12. IBADAH PUJI-PUJIAN

Tentang Hal Berbicara dalam Bahasa Asing atau Bahasa Lidah

Erik de Boer Berapakah ruang yang Anda sediakan dalam doa Anda untuk menyembah Tuhan dan menyampaikan kepadaNya betapa Anda mengagumi nama-Nya yang kudus dan mulia? Biasanya dengan cepat doa kita diwarnai oleh kebutuhan kita sendiri. Berapakah ruang yang Anda sediakan di dalam hati Anda untuk rasa bahagia yang meluap-luap, hanya karena adanya Allah-

Bapa dan Anak dan Roh Kudus-dan karena apa yang telah Mereka lakukan masing-masing bagi Anda? Dan: apakah Anda memuji dan memuliakan Allah dengan berani, sehingga tidak merasa terhalang oleh kehadiran orang-orang lain? Kadang-kadang kita kurang bersemangat dalam memuliakan Tuhan. - Bagi banyak orang, berdoa itu sulit. Pada waktu berdoa, mereka tersesat dalam pikiran-pikiran mereka dan merasa sulit untuk mencurahkan isi hati mereka, sulit untuk tidak mengulang-ulang kalimat-kalimat mereka. Doa bersama dalam kelompok kecil akan membantu mereka untuk berdoa dengan lebih bebas. Di situ orang yang satu belajar dari yang lain. Meskipun begitu doa kita tetap diwarnai oleh permohonan-permohonan kita kepada Allah.

- Juga nyanyian-nyanyian kita sering terdengar kurang bersemangat. Sejumlah kuplet dinyanyikan bersama (dan kadang-kadang hanya satu atau dua kuplet). Selain itu, mutu nyanyian dan musiknya mungkin kurang mendapat perhatian.
- Dengan setia pemimpin ibadah berdoa bagi seluruh jemaat, tetapi yang terdengar hanyalah suaranya saja. Seharusnya tumbuh keluasan dan keberanian sehingga beberapa orang dapat membawa doa pribadi dengan nyaring, juga dalam doa syafaat.

Saya yakin bahwa seluruh kehidupan doa akan mendapat lebih banyak keluasan apabila kita memberi perhatian pada puji-pujian.

Puji-pujian dalam arti kata yang paling luas: dalam berdoa dan bernyanyi, dengan suara lembut atau nyaring, secara pribadi atau bersama-sama. Dengan demikian ibadah memuji kebesaran Tuhan akan makin bertumbuh.

Bentuk-bentuk Doa

Pokok yang dibahas dalam bab ini ialah: hal berbicara dalam bahasa lidah (yang sebenarnya adalah doa). Apakah yang diungkapkan oleh Roh tentang doa yang khusus itu? Orang-orang Kristen yang termasuk tradisi Reformasi berpendapat bahwa mereka tidak mengenal bahasa lidah. Mereka berdoa dalam hati atau dengan bersuara, tetapi dengan mengendalikan diri. Emosi yang mereka rasakan memang menyentuh nada dan pilihan kata-kata mereka itu kalau hati mereka sungguh-sungguh ikut berdoa, dan kalau mereka berani menunjukkannya. Namun, mereka tidak akan membiarkan dirinya begitu terbawa oleh perasaan, sehingga tidak menyadari lagi apa yang mereka katakan sambil berdoa itu.

Di dalam gereja kita belajar untuk memperhatikan isi doa kita, yaitu bagaimana kita harus berdoa sehingga doa kita benar di hadapan Allah? Ajaran berdoa yang diberikan oleh Katekismus Heidelberg mengikuti susunan ”Doa Bapa Kami”. Kita memperhatikan betul: unsur-unsur manakah yang harus ada dalam doa, dan bagaimana urut-urutannya? Sapaan penuh hormat, pemusatan pikiran pada perkara-perkara Kristus, permohonan ampun atas dosa-dosa kita, doa untuk orang lain, ucapan syukur, kata-kata yang mengagungkan Tuhan dan ucapan ”Amin” penuh iman.

