13. Dipilih! IMAN Sebagai Hadiah

1. Dipilih!

Bayangkan jika orang tua seorang Muslim atau bahkan ateis. Maka kemungkinan besar kita tidak pernah memasuki gedung gereja. Dengan kata lain, apakah bukan kebetulan kita lahir dalam keluarga Kristen? Ini yang berkenaan dengan pemilihan Allah. Yang dimaksudkan dengan itu bukanlah soal nasib yang sembarang, melainkan pilihan pribadi Allah yang hidup.

Bagaimana jika ada dua orang dibesarkan dalam keluarga yang sama dan menikmati asuhan yang sama, namun yang satu mengakui imannya sementara yang satu lagi membelakangi Allah dengan sengaja. Mana mungkin? Apa sebabnya yang satu percaya dan yang lain tidak? Kedua-duanya membuat pilihan dengan kesadaran sendiri. Tetapi, di balik pi lihan-pilihan ini terletak juga pilihan Allah. Karena tidak seorang pun yang beriman dari dirinya sendiri (bnd 1Kor 12:3). Iman adalah hadiah Allah. Tidak seorang pun yang bisa memberikan iman kepada yang lain, kecuali Allah. Manusia juga tidak dipilih karena dia menjadi beriman sendiri, tetapi dipilih untuk beriman.

Kalau semuanya bergantung pada pemilihan Allah, apa jadinya jika seseorang tidak dipilih? Selain itu, apakah itu tidak membuat orang menjadi ragu-ragu karena bagaimana dia akan tahu bahwa dia dipilih atau tidak?

2. Kata-kata yang penuh pujian

Boleh jadi, kita juga memikirkan permasalahan yang sulit ini, dan mengeluh, ”Aduh, pemilihan itu kan rumit! Lebih baik saya tidak mengutik-utiknya.” Menariknya, dalam Alkitab kita tidak me nemukan keluhan-keluhan seperti itu. Ketika pemilihan dibicarakan, kita tidak menghadapi ketidakyakinan. Sebaliknya, kita mendengar bunyi yang sangat berbeda. Bukan nada ketidakyakinan, tetapi justru nada-nada keyakinan. Bukan suara sumbang, tetapi suara riang. Pemilihan Allah tidak digambarkan dengan kata-kata yang menyedihkan, tetapi dengan ucapan pujian (Ef 1:1-11).

Mana mungkin? Jika menyadari bahwa yang dibicarakan bukanlah pemilihan itu (sebagai pokok ajaran yang tega/tak peduli), kita akan mengertinya lebih baik. Pemilihan itu sama sekali tidak ada. Hal ini menjadi lebih jelas, jika kita mengakui bahwa yang dimaksudkan adalah pemilihan kita (sebagai keputusan Allah yang penuh belas kasihan), jika kita mendengar Allah telah melihat kita, sebelum dunia dijadikan-Nya (bnd Ef 1:4). Dia telah melihat kita dari semula, dan berkehendak memiliki kita (bnd Rm 8:29). Allah selalu telah mendahului kita. Dia telah mengenal kita sebelum kita lahir, jauh sebelumnya. Bahkan sejak selamalamanya hati-Nya telah terbuka untuk kita. Itulah pemilihan! Pemilihan Allah bukanlah nasib buruk yang tidak diketahui, tetapi pilihan yang berdasarkan kasih. Pilihan Allah, bebas dan tegas.

Kita hanya bisa sedikit mengerti dari pendapat-pendapat yang banyak beredar itu, jika menyadari semua orang sudah terlepas dari Allah. Sejak Adam jatuh, tidak seorang pun yang memilih Allah dari dirinya sendiri (jika demikian, pemilihan Allah bahkan tidak perlu lagi!). Dalam hal itu, kita pun tidak lebih baik (bahkan, mungkin saja kita lebih jahat) ketimbang orang-orang di sekitar kita, yang tidak percaya kepada Allah. Siapakah kita sehingga Allah memilih kita?

