Bas Luiten
”Sebab kamu tidak menerima roh perbudakan yang membuat kamu menjadi takut lagi, tetapi kamu telah menerima Roh yang menjadikan kamu anak Allah. Oleh Roh itu kita berseru, ”Ya Abba, ya Bapa!” Roh itu sendiri bersaksi bersama-sama dengan roh kita bahwa kita adalah anak-anak Allah” (Rm. 8:15-16).
Mencari dan Tidak Menemukan
Yesus pernah berkata kepada seorang wanita Samaria, ”Siapa saja yang minum air ini, akan haus lagi.” Pada saat itu wanita itu sudah siap untuk menimba air dari sumur. Memang, tidak ada cara lain untuk memperoleh air. Sumurnya sangat dalam. Akan tetapi, alangkah herannya ketika mendengar apa yang dikatakan oleh Yesus. Betulkah Dia dapat memberikan air hidup, mungkin dari sebuah sungai yang kecil? Alangkah menyenangkan kalau itu benar!
Namun, dengan sangat mengejutkan Yesus kemudian melanjutkan kata-kata-Nya dengan menyuruh wanita itu memanggil suaminya.
Padahal dia tidak bersuami. Sebenarnya, pada masa lalu dia sudah menikah lima kali, tetapi yang sekarang hidup bersama dia, bukan suaminya. Wah, menyakitkan juga untuk mengakui hal itu. Namun, justru pokok itulah yang hendak dibahas oleh Yesus. Ternyata wanita itu teramat haus. Hatinya dipenuhi oleh berbagai keinginan yang tidak terpuaskan. Dia sangat mendambakan cinta, kasih sayang, kehangatan, dan kepedulian. Suaminya yang pertama tidak sanggup memenuhi segala keinginan itu. Sebab itu dia mencari kepuasannya pada suami nomor dua. Ketika suami ini pun tidak dapat memberinya kepuasan itu, dia berpaling kepada suami nomor tiga. Namun, belum juga didapatkannya kepuasan yang sangat didambakannya itu, lalu dia mencarinya lagi pada suami yang berikut. Dan sesudah itu, meskipun sulit dipercaya, dia menikah lagi untuk kelima kalinya. Anda lihat, bukan? Bagaimana kejadian-kejadian yang berurutan itu berlangsung semakin cepat. Dan akhirnya dia sudah tidak lagi meminta restu kepada para tua-tua di gerbang kota untuk hidup bersama dengan pria yang keenam. Dia terus mencari dan menginginkan kepuasan, tetapi tidak pernah didapatkannya.
Yesus melanjutkan pembicaraan yang dimulai-Nya mengenai air minum. Namun, Dia menerapkan kata-katanya pada kehidupan manusia. Kehausan Anda tidak mungkin terpuaskan, meskipun Anda berhasil memperoleh apa pun di bumi ini. Dan Anda tidak pernah akan berhenti mencari-cari.
Kalimat itu sangat dalam artinya. Sebab manusia terus-menerus mencari! Masyarakat kita penuh dengan apa yang mereka cari itu.
Tersedia bermacam-macam hal untuk dinikmati orang, baikhal-hal yang berdosa maupun yang tidak. Namun, banyak di antara hal-hal itu sekarang sudah menjadi biasa-biasa saja, sudah tidak lagi memuaskan, dan tidak lagi merangsang. Di bidangpengalaman-pengalaman seksual, sekarang ini sudah dikembangkan industri lengkap untuk membuat pengalaman itu semakin halus dan semakin canggih. Mengapa? Karena pada masa lalu kepuasan yang sesungguhnya ternyata tidak ditemukan.
Hadiah-hadiah dalam bentuk uang yang ditawarkan dalam masyarakat, sudah tidak terkendali lagi. Dahulu orang dapat menang lotre sebesar satu juta rupiah. Jumlah itu sudah cukup untuk membuat pemenangnya senang luar biasa. Sekarang ini orang baru merasa senang kalau memenangkan dana sekurangnya 100 juta rupiah, atau bahkan satu miliar rupiah. Kepuasan yang kekal tidak kunjung ditemukan; ataukah mungkin jumlah uang tadi harus terus-menerus ditambah?
Kami belum lagi menyebut bermacam-macam pokok pembicaraan yang dibahas di TV! Acara-acara yang biasa sudah tidak menarik lagi. Sekarang yang mendapat perhatian hanya pokok-pokok yang membuat orang terperangah, yang dikemukakan dengan terus terang, tetapi yang sangat memalukan. Dan stasiun-stasiun TV berlombalomba menarik sebanyak mungkin penonton dengan menyuguhkan acara-acara yang semakin mengabaikan norma-norma kesopanan.
Dan seterusnya dan seterusnya. Semuanya harus lebih banyak, lebih baik, lebih bagus, lebih dahsyat, lebih menegangkan, lebih mengerikan. Roda petualangan harus berputar lebih cepat. Sebab orang-orang terus mencari-cari bersama-sama dengan lebih intensif. Meskipun begitu, tidak juga mereka menemukan kepuasan.
Itu seperti perbudakan. Perbudakan ialah kalau seseorang dengan seluruh jiwanya dipenuhi oleh keinginan yang tidak terpuaskan.
Dan untuk itu dia sering harus menyembunyikan rasa tidak berdaya, putus asa, dan kecewanya di balik berbagai macam hiburan yang mewah dan meriah.
Dan jangan sangka bahwa keadaan itu hanya terjadi di dunia saja. Hal yang sama dapat terjadi dalam setiap hati manusia, juga dalam hidup mereka yang tinggal dalam lingkungan Kristen. Kita terkejut bahwa juga banyak orang-orang gereja yang mencari-cari. Memang mereka mencari Allah, tetapi bagaimanapun mereka itu mencari.
Mereka mendambakan pengalaman yang sejati, pengalaman yang positif. Kadang-kadang mereka menemukannya, dalam sebuah jemaat yang baru, tetapi tak lama kemudian mereka mencari-cari lagi. Dewasa ini ungkapan OKJ (Orang Kristen Jalan-jalan) sudah terkenal. Dan jarang kita mendengar bahwa setelah itu mereka merasa telah menemukan apa yang mereka cari. Dan menurut kita, malahan sebaliknya yang terjadi. Sebab rasa tidak puas semakin bertambah, diikuti oleh keinginan tertentu untuk menjauh. Kita mendengar juga bahwa banyak orang merasa gelisah, merasa kurang yakin, dan meragukan segala-galanya. Jauh dalam hati orang-orang itu banyak hal yang sudah tidak pasti lagi. Gejala itu disebut pascamodern, sebagai sebuah alasan, sebab dengan begitu yang menyebabkannya ialah zaman di mana mereka hidup, dan bukan mereka sendiri.
