6. Gambar ALLAH

1. Gambaran manusia

Bagaimana gambaran manusia? Apakah gambaran itu positif, artinya kita penuh harap an terhadap semua hal tentang? Atau negatif, dalam arti kita siap dikecewakan oleh manusia? Atau kedua-duanya, baik positif maupun negatif? Bagaimana kita memandang manusia? Siapa yang mengandalkan ajaran evolusi, tentu akan mengenali sisi ”binatang” dalam diri kita. Menurut evolusi, naluri manusia untuk bertahan hidup berasal dari naluri pemangsa nenek moyang hewani kita. Di satu sisi, dia berkemauan kuat untuk tidak binasa. Di sisi lainnya, dia berjiwa pemenang sebagai yang paling kuat. Semuanya itu berasal dari masa lampau kebinatangan kita di masa purba. Menurut mereka yang percaya ajaran evolusi, selalu tercakup sudut yang negatif di dalamnya. Dari awalnya tidak akan berubah. Apakah yang negatif itu bisa (akan) dikalahkan oleh yang positif, tergantung pada gambar yang kita miliki tentang manusia.

2. Baik dari semula

Pandangan Alkitab tentang manusia sangat berbeda. Sejak semula manusia digambarkan dengan keadaan yang baik adanya. Alkitab tidak menggambarkan manusia sebagai makhluk yang primitif. Adam dan Hawa tidak diperkenalkan sebagai sepasang makhluk yang bodoh dan lugu, dan mereka tidak dilukiskan bagai sejenis binatang yang lebih tinggi tingkatnya dengan naluri pemangsa. Dari semula mereka diciptakan dengan sungguh amat baik. Arti harfiah kata bahasa Ibrani tof yang dipakai ialah ”baik” ”utuh” (lih Kej 1:31). Tepat seperti yang dikehendaki Allah. Tidak ada cacat pada mereka, tidak ada yang kurang. Sama sekali mereka tidak mempunyai sisi yang negatif. Jika Allah memperkenalkan Hawa kepada Adam, maka Adam pun menyambut Hawa sebagai manusia yang utuh (lih Kej 2:23).

3. Menurut gambar Allah

Semua binatang diciptakan Allah menurut jenis mereka masing-masing, sementara manusia dijadikan menurut gambar Allah sendiri. Manusia diberikan posisi yang sangat tinggi, yaitu ”hampir sama seperti Allah” (lih Mzm 8:6). Manusia mendapat status yang istimewa; kudus. Status itulah yang dimaksud dalam sebutan ”menurut gambar Allah”. Apa kah itu berarti bahwa secara asal manusia serupa dengan Allah? Allah itu unik. Dengan siapa kita bisa mengumpa makan-Nya?

Allah berkenan menggambarkan diri-Nya pada cara tertentu, yaitu dengan menciptakan manusia. Diciptakan-Nya makhluk yang berkepriba dian, seperti diri-Nya sendiri. Hal-hal yang tercakup di dalam ”pribadi” itu ialah potensi berpikir, berperasaan, berkeinginan, berbicara, menjawab, memilih, mengasihi, berdaya cipta. Allah menciptakan manusia sedemikian rupa sehingga terhadap semua potensi itu manusia serupa dengan Dia. Secara asal manusia dilengkapi dengan akal yang jernih, perasaan yang halus, keinginan yang tulus, dan hati nurani yang murni. Dalam priba dinya itu, manusia serupa dengan Allah, berbeda dari semua ciptaan lainnya. Khususnya menge nai kepribadiaan kita, kita unik dibanding semua makhluk lainnya. Status yang sangat isti mewa itu juga mencakup tugas yang sesuai, yaitu mengelola dan menjaga bumi dan memelihara semua ciptaan. Dalam memelihara seluruh penciptaan Allah, manusia menyata kan diri sebagai gambar Allah, yaitu dengan mewakiliNya di bumi (lih Kej 1:26-28).

4. Posisi yang bertanggung jawab

Cara Allah dengan menciptakan manusia yang adalah gambar Allah terjadi dengan sangat indah, ketika Adam boleh mem berikan nama kepada semua binatang. Dalam Alkitab, orang yang memberikan nama kepada seseorang berarti bahwa orang tersebut berwibawa atau berkuasa atas yang menerima nama itu (bnd 2Raj 24:17). Manusia menamai semua binatang, membuktikan bahwa manusia berkuasa atas mereka sebagai raja. Perhatikan, Allah tidak membisikkan kepada manusia, bagaimana seharusnya manusia menamai binatang-binatang itu. Adam diperbolehkan untuk memilih sendiri nama-nama itu. Dan Allah sangat percaya kepada Adam, hingga Dia telah menye tujui sebelumnya (lih Kej 2:19). Memberikan nama, kedengarannya hal yang sederhana. Namun, hal itu memerlukan pengertian yang semestinya, juga kemampuan untuk membedakan. Perlu ada pengetahuan untuk membeda kan binatang yang satu dari yang lain, mengenali ciri-ciri semua binatang, dan juga kemam puan untuk menamainya secara tepat. Tentu saja, itu bukan hal yang gampang! Diperlukan telinga, mata, hati, akal, dan tangan untuk memberikan nama secara saksama. Manusia diperlengkapi Sang Pencipta dengan semua karunia itu. De ngan demikian, manusia memperoleh kepercayaan dan tanggung jawab dari Allah, juga mendapat kesempatan yang luas untuk bertindak sesuai pengertiannya sendiri. Dalam semua itu manusia berbeda dari semua ciptaan yang lain.

