Walaupun Dia tidak pernah memperdengarkan apa pun tentang diri-Nya, kita masih bisa mengetahui tentang Allah. Karena semua yang diciptakan-Nya memberi petunjuk tentang siapa Dia. Dari alam kita bisa membaca kebesaran Allah dan betapa bijaksananya Dia. Juga, dari pimpinan-Nya atas sejarah dunia, kita bisa menarik kesim pulan sendiri tentang Dia (lih Rm 1:20; bnd PIGB, ps 2).1 Tetapi, semua itu tidak akan pernah membuat kita belajar mengenal Dia secara pribadi. Kita tidak akan tahu apa yang dipikirkan-Nya, kecuali Dia menyatakan diri-Nya.
Dia adalah Allah yang berbicara. Semua diciptakan-Nya dengan berbicara atau berfirman. Anak Allah sendiri disebut Firman. Allah menyatakan diri melalui Roh-Nya yang membuat Firman-Nya sampai dan bisa dimengerti umat-Nya. Allah memperkenalkan diri-Nya lewat firman. Dia menjalin hubungan dengan manusia lewat perkataan-Nya; berbicara kepada manusia secara langsung dan menyuruh mereka menuliskannya. Dan Dia juga berfirman melalui hamba-Nya.
Ada anggapan bahwa manusialah yang berinisiatif untuk menyampaikan cerita tentang Allah. Agak nya, itulah alasan orang untuk membenarkan pengalaman-pengalaman mereka. Tetapi, dari Alkitab yang kita baca inisiatif itu justru datang dari Allah sendiri. Dia yang memberi kan perintah kepada manusia untuk menuliskan apa yang Dia mau. Dia bahkan harus memenangkan orang sehingga mereka berani menyampaikan firman-Nya (msl, Musa, Yunus, Yeremia). Oleh karena itu, Petrus juga menulis bahwa ”tidak pernah nubuat dihasilkan oleh kehendak manusia”. Sebaliknya, ”oleh dorongan Roh Kudus orang-orang berbicara atas nama Allah”, (2Ptr 1:20; dorongan se perti angin meniup layar perahu). Bahkan kadang mereka tidak mengerti maksud kata-kata yang mereka ucapkan. Itu juga menunjukkan bahwa kata-kata itu tidak berasal dari diri mereka sendiri. Tuhan mencurahkan banyak perhatian terhadap firman-Nya supaya sampai kepada umat-Nya dan disimpan dengan baik. Ini mukjizat Tuhan. Perhatikan: jika manusia harus menyam paikan sesuatu, pesan itu sangat mudah diubah atau diputarbalikkan. Allah memerintahkan firman-Nya dituliskan sesuai yang dikehendaki-Nya.
Memang Alkitab merupakan kumpulan kitab-kitab yang ditulis oleh manusia biasa. Tetapi, semua penulis Alkitab mempunyai salah satu ciri khas, yaitu mereka semua dipimpin oleh Roh Allah. Karena itu, kitab-kitab tersebut menjadi satu kesatuan membentuk firman Allah. Semua kitab itu tentunya tidak berasal dari diri mereka sendiri. Itu juga jelas terasa:
Allah berfirman dalam bahasa manusia? Mungkinkah hal itu terjadi? Semata-mata itu karena karya Roh Kudus. Paulus me ngatakan secara harfiah bahwa kata-kata dalam Alkitab dinapaskan Allah (dihembuskan; bnd 2Tim 3:16-diilhamkan). Saat sedang berbicara, kita menghembuskan napas, demikian juga kata-kata dalam Alkitab berasal dari napas Allah, Roh Kudus. Itulah sebabnya, kata-kata itu juga disebut firman Allah yang hidup. Kata lain untuk menapaskan atau pengilhaman adalah kata inspirasi (Spiritus = Roh). Bukan berarti Roh Kudus mendiktekan semuanya secara harfiah kepada para penulis Alkitab. Hanya beberapa firman Tuhan Yesus yang disampaikan dengan harfiah (lih Why 2 dan 3). Namun, Allah berkenan mema kai karunia-karunia dan kualitas-kualitas manusia yang berbeda-beda. Ada penyair, sejarawan, nabi, penulis surat, guru (di bidang hikmah), dan lain-lain.
