1. Cobalah memahami konteks ayat 1 dengan konkret: siapa sebenarnya yang dimaksud dengan ”seorang dari isteri-isteri para nabi’”? dan bagaimana janda ini dapat mengadukan halnya kepada nabi Elisa? ingatlah informasi yang telah diberikan tentang rombongan-rombongan nabi di Israel dan hubungan mereka dengan Elisa (bdk. 2Raj. 2; 4:38-44).
2. Apa arti kata-kata ”mengadukan halnya” dan ”berseru” (lebih baik: ”berteriak”)? Pakailah Konkordansi. Bandingkan Keluaran 2:23-25; 2 Raja-raja 4:40; 6:5, 26. Apa pendapatmu tentang terjemahan BIMK dan FAH?
3. Apa yang dapat Anda katakan tentang sifat dan besarnya utang janda ini, melihat teriaknya kepada Elisa dan tuntutan penagih utang?
4. Apakah tuntutan pemiutang, yaitu mengambil kedua anak janda itu sebagai pelunasan utang, benar dan adil? telitilah Kitab-kitab Musa (bahkan seluruh Alkitab) tentang hal pelunasan utang, tentang hak orang miskin, janda, yatim, dan orang asing, dan secara umum tentang keadilan sosial. Bukankah khususnya orang-orang yang ”tidak mampu” dilindungi TUHAN dengan berbagai hukum? tariklah kesimpulan tentang kelakuan penagih utang ini, dan juga tentang keadaan umum di Israel.
5. Kesulitan yang dialami oleh janda itu pasti ada kesamaannya di tempat-tempat lain. Apakah Anda dapat menyebutkan contoh dari lingkungan Anda sendiri? (Pada musim kemarau makanan mungkin kurang, sehingga orang perlu meminjam beras kepada orang lain, menjadi utang yang selanjutnya harus dilunasi).
6. Apa sebenarnya pertolongan yang TUHAN berikan kepada janda itu? Perhatikan, Elisa memberi perintah saja. Jelaskanlah apa yang dibuat janda dan anak-anaknya (apa persis seperti yang diperintahkan Elisa, ”buli-buli minyak”, ”bejana-bejana”, dll.). Mukjizat ini mengingatkan Anda akan peristiwa lain yang mana? Pakailah Ensiklopedi Alkitab Masa Kini.
7. Bagaimana suasana keluarga janda ini setelah mereka mendapat pertolongan dari TUHAN? dapat ditarik kesimpulan apa mengenai pertolongan TUHAN?
8. Apakah dan bagaimana ayat-ayat ini dapat dihubungkan dengan Yesus Kristus?
9. Apakah bagian-bagian Perjanjian Baru, seperti Matius 18:21-35; Kisah Para Rasul 2:41-47; 4:32-37; 6:1-7 dapat dihubungkan dengan kejadian dalam 2 Raja-raja 4:1-7?
a. Pembandingan terjemahan TB dengan TL, BIMK, dan FAH
b. Konteks terkecil (kesatuan untuk penafsiran)
Kesimpulan: 2 Raja-raja 4:1-7 merupakan kesatuan dan konteks terkecil, karena berbeda di segala bidang dengan ayat-ayat yang sebelumnya dan sesudahnya. Hanya ada kesamaan sedikit antara ayat 1-7 dan ayat 8-37 di bidang tujuan, yakni bantuan yang diberikan TUHAN kepada pribadi-pribadi orang Israel dalam keadaan susah mereka.
c. Pembagian Bagian 2 Raja-raja 4:1-7 dapat dibagi sbb.:
Jadi, jika seluruh umat Israel atau hanya seorang Israel berteriak minta tolong, maka TUHAN tidak diam atau menunggu, tetapi pastinya memberi reaksi-nya. Hal itu tampak jelas dalam seluruh riwayat Elisa. Semua orang Israel yang berseru kepada Elisa dalam keadaan susah mereka, disambut dan ditolongnya. Mereka dilepaskan dari kesusahan itu oleh firman TUHAN. Berbagai macam kesusahan mereka adukan kepada nabi Elisa, misalnya di bidang air minum (2Raj. 2:19-22; 3:9, 17, 20), makanan (2Raj. 4:38-41, 42-44), utang besar (2Raj. 4:1-7), kehilangan barang pinjaman (2Raj. 6:1-7), kesakitan (2Raj. 5:1-27; 8:7-15), kematian (2Raj. 4:8-37), dan perang (2Raj. 3:1-27; 6:8-23; 6:24–7:20). Dengan semua kesulitan itu TUHAN menguji dan kadang juga menghukum umat-nya yang tidak memperhatikan dia. Akan tetapi, selalu maksud-nya ialah supaya Israel belajar meminta pertolongan dari dia. Sehingga, jika mereka lari kepada TUHAN, mereka langsung diterima-nya.
Seorang perempuan dari istri-istri para nabi (= rombongan nabi) datang kepada Elisa. Perempuan ini sedang menderita kesulitan yang sangat hebat. Namanya tidak disebut. Tempat tinggalnya juga tidak disebut. Tidak dikatakan pula kapan persisnya ia datang kepada Elisa. Semua data itu tampak tidak penting bagi kita. Segala perhatian dipusatkan pada kesusahan perempuan ini.
