Mengapa Kristus memberikan perintah kepada kita untuk menyebut Allah sebagai Bapa kita?
Untuk memberi kesan langsung di dalam hati kita bahwa kita percaya seperti anak-anak dan penuh hormat bahwa Allah adalah Bapa kita karena Yesus. Ia memelihara kita tanpa batas jauh lebih baik daripada yang dapat dilakukan oleh bapak atau ibu duniawi kita.
Mengapa Kristus menambahkan: ”Yang di surga”?
Dengan tambahan itu, Ia mengajar kita untuk tidak mengecilkan kemuliaan dan kekuasaan Allah dan mengharapkan dari-Nya segala sesuatu yang kita butuhkan.
Surga
Di dalam Alkitab, surga kadang-kadang disebut langit dan kadang-kadang disebut cakrawala [sterrenhemel]. Di dalam doa Bapa kami, kata ini menunjuk kepada langit yang paling tinggi, tempat kediaman Allah, juga disebut sebagai langit ketiga (2Kor. 12:2).
Bersama-sama dengan jemaat saya boleh memanggil Allah sebagai Bapa dalam doa saya. Saya boleh melakukannya karena iman saya kepada Yesus Kristus. Allah juga memiliki hak untuk saya panggil sebagai Bapa. Dengan itu saya mengakui ketergantungan saya dari Dia. Sikap ini (anak terhadap ayahnya) memperlihatkan hubungan saya yang penuh hormat dan kesetiaan antara Allah sebagai Bapa dan saya sebagai anak. Saya boleh hidup, bahkan sebagai anak Allah. Saya boleh percaya bahwa Ia memberikan kepadaku lebih banyak daripada bapak duniawi saya. Dan saya juga tidak serta-merta berdoa secara individualistis. Saya berkata: Bapa kami. Saya berdoa bersama dengan dan untuk orang percaya yang lain. Doa ”Bapa Kami” adalah doa jemaat. Bersama dengan jemaat, Anda membentuk keluarga Allah.
Kata-kata yang dengannya saya memulai doa saya, tidak hanya berbunyi: Bapa kami, tetapi juga: yang di surga. Allah adalah Bapa surgawi saya. Artinya: di samping hubungan hangat dengan Dia sebagai Allah yang dekat dalam Firman-Nya, ada juga jarak dengan Dia yang penuh hormat. Karena walaupun saya anak-Nya, saya juga masih hidup sebagai manusia berdosa. Jika saya berdoa, saya percaya bahwa Allah itu Mahakuasa.
Saya tidak selalu dapat memahami semua yang dilakukan-Nya atau justru juga yang tidak dilakukan-Nya. Tetapi, saya dapat mengandalkan janji-Nya dan tindakan-Nya. Karena Ia tahu apa yang baik bagi saya. Paulus telah berkata bahwa Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Allah (lih. Rm. 8:28). Apakah ”kebaikan” itu? Kemakmuran? Kesehatan? Keuntungan? Kesejahteraan? Hal-hal jasmani dan duniawi yang lain? Sesuai keinginan dan pengertian kita manusia? ”Kebaikan” itu diterangkan Paulus dalam ayat-ayat kemudian. Kebaikan itu pengertian posisi saya dalam rencana Allah. Saya telah menjadi serupa dengan gambaran Anak-Nya, saya dipanggil-Nya, dibenarkan-Nya, dimuliakan-Nya. Kasih Kristus adalah kebaikan utama bagi saya. Dan di tengah segala sesuatu yang sulit dan sengsara, Allah akan bekerja bagi saya supaya saya tidak akan dipisahkan dari kebaikan itu, melainkan mengertinya lebih baik dan lebih dalam. Kasih Kristus itu, itulah merupakan pokok doa saya. Doa mohon dan doa syukur saya diarahkan kepada kasih Kristus bagi saya, yang melepaskan saya dari tubuh maut (lih. Rm. 7:24).
”Jadi, jika kamu yang jahat tahu memberi pemberian yang baik kepada anak-anakmu, apalagi Bapamu yang di surga! Ia akan memberikan yang baik kepada mereka yang meminta kepada-Nya” (Mat. 7:11)
KepadaMu di sorga mataku tengadah, Tuhanku. Seperti hamba untuk keperluan memandang tangan tuan dan pada tangan ’nciknya juga dayang memandang, harap sayang, begitu kami pandang Engkau Hu dan harap sayang-Mu.
Bapa di surga, saya memercayakan diriku kepada-Mu, dalam doaku saat ini. Tanggunglah kehidupan saya dalam kemahakuasaan dan kesetiaan-Mu. Penuhilah hatiku dengan hormat dan keseganan kepada-Mu. Syukurlah, bahwa Engkau telah datang dekat kepadaku dalam Yesus Kristus, Anak-Mu. Ya Bapa kami, b’ri ketenteraman persatuan jemaat teguh dan sekalian anak-Mu terkumpul dalam rumah-Mu yang aman seumur zaman. Amin.
1. Bolehkah kita mengajari anak-anak untuk memanggil Allah sebagai Bapa jika mereka berdoa?
2. Kedekatan hangat dan jarak penuh hormat keduanya melukiskan relasi saya dengan Allah dalam doa saya. Mengapa kedua hal itu harus ada? Bagaimana kedua hal itu dipraktikkan dalam doa?
3. Kita tidak selalu dapat memahami Allah, tetapi kita dapat mengandalkan hikmat perbuatan-Nya. Apakah Anda mempunyai pengalaman mengenai hal ini?