Juga di dalam gereja banyak ketidakpastian dapat ditutup-tutupi dan dikompensasi. Misalnya, dengan pengetahuan dan keterampilan.
Dan dengan penampilan yang aktif. Banyak jalan dapat ditempuh untuk memperoleh penghargaan dan menjadi orang yang dihargai.
Tentu saja hal itu dapat memberi kepuasan tertentu. Sayangnya, keadaan itu begitu rapuh. Soalnya, orang lain yang mengatakan bahwa Anda begitu saleh, padahal dalam hati, Anda tahu bahwa di antara segala sifat Anda yang baik, terdapat juga banyak kedagingan dan keduniawian. Dan itu memberi Anda perasaan yang campur aduk, sehingga tidak memuaskan. Jadi, kalau begitu, haruskah kita lanjutkan saja hidup ini seperti biasanya, dan berusaha melakukan yang terbaik?
Ada orang-orang lain lagi yang menyatakan diri sebagai pembela kebenaran dan kebiasaan-kebiasaan yang lama. Di situlah mereka mencari ciri khas mereka. Ada juga orang-orang yang hanya merasa kerasaan di gereja yang mempunyai bentuk baru dan presentasi yang baru. Di dalamnya mereka mencari kecocokan dan rasa nyaman dan mereka bekerja aktif untuknya. Dan akibatnya, timbul berbagai perbedaan pendapat dan ketegangan terus-menerus, dan diskusi-diskusi yang sengit dan tidak lagi meyakinkan seorang pun, apalagi memperkuat persa- tuan. Dan penyebabnya ialah karena seorang pun tak dapat dengan cara apa pun menemukan satu-satunya pegangan yang sejati.
Dengan demikian, di mana-mana kita menjumpaibentuk-bentuk paksaan, atau dengan kata lain perbudakan. Perbudakan di dunia, karena Anda harus mengikuti segala apa yang ditentukannya. Kalau tidak, Anda dikucilkan dan menjadi sama sekali tidak berarti.
Perbudakan di gereja, bilamana Anda terjebak dalam berbagai pola dan konflik paksaan, dan Anda mengikutinya, padahal semua itu tidak menimbulkan rasa bebas dan bahagia di dalam hati Anda. Juga bilamana sebagai reaksi terhadap perbudakan itu, Anda memutuskan hubungan dengan gereja, maka segera Anda terjebak lagi, dan sekarang dalam lingkaran Setan. Anda jalan-jalan lagi mencari gereja dan Anda tidak keluar dari lingkaran itu. Anda tidak dapat menemukan kepuasan!
Di mana-mana Anda bisa ditinggalkan sendirian saja, baik di dunia maupun di gereja. Ternyata orang-orang di sekitar Anda dapat seenaknya saja berpaling dari Anda pada saat yang menentukan.
Sebab itu, selalu ada alasan untuk menyalahkan pihak lain, misalnya: orang-orang yang menyebalkan, sebuah gereja yang tidak memenuhi harapan. Hal itu sangat sering terjadi. Namun, juga sikap seperti itu, tidak membawa kepuasan. Sebab kita tahu benar bahwa sebenarnya masalahnya terletak dalam diri kita sendiri. Hal itu Anda rasakan kalau Anda jujur. Dan tak mungkin Anda menghindari kenyataan itu, karena setiap kali Anda harus merasakannya. Apakah tidak ada jalan untuk mengatasinya?
Kita Pulang ke Rumah
Di tengah-tengah semua kekecewaan dan keputusasaan, dan segala tawaran dunia yang tidak pernah memuaskan, Kristus memperkenalkan diri sebagai air hidup. Berbeda dengan semua hal di atas tadi, Kristus sanggup memuaskan kita.
Bahkan dengan terus terang Dia menjanjikannya: ”Siapa saja yang minum air yang akan Kuberikan kepadanya, ia tidak akan haus untuk selama-lamanya” (Yoh. 4:14). Bukankah itu janji yang hebat? Dalam situasi apa pun, di mana pun dan kapan pun, kita tidak pernah akan haus lagi. Itulah yang membuat perbedaannya begitu besar.
Dengan cara yang sama Yesaya sudah memperkenalkan Yesus:
”Ayo, hai semua orang yang haus, marilah dan minumlah air, dan hai orang yang tidak mempunyai uang, marilah! Terimalah gandum tanpa uang pembeli dan makanlah, juga anggur dan susu tanpa bayaran! Mengapakah kamu belanjakan uang untuk sesuatu yang bukan roti, dan upah jerih payahmu untuk sesuatu yang tidak mengenyangkan?” (Yes. 55:1-2).
Yesus adalah roti kita, air kita, terang kita. Gambaran itu berbaur menjadi satu. Dia adalah hidup kita. Mengapa? Karena Dia membawa kita pulang ke rumah Bapa.
Semua orang telah kehilangan rumah Bapa itu. Adam diciptakan dalam sebuah relasi, dia adalah anak Allah (bdk. Luk. 3:38). Kalau Anda kehilangan relasi itu, hati Anda kosong, tanpa harapan. Seorang manusia merasakan kekosongan itu, dia mengetahuinya, meskipun dia tidak dapat menyebutkan penyebabnya. Jauh di lubuk hatinya ada sesuatu yang hilang, dan rasanya sama sekali tidak nyaman. Apa yang hilang itu harus kembali! Namun, apa yang hilang itu?
Mencari, mencari, terus mencari. Mencari lebih dalam, lebih jauh, lebih intensif. Segala-galanya dicoba, dan untuk sesaat tampaknya usaha itu berhasil, tetapi hanya untuk sesaat. Tentu saja, sebab Allah tidak dapat diganti dengan apa pun juga.