Perempuan ini hidup bersama suaminya dalam lingkungan rombongan nabi (bdk. 2Raj. 2:1-5). Akan tetapi, baru saja suaminya meninggal dunia, sehingga perempuan itu menjanda, dan kedua anaknya laki-laki yang masih kecil (umur mereka agaknya antara 6 dan 12 tahun) menjadi yatim. Mereka sangat miskin. Padahal ada utang besar, mungkin karena mereka harus meminjam uang berkaitan dengan sakit suaminya, atau bisa juga karena di zaman suaminya masih hidup, mereka terpaksa meminjam benih yang kemudian tidak menghasilkan panen yang cukup. Bagaimanapun, perempuan ini sama sekali tidak mampu melunasi utang itu. Sekarang penagih utang menuntut pembayaran. Karena tidak mendapatkan uang, ia mau mengambil kedua anak itu untuk menjadi hambanya. Artinya, keluarga janda ini akan runtuh. Suaminya sudah mati, lalu sekarang anak-anaknya akan diambil daripadanya. Dia akan tinggal seorang diri saja. Dukacitanya sudah besar karena kematian suaminya. Sekarang kesulitannya tak tertanggung lagi. Tampaknya kematian seorang suami berarti keluarga yang ditinggalkannya kehilangan kepastian sosial di Israel Utara. Dalam kesusahannya yang sangat hebat ini, janda ini datang kepada Elisa, pada waktu ia mengunjungi rombongan nabi tersebut. Mungkin sekali Elisa telah mendengar dari para nabi setempat tentang kematian teman mereka.
Nama suami tidak disebut, tetapi dalam Targum, terjemahan atau tafsiran ringkas PL ke dalam bahasa Siria (yang dikutip TAMK), diandaikan nabi ini adalah Obaja. Obaja ini kita kenal sebagai pegawai Raja Ahab yang menyembunyikan 100 nabi TUHAN dan memelihara mereka dengan makanan dan minuman, sehingga izebel tidak sempat membunuh mereka (1Raj. 18:1-15). Sudah sejak kecil Obaja tersebut takut akan TUHAN. Itulah sebabnya, ia melindungi orang-orang setia yang diancam izebel. Menurut Flavius Yosefus ahli sejarah Yahudi yang hidup pada abad ke-1 (lih. EAMK) Obaja meminjam uang untuk bisa menghidangkan makanan dan minuman kepada nabi-nabi TUHAN itu. Akan tetapi, ia meninggal dunia sebelum utang besar dilunasinya. Sekarang janda tersebut mengalami kesusahan dan meminta pertolongan kepada Elisa. Bukankah uang itu sebenarnya dikeluarkan untuk TUHAN? Sugesti targum maupun Yosefus sungguh-sungguh menarik, namun tidak ada kepastian sedikit pun tentang identitas nabi yang meninggal itu. Untuk hubungan antara 1 Raja-raja 18:13 dan 2 Raja-raja 4:1 tidak ada bukti yang jelas. Alkitab tidak menyebut nama suami itu, karena rupanya tidak penting. Yang penting ialah kesusahan janda ini dan pertolongan yang ia minta kepada TUHAN.
Datangnya perempuan ini kepada nabi Elisa bukan hal aneh. Setiap kali Elisa berkeliling untuk mengunjungi semua rombongan nabi, ada orang-orang yang mengemukakan soal-soal mereka untuk meminta saran atau keputusan dari abdi Allah. Sama seperti pada masa kini seorang pendeta pergi ke desa-desa di pedalaman untuk mengunjungi jemaat-jemaat Kristen di sana. Sering terjadi ia sibuk dengan segala macam urusan, pemberian nasihat, atau hal yang diadukan kepadanya.
Demikian seorang janda datang kepada Elisa untuk ”mengadukan halnya”. TB dan TL memakai kata ”berseru” untuk menunjukkan parahnya situasi perempuan ini. Dalam Keluaran 2:23 kata yang sama dipakai: kaum Israel mengeluh karena perbudakan mereka di Mesir sudah begitu parah, sehingga mereka berseru-seru, agar teriak mereka minta tolong sampai kepada Allah. Kata ini dipakai pula dalam 2 Raja-raja 4:40 (tentang maut dalam kuali), 6:5 (tentang kapak yang tenggelam), dan 6:26 (tentang perempuan yang meminta tolong kepada Raja Yoram pada masa Samaria dikepung hingga anak dimakan). Nyata dari konteks semua kejadian tersebut bahwa kata ”berseru” (atau ”berteriak”) menunjukkan kesulitan yang sangat hebat. Artinya, untuk orang yang berseru atau berteriak tidak ada harapan lagi. Keadaannya dapat diumpamakan dengan seorang yang jatuh ke dalam sungai dan yang hampir mati tenggelam dalam arus kencang. Di ambang kematian ia berteriak satu kali lagi. Kalau pada saat itu juga tidak ada orang yang menyelamatkannya, habislah ia. Teriaknya itu ialah seruan keputusasaannya. Demikian janda itu berseru minta tolong. Ia sudah putus asa. Elisa adalah harapannya yang paling akhir.