Seorang penginjil bercerita tentang keberangkatannya dengan pesawat terbang dari negara yang asing. Ketika sedang antri untuk melapor berangkat, namanya dipanggil. Dia diantar ke depan dan dilayani seakan-akan dia seorang raja, kelas VIP! Padahal, dia tidak membayar untuk kelas itu. Dia menolak, ”Ini pasti kekeliruan, saya bukan orang penting, saya tidak layak menerima perlakuan yang istimewa seperti ini.” Tetapi, keberat annya itu sama sekali tidak diterima. Pada saat itu, dia sungguh-sungguh menyadari apa artinya dia dipilih ....

3. Pilihan yang murah hati dan adil

Dalam pemilihan, Allah membuat hati-Nya berbicara. Dia menyatakan diri-Nya sebagai penyayang dengan memilih sejumlah orang yang tetap dan yang tidak terhitung jumlahnya (lih Why 7:9; PIGB, ps 16). PilihanNya berasal dari kemurahan hati-Nya. Allah tidak membiarkan manusia menjatuhkan diri ke dalam kebinasaan karena murtad melawan Dia. Dari kebaikan hati-Nya semata-mata mereka ditangkap-Nya ketika jatuh. Jadi, pilihan-Nya tidak tergantung pada sesuatu apa pun yang berada dalam diri kita sendiri (bnd Rm 9:16). Tidak ada satu alasan pun dalam diri kita untuk itu. Pilihan Allah juga tidak jatuh pada orang-orang yang kuat (bnd 1Kor 1:27-29). Menurut perkataan para leluhur kita, Allah ”meng ambil alasan-alasan dari diri-Nya sendiri.” Alasan kepu tusan Allah terletak dalam perkenanan-Nya, yakni pilihan-Nya yang bebas. Itulah batas penge tahuan kita. Perkenanan dan hikmat Allah tidak bisa di ukur dalamnya (bnd Rm 11:33-35). Karena kasih-Nya yang memilih, yang satu dipilih, sedangkan yang lain dilewati-Nya.

Apakah itu adil (KH, p/j 9)? Kenyataan bahwa tidak semua orang diselamatkan, boleh jadi bertentangan dengan rasa adil secara manusia. Jika demikian halnya, perasaan kita itu agaknya mengasumsikan bahwa tiap-tiap orang berhak akan keselamatan. Tetapi, tidak satu orang pun yang berhak akan anugerah. Karena jika demikian, anugerah bukan lagi anugerah. Kenyataan bahwa Allah menyelamatkan sebagian orang-orang yang tidak terbilang jumlahnya, tidak mewajibkan-Nya untuk menyelamatkan semua orang tanpa kecuali (bnd Mat 20:15). Perbuatan Allah itu tidak berarti bahwa Dia mendorong orang-orang tertentu memasuki jurang. Tidak seorang pun yang dijatuhkan-Nya ke dalam kebinasaan. Allah hanya memper kukuh keengganan manusia. Dia berlaku adil ketika orang-orang diserahkan-Nya kepada diri mereka sendiri. Karena Allah tidak menolak orang tanpa menemukan sebabnya dalam diri mereka sendiri. Ditolak-Nya orang yang menolak Dia (bnd 1Ptr 2:7-8).

Bayangkan, jika Allah membiarkan kita pada nasib kita sendiri, sudah barang tentu tidak seorang pun dari kita yang akan datang kepadaNya, tetapi semua kita mengikuti jalan masing-masing (bnd Ef 2:1). Pada dasarnya, semua orang lebih suka tetap tinggal dalam kubangan dosanya sendiri, jika tidak ada yang mengingatkannya. Kita memiliki kecenderungan yang sangat dalam untuk mau menye lamatkan diri kita sendiri, sambil mengikuti perasaan, keinginan, dan akal kita sendiri.

Gambaran kubangan yang di dalamnya kita tenggelam bersama-sama, cukup jelas. Dinyatakan nya bahwa semua orang tanpa kecuali sudah jauh dari Allah, dan tidak mampu menyelamatkan diri sendiri. Walaupun semakin keras usaha kita keluar dari kubangan dosa itu, hasilnya sia-sia. Boleh jadi, orang mengusahakan apa saja dan bahkan mencoba mencabut diri dari kubangan yang dalam itu dengan menarik rambutnya ke atas (seperti Baron von Münchhausen), tetapi semua itu tetap saja sia-sia. Harus ada seseorang dari luar yang mengulurkan tangannya untuk membantu. Dan Allah melakukannya untuk kita! Demikian Allah itu!

