9. GEREJA: TEMPAT KEDIAMAN ROH KUDUS

Henk ten Brinke

Lalu aku mendengar suara yang nyaring dari takhta itu berkata, ”Lihatlah, kemah Allah ada di tengah-tengah manusia dan Ia akan tinggal bersama-sama dengan mereka. Mereka akan menjadi umat-Nya dan Allah sendiri akan menyertai mereka, dan menjadi Allah mereka” (Why. 21:3).

Gereja dan Roh Kudus

Kalau Allah tinggal di tengah-tengah kita-maka itu merupakan surga di bumi. Seperti Taman Eden. Allah akan bergaul dengan kita seperti Dia bergaul dengan Adam dan Hawa di Taman Eden, bergaul dengan akrab. Kita akan mendengar bunyi langkah-Nya ketika Ia berjalan-jalan (bdk. Kej. 3:8)-tetapi kita tidak akan lagi menyembunyikan diri dari wajah-Nya. Oh, alangkah indahnya itu!

Apakah itu musik hari depan? Ya, memang. Musik yang terdengar kalau langit yang pertama dan bumi yang pertama telah berlalu (Why. 21:1). Meskipun begitu, sekarang pun bunyi musik itu sudah kedengaran. Kenyataan bahwa Allah akan tinggal ditengah-tengah kita, bukan saja merupakan musik pada masa depan. Itu sudah terjadi. Sekarang juga, di dunia ini, dan di dalam masyarakat kita. Memang kenyataan itu bersifat sementara, sebab nantinya semuanya akan menjadi jauh lebih indah-tetapi bagaimana pun, kita sudah dapat menikmatinya.

Itulah kenyataan adanya Roh. Yesus telah berjanji akan mengirim Dia kepada kita. Roh menyertai kamu dan akan diam di dalam kamu (Yoh. 14:17).

Itulah kenyataan adanya gereja. Gereja adalah tempat di mana Allah tinggal melalui Roh-Nya. Gereja adalah bait Allah (1Kor. 3:16; 2Kor. 6:16; Ef. 2:22)! Roh tidak saja tinggal di dalam manusia secara tersendiri dan pribadi, Dia terutama bekerja di dalam persekutuan orang Kristen, yaitu gereja. Lebih kuat lagi: gereja adalah hasil karya-Nya! Di situlah Dia mengumpulkan semua orang percaya, dan menjadikan mereka berkumpul sebagaibangsa-bangsa milik Allah. Kalau Anda mengikuti pekerjaan Roh, pasti Anda menemukan gereja.

Dalam bab ini kita akan merenungkan karya Roh terhadap gereja. Apakah yang boleh kita harapkan dari hal itu? Di mana kita dapat melihat karya-Nya?

Apakah pembicaraan kita tentang gereja seperti ini tidak terlalu muluk? Betapa seringnya kita mengalami gereja bukanlah ”surga di dunia”; kadang kala bahkan sebaliknya. Bagaimana kita harus menyikapi segala hal di gereja yang begitu mengecewakan?

Mengecewakan kita, tetapi lebih penting lagi, mengecewakan Tuhan, junjungan gereja itu?

Tadi saya mengatakan bahwa gereja adalah bait Allah karena Roh Kudus. Nama bait Allah itu diberikan kepada gereja dalam Perjanjian Baru. Namun, kata ”bait” menunjuk pada Perjanjian Lama, ke zaman adanya Bait Allah dan, jauh lagi sebelumnya, zaman adanya Kemah Suci. Untuk mendapat wawasan tentang arti bahwa Allah melalui Roh-Nya mau tinggal di dalam gereja, kita harus mulai dengan Perjanjian Lama, yaitu dalam perjanjian yang mula-mula dibuat Allah dengan manusia. Kalau kita mulai di situ, kita melihat bahwa kehendak Allah untuk tinggal di tengah-tengah umat-Nya menjadi semakin intensif. Ternyata bahwa setiap tahap adalah ancang-ancang untuk tahap yang berikut, di mana Dia semakin dekat dengan kita.

Allah Mulai Tinggal di Tengah-tengah Manusia

Mukjizat Berupa Kemah Suci dan Bait Allah

Allah selalu berkehendak untuk memiliki umat. Umat yang khusus dibaktikan kepada-Nya; harta kesayangan-Nya sendiri dari antara segala bangsa. ”Kamu akan menjadi bagi-Ku kerajaan imam dan bangsa yang kudus” (bdk. Kel. 19:5-6).

Bagi umat itu Tuhan tidak mau menjadi Allah yang disembah dari jauh. Dia juga tidak kadang-kadang saja berkunjung ke bangsa itu. Dia bahkan melangkah sampai Dia mau tinggal di tengah-tengah bangsa itu. ”Aku akan menempatkan Kemah Suci-Ku ditengah-tengahmu dan hati-Ku tidak akan muak melihat kamu. Tetapi Aku akan hadir di tengah-tengahmu dan Aku akan menjadi Allahmu dan kamu akan menjadi umat-Ku” (Im. 26: 11-12).

Alangkah besar mukjizat itu! Allah yang sama itu, yang telah menimbulkan rasa takut dan hormat di kalangan bangsa Israel ketika Dia berbicara kepada mereka dari atas gunung Sion; Allah Yang Mahakudus. Di hadapan-Nya tidak seorang pun yang berdosa dapat hidup sesaat pun. Nah, Allah mau tinggal di tengah-tengah bangsa itu! Dia bukan Allah yang jauh. Dia bukan Allah yang tidak sudi didekati. Dia tidak menyembunyikan diri. Dia mau bergaul dengan manusia, dan manusia boleh bergaul dengan Dia.

Mukjizat itu dibenarkan di dalam Kemah Suci, yaitu Kemah Pertemuan. Dan kemudian dalam Bait Allah di Yerusalem.

Berdiam di balik gorden

Meskipun begitu, ada juga sebuah pembatas dalam tempat tinggal bersama antara Allah dan umat-Nya. Dalam Kemah Suci dan dalam Bait Allah ada sebuah pembatas: sebuah tabir yang sangat tebal, yaitu tirai Bait Allah. Para imam hanya boleh datang sampai ke tirai itu. Tuhan tinggal di belakangnya.

Coba bayangkan: Anda tinggal bersama dengan orang lain dalam sebuah rumah-tetapi yang seorang tinggal di depan gorden yang tebal, dan yang lain di belakangnya. Dan Anda tak boleh menggeser gorden itu ke samping dan masuk ke bagian yang lain itu.

Gorden itu menunjuk pada dosa umat. Soalnya, yang tinggal bersama di dalam rumah itu ialah Allah yang kudus dan umat yang najis.

Begitulah tertulis dalam Alkitab. ”Dengan demikian ia mengadakan pendamaian bagi tempat kudus itu karena segala kenajisan orang Israel dan karena segala pelanggaran mereka, apa pun juga dosa mereka. Demikianlah harus diperbuatnya dengan Kemah Pertemuan yang tetap diam di antara mereka ditengah-tengah segala kenajisan mereka” (Im. 16:16).

Sebab itu mereka harus mempersembahkan korban setiap hari.

Dan setiap tahun dirayakan hari Pendamaian Agung. Hanya karena ada pendamaian itu, maka Tuhan dapat tinggal di tengah-tengah umat yang najis itu.

Tuhan meninggalkan tempat tinggal-Nya di tengah-tengah umat

Meskipun begitu, ternyata pada akhirnya pendamaian itu tidak cukup. Israel tidak tahan tinggal bersama dengan Tuhan. Setiap kali mereka membawa masuk ilah-ilah lain. Selalu ada pihak ketiga yang ikut campur. Tuhan tidak menghendakinya. Pada akhirnya Tuhan meninggalkan rumah-Nya. Seperti Allah dalam segala kemuliaan-Nya mula-mula masuk ke dalam Kemah Pertemuan (Kel. 40:34-35) dan kemudian ke dalam Bait Allah (1Raj. 8:10-11), begitulah Yehezkiel, dalam sebuah penglihatan menyaksikan bagaimana kemuliaan Tuhan meninggalkan Bait Allah (Yeh. 11:22-23).

Tampaknya tidak mungkin Allah tinggal bersama dengan manusia. Tujuan Allah tidak tercapai. Apa yang diawali-Nya di gunung Sinai (perjanjian yang lama) telah menemui kegagalan.