Seorang dokter, yaitu Lukas, menulis Injilnya setelah dia mengadakan penyelidikan terlebih dahulu (lih Luk 1:3), dan-menurut tradisi-Lukas mewawancarai berbagai orang (msl, Maria; bnd Luk 2:10). Sementara itu, Injil Markus merupakan kumpulan khotbah yang diucapkan Petrus dan yang kemudian dituliskan dan disadur oleh sekretarisnya, Markus (lih 1Ptr 5:13). Kita masih mengenali kelajuan Injil itu ditulis, dalam kata ”segera” yang sering kali dipakai. Setiap penulis memilih cara pendekatannya sendiri. Hal itu juga terasa dalam gaya penulisan yang berbeda-beda.
Selain itu, para penulis Alkitab hidup di zaman yang berbeda. Hal itu terlihat jelas dari gaya penulisan mereka. Penulisan mereka bertitik tolak dari pengamatan bumi yang datar dan matahari yang tetap di tempatnya. Itulah bahasa pengamatan mereka pada masanya. Namun, jejak-jejak zaman atau kebudayaan tertentu sama sekali tidak mengubah firman Allah yang kekal.
Kitab-kitab itu kita terima sebagai kitab-kitab kanonik2, artinya sebagai keseluruhan yang tertutup yang bersifat patokan. Kitab-kitab itu yang menunjukkan norma dan arah tertentu. Tetapi, bagaimana kita tahu bahwa justru kitab-kitab itu yang merupakan firman Allah? Siapa yang menetapkan demikian?
Alkitab tersusun bukan karena sekelompok orang yang mengatakan, ”Mari, sekarang kita memutuskan secara demokratis kitab-kitab mana yang harus termasuk dalam Alkitab. Yang mendapat suara paling ba nyak kita terima dan yang lain kita tolak.” Atau, orang-orang pada sinode tertentu membuat seleksi dari jumlah besar kitab-kitab. Yang memang sering dibicarakan ialah apakah beberapa kitab tertentu sungguh-sungguh termasuk dalam Alkitab (msl, Ester dan Pengkhotbah). Kita percaya Alkitab adalah firman Allah, bukan karena gereja yang mengatakannya, melainkan karena kita mendengar Allah berbicara di dalamnya. Banyak generasi sebelum kita telah menerima dan mengalami Alkitab adalah firman Allah, hal itu sungguh-sungguh membawa peneguhan bagi kita sekarang ini. Tetapi, kitab-kitab itu memiliki wibawa dalam dirinya sen diri. Semua kitab dalam Alkitab memper kenalkan dirinya sendiri sebagai firman Allah: ”Demikianlah firman Allah ....” Karena isinya kita percaya bahwa kitab-kitab dalam Alkitab adalah firman Allah.
Yang terpenting ialah apa yang dikatakan oleh Tuhan Yesus sebagai otoritas tertinggi. Sambil menunjuk pada Kitab-kitab Suci (dan setiap orang mengetahui kitab-kitab mana yang Dia maksudkan) Dia mengatakan, ”Kitab-kitab Suci itu memberi kesaksian tentang Aku” (Yoh 5:39; bnd 2:22). Perjanjian Lama muncul sebagai kesatuan yang tetap, dan disebut Kitab Suci atau Kitab-kitab Suci. Juga Perjanjian Baru mendapat bentuk yang tetap, sekalipun dalam abad-abad pertama masih terdapat sedikit ketidakpastian. Tetapi, di sini pun, Tuhanlah yang mengatur-secara ajaib-agar surat-surat, yang Dia anggap perlu, tetap tersimpan.
Kita tahu, Alkitab Kristen Katolik lebih banyak jumlah kitabnya dari Alkitab Kristen Protestan karena berisi kitab-kitab seperti: Tobit, Yudit, Kitab-kitab Makabe, dan lain-lain. Kitab-kitab ini disebut kitab-kitab deuterokanonik atau apokrif. Kata apokrif berarti ”tersembunyi”. Kemungkinan besar nama kitab-kitab tambahan itu merujuk pada kenyataan bahwa nama-nama para penulis kitab-kitab ini tersembunyi sehingga dianggap tidak asli.
Apakah kita tidak sewenang-wenang mengecualikan kitab-kitab itu dari kanon Kitab Suci? Kira-kira pada 200 SM, sejumlah besar ilmuwan Yahudi menerjemahkan Perjanjian Lama dari bahasa Ibrani ke dalam bahasa Yunani, oleh karena pada waktu itu bahasa Yunani telah menjadi bahasa dunia. Tanpa adanya alasan-alasan yang jelas, mereka menambah kitab-kitab apokrif itu. Lagi pula kitab-kitab apokrif itu tidak perlu diterjemah kan karena ditulis dalam bahasa Yunani. Tetapi, sampai saat itu, kitab-kitab tersebut tidak pernah dianggap termasuk dalam kanon Yahudi! Ketika Tuhan Yesus mendasarkan diri pada kitab Taurat dan kitab-kitab para nabi sebagai kitab-kitab yang berwibawa, Dia tidak memikirkan kitab-kitab apokrif itu.