4. Tidak lepas dari Kristus

Bagaimana saya tahu bahwa saya adalah orang pilihan? Alkitablah yang menyatakan pemilihan Allah itu dengan penuh sukacita. Jika keputusan Allah memang tetap untuk selama-lamanya, hal itu mempunyai pegangan yang kuat. Dan syukurlah, kelompok orang yang dipilih itu besar dan tidak terbilang jumlahnya. Tetapi, siapa yang bisa memastikan bahwa saya pun termasuk dalam kaum pilihan itu? Tidak seorang pun yang pernah menerima surat dari surga, dengan namanya tertulis di atas nya. Dan juga belum pernah terbit daftar nama orang-orang pilihan. Jadi, bagai mana saya yakin bahwa saya terpilih? Bagaimanapun, keyakinan itu tidak kita terima dengan mempertanyakan diri apakah nama kita ada atau tidak dalam buku keputusan-keputusan Allah. Keputusan Allah yang kekal itu tidak akan pernah bisa menjadi tolok ukur kita. Jika demikian, kita akan terjebak dalam labirin. Jawaban yang tepat adalah: keya kinan itu kita terima melalui Kristus (lih Ef 1:4). Di luar Dia tidak seorang pun yang bisa dan boleh berbicara tentang pemilihan itu. Tanpa Kristus, pemilihan Allah menjadi hal yang sewenang-wenang, seperti menarik undian, beruntung atau tidak. Tetapi, di dalam Dia, kasih Allah yang memilih yang datang kepada kita. Jadi, kita tidak memulai dalam kekekalan pada keputusan Allah, tetapi di mana Dia mencapai hasil ketika mengarahkan firman-Nya kepada kita.

Kita bisa mengumpamakannya dengan istana yang di dalamnya semua harta tersimpan, yaitu pengampunan dosa, pembaruan hidup, dan hidup yang kekal. Hanya ada satu cara memasuki istana itu, yaitu melalui pintu yang di atasnya tertulis, ”Akulah pintu, silakan masuk”. Jalan yang menuju ke pintu itu ialah firman yang diberitakan. Dengan firman itu kita dipanggil, yakni dengan menyebutkan nama kita. Mustahil kita bisa melihat apa yang ada di dalam nya dari luar. Kita hanya bisa menerima kepastian, jikalau masuk. Melangkah untuk masuk itu ... itulah beriman. Dan baru setelah kita masuk melalui pintu itu, kita baca pada sisi sebelahnya, ”Dipilih”.

5. Cermin pemilihan

Mengapa harus melalui Kristus? Karena sebelum dunia dijadikan Dia telah menawarkan diri untuk menyelamatkan manusia (bnd 1Ptr 1:20). Pada saat itu, Dia telah menyatakan kesediaan-Nya untuk menyerahkan diri-Nya bagi semua anak manusia-Nya (bnd Yoh 17:9-11). Rencana pemilihan Allah tidak terpisahkan dengan rencana keselamatan-Nya. Jika ingin memperoleh keyakinan tentang pemilihan kita, kita hanya dapat menerimanya dari Dia. Calvin menyebutkan Tuhan Yesus sebagai cermin pemilihan. Maksudnya, kita tidak akan pernah bisa mengetahui apakah kita termasuk kaum pilihan dengan melihat diri kita sendiri dalam cermin dan menatap hati kita. Kita baru bisa melihat pemilihan kita, jika menatap Dia dalam kepercayaan. Yesus yang mengundang kita untuk menengadah kepada-Nya dalam kepercayaan, dan mengharapkan Dia. Dan Dia melengkapinya dengan berkata, ”Siapa saja yang telah melihat Aku, ia telah melihat Bapa” (Yoh 14:9).