Sementara itu persatuan di antara umat Allah juga pecah. Sudah beberapa abad lamanya Kerajaan Sepuluh Suku di utara dan Kerajaan Dua Suku di selatan hidup secara terpisah. Para penduduk kedua kerajaan itu pada zaman-zaman tertentu telah dibuang (dideportasi) ke berbagai negara.

Yesus Kristus: Allah Bersama Kita

Meskipun begitu Allah tidak menolak bangsa Israel. Allah bertekad untuk dapat tinggal di tengah-tengah umat-Nya-tanpa ada gangguan dari dosa-dosa mereka. Nabi Yehezkiel, yang dalam sebuah penglihatan harus melihat bahwa Allah meninggalkan tempat tinggal-Nya, setelah itu boleh menyampaikan kata-kata Tuhan ini:

”Aku akan mengadakan perjanjian damai dengan mereka (orang Israel), dan itu akan menjadi perjanjian yang kekal dengan mereka.

Aku akan memberkati mereka dan membuat mereka banyak dan memberikan tempat kudus-Ku di tengah-tengah mereka untuk selama-lamanya. Tempat kediaman-Ku pun akan ada pada mereka dan Aku akan menjadi Allah mereka dan mereka akan menjadi umat-Ku” (Yeh. 37:26-27).

Itu sekaligus berarti pemulihan persatuan umat. ”Sungguh, Aku menjemput orang Israel dari tengah bangsa-bangsa, ke mana mereka pergi; Aku akan mengumpulkan mereka dari segala penjuru dan akan membawa mereka ke tanah mereka. Aku akan menjadikan mereka satu bangsa di tanah mereka, di atas gunung-gunung Israel, dan satu raja memerintah mereka seluruhnya; mereka tidak lagi menjadi dua bangsa dan tidak lagi terbagi menjadi dua kerajaan” (Yeh. 37:21-22).

Raja yang baru-itulah Tuhan Yesus Kristus, Anak Allah sendiri.

Di dalam Dia Allah datang jauh lebih dekat kepada kita daripada di bawah perjanjian yang lama.

”Firman itu telah menjadi manusia, dan tinggal di antara kita....” (Yoh.1:14). Untuk kata ”tinggal” itu Yohanes menggunakan kata yang mengingatkan pada Kemah Pertemuan. Firman itu telah memasang kemah di tengah-tengah kita dan tinggal di dalamnya.

Jadi, ”Allah benar-benar menyertai kita” (Imanuel).

Murid-murid Kristus bergaul dengan Dia-secara biasa di bumi ini! Anak Allah yang menjadi manusia, berbagi kehidupan manusiawi ini dengan kita. Alangkah senangnya waktu itu untuk berada dekat dengan Dia. Betapa nikmat ketenangan dan kedamaian yang memancar dari kehadiran-Nya. Dia juga menyembuhkan berbagai penyakit, dan memulihkan keadaan yang buruk. Dan syarat untuk semua itu ialah: pengampunan dosa oleh-Nya.

Sebab ketika Yesus Kristus, yaitu Allah-bersama-kita, menjalani hidup kemanusiaan kita, telah diangkat-Nya seluruh kesalahan kita dari bahu kita, lalu dipikul-Nya sendiri. Dengan demikian Dia mencegah terjadinya pengulangan dari kegagalan yang dialami oleh perjanjian yang lama.

Soalnya, pada masa perjanjian yang lama, dosa selalu menjadi faktor yang mengganggu dalam hidup kebersamaan antara Allah dan manusia. Kesalahan itu menciptakan pemisah. Kesalahan itu menyebabkan perlu ada tirai dalam rumah yang dihuni bersama.

Kurban-kurban yang dipersembahkan setiap hari dan Hari Pendamaian Agung setiap tahun tidak cukup untuk mengakhiri segala kesalahan dosa dan kuasa dosa.

Melihat latar belakang itu, sungguh mengagumkan apa yang terjadi pada saat Yesus meninggal. Pada saat itu Dia mempersembahkan kurban yang menghapus dosa umat Allah. Pada saat itu tirai Bait Suci terkoyak menjadi dua dari atas sampai ke bawah (Mat. 27:51).

Pada saat itu pergaulan di dalam rumah yang dihuni bersama itu dapat menjadi jauh lebih intensif! Dan perantaraan para imam yang mempersembahkan kurban atas nama manusia, tidak diperlukan lagi.

Bagi orang-orang Kristen Yahudi hal itu dapat dikatakan dengan istilah-istilah dari perjanjian yang lama, tetapi kenyataannya ialah dari perjanjian yang baru: ”kita sekarang dengan penuh keberanian dapat masuk ke dalam tempat kudus, oleh darah Yesus, 10:20 karena Ia telah membuka jalan yang baru dan yang hidup bagi kita melalui tirai, yaitu diri-Nya sendiri, 10:21 dan kita mempunyai seorang imam agung sebagai kepala Rumah Allah” (Ibr. 10:19-21).

Roh Kudus: Allah di Dalam Kita

Yesus meninggalkan murid-murid-Nya dengan janji ini: ”Ketahuilah, Aku menyertai kamu senantiasa sampai akhir zaman” (Mat. 28:20).

Janji itu digenapi-Nya melalui Roh Kudus yang akan dikirimkanNya dari surga. Dengarkanlah bagaimana Yesus mengumumkan hal itu! Bagi barang siapa yang mengasihi Dia dan menuruti firmanNya, maka Kami akan datang kepadanya dan tinggal bersama-sama dengan dia (Yoh. 14:23). Dan ketika Yesus menjanjikan kedatangan Roh Kudus, Dia mengatakan, Roh Kebenaran akan menyertai kamu dan akan diam di dalam kamu (Yoh. 14:17).

Belum pernah ada kata-kata seperti itu. Mula-mula Allah bertempat tinggal di balik tirai. Kemudian Kristus datang ke dunia sehingga ”Allah bersama kita. Dan ketika Roh datang menjadi ”Allah di dalam kita”.

Itulah yang terjadi sejak hari Pentakosta. Rumah Allah bukan lagi Kemah Suci, atau Bait Allah. Sebagai ganti gedung Bait Allah yang sangat indah itu, sekarang kelompok orang-orang Kristenlah yang menjadi ”rumah” di mana Allah dengan Roh-Nya berkenan untuk tinggal. Jemaat ialah bait Roh Kudus!

Dan di dalam jemaat itu persyaratan yang berikut berlaku bagi setiap orang, ”Siapa yang menuruti segala perintah-Nya, ia ada di dalam Allah dan Allah di dalam dia. Dengan inilah kita ketahui bahwa Allah ada di dalam kita, yaitu dengan Roh yang telah Ia karuniakan kepada kita” (1Yoh. 3:24).

Gereja: Ciptaan Roh Kudus

Allah, melalui Roh-Nya, berkenan tinggal bersama-sama dengan manusia di dalam gereja. Namun, yang dimaksudkan dengan itu, bukanlah sebuah gedung yang sudah ada, yang didiami Allah bersama-sama dengan manusia. Bukan!

Sebab Roh Kristus sendiri yang mendirikan bangunan itu.

Kenyataan bahwa sejak Pentakosta, ada sebuah jemaat di mana Dia bertempat tinggal-itulah karya-Nya sendiri.

Yesus, Anak Allah, mengumpulkan para anggota jemaat-Nya melalui Roh-Nya. Gereja adalah ciptaan Roh sendiri. Dia mulai pada hari Pentakosta yang pertama, dan terus-menerus bekerja, sampai sekarang.

Paulus telah menggambarkannya dengan indah ketika dia menunjuk pada keberadaan jemaat di Korintus. Orang-orang di Korintus meragukan jabatan Paulus sebagai rasul, dan membahasnya bersama: apakah dia seorang rasul sejati? Coba, pandanglah dirimu sendiri, tulis Paulus, ”Kamulah surat pujian kami yang tertulis dalam hati kami, yang dikenal dan dapat dibaca oleh semua orang.

Karena telah ternyata bahwa kamulah surat Kristus, yang ditulis oleh pelayanan kami, ditulis bukan dengan tinta, tetapi dengan Roh dari Allah yang hidup, bukan pada loh-loh batu, melainkan pada loh-loh daging, yaitu di dalam hati manusia” (2Kor. 3:2-3).