Walaupun demikian, kitab-kitab itu memang baik untuk dibaca.
Dan sebagian juga memiliki nilai sejarah. Tetapi, dalam hal isi kitabkitab apokrif sangat berbeda dengan kitab-kitab dalam Alkitab sehingga tidak bisa disejajarkan. Yang mencolok ialah: Hieronimus, Bapak Gereja, yang menerjemahkan Alkitab ke dalam bahasa Latin juga memasukkan kitab-kitab apokrif. Sebenarnya, Hieronimus tidak setuju sama sekali karena keberatan terhadap isinya. Baru pada zaman Reformasi, di bawah penga ruh Erasmus dan Calvin, kitab-kitab apokrif kembali diberi tempat tersendiri di luar Kitab Suci.
Kitab-kitab yang diilhamkan oleh Roh Kudus lebih besar jumlahnya dari yang kita punyai dalam Alkitab. Sering kita dapati acuan ke kitab-kitab yang tidak termasuk dalam Alkitab, misalnya ”Kitab Orang Jujur” (Yos 10:13). Kalau kitab semacam itu ditemukan, atau surat tambahan dari seorang rasul (bnd 1Kor 5:9), apakah kita harus menambahkannya pada Alkitab? Jika demikian, kita berbuat seolah-olah dalam Alkitab kita hanya terima beberapa sisa yang kebetulan disimpan. Padahal, kita percaya bahwa Allah bermaksud untuk memberi kan Alkitab yang lengkap kepada kita. Sudah sejak awal tiap-tiap orang diikat pada kata-kata yang dituliskan atas perintah Allah (lih Ul 31:24-28). Dan raja bahkan harus memiliki salinan hukum yang selalu ada di sampingnya (agar ia membacanya seumur hidupnya; lih Ul 17:18-20). Dan lagi tradisi pada saat itu bukanlah tradisi lisan, melainkan apa yang dituliskan adalah norma yang mengikat. Hal itu juga jelas dalam Wahyu 22:18-19 yang memperingatkan kita dengan tegas agar tidak menambahkan sesuatu pada kitab nubuat itu, atau mengurangi sesuatu dari nya. Peringatan itu sebenarnya hanya mengenai Kitab Wahyu, tetapi kitab ini sampai ke akar-akarnya terkait dengan semua kitab lainnya. Tambahan lagi, peringatan ini adalah refrein yang diulang terus-menerus (bnd Ul 4:2; 12:32; 1Kor 4:6; Gal 1:8-9). Alkitab benar-benar merupakan kesatuan yang bulat, yang telah ditutup.
Apakah Roh Kudus membisikkan kepada kita bahwa Kitab-kitab Suci berasal dari Allah? Kekuatan Roh memang ikut serta, bersama Alkitab. Dia yang memberikan bentuk pada kata-kata Alkitab itu, dan mengikatkan diri padanya. Ketika membaca Alkitab, kita memasuki wilayah kuasa Roh. Sementara kita mempelajari Alkitab, Roh Kudus yang meyakinkan kita bahwa Alkitab adalah sungguh-sungguh firman Allah. Roh yang menolong kita supaya apa yang tertulis dalam Alkitab, masuk ke dalam hati kita segenap dengan kekuatannya, menyentuh hati kita, dan membuat kita percaya. Dia yang meyakinkan hati. Ketika kita percaya bahwa Alkitab adalah firman Allah, itu adalah karya Roh Kudus. Hal itu tidak bergantung pada bukti atau penalaran. Tidak mungkin kita membuktikan bahwa Alkitab adalah firman Allah. Kitab-kitab berbicara untuk dirinya sendiri, membuktikan dirinya sendiri. Semua yang dinubuatkan di dalamnya, tergenapi dan terjadi (bnd Luk 1:55, 70). Demikianlah melalui kelahiran Yesus, Allah menepati janji-Nya yang berabad-abad lamanya kepada Abraham. Dia juga telah menubuatkannya melalui banyak nabi. Firman Allah sama seperti matahari dalam kekuatan cahayanya. Firman Allah memiliki kekuatan dalam dirinya sendiri. Firman itu kuat seperti singa yang sungguh-sungguh tidak perlu dibela!