Janda ini pastinya telah berusaha untuk mendapat pertolongan dari kerabat almarhum suaminya atau kerabatnya sendiri, juga dari rombongan nabi setempat (diakonia jemaat). Tidak perlu diragukan juga bahwa telah berulang-ulang kali ia minta kesabaran kepada si pemiutang itu. Akan tetapi, semuanya percuma. Boleh jadi ia sudah menerima bantuan sedikit, namun tidak cukup. Sebaliknya, kesulitannya sekarang memuncak. Penagih utang sudah habis kesabarannya. Perkabungan janda ini memang sudah berat sekali. Jika nanti kedua anaknya diambil oleh penagih utang itu, dukacitanya tidak ada batas lagi. Bila itu terjadi, ia tidak bisa hidup lagi. Bagi perempuan ini tidak ada harapan lagi. Inilah seruannya yang terakhir. Hanya TUHAN saja yang masih ada.
Janganlah kita menyangka janda itu sampai saat ini tidak percaya kepada TUHAN. Ayat 1 menceritakan bahwa suaminya (dan keluarganya) ”takut akan TUHAN”. Setiap orang percaya, yang mengalami kesulitan, pastinya akan berdoa dan meminta tolong kepada TUHAN. Begitu juga janda ini. Akan tetapi, ini tidak berarti bahwa sekaligus ia tidak akan mencari pertolongan dari kerabatnya, temannya, atau jemaatnya. Bukankah kasih kepada TUHAN dan kepada sesama manusia merupakan satu kesatuan? Justru dalam perse kutuan orang-orang perjanjian tampaklah kasih TUHAN secara konkret. Walaupun demikian, perempuan ini tidak berhasil mendapat bantuan yang dibutuhkannya dari pihak sesamanya. Bukan karena mereka tidak mau membantunya, tetapi mereka rupanya tidak mampu. Boleh jadi ada pula yang tidak mau menolong, seperti khususnya pemiutang itu. Ia tidak mau menunda lagi pelunasan utang. Jadi, masih tinggal satu kemungkinan saja, yakni TUHAN. Inilah kemungkinan yang terakhir.
Janda itu berkata, ”Hambamu, suamiku, waktu hidupnya takut akan TUHAN.” Sebelum meninggal, suaminya tetap setia melayani TUHAN. Cara hidupnya menyatakan bahwa ia berharap akan TUHAN. Dengan demikian ia memberikan teladan yang baik kepada orang-orang Israel lainnya. Sebagai ”nabi” ia tentunya juga menasihatkan bangsa Israel mengenai ketidakpercayaan mereka. Ia melawan agama Baal dan cara ibadat Yerobeam, dan menyampaikan firman TUHAN kepada orang Israel, sama seperti semua nabi TUHAN yang lain dalam rombongan-rombongan nabi di masing-masing tempat. Elisa sendiri tahu bahwa suami janda itu setia. Pasti ia mengenal orang itu. Setiap kali ia mengunjungi rombongan nabi dan mengajar mereka, ia bertemu dengan suaminya. Akan tetapi, sekarang pelayan yang setia itu sudah mati. Dan keluarga yang ditinggalkannya mengalami kesusahan besar. Karena suaminya orang yang selalu setia melayani TUHAN, janda itu berani meminta pertolongan dari nabi Elisa, bahkan dari TUHAN sendiri. Suaminya selalu takut akan TUHAN, seperti Elisa tahu. Memang, kesetiaan itu tidak berarti bahwa ada hak mendapat pertolongan dari TUHAN, tetapi ada janji-nya bahwa orang setia akan diberkati-nya. Kepercayaannya yang membentuk dasar untuk memohon bantuan dari TUHAN. Artinya, ia tidak mau memaksa TUHAN atau menuntut balasan-nya (”Karena suamiku selalu melayani TUHAN, baiklah kini TUHAN melayani aku”). Janda ini tidak bermaksud lain dari menjelaskan keberaniannya datang meminta tolong kepada TUHAN (bdk. Obaja dalam 1Raj. 18:3-4, 12-13).
Yang dimaksud ”penagih hutang” ialah seorang yang meminjamkan uang kepada orang yang berkekurangan. Biasanya pinjaman itu harus dibayar kembali dalam jangka waktu tertentu, ditambah dengan bunga (mis. 10%). Ada banyak pemiutang yang baik dan sabar, yang bersedia membantu orang lain dalam keadaan daruratnya. Akan tetapi, jika penagih utang tidak sabar, ia akan menuntut terus-menerus agar utang cepat dilunasi. Bahkan kalau ia bersifat buruk, boleh jadi bunga yang dituntutnya semakin banyak. Sekalipun ia menuntut pembayaran, tetapi pemiutang seperti ini sebenarnya tidak mau utang itu dilunasi, karena jika demikian, maka ia tidak dapat meminta bunga lagi. Pemiutang semacam itu dapat diumpamakan dengan laba-laba yang membekam orang miskin dalam sarangnya. Utang orang lain menjamin kebahagiaan penagih utang itu.
Penagih utang dalam 2 Raja-raja 4:1 tentunya termasuk golongan pemiutang buruk yang tidak mau bersabar. Sebaliknya, ia berkeras hati dan tidak peduli sedikit pun akan kesulitan janda bersama anak-anaknya yang berkabung. Barangkali ia telah mengancam perempuan ini dengan sebuah ultimatum, yakni dengan memberi batas waktu hanya satu atau dua minggu. Bagi dia hanya ada satu hal penting: ia mau mendapatkan uangnya. Jangan-jangan ia dirugikan oleh kematian orang yang berutang itu. Jikalau pembayaran tidak tepat waktu, ia akan mengambil tindakan lain, yaitu mengambil kedua anak janda ini menjadi budaknya. Situasi keluarga ini tidak membuat pemiutang ini menjadi murah hati. Kesulitan itu bukan urusannya. Ia menuntut haknya. Situasi janda ini memang sangat mendesak. Jadi, pada saat dia datang kepada Elisa, sudah dekat waktunya pemiutang mengambil kedua anaknya. Perempuan ini sudah tidak tahu harus berbuat apa lagi. Nabi Elisa adalah pengharapannya yang paling akhir. Akan tetapi, bisakah Elisa menolong janda ini?
