24. BERDOA Bagaikan Bernapas

1. Berbagai pertanyaan praktis

Mengapa kita berdoa, kepada siapa, dan apa tujuannya? Kapan kita berdoa, berapa sering, dan berapa lama? Untuk apa kita berdoa, dan untuk siapa? Inilah pertanyaan-pertanya an yang timbul bila kita mulai bicara tentang pokok doa. Semua itu pertanyaanpertanyaan praktis yang ditujukan pada kehidupan doa kita. Sebelum membaca lebih lanjut, coba kita menjawab pertanyaanpertanyaan tadi bagi diri kita sendiri.

2. ”Menapaskan” anugerah

Satu lagi pertanyaan yang belum disebut, yaitu apa itu berdoa? Ada yang membandingkannya dengan bernapas. Hal itu tepat. Doa berarti kita menarik napas yang Allah hembuskan. Itu yang kita lakukan dalam memelihara hubungan yang hidup dengan Dia. Titik awalnya ialah firman Allah yang dihembuskan-Nya sendiri (lih bab 2.3). Jika kita memberikan kesempatan kepada Tuhan untuk berbicara, artinya kita siap sedia mendengar firman-Nya-hembusan napas-Nya keluar bagi kita. Tetapi, setelah itu Dia juga menantikan kita menghirup napas-Nya dan mengungkapkan pikiran-pikiran kita selayaknya kita menghembuskan napas. Jika tidak, kita akan sesak napas. Mengenai perbuatanperbuatan kita-yang kita lakukan dengan penuh rasa tanggung jawab1-yang biasanya kita pikirkan ialah melakukan firmanfirman-Nya. Itu memang penting, tetapi mungkinkah kita taati tanpa berdoa? Segala-galanya hanya bisa kita perbuat dan alami dalam hubungan langsung dengan Tuhan, yakni melalui doa. Karena itu berdoa bagaikan bernapas. Kita menghirup anugerah dari Allah! Itu yang kita lakukan dengan memberitahu kan kebutuhan-kebutuhan kita, mengakui kesalahan kita, dan mengungkapkan kelemahan kita kepada-Nya. Berdoa itu seperti menapaskan anugerah (bnd orang sakit yang karena sesak napas dibantu de ngan pernapasan buatan).

3. Pergaulan yang hidup

Untuk menjadi Kristen, kita perlu berdoa. Kita melihat hal itu terjadi pada saat orang bertobat. Mereka mulai berbicara kepada Allah yang hidup, dalam doa. Pertobatan tidak mungkin terjadi tanpa adanya hubungan doa. Untuk tetap sebagai Kristen, kita pun harus berdoa. Saya berani mengungkapkan pernyataan bahwa kekristenan kita sejalan dengan seberapa baik kehidupan doa kita. Makin kurang kita berdoa, makin jauh kita dari Allah! Karena seorang Kristen yang semakin terlepas dari doa, menjauhkan diri dari Allah yang hidup hingga lama-kelamaan terpisah dari-Nya.

Doa yang hangat adalah bukti keterikatan kita dengan Tuhan. Doa mengandaikan adanya hubungan yang akrab. Doa mencirikan sebuah relasi yang baik yaitu terikatnya hidup sese orang dan ter jalinnya dengan hidup orang yang lain, termasuk keinginan untuk berkomu nikasi satu de ngan yang lain, dan kesediaan untuk mempertanggungjawabkan dirinya sendiri kepada yang lain. Hubungan dengan Allah seperti ini kita sebut dengan perjanjian (lih bab 14). Salah satu ciri penting perjanjian itu ialah relasi yang stabil. Perjanjian itu bukanlah suatu pertemuan yang sepintas saja, di mana kedua pihak berjumpa sebentar lalu bubar, melain kan relasi yang berdurasi sepanjang masa. Sejak awal, relasi perjanjian terwujud di mana pihak yang paling kuat menawarkan perlindungan kepada pihak yang lebih lemah, dan di mana yang paling lemah mengenali yang lebih kuat. Secara khusus, hal itu terjadi antara Allah dan manu sia. Tuhan yang mengambil prakarsa. Dia yang menawarkan hidup, perlindungan, dan kasih. Tetapi, Ia menghendaki kita memintanya dalam doa (bnd Mzm 50:15). Dia juga ingin dimulia kan karenanya.

