Tidak ada gunanya kita mencari kata ”sakramen” dalam Alkitab. Karena kata itu baru dipakai di kemudian hari untuk baptisan maupun perjamuan malam kudus. Arti harfiah kata ”sakramen” ialah sarana inisiasi (penerimaan resmi sebagai anggota) atau pengabdian (komitmen, keterikatan). Bila seorang tentara mengucapkan sumpah prajurit, hal itu disebut sakramen. Hal itu dinyatakannya di depan umum bahwa dia siap sedia melayani pasukan, dan dia berjanji untuk tetap setia. Demikian baptisan pun dapat disebut ”tanda pengenal dan panji Kristus” (PIGB, ps 34). Baptisan mencirikan seorang Kristen. Siapa yang memberi dirinya dibaptis, berarti memberitahukan bahwa dia senantiasa ingin mengikuti Kristus, yaitu sebagai tentara dalam pasukan-Nya.
Tidak seimbang jika kita memandang sakramen dari sisi manusia saja, seolah-olah hanya terjadi sesuatu dari manusia yang diarahkan kepada Allah. Sakramen justru adalah tanda perjanjian yang Allah ikrarkan dengan manusia (Bab 14). Pertama-tama, Allahlah yang berbuat sesuatu dalam sakramen! Dialah yang ingin menolong kita dalam kelemahan, kebingungan, dan kerinduan kita akan kepastian. Dengan sakramen-sakramen itu, Allah bermaksud menggambarkan janji-janji-Nya kepada kita, demi kejelasan (tanda), juga untuk menjamin janji-janji-Nya itu, demi kepastian (meterai).
Seharusnya Allah tidak perlu memberikan sakramen-sakramen itu. Apa yang difirmankan-Nya sudah cukup! Tetapi, Allah mengenal ciptaan-Nya. Dalam sakramen-sakramen, Allah menaruh bukti kasih-Nya yang ekstra meyakinkan ke dalam tangan kita. Kita bisa melihat, mendengar, merasakan, dan menikmati bahwa Kristus sungguhsungguh berbuat yang terbaik bagi kita. Sama seperti sebuah bukti garansi1 hanya sah, kalau dibubuhi tanda tangan dan dicap oleh orang yang memberikannya, demikianlah sakramen-sakramen. Bukan orang lain, melainkan Allah sendiri yang menetapkan, menandatangani, dan mengecapnya. Hanya janji-janji-Nya sendiri yang disahkan-Nya demikian. Jadi, sakramen adalah bukti garansi Allah yang memikul tanda sahNya. Baptisan memang tepat disebut sebagai ”meterai (cap) air Allah”.
Justru karena sakramen-sakramen ingin memberikan kejelasan dan kepastian, maka Iblis mengusahakan apa saja untuk menebarkan benih ketidakjelasan dan ketidakpastian. Sudah tentu, Ibilis sangat membenci sakramen-sakramen. Apakah karena alasan itu, maka perbedaan sakramen-sakramen begitu sering menjadi bahan perpecahan dalam gereja?
Sesungguhnya, apa yang digambarkan baptisan itu? Kita sudah terbiasa mengartikannya sebagai pem basuhan dari dosa. Dan memang itulah arti yang sesungguhnya. Tetapi, pembasuhan ini memang digambarkan dengan cara yang khusus. Kata baptisan berhubungan dengan kata ”dalam”. Membaptis sama artinya dengan menyelamkan. Jika mau mencuci tangan dengan air, sebaiknya kita membenamkan tangan kita. Jika mau memandikan seluruh tubuh, seharusnya kita merendam kan diri seutuhnya ke dalam air. Dalam Roma 6:4, Paulus bahkan mengatakan bahwa ”kita telah dikuburkan bersama-sama dengan Kristus melalui baptisan dalam kematian” sehingga kita sepenuhnya bersatu dengan Dia, yaitu untuk menanggalkan semua kotoran yang lama dan bangkit bersama-sama dengan Dia dalam hidup yang baru. Karena itu juga bap tisan dilakukan dalam sungai, supaya orang sungguh-sungguh tenggelam dalam air, seperti yang masih sering terjadi di ladang misi. Atau, di sebuah kolam 1 Yang diberikan toko ketika menjual barang tertentu (msl, arloji, komputer, kulkas, sepeda motor) untuk membuktikan kualitasnya.
renang pada jemaat-jemaat Kristen yang hanya me ngenal baptisan orang dewasa.