Keadaan semacam ini juga dikenal di berbagai suku di indonesia. Hubungan antarmanusia sering dikuasai oleh utang. Hari ini orang yang satu membantu orang yang lain dengan uang atau makanan, agar di hari depan, ketika yang satu itu lapar, ia dapat menuntut balasan dari orang lain itu. Khususnya, berhubung dengan kematian ada kebiasaan ”melihat mayat” atau ”melihat kubur”. Orang yang melaku kannya sering bermaksud untuk menuntut pelunasan utang yang masih ada, katanya, bapak yang baru meninggal ini pernah mendapat daging yang belum dibalasnya, atau ia belum membayar uang yang saya pinjamkan kepadanya. Utang itu harus segera dilunasi, daging ganti daging, uang ganti uang, dst. Jika janda atau kerabat lain tidak mampu, maka pemiutang akan menuntut, misalnya, apabila di kemudian hari anak perempuan dari orang yang meninggal itu akan menikah, ia dapat menerima mas kawinnya. Dengan demikian bisa terjadi sekelompok pemiutang membuat seluruh isi rumah dan keluarga dari orang yang meninggal itu, dirampas. Barang-barang dibagikan, anak-anak diambil, dan sering kali pula janda lang sung dikawinkan dengan orang lain. Dukacita keluarga karena kematian orang kekasih mereka tidak dihormati sama sekali. Yang diutamakan oleh para penagih utang semata-mata adalah kepentingannya sendiri.
Pertanyaan pertama yang timbul dalam diri kita ialah: Apakah penagih utang tersebut sungguh-sungguh berhak untuk menuntut kedua anak itu menjadi budaknya? Apakah tuntutannya adil atau tidak? dalam kitab-kitab Musa kita baca bahwa seorang Israel yang tidak sanggup melunasi utangnya, memang dapat menjual diri bersama keluarganya menjadi hamba. Akan tetapi, TUHAN memberi berbagai hukum dan aturan mengenai pelunasan utang dan penjualan orang menjadi budak, dengan maksud melindungi hak orang-orang Israel yang miskin. Pedomannya ialah: hendaklah Israel tetap mengingat akan keadaan mereka di Mesir di mana mereka sangat ditindas sebagai budak. Jangan-jangan penderitaan itu diulang, bahkan antar orang-orang Israel sendiri. Secara umum semuanya ini berhubungan dengan hukum kasih terhadap sesama manusia, tetapi secara khusus hal ini berkaitan dengan perjanjian TUHAN. Di dalam perjanjian TUHAN tidak dibenarkan ada orang miskin dan lapar. Khususnya orang miskin, janda, dan yatim piatu, dan juga orang asing dilindungi oleh TUHAN. TUHAN menghendaki supaya umat perjanjian-nya bersikap rahmat dan sabar terhadap orang-orang yang berada dalam keadaan susah atau keadaan tidak mampu.
Apa yang kita baca dalam Keluaran 22:22-25 cocok dengan soal janda yang datang kepada Elisa itu. Di situ TUHAN berkata, ”Seseorang janda atau anak yatim janganlah kamu tindas. Jika engkau memang menindas mereka ini, tentulah Aku akan mendengarkan seruan mereka, jika mereka berseru-seru kepada-Ku dengan nyaring. Maka murka-Ku akan bangkit dan Aku akan membunuh kamu dengan pedang, sehingga isteri-isterimu menjadi janda dan anak-anakmu menjadi yatim. Jika engkau meminjamkan uang kepada salah seorang dari umat-Ku, orang yang miskin di antaramu, maka jangan lah engkau berlaku sebagai seorang penagih hutang terhadap dia: janganlah kamu bebankan bunga uang kepadanya” (bdk. Kel. 21:1-11 dan Ul. 15:1-18. Juga im. 25:39-41; 27:30-33; Bil. 18:25-32; Ul. 14:22-29; Mzm. 68:6; 146:9; Am. 2:6; 8:6; Yes. 50:1; neh. 5:5, 8; Yer. 7:6).
Dengan membaca semua hukum TUHAN ini, maka teriak janda kepada nabi TUHAN adalah aduan yang benar. Demi kepentingannya sendiri, penagih utang itu melanggar hukum TUHAN. Apa yang diperbuatnya terhadap janda ini dan anak-anaknya membuktikan bahwa hukum TUHAN bukan lagi dasar hidup untuk dia (dan seluruh Israel). Tepatlah seruan janda ini agar diperlakukan sesuai dengan hukum TUHAN. Semua aturan yang telah TUHAN berikan kepada Israel menyatakan bahwa tindakan penagih utang ini sama sekali tidak dapat dibenarkan. Boleh saja ia meminta pembayaran utang, tetapi ia tidak boleh bertindak keras, apalagi menuntut anak-anak itu menjadi budaknya. Dengan berbuat demikian ia melanggar hukum TUHAN dua kali lipat. Pertama, ia tidak mematuhi hukum-hukum pelunasan utang. Dan kedua, ia menginjak undang-undang yang melindungi kelompok-kelompok orang yang mudah ditindas (janda, yatim, orang asing, orang miskin, dll.).