Di samping perhatian terhadap bentuk doa, ada juga pola-pola doa yang tetap. Kalau kita berdoa seorang diri, kita terutama berdoa dalam hati. Berdoa dengan bersuara kita lakukan khususnya kalau kita memimpin dalam doa. Nah, dalam hal itu doa Anda harus disusun dengan baik, supaya hadirin dapat ikut berdoa dalam batin.

Yang sering terdengar dalam gereja, hanyalah suara pendeta yang memimpin dalam doa. Sebab itu bagi yang ikut berdoa, tidak tersedia banyak ruang untuk menyatakan emosi mereka. Apakah ruang dalam tradisi Reformasi seperti itu tidak terlalu sempit? Ruang untuk rasa antusias, untuk terbawa oleh perasaan kita: bukankah itu justru merupakan ciri khas dari ”doa dalam bahasa Roh”, seperti disebut dalam gerakan karismatik? Orang yang berbicara dalam bahasa lidah, dipenuhi oleh Roh. Hatinya bergejolak karena rasa kasih kepada Allah, lalu melimpah keluar dengan kata-kata yang membesarkan nama Tuhan. Doa seperti itu, yang diucapkan dalam ”bahasa lidah”, yang tidak dipahami oleh si pendoa, sering disebut puji-pujian untuk memuliakan Tuhan. Akan tetapi, kalau begitu, saya juga ingin berdoa seperti itu. Saya menginginkan doa-doa yang semata-mata terarah pada pemberian kemuliaan bagi Tuhan!

Tampaknya ada jurang yang menganga antara berdoa dengan terkendali dalam kesalehan Reformasi dan doa penuh keharuan, yang lahir dari spiritualitas gerakan Pentakosta. Ada satu hal yang saya yakini dalam merenungkan tentang hal berbicara dalam bahasa lidah atau bahasa yang tak dikenal, yaitu: kita boleh menemukan dan juga menyebutkan apa yang dimaksudkan dengan memuji-muji kebesaran Tuhan. Dengan tujuan supaya kehidupan doa kita diperkaya, tidak peduli apakah puji-pujian itu diucapkan dengan bersuara atau di dalam hati, secara pribadi atau bersama-sama di depan umum.

Diucapkan hanya demi kehormatan Allah Tritunggal. Dengan demikian iman kita diperkaya, sehingga Allah dipuji-puji lagi. Saya yakin bahwa juga orang-orang Kristen yang dibesarkan dalam tradisi gereja Reformasi, pasti pernah mengalami saat di mana mereka merasa terpesona oleh Roh, dalam Yesus dan karena Firman, sehingga hati mereka penuh rasa haru yang meluap-luap. Saya sangat ingin membantu supaya kita bisa menemukan dan memberi sebutan pada cara kita boleh mengenal puji-pujian itu, sehingga kita juga dapat memperoleh iman yang dalam.

Saya memilih cara yang mendekati apa yang disebut ”puji-pujian kepada Tuhan”. Kalau pada titik ini kita membiarkan Alkitab tertutup karena kita tidak menyetujui penjelasannya yang karismatik, kita akan sangat rugi. Saya ingin sekali mengetahui: apa yang boleh kita temukan di dalam Alkitab, yaitu Firman yang begitu penuh dengan Roh.

Roh Berkata Semua Bahasa

Bab berjudul ”Roh berbicara semua bahasa” dalam buku Lebih dari cukup! memberi garis penjelasan yang konsekuen. Dalam Kitab Kisah Para Rasul dan 1 Korintus, di mana dijumpai ungkapan ”berbicara dalam bahasa lidah”, kita selalu ingat pada karunia yang diberikan pada hari Pentakosta, ketika orang-orang percaya karena sebuah mukjizat, dapat berbicara dalam bahasa-bahasa negeri asing yang sama sekali tidak dikuasai rasul-rasul. Makna mukjizat itu ialah: Roh Kudus menembus perbatasan bahasa Ibrani Israel. Dengan demikian, kabar Injil dapat diberitakan dalam segala bahasa di dunia. Karunia yang ajaib itu berhubungan dengan saat yang unik dalam sejarah keselamatan Allah di bumi ini: peralihan dari umat Allah yang satu itu, yaitu Israel, kepada semua bangsa di bumi. Namun, seperti mukjizat itu-di mana orang-orang berbicara dalam bahasa-bahasa asing yang dipakai di berbagai negara-karunia Roh tidak dijumpai lagi di gereja-gereja sejak hari Pentakosta itu.