Di banyak gereja biasanya membaptis dengan cara pemercikan. Bukan saja karena yang dibaptiskan itu sering kali anak-anak yang masih bayi, melainkan karena baptisan dengan cara ini juga mem punyai latar belakang yang Alkitabiah. Nabi Yehezkiel yang langsung menghubungkan pemercikan dengan air dengan penerimaan Roh Kudus (lih Yeh 36:25-27). Dirujuk juga pada pemercikan dengan darah Kristus, darah perjanjian itu (lih 1Ptr 1:2; bnd Kel 24:8; Ibr 10:22). Bagaimanapun, penyelaman atau pemercikan mempunyai arti yang sama. Baptisan menandai pembasuhan kita dari dosa dan pembaruan hidup kita.
Baptisan sebagai permandian sudah dikenal pada waktu Yesus menetapkan bap tisan Kristen. Orang-orang Yahudi menjelajahi kota-kota dan pedalaman untuk memper tobatkan orang (lih Mat 23:15)! Dan ketika seorang bukan Yahudi bertobat, dia dibaptis beserta seluruh keluarganya. Yang terkenal sebagai ”baptisan proselit” ini menandai pembasuhan yang harus dilaksanakan sebelum orang bisa menjadi warga umat Allah (prasyarat). Lalu sesudah penyucian ini, laki-laki dan para putranya disunatkan.
Tanda yang ditunjukkan Yohanes Pembaptis lebih dalam artinya.
Yang istimewa ialah dia menyelamkan orang yang dibaptiskannya. Namanya juga menunjukkan hal itu, karena berarti ”dia yang menenggelamkan” (mendorong ke bawah air; J. van Bruggen). Namun, yang paling menarik perhatian bukanlah cara dia mem baptis, melainkan orang-orang yang dibaptisnya. Mereka yang dibaptis adalah umat Allah. Khususnya ini yang sangat mengharukan bagi para pemimpin rohani. Baptisan kini bukan penyucian ritual untuk menandai peralihan dari luar ke dalam umat Allah (baptisan proselit), melainkan baptisan demi pertobatan dan pengampunan dosa umat Allah itu sendiri! Dengan maksud mempersiapkan orang akan kedatangan Mesias. Siapakah yang bisa bertahan pada saat Dia menampakkan diri?
Semua ini Yesus jelaskan kepada seorang dari pimpinan Israel, Nikodemus. Kata Yesus, dia harus dilahirkan kembali. Ini lebih dari sekadar dibaptis. Baptisan berarti kita teng gelam dalam kematian. Tanda ini menunjukkan bahwa kelahiran kita secara jasmani tidak cukup. Kita harus dilahir kan kembali (bnd bab 16.3), bukan dari ibu yang kedua, tetapi dari air dan Roh. Nikodemus harus membiarkan dirinya dibenamkan, sambil meninggalkan cara berpikirnya yang lama dan biasa. Nikodemus perlu dilahirkan kembali oleh Roh, artinya hidup kembali sebagai orang baru untuk mengakui bahwa sesungguhnya Yesus adalah Sang Mesias, Juruselamat nya.