Kemudian kita berjumpa dengan Yesus, yaitu hidup kita, kebenaran kita, realitas kita. Dia datang langsung dari Bapa, dengan tujuan untuk mengajak kita semua kembali kepada-Nya. ”Ya Bapa, Aku mau supaya, di mana pun Aku berada, mereka juga berada bersama-sama dengan Aku” (Yoh. 17:24). Dengan doa itu Dia meninggal di atas kayu salib.
Peristiwa itu merupakan terobosan yang luar biasa di dunia ini dan dalam hati manusia. Keterasingan kini disingkirkan. Anak-anak yang terhilang, baik laki-laki maupun perempuan, dibawa pulang.
Mereka bukan budak dosa lagi sampai dijemput oleh maut, tetapi mereka menjadi anak-anak Allah dan hidup kekal dengan Dia (Rm. 6:15-23).
Banyak di antara keterangan itu baru akan terjadi pada masa depan. Kehidupan anak-anak Allah masih tersembunyi, bersama dengan Kristus, di dalam Allah (Kol. 3:1-4). Kita belum dapat membayangkan betapa mulianya keadaan itu, karena hal itu melebihi daya pikir kita (1Yoh. 3:2).
Namun, hal yang pokok sekarang sudah dikaruniakan di sini. Memang, karya Roh Kudus mempunyai ciri yang khas, yaitu menjadikan manusia bagian dari Yesus, yaitu menggabungkan mereka dengan Dia sehingga dengan demikian mereka dibawa kembali kepada Allah. Barang siapa berpaling kepada Yesus, akan dipuaskan dengan sempurna oleh kasih-Nya, kepedulian-Nya, dedikasi-Nya, kesetiaan-Nya, kesucian-Nya, kebenaran-Nya dan terutama oleh kemanunggalan-Nya dengan Bapa-Nya. Bukan saja karena semua itu sangat mengesankan, tetapi juga karena Dia berbagi semua itu bersama dengan Anda. Ketaatan-Nya dilakukan-Nya atas nama kita. Dialah yang mengajar kita menyebut Bapa-Nya ”Bapa” juga, bahkan Dia mau berbagi Roh-Nya dengan kita.
Jadi, kita pulang ke rumah Bapa, bersama-sama dengan Anak-Nya.
Menjadi seperti Anak-anak
Siapakah Roh itu? Tidak seorang pun yang pernah melihat Dia, seperti juga angin tidak bisa kita lihat, hanya kita rasakan. Juga roh kita sendiri belum pernah dapat kita amati ataupun kita raba.
Meskipun begitu Roh itu hadir dengan sangat konkret di dalam diri kita, persis seperti ”aku” kita. Dengan persamaan itu Paulus menjelaskan sekonkret mungkin kepada kita siapa yang boleh kita bayangkan dalam pikiran, kalau kita berbicara tentang Roh Allah (1Kor. 2:10-16). Dia itu ialah Roh, yang ada di dalam Allah, yang dari lubuk hati-Nya mengetahui segala-galanya tentang Dia. Dan Roh itulah juga yang menjiwai Yesus untuk menjadi Juru Selamat kita. Roh yang ada dalam Bapa dan Anak, diberikan oleh Allah di dalam diri kita juga. Tujuan-Nya ialah supaya Roh itu bekerja di dalam hati kita, sehingga kita menyadari bahwa kita ini, di dalam Anak dan bersama-sama dengan Dia, adalah anak-anak Allah. Kita membaca bahwa Roh itu dengan tegas dan singkat disebut: ”Roh yang menjadikan kamu anak Allah” (Rom. 8:15). Di situlah letak visi-Nya dan misi-Nya. Sudah sangat jelas, bukan?
Alangkah pentingnya untuk mengatakan hal itu sekarang. Sering sekali penyataan Roh dicari dalam perbuatan-perbuatan yang luar biasa dan karunia-karunia pribadi, yang tidak jarang juga menjadi bahan perdebatan. Beberapa orang menganggap kelahiran kembali itu sebagai cita-cita yang terlalu tinggi, yang tak mungkin tercapai oleh banyak orang, menurut pendapat mereka sendiri atau orang lain. Namun, apakah yang dikatakan Kitab Suci tentang sifat spesifik Roh? Roh itu selalu berbicara tentang Yesus. Dia memperlihatkan Yesus kepada Anda dan membawa Anda kepadaNya. Ya, Roh akan mempersatukan Anda dengan Yesus (Yoh. 16:12-15). Dan kedalaman dari persatuan itu ialah Roh sendiri, karena Dia ada di dalam Yesus dan juga di dalam kita. Roh bekerja supaya Anda ”berakar” dalam kasih Allah (Ef. 3:14-19). Berakar artinya: keberadaan Anda bermula dari Allah, di situlah rumah Anda;
Anda adalah anak, seperti anaklah Anda mulai berpikir. Kelahiran kembali bukan cita-cita yang tidak terjangkau, itu tidak benar.
Kelahiran mengandung arti bahwa ada sesuatu yang mulai hidup: dan mulai dari saat itu, permulaan hidup itu tidak terletak lagi di dalam diri kita sendiri atau di dalam lingkungan kita, melainkan di dalam Allah. Permulaan itu sama sekali belum sempurna, sebab biasanya memang begitu dalam sebuah kelahiran. Akan tetapi, bagaimanapun, permulaannya sudah ada, sebagai karunia yang besar, sebagai sumbangsih, sebuah pembebasan, sebuah awal dari kebahagiaan yang abadi.
Pendek kata: di tengah-tengah segala ”karismata” (bentuk jamak karunia Roh), Paulus menyadarkan kita sehingga kita melihat ”karisma” (pemberian Roh yang paling utama dari semua karunia), yaitu kehidupan di dalam dan bersama-sama dengan Yesus Kristus, kehidupan sebagai anak Allah, yang sekarang sudah mengalami awal dari kebahagiaan yang abadi (bandingkan juga dengan Rm. 6:23). Semata-mata dengan cara itu kita pulang sebagai anak-anak sah.