Penagih utang ini tampak tidak tahu lagi sejarah bangsanya, khususnya tentang tindasannya di Mesir. Sama seperti hampir semua orang Israel pada zamannya, ia tidak mengindahkan kedudukan Israel sebagai umat perjanjian TUHAN, tetapi semata-mata mementingkan diri. Dengan demikian ia menjadi koruptor yang melanggar semua hukum TUHAN dan merampas hak TUHAN dan hak sesama manusia. Kenyataan peristiwa yang diceritakan dalam ayat-ayat ini dapat terjadi di Israel adalah bukti keburukan mereka. Pemiutang ini menjadi lambang kejahatan seluruh bangsa Israel. Jelas, Israel mau hidup menurut kesukaan dirinya, tanpa memperhatikan TUHAN dan sesamanya lagi. Hal seperti ini tidak boleh terjadi dalam kehidupan umat TUHAN.
Teriak janda menunjukkan keburukan Israel. Tidak ada keadilan lagi (bdk. Yer. 23:1-8). Tidak ada lagi keamanan hidup di tengah-tengah umat TUHAN! Jika demikian, tidak perlu diragukan reaksi TUHAN pada seruan itu. Janda yang datang kepada Elisa, abdi Allah, sudah tiba pada alamat yang tepat. TUHAN ada (nama-nya Yahwe), justru untuk membantu orang semacam dia dan anak-anaknya. Sudah pasti ada harapan untuk dia. Akan tetapi sebaliknya, untuk penagih utang sudah tersedia hukuman yang diberitakan dalam Keluaran 22.
Bagaimana tanggapan Elisa pada teriakan janda itu? Kita tidak membaca tentang Elisa berdoa memohon kerelaan TUHAN untuk menolong dia. Seorang nabi pastinya akan sering berdoa untuk berkomunikasi langsung dengan TUHAN dan meminta nasihat atau campur tangan-nya (bdk. 2Raj. 3:15; 4:33). Akan tetapi, tampak jelas dari semua cerita tentang Elisa bahwa ia mempunyai ”kuasa” dari TUHAN untuk langsung berfirman atau membantu demi nama-nya. Kenyataan Elisa segera menolong janda ini tidak perlu mengherankan kita (bdk. Rasul-rasul, Mrk. 16:14-18).
Mengenai cara Elisa menolong perempuan ini, fokus terarah seluruhnya kepada janda bersama anak-anaknya, seperti juga TUHAN memberikan perhatian khusus kepada orang-orang lemah yang menderita ketidakadilan dan ketidakbenaran. Elisa tidak pergi kepada penagih utang itu untuk menegur dia karena sifat buruknya karena ia melanggar firman TUHAN. Seandainya ia berbuat itu, apa yang bisa ia nantikan sebagai hasil teguran itu? Pemiutang itu hanya satu orang dari banyak sekali orang Israel yang tidak menaati firman TUHAN. Korupsi dan egoisme sudah menjalar ke mana-mana. Pada umumnya Elisa tidak memedulikan orang-orang Israel yang tidak setia, tetapi ia mengarahkan fokusnya kepada orang-orang yang tetap takut akan TUHAN. Merekalah yang dihiburkan dan diperkuatnya, dan kalau perlu ditolongnya.
Tanggapan nabi Elisa agak mengejutkan. Ia bertanya kepada janda itu: ”Apakah yang dapat kuperbuat bagimu?” dan tanpa menunggu jawaban ia melanjutkan, katanya: ”Beritahukanlah kepadaku apa-apa yang [masih] kaupunya di rumah.” Apakah dia mau memeriksa mungkin masih ada uang atau barang yang dapat dipakai oleh janda ini untuk melunaskan sebagian utangnya? dalam arti tertentu, memang demikian halnya. Akan tetapi, ia tidak mengajukan pertanyaan ini karena ia meragukan keseriusan seruan janda ini. Dengan pertanyaannya tentang apa yang ada, ia justru mencari jalan untuk meno long dia dan kedua anaknya. Janda ini terus terang menjawab bahwa tidak ada lagi sesuatu apa pun di rumah. Rumahnya kosong. Hanya masih ada sebuah buli-buli berisi minyak. Rupanya janda telah terpaksa menjual segala kepunyaannya, seperti ladang, hewan, gandum, dan isi rumah. Janda ini ternyata sangat miskin. Kesulitannya sudah memuncak. Yang masih tinggal hanya minyak sedikit. Itu saja.
