkircangkir yang kecil);
  • Roti dan cawan dihidangkan di depan kepada jemaat yang datang mengambilnya dalam barisan panjang;
  • Roti dan cawan diserahkan kepada para anggota satu demi satu, sambil berdiri bersama-sama di depan dalam bentuk lingkaran;
8. Pertimbangkan semua pro dan kontra tentang keikutsertaananak-anak merayakan perjamuan. Cobalah melihatnya dari sudut pandang anak-anak yang ingin sekali ikut serta dan agaknya merasa dikesampingkan. Apa yang bisa Anda katakan kepada anak-anak tersebut?
9. Ketika merayakan perjamuan, apakah Anda memang terarah ke masa depan?

Informasi Buku

  1. PDF
  2. Penulis:
    Dr. Egbert Brink
  3. ISBN:
    978-602-1006-17-7
  4. Copyright:
    © 2000. Dr. Egbert Brink
  5. Penerbit:
    Yayasan Komunikasi Bina Kasih