Di samping nya nyian, doa adalah sarana yang indah untuk menghormati nama Allah. Apa arti doa kalau bukan memuji Dia TUHAN Allah ingin kita berdoa (bnd Mat 7:7). Tuhan ingin mendengar dari kita sendiri tentang bagaimana hidup kita berlangsung. Dia ingin mendengar dari kita bahwa kita tidak bisa hidup di luar Dia; bahwa segala yang kita miliki, kita miliki berkat Dia (lih 1Kor 4:7). Dia ingin dilibatkan dalam hidup kita dan sama sekali tidak mau dikesampingkan. Dia bahkan ingin memper gunakan doa-doa kita menjadi sarana untuk mencapai tujuan-Nya sendiri. Rencana-rencana-Nya dilaksanakan-Nya melalui orang-orang yang berdoa (lih Why 5:8; 8:3-4).

4. Kendala-kendala

Bisa saja terjadi kehidupan doa kita berkurang atau kita lemah dalam berdoa. Bahkan doa mampu membuat kita kecewa. Hal itu sangat tergantung dari harapan-harapan yang kita miliki ketika berdoa. Kita akan bicarakan hal tersebut lebih lanjut. Terlebih dahulu, kita perhatikan kendala-kendala umum yang timbul karena situasi zaman. Saya menyebutkan beberapa:

  • Kenyataan alam semesta ini begitu sangat besar sehingga orang masih sulit percaya bahwa Allah mencampuri urusan manusia dengan sedemikian intensif. Mampukah Dia memberikan perhatian yang sama kepada semua pribadi? Jika ingin doa kita dikabulkan, kata orang, maka kemungkinan terkabul sama kecilnya seperti kesempatan kita menang lotre.
  • Gambar mengenai Allah yang melebihi segala-galanya dan yang bisa campur tangan kapan saja, mendapat tantangan zaman. Permasalahan yang rumit pada abad ke-21 ini agaknya tidak bisa di hadapiNya. Kalaupun Dia mampu, Dia pasti sudah lama menanganinya.
  • Apa yang bisa diurus sendiri oleh orang-orang dewasa, tidak perlu mereka sampaikan kepada Allah. Pada masa sekarang, kita tidak lagi bergantung kepada-Nya seperti zaman dahulu. Misalnya, kalau kena infeksi paru-paru, kita hanya perlu diberi obat penisilin oleh dokter, dan biasanya akan sembuh. Manusia mampu mengatasinya sehingga sepertinya dia hanya merasa perlu berdoa dalam keadaan darurat yang ekstrem saja.
  • Hidup kita begitu terburu-buru sehingga dalam banyak hal kita kehilangan ketenangan dan keteraturan. Hal ini berpengaruh dengan kehidupan doa kita. Semakin banyak orang yang tidak lagi me ngenal keteraturan hidup seperti pada masa yang lalu yang berhubungan dengan waktu-waktu yang sudah tetap (msl, jam-jam makan). Atau orang tidak lagi bisa tenang, karena pikiran-pikirannya ke manamana.
  • Bentuk doa masih tetap dipertahankan, tetapi yang tersisa hanya pengucapan sedemikian rupa namun kering. Bibirnya bergerak, tetapi hatinya tertutup. Yang diungkapkannya hanyalah kata-kata biasa dan usang semata-mata, yang sering kali tidak berarti bagi si pendoa. Makna doa sudah merosot. Sering dilakukan hanya untuk memenuhi kewajiban. Kendala-kendala itulah yang sangat mengganggu praktik doa kita. Doa-doa kita juga bisa dihambat dengan cara yang lain pula. Firman Allah yang menyebut beberapa alasan:
  • Siapa memalingkan telinganya untuk tidak mendengarkan hukum, juga doanya adalah kekejian” (Ams 28:9).
  • Kamu tidak memperoleh apa-apa, karena kamu tidak berdoa. Atau kamu berdoa juga, tetapi kamu tidak menerima apa-apa, karena kamu salah berdoa, sebab yang kamu minta itu hendak kamu habiskan untuk memuaskan hawa nafsumu” (Yak 4:3).
  • Sebab siapa yang berpaling kepada Allah, ia harus percaya bahwa Allah ada, dan bahwa Allah memberi upah kepada orang yang sungguh-sungguh mencari Dia” (Ibr 11:8). Jadi, kurang percaya bisa menghalangi doa. Padahal ”Dia yang dapat melakukan jauh lebih banyak daripada yang kita doakan atau pikirkan” (Ef 3:20).
  • Mengenai doa, Tuhan Yesus memberi peringatan terhadap ”banyaknya kata-kata” yang dipakai si pendoa untuk mengarahkan perhatian pada dirinya sendiri (lih Mat 6:5-8). Doa-doa yang sangat panjang itu tidak akan kedengaran lebih jauh dari orang saleh itu sendiri, dan hanya akan berputar-putar pada dirinya sendiri.
  • Nasihat Petrus kepada suami-suami, ”hiduplah bijaksana dengan istrimu ... supaya doamu jangan terhalang” (1Ptr 3:7).