Ketika Yesus datang kepada Yohanes, Dia pun memberi diri-Nya dibaptis oleh nya. Kita tahu Yohanes keberatan untuk membaptis Yesus. Tetapi, baptisan Yesus sangat berarti. Dia yang turun ke dalam air bermandikan dosa-dosa kita. Bukan karena Yesus harus dibasuh, tetapi dengan cara demikian, Yesus mempersatukan diri-Nya dengan umat-Nya. Yesus turun ke dalam sungai kematian. Dengan demikian, Yesus didorong ke bawah murka Allah. Baptisan Yesus adalah tanda yang nyata me ngenai apa yang akan diperbuat-Nya. Ini dipertegas lagi oleh Roh Kudus yang turun ke atas-Nya dan oleh suara dari surga yang mengata kan, ”Inilah Anak-Ku yang terkasih, kepada-Nyalah Aku berkenan” (Mat 3:13-17).
Ternyata kita mengenal dua gambaran pendahuluan tentang baptisan, yaitu air bah dan penyeberangan Laut Merah (bnd Ibr 11:7, 29). Dua kejadian yang merujuk pada baptisan. Dua kali Tuhan bertindak memberi keselamatan dengan menggunakan air. Petrus menyebutkan baptisan sebagai antitipos dari air bah: gambaran yang satu adalah ke balikan dari yang lain (lih 1Ptr 3:21; TB LAI kurang tepat: kiasan; bnd negatif foto). Kalau dikaitkan dengan air bah, air merupakan ancaman, tetapi kalau dikaitkan dengan baptisan, air memberi keselamatan. Baptisan adalah tanda anugerah: berkat dari Yesus, kita tidak mati tenggelam dalam air yang mematikan. Penggambaran yang lain dibuat melalui penyeberangan Laut Merah. Hal itu pun disebut baptisan. Tuhan mengantar umatNya Israel melintasi Laut Merah bagaikan melintasi tanah kering (lih lagi Tata cara pelayanan baptisan). Saat dibaptis di dalam Kristus berarti bahwa kita dihubungkan dengan Dia. Sama juga seperti bangsa Israel dibaptis di dalam Musa, artinya dihubungkan pada kepemimpinannya.
Kita dibaptis ”dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus” (Mat 28:19). Apa arti kata ”dalam nama” itu? Bagaimanapun, artinya bukan ”atas perintah”. Terjemahan harfiah rumusan aslinya ialah ”kepada nama” (atau: masuk ke dalam nama). Rumusan itu juga dipakai di sektor perbankan, yaitu saat melakukan transfer uang ke orang lain dengan nama tertentu. Demikian juga, melalui baptisan kita ditransfer dari nama yang satu kepada nama yang lain. Kita senantiasa hidup dalam nama dan atas tanggungan Allah Bapa, Allah Anak, dan Allah Roh Kudus. Nama lengkap kita (nama kecil bersama nama keluarga yang mencirikan identitas kita) dikaitkan dengan nama Allah Tritunggal. Sejarah hidup kita dipersatukan dengan sejarah keselamatan Allah. Kita terdaftar atas nama Allah Tritunggal.
7. Baptisan dan imanSiapa yang percaya dan dibaptis akan diselamatkan (Mrk 16:16). Baptisan menuntut adanya iman. Ketika hal ini ditegaskan oleh teman-teman Kristen, mereka benar. Tetapi, mereka salah, ketika mereka menggunakannya sebagai alasan untuk menolak baptisan anak, katanya, anak-anak belum dapat percaya, jadi mereka tidak boleh dibaptis. Kenyataannya, kita yang mendukung baptisan anak, tidak mengandaikan anak-anak sudah ber iman, tetapi kita memang mengandaikannya pada orang tua me reka. Hanya anak-anak orang tua yang percaya yang boleh dibaptis. Tanpa iman orang tua baptisan anak tidak boleh dilakukan. Berkaitan dengan itu, kita bisa membayangkan mengapa banyak orang Kristen mulai mengutamakan baptisan dewasa, yaitu sebagai reaksi terhadap praktik ”baptisan massal”, yang membaptis saja anak-anak semua anggota jemaat yang dewasa (entah orang tua itu sungguh-sungguh percaya ataupun tidak).