Salah satu penjelasannya telah diberikan oleh Augustinus. Menurut dia, gereja tidak lagi berbicara dalam bahasa-bahasa asing dengan cara yang ajaib seperti pada hari Pentakosta, ”karena lambat laun gereja sendiri dapat berbicara dalam bahasa-bahasa segala bangsa”.

Dengan kata lain: ”Dahulu gereja berasal dari satu bangsa (Israel), di mana pada hari Pentakosta orang-orang mengerti bermacam-macam bahasa (seperti di Yerusalem). Dengan berbicara dalam bahasa semua bangsa, gereja menunjukkan bahwa melalui pertumbuhannya di antara bangsa-bangsa, gereja akan mampu berbicara dalam semua bahasa”. Sejak Roh menguasai dunia, gereja dunia menampung semua bahasa di dalam dirinya, sehingga awal yang ajaib dari hari Pentakosta itu tidak perlu diulangi lagi.

Kita menyebut hal itu xenolalia, berbicara dalam bahasa asing (dalam bahasa Yunani: xenos, yaitu asing). Itu gejala yang berbeda dengan glossolalia, yaitu berbicara dalam bahasa lidah (gloosai) atau dengan mengeluarkan bunyi-bunyi suara (yang tak dapat dimengerti dan tak dapat diterjemahkan). Jarang ada orang Kristen karismatik yang memberi kesaksian tentang seorang di Eropa misalnya yang tiba-tiba berdoa dalam bahasa Cina, dan doa itu dimengerti oleh seorang Cina yang hadir. Memang ada kalanya kita mendengar kesaksian seperti itu, tetapi sangat jarang sekali. Ternyata dalam jemaat-jemaat karismatik orang-orang berdoa ”dalam bahasa lidah” dengan cara yang berbeda. Bahasanya tidak dapat dimengerti dan tidak dapat diterjemahkan. Doa dalam bahasa lidah lebih mirip seperti rangkaian bunyi-bunyi suara.

Bagaimana Perjanjian Baru menggambarkan doa seperti itu?

Dalam terjemahan dan tafsiran terhadap kedua kitab Alkitab, yang menyinggung hal ”berbicara dalam bahasa yang tak dikenal”, yaitu Kisah Para Rasul dan 1 Korintus, kita menjumpai tiga penjelasan yang berbeda-beda.

1. 1 Korintus 14: dalam bab ini karismanya dijelaskan sebagai kemampuan untuk berbicara dalam bunyi-bunyi suara yang tidak dapat dipahami (glossolalia). Kisah Para Rasul juga dipahami orang seperti itu. Dalam NBG-1951 dipakai ”lidah-lidah” di semua tempat, tetapi dipandang dari ilmu bahasa, lagi pula secara lebih wajar, kata itu dapat juga dibaca sebagai ”bahasa-lidah”.
2. Kisah Para Rasul 2: karunia Roh pada hari Pentakosta dinyatakan dalam kemampuan untuk berbicara dalam bahasa bangsa-bangsa asing (xenolalia). Titik tolaknya ialah saat yang unik di dalam sejarah keselamatan Allah: pencurahan Roh. Garis itu juga tetap dipegang pada tafsiran terhadap 1 Korintus 12-14.
3. Kisah Para Rasul 2 dan 1 Korintus 14 menggambarkangejala-gejala yang saling berbeda. Yang pertama xenolalia, yang kedua glossolalia. Dalam TB 2, Kisah Para Rasul 2 memakai kata ”bahasa kita sendiri”, tetapi 1 Korintus memakai ”bahasa lidah” (yang disugestikan sebuah bahasa yang tidak dikenal orang, yang terdiri dari bunyi-bunyi suara).