5. Sadarilah kepada Siapa kita berdoa

Tuhan Yesus yang mengajar kita untuk menyapa Allah sebagai Bapa di surga. Dengan itu, sekaligus dibangkitkan-Nya kepercayaan (”Bapa kami”) dan jarak (”yang di surga”). Hendaknya kita menyadari kepada Siapa kita berbicara, yaitu kepada Yang Maha Mulia dan Yang Maha Tinggi. Pengkhotbah pun telah mengatakannya, ”Allah ada di surga dan engkau di bumi; oleh sebab itu, biarlah perkataanmu sedikit” (Pkh 5:1). Tetapi, jarak itu tidak menghilangkan kenyataan bahwa Allah bisa dipercaya. Dia yang mengundang kita untuk datang kepada-Nya. Dan kita tidak harus mencapai prestasi tertentu lebih dahulu, sebelum Dia bersedia menyam but kita. Kita datang bukan atas dasar kemampuan kita sendiri, tetapi atas dasar karya yang diselesaikan oleh Kristus. Kita berdoa kepada Bapa, melalui Anak-Nya. Karena itu juga kita berkata, ”Bapa kami.” Kita mengatakannya bersama-sama dengan semua orang Kristen lain dan dalam hubungan dengan Allah Anak.

Dalam Mazmur 116 kita baca sebuah ungkapan yang indah, ”Ia me- nyendengkan telinga-Nya kepadaku, maka seumur hidupku aku akan berseru kepada-Nya” (Mzm 116:2). Allah seakan-akan menunduk ke depan untuk mendengar dengan penuh perhatian. Bayangkan seorang anak yang datang kepada dokter. Tentu saja, dokter itu tidak akan tetap berdiri, jauh lebih tinggi dari anak itu, tetapi dia akan condong ke bawah atau bahkan berlutut untuk mendengar apa yang mau dikatakan anak itu. Dengan demikian, dia menyendengkan telinga nya. Allah bersikap ramah. Allah begitu murah hati. Tidak ada yang lain kecuali Allah yang mengetahui apa yang baik bagi kita. Kata Yesus, ”Bapamu mengetahui apa yang kamu perlukan, sebelum kamu minta kepada-Nya” (Mat 6:8). Sadarilah kepada Siapa kita berdoa, yaitu kepada Allah yang kekal, yang mengenal masa sekarang dan yang melihat masa depan secara menyeluruh. Dia yang melihat apa yang tidak dapat kita lihat. Ia tidak berpikir me nurut jangka-jangka waktu, tetapi menurut rencana-rencana-Nya. Dia melakukan apa yang kita anggap mustahil. Janganlah keliru dan salah memahami Dia. Dia ”dapat melakukan jauh lebih banyak daripada yang kita doakan atau pikirkan” (Ef 3:20)! Jangan pernah kita berpikir Allah itu kecil. Pikirkan kebesaran-Nya. Dialah Bapa surgawi.

6. Sadarlah siapa kita ketika berdoa

Kesadaran akan siapa kita, sangat menentukan sikap kita terhadap Allah. Hendaklah kita merendahkan diri di hadapan Allah yang besar. Mari membuka diri kepada-Nya. Atau mintalah dengan bersahaja, ”Selidikilah aku, ya Allah, dan kenallah hatiku” (Mzm 139:23). Kadang-kadang doa kita begitu berputar-putar, atau kita berbicara secara tidak langsung. Kita berkedok di balik ucapan, ”Allah sudah tahu apa yang kumaksudkan.” Tetapi, malah kita mengungkapkan apa yang merepotkan kita. Allah juga meminta kita mengetahui ”betapa besar dosa dan sengsaraku” (KH p/j 2). Sengsara yang kita alami dalam berbagai kesulitan atau penyakit, bukanlah sengsara yang paling besar. Sengsara kita yang paling besar ialah kehilangan Dia!

Apalagi sikap kita juga dapat menghalangi doa-doa kita. Berdoa tidak berarti bahwa kita meminta hal-hal yang untuknya kita tidak mau berusaha. Misalnya, berdoa untuk hubungan yang lebih baik dengan anak-anak, suami atau istri, tetapi kita sendiri tidak berusaha memper baiki hubungan itu. Berdoa meminta damai di lingkungan kita, namun kita sendiri melakukan kerusuhan, maka doa kita bisa mendatangkan kutuk.