Anak-anak tidak hanya dibaptis karena mereka lahir di tengah-tengah umat Allah, tetapi terutama karena orang tua yang percaya menerima janji bagi anak-anak mereka. Jika orang tua sendiri percaya, maka anak-anak mereka boleh datang kepada Yesus. Seandainya kita melihat hal itu terjadi, ketika bapak-bapak dan ibu-ibu datang kepada Tuhan, sambil menggendong anak-anak mereka, lalu Ia meletakkan tangan-Nya di atas mereka dan memberkati mereka (lih Mrk 10:13-16; 1Kor 7:12-14). Dalam iman, orang tua membawa anak-anak mereka ke tempat baptisan, dalam kesadaran mereka sebagai keluarga yang bergantung pada Kristus, ”Kami tidak akan bisa ber hasil di luar Engkau!” Baptisan adalah pengakuan iman dari orang tua. Dan mereka berjanji untuk membesarkan anak-anak mereka dalam iman kepada Dia. Apalagi, baptisan anak itu meminta, cepat atau lambat, jawaban iman dari anak yang dibaptis itu sendiri.
Jadi, mengenai baptisan anak, yang terutama bukanlah iman anak kecil itu, melainkan iman orang-orang di sekeliling anak itu. Hanya anak-anak dari orang tua yang percaya, yang telah meng akui imannya sendiri, yang boleh menerima baptisan. Mereka ditempatkan di sebuah rumah tempat Kristus diakui. Dalam 1 Korintus 7:14 Paulus pun mengatakan anak-anak dikuduskan di dalam orang tuanya. Mereka berbagi dalam janji Allah, mereka ikut serta, bukan karena mereka kudus dalam diri mereka sendiri, tetapi karena terkait dengan orang tua mereka yang percaya. Lagi pula, kita semua tidak dibaptis sebagai individu yang tersendiri, tetapi sebagai anggota persekutuan iman. Relasi kita jauh lebih luas daripada hubungan dengan orang tua. Ini juga boleh menjadi penghiburan bagi mereka yang tidak menerima anak-anak, namun dilibatkan untuk anakanak jemaat. Jika dua hal; pendidikan iman dan persekutuan iman dari pihak orang-orang seiman, yang turut mengabdikan diri dalam membesarkan anak-anak kita, tidak ada, baptisan anak tidak berhak dilakukan. Baptisan dan iman saling terikat.
Sudah berabad-abad lamanya baptisan anak menjadi pokok diskusi. Di bawah ini saya menyebutkan beberapa argumen pro dan kontra:
1. Kontra: Baptisan tidak menggantikan sunat. Sunat adalah tanda yang lain. Sunat berarti orang termasuk dalam umat Israel, sambil menunjukkan kelahiran luar biasa umat itu. Sunat adalah tanda lahiriah yang khas bagi orang Israel, sedangkan baptisan adalah tanda rohaniah yang berlaku bagi semua bangsa. Dalam Perjanjian Lama yang menjadi pusat adalah perjanjian, sedangkan dalam Perjanjian Baru Kerajaan Allah bersama pertobatan menjadi syaratnya (lih Mrk 1:15; Luk 4:43).
Pro: Sunat tidak hanya berarti orang masuk ke dalam umat Israel. Sunat yang menandai perjanjian di antara Allah dan Abraham serta keturunannya (lih Kej 17:7). Sunat bahkan bisa ditolak, tetapi akibatnya ialah perjanjian dengan Allah putus (lih Kej 17:14). Sunat juga menuntut penyunatan hati, artinya yang lama dan yang salah dipotong (lih Ul 30:6; Yer 4:4). Memotong dalam dagingnya sendiri. Singkatnya: pertobatan. Dalam Kolose 2:11-12 Paulus membandingkan sunat dengan baptisan. Dia ingin membungkam orang-orang yang terlalu mengagung-agungkan makna sunat. Baptisan adalah semacam sunat yang memberikan hal yang sama. Hanya, baptisan menunjuk pada darah Kristus, yang sudah dicurahkan. Dan sunat menunjuk ke depan kepada darah Kristus yang masih harus dicurahkan.