Kita gampang terpengaruh oleh segala terjemahan Alkitab itu.

Ada yang mendorong kita ke arah karismatik. Mau tak mau kita harus meneliti penjelasan mana yang paling cocok dengan naskah asli Alkitab. Dalam membaca Kisah Para Rasul dan 1 Korintus, perhatian saya terutama mengarah pada pertanyaan: apakah persisnya arti ”berbicara dalam bahasa asing atau lidah”? Apakah bentuknya, isinya, fungsinya, dan bagaimanakah orang telah mengalaminya?

Petunjuk untuk Membaca

Kita mulai dengan membaca pasal-pasal Alkitab di mana disebut ungkapan ”berbicara dalam bahasa lidah”. Sebagai pedoman, saya memakai pertanyaan ini: apakah yang diajarkan Roh dalam Kitab Suci tentang doa yang memuji kebesaran Tuhan? Itulah garis utamanya. Dan mau tidak mau, untuk kejelasannya, saya harus mengajukan pertanyaan: apakah sifat khas bahasa-bahasa asing atau bahasa lidah? Namun, jawabannya saya simpan pada akhir bab ini.

Sebab yang paling penting bukanlah sifat persis bahasa asing atau bahasa lidah itu. Yang lebih penting ialah apakah yang kita temukan tentang berdoa, memuliakan Tuhan dan menyanyi. Saya akan mengikuti langkah demi langkah garis yang dilalui Roh Pentakosta dengan jemaat-jemaat yang pertama: mulai dari hari Pentakosta, yaitu Kisah Para Rasul 2, menuju tahap-tahap Injil berikutnya, yaitu Kisah Para Rasul 10 dan 19. Sesudah itu kita membaca bagaimana hal berbicara dalam bahasa asing atau lidah di jemaat konkretsatu-satunya di Korintus itu, telah disoroti oleh Rasul Paulus. Kemudian akan dibahas Efesus 5, sebuah naskah yang agak terlupakan dalam hal ”berbicara dalam bahasa-bahasa asing”. Baru setelah itu saya akan kembali pada pertanyaan tentang sifat bahasa-bahasa asing itu.

Saya membandingkan terjemahan-terjemahan Alkitab dalam hal ini.

Kadang-kadang saya membuat terjemahan sendiri, dan menghindari kata-kata seperti ”lidah” atau ”bahasa bunyi-bunyi suara”, dan menggantinya dengan ”berbicara dalam sebuah bahasa” sebagai penggambaran yang lebih netral. Saya tidak menyebutkan apakah yang saya maksud itu bahasa asing yang memang ada di negara lain, atau bunyi-bunyi suara yang tak dapat diterjemahkan. Dan titik tolak saya ialah: saya sangat ingin tahu apa yang dikatakan oleh Roh kepada jemaat dalam Firman yang telah diwariskan kepada kita secara tertulis.

Saya tidak tahan kalau bagian-bagian Alkitab seperti 1 Korintus 14 tetap tidak dimengerti. Apakah yang dinyatakan oleh Kitab Suci yaitu Firman yang hidup-kepada kita tentang hal ”berbicara dalam bahasa-bahasa lain”? Bagaimana kita dapat mengetahui jawabannya?

Saya sangat ingin belajar dari apa yang dilaporkan oleh orang-orang Kristen Karismatik mengenai pokok itu, lalu membandingkannya dengan ajaran para rasul Yesus. Namun, saya tidak berani memakai pengalaman doa kita sebagai titik tolak dan dasar kita. Pengalaman iman sangat indah, tetapi pengalaman itu harus selalu sesuai dengan Firman. Sebab itu saya desak para pembaca untuk meneliti Perjanjian Baru. Untuk mendengarkan dengan jujur apa yang dikatakan oleh Roh kepada jemaat mengenai pokok ini. Kehidupan doa saya sendiri telah sangat diperkaya oleh penelitian itu.