Apabila karunia itu tidak atau kurang dihargai atau ditolak, hati kita akan diliputi oleh kekosongan yang sangat menyedihkan. Suatu kekosongan tanpa harapan, yang menjerit minta dipuaskan, justru karena kita merasa bahwa sebetulnya kita tidak jauh dari Allah. Dan itu menyebabkan hal-hal yang kurang penting bagi kita menjadi hal-hal yang pokok, sehingga setiap orang memilih bagiannya masing-masing dalam kehidupan rohani dan membelanya dengan gigih. ”Anda harus kemari, oh, jangan, ke sana saja!”-”Inilah cara yang terbaik, ah, salah, pakailah cara yang lain!” Berbagai perbedaan pendapat bercampur baur, sebagai tanda yang jelas bahwa masalahnya terletak jauh lebih dalam daripada permukaannya. Sebab di dalam Kristus kita menemukan kesatuan kita, dengan Dia dan dengan sesama kita, dengan cara yang membuat kita memandang lebih jauh, tetapi tidak mencari lebih jauh.
Sebagai anak-anak dalam satu keluarga, kita bahkan boleh belajar berpikir sebagai pewaris, bersama dengan Kristus. Dunia ini tercatat atas nama-Nya, tetapi Dia mengolahnya untuk kita.
Di sini Allah akan tinggal di tengah anak-anak-Nya. Bukan surga yang menjadi tujuan akhir kita, melainkan bumi yang baru. Seperti Abraham bepergian jauh melintasi tanah Kanaan, demikian juga kita boleh memandangi dunia ini dengan mata yang baru. Dunia ini adalah bagian warisan kita. Keadaan nanti akan berbeda dengan keadaan sekarang, Sekarang kita adalah orang asing di sini. Namun, bersama-sama dengan Kristus, kita akan dikaruniai segala sesuatu, yaitu ciptaan Allah dalam kepenuhannya dan dalam kemuliaan-Nya yang baru (Rm. 8:32). Jadi, kita tidak lagi tergantung dari segala harta benda yang sekarang kita miliki atau kumpulkan, semua itu dicari oleh bangsa-bangsa di dunia ini. Kalau Anda menerima segala sesuatu, tidak perlu Anda meraupnya untuk mendapatkannya.
Berbicara tentang keinginan yang terpuaskan: sekarang Anda boleh benar-benar hidup, karena Anda sudah mendapatkan kepuasan itu. Sekarang hati Anda telah bebas dan bahagia.
Berpikir sebagai Anak-anak Allah
Perhatikanlah pertentangan di dalam Roma 8:15-16, yang kita jadikan titik tolak bab ini. Roh yang menjadikan kita anak Allah, bukan roh yang menjadikan kita budak, sehingga kita hidup dalam rasa takut sebagai budak. Mengapa pertentangan anak-budak ditulis dengan begitu tegas?
Jawaban singkatnya dan yang sesuai dengan banyak penerangan dalam Kitab Suci ialah karena mentalitas seorang budak pada hakikatnya berakar di dalam diri manusia.
Yesus melepaskan manusia dari perbudakan dengan membayar uang tebusannya. Namun, setelah itu pembebasan mereka belum tuntas. Menyusul penebusan oleh Yesus itu maka Roh-Nya yang akan melepaskan perbudakan dari manusia itu. Itu merupakan proses selama hidup kita.
Sebab kita harus belajar menyerahkan hati kita kepada Allah. Seorang budak tidak tahu berbuat begitu. Dia ”senang” melakukan apa yang diperintahkan kepadanya karena dia tidak punya pilihan lain.
Hanya kalau disangkanya bahwa majikannya tidak mengawasinya, budak itu mencoba untuk tidak melakukan tugasnya, dan menuruti kehendaknya sendiri. Dia harus berusaha sendiri supaya bisa tetap hidup dan tidak mati kelelahan sebagai seorang budak. Itulah nasibnya, bukan?
Bangsa Israel telah melihat kebudayaan di Mesir di manaallah-allah lain disembah. Dalam ibadah itu tidak terdapat ungkapan kasih.
Yang ada hanya peraturan-peraturan ketat untuk penyembahan, diiringi rasa takut. Nyawa manusia tidak ada harganya, dan dalam nama allah-allah itu nyawa manusia ditentukan seenaknya saja.
Para allah itu hanya harus dibuat senang, dan selanjutnya sebaiknya mereka jangan diganggu. Kalau orang ingin senang, dia harus mencarinya di tempat lain. Mentalitas itu tidak secara otomatis hilang dari Israel (yang hidup lebih dari 400 tahun dalam suasana itu) juga setelah keluar dari Mesir. Itu sebabnya, masih saja mereka tega melakukan berbagai kejahatan di padang gurun, dan masih saja mereka curiga terhadap TUHAN. Meskipun setelah itu sudah berlalu masa berabad-abad, Allah masih saja mengutus para nabiNya untuk menyampaikan pesan ini: ”Berikan hatimu kepada-Ku, bukan perbuatanmu.” Secara bergantian para pemimpin agama harus memperingatkan orang-orang dalam Bait Allah, ya bahkan mengusir mereka dari situ. Allah adalah Bapa! Dia tidak mau bergaul dengan orang-orang yang berperilaku seperti budak. Dia tidak menyukai orang-orang yang lebih takut kepada-Nya daripada mengasihi-Nya. Dia tidak sudi berurusan dengan orang-orang yang menyembah Dia karena tidak ada pilihan lain, tetapi yang sementara itu mencari kesenangan mereka di tempat lain.
Berikan hatimu kepada-Ku, bukan saja perbuatanmu. Dengan kesabaran ilahi Tuhan menyatakan kasih-Nya berulang-ulang kepada umat-Nya. ”Kamu kekasih-Ku. Kamu menjadi pengantinKu. Aku akan menatangmu dengan tangan-Ku. Seluruh dunia akan kukaruniakan kepadamu,” dan masih banyak pernyataan-pernyataan kasih lainnya. Kadang-kadang bangsa itu memperhatikan ungkapan kasih itu. Namun, setiap kali mentalitas budak muncul kembali. Sebab mentalitas itu seakan-akan berakar di dalam hati manusia, lebih kuat daripada dahulu di Mesir. Sejak kita berpisah dari Allah di Taman Eden, kita sudah lupa untuk menyerahkan hati kita kepada Allah.
Pada zaman Yesus hidup di bumi, orang-orang memikul kuk yang berat. Mereka sangat menderita karenanya. Kuk itu berat karena bagaikan beban berat yang terdiri dari berbagai macam keharusan dan larangan, yang merenggut segala kemerdekaan mereka. Begitulah keadaannya kalau perilaku dijadikan hal yang menentukan. Dengan demikian orang-orang saling menyandera.