2. Kontra: Urutan yang tepat, yaitu percaya dan kemudian dibaptis. Baru setelah orang dewasa menjadi percaya, baptisan boleh diberikan sebagai tandanya. Baptisan adalah pemeteraian (= pengesahan) pilihan yang bersifat pribadi. Dalam Perjanjian Baru orang-orang selalu dipanggil untuk percaya dan bertobat. Hal itu belum bisa dituntut dari anak-anak.
Pro: Baptisan bukanlah pemeteraian pilihan manusia, melainkan menggarisbawahi dan mene gaskan janji Allah. Allah tidak menunggu
keputusan manusia. Dia yang mengambil inisiatif. Dialah yang pertama. Janji-janji-Nya berlaku, baik untuk orang-orang dewasa yang menjadi percaya maupun untuk anak-anak orang tua yang percaya. Janji Allah yang terus-menerus memanggil orang untuk percaya (lih Kej 17:7; Kis 2:39). Dalam Roma 4:11 jelas tercatat bahwa Abraham menerima tanda sunat ”sebagai meterai kebenaran berdasarkan iman yang ditunjukkannya, sebelum dia bersunat.” Jadi, Abraham tidak disunat sebagai penegasan bahwa dia sudah percaya (prakarsanya sendiri), melainkan sebagai pemeteraian imannya (prakarsa Allah). Seseorang tidak pernah dibaptis atas dasar imannya, tetapi atas dasar janji yang meminta dia beriman. Baptisan bukanlah pemeteraian keputusan orang itu sendiri, melainkan janji orang yang dibenarkan di hadapan Allah. Itu juga berlaku bagi keturunan Abraham! Sebagai anak yang baru berusia delapan hari, Isak belum bisa percaya, namun disunat. Dasar baptisan tidak terletak dalam manusia sendiri, tetapi semata-mata dalam apa yang Allah janjikan. Roh Kudus pun dijanjikan kepada anak-anak (lih Kis 2:39).
3. Kontra: Dalam Perjanjian Baru kita tidak pernah membaca secara har- fiah tentang anak-anak yang dibaptis. Yang bisa kita temukan adalah anak-anak diberkati dan diberi penum pangan tangan, tetapi tentang diselamkan tidak ada.
Pro: Memang benar kita tidak pernah membacanya secara langsung. Walaupun demi kian, tetapi kita jelas membaca orang-orang dibaptis ”bersama-sama dengan seisi rumah nya”, yang berarti seluruh keluarga mereka yang turut dibaptis (bnd Kis 16:15, 33; 1Kor 1:16). Jika membicarakan ”rumah”, selalu yang dimaksud ialah keluarga (bnd Yos 24:15; 2Sam 15:16). Dalam Per janjian Lama, pengertian ”rumah” berarti bahwa seisi rumah, tanpa terkecuali anak-anak. Bukankah Paulus pun menulis bahwa anak-anak dikuduskan dalam orang tuanya yang percaya (lih 1Kor 7:14)? (Di Israel tidak seorang pun yang akan bertanya apakah acara-acara
penerimaan berlaku untuk anak-anak. Mungkin itulah sebabnya kita tidak menemukan penyebutan tentang baptisan anak dalam Perjanjian Baru.)
4. Kontra: Apakah bukti dalam Alkitab yang menyatakan bahwa Kristus pun menumpahkan darah-Nya untuk anak-anak, dan bahwa Dia memeteraikannya kepada mereka dalam sebuah sakramen?
Pro: Pada Hari Pentakosta Kristus pun menjanjikan Roh Kudus-Nya kepada anak-anak. Selain itu, dalam Imamat 12:6, dibicarakan kurban pentahiran yang harus dipersembahkan oleh seorang ibu sesudah kelahiran anaknya. Jadi, bukan untuk anak itu sendiri? Dari Lukas 2:22-23 jelas: pentahiran untuk anak itu. Karena dalam ayat itu dibicarakan penyucian mereka (ibu dan anak). Pada waktu itu, kurban pentahiran menunjuk ke depan, kepada penderitaan dan kematian Kristus.