Roh mulai bekerja pada hari Pentakosta, tetapi bukan pada titik nol. Karya Roh sejak Pentakosta adalah sambungan dari karya Allah sejak zaman Abraham, ya bahkan sejak zaman Adam dan Hawa, seperti diungkapkan Katekismus Heidelberg, s/j 54, ”Anak Allah, oleh Roh dan Firman-Nya, sejak awal dunia ini sampai akhir zaman, mengumpulkan, melindungi, dan memelihara bagi diri-Nya dari segenap umat manusia, dalam kesatuan iman yang benar, satu jemaat yang terpilih untuk beroleh hidup yang kekal”.

Di gereja Allah mengumpulkan umat manusia yang baru, yaitu anak-anak dari ”Adam yang kedua” (Yesus Kristus). Allah melalui banyak abad mengikuti jalan sempit, yaitu sejak zaman Abraham, ketika Allah membatasi diri pada bangsa Israel. Di bawah pimpinan Roh, sejak hari Pentakosta, umat manusia yang baru direkrut dari semua bangsa di seluruh dunia. Jalan sempit ditinggalkan-Nya.

Hal itu merupakan ciri khas yang sangat indah dari karya Roh Kudus. Allah Pencipta telah mengaturnya demikian rupa bahwa laki-laki menikah dengan perempuan, dan mendapat anak-anak (Kej. 1:28 dan 2:24). Sebuah keluarga terdiri dari ayah-ibu, dananak-anak mereka. Dan sebuah bangsa terdiri dari orang-orang dewasa bersama anak-anak mereka. Roh menyambung hal itu ketika Dia mendirikan umat manusia yang baru. Seperti sebuah bangsa terdiri dari orang-orang dewasa bersama anak-anak mereka, begitu juga umat Allah terdiri dari orang-orang dewasa yang percaya bersama anak-anak mereka. Abraham beserta keturunannya turun-temurun (Kej. 17:7).

Dengan berani Petrus dapat mengatakan hal itu pada hari Pentakosta yang pertama, karena kata-katanya hanya merupakan sambungan dari keadaan yang dari selamanya sudah ada: ”Sebab bagi kamulah janji itu [yaitu bahwa Roh Kudus akan diberikan] dan bagi anak-anakmu...” (Kis. 2:39).

Kita patut bergembira dan berbahagia atas karya Roh di dalam dan melalui gereja, apabila para remaja mengakui kepercayaan mereka di depan umum. Namun, selain itu kita juga patut bergembira dan berbahagia atas karya Roh, apabila di gereja anak-anak dari para orang tua yang beriman, dibaptis! Mereka dibaptis dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus (Mat. 28: 19)-sebab Roh Kudus mengumpulkan suatu bangsa yang baru!

Bagi Allah hal yang tetap penting ialah Dia memiliki umat-Nya sendiri, ”imamat yang rajani”, ”bangsa yang kudus” (1Ptr. 2:9)-

Petrus menerapkan kata-kata yang telah dipakai oleh Allah untuk Israel umat-Nya (Kel. 19:5-6, lihat di atas) kepada jemaat perjanjian baru. Apa yang dahulu sudah dikehendaki oleh Allah, sekarang mulai menjadi kenyataan-oleh Roh Kudus yang tinggal di dalam jemaat.

Itu berarti: kalau Anda ingin menerima Roh itu, dan ingin dikuasai oleh Roh itu-maka Anda harus ada di dalam gereja. Itulah tempat di mana Dia bekerja. Di situ Dia terus-menerus menambah jumlah orang-orang untuk dipergunakan sebagai batu-batu hidup guna pembangunan rumah rohani (1Ptr. 2:5).

Pekerjaan untuk membangun gereja itu terus-menerus berlangsung sampai pada kesudahan dunia (lihat Katekismus Heidelberg). Baru setelah itu gereja selesai dibangun. Gereja seperti yang sekarang kita lihat ini, dan di mana kita menjadi anggotanya ialah gereja yang sedang dalam perkembangan. Tidak mungkin kita membandingkannya dengan gereja yang sudah selesai dibangun! Kristus sudah membayangkan gereja yang sudah lengkap itu-dan melalui Roh-Nya Dia bekerja untuk mencapai kesempurnaan gereja, yang adalah pengantin-Nya. Dengan pengantin itu akan dirayakan-Nya pesta perkawinan (Why. 19:7-8).

Dengan demikian kita dapat memandang seluruh sejarah gereja, dan seluruh sejarah pemberitaan Injil sebagai suatu karya dari Roh Kudus. Allah berkenan untuk tinggal secara pribadi di dalam manusia sebab itu dibangun-Nya gereja di mana-mana. Allah hendak tinggal melalui Roh-Nya di dalam gereja-sebab itu melalui Roh itu Dia tinggal dalam setiap orang percaya.

Jadi, kita boleh mengalami hal itu bersama-sama dalam hubungan seorang dengan yang lain. Mengalami bahwa Roh tinggal di dalam jemaat, dan dalam kita masing-masing secara pribadi. Anda bukan satu-satunya orang yang merasakan kebahagiaan itu. Dan kebahagiaan yang dibagi bersama adalah kebahagiaan yang berlipat ganda! Begitulah kita saling berjumpa di dalam gereja, dan di sekitar meja perjamuan kudus. Dalam keterikatan satu dengan yang lain, kita dapat mengalami pergaulan dengan Tuhan Allah.

Dan sebaliknya juga. Anda tidak perlu melihat pada orang-orang lain untuk mengetahui bagaimana pergaulan Allah dengan manusia itu berlangsung. Hal itu bukan sifat hakiki gereja, seakan-akan terjadi di luar pribadi Anda. Gereja, itulah Anda! Bersama banyak sekali orang lain!

Dengan begitu, sekarang Anda sudah mengalami, bersama-sama dengan semua anak Allah, permulaan dari apa yang nantinya akan menjadi sangat sempurna. Pada saat itu akan terdengar suara yang nyaring: ”Lihatlah, kemah Allah ada di tengah-tengah manusia dan Ia akan tinggal bersama-sama dengan mereka. Mereka akan menjadi umat-Nya dan Allah sendiri akan menyertai mereka, dan menjadi Allah mereka” (Why. 21:3).

Tinggal Serumah

Ada berbagai cara di mana orang-orang tinggal dalam satu rumah.

Misalnya, cara beberapa orang mahasiswa. Mereka masing-masing menempati sebuah kamar dalam rumah yang sama. Namun, mungkin mereka tidak banyak berhubungan seorang dengan yang lain. Mereka saling bertemu di gang atau di dapur. Akan tetapi, selanjutnya mereka menjalani hidup masing-masing.

Bandingkanlah itu dengan cara di mana sepasang pengantin baru tinggal serumah. Sudah pasti keduanya tidak hidup sendiri-sendiri!

Rumah yang mereka diami bersama itu ialah rumah penuh kasih, penuh pergaulan yang akrab, keterikatan yang tak terpisahkan, dan kesediaan untuk saling membantu.

Nah, dengan apa kehidupan bersama antara Allah dan umat-Nya dalam satu rumah dapat dibandingkan? Dengan cara bagaimana gereja merupakan bait Allah di tengah-tengah manusia?

Ada kemungkinan bahwa hal itu mirip dengan cara hidup bersama para mahasiswa itu yang tidak banyak berhubungan satu dengan yang lain. Kadang-kadang saja mereka bertemu. Namun, hanya sekadar bertemu saja. Semua orang tahu bahwa hidup bersama seperti itu sama sekali berlawanan dengan apa yang dimaksudkan Allah. Bayangkan saja, kehidupan dalam gereja tanpa ada pergaulan yang akrab dengan Allah!

Kalau kehidupan bersama antara Allah dan orang-orang Kristen di gereja lebih mirip seperti kehidupan bersama suami istri yang berbahagia, apakah artinya? Perbandingan ini tidak saya karang begitu saja, tetapi saya ambil dari Alkitab. Bukankah sering Tuhan menyamakan hubungan-Nya dengan kita sebagai hubungan antara seorang laki-laki dan istrinya?