Yang seorang menghakimi yang lain, supaya dia sendiri dapat luput dari penghakiman terhadap dirinya. Orang-orang sibuk mempertahankan diri dan seakan-akan membangun tembok yang sangat tinggi sekeliling dirinya, tanpa menyadari bahwa sebetulnya dia membangun penjara untuk dirinya sendiri. Dalam suasana yang serbategang dan usaha mempertahankan diri itu, tidak ada tempat untuk Anak Allah. Kata-kata-Nya tidak diperhatikan. Dia dicurigai dan ditolak. Kuk-Nya yang ringan, (yang terdiri dari tugas-tugas yang sudah dipenuhi, kasih, ucapan syukur), yang dipasangkan kepada orang-orang yang letih lesu, tidak diterima. Mereka tak tahu harus berbuat apa dengan kuk dari Yesus itu.
Mengapa anak-anak yang hidup begitu dekat dengan Allah, tetapi mempertahankan sikap mereka sebagai budak?
Kenyataan itu mencirikan sengsara bagi kita. Dalam surat yang ditulis Paulus kepada jemaat di Roma, dia mengatakan: ”Sebab kamu tidak menerima roh perbudakan yang membuat kamu menjadi takut lagi, tetapi kamu telah menerima Roh yang menjadikan kamu anak Allah. Oleh Roh itu kita berseru, ”Ya Abba, ya Bapa!” Roh itu sendiri bersaksi bersama-sama dengan roh kita bahwa kita adalah anak-anak Allah” (Rm. 8:15-16).
Tampaknya ini adalah motif sentral yang menjadi bahan pembicaraan selama berabad-abad, dan di sepanjang hidup kita.
Allah tidak memberi Anda hati seorang budak, yang selalu merasa tidak pasti dan bekerja keras untuk mendapatkan penghargaan (tetapi yang bisa juga menghasilkan kata-kata kecaman).
Dan yang lebih penting: Allah tidak memberi Anda hati seorang asing, yang selalu ingin menjauh, dan bersikap menanti, dan yang tidak pernah bersedia untuk melayani Bapa dengan penuh dedikasi.
Allah tidak memberi Anda hati tanpa kasih, tanpa spontanitas, tanpa keterikatan dengan Dia. Memang, sebelumnya keadaan Anda demikian, tetapi sekarang (setelah percaya kepada Yesus) ada perubahan, dan justru itulah yang penting dalam segala karya Roh Kudus. Itulah yang menjadi pokok di tengah-tengah segala buah dan karunia serta diskusi tentang hal itu. Roh Kudus memberi pengaruh-Nya supaya Anda sadar bahwa Anda adalah anak Allah. Anak yang tinggal di rumah Allah, yang ingin untuk tinggal di situ dan tahu bahwa dia aman, yang tidak memerlukan lagi tembok-tembok yang tinggi, dan merasa tenang meskipun tahu bahwa dirinya rentan bahaya. Anda menjadi seorang anak yang bisa diberi tahu oleh Allah bahwa: ”Segala milik-Ku adalah milikmu” (Luk. 15:31).
Bukan karena engkau layak mendapatkannya, tetapi karena engkau anak-Ku, sepenuhnya. Aku mengasihi dirimu seperti Aku mengasihi Anak-Ku yang kekal.
Roh dari surga, ajarlah kami memercayai bahwa kami anak-anak Allah.
Haleluya!
Jadi, sekarang kita harus benar-benar belajar untuk berpikir berbeda. Tidak serupa dengan dunia ini (Rm. 12:2), tetapi serupa dengan gambaran Anak-Nya (Rm. 8:29). Pikiran yang salah sudah berakar kuat di dalam hati kita, sekuat peristiwa kejatuhan manusia ke dalam dosa. Pikiran itu berasal dari diri kita sendiri, yaitu, dengan melewati Allah, selalu berusaha untuk menyelamatkan diri kita sendiri.
Roh mengajarkan kita hal-hal yang berbeda. Dia meminta supaya Anda menyerahkan akal budi Anda. Bukan untuk merenggutnya dari Anda, tetapi untuk membuatnya baru.
Roh mengajar Anda untuk berpikir seperti Yesus: Anda belajar untuk berpikir berdasarkan diri Allah.
Roh mengajar Anda memandang seperti Yesus: memandang dengan tujuan untuk menyelamatkan.
Anda menerima sikap batin Yesus, yang penuh ketulusan, belas kasihan, dan kejujuran dalam membela kepentingan Allah.
Dan di atas segalanya: Yesus berbagi dengan Anda segalanya yang ada dalam diri-Nya. Hidup-Nya, kasih-Nya, kenyataan bahwa Dia adalah Anak Allah. Dia adalah Allah, Anda tetap manusia. Meskipun begitu Anda menerima kasih yang sama seperti yang diberikan kepada Anak Tunggal Allah. Allah melihat Anda di dalam AnakNya, yaitu di dalam hati Anak-Nya. Demikian Allah memandang Anda sebagai anak-Nya. Dan Anak-Nya dipandang oleh Allah sebagai yang sulung di antara banyak saudara (Rm. 8:29).
Ada sebuah pertanyaan yang selama berabad-abad dibantah.
Pertanyaan yang diajukan secara sugestif itu ialah apakah hal itu (keterangan di atas tadi) tidak dikatakan dengan terlalu mudah?
Pertanyaan itu membuat anak berulang-ulang merasa terancam, bahkan dirampas hak dan perasaannya sebagai anak. Padahal pertanyaan tadi mengarah ke arah sebaliknya. Soalnya, bagi orang yang hidup sebagai budak sesudah kejatuhan dalam dosa, sebetulnya lebih mudah untuk tetap menjadi budak. Malahan lebih sukar untuk hidup dalam kemerdekaan, karena kita sudah tidak biasa hidup begitu. Hidup dalam kemerdekaan harus kita pelajari dari awal, dan kita harus belajar merasakannya. Sikap seorang budak (yang selalu mengatakan ”beri tahu apa yang harus kulakukan, dan jangan yang susah-susah”) adalah lebih mudah (dan lebih dangkal) bagi seorang yang berdosa daripada relasi seorang anak dengan ayahnya (relasi dari hati ke hati, relasi yang tulus dan sungguh-sungguh). Juga berbagai penilaian diri secara negatif (”tak mungkin aku ini mampu memenuhi hukum Allah”), menciptakan jarak yang membuat seorang budak merasa nyaman.