5. Kontra: Anak-anak belum termasuk dalam jemaat. Baru sesudah mereka dibaptis dan meng ambil keputusan sendiri, mereka berbagi dalam jemaat Kristen, yaitu perkumpulan orang-orang yang sudah lahir kembali. Baptisan adalah ”permandian kelahiran kembali” (Tit 3:5).
Pro: Dalam Perjanjian Baru jemaat masih tetap dibayangkan sebagai umat. Ternyata, ada benang merah di antara Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, juga mengenai baptisan (lih 1Ptr 2:9-10; 1Kor 10:1-5). Allah membawa sebuah umat keluar dari tanah Mesir (lih Kel 20:1). Dia tidak menunda penyelamatan mereka sampai saat mereka mengambil keputusan sendiri. Anak-anak kecil pun ikut serta, ketika perjanjian diikrarkan-Nya (lih Kel 19:3-9). Demikian pun janji pencurahan Roh Kudus berlaku untuk anak-anak (lih Yl 2:28): Roh-Ku yang menghinggapi engkau dan firman-Ku yang Kutaruh dalam mulutmu tidak akan meninggalkan mulutmu dan mulut keturunanmu ... (Yes 59:21). Allah yang hidup menuntut hak-Nya terhadap anak-anak yang paling kecil sekalipun (bnd Yer 31:31-34; Ibr 8:8-12).
Setelah mencapai usia akil balig, boleh jadi beberapa anggota jemaat mempertimbangkan untuk dibaptis ulang. Menurut mereka, baru seka rang ini mereka mengambil keputusan secara personal untuk mau mengikuti Kristus. Dan mereka ingin pilihan mereka itu dimeteraikan dengan baptisan selam. Padahal, mereka telah dibaptis pada usia anak. Jika demikian, apakah diperbolehkan baptisan diulang? Boleh jadi, kita memahami bahwa orang yang berpikiran seperti itu mungkin ingin mengekspresikan pertobatannya dengan kesadaran sendiri. Tetapi, apakah pengulangan baptisan tersebut tidak menandakan sikap yang tidak tahu berterimakasih kepada Allah? Karl Barth pun, yang sangat menentang baptisan anak, menolak baptisan ulang. Katanya bahwa sekalipun orang berpendapat sisi manusia diabaikan dalam baptisan anak, namun sisi Allah tetap ada, dan itu sama sekali tidak diperbolehkan kita ulang. Kenyataan kita bertobat atau mengambil keputusan yang personal pada usia dewasa, hendaknya hal itu kita tandai sebagai kesetiaan Allah dalam memenuhi janji yang telah diberikan-Nya dalam baptisan anak.
Baptisan anak itu mengandung arti bahwa kita dibesarkan dalam keluarga yang beriman. Karena kepercayaan mereka, orang tua kita membuat tanda janji Allah itu dilayankan kepada kita. Sepatutnya kita bersyukur bahwa Allah berkenan memakai jalan ini untuk menuntun kita kepada iman sendiri. Baptisan anak menghubungkan kita dengan generasi-generasi yang lebih dahulu. Dengan itu, Allah telah memberikan arah kepada hidup kita, jauh sebelum kita bisa mengambil keputusan sendiri.