7. Bukan alat paksaan

Kadang kala doa kita terkesan hanya menyampaikan daftar barangbarang yang kita ingin kan. Seolah-olah kita menyodorkan sebuah paket kebutuhan-kebutuhan di depan Allah. Padahal, doa seperti itu sering kali digunakan hanya sebagai ”ban serep”. Artinya, saat kita telah melakukan berbagai usaha untuk mencapai apa yang kita mau, namun gagal, maka berdoa menjadi pilihan terakhir. Kita berpikir, ”Satu-satunya yang masih bisa kita lakukan, ialah berdoa.” Jika demi kian, kita sudah menyalahgunakan doa. Karena doa bukanlah alat untuk mendapatkan sesuatu dengan gampang dari Allah, yang tidak kita dapatkan dengan cara lain. Tidak mengherankan, orang yang mempunyai sikap demikian, pasti tidak sabar. Atau bahkan mereka akan marah ketika keinginan-keinginan mereka tidak dikabulkan, lalu berkata, ”Mengapa Allah tidak menga bulkan doaku?” Yang lain mengomel, ”Walaupun saya berdoa terus-menerus dan dengan sekuat-kuatnya, toh Allah tidak mendengar. Surga tertutup!”

Apakah Allah sungguh-sungguh mendengar doa kita? Ya. Apakah Allah juga mengabulkannya? Allah memang selalu mendengar doa kita, tetapi Dia tidak selalu mengabulkannya sesuai yang kita inginkan. Hal itu bisa membuat kita merasa begitu sulit untuk mengerti. Perhatikan Daud, ketika dia mendoakan penyembuhan anak Batseba (lih 2Sam 12:15-23). Allah tidak membiarkan diri-Nya dipaksa. Kita boleh saja mendesak dengan keberanian, mengingatkan Dia akan apa yang telah dijanjikan-Nya, dan menyampaikan semua keperluan kita kepada-Nya, tetapi kita tidak bisa memaksakan keinginan kita kepada-Nya, seolaholah Dia wajib memenuhi semua keinginan kita. Hendaknya doa kita bersikap penyerahan ”Berikanlah apa yang menurut Engkau kami butuhkan.” Dia yang menge tahui apa yang baik bagi kita. Kadang juga Allah tidak bisa mengabulkan doa ter tentu karena pengabulannya justru menghalangi pemenuhan keinginan kita yang lain. Boleh jadi kita tidak mengerti jawab an Tuhan, tetapi Dia selalu bisa dipercaya.

8. Allah tidak menipu

Akan tetapi, bukankah Yesus mengatakan, ”Mintalah, maka akan diberikan kepadamu; carilah, maka kamu akan mendapat; ketuklah, maka pintu akan dibukakan bagimu” (Luk 11:9-13; bnd Mat 7:7-11)? Bukankah itu berarti bahwa Allah akan memberikan apa saja yang kita doakan? Dalam ayat-ayat itu juga tertulis bahwa Dia tidak akan memberikan ular jika kita meminta ikan, atau kalajengking jika kita meminta telur.

Dalam hal ini, Tuhan Yesus memang menyebutkan apa yang sungguh-sungguh tidak akan diberikan Allah. Allah bukanlah Bapa yang mem berikan ular sebagai ganti ikan yang diminta (ikan termasuk makanan sehari-hari). Ikan yang Yesus maksudkan agaknya belut yang memang mirip dengan ular kecil. Tetapi, tidak ada bapak yang akan menipu anaknya sedemikian rupa sehingga anak itu berpikir bahwa dia mendapatkan apa yang dimintanya, padahal apa yang dimintanya itu segera akan membunuhnya. Dan kala jengking memang mirip dengan telur, apabila meringkuk. Tidak seorang pun ayah akan menipu anaknya sehingga anak itu berpikir bahwa dia mendapatkan sebutir telur, padahal tangannya telah disengat kalajengking itu.

Akan tetapi, Yesus sama sekali tidak mengatakan bahwa Bapa akan selalu memberikan ikan kepada anak-Nya, jika anak itu memin tanya! Kita tidak bisa otomatis menganggap bahwa Allah akan memberikan ikan (atau kebutuhan hidup sehari-hari apa pun), jika saja kita memintanya. Maksud ayat-ayat tadi ialah Allah tidak pernah bermain-main dengan kita ketika kita menghampiri-Nya dalam doa (J.P. Versteeg).