Firman Allah itu jelas, tidak samar-samar. Malah, firman Allah itu adalah ”pelita yang ber cahaya di tempat yang gelap” (2Ptr 1:19; bnd Mzm 119:105). Jika demikian, mengapa begitu banyak bagiannya yang perlu diterangkan dan dijelaskan (bnd Kis 8:31)? Letaknya bukan pada Alkitab itu sendiri, tetapi pada kita. Ketika kita membaca Alkitab, ada seperti kabut di depan mata kita. Dengan kata lain, akal budi dan pengertian kita gelap. Penafsir Alkitab tidak ber maksud memperjelas Alkitab (seolaholah tergantung pada penjelasannya), tetapi untuk menunjukkan betapa jelasnya Alkitab. Apa yang kita sebut ketidakjelasan atau pertentangan, seharusnya tidak perlu terjadi.
Ketika membaca kisah-kisah kebangkitan Tuhan Yesus, tak mungkin kita mencocokkan semua pernyataan saksi itu. Apa yang ditulis oleh para penulis kitab-kitab Injil, tidak persis sama satu dengan yang lain: yang satu bicara tentang dua malaikat di tempat kuburan, yang lain hanya satu. Kapan Maria Magdalena untuk pertama kali berada di kuburan? Semua penulis menceritakan sejarah itu dari sudut pandang mereka masing-masing. Hal itu menun jukkan bahwa betapa dinamisnya peristiwa-peristiwa itu diungkapkan. Pengisahannya tidak disusun atau diatur sedemikian rupa dari awal kejadian kemudian disesuaikan satu dengan yang lain agar terlihat meyakinkan, melainkan laporan para saksi yang hidup. Kebingungan, ketidakpastian, dan ketakutan masih terus tergambar dalam semua peristiwa. Justru hal itulah yang menjamin keterpercayaannya.
Alkitab bukanlah buku yang selalu mudah dimengerti. Petrus menga takan bahwa ada hal-hal yang sukar dipahami (2Ptr 3:16). Ketidakje lasan mungkin disebabkan oleh kurangnya pengetahuan atau kurangnya pengertian. Selain itu, jarak historis dan perbedaan budaya pada zaman Alkitab ditulis juga berperan. Penggalian Alkitab yang lebih mendalam membuat teks-teks di dalamnya yang dahulu sulit dimengerti, sekarang menjadi jelas. Manusia membutuhkan kesungguhan hidup dalam menggali isi Alkitab supaya memperoleh pengertian yang baik. Kenyataan ini menunjukkan bahwa kekurangpahaman manusia terhadap isi Alkitab bukan karena faktor Alkitabnya, tetapi lebih pada faktor manusianya.
Apakah Alkitab bisa disebut sempurna? Tergantung apa yang dimaksud dengan sempurna itu. Alkitab tidak sempurna dalam arti, kita tidak selalu akan menemukan jawaban atas pertanyaan apa pun yang kita ajukan. Alkitab juga bukanlah suatu buku resep untuk bermacammacam situasi. Selanjutnya, Alkitab sering tidak memberikan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang muncul dari penelitian ilmiah. Allah memberikan Alkitab-Nya bukan untuk itu. Apalagi, tidak semua yang terjadi pada zaman-zaman Alkitab ditulis.
Adam dan Hawa juga memperoleh anak-anak perempuan (lih Kej 5:4). Kain pergi mengembara, lalu kita baca dia bersetubuh dengan istrinya (lih Kej 4:17). Sudah pasti istrinya itu adalah saudara perempuannya. Mungkin orang yang menentang dan yang bingung dengan hal itu akan bereaksi: dalam Alkitab tidak ada ditulis dari mana asal istri Kain, jadi itu tidak benar. Kenyataanya, Alkitab tidak menuliskan segala yang terjadi. Bayangkan, jika kita harus menggambarkan peristiwa yang terjadi dalam rentang ratusan tahun dalam satu dua halaman, maka sudah pasti akan sangat banyak hal yang harus kita batasi pada hal-hal yang utama. Alkitab tidak ditulis untuk memuaskan keingintahuan kita. Kita pasti tidak mendapatkan jawaban atas semua pertanyaan kita. Tetapi, apa yang tertulis menuntut kepercayaan kita. Sudah seharusnyalah kita yakin bahwa apa yang tertulis di Alkitab semata-mata untuk membawa kita belajar mengenal Allah.