Hidup bagi Dia

Yang pertama ialah: Allah dan umat-Nya, yaitu gereja, saling mengasihi. Seperti juga suami dan istri saling mengasihi. Dari pihak Allah, hal itu sudah sangat jelas. Dia telah menyerahkan Anak-Nya sendiri, yang mengurbankan nyawa-Nya untuk gereja (Ef. 5:25).

Allah berkehendak agar gereja menyerahkan dirinya sepenuhnya kepada-Nya. Agar kita sebagai gereja, sepenuhnya membaktikan diri bagi-Nya. Itulah sebabnya Kristus telah menyerahkan nyawa-Nya bagi gereja: ”untuk menguduskannya, sesudah Ia menyucikannya dengan memandikannya dengan air dan firman, supaya dengan demikian Ia menempatkan jemaat di hadapan diri-Nya dengan cemerlang tanpa cacat atau kerut atau yang serupa itu, tetapi supaya jemaat kudus dan tidak bercela” (Ef. 5:26-27).

Demikianlah Allah menggenapi apa yang telah diumumkanNya berabad-abad yang lalu melalui Nabi Yehezkiel: ”Aku akan mencurahkan kepadamu air jernih, yang akan mentahirkan kamu; dari segala kenajisanmu” (Yeh. 36:25). Itulah pekerjaan Roh-Nya: ”RohKu akan Kuberikan diam di dalam batinmu dan Aku akan membuat kamu hidup menurut segala ketetapan-Ku dan tetap berpegang pada peraturan-peraturan-Ku dan melakukannya” (Yeh. 36:27).

Yesus meyakinkan Nikodemus, teolog Yahudi itu, tentang firman Allah itu, dan dapat dipastikan bahwa yang dipikirkan-

Nya pada saat itu ialah Yehezkiel 36: ”Sesungguhnya Aku berkata kepadamu, jika seseorang tidak dilahirkan dari air dan Roh, ia tidak dapat masuk ke dalam Kerajaan Allah. Apa yang dilahirkan secara jasmani bersifat jasmani dan apa yang dilahirkan dari Roh bersifat rohani” (Yoh. 3:5-6).

Karya Roh Kudus

Karya Roh Kudus itu menjadi kenyataan, bukan saja untuk bangsa Yahudi, tetapi juga untuk orang-orang yang tidak mengenal Allah, juga untuk orang-orang Indonesia yang belum mengenal Allah.

Paulus menulis: ”Aku menjadi pelayan Kristus Yesus bagibangsa-bangsa lain sebagai imam dalam pemberitaan Injil Allah, supaya bangsa-bangsa lain dapat diterima oleh Allah sebagai persembahan yang berkenan kepada-Nya, yang disucikan oleh Roh Kudus” (Rm. 15:16). Dan Petrus menyapa orang-orang percaya yang berasal dari bangsa-bangsa lain di Asia Kecil, dan menyebut mereka ”orangorang yang dipilih, sesuai dengan rencana Allah, Bapa kita”, dan ”yang dikuduskan oleh Roh, supaya taat kepada Yesus Kristus...” (1Ptr. 1:1-2).

”Kamulah bangsa yang terpilih, imamat yang rajani, bangsa yang kudus...’” (1Ptr.2:9). Gereja adalah ”tempat kediaman Allah, di dalam Roh”, untuk menjadi bait Allah yang kudus, yang dibaktikan kepada Tuhan Yesus Kristus (Ef. 2:21-22).

Demikianlah Roh terus bekerja agar ada umat yang kudus: persekutuan orang-orang yang tidak terhanyut oleh orang banyak, melainkan yang dipisahkan untuk dibaktikan sepenuhnya kepada Allah. Roh terus menjaga agar keinginan gereja tertuju kepada Tuhannya, seperti mempelai perempuan merindukan mempelai laki-lakinya. Bersama-sama mereka berdua, yaitu Roh dan mempelai perempuan berkata, ”Marilah!” (Why. 22:17).

Perbedaan antara Gereja dan Masyarakat yang Tidak Percaya

Perbedaan itu ialah orang Kristen tidak hidup untuk diri sendiri, juga tidak terutama untuk kalangan sendiri atau untukorang-orang lain, tetapi pertama-tama untuk Allah. Hal itu kelihatan dalam setiap ibadah gereja. Roh Kuduslah yang menaruh lagu-lagu pujian pada bibir jemaat supaya kita dapat bernyanyi dan bersorak memuji Tuhan dengan segenap hati (Ef. 5:18-19). Roh Kuduslah yang menjaga agar kita tidak terarah pada keinginan-keinginan kita sendiri, tetapi pada kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan, kelemahlembutan, dan penguasaan diri-semua itu adalah buah Roh di dalam gereja (Gal. 5:22). Karya Roh: gereja dan segala yang terjadi di dalamnya-itu bukan hanya kata-kata saja. Itu kenyataan!

Sebuah Tugas yang Diberikan kepada Gereja

Kudus artinya dikhususkan untuk Allah. Itu ialah pekerjaan Roh dan tugas gereja itu sendiri. Paulus menunjukkan tanggung jawab itu kepada jemaat di Korintus (2Kor. 6:14 7:1), yaitu jemaat yang sama, yang sebelumnya disebutnya sebagai bukti adanya pekerjaan Roh (2Kor. 3:2-3). Paulus mengingatkan pada janji lama, yang diberikan Allah kepada Israel, umat-Nya, yang sekarang juga berlaku bagi jemaat di Korintus, ”Kita adalah bait dari Allah yang hidup seperti firman Allah ini: ’Aku akan tinggal bersama-sama dengan mereka dan hidup di tengah-tengah mereka, dan Aku akan menjadi Allah mereka, dan mereka akan menjadi umat-Ku’” (2Kor. 6:16, yang menunjuk pada Im. 26:11-12). Kalau itu adalah janji Allah, maka apa pun yang tidak cocok dengan Allah, harus disingkirkan dari bait Allah itu. Bagi orang-orang di Korintus itu berarti: segala sesuatu yang berkaitan dengan berhala-berhala. ”Apa hubungan bait Allah dengan berhala?” (2Kor. 6:16). Menjauhkan diri dari berhala berarti juga dengan cara tertentu menjauhkan diri dari orang-orang yang menyembah berhala. ”Janganlah kamu merupakan pasangan yang tidak seimbang dengan orang-orang yang tak percaya” (2Kor. 6:14). ”Apa bagian bersama orang-orang percaya denganorang-orang tak percaya?” (2Kor. 6: 15).

Sebab itu Tuhan mengatakan: Keluarlah kamu dari antaraorang-orang yang tidak percaya, dan pisahkanlah dirimu dari mereka, dan janganlah menyentuh apa yang najis, maka Aku akan menerima kamu (2Kor. 6:17). ”Karena kita sekarang memiliki janji-janji itu [bahwa Allah mau tinggal ditengah-tengah kita, dan bahwa kita boleh menjadi anak-anak-Nya laki-laki dan perempuan], marilah kita menyucikan diri kita dari semua pencemaran jasmani dan rohani, dan dengan demikian menyempurnakan kekudusan kita dalam takut akan Allah” (2Kor. 7:1).

Kalau sebagai gereja kita ingin bertumbuh dalam kehidupan di dalam Roh, kita harus bersedia untuk bertumbuh dalam kekudusan. Dan sebagai persekutuan gereja, kita harus selalu berkeinginan untuk semakin menjadi apa yang Tuhan perkenankan bagi kita: menjadi umat milik-Nya. Keinginan itu tidak timbul dengan sendirinya, dan bukan pula sesuatu yang dianggap wajar! Sebetulnya bagi kita sangat mudah dan menggiurkan untuk tetap hidup seperti biasanya.

Sebab itu, keinginan untuk menjadi umat Allah, dan keinginan untuk terus bertumbuh sebagai umat-Nya, perlu dimulai dalam diri kita oleh karya Roh Kudus.