Itu sebabnya karya Roh Kudus sungguh besar. Dia mau mengajarkan kepada kita hidup dalam relasi antara anak dan Bapa.
Karya-Nya tak pernah berhenti selama berabad-abad. Dalam hidup setiap anak Allah, hal itu terjadi dengan baru lagi. Jadi, tak perlu kita menjadi putus asa (dan berpikir, ”Mengapa aku tak kunjung berhasil?”). Sebaliknya, itulah alasan untuk mengucap syukur kepada Allah: Dia betul-betul menghendaki anak-anak. Anak-anak yang mengasihi Dia dan rindu untuk dekat dengan Dia. Anak-anak yang memperlihatkan kerinduan itu dalam kata-kata yang ramah dan perbuatan-perbuatan yang spontan. Anak-anak yang merasa bahagia sudah menjadi anak-Nya dan-dengan rasa heran-merasa bahwa hati mereka penuh dengan kebahagiaan itu.
Rumah Allah di Dalam Hati Anda
Bagaimana Roh melaksanakan hal itu? Bagaimana Dia membawa kita pulang ke rumah Bapa dan Anak? Di mana ”rumah kediaman” itu? Dapatkah rumah itu ditunjukkan di mana letaknya? Bisa. Yesus telah berjanji: kalau Roh Kudus dicurahkan, Kami, Bapa dan Anak dan Roh akan datang kepadamu dan diam bersama-sama dengan kamu (Yoh. 14:23). Kami akan menjadikan hatimu tempat tinggal Kami.
Janji yang sungguh luar biasa! Namun, bagaimana itu mungkin terjadi? Ketika Salomo dengan resmi membuka Bait Allah sebagai tempat beribadah, dia mengatakan dalam doanya kepada Allah:
Seluruh alam semesta tidak dapat memuat Engkau, apalagi Bait ini!
Apakah benar Allah akan tinggal di sini...? Padahal hatiku jauh lebih kecil lagi. Benarkah hatiku ini menjadi tempat tinggal bagi Allah...?
Ya, benar. Bukan dalam arti bahwa Bait Allah itu dapat memuat Dia. Namun, Salomo mengatakan: Biarlah ini menjadi tempat di mana Engkau disembah, dan di mana Engkau menunjukkan bahwa Engkau mendengar doa-doa kami. Hendaknya ini menjadi tempat di mana Engkau dimuliakan, di mana orang-orang sujud menyembahMu. Dan di mana Engkau bertakhta di tengah-tengah umat-Mu, di mana Engkau berkenan bertemu dengan kami (1Raj. 8).
Seperti itu pula kita bernyanyi, ”Hendaknya hatiku menjadi Bait Suci bagi-Mu....” Sebuah Bait Suci: tempat di mana aku menghadap Engkau. Tempat dari mana puji-pujian dan doa-doa naik kepada-Mu.
Dan di mana Engkau menunjukkan bahwa Engkau mendengarnya.
Tempat di mana Engkau bertakhta untuk mengatur hidupku, melalui Roh-Mu yang kudus.
”Perkenankanlah hatiku menjadi Bait Suci bagi-Mu.” Itu adalah doa. Doa di mana yang kita minta ialah hal yang hakiki di dalam hidup kita. Kita boleh minta banyak hal kepada Allah, dan itu diperkenankan-Nya. Dialah sumber segala kebaikan. Namun, hendaknya di tengah-tengah semua itu, permohonan yang satu ini menjadi pusat: ”Hendaknya hatiku menjadi Bait Suci bagi-Mu, supaya aku bisa hidup”.
Ada alasan lain yang membuat doa itu begitu penting, yaitu karena di dalam hati yang sama itu dapat berlangsung berbagai masalah yang sangat besar.
Hati kita ialah tempat di mana kita menuduh diri sendiri, sesudah kita lebih mengenal Allah, dan menyadari bahwa kita sering melawan kehendak-Nya (1Yoh. 3:20). Semakin kita mengenal Allah, semakin kita dekat dengan Dia, dan semakin banyak masalah yang kita jumpai.
Rasa ragu-ragu dan ketidakpastian datang menyerang. Meskipun dari luar kita tampak sangat yakin, tetapi di dalam hati perasaan kita bercampur aduk. ”Benarkah aku ini anak Allah?” Banyak orang bertanya dalam hati dengan rasa takut.
Hati ialah sumber segala keinginan dan hawa nafsu kita yang sering dengan cepat berhasil membujuk kita. Sebab itu hati kita menjadi sasaran Si Jahat untuk menggoda kita.
Sebelum Anda menyadarinya, tempat tinggal Allah di dalam hati Anda sudah tersudut. Alih-alih memiliki hati yang bebas dan gembira dan bahagia yang tersedia bagi Allah, malahan ada ganjalan di hati Anda, yang menyesakkan dada, dan yang hendak segera Anda lupakan.
Paulus menulis kepada jemaat di Efesus bahwa dia berdoa untuk hati mereka (Ef. 3:17). Dia berdoa supaya Kristus menjadikan hati mereka tempat tinggal-Nya, melalui Roh-Nya. Sudah pasti Kristus memenuhi permintaannya! Namun, tidak secara otomatis. Dia ingin agar Anda sendiri memohonnya. Dan Anda sendiri harus menggunakan juga bait itu.
Zaman di mana Paulus menaikkan doa itu sudah lama berlalu.
Namun, doanya telah dicatat supaya kita juga menaikkannya. Tempat tinggal di dalam hati Anda, diberikan oleh Allah. Akan tetapi, berdoalah untuk itu, sebab kalau tidak, Dia tak mau tinggal di situ. Jadikan hati Anda tempat untuk beribadah. Dan jagalah hati Anda dengan segala kewaspadaan, karena dari situlah terpancar (akar-akar) kehidupan (Ams. 4:23).