Meskipun begitu, firman Allah wajar disebut sempurna. Seperti tertulis dalam PIGB, ps 73, Kita percaya, bahwa Kitab Suci ini berisi kehendak Allah secara sempurna, dan bahwa segala sesuatu yang harus dipercayai manusia untuk diselamatkan diajarkan di dalamnya dengan secukupnya. Sebab seluruh cara berbakti yang dituntut Allah dari kita tertulis di dalamnya dengan panjang lebar. Maksud kata-kata tersebut memang berbeda dari apa yang tadi dikatakan tentang arti kata sempurna. Di sini, kata itu berarti: benar-benar cocok untuk mencapai tujuannya. Tujuannya adalah supaya kamu percaya bahwa Yesuslah Mesias, Anak Allah,
dan supaya karena percaya, kamu memperoleh hidup dalam nama-Nya (Yoh 20:31). Dan: Dengan demikian tiap-tiap manusia kepunyaan Allah diperlengkapi untuk setiap perbuatan baik (2Tim 3:17).
Semua di dalam Alkitab tunduk pada tujuan itu. Mungkin kita tidak mendapatkan jawaban atas banyak pertanyaan yang begitu mendesak. Dan apa yang Yesus lakukan selama di dunia jauh lebih banyak dari pada yang dituliskan. Namun, apa yang kita ketahui dari firman Allah, cukup bagi kita untuk belajar mengenal Dia dan untuk percaya kepadaNya. Firman itu semata-mata bisa dipercayai. Menurut Calvin, muridmurid mengenal para guru mereka. Apakah orang-orang Kristen tidak mengerti Allah mereka dari Kitab Suci?
1. Mazmur 33:1-9 (Firman-Nya bertahan terus).
2. Yeremia 36:1-4 (Suruhan untuk penulisan).
3. 2 Timotius 3:14-17 (Diilhamkan oleh Roh Kudus).
4. 2 Petrus 1:16-21 (Inisiatif Allah).
5. Ibrani 1:1-4 (Dia menyatakan diri-Nya).
6. 1 Korintus 1:10-16 (Roh bicara dari dalam).
7. Wahyu 22:18-20 (Tidak ada tambahan).
1. Bayangkan jika Anda tidak mempunyai Alkitab, seberapa jauh dampak pengenalan Anda akan Allah?
2. Apa perbedaan Al-qur’an dan Alkitab? Apakah tidak wajar kita membela wibawa Al-qur’an dengan hak yang sama? (bnd Yoh 5:39).
3. Dengan cara apa Roh Kudus meyakinkan Anda bahwa Alkitab adalah firman Allah?
4. Apa pendapat Anda tentang pernyataan berikut ini: ”Pesan Kitab Suci barulah benar, kalau pesan itu benar menurut Anda, kalau pesan itu berguna bagi Anda.” Artinya, sejauh isi Alkitab itu berkenan dan cocok bagi Anda; padahal kebenarannya terwujud dalam suatu perjumpaan yang hidup antara Anda dan Alkitab.
5. Pada 1947 ditemukan banyak gulungan kitab dalam gua-gua di wilayah Laut Mati (Qumran), di antaranya ada bagian-bagian Alkitab. Bayangkanlah jika ada penemuan seperti itu lagi. Apakah ada kemungkinan kitab-kitab tersebut harus ditambahkan pada kanon Kitab Suci?
6. Seorang wartawan yang anti-Kristen pernah bereaksi dengan mengejek seorang perempuan Kristen yang mendasarkan diri pada otoritas Alkitab, dengan bertanya ”pada tafsiran Alkitab yang mana?” Bagaimana Anda menghadapi reaksi seperti itu?
7. Alkitab bukanlah buku yang selalu mudah dipahami. Manusia membutuhkan hidup sepenuhnya untuk memper oleh pandangan yang hanya sedikit jelas pada pesan firman Allah. Manusia membutuhkan kesungguhan hidup dalam menggali isi Alkitab untuk memperoleh pengertian yang baik. Mengapa kenyataan ini menunjukkan bahwa kekurangpahaman manusia terhadap isi Alkitab bukan karena faktor Alkitabnya tapi lebih pada faktor manusianya?
8. Alkitab tidak memberikan jawaban terhadap banyak pertanyaan. Namun, Alkitab disebut sempurna dalam PIGB, pasal 7. Apakah itu tepat?