Itu berarti bahwa kita harus bersikap kritis terhadap gereja kita, mulai dengan diri kita sendiri. Kita harus menanyakan pada diri sendiri apakah dalam perilaku, atau dalam mentalitas dan cara berpikir, kita tidak membentuk ”pasangan yang tidak seimbang dengan orang-orang yang tak percaya”? Yang dimaksudkan dengan ”membentuk pasangan yang tidak seimbang” tentu saja tidak hanya berhubungan dengan pernikahan dengan orang yang tidak percaya. Apakah sebagai persekutuan gereja, kita tidak membiarkan diri mengikuti individualisme dan hedonisme dan materialisme dan konsumerisme? Apakah kita mengharapkan begitu banyak dari Allah sehingga kita tidak berusaha mengonsumsi segala apa yang ditawarkan oleh dunia? Apakah keyakinan bahwa kita ini milik Allah, menjaga agar berbagai hal yang memberi kepastian (misalnya keuangan) kita anggap kurang penting? Apakah kepercayaan kita kepada Allah menjaga agar kita tidak hanyut dalam gelombang ketakutan dan kekhawatiran yang dirasakan oleh orang-orang yang tidak percaya, dalam menghadapi berbagai perkembangan dalam masyarakat? Semua itu adalah pokok-pokok di mana kita sebagai persekutuan gereja dengan begitu saja dapat menjadi ”pasangan” dengan masyarakat yang tidak percaya!

Hidup dengan Roh berarti kesediaan untuk kita memutuskan ”kerja sama” seperti itu. Soalnya, apakah hubungan bait Allah dengan berhala-berhala masyarakat? Kita ini hidup untuk Tuhan kita, semata-mata untuk Dia!

Perjanjian yang Langgeng

Ada kalanya kita merasa putus asa karena masih sering ada hal-hal yang tidak kudus dalam gereja. Begitu sering kita kurang memiliki sikap radikal yang telah disinggung oleh Paulus! Tak jarang juga terjadi keadaan di dalam jemaat yang membuat kita malu kepada orang-orang lain, tetapi terutama kepada Allah. Itu sebuah kenyataan.

Dan kita sekali-kali jangan pernah putus asa dalam menghadapinya.

Meskipun kita harus pula mengakui realitasnya.

Sebab itu alangkah hebatnya bahwa kekudusan itu telah dijanjikan kepada kita sebagai pemberian. Seperti Allah pada zaman perjanjian lama telah menjanjikan karya Roh Kudus itu untuk perjanjian yang baru, begitu juga kata-kata yang berikut masih tetap merupakan janji, Aku akan memberikan Roh-Ku ke dalammu dan membuat kamu hidup menurut peraturan-peraturan-Ku dan melakukan ketetapan-ketetapanKu... Aku akan menjadi Allahmu dan kamu akan menjadi umat-Ku (bdk. Yeh. 37: 14b dan 27b). Kita ini dipilih untuk dikuduskan oleh Roh (1Ptr. 1:2). Dan Kristus telah menyerahkan diri-Nya bagi gereja ”untuk menguduskannya... supaya dengan demikian Ia menempatkan jemaat di hadapan diriNya dengan cemerlang tanpa cacat atau kerut atau yang serupa itu, tetapi supaya jemaat kudus dan tidak bercela” (Ef. 5:26-27). Kita boleh yakin bahwa hal itu akan terjadi, oleh Roh-Nya!

Bukankah janji itu membangkitkan tekad yang besar untuk terusmenerus berusaha supaya menerima pengudusan itu? Seperti halnya Paulus menunjuk pada janji Allah dalam suratnya kepada jemaat di Korintus: ”Karena kita sekarang memiliki janji-janji itu, (bahwa Allah mau tinggal di tengah-tengah kita, dan bahwa kita ini boleh menjadi anak-anak-Nya perempuan dan laki-laki), marilah kita menyucikan diri kita dari semua pencemaran jasmani dan rohani, dan dengan demikian menyempurnakan kekudusan kita dalam takut akan Allah” (2Kor. 7:1). Tugas itu diberikan kepada kita semua secara bersamaan, tetapi kita masing-masing dituntut untuk bertanggung jawab. Dan sebaliknya, hidup yang dikuduskan dari setiap anggota jemaat ikut membentuk kekudusan jemaat sebagai keseluruhan.

Bukankah oleh karena janji itu, kita akan sekaligus bersikap sabar dengan kelemahan gereja, juga kalau hal itu berhubungan dengan kekudusannya? Kita tahu bahwa kesempurnaan kekudusan itu tidak akan tercapai, selama dosa masih memainkan peran yang hebat. Akan tetapi, sementara itu kita mengharapkan keselamatan kita (yang juga mengandung kekudusan kita) hanya dari Tuhan saja, oleh Roh-Nya!

Jangan Pernah Mengecam Dia!

Gereja itu kudus-keberadaannya hanyalah untuk Tuhannya semata.

Itulah yang terus-menerus diusahakan oleh Roh. Itu juga berarti bahwa gereja tidak akan mau mendengar perkataan yang tidak benar tentang Tuhannya. Sama seperti seorang istri tidak mau mendengar perkataan yang tidak benar tentang suaminya yang dicintainya.

Bahwa gereja adalah kudus, juga berarti bahwa gereja mendukung kebenaran Tuhannya dan kebenaran tentang Dia.

Tanpa kebenaran tidak mungkin ada kekudusan! Itu sesuai dengan doa Yesus bagi para murid-Nya, yang akan menjadi para rasul:

”Kuduskanlah mereka dalam kebenaran” (bdk. Yoh. 17:17-19). Yesus memohon kepada Bapa-Nya supaya para murid diberi darmabakti (kekudusan) yang sempurna kepada Allah. Darmabakti itu hanya dapat terwujud di bidang kebenaran kebenaran dari firman Allah.

Siapa yang meninggalkan kebenaran itu tidak lagi berbakti kepada Tuhan.

Hal itu adalah ciri khas tugas gereja. Gereja menjadi tiang penopang dan dasar kebenaran (1Tim. 3:15). Sungguh menarik bahwa Paulus justru dalam hubungan ini, menyebut gereja lagi sebagai ”jemaat Allah”: ”...jemaat Allah, itu berarti gereja dari Allah yang hidup, tiang penopang dan dasar kebenaran”. Tinggal bersama dengan Allah adalah hak istimewa yang besar, dan juga membawa tanggung jawab yang besar pula. Gereja harus menjunjung tinggi kebenaran-rahasia iman, ”Dia, yang telah menyatakan diri-Nya dalam rupa manusia, dibenarkan dalam Roh; yang menampakkan diri-Nya kepada malaikat-malaikat, diberitakan di antarabangsa-bangsa; yang dipercayai di dalam dunia, diangkat dalam kemuliaan” (1Tim. 3:16).

Kalau kita berpegang teguh pada kebenaran, kita akan tetap terikat kepada Kristus. Mengasihi kebenaran selalu terjadi bersamaan dengan mengasihi sesama. Mengasihi kebenaran Injil dan mengasihi sesama tidak pernah dapat saling diadu sehingga saling melawan.

Keduanya diperlukan untuk dapat semakin bertumbuh ke arah Kristus. ”Dengan teguh berpegang kepada kebenaran di dalam kasih, kita bertumbuh di dalam segala hal ke arah Dia, Kristus, yang adalah Kepala” (Ef. 4:15).

Juga segi kekudusan gereja itu ialah karya Roh. Seperti Paulus menulisnya kepada rekan sekerjanya, Timotius, ”Peliharalah harta yang indah, yang telah dipercayakan-Nya kepadamu, oleh Roh Kudus yang tinggal di dalam kita” (2Tim. 1:14). Yang dimaksudkan Paulus dengan ”harta yang indah” ialah inti iman kristiani, yang telah disampaikan kepada Timotius. Tugas itu harus dianggap sebagai melibatkan seluruh gereja; dengan kata ”kita” itu Paulus sudah pasti tidak hanya berpikir tentang dirinya dan Timotius saja. Roh tinggal di dalam jemaat, dan jemaat itu harus dengan setia memelihara ajaran, yaitu Injil, yang telah disampaikan kepada mereka.

Hanya karena karya Roh, maka dalam seluruh perjalanan sejarah, gereja membela ajaran alkitabiah. Rohlah yang mencegah gereja tidak dihinggapi seluruhnya oleh ajaran sesat, sehingga mati tercekik.

Rohlah yang selalu menuntun gereja pada ajaran alkitabiah-dan dengan demikian terjadi pertumbuhan subur oleh kehidupan rohani.