Hampir secara otomatis kita berpikir bahwa ”minyak” itu ialah minyak goreng (lih. BIMK). Interpretasi itu paling masuk akal. Kalau seorang miskin yang sudah tidak mempunyai apa-apa lagi, masih menyim pan minyak goreng sedikit, dia bagaimanapun masih ada kemungkinan untuk menyiapkan makanan. Mungkin interpretasi ini juga dipengaruhi oleh analogi dengan cerita-cerita riwayat Elia. Di antaranya pula terdapat sebuah cerita tentang seorang janda miskin yang hanya mempunyai tempayan yang berisi tepung sedikit dan sedikit minyak dalam buli-buli (1Raj. 17:12-16). Meskipun interpretasi kata ”minyak” ini masuk akal, tetapi ada masalah. Kata syemen dalam bahasa ibrani yang dipakai dalam 1 Raja-raja 17:12 maupun 2 Raja-raja 4:2 memang berarti ”minyak zaitun”. Soalnya minyak zaitun dipakai untuk berbagai hal (bdk. Minyak kelapa sawit yang juga multifungsional). Mana persisnya arti ”minyak” yang disebut dalam dua ayat itu, ditentukan oleh buli-bulinya. Dalam dua ayat itu TB memakai kata ”buli-buli”, padahal bahasa ibrani mempunyai dua kata yang berbeda dalam masing-masing ayat, yaitu tsafkhat dalam 1 Raja-raja 17:12 dan asukh dalam 2 Raja-raja 4:2. Kalau gabungannya dengan tepung, minyak dalam 1 Raja-raja 17:2 benar-benar ialah minyak goreng. Akan tetapi, karena yang dimaksudkan dengan asukh ialah botol kecil yang berisi minyak wangi, maka minyak dalam 2 Raja-raja 4:2 tidak mungkin minyak goreng, melainkan minyak harum. Parfum memang juga dibuat dari minyak zaitun (bdk. Am. 6:6), namun sangat berbeda penggunaannya daripada minyak goreng. Apalagi, minyak wangi sangat mahal, sehingga dijual dalam botol kecil (flakon). Isinya biasanya diukur dalam mililiter (lih. EAMK). Jadi, yang masih disimpan janda yang datang kepada Elisa itu ialah flakon berisi minyak wangi.
Biar mahal, tetapi minyak harum ini pasti tidak cukup untuk perempuan ini melunasi utang besar itu. Sebab, jika pemiutang mau mengambil kedua anaknya sebagai ganti rugi, sudah tentu utangnya sangat besar. Jadi, minyak harum yang sedikit ini tidak berarti apa-apa ketimbang utang itu. Akan tetapi, bagi TUHAN minyak sedikit itu cukup. Sebenarnya dia juga mampu membantu janda, jika tidak ada apa-apa lagi di rumahnya. Bukankah ia menciptakan langit dan bumi dari tidak ada apa-apa! Akan tetapi, tampaknya TUHAN suka memakai sarana dan cara konkret, supaya orang menyaksikan perbuatan-perbuatan besar TUHAN dengan matanya sendiri.
Ketika Elisa mendengar bahwa janda tidak mempunyai apa-apa kecuali minyak harum yang sedikit itu, ia memberitakan kepadanya apa yang harus dibuatnya, yaitu meminjam (”pergilah, mintalah”) bejana-bejana kosong dari tetangga-tetangganya. Dan ditambahkannya, ”jangan terlalu sedikit”. Maksudnya supaya perempuan itu mengumpulkan bejana sebanyak-banyaknya. Bejana adalah alat dapur yang dapat dibandingkan dengan ember atau tempayan, yang isinya sekitar dua puluh liter (bdk. Yoh. 2:7). Dari ukurannya, perbedaan antara buli-buli minyak harum dan bejana ialah seperti perbedaan antara tikus dan gajah. Setelah memasukkan semua bejana itu ke dalam rumah, janda bersama kedua anaknya harus masuk sendiri dan menutup pintu, agar jangan ada seorang pun yang melihat mereka. Pasti ada tetangga yang ingin tahu, katanya, ”Kamu mau buat apa dengan bejanaku?” Akan tetapi, orang lain tidak diperbolehkan menyaksikan perbuatan TUHAN. Kemudian janda itu harus menuang minyak dari buli-buli yang kecil itu ke dalam semua bejana. ”Mana yang penuh, angkatlah!” kata Elisa. Artinya, bejana yang sudah penuh harus ditaruh ke samping, lalu digantikan oleh bejana kosong.
Elisa berbicara singkat-singkat saja. Artinya, ia tidak berbuat lain dari mengucapkan sejumlah perintah: pergilah, mintalah, masuklah, tutuplah, tuanglah, angkatlah! Hanya barisan perintah ini sudah menunjukkan apa yang akan terjadi, meskipun Elisa tidak menjelaskan apa-apa tentang itu. Sekaligus jelas bahwa bukan Elisa yang memberi pertolongan kepada janda itu, melainkan TUHAN sendiri. Yang diungkapkan Elisa ialah firman TUHAN. Mukjizat TUHAN tidak disampaikan melalui cerita yang panjang lebar, tetapi hanya melalui beberapa suruhan.