5. Di bawah Allah

Dalam diri manusia, Allah ingin mendapatkan mitra, yakni ”pribadi” yang dengannya Allah bisa bergaul, makhluk yang membalas kasih Allah dengan kasihnya sendiri, seseorang yang bisa memuliakan Allah karena karya-Nya. Jadi, manusia bukanlah robot yang telah diprogramkan sebelumnya, melainkan orang yang berdarah-daging, yang mempunyai keinginan, perasaan, dan pengertian sendiri. Allah bukanlah pemain boneka yang menganggap manusia sebagai marionet yang talinya dipegang-Nya dengan kuat, seolah-olah Dia mau menentukan dan menguasai semua kata, semua perbuatan, dan semua gerakannya. Tetapi, Allah memberikan tanggung jawab kepada manusia, dan juga kebebasan yang sedemikian rupa untuk memenuhi tanggung jawab itu.

Penciptaan manusia yang hampir sama seperti Allah itu, mengandung ”risiko”. Termasuk kemungkinan manusia memilih untuk melawan Allah. Bisa saja posisinya yang tinggi di bawah Allah, tergeser ke tempat yang tanpa Allah. Tentu saja, pilihan seperti itu hampir ”tidak mungkin”, justru karena Allah telah mengatur hubungan yang lembut dengan manusia. Saat manusia ingin hidup tanpa Allah, akibatnya hubungan (kepercayaan) yang asli itu akan terputus.

Untuk mencegah hal itu, Allah menempatkan pohon kehidupan dan pohon penge tahuan tentang yang baik dan yang jahat di taman Eden. Pohon kehidupan yang menunjukkan bahwa kehidupan dalam hubungan dengan Allah, itulah hidup yang sejati. Hendaklah manusia tetap setia sebagaimana awalnya. Hendaklah manusia, sebagai wakil Bapa Pencipta, tetap terarah kepada-Nya. Allah menempatkan pohon pengetahuan tentang yang baik dan yang jahat supaya manusia jangan hidup tanpa Allah, dan berkeinginan untuk menen tukan sendiri apa yang baik dan apa yang jahat. Jika hal itu terjadi, manusia akan tersesat. Kejahatan dimulai saat manusia melepaskan diri dari Allah. Menggeser dari posisi di bawah Allah itu sama dengan kejahatan! Jadi, perintah yang terkenal sebagai ”perintah percobaan”, yaitu untuk tidak makan dari pohon tersebut, bukanlah perangkap. Perintah itu tidak dimaksudkan untuk mencobai manusia, sehingga manusia keliru atau bahkan jatuh (karena itu istilah ”perintah percobaan” mungkin tidak begitu tepat), melainkan sebagai peringatan yang penuh kasih. Maksud perintah Allah di Firdaus itu ialah agar manusia, dalam tanggung jawabnya sendiri, tetap terikat pada Allah. Dengan demikian terlihat jika manusia memilih Allah dengan sukarela, artinya bahwa dia mengasihi Allah.

6. Di tengah-tengah orang-orang lain

Allah tidak menciptakan manusia sebagai produk massal yang semuanya sama. Hal ini jelas terlihat dari pasangan manusia pertama; Adam berbeda dengan Hawa. Mereka tidak sama, namun setara. Ciri khas laki-laki dan ciri khas perempuan sama haknya. Baik laki-laki maupun perempuan diciptakan menurut gambar Allah (karena itu Allah Pen cipta bisa mengumpamakan diri dengan seorang ayah dan sama baiknya dengan seorang ibu! bnd Mzm 103:13; Yes 49:15; 66:13). Perbedaannya bukan hanya dalam jenis kelamin, melainkan juga dalam bidang sifat, kemam puan, bakat, dan lain-lain. Allah tidak menginginkan manusia massal yang seragam, melainkan umat manusia yang berwarna-warni.

Sejak semula, tidak ada perbedaan antara satu individu dan individu lain. Meskipun bakat-bakat itu diberikan untuk semua orang, tetapi semua orang pasti mempunyai ciri khasnya sendiri. Maksudnya supaya semua anak manusia-laki-laki dan perempuan-bisa hidup dan berkarya sesuai bakatnya.