Ingatlah Reformasi pada abad ke-16, di mana terjadi kebangkitan terbesar dalam sejarah gereja sampai saat ini juga! Hidup dalam Roh dan ajaran yang sehat-keduanya saling berhubungan dengan erat!

Dalam perjalanan sejarahnya, gereja telah menyusun berbagai pengakuan iman. Demikianlah dia menaati tugas untuk menjadi ”tiang penopang dan dasar kebenaran”. Misalnya Pengakuan Iman Rasuli, Pengakuan Iman Nicaea, Pengakuan Iman Athanasius. Dan kemudian ada banyak konfesi lain di dalam sejarah gereja. Semua itu bukan tulisan yang sempurna, tanpa cacat cela. Meskipun begitu, dalam mengikuti ajaran alkitabiah, semuanya merupakan contoh karya Roh!

Sebuah gereja yang tidak lagi mendukung kebenaran, yang mengizinkan di dalamnya kebenaran Allah ditentang-bukankah gereja seperti itu sedang mendukakan Roh Kudus (Ef. 4:30)?

Bukankah kebenaran harus selalu dibela sambil diberi pengakuan lagi? Kalau kita boleh mengharapkan dari Roh bahwa sebagai gereja, kita dijaga oleh Dia supaya tetap berada di dalam kebenaran, dan boleh memelihara ajaran yang benar, maka apakah gereja Kristen dalam abad ke-21 ini tidak dapat sekali lagi menyusun sebuah pengakuan tentang kebenaran? Juga di Indonesia?

Tentu saja pengakuan seperti itu tidak akan dianut seluas seperti segala pengakuan dari abad-abad pertama. Namun, meskipun demikian: apakah usaha membuat pengakuan seperti itu tidak dapat menjadi dasar sungai supaya pekerjaan Roh dapat terus mengalir? Di dalam dan melalui gereja?

Juga sebuah gereja setempat dapat melakukan hal itu: dengan ringkas dan kuat, tetapi tidak dangkal, dengan memberi pertanggungjawaban tentang apa yang diimaninya. Lalu memberikan publisitas sesuai zamannya sendiri tentang hal itu dalam tempat tinggal masing-masing, kemudian memprakarsai percakapan yang mengandung kesaksian tentang hal itu. Sebagai contoh pengakuan masa kini, kita dapat menunjuk pada The Candlestand Statement, Pertimbangan-pertimbangan Reformasi mengenai Karismatik (Jakarta, BPK Gunung Mulia, 2011).

Satu Allah-Satu Rumah

Hidup bersama dengan Allah dalam satu rumah-bergaul dengan Dia; hidup untuk Dia semata-mata (kekudusan). Bersikap tidak mau mendengar sesuatu yang tidak baik tentang Allah. Bagaimana mungkin ada ”dua rumah” seperti itu? Bukankah hanya ada satu Tuhan saja?

Kalau gereja adalah rumah Roh, maka hanya bisa ada satu gereja.

Dalam hal itu kata gereja tidak mungkin diberi bentuk jamak, dan begitu juga kata Allah mustahil diberi bentuk jamak.

Begitulah kita melihat bahwa apabila Allah memulihkan kehidupan serumah dengan Israel, umat-Nya, Dia juga mengembalikan kebersatuan di dalam bangsa itu. Sebuah bangsa yang sudah pecah menjadi dua bagian (Kerajaan Sepuluh Suku di utara dan Kerajaan Dua Suku di selatan), kembali menjadi satu bangsa setelah masa pembuangan. Aku akan membuat mereka menjadi satu dalam tangan-Ku. ”Aku akan menjadikan mereka satu bangsa di tanah mereka, di atas gunung-gunung Israel, dan satu raja memerintah mereka seluruhnya; mereka tidak lagi menjadi dua bangsa dan tidak lagi terbagi menjadi dua kerajaan” (bdk.Yeh. 37:19 dan 22).

Orang Yahudi dan Bangsa-bangsa Lain

Hal itu (hidup sebagai satu bangsa) berlaku untuk bangsa Israel.

Namun, nantinya tidak hanya untuk mereka. Nanti akan datang persatuan bahkan antara bangsa Yahudi dan bangsa-bangsa lain.

Jikalau bangsa-bangsa lain itu belajar mengenal dan mengakui Allah yang disembah oleh Israel, di situ mereka digabungkan dalam umat tunggal milik Allah.

Bagi orang Yahudi yang hidup dalam dasawarsa pertama sesudah Pentakosta, saat ketika orang Yahudi dan bangsa-bangsa lain menjadi satu adalah kejadian yang sungguh luar biasa. Tirai besi yang selama berabad-abad telah memisahkan bangsa Yahudi dari bangsa-bangsa lain, kini digeser ke samping. Tirai antara Allah dan umat-Nya robek dari atas ke bawah, dan dengan demikian juga tirai antara bangsa Yahudi dan bangsa-bangsa lain. Ketika Paulus dalam suratnya yang paling terakhir (yaitu surat kepada jemaat di Efesus), meninjau kembali pelayanannya, hal kesatuan bangsa-bangsa menjadi titik pusat yang ditampilkannya. Kepada Paulus telah diungkapkan rahasia yang boleh diberitakannya, ”yaitu bahwa orang-orang bukan Yahudi, karena Injil, turut menjadi ahli-ahli waris dan anggota-anggota tubuh dan peserta dalam janji yang diberikan dalam Kristus Yesus” (Ef. 3:6).

”Karena Dialah damai sejahtera kita, yang telah mempersatukan kedua pihak dan merubuhkan tembok pemisah, yaitu perseteruan, sebab dengan kematian-Nya sebagai manusia Ia telah membatalkan hukum Taurat dengan segala perintah dan ketentuannya, untuk menciptakan keduanya menjadi satu manusia baru di dalam diriNya, dan dengan itu mengadakan damai sejahtera, dan untuk memperdamaikan keduanya, di dalam satu tubuh, dengan Allah melalui salib, dengan melenyapkan perseteruan pada salib itu. Ia datang dan memberitakan damai sejahtera kepada kamu yang ”jauh” dan damai sejahtera kepada mereka yang ”dekat”, karena melalui Dia kita kedua pihak dalam satu Roh beroleh jalan masuk kepada Bapa” (Ef. 2:14-18).

Kesatuan: Suatu Karunia

Kesatuan yang sangat berkesan bagi Paulus, dan yang disebutnya dengan begitu antusias, ialah kesatuan yang diberikan oleh Roh (Ef. 4:3). Jika tidak begitu halnya, maka bagaimana mungkinperbedaan-perbedaan yang sudah berakar begitu dalam antarmanusia dan antarbangsa-bangsa, menjadi terhapus? Perbedaan-perbedaan dalam budaya, sejarah, mentalitas, warna..., ada begitu banyak alasan mengapa orang-orang tidak bisa saling bertemu (bahkan saling membenci), apalagi menjadi satu. Roh menjembatani semua perbedaan seperti itu. Hanya karena Roh Allah, maka orang Yahudi dan orang non-Yahudi bersama-sama dibangun menjadi satu kediaman Allah, di dalam Roh (Ef. 2:22).

Roh adalah sumber persatuan kita. ”Sebab dalam satu Roh kita semua, baik orang Yahudi, maupun orang Yunani, baik budak, maupun orang merdeka, telah dibaptis menjadi satu tubuh dan kita semua diberi minum dari satu Roh” (1Kor. 12: 13). ”Telah dibaptis” dalam satu Roh. Sejak Pentakosta Roh hadir dengan kelimpahan dalam jemaat Kristen dan Dia menguasai orang-orang percaya.

Kita dapat melihatnya dengan jelas, sebab orang-orang menjadi ”terlahir kembali”. Artinya, mereka mulai berpikir dan mulai hidup dengan sangat berbeda. Semua itu datang dari satu sumber:

Roh Allah. Roh itulah yang menyelenggarakan kesatuan yang mengungguli segala sesuatu yang dapat menyebar perpecahan di kalangan manusia: ras, status sosial, dan sebagainya.