Dalam hubungan hidup dengan Kristus, keyakinan mengenai pemilihan kita semakin besar. Lepas dari Dia, kita tidak akan pernah bisa berbicara tentang pemilihan kita dengan yakin, kita akan tetap bingung atau putus asa. Tetapi, kalau kita sungguh-sungguh percaya kepada-Nya, maka di dalamnya kita boleh menemukan bukti pilihan Allah, karena iman yang hidup tidak kita miliki dari diri kita sendiri (PAD I, ps 12). Siapa yang berpegang kepada Kristus dalam iman, telah disentuh oleh kasih Allah yang memilih.

6. Dipanggil

Jangan-jangan, Allah telah mengumumkan dari semula-melalui sebuah pemberitahuan-siapa yang dipilih-Nya dan siapa yang tidak, terkait dengan Anak-Nya Kristus. Tetapi, kenyataannya tidaklah demikian! Ren cana Allah untuk memilih sebagian besar manusia, termasuk juga cara Dia melaksanakannya, Dia memilih jalan untuk meyakinkan mereka. Dia menghendaki supaya semua orang yang dipilih-Nya, dihubungkan dengan Kristus melalui Roh-Nya. Mereka tidak dipaksa, karena kasih tidak memaksa. Tetapi, mereka dipanggil, dibujuk, dan diundang. Dari segi manusia, ini cara yang menegangkan: kita tetap bertanggungjawab sendiri dengan sepenuhnya. Banyak orang yang dipanggil, tetapi sedikit yang terpilih karena tidak semua orang yang diyakinkan akan tetap yakin. Hal itu Tuhan Yesus jelaskan dalam sebuah perumpamaan. Perumpa maan itu diakhiri dengan kata-kata, ”Banyak yang dipanggil (bukan: banyak yang dibuang!), tetapi sedikit yang dipilih” (Mat 22:14). Perumpamaan itu tentang seorang raja yang mengundang banyak tamu untuk perjamuan kawin anaknya. Banyak orang yang dipanggil-raja melakukannya dengan sungguh-sungguh-tetapi mereka tidak menanggapi undangan itu. Para tamu itu mempunyai banyak alasan menolak undangan. Karena itu, undangan dialihkan kepada orang-orang yang tidak berarti sedikit pun, yang menurut penilaian orang tidak berpeluang sama sekali. Merekalah yang menanggapi undangan itu. Mengapa mereka merespons? Apakah karena mereka lebih baik dari para undangan yang tadi itu? Mereka meresponsnya kare na panggilan raja itu terlalu kuat bagi mereka. Ternyata, di balik pilihan mereka sendiri ada pilihan Allah. Kasih-Nya yang memilih yang telah menarik hati mereka.

7. Tanggung jawab

Banyak sekali orang-orang-bahkan di antaranya orang-orang Kristen-yang sangat keberatan terhadap pemilihan Allah, mereka berkata, ”Kita kan memilih sendiri! Kalau tidak, apa lagi arti tanggung jawab kita? Jika semuanya telah ditentukan bagi kita-semua sudah final-kita sendiri tidak bisa berbuat apa-apa lagi ....” Pikiran seperti itu sangat picik. Tidak benar semuanya telah ditetapkan secara mendetail sedemikian rupa sehingga semua keputusan dan pilihan kita telah diprogram sebelumnya, dari a sampai z. Kita bukanlah robot. Pengakuan keputusan Allah tidak memusnahkan ketegangan dari sejarah (PAD, III/IV.16). Jika membicarakan keputusan-keputusan Allah, hendaklah kita menyadari Allah adalah Allah yang hidup dan yang kekal, yaitu Dia yang ada dan yang sudah ada dan yang akan datang (Why 1:4). Dia yang menguasai berjalannya waktu. Dalam pilihan-pilihan-Nya Dia meng ikutsertakan pilihan-pilihan kita dengan sepenuhnya. Keputusan-keputusan kita pasti dianggap-Nya penting, namun dimasukkan ke dalam keputusan Allah sendiri. Itu juga sebabnya kita tidak pernah bisa luput dari tanggung jawab kita. Jawaban kita, artinya pilihan kita ter hadap Kristus, diikutsertakan dalam keputusan Allah (PAD, III/IV.12). Semuanya itu termasuk jalan yang di pikirkan Allah untuk melaksanakan rencana-Nya.