Kisah Para Rasul 2: Puji-pujian dalam Bahasa-bahasa Baru

TB 2 menerjemahkan Kisah Para Rasul 2:4: ”Lalu mereka semua dipenuhi dengan Roh Kudus dan mulai berbicara dalambahasa-bahasa lain, seperti yang diberikan oleh Roh itu kepada mereka untuk dikatakan”. King James Version memakai began to speak with other tongues, as the Spirit gave them utterance. Ada juga terjemahan yang memakai ”bahasa/bahasa asing”. Bahasa Yunani Alkitab mempunyai kata yang sama untuk ”lidah” dan ”bahasa”, seperti dalam bahasa Perancis ”la langue” dan bahasa Inggris ”tongue”. Sebabnya jelas: lidah membentuk segala bahasa dunia yang ada.

Dalam Kisah Para Rasul tampak jelas bahwa yang diucapkan pada hari Pentakosta bukan bunyi-bunyi suara yang tak dapat diterjemahkan. Para rasul dan murid-murid Yesus yang lain berkatakata dalam bahasa yang bukan bahasa ibu mereka. Hal itu terbukti dari reaksi para pendengar ”Bukankah mereka semua yang berkatakata itu orang Galilea? Bagaimana mungkin kita masing-masing mendengar mereka berbicara dalam bahasa kita sendiri, yaitu bahasa tempat kita dilahirkan?” (Kis. 2:7-8). Kemudian langsung menyusul sederetan nama negeri-negeri asing (tempat orang-orang Yahudi yang sedang ada di Yerusalem itu dilahirkan). Dan terdengarlah seruan penuh keheranan, ”Kita mendengar mereka berbicara dalam bahasa kita sendiri tentang perbuatan-perbuatan besar yang dilakukan Allah” (Kis. 2:11). Itulah tanda umum yang utama dari pencurahan Roh Kudus: bahasa negeri-negeri asing, tempat banyak orang Yahudi tinggal, terdengar di Yerusalem, kota Allah!

Dan yang diucapkan itu ialah puji-pujian mengenaiperbuatan-perbuatan hebat yang dilakukan Allah Israel di dalam Yesus Kristus.

Orang-orang mengenali ”bahasa negeri asing” di tempat mereka tinggal. Dan itu terjadi di tanah air mereka, di mana bahasa Aram merupakan varian dari bahasa Ibrani.

Jadi, yang kita baca dalam Kisah Para Rasul 2 ialah tentangorang-orang yang biasanya berbicara dalam bahasa Aram (Ibrani), tetapi karena kekuatan Roh, bahasa mereka tiba-tiba dapat dimengerti sebagai bahasa negeri-negeri asing. Apa yang mereka katakan tidak perlu diterjemahkan, sebab para pendengar mengenali bahasa mereka masing-masing.

Orang-orang Yahudi yang telah menetap di luar negeri,tiba-tiba mendengar di Yerusalem bahasa mereka! Itulah bahasa negeri jauh yang telah menampung mereka, negeri yang baru saja mereka tinggalkan untuk merayakan hari Pentakosta di tanah perjanjian.

Apakah sebetulnya hal ”berbicara dalam bahasa-bahasa lain (asing)” dalam Kisah Para Rasul 2 itu? Apakah itu pemberitaan

Injil Yesus Kristus? Ataukah itu doa yang diucapkan dengan suara nyaring? Sering hal itu dipahami sebagai kesaksian pertama di depan umum. Dan sebagai tanda bahwa segera akan diberitakan Injil di kalangan bangsa-bangsa lain, dengan bahasanya masing-masing.

Jadi itu adalah tanda. Namun, tak ada keterangan satu pun dalam Alkitab yang mengatakan bahwa para murid, dengan dipenuhi Roh, menyapa orang-orang sebangsanya yang tinggal di luar negeri. Pada saat itu hal itu belum dimaksudkan sebagai bentuk pemberitaan Injil.