Tanggapan janda menunjukkan bahwa ia langsung mengerti bahwa akan terjadi mukjizat TUHAN yang besar. Ia tidak bingung atau kurang mengerti, sehingga bertanya, ”Mana mungkin hal itu terjadi? Apa persis maksud perintah ini atau perintah itu?” Akan tetapi, ia mengerti dan langsung pulang ke rumah. Lalu ia segera melaksanakan perintah-perintah abdi Allah, bersama-sama dengan kedua anaknya (apakah mereka tadi juga mengikuti ibunya kepada nabi Elisa tidak diceritakan). Ia pergi kepada semua tetangganya dan meminjam sebanyak mungkin bejana, tentu sampai rumahnya penuh. Kemudian ia menutup pintu. Bayangkan, ibu bersama kedua anaknya berdiri di rumah sambil dikelilingi oleh banyak bejana kosong. Sampai sekarang perintah-perintah Elisa gampang dilakukan. Meminjam bejana dan menaruhnya di rumah bukan hal sulit. Perintah berikutnya sebenarnya adalah hal yang cukup aneh: ”tuanglah minyak itu, yaitu parfum dalam flakon itu, ke dalam segala bejana”. Akan tetapi, tanpa ragu-ragu mereka menindaklanjuti perintah Elisa yang luar biasa ini, agaknya dengan hati yang berdebar dan rasa tegang yang bukan main besar. Ibu mulai menuang minyak dari botol kecil itu. Sambil menahan napas, dia dan begitu juga anak-anaknya berfokus pada pancaran minyak yang kecil yang keluar dari buli-buli masuk ke dalam bejana yang besar. Sangat mengherankan, minyak itu tidak berhenti mengalir sampai semua bejana penuh. Ibu yang menuang, dan anak-anaknya menolong dia dengan mengangkat bejana yang penuh dan menaruh bejana yang kosong. Di depan mata mereka TUHAN memperlihatkan kuasa-nya. Terjadi mukjizat yang luar biasa. Setiap kali kedua anak menaruh bejana kosong di depan ibu, minyak berambai-ambai lagi dari buli-buli. Dengan kesabaran besar ibu menuang minyak sampai semua bejana penuh. Mungkin tangannya menjadi kejang, tetapi tentu, ia tidak mau beristirahat. Sambil memperhatikan pancaran parfum yang keluar dari buli-buli itu, ia meminta anaknya menaruh bejana lagi, tetapi ternyata semua bejana kosong sudah habis. Sehingga minyak berhenti mengalir. Mereka saling memandang dan menarik napas dalam-dalam. Tugas selesai. Ketika memandang dan mencium bau harum minyak wangi, mereka kembali sadar. Di depan mata mereka telah terwujud mukjizat yang besar sekali. Rumah sekarang penuh dengan ratusan liter minyak wangi. Bayangkan saja harganya! TUHAN telah menggenapi firman-nya, yang diberitakan Elisa dalam bentuk beberapa perintah. Kuasa firman TUHAN sungguh-sungguh tidak terbatas.
Mengenai mukjizat ini, bandingkan analoginya dengan tanda yang diperbuat TUHAN melalui nabi Elia di Sarfat, yaitu tepung dalam tempayan tidak habis dan minyak dalam buli-buli tidak kurang sampai waktu TUHAN memberikan hujan lagi (1Raj. 17:14). Persamaan antara kedua mukjizat itu dan begitu juga dalam cerita berikutnya antara kebangkitkan anak-anak mati, yang satu melalui nabi Elia (di Sarfat) dan yang kedua melalui nabi Elisa (di Sunem) menjadi alasan untuk beberapa penafsir menarik kesimpulan bahwa dua kisah itu sebenarnya hanya satu kejadian, tetapi diceritakan dalam tradisi yang berbeda-beda. Apalagi, menurut mereka cerita-cerita ini bersifat dongeng yang tidak benar-benar terjadi. Sebaliknya, menurut keyakinan saya, kita harus mempertahankan seluruh Alkitab bukan sebagai tradisi manusia yang berbeda-beda, melainkan sebagai firman Allah sendiri. Artinya, kita mempertahankan bahwa semua cerita Alkitab tentang Elia maupun Elisa berdasarkan fakta-fakta yang sungguh-sungguh terjadi. Sama seperti kedua mukjizat di rumah janda Sarfat benar-benar terjadi, demikian juga mukjizat di rumah janda miskin dan di rumah perempuan Sunem itu. Bolehlah kisah-kisah itu dibandingkan satu dengan yang lain, asal tetap dipertahankan bahwa kisah-kisah itu menceritakan fakta-fakta yang berbeda-beda.
Mukjizat yang terjadi di rumah janda berarti kesusahannya tiba-tiba berakhir. Tadi ia masih berteriak karena putus asa. Sekarang ia bersorak karena sukacita, sambil dikelilingi oleh bau wangi dari parfum yang baru tadi dituangnya. Dengan hati yang lega dan sangat gembira ia kembali kepada Elisa (betapa besarnya perbedaan dari kedatangannya yang pertama!), dan melapor tentang mukjizat luar biasa yang telah terwujud di rumahnya, tentang minyak harum yang tanpa berhenti mengalir dari botol kecil ke dalam bejana-bejana kosong itu sampai semuanya penuh. Sekarang rumahnya penuh dengan minyak wangi yang mahal. Entah dia minta instruksi untuk tindakan selanjutnya atau tidak, tetapi Elisa sekali lagi memberi sejumlah perintah pendek saja: ”Pergilah, juallah minyak itu, bayarlah hutangmu, dan hiduplah dari lebihnya, engkau serta anak-anakmu.”
Sekarang janda itu dapat melunasi utangnya sampai tuntas, sehingga ia senantiasa bebas dari tuntutan penagih utang yang mau mengambil kedua anaknya itu. Dengan mukjizat ini TUHAN telah mengabul kan teriaknya minta tolong (bdk. Lagi Kel. 2:23-25). Tampaknya TUHAN tidak menolong sedikit saja, atau persisnya secukupnya. Perhatikan apa yang terjadi: tadi tidak ada apa-apa untuk melunasi utang yang besar, padahal sekarang ada kelebihan yang besar. Setelah ratusan liter minyak harum itu dijual dengan harga mahal dan utang dibayar lunas, sisa uang masih cukup untuk janda bersama kedua anaknya dapat hidup. Ibu ini sudah menjadi orang kaya, dan tidak akan miskin lagi. Kehidupannya terjamin untuk sekarang dan juga untuk masa depan.