Kalau semua ini Anda renungkan, Anda akan menemukan sesuatu yang mengejutkan, yaitu Roh Allah menyebabkan Anda berpikir dengan cara yang baru. Tampaknya Dia telah memulai hal itu, meskipun Anda tak menghendakinya dan meskipun Anda enggan melakukannya. Anda mulai melihat dengan tajam bahwa semua itu prakarsa-Nya sendiri. Hati Anda benar-benar didiami oleh-Nya, dan benar-benar menjadi rumah-Nya.
Anda belajar mengatakan: Segala-galanya dalam hidupku mulai di dalam Allah, yaitu Dia yang melawat aku ketika aku tidak mencariNya. Segala-galanya dalam hidupku mulai dalam Juru Selamat yang mati untukku, ketika aku tidak meminta-Nya melakukan itu.
Segala keburukan dan permusuhan yang sekarang kulihat di dalam hatiku sendiri, sudah diketahui-Nya sejak semula. Dia tahu bahwa sifatku seperti itu. Meskipun begitu, Dia datang kepadaku, untuk menciptakan tempat tinggal bagi diri-Nya di dalam hatiku.
Sekarang aku tahu bahwa semuanya benar-benar mulai di dalam Allah, dan tidak dalam diriku sendiri. Hal itu membuat aku tenang.
Allah itu lebih besar daripada hatiku yang menuduh aku (1Yoh. 3:20).
Kasih-Nya yang pertama mengusir ketakutan dari dalam hatiku (bahwa aku akan ditolak) (1Yoh. 4:19). Dia tahu siapa aku, meskipun begitu, Dia berkenan untuk tinggal dalam hatiku. Bait-Nya adalah tempat untuk mendengar doa. Demikian juga halnya dengan baitNya di dalam hatiku. Dia sendiri menunjukkan kenyataan itu.
Sebab itu: kasih Allah bagiku sama dengan tanah yang subur bagi tanaman. Aku boleh menerima apa saja dari kasih itu. Anda menjadi berakar dalam kasih Allah. Segala sesuatu di dalam diri Anda berasal dari Dia. Anda benar-benar anak dari Bapa ini, anak yang sungguh merasa senang di rumah Bapanya.
Sebuah Pilihan yang Sarat dengan Makna
Hal itu mengandung juga sebuah pilihan, dan sebuah penolakan.Kalau aku berakar dalam kasih Allah, maka tak mungkin akar itu tertanam di tempat yang lain. Tidak juga di dalam diriku sendiri, dalam segala kemungkinan dan keterbatasanku. Keadaan itu seperti kalau Anda menanam tanaman di padang gurun. Setiap kali kalau kita merayakan perjamuan kudus, kita bersaksi dengan kata dan perbuatan bahwa kita mencari kehidupan di luar diri kita sendiri, yaitu di dalam Yesus Kristus.
Dan kita juga tidak berakar dalam keinginan-keinginan kita. Hal itu perlu dibahas tersendiri. Sebab Anda hanya perlu menyalakan TV, dan menonton sinetron atau klip iklan untuk menyadari bahwa yang kita tonton itu benar-benar terjadi setiap hari dalam masyarakat. Semua orang, khususnya kaum muda, seakan-akan disuruh untuk melakukan apa saja yang mereka sukai. Mereka diundang untuk mencari dan mengingini semua yang cool (keren), asyik dan menyenangkan hati!
Di situ ditanyakan: Anda ingin melakukan apa? Anda ingin punya apa? Maka hati Anda penuh dengan kerinduan untuk mendapatkan sesuatu, beli saja, kalau perlu pinjam uang saja, jadilah seorang budak.
Manusia pada zaman ini dengan tegas berakar di dalam dirinya sendiri, di dalam segala keinginan dan kecenderungannya sendiri, dan di dalam ketidakmampuannya untuk menahan diri. Keadaan itulah yang diperlihatkan dalam TV, surat kabar, internet, selama 24 jam per hari.
Sebelum Anda menyadarinya, Anda ikut terpengaruh. Kalau Anda masuk gereja, Anda mendengar pertanyaan: Asyik atau tidak di sini?
Tidak? Kalau begitu aku tak mau menjadi anggota di sini. Namun, coba bayangkan: Seandainya Yesus dengan cara itu memandang bumi ini: asyikkah di situ? Maka pastilah tak pernah Dia mau turun dari Surga.
Atau barangkali Yesus telah memandangi Anda dan berpikir:
Orang ini menyenangkan atau tidak? Kalau itu yang terjadi, maka tak pernah Dia mati untuk Anda. Motif yang menggerakkan Dia bukanlah bahwa kita ini begitu menyenangkan untuk diajak bergaul, malahan sebaliknya. Hanya karena terdorong oleh kasih-Nya, maka Dia bertindak, dan meninggalkan rumah Bapa-Nya.
Dan sekarang akar-akar kita ditanam dalam kasih itu!
Kalau kita pergi ke gereja, maka janganlah kita saling mengajukan tuntutan berdasarkan diri kita sendiri. Kita tidak berharap untuk bertemu dengan teman-teman akrab kita di situ. Tidak, kita bertemu dengan mereka yang telah terasing dari Allah, tetapi yang tetap boleh datang dekat kepada-Nya. Orang-orang yang tidak mudah untuk diajak bergaul, seperti diri kita sendiri juga. Sama sekali bukanorang-orang yang asyik. Akan tetapi, bagaimanapun juga, orang-orang yang diterima di gereja demi Kristus!
Itulah berakar dalam kasih. Dalam kasih Allah.
Dari kenyataan itu Anda belajar memandangi gereja dan dunia, memandangi orang-orang di sekitar Anda. Bukan dengan diri Anda sebagai titik pusatnya, tetapi rumah di dalam hati Anda, di mana Anda (secara mengherankan Anda sendiri) datang ke hadapan Allah. Itulah satu-satunya cara untuk secara bersama-sama (sebagai jemaat) dapat menjadi rumah untuk Allah.
Bersama-sama Menjadi Rumah Allah
Nantinya, pada suatu saat kita dan semua orang kudus akan melihat betapa tingginya dan dalamnya dan lebarnya dan panjangnya kasih Yesus. Kasih-Nya yang menganggap semua orang yang keras kepala itu sebagai orang-orang kudus, dan mengubah mereka menjadi seperti saudara, seperti anak-anak Allah. Lalu kita saling memandang, dan kita melihat Yesus Kristus.