9. Apakah yang sungguh-sungguh Allah berikan

Apa yang selalu Allah berikan? Dia memberikan ”yang baik” (Mat 7:11). Dengan yang baik itu Tuhan Yesus maksudkan sebagai ”apa yang baik bagi kita”. Tuhan tidak akan meme nuhi semua keinginan kita, tetapi janji-janji-Nya selalu dipenuhi-Nya. Di antaranya janji-Nya yang pa ling utama ialah pemberian Roh Kudus-Nya, yang juga disebut kebaikan yang tertinggi. Roh Allah yang dijanjikan sebagai jawaban atas semua doa kita yang bagaimanapun (lih Luk 11:13). Hal itu sama, entah kita mendoakan hasil ujian yang baik, atau pekerjaan, atau penyem buhan. Hal-hal semacam itu merupakan ”ikan-ikan dan telur-telur” yang kita minta dari Tuhan, bukan barang-barang yang luar biasa (karena kebutuh an seharihari). Bila Allah tidak mengabulkan doa kita yang meminta ”ikan-ikan dan telur-telur”, Dia tidak membiarkan nya, tetapi Dia selalu memberikan Roh-Nya. Jika kemudian tang gapan kita seperti ini; ”Tetapi dengan begitu saya belum mendapatkan kebutuhan pribadi saya ’kan?”, atau ”Jika saya meng inginkan kesembuhan, meminta pekerjaan, membutuhkan ... apa gunanya jika saya tidak mendapatkan semuanya itu?”, atau bahkan ”Jika demikian, sudah jelas berdoa tidak menolong!”, maka sebenarnya kita tidak mengerti apa itu berdoa.

Coba pikirkan apa yang akan terjadi, jika Allah mengabulkan apa saja yang kita minta? Ada yang merespons bahwa ”Saya yakin saya tidak akan pernah masuk surga, jika Allah mengabulkan semua permintaan yang pernah saya tujukan kepada-Nya.” Secara fakta, Allah menjawab semua doa tanpa kecuali. Karena Dia juga mengabulkan doa kita, jika jawaban-Nya ”Tidak”. Ada keinginan-keinginan tertentu yang kita doakan, tidak dikabulkan-Nya, sekalipun kita berpikir kita membutuhkannya. Dia tidak mengabulkannya karena jika Dia memenuhinya, kita tidak pantas bagi Kerajaan-Nya. Ketika keadaan kita tidak berubah, mogamoga kita berubah sendiri sebagai pendoa. Hal itu yang Paulus ketahui dari pengalamannya sendiri. Dia berdoa supaya dibebaskan dari ”duri di dalam dagingku” (2Kor 12:7-9). Tetapi, Tuhan memberitahukan kepadanya bahwa ”Cukuplah anugerah-Ku bagimu, sebab justru dalam kelemahanlah kuasa-Ku menjadi sem purna”. Kalau ternyata kita hidup dengan duri di dalam daging atau dengan bekas luka di dalam jiwa kita, sambil bicara baik tentang Allah, maka Roh memanfaatkan kesempatan itu untuk meyakinkan orang bahwa Injil berkuasa.

Berdoa berarti bahwa kita menyerahkan diri kepada Allah dengan segala kesulitan kita, apa pun itu. Maka Allah mendengar kita. Dan jika hal yang kita minta adalah baik dalam pandangan-Nya, maka Allah mendengarkan kita dengan memberikannya kepada kita. Tetapi, Allah selalu mendengarkan semua doa kita dengan memberikan Roh-Nya kepada kita dalam Nama Yesus. Dan Roh itu yang berdoa bersama-sama dengan kita. ”Ia, sesuai dengan kehendak Allah, memohon untuk orangorang kudus” (Rm 8:26-27)! Doa-doa kita diperbaiki dan digariskan-Nya sesuai dengan rencana-rencana Allah. Tetapi, Dia juga ikut mengeluh, jika perlu, yaitu ”dengan keluhan-keluhan yang tidak terucapkan”. Dengan apa yang tidak kita dapatkan, kita bisa saja bersandar pada-Nya dan berjalan terus dalam kuasa-Nya. Apakah Dia yang telah memberikan Yesus kepada kita, tidak akan memberikan segala sesuatu kepada kita bersama Dia? Hanya ada satu pengecualian saja, Dia tidak mengabulkan permintaan kita kalau hal itu nantinya akan menjauhkan, bahkan kehilangan Yesus.