TUHAN telah menolong janda yang berteriak karena kesusahannya dengan kelimpahan besar. Dia menyatakan diri-nya sebagai Allah yang adil dan murah hati. Dia tidak menerima ketidakadilan dan keburukan orang, tetapi melindungi anak-anak perjanjian-nya yang tertindas. Sementara itu penagih utang itu pastinya senang juga. Ia telah menerima pembayaran yang dituntutnya. Perkaranya dengan keluarga itu sudah selesai. Akan tetapi, jangan melupakan bahwa dialah koruptor yang melanggar aturan-aturan TUHAN. Perkara TUHAN dengan dia belum selesai. Hendaklah ia waspada!
Indah sekali kata-kata akhir dari Elisa, yakni, ”hiduplah dari lebihnya, engkau serta anak-anakmu.” Kedua anak tidak perlu diserahkan menjadi budak, tetapi mereka boleh hidup bersama-sama dengan ibu mereka dari hasil penjualan minyak wangi itu. Memang, masih tinggal kesulitan besar, yakni perkabungan karena kematian suami dan ayah. Akan tetapi, mereka berada dalam keadaan berbahagia karena senantiasa hidup di bawah perlindungan TUHAN. Dia yang menjamin kehidupan mereka sebagai keluarga. Itulah hiburan yang besar (bdk. Katekismus Heidelberg 1).
Firman TUHAN terbukti berkuasa. Kepunyaan janda itu sedikit. Tidak ada kemungkinan ia melunasi utangnya yang besar. Akan tetapi, ia berlari dalam kesusahannya kepada TUHAN. Ketika nabi TUHAN menang gapi teriaknya dengan memberi perintah, ”Kau harus buat begini-begini,” ia langsung melaksanakannya. Segala pengharapannya ada pada TUHAN saja. Hanya dia yang dapat menyelamatkan dia bersama kedua anaknya. Permohonannya tidak percuma karena TUHAN benar-benar menolong dia sesuai janji-nya. TUHAN bahkan melimpahkan dia dengan berkat-nya.
Kita yang hidup sekarang pun (telah) melihatmukjizat-mukjizat TUHAN. Bahkan, kita mengalami perbuatan TUHAN yang jauh melebihi semua mukjizat-nya yang lain: TUHAN telah mengabulkan teriak kita minta tolong dengan melepaskan kita dari kesusahan yang paling besar, yaitu kematian karena dosa. Dia melakukannya dengan mengutus Anak-nya, Yesus Kristus, yang telah membayar utang dosa kita sampai lunas. Kita yang miskin, yang tidak punya apa-apa untuk melunasi utang kita sendiri, telah menjadi orang kaya karena diperbolehkan senantiasa hidup dari anugerah TUHAN yang berlimpah-limpah. Hidup kita terjamin, sampai selama-lamanya. Sebenarnya perbuatan TUHAN itu membuat kita sangat terkejut. Bukankah dia sendiri penagih utang kita? Jelas, dia Pemiutang yang adil dan sabar, yang bertindak sesuai dengan hukum-nya, bahkan yang menyerahkan Anak-nya untuk melunasi utang kita, sehingga kita tidak perlu berbuat apa-apa lagi. Yesus Kristus menggantikan kita, sehingga kita berbahagia.
Sudah tentu, kita masih mengalami kesusahan dalam bentuk kesakitan, kematian, kemiskinan, penindasan, dan penganiayaan. Akan tetapi, tidak perlu kita putus asa karena kita boleh berlari kepada TUHAN dan berteriak minta tolong. Kita mengharapkan segala pertolongan dari TUHAN, secara langsung dan juga melalui jemaat Yesus Kristus. Jemaat Kristen, umat TUHAN, adalah tempat penghiburan dan kehidupan bagi setiap orang yang percaya. Mungkin mukjizat seperti yang terjadi dalam 2 Raja-raja 4:1-7 tidak terjadi, kalau terjadi kita berada dalam kesulitan yang serupa dengan kesusahan janda itu. Akan tetapi, jelaslah untuk setiap orang percaya bahwa firman TUHAN berkuasa. Ada buktinya: Firman telah menjadi daging manusia dan berdiam di tengah-tengah kita, yakni Yesus Kristus, Juru Selamat dan Penolong kita.
Mungkin ada yang menganggap penerapan mukjizat di bidang jasmani ke arah mukjizat di bidang rohani terlalu gampang. Tentunya ada bahaya bahwa cerita-cerita Alkitab ”dirohanikan” menjadi alegori, padahal TUHAN memelihara umat-nya juga di bidang kehidupan jasmaninya. Akan tetapi, janganlah kita melupakan bahwa segala sesuatu (artinya, seluruh ciptaan) mendapat penggenapannya dalam Juru Selamat Yesus Kristus. Lagipula, setelah Kristus melunasi utang dosa kita, kita diberi lagi tanggung jawab yang semula (Kej. 1-2). Kedua hukum, mengasihi TUHAN dan sesama manusia, mendapat arti yang baru dalam jemaat Kristus. Baca saja perumpamaan Yesus tentang pengampunan dalam Matius 18:21-35. Juga tentang cara hidup jemaat pertama di Yerusalem sesudah Hari Pentakosta, dalam Kisah Para Rasul 2, 4, dan 6. Jelas bahwa tidak ada pemisahan antara yang jasmani dan yang rohani.