8. Keyakinan

Kita harus menyadari bahwa keyakinan mengenai pemilihan kita bukanlah perkara logika, yang memakai rumusan ”jadi ..., jadi ..., jadi ....” Pemilihan kita tidak akan pernah membuat kita percaya diri, sambil de ngan kita tegas menyatakan, ”saya sudah termasuk kaum pilihan, keadaan saya sudah baik.” Sebaliknya, kepu tusan Allah itu tidak bermaksud membuat kita bingung. Hal ini memang bisa terjadi jika, berangkat dari keputusan Allah, kita bertanya ”Apakah saya dipilih atau tidak? Apakah ini hanya perasaanya saya?”Allah tidak memberikan kesempatan kepada kita untuk membaca buku keputusan-keputusan-Nya (lih 13.3). Dia menun juk kepada Anak-Nya yang menyatakan diri-Nya sendiri dalam pemberitaan-Nya. Pemilihan dan pemberitaan selalu berjalan bersamasama. Hendaknya kita melihat Dia, mencari Dia, memper cayakan diri kita kepada-Nya, ya, per caya kepada-Nya! Ketika mendengar Kristus, kita bertemu dengan Allah yang memilih. Allah yang mencari kita melalui Kristus. Di dalam Dialah, Allah ingin memberikan pegangan kepada kita dalam relasi kita dengan diri-Nya. Yang kita bicarakan di sini ialah keyakinan iman yang berpegang kepada Dia. Iman itu mendapat kekuatannya dalam janji Kristus, ”Aku adalah segala-galanya untuk kamu!” Kristus yang memperkenalkan diri-Nya kepada kita, mengundang kita, dan meminta pergaulan yang hidup dengan Dia. Pilihan yang Dia lakukan terhadap kita, selalu dan terus-menerus meminta pilihan kita terhadap Dia. Hubungan itu begitu dinamis.

Tidak salah, jika sesekali kita bergumul dengan pertanyaan-pertanyaan menge nai pemilihan Allah. Pergumulan itu justru bisa menambah ketakjuban kita akan kenya taan bahwa Allah menjatuhkan perhatianNya kepada kita. Kita sendiri sama sekali tidak mempunyai daya tarik terhadap Allah. Tetapi, sebaliknya, daya tarik Allah yang menarik kita. Paling tidak, hal ini melindungi kita terhadap kepastian yang otomatis. Janganlah kita mencari keyakinan dalam diri kita karena bagaimanapun Allah tidak memilih kita berdasarkan bakat-bakat kita. Janganlah kita mencarinya di luar Kristus karena kita tidak akan pernah memperoleh keyakinan yang lepas dari Dia dan firman-Nya. Dan jika sekali waktu kita memper tanyakan diri kita, ”Apa sebabnya saya dipilih, sementara dia tidak?”, sadarlah bahwa pilihan-pilihan itu berdasar kan kasih Allah (bnd Mzm 65:2). Demikianlah adanya. Tidak mungkin kita mampu memahami kasih dengan nalar kita. Kita hanya bisa mengalami dan merayakannya. Kasih bukan untuk didiskusikan!

9. Yohanes 6:32-71 sebagai penjelasan

Akulah roti kehidupan; siapa saja yang datang kepada-Ku, ia tidak akan pernah lapar lagi, dan siapa saja yang percaya kepada-Ku, ia tidak akan pernah haus lagi” (Yoh 6:35). Pang gilan untuk percaya ini ber sifat umum dan serius. Masalahnya, orang-orang yang mendengar kata-kata Yesus itu, malah tidak percaya kepada-Nya! Tetapi, kata Yesus, ketidakpercayaan banyak orang tidak berarti pekerjaan-Nya gagal. ”Semua yang diberikan Bapa kepada-Ku akan datang kepada-Ku, siapa saja yang datang kepada-Ku, ia tidak akan Kubuang” (Yoh 6:37). Jadi, tidak seorang pun yang perlu takut dibuang jika dia datang kepada Yesus. Mustahil Allah Bapa menarik seseorang kepada Kristus, lalu orang itu dibuang oleh Kristus.