10. Pengurapan orang sakit

Kalau ada seseorang di antara kamu yang menderita, baiklah dia berdoa! Kalau ada sese orang yang bergembira, baiklah dia bermazmur! Kalau ada seseorang di antara kamu yang sakit, baiklah dia memanggil para penatua jemaat, supaya

mereka mendoakan dia serta mengoles nya de ngan minyak dalam nama Tuhan. Doa yang lahir dari iman akan menyela matkan orang sakit itu dan Tuhan akan membangunkan dia; dan jika dia telah berbuat dosa, maka dosanya itu akan diampuni” (Yak 5:13-15). Baru-baru ini, ayat-ayat ini kembali mendapat perhatian yang istimewa. Atas dasar ayat-ayat ini, banyak orang sakit yang meminta doa dan pengurapan yang sedemikian, di bawah bimbingan penatua-penatua jemaat.

Banyak orang menyibukkan diri dengan penafsiran ayat-ayat ini.

Saya menyebutkan beberapa pandangan mereka, di antaranya:

  • Yang dibicarakan dalam Surat Yakobus bukanlah penatua-penatua, seperti yang melayani jemaat di kemudian hari, melainkan tua-tua yang termasuk kelompok besar saksi mata hidup Yesus (lih Kis 15; 1Kor 15). Orang-orang yang dari semula mempunyai kewibawaan yang khusus, bersama-sama dengan para rasul. Menurut Markus 6:13, mereka diberikan kuasa untuk mengolesi minyak kepada orang-orang sakit dan menyem buhkan mereka.
  • Seseorang yang sakit dianjurkan untuk memanggil tua-tua sebagai penatua yang bertindak atas nama jemaat. Mereka ini harus mengoles orang sakit itu dengan minyak, sebagai tanda pencucian dan penyucian (bnd Kel 29:21; Im 14:16). Selain itu, mereka harus berdoa bersama-sama dengan orang yang sakit itu. Lalu atas dasar doa yang sungguh-sungguh yang lahir dari iman, orang sakit itu akan sembuh.
  • Di sini minyak bukanlah tanda pengabdian diri kepada Allah, tetapi dimaksudkan sebagai obat yang biasa saja (bnd Yes 1:6; Luk 10:34).2 Yakobus menjelaskan bahwa obat ini hanya akan menghasilkan kesembuhan, jikalau Tuhan memegang obat ini di tangan-Nya sambil memberkatinya. Ilmu medis yang mana pun yang orang pakai, kesembuhan tidak pernah terletak dalam ilmu medis itu. Pada akhirnya hanya Tuhan yang mampu menyembuhkan orang sakit (lih Yak 5:15).

2 Orang yang sakit demam dimandikan dan dioles dengan minyak agar merasa segar. Atau luka-luka orang diolesi minyak agar cepat sembuh.

Tidak mudah kita memilih penjelasan-penjelasan yang berbedabeda ini. Masing-masing mempunyai pro dan kontra. Yang memang mencolok, untuk ”mengoles dengan minyak” itu Yakobus tidak memilih ungkapan yang dipakai untuk penahbisan dan pengabdian (kata dl bh Yunani chri-ein), tetapi dia menunjuk ke penggunaan minyak yang lazim (kata dl bh Yunani aleifein). Kalau Yakobus bermaksud menekankan peng abdian kepada Allah, lebih masuk akal dia menggunakan kata chri-ein, yang berkaitan dengan nama Kristus dan Kristen.

Kendati demikian, mari kita fokus pada hal-hal yang paling utama dalam ayat-ayat ini. Yakobus meminta perhatian kita khususnya untuk kuasa doa yang lahir dari iman dan harapan yang teguh akan Dia yang dapat melakukan mukjizat (lih Yak 5:15-18). Selanjutnya, dia meminta kita memperhatikan supaya orang sakit tidak terpisah dari jemaat. Orang sakit sangat mungkin terasing. Untuk mencegah hal itu, maka selain anggota-anggota jemaat, para penatua pun mengunjungi orang sakit, kalau orang sakit tersebut tidak bisa lagi berkumpul bersama jemaat. Lagi pula, bukan minyak itu yang memberi kesembuhan (pengurapan sama sekali tidak muncul lagi dalam ayat-ayat yang berikut), melainkan hanya oleh doa dalam iman yang teguh kepada Tuhan. Jangan juga kita lupa hubungan doa dengan pengakuan dosa dan doa meminta pengampunan seperti yang dilakukan Yakobus. Penyembuhan tidak akan pernah bisa mencapai tujuannya sendiri, sekalipun penyembuhan itu didoakan secara khusus. Demikian juga halnya, baik pada penyembuhan-penyembuhan yang Yesus perbuat maupun pada penyem buhan-penyembuhan yang diperbuat oleh para rasul. Penyembuhan mengarahkan diri kepada Sang Penyembuh, dan berfungsi sebagai peneguhan firman-Nya (bnd bab 15.10).