Paulus menjelaskan bahwa persatuan itu tidak sama dengan tidak adanya keanekaragaman. Di Korintus orang-orang Kristen semuanya berusaha keras untuk memperoleh karunia yang memungkinkan mereka berbicara dalam bahasa-bahasa asing (glossolalia). Namun, tubuh tidak hanya terdiri dari satu bagian, melainkan dari banyak anggota! Roh memberi bermacam-macam karunia. Akan tetapi, perbedaan-perbedaan itu muncul dari kesatuan yang diberikan oleh satu Roh itu kepada kita sebagai jemaat. Dan perbedaan-perbedaan itu membina dan mengukuhkan kesatuan jemaat. Berpikir tentang pekerjaan Roh di satu pihak dan bersikap menyebar perpecahan dalam jemaat-itu adalah pertentangan yang mustahil. Merenungkan karunia-karunia Roh dan tidak mengizinkan adanya keanekaragaman juga sama, suatu pertentangan yang mustahil bagi jemaat Kristus.

Persatuan jemaat adalah karunia Roh. Artinya, persatuan itu telah benar-benar kita terima sebagai hadiah! Lihat saja di dalam jemaat Anda, bagaimana kita tergabung sebagai anggota. Apakah persamaan kita dengan semua orang lain itu? Mungkin hanya sangat sedikit di bidang minat, latar belakang, posisi sosial, kekayaan, budaya, etnis, dan lain-lain. Meskipun begitu ada sesuatu yang hebat yang kita semua miliki bersama, yaitu Tuhan kita, dan percaya kepada Yesus.

Dengan demikian terbentuklah persekutuan yang sejati.

Paulus menunjuk pada persekutuan itu ketika dia berbicara kepada jemaat di Filipi bahwa dalam Kristus ada persekutuan Roh (Flp. 2:1).

Ada terjemahan yang berbunyi ”persekutuan dengan Roh”. Tentu saja kedua pihak dari persekutuan itu berhubungan erat satu dengan yang lain. Orang-orang Kristen di Filipi bersekutu erat dengan Roh dan karena itu di antara jemaat sendiri juga ada persekutuan yang erat, yang telah dimungkinkan oleh Roh yang sama itu.

Kadang-kadang kita prihatin karena persatuan antarjemaat kita kurang kuat atau terganggu. Meskipun begitu, marilah kita mengucap syukur juga karena ada persatuan. Doa Yesus ”supaya mereka semua menjadi satu” tidak baru dikabulkan nanti, sesudah kedatangan Yesus yang kedua kalinya.

Mulailah dengan bersyukur karena adanya persatuan (di dalam segala keanekaragaman! Bhinneka tunggal ika!) dalam jemaat Anda sendiri, di tempat kediaman Anda sendiri. Dan hendaknya bersyukur juga atas persatuan yang Anda lihat kalau Anda pergi ke gereja di kota lain. Pernah saya mengalami saat seperti itu, dan saya berkata dalam hati, ”Aku tidak kenal dengan orang-orang ini, meskipun begitu aku langsung dipenuhi perasaan bahwa kita semua bersaudara!” Ingatlah juga pada hal yang sungguh aneh, yaitu rasa bersatu di antara orang-orang Kristen dari semua negara dan budaya, dan di antara bermacam-macam ”ras” manusia. Kalau kita menghadiri ibadah gereja di Afrika, liturginya sangat berbeda dengan gereja di tanah air. Namun, dengan cepat kita akan merasakan bahwa hanya ada satu Tuhan, satu iman, satu baptisan, satu Allah dan Bapa-dan semua itu dimungkinkan oleh satu Roh! (bdk. Ef. 4:3-6). Dan kalau ada orang asing yang masuk ke gereja kita untuk mengikuti kebaktian, maka kita merasa sangat beruntung dan senang, serta merasakan kebersatuan yang sama.

Kesatuan: Suatu Tugas

Kita harus memperlakukan sebuah hadiah dengan hati-hati.

”Berusahalah memelihara kesatuan Roh dalam ikatan damai sejahtera” (Ef. 4:3). Bagaimana hal itu dilakukan kita di dalam jemaat dan di dalam persekutuan gereja?

Bersatu itu tidak hanya formal karena tercatat dalam satu daftar keanggotaan gereja. Tidak juga duduk rapi di bangku-bangku gereja yang sama pada hari Minggu. Satu tubuh terdiri dari banyak anggota tubuh, dan masing-masing berguna untuk saling melayani (1Kor. 12). Bagaimana kita saling melayani dalam jemaat untuk membina jemaat?

Kita bisa melayani di bidang diakonia, di mana dalam arti yang praktis orang-orang yang berkekurangan diberi bantuan. Namun, di dalamnya termasuk juga tugas penggembalaan (pastoral), di mana kita saling menghibur, saling memberi semangat, dan saling membantu dalam iman (lihat mis. Gal. 6:1-2; Kol. 3:16; 1Tes. 5:11 dan 14). Memedulikan orang lain sebagai gembala bukan saja merupakan tugas pejabat-pejabat khusus di dalam jemaat; itu adalah pertama-tama tugas saya sendiri terhadap saudara-saudara saya, baik pria maupun wanita, di dalam jemaat.

Rasakanlah dorongan untuk saling berbicara pada tingkat iman yang sama. Satu Tuhan, satu iman, satu pengharapan-kita hanya dapat merasakan kesatuan itu jika kita membicarakannya bersama. Kalau di kalangan jemaat kita saling berbicara tentang kebenaran, maka kita akan menyadari bahwa banyak hal-hal lain (yang dapat mengganggu kesatuan) menjadi kurang penting atau bahkan dihapuskan, jugahal-hal yang dapat menimbulkan perbedaan pendapat.

Memelihara kesatuan-satu cara untuk itu ialah melawan pengelompokan jemaat ke dalam golongan-golongan yang berbeda.

Misalnya, Anda merasa nyaman bergaul dengan saudara-saudara di dalam golongan tertentu. Anda senang berada dalam kelompok sendiri, dan berpendapat bahwa orang-orang lain juga senang berada dalam kelompok mereka sendiri.

Memang benar bahwa kita merasa lebih cocok denganorang-orang tertentu, ketimbang dengan orang-orang lain. Akan tetapi, kalau kita saling berbagi iman yang sangat berharga itu, dan di dalam dunia ini bersama-sama tergolong dalam umat yang unik milik Allah, maka tidak mungkin kita akan ”kurang tertarik” kepada anggota lain dalam jemaat. Memang, kita tak mungkin tertarik kepada semua orang dalam jemaat dengan cara yang sama. Dan itu tidak perlu.

Namun, anjuran supaya ”memelihara kesatuan yang diberikan Roh kepadamu” berarti bahwa kita harus setia kepada semua orang, meskipun yang satu kurang menyenangkan bagi kita ketimbang yang lain. Dan orang yang bersatu dengan setia, tidak pernah melepaskan orang lain, melainkan memegangnya dengan erat. Seperti Kristus yang setia terhadap kita semua. Padahal kita sering sama sekali tidak menyenangkan Dia. Dia tetap setia, meskipun sampai sekarang pun kita sering menjauh dari Dia.

Di samping persekutuan gereja Anda sendiri, ada juga banyak persekutuan gereja lain. Kita merasakan juga kesatuan denganorang-orang Kristen itu. Dan itu suatu hal yang dapat menggembirakan!

Namun, sekaligus juga menimbulkan rasa sedih: kita memang mempunyai satu Tuhan dan satu iman dan satu harapan, tetapi kita tidak membentuk satu tubuh.

Janganlah kita terlalu cepat menekan rasa sedih itu dengan alasan bahwa ada ”persaudaraan hati” (fellowship of the heart, yang melampaui tembok-tembok gereja). Memang itu ada, untung saja. Namun, ”gereja” dan ”persekutuan orang-orang kudus” ialah hal yang konkret dalam Alkitab, jadi, bukan persekutuan orang-orang yang pada hari Minggu masing-masing memilih jurusan mereka sendiri, melainkan yang datang berkumpul bersama-sama. Persekutuan di mana orang selalu saling memedulikan, saling membantu, saling memberi semangat dan saling menghibur, dan sebagainya. ”Persekutuan orang-orang kudus” menuntut adanya persekutuan gerejawi!