Kita melihat, semuanya berjalan melalui Kristus. Dia yang memanggil manusia untuk per caya, kata-Nya ”Datanglah kepada-Ku!” Dengan demikian, banyak yang dipanggil (seiring berjalannya waktu). Sekaligus, Kristus berkata bahwa orang-orang yang memang datang kepada Kristus, tidak datang dari dirinya sendiri, tetapi karena Bapa-Nya yang membuat mereka datang (keputusan Allah)! Sebab inilah kehendak Bapa-Ku, yaitu supaya setiap orang, yang melihat Anak dan yang percaya kepada-Nya beroleh hidup yang kekal, dan supaya Aku membangkitkannya pada akhir zaman” (Yoh 6:40). Percaya adalah keyakinan yang pasti dan kepercayaan yang teguh (KH, p/j 21) bahwa apa yang Yesus katakan tentang diri-Nya sendiri adalah kebenaran. ”Akulah roti kehidupan! Tidak seorang pun yang dapat hidup tanpa Aku.”

Kristus juga mengutip kata-kata Yesaya, ”Mereka semua akan diajar

oleh Allah” (Yoh 6:45; Yes 54:13). Ketika Kristus menjanjikan diri-Nya sendiri kepada semua orang yang berdiri di depan-Nya, janji itu tulus dan serius. Berpalinglah kepada-Ku dan biarkanlah dirimu diselamatkan, hai ujung-ujung bumi! Sebab Akulah Allah dan tidak ada yang lain (Yes 45:22). Pemberitaan tertuju kepada manusia sebagai orang berdosa, bukan kepada manusia sebagai orang yang dipilih atau dibuang. Allah tidak pernah menyapa orang dengan janji-Nya dalam situasi mereka sebagai yang dipilih atau yang dibuang. Dia menyapa kita sebagai orang berdosa, dan mengatakan firman yang menyelamatkan. Kristus yang menawarkan diri-Nya sendiri, ”Akulah roti kehidupan. Akulah air kehidupan. Akulah Firman yang hidup.” Pena waran itu tidak bersifat pasrah, tetapi perintah untuk percaya dan bertobat (PAD I, ps 3).

Perhatikanlah bagaimana orang-orang di sekitar Yesus menanggapi perkataan-Nya. Mereka, yang semua nya orang Yahudi, bersungut-sungut tentang Dia, karena Yesus mengatakan, Akulah roti yang telah turun dari surga” (Yoh 6:41-43). Kata mereka,”Bukankah Ia ini Yesus, anak Yusuf? Bagaimana Ia dapat berkata begitu? (Yoh 6:42). Yesus mengatakan tentang diri-Nya sendiri bahwa ”Aku telah turun dari surga”, dan bahwa Dia yang membebaskan orang dari segala kelaparan dan kehausan. Dia bahkan mengatakan tentang diri-Nya sendiri bahwa Dia yang bisa menjamin hidup yang kekal! Mana mungkin Dia berpikir sedemikian rupa tentang diri-Nya sendiri, orang Nazaret ini! Lalu kata Tuhan Yesus, Tidak ada seorang pun yang dapat datang kepada-Ku, jikalau ia tidak ditarik oleh Bapa yang mengutus Aku .... Siapa saja yang percaya, ia mempunyai hidup yang kekal (Yoh 6:44, 47). Apakah kata-kata itu tidak menunjukkan penolakan terhadap mereka, yang seolah-oleh berarti, ”Kalian tidak ikut serta dikarenakan kalian tidak dipilih, karena kalian tidak ditarik oleh Bapa!”? Sama sekali tidak. Tetapi, dengan kata-kata itu Kristus justru menunjukkan bahwa tidak seorang pun yang datang kepada-Nya atas dasar pengertiannya sendiri.