11. Ibadah-ibadah penyembuhan

Di banyak tempat sering diadakan ibadah-ibadah khusus, di mana orangorang tertentu bergiat melakukan penyembuhan dengan doa. Dalam hal ini, mereka sering men dasarkan diri pada karunia penyembuhan (lih 1Kor 12:9), dan juga pada Yakobus 5:13-18 yang baru saja dikutip. Memang, tidak ada yang salah dengan memohon mukjizat dalam doa bersama bagi orang yang sakit. Tentu saja, mukjizat belum berakhir, sekalipun penyembuhan-penyembuhan menyertai kedatangan Injil sebagai tanda (lih Mrk 16:17). Tetapi, kenyataan itu tidak menghilangkan kemungkinan bahwa pada masa kini Allah masih selalu bertindak dengan cara yang ajaib melalui medis, yang tidak terjelaskan. Walaupun demikian, apa yang disebutkan ibadah-ibadah penyembuhan itu menimbulkan banyak pertanyaan. Dalam Alkitab, yang menjadi pusat bukanlah penyembuhan itu sendiri, seperti yang terjadi dalam perkumpulan-perkumpulan tersebut, tetapi yang selalu diutamakan ialah pemberi taan anugerah Allah dan panggilan melayani Dia. Selanjutnya, perbedaan dengan Yakobus 5 adalah khususnya kenyataan bahwa perkumpulan-perkumpulan itu terlepas dari jemaat setempat. Doa tidak timbul dari jemaat sendiri. Selain itu, sering kali perhatian tertuju kepada si penyembuh, yang bertindak sebagai sejenis medium atau pengantara di antara Allah dan orang yang sakit.

Keberatan yang terakhir adalah yang paling besar. Bila dalam ibadah-ibadah penyem buhan itu si penyembuh menonjolkan diri sebagai pengantara Allah, dan penekanan utama jatuh pada iman orang yang ingin disembuhkan. (Penyembuhannya bergantung pada kesungguhan iman.) Kalau doa penyembuhan tidak menyembuhkannya, tampaknya imannya tidak sejati. Jadi, seolah-olah imanlah yang paling menentukan untuk terjadi tidaknya penyem buhan orang sakit itu. Seolah-olah Allah bergantung pada iman kita. Memang tidak bisa disangkal, percaya itu penting untuk doa kita dan ketidakpercayaan memang dapat menjadi rintangan yang serius. Tetapi, sama sekali tidak benar bahwa iman orang sakit merupakan dasar atau syarat penyembuhannya. Sembuh atau tidak nya, tidak bergantung pada iman kita sendiri, tetapi pada kerelaan Kristus untuk menyembuhkan kita. Dia menyembuhkan sesuai waktu-Nya dan untuk siapa yang dikehendaki-Nya. Dalam pergumulannya dengan ”duri di dalam daging”, Paulus tidak mendengar ”Imanmu tidak cukup!”, tetapi ”Cukuplah anugerah-Ku bagimu!” (2Kor 12:9).

Berkaitan dengan hal itu, saya pernah membaca contoh yang menyedihkan mengenai seorang perempuan Kristen, yang bernama Jeni. Ketika dia berusia 17 tahun, lehernya patah ketika dia menyelam dalam air yang dang kal.

Sebagai akibat kecelakaan itu, dia menderita cedera sumsum tulang belakang sehingga dia lumpuh. Dia pun pergi menghadiri perkumpulan penyembuh perempuan yang terkenal. Dia bercerita sendiri bahwa ”Ini masalah iman. Saya telah mengerjakannya dan memperhatikan supaya iman ku baik dan terlatih, dan dalam kondisi yang paling bagus. Saya sungguh-sungguh percaya! Walaupun demikian, tetapi tangan dan kakiku tidak bereaksi.” Ketika dia depresi karena kekecewaan itu, seseorang yang menelpon dia sambil memberitahukan dia telah menerima pewahyuan. Wah yu itu berbunyi, ”Putriku, dosamu yang menghalangi penyembuhan-Ku. Depresi yang sekarang engkau alami, yang menghalangi persekutuan-Ku dengan engkau.” Mendengar ini, timbullah pertanyaan apakah ada cara yang lebih efektif untuk membuat orang menjadi depresif? Jeni sendiri menanggapinya, katanya ”Banyak pengikut ibadah-ibadah penyembuhan melihat iman sebagai tali yang harus kita tarik untuk membuat Allah menjadi aktif.” Pendapat seperti itu merendahkan kemuliaan Allah.