Akan tetapi, sekali lagi, sungguh tepat kita menegaskan adanya hubungan antara baptisan dan iman. Itu juga sebabnya kita melakukan pengakuan iman setelah mencapai usia dewasa (dikenal sebagai acara sidi), yaitu untuk merespons baptisan kita di depan umum. Ini tidak berarti bahwa, pada saat pengakuan iman itu, kita mengambil alih tanggung jawab akan baptisan kita dari orang tua kita. Itu mustahil! Bap tisan justru memperlihatkan Allah yang menerima tanggung jawab yang penuh atas kita. Pada acara pengakuan iman, kita mengaku bahwa tak mungkin kita hidup di luar Yesus. Orang tua pernah mengantar kita kepada-Nya,
sementara sekarang kita datang sendiri, oleh iman. Pada baptisan, kita seolah-olah dicantumkan dalam paspor orang tua kita. Ketika melakukan pengakuan iman pada usia dewasa, kita menerima paspor kita sendiri. Pertanyaannya bukan apakah kita per caya bahwa sebagai orang yang telah dibaptis kita memang anak Allah. Tetapi, apakah kita ingin hidup sebagai anak Allah yang sungguh-sungguh, yaitu dengan didaftarkan sendiri atas nama Allah dan dengan senantiasa memperca yakan diri kepada-Nya (lih Rm 4:6-12; 10:9-13). Kalau tidak, apa sebenar nya arti doa pada baptisan anak, ”kiranya Engkau menerima anak ini dengan penuh rahmat”?
Boleh jadi, seseorang melakukan pengakuan iman dalam Gereja Reformed, padahal dahulu dia dibaptis dalam Gereja Katolik Roma atau Gereja Anglikan. Walaupun demikian, ini tidak berarti perlu baptis ulang. Meng apa tidak? Di mana pun baptisan dilayani, setidaknya masih ada sedikit tandatanda Injil di sana. Kalaupun di kemudian hari orang yang telah dibaptis diperlengkapi, misalnya, melalui misi atau oleh kontak dengan gereja, maka makna yang sesungguhnya mengisi ”kotak” yang sudah tersedia sebelumnya. Orang akan lebih mengharapkan isi kado daripada kertas indah yang membungkus kado itu. (J. van Bruggen).
Gereja Katolik Roma melepaskan sakramen-sakramen dari firman Tuhan, yaitu dengan menjadikannya kendaraan-kendaraan anugerah yang khusus. Artinya, melalui baptisan, anugerah Allah dengan sendirinya tercurah ke dalam orang yang dibaptis. Asalkan saja orang tidak menantang (menolak), sakramen bekerja dengan otomatis. Karena itu, khususnya pada zaman dahulu gereja membaptis orang sesegera mungkin. Tetapi, dengan pendapat yang demikian, sakramen dihargai lebih daripada yang sepatutnya. Padahal, sakramen hanya diberikan demi kejelasan dan kepastian, untuk menggaris bawahi janji Allah. Selain itu, sakra men tidak punya kuasa ilahi mana pun.
Baptisan bisa diumpamakan dengan cincin perkawinan yang saya dan istri saya pakai sebagai lambang cinta kami. Cincin ini menceritakan kepada saya bahwa ada seseorang yang mencintai saya. Tetapi, itu tidak berarti saya bisa hidup sembarang saja karena toh istri saya tetap mencintai saya. Cincin itu yang mengajak saya untuk terus-menerus memperbarui cinta saya kepada pasangan hidup saya (A.F. Troost). Sama seperti cincin itu, baptisan bukan alat (atau bahkan kendaraan) untuk mewujudkan keajaiban, terlebih lagi alat pembersih yang magis, yang bekerja dengan sendirinya. Baptisan menegas kan sebuah janji. Tetapi, janji ini tidak genap dengan sendirinya. Bandingkan lagi dengan janji pernikahan. Janji itu menuntut kita untuk saling mencintai sepanjang hidup pernikahan kita.
Penggambaran lain yang dapat kita sebut ialah selembar cek. Ketika saya menulis cek sebesar Rp. 50.000.000 dan memberikannya kepada Anda, Anda bisa berkata, ”Sekarang saya mem punyai Rp. 50.000.000.” Tetapi, hal itu hanya benar, jika Anda menguangkan cek itu. Kalau tidak, penerimaan cek itu tidak ada artinya. Demikian juga halnya dengan janji Allah. Kita perlu memegang dan menerimanya dengan percaya kepada Dia yang menjanjikan begitu banyak kepadamu. Iman yang merupakan jawaban ”ya” atas apa yang Allah berikan kepada kita dalam baptisan. Dengan demikian, baptisan ditukar dengan iman agar janji Allah berpengaruh.