Ketika kita hanya memperhatikan apa yang kita lihat, dan ketika kita menuntut bukti terus-menerus, maka kita tidak akan pernah berhasil. Ketika kita berfokus pada pengertian kita sendiri, dan hanya mengikuti kesan-kesan yang kita rangkai sendiri, kita tidak akan pernah mengakui orang Nazaret ini adalah Anak Allah yang mengerjakan keselamatan. Justru dalam acuan radikal kepada Allah-tidak seorang pun yang dapat datang, kecuali kalau ia ditarik oleh Bapa-Kristus sedang memanggil untuk percaya! Mustahillah kita bernalar tentang itu dan percaya akan perkiraan kita sendiri. Hendaklah kita menyerahkan diri dan mempercayakannya kepada Kristus! Itulah sebabnya Ia mengulang panggilanNya kepada mereka yang menolak Dia, ”Akulah roti kehidupan!”

Lambat laun kita akan melihat bagaimana Allah melaksanakan keputusan-Nya melalui Kristus. Yesus Kristus berbicara lebih lanjut tentang diri-Nya sendiri. Yesus Kristus merincikan apa yang dimaksud kanNya dengan ”Akulah roti kehidupan”, yaitu ”roti yang akan Kuberikan itu ialah daging-Ku yang akan Kuberikan untuk hidup dunia” (Yoh 6:51). Dengan demikian, Dia mengatakan bahwa Dia akan mengab dikan diri seutuhnya! Jadi, Dia menjadi ”bahan pangan” (secara harfiah ”alat kehidupan”) untuk dunia (lih Yoh 6:53-56). Kematian-Nya adalah roti kita. Daging dan darah-Nya yang akan menjelaskan bagaimana Dia dapat menjadi roti yang hidup. Daging-Nya yang akan dikurbankan pada kayu salib. Darah-Nya akan tumpah. Siapa saja yang mengakui-Nya sebagaimana Dia mengabdikan diri sepenuhnya, mempunyai hidup yang kekal. Makan daging-Nya, minum darah-Nya. Artinya, kita tinggal di dalam Dia dan Dia di dalam kita (lih Yoh 6:56).

Kristus datang begitu dekat kepada kita. Dia menjanjikan diri dengan sangat sehingga Dia bersedia untuk menyerahkan diri seutuhnya, dengan pengabdian yang total dan kasih yang sempurna. Tetapi, apa yang terjadi? Banyak dari murid-murid-Nya yang mendengar semuanya itu, berkata, ”Perkataan ini keras, siapakah yang sanggup mendengarkannya?” (Yoh 6:60)! Dan sekali lagi, Tuhan menunjukkan masalahnya, yakni ketidakpercayaan mereka, kata-Nya, Rohlah yang memberi hidup, da ging sama sekali tidak berguna” (Yoh 6:63). Daging di sini berarti ketidakpercayaan, yaitu menyangkal apa yang Yesus katakan tentang diriNya sendiri. Dia yang mengatakan bahwa kita sangat memerlukan-Nya. Tetapi, daging kita, artinya kesan kita sendiri, yang mengatakan bahwa kita tidak memerlukan Kristus, sampai Dia harus menggantikan kita seutuhnya. Banyak murid yang mengikut Yesus karena mereka terkesan oleh pemberitaan dan perbuatan-Nya. Tetapi, iman mereka karam. Mereka tersandung kayu salib. Tetapi, Kristus berkata, ”Rohlah yang memberi hidup, ..... Perkataan-perkataan yang Kukatakan kepadamu adalah roh dan hidup .... ”Sebab itu telah Kukatakan kepadamu: Tidak ada seorang pun yang dapat datang kepada-Ku, kalau Bapa tidak mengaruniakannya kepadanya. Mulai saat itu banyak murid-Nya mengundurkan diri dan tidak lagi mengikut Dia” (Yoh 6:63-66).