12. Bagian utama pemberian syukur

Apa yang paling Allah inginkan dari kita? Mana cara yang terbaik yang dengannya kita bisa menunjukkan syukur kita kepada Allah? Dengan menaati hukum-hukum Allah, sebagai tanda terima kasih atas penebusan-Nya (bab 23.7)? Memang itu wajib kita lakukan! Namun, doa adalah cara yang lebih utama! Katekismus Heidelberg yang menyebutkan doa sebagai ”bagian utama pem berian syukur” (KH, p/j 116). Ungkapan ini tidak berarti bahwa doa dan hukum Allah saling bersaing. Sebaliknya, hukum Allah justru mendorong kita ke arah doa karena kita tidak bisa berbuat apa pun tanpa pertolongan Kristus. Artinya, doa adalah cara yang sangat istimewa untuk mengucapkan rasa syukur kita. Memberikan syukur berarti kita bicara tentang anugerah (lih bab 22.9). Dalam doa kita menghampiri takhta anugerah Allah (lih Ibr 4:16). Hanya dengan berdoalah anugerah tetap menjadi anugerah. Tuhan hanya ingin memberikan anugerah-Nya, jika kita memintanya dan datang kepadaNya dengan tangan hampa. Jika sekali kita mene rima anugerah Allah dan merasa terdorong olehnya, maka kita tidak akan pernah berpikir anugerah itu sudah cukup. Hal itu membuat kita merasa bergantung dan perlu untuk me minta anugerah ini tanpa berhenti. Satu hari pun kita tidak bisa hidup tanpa anugerah ini. ”Terima kasih, Tuhan, saya boleh datang kepada-Mu.”

Setiap hari mendalami firman Tuhan

1. 1 Samuel 1:9-18 (Berdoa dengan khusyuk).
2. 2 Samuel 12:15-23 (Doa yang tidak dikabulkan).
3. Mazmur 116 (Dia menyendangkan telinga-Nya).
4. 2 Raja-raja 20:1-11 (Dikabulkan tanpa diduga).
5. Lukas 11:1-13 (Ajarlah kami berdoa).
6. Roma 8:26-28 (Roh Kudus ikut berdoa, online).
7. 2 Korintus 12:1-10 (Cukuplah anugerah).

Pertanyaan diskusi

1. Apakah tidak berlebihan jika mengatakan ”kekristenan kita sejalan dengan kehidupan doa kita”?
2. Bergaul dengan Kristus dalam doa merupakan ciri-ciri hubungan yang akrab. Pernahkah kita merasa takut mencurahkan isi hati kita kepada-Nya? Apakah tidak aneh apabila kita melibatkan Kristus dalam semua hal?
3. Allah ingin memakai doa-doa kita untuk mencapai tujuan-Nya dan menggenapi rencana-Nya? Menurut Anda apakah artinya?
4. Kendala-kendala mana saja yang merupakan pergumulan terbesarmu dalam berdoa?
5. Tidak seharusnya kita berdoa jauh lebih banyak dalam persekutuan doa atau perkumpulan doa sepanjang minggu dibanding doa pribadi kita. Apakah doa bersama-sama semacam itu lebih bermakna daripada doa pribadi atau doa keluarga di rumah (msl, di meja makan)?
6. Bagaimana pendapatmu tentang persekutuan doa? Sebutkan pro dan kontranya.
7. Apakah Anda punya pengalaman dalam doa kelompok tertentu, yaitu ”pelayanan doa” (ministry prayer)? Dalam hal ini, mereka mencari keheningan dan mengundang Roh Allah untuk menyatakan diri-Nya kepada mereka. Mereka membuka diri untuk bisikan suaraNya. Boleh jadi, orang mendapatkan pewahyuan yang menyatakan sesuatu tentang orang lain. Apakah cara ini berdasarkan Alkitab?
8. Bagaimana kita menunjukkan dalam doa bahwa kita menjaga jarak yang tepat dengan Allah?
9. Kapan kita membuat doa menjadi alat paksaan? Apakah ada perbedaan di antara ”memaksa” dan ”mendesak”?
10. Apa pendapat Anda tentang ungkapan, Allah mendengar semua doa tetapi tidak semua doa dika bulkan-Nya?
11. Apa penilaian Anda terhadap keberatan-keberatan yang dikemukakan untuk menyikapi perkumpulan-perkumpulan doa kesembuhan?

Informasi Buku

  1. PDF
  2. Penulis:
    Dr. Egbert Brink
  3. ISBN:
    978-602-1006-17-7
  4. Copyright:
    © 2000. Dr. Egbert Brink
  5. Penerbit:
    YAYASAN KOMUNIKASI BINA KASIH