Apakah hal itu akan terjadi pada masa depan? Gambarannya yang total, memang adalah masa depan. Bersama-sama dengan semua orang kudus, wah itu masih lama.
Akan tetapi, sementara itu, kita sudah dapat mulai di tempat kita lebih dahulu, dalam lingkungan kita sendiri. Kalau di situ kita bertemu dengan orang-orang percaya, berusahalah untuk melihat Yesus Kristus di dalam diri mereka. Hargailah mereka sebagai bait yang hidup.
Dengan demikian kita semua bersama-sama menjadi bait yang hidup pula.
Dengan demikian makin tinggi, dalam, lebar dan panjang bait yang besar, yang sedang dibangun itu.
Di dalam bait yang besar itu, tak seorang pun perlu merasa dirinya sebagai orang asing atau penghuni kelas dua. Di situlah Anda seakanakan berada di rumah sendiri, di dalam kasih Allah, yang Anda bagi bersama-sama dengan penghuni lainnya. Kalau dipandang begitu, maka mestinya gereja menjadi tempat yang paling aman di dunia.
Di situ Anda tidak dinilai sesuai kedudukan Anda, atau kemampuan Anda. Di situ Anda tidak perlu berlagak sebagai orang yang lebih berarti daripada sebenarnya, di situ tidak ada pola-pola paksaan yang telah diciptakan orang-orang bagi sesama mereka. Di situ kita bebas dari segala yang membuat kita tergesa-gesa, di situ kita dikenyangkan dengan kasih dan kepedulian, di situ kita sungguh-sungguh memperoleh hati yang bahagia. Apakah itu idealistis? Barangkali sudah tiba waktunya untuk secara bersama-sama merenungkan lagi semua itu, kalau jemaat sedang berkumpul bersama, atau hanya sebagian saja. Bersama-sama, Anda dapat mulai dengan menyingkirkan segala prasangka dan kecurigaan dan segala masalah dan perdebatan. Untuk berjuang mendapatkan kesatuan, yang menjadi ciri khas Allah dan keluarga-Nya (Yoh. 17:22, 23).
Majelis Gereja memikul tanggung jawab yang khusus untuk menjaga rumah Allah. Untuk memberi pimpinan rohani, bukan saja melalui pemberitaan Injil setiap minggu, tetapi juga dengan percakapan secara pribadi atau dalam kelompok atau dalam lingkungan hunian.
Memang, di dunia ini selalu ada perbedaan pendapat, yang disebabkan oleh berbagai latar belakang dan rasa suka dan tidak suka. Namun, kalau disimak dengan sungguh-sungguh, semua itu hanya hal-hal yang dangkal saja. Kedangkalan itu dapat Anda lihat dengan lebih jelas kalau Anda menyadari betapa jauh lebih dalam kehidupan dengan Allah. Apa yang dikaruniakan di dalam hati, tidak bisa diperdebatkan, dan justru di tingkat itulah kebebasan dan kesatuan kita terbentuk. Di situlah letak seninya untuk menemukan kata-kata yang tepat untuk itu. Kadang-kadang diperlukan bimbingan untuk dapat menemukan pokok-pokok pembicaraan yang baik. Sungguh malang jemaat yang percakapan-percakapannya diisi dengan hal-hal yang dangkal. Sebab justru itulah tingkat di mana manusia saling memperbudak, dan di mana kebebasan makin hilang. Seandainya hal seperti itu terjadi, maka para pemuka gereja harus melihatnya dan menjadikannya pokok pembahasan. Dahulu, kemerdekaan Ishak terancam oleh mentalitas budak yang ada pada Ismael, dan akibatnya sungguh menyedihkan.
Sampai ke dalam Perjanjian Baru kita masih diberi berbagai nasihat yang mengingatkan kejadian itu, supaya kita benar-benar hidup dalam kemerdekaan anak-anak Allah, dan supaya kita jangan saling merenggut kemerdekaan itu dan juga tidak mengizinkan hal seperti itu terjadi (Gal. 4:28-31; Gal. 5:1 dan 13,14).
Dalam hubungan ini, kerinduan untuk menerima ”lebih banyak dari Roh” berarti: hendaklah Anda belajar dengan sungguh-sungguh untuk saling mengenal dan menghargai sebagai anak-anak Allah, dan hendaklah Anda rasakan betapa tekun Anda hidup seperti anak Allah sendiri. Hendaklah Anda saling membantu dalam tetap mempertahankan sikap itu di dunia ini dengan suasananya yang hiruk pikuk; berusahalah untuk saling memercayai, bersikaplah peka, setialah seorang kepada yang lain, saling mengasihilah, dan saling mendoronglah untuk berjalan menyambut Allah. Kalau semua itu Anda lakukan, maka Anda tak ada waktu atau ruang lagi untuk memberi perhatian yang berlebihan pada perbedaan-perbedaan yang bersifat sementara atau yang menyangkut perorangan, lagi pula Anda sudah tak tertarik lagi pada hal-hal seperti itu. Kalau Anda belajar untuk bersama-sama mengalami betapa intensif Anda saling berbagi kasih Allah, maka Anda akan menyadari juga betapa kuat kasih itu, betapa banyak kekurangan orang lain yang tak disingkapkannya, dan betapa sabar dia menanggung perlakuan yang tidak adil. Dengan cara itu terjadilah awal hidup ”bersama dengan semua orang kudus”. Itu bukan teori, dan itu bukan semata-mata masa depan, itu adalah yang Anda terima dan berikan di rumah Allah, di tengah-tengah keluarga-Nya di mana Dia disebut Bapa.
Alangkah senangnya untuk menjadi bagian dari rumah itu!
Pertanyaan-pertanyaan untuk Dibahas
1. Jadi, kita boleh mengatakan bahwa Roh tinggal di hati kita. Akan tetapi, bagaimanapun, sebuah bait lebih daripada sebuah rumah. Rumah ialah tempat kediaman, sedangkan bait adalah juga tempat keterikatan dengan Allah, dan penyerahan diri kepada-Nya, tempat di mana kita menyembah Dia dengan pengharapan yang besar. Dalam Bait Allah, asap kemenyan terus-menerus membubung tinggi, yaitu aroma kemenangan Yesus Kristus.