”Apakah kamu tidak mau pergi juga?” Yesus memberikan pilihan terhadap murid-murid-Nya (Yoh 6:67). Dia tidak mengatakan, ”Terserah, karena kalian kan sudah dipilih secara otomatis”. Pilihan mereka memang sangat penting, biarpun pada dasarnya pilihan itu diberikan oleh Allah. Iman ialah pemberian Allah, namun tidak pernah dilepaskan dari perkataan-perkataan Yesus yang meminta jawaban. Kasih Allah yang memilih membutuhkan tanggapan. Pertanyaan Yesus-”Apakah kamu tidak mau pergi juga?-mereka tanggapi, Tuhan, kepada siapakah kami akan pergi? Engkau memiliki perkataan hidup yang kekal (Yoh 6:68). Bukan atas prakarsa sendiri, melainkan karena kekuatan menarik perkataan itu sendiri, orang men dengarkannya. ”Kami telah percaya dan tahu bahwa Engkaulah Yang Kudus dari Allah” (Yoh 6:69). Semuanya sungguh-sungguh melalui Kristus.

Setiap hari mendalami firman Tuhan

1. Efesus 1:1-6 (Dipilih dalam Dia).
2. Matius 22:1-14 (Banyak yang dipanggil).
3. Roma 8:28-30 (Menurut rencana-Nya).
4. Roma 9:11-18 dan 11:33-36 (Pilihan-Nya yang bebas).
5. Efesus 2:1-10 (Bukan atas prakarsa sendiri).
6. 1 Petrus 2:7-10 (Ditentukan sebelumnya).
7. 2 Petrus.

Pertanyaan diskusi

1. Bayangkan, ada seorang pemuda meminta seorang gadis untuk menjadi kekasihnya. Gadis itu bukanlah seorang gadis yang cantik, tetapi pemuda itu malah jatuh padanya. Gadis itu merasa sangat bahagia, dan men jawab, ”Iya!” Kemudian, orang-orang datang mengerubuti mereka, sambil menghujankan banyak pertanyaan kepada pemuda tersebut. Mereka menuntut jawaban, apa sebabnya dia memilih gadis itu. Mereka berkata, ”Apa tidak ada gadis-gadis lain yang jauh lebih menarik? Apa yang Anda lihat pada gadis ini?” Akhirnya dia berkata, ”Saya tidak bisa menjelaskannya. Saya mencintainya.” Apakah pilihan yang berdasarkan cinta itu dapat diumpamakan dengan pilihan Allah yang berdasarkan kasih?
2. Apakah memang pemilihan Allah itu jujur? Apa yang membuat kita sulit percaya dengan pilihan Allah itu? Dari mana datangnya keraguan kita atas pilihan-pilihan Allah?
3. Apakah mustahil jika kita percaya terhadap apa yang kita pilih? Apakah menurut Anda, kita tidak terkesan sombong kalau kita mengaku bahwa kita dipilih?
4. Seseorang yang terkena depresi yang dalam, terus-menerus mendengar teriakan bahwa ”Banyak yang dibuang, sedikit yang dipilih, dan Anda termasuk yang banyak itu!” Bandingkan teriakan itu dengan Matius 22:1-14. Apakah perbedaannya?
5. Beberapa orang Kristen yang tegas menekankan bahwa kita sendiri yang memilih untuk percaya kepada Allah. Bagaimana tanggapan kita terhadap mereka yang menyangkal pemilihan itu sebagai perbuatan Allah berdasarkan kasih yang memilih? Bolehkah kita memberikan kebebasan bagi orang-orang Kristen yang lain untuk mempunyai pengertiannya sendiri?
6. Keputusan Allah tidak membuat kita menjadi robot. Apakah hal itu bisa disimpulkan juga dari penjelasan singkat Yohanes 6 yang disajikan pada bab 10.9?
7. Bayangkan seseorang yang tidak percaya pada saat ini. Jika demikian, apakah kita bisa menarik kesimpulan orang itu tidak dipilih? Haruskah kita menganggap dia dibuang?
8. Apakah gunanya kita memberitakan Injil, kalau semuanya telah ditentukan?

Informasi Buku

  1. PDF
  2. Penulis:
    Dr. Egbert Brink
  3. ISBN:
    978-602-1006-17-7
  4. Copyright:
    © 2000. Dr. Egbert Brink
  5. Penerbit:
    YAYASAN KOMUNIKASI BINA KASIH