Bagaimana kalau orang yang telah menerima sakramen, di kemudian hari menjadi tidak percaya? Apakah itu berarti sakramen tidak berkuasa pada saat dilayankan kepadanya? Tidak. Sama seperti cek tadi tetap bernilai, sekalipun kita tidak menguangkannya, demikian juga halnya dengan janji Allah. Allah selalu bekerja melalui sakramen-sakramen oleh Roh Kudus-Nya sehingga selalu berpengaruh entah orang tersebut menerima atau tidak. Siapa yang menolak isi sakra men-sakramen-artinya apa yang akan Kristus lakukan untuk dia-maka orang itu berbenturan dengan Allah Tritunggal. Bisa saja orang seolah-olah mati tenggelam dalam air baptisan karena ketidakpercayaan. Jika sakramen tidak menguntung kan, maka efeknya adalah penghukuman! Maka janji Allah yang sama itu akan menentang kita. Kita sudah menerima segala-galanya, tetapi kita tidak mau. Panas matahari yang sama yang membuat tubuh yang hidup berbunga dan tubuh yang mati kehangusan (Calvin).
Baptisan juga menimbulkan pengharapan yang teguh. Itu jelas dari kelahiran baru yang ditunjuk oleh baptisan. Tidak seorang pun yang bisa memasuki Kerajaan Allah kecuali kalau dia dilahirkan kembali. Sampai Hari Kebangkitan (hari terakhir ketika Kristus kembali), bangkit nya kita dalam hidup yang baru bersama Kristus ialah kehidupan yang jatuh bangun (terus berjuang). Dalam doa baptisan2 hari terakhir itu juga disinggung, ”mereka ... pada hari terakhir tidak akan terkejut ketika tampil di hadapan takhta penghakiman Kristus”. Baptisan tidak hanya menandakan kelahiran kembali oleh Roh Kudus, tetapi juga kebangkitan yang akan datang kelak.
1. Matius 3:1-12 (baptisan demi perobatan).
2. Yohanes 3:1-12 (dari air dan Roh).
3. Markus 16:15-20 (iman dan baptisan).
4. Titus 3:1-7 (baptisan kelahiran kembali).
5. Roma 6:1-7 (dari kubur air).
6. Kolose 2:8-12 (sunat Kristus).
7. Kisah Para Rasul 2:37-40 (bagi kamulah dan bagi anak-anakmu).
2 Th. van den End, Ibid., hlm. 460, 464.
1. Apa yang dilambangkan oleh baptisan itu?
2. Apakah tidak seharusnya kita menggunakan baptisan selam? Tidakkah itu lebih alkitabiah, juga lebih jelas?
3. Bagaimana Anda menilai argumentasi pro dan kontra baptisan anak? Dapatkah Anda mem bayangkan mengapa orang memilih baptisan dewasa?
4. Apa pendapat Anda tentang baptisan ulang? Bersediakah Anda menghadirinya, ketika seorang anggota keluarga atau teman memberi diri dibaptis ulang?
5. Apa arti peringatan: kita tidak boleh melayankan baptisan karena takhayul atau kebiasaan?
6. Ketika dua orang muda yang belum menikah dan belum melakukan pengakuan iman (belum sidi), mendapat anak, apakah anak itu boleh dibaptis?
7. Apakah mungkin baptisan seorang anak ditolak, kalau salah satu orang tuanya tidak percaya?
8. Apa pendapat Anda tentang praktik Gereja Katolik Roma, yaitu membaptis anak yang baru lahir, yang berada di ambang kematian di rumah sakit, langsung di tempatnya?
9. Jika seseorang meninggalkan Allah pada usia lanjutnya, apakah baptisannya yang dahulu itu benar? Apakah baptisan mempunyai pengaruh untuk selama-lamanya?