7. Dalam hubungan-hubungan yang tertentu

Semua individu adalah ciptaan yang unik, namun mereka saling membutuhkan, bukan untuk hidup sendiri-sendiri sebagai pribadi. Dengan demikian, laki-laki dan perempuan ditentukan untuk saling melengkapi dalam per nikahan. Hubungan yang hidup ini yang dibentuk Allah dari semula. Juga peranan sebagai orangtua dengan semua tugas yang bersangkutan, termasuk di dalamnya. Karena Allah mengatakan kepada Adam dan Hawa, yang tidak memiliki orang tua, ”Sebab itu seorang lakilaki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya” (Kej 2:24). Sebagai ayah dan ibu, mereka menggambarkan Allah dalam memelihara anak-anak mereka. Di kemudian hari, hubungan hi dup antara suami dan istri bersama anak-anak mereka itu disebarluaskan ke berbagai hubungan sosial yang lain (pemerintah, sekolah, hu bungan kerja). Sebetulnya, semua hubungan itu tidak dibentuk oleh Allah secara langsung, namun berkem bang dari hubungan pernikahan itu.

8. Dalam lingkungan hidupnya

Allah menginginkan manusia menunjuk citranya sebagai gambar Allah. Untuk itu Ia langsung mengaitkan tugas-tugas kepadanya. Manusia mewakili Allah di bumi dalam pemeliharaan lingkungan hidupnya. Hal itu kita sebutkan sebagai pengurus (dl bh Inggris stewardship), penge lola milik Allah. Dengan demikian, manusia menerima tanggung ja wab memelihara lingkungan hidupnya. Hendaknya manusia tidak merusak lingkungan alamnya, tetapi mengelola dan melindunginya dengan saksama. Manusia bisa melakukannya, asal saja dia meman dang dirinya sendiri sebagai penanggung jawab dan mengakui Allah sebagai Pemilik yang tertinggi alam ini.

9. Unik dalam berhubungan

Dari semua yang diuraikan di atas, jelaslah bahwa manusia memang unik. Manusia tidak diciptakan sebagai individu yang hidup sendirian. Keunikan semua orang akan tampak dengan maksimal dalam hubungannya kepada Allah dan sesama manusia. Siapa yang mencari keunikan dalam dirinya sendiri, akan mengalami penemuan yang mencengangkan, karena dalam hal ini manusia sama seperti sebuah bawang (W.G. Rietkerk). Bagian bawang yang paling tengah itu kosong. Bawang itu sebenarnya terbentuk oleh kulit-kulit yang di sekeliling inti yang kosong itu. Keunikan manusia bukanlah inti yang dalam, atau yang ilahi. Apa yang ada di dalam diri kita, hanya muncul dalam hubungan kita dengan orang-orang lain. Keunikan manusia berkembang dalam hubung an dengan sesamanya. Manusia unik dalam hubungan-hubungan yang di dalamnya dia ditempatkan Allah. Arti hidup tidak terletak dalam diri kita, tetapi dalam hubungan kita dengan Allah dan sesama. Sebagai ciptaan, kita dikehendaki Allah untuk hidup bersama dengan sesama kita.

10. Posisi yang tinggi

Allah memiliki maksud yang baik terhadap manusia. Sebagai gambarNya, manusia persis seperti apa yang dibayangkan-Nya. Tetapi, apakah manusia tetap menunjukkan gambar Allah itu? Apakah manusia bisa bertanggung jawab dalam posisi yang tinggi itu? Sayang sekali manusia jatuh, tetapi Anak Allah sanggup memulihkan gambar yang asli (Bab 8.11).

Setiap hari mendalami firman Tuhan

1. Kejadian 1:26-27; 9:6-7 (Diciptakan menurut gambar Allah).
2. Mazmur 8 (Hampir sama seperti Allah).
3. Kolose 1:15-18 (Dialah gambar Allah yang tidak kelihatan).
4. 2 Korintus 4:1-6 (Yang adalah gambaran Allah).
5. 2 Korintus 3:17-18 (Diubah menjadi serupa dengan gambar-Nya).
6. Kolose 3:5-10 (Diperbarui menurut gambar Penciptanya).
7. Yakobus 3:7-10 (Manusia yang diciptakan menurut rupa Allah).

Pertanyaan diskusi

1. Bagaimana gambaran manusia Anda? Apakah gambaran itu positif atau negatif?
2. Apa artinya, Anda diciptakan menurut gambar Allah untuk hubungan dengan diri Anda sendiri?
3. Apakah memang bisa dikatakan penciptaan manusia mengandung ”risiko” bagi Allah? Apa yang membuat ”risiko” ini begitu berbahaya?
4. Apakah Allah tidak mencobai ciptaan-Nya dengan menempatkan pohon pengetahuan tentang yang baik dan yang jahat itu? Apakah itu sungguh-sungguh dilakukan-Nya karena kasih?
5. Apakah manusia masih tetap merupakan gambar Allah ketika mereka tidak mewakili-Nya (bnd Kej 9:6, dst; Yak 3:9, dst)?
6. Apa perbedaan antara ”tidak sama” dan ”tidak setara”?
7. Apa pentingnya hubungan-hubungan antarmanusia bagi manusia itu sendiri?

Informasi Buku

  1. PDF
  2. Penulis:
    Dr. Egbert Brink
  3. ISBN:
    978-602-1006-17-7
  4. Copyright:
    © 2000. Dr. Egbert Brink
  5. Penerbit:
    Yayasan Komunikasi Bina Kasih