Yang saya maksudkan ialah persatuan yang dapat dilihat oleh dunia ini, sehingga dunia ini memahami dan percaya bahwa Allah telah mengutus Anak-Nya. Persatuan seperti itulah yang dimohon Yesus dalam doa-Nya (Yoh. 17:21 dan 23). Yesus bahkan meminta agar persatuan di antara orang-orang Kristen itu dapat menunjukkan sesuatu dari kesatuan yang ada di dalam Allah, di antara Anak dan Bapa (Yoh. 17:11 dan 22). Perpecahan di kalanganorang-orang Kristen menutupi pandangan dunia terhadap kesatuan Allah Tritunggal.

Selama kita tidak berusaha untuk mencapai kesatuan gerejawi, maka seruan supaya ada ”persaudaraan hati” hanya berguna seperti obat penurun panas, yang menghilangkan demam, tetapi tidak menghilangkan penyakit yang mengakibatkan demam itu.

Perpecahan gerejawi di kalangan orang-orang Kristen yang menganut iman yang sama (”satu Tuhan, satu iman, satu baptisan, satu Allah dan Bapa dari semua...”, Ef. 4:5-6) adalah hal yang tetap menyedihkan. Lebih tajam lagi, itu adalah hal yang memalukan yang kita lakukan terhadap Tuhan kita yang satu itu dan Roh yang satu itu. Janganlah kita sekali-kali merasa damai dengan keadaan seperti itu, janganlah kita sekali-kali menyerah pada keadaan seperti itu. Kalau Roh itu adalah Roh persatuan, sudah pasti kita akan sangat mendukakan Dia dengan perpecahan gerejawi ini. Perpecahan itu sangat menghalangi pekerjaan utama Roh Kudus, yaitu tugas misioner di dalam dunia.

Memang wajarlah kalau kita bersikap menyerah saja. Soalnya, sudah banyak usaha dilakukan untuk mencapai persatuan gerejawi, tetapi semuanya gagal sampai sekarang. Kita sudah cukup senang kalau ada kesediaan untuk saling mengenali, untuk melampaui tembok-tembok gereja, dan untuk bekerja sama di mana mungkin. Jadi, pikir kita: biarlah saja!

Dahulu, dan juga sekarang, situasi yang menyedihkan itu (perpecahan gereja), telah ditutup-tutupi dengan menunjuk pada keanekaragaman warna dan bentuk yang telah menghasilkan bermacam-macam gereja. Bukankah setiap persekutuan gereja menunjukkan sebuah sisi dari hikmat Allah yang berwarna-warni itu? Paulus tidak akan menyetujui ucapan seperti itu. Memang, dia suka menggarisbawahi kebinekaan di dalam jemaat. Namun, kebinekaan itu berguna bagi jemaat yang satu itu. Kalau kesatuan jemaat itu terancam bahaya, maka reaksi Paulus berbunyi, ”Apakah Kristus terbagi-bagi?” (1Kor. 1:13).

Sebetulnya, kalau kita menyerah saja dengan situasi di mana semua kelompok atau setiap ”nabi” mempunyai gerejanyamasing-masing, maka sikap kita itu sangat tidak rohani. Segera sesudah kita mulai berpikir tentang ”gereja kita sendiri”, kita kehilangan kenyataan bahwa yang menjadi pokok ialah gereja Tuhan, yang telah memberikan Roh kepada gereja-Nya, Roh yang adalah sumber kesatuan!

Mungkin ada berbagai kemungkinan untuk melangkah lebih maju di tingkat setempat ketimbang di tingkat nasional. Marilah kita sungguh-sungguh memanfaatkan segala kemungkinan di tingkat setempat itu untuk menjadi satu di dalam satu gereja. Bukankah kesatuan yang konkret pertama-tama dialami dalam jemaat setempat?

Kesatuan: Suatu Janji

Tidak adanya persatuan rohani yang sejati di dalam jemaat dapat membuat kita kecewa. Dan tidak adanya kesatuan di antara berbagai denominasi gereja walaupun mereka semua mengakui Yesus, dapat membuat kita putus asa.

Sebab itu jangan pernah kita lupa bahwa persatuan adalah sebuah karunia Roh. Sekarang pun kita sudah boleh menikmati sebagian dari hadiah itu. Dan kita terpanggil untuk mengerjakan dan memelihara kesatuan itu. Akan tetapi, nantinya, yang sekarang bersifat sementara dan terbatas itu (dan terpecah) akan berlalu untuk selamanya. Janji Tuhan adalah kukuh, ”Mereka akan menjadi satu kawanan dengan satu gembala” (Yoh. 10:16). Janji lama yang diberikan Tuhan melalui Yehezkiel, akan digenapi lagi, yaitu nanti, dengan cara yang tidak terduga, Tuhan akan menjadikan mereka satu dalam tangan-Nya dan Dia akan menjadikan mereka satu bangsa dan satu raja memerintah mereka seluruhnya (Yeh. 37:19 dan 22).

Pertanyaan-pertanyaan untuk Dibahas

1. Bagaimana Anda melihat dalam jemaat Anda sendiri bahwa Allah ingin tinggal di tengah-tengah kita?
2. Gereja juga memerlukan organisasi, peraturan dan ketertiban, rapat-rapat dan hubungan antargereja (setempat). Bicarakanlah sejauh mana organisasi dan peraturan-peraturannya dapat meningkatkan pekerjaan Roh atau malah menghalang-halanginya.
3. Bahaslah pendapat-pendapat berikut:
  1. Kenyataan bahwa anak-anak termasuk bagian jemaat adalah karya Roh, dan sebab itu mereka harus dibaptis.
  2. Barang siapa tidak menganggap gereja sebagai ibunya, tidak mungkin memanggil Allah sebagai Bapanya.
  3. Gereja adalah tempat kerja Roh.
4. Kenyataan bahwa Roh tinggal di dalam kita, memang benar bagi kita pribadi dan bagi gereja sebagai keseluruhan. Jadi, kita tidak boleh memisahkan hal pribadi dari hal gerejawi, atau hal gerejawi dari hal pribadi. Pernahkah Anda melihatorang-orang melakukan hal itu? Apakah efek dari kedua pendekatan yang saling bertentangan itu? Apakah manfaatnya, baik bagi gereja maupun bagi Anda pribadi, untuk menjaga agar hal yang gerejawi dan yang pribadi itu tetap terikat?
5. Hidup dengan Allah di dalam gereja, dengan cara seperti kedua mahasiswa yang tidak banyak berurusan satu dengan yang lain. Apakah Anda mengenali cara itu? Dalam hal apa saja? Bagaimana sebagai jemaat, Anda dapat berusaha agar tinggal bersama dengan Allah, mirip dengan sepasang suami istri yang tinggal bersama dan hidup bahagia?
6. Bertumbuh sebagai jemaat dalam kekudusan, sehingga Anda benar-benar berbeda dari dunia yang tidak percaya. Apakah kita benar-benar menginginkan hal itu? Dari mana hal itu tampak pada kita? Pada titik-titik manakah masih ada (atau belum ada) kemungkinan-kemungkinan untuk bertumbuh? Apakah ada titik-titik di mana kita sebagai gereja ”merupakan pasangan yang tidak seimbang” dengan orang-orang yang tidak percaya (2Kor. 6:14)?
7. Bagaimana Anda menyikapi kekecewaan yang berhubungan dengan kekudusan jemaat?
8. Bagaimana Anda sebagai jemaat ”membela” kebenaran dengan cara mempropagandakannya sehingga orang merasa tertarik?
9. Sebutlah di mana Anda melihat secara konkret adanya kesatuan yang diberikan oleh Roh!
10. Bahaslah sejauh mana Anda di kalangan jemaat benar-benar mengalami dan membentuk persatuan itu. Di mana letak kemungkinan-kemungkinan untuk bertumbuh?
11. Mengapa perjuangan mencapai kesatuan gerejawi antargerejagereja merupakan pekerjaan yang begitu tersendat-sendat?

Apakah unsur-unsur yang menghalangi kemajuannya? Bagaimana dalam tingkat setempat Anda dapat berusaha dengan konkret supaya terdapat lebih banyak kesatuan gerejawi?

Informasi Buku

  1. PDF
  2. Penulis:
    Henk ten Brinke, J.W. Maris, dkk.
  3. ISBN:
    978-602-0904-68-9
  4. Copyright:
    © De Vuurbaak, 2006
  5. Penerbit:
    Literatur Perkantas