Orang-orang Yahudi yang merantau memang mendengar bahasa ibu mereka karena orang-orang percaya di situ berdoa dan memujimuji Tuhan dengan suara nyaring. Baru setelah itu Petrus menyapa mereka dalam khotbahnya. Khotbah itulah yang memberitakan dan menjelaskan Injil Pentakosta dalam bahasa setempat, yaitu bahasa Aram, atau bahasa Yunani Internasional (Kis. 2:14-36).

Namun, apa yang diucapkan dalam bahasa-bahasa asing ialah ”kisah tentang perbuatan-perbuatan besar Allah” (Kis. 2:11). Para murid tidak berduyun-duyun keluar ke jalanan untuk memberi kesaksian. Para pendengar tertarik karena mendengar puji-pujian yang diucapkan dengan nyaring! Apa yang dikatakan dalam bahasa- bahasa itu, menurut saya ialah sebuah doa, suatu penyembahan. Kata kerja ”berdoa” memang tidak tertulis, yang ada ialah ”berkata-kata” untuk menunjukkan bahwa hal itu terjadi dengan suara nyaring. Para murid itu berbicara dengan spontan dan nyaring ”tentangperbuatan-perbuatan besar Allah”. Itulah efek pertama dari keberadaan Roh di dalam para murid Yesus: dengan tiba-tiba dan dengan spontan mereka memuji-muji Tuhan dengan suara nyaring. Karena kedatangan Roh, mereka menyadari artinya bahwa Yesus Kristus telah menggenapi janji-Nya. Oleh sebab itu, pertama-tama, puji-pujian tidak tertuju kepada para pendengar, melainkan kepada Tuhan Allah! Cara berdoa dengan memuji-muji itu mirip dengan bernyanyi. Kita bernyanyi untuk Tuhan Allah, tetapi orang-orang lain boleh juga mendengarnya. Suatu kenyataan bahwa orang Israel sejak dahulu berdoa dengan nyaring, juga di depan umum.

Alasan-alasan berkait hal ”berbicara dalam bahasa-bahasa lain” pada hari Pentakosta itu ialah:

1. Doa yang diilhami oleh Roh untuk memuji-muji perbuatan-perbuatan besar Allah.
2. Doa yang diarahkan kepada Allah dan memperbesar kehormatan bagi nama Allah di negeri Israel.
3. Doa yang diucapkan dengan suara nyaring, sehingga didengar dan dipahami oleh orang-orang lain yang hadir.

Apakah para murid mengalami ekstase ketika mereka berdoa seperti itu? Kita tidak membaca apa-apa mengenai pengalaman di hati mereka. Hanya bahwa mereka menerima karunia yang luar biasa dari Roh, yang jauh mengungguli segala kemampuan mereka. Dan bahwa perasaan mereka begitu terbawa oleh Roh sehingga kata-kata pujian yang mereka ucapkan menarik perhatian umum. Kenyataan bahwa mereka begitu nyaring membesarkan nama Tuhan, menunjukkan bahwa mereka mempunyai wawasan tentang karya Allah, juga bahwa mereka penuh kekaguman, keberanian dan sukacita. Mereka begitu terbawa oleh segala perasaan itu sehingga beberapa orang di antara hadirin menuduh mereka sedang mabuk karena minuman keras. Itu wajar, sebab orang yang mendengar bahasa-bahasa asing yang dipakai beramai-ramai (dalam bahasa Yunani kata kerjanya ialah lalein), akan cepat menyangka bahwa para pelaku sedang berbicara mengacau.

Saya akan menulisnya secara skematis. Inilah ciri-ciri khas dari puji-pujian pertama oleh para murid yang telah dipenuhi oleh Roh.

Hal yang luar biasa ialah:

1. Bentuk: doa yang diucapkan dengan nyaring dengan bunyi-bunyi suara (yang tak dikenal oleh sang pendoa, tetapi yang dapat dimengerti dan diterjemahkan);
2. Isi: puji-pujian tentang perbuatan-perbuatan besar Allah (yaitu penggenapan janji di dalam Kristus);
3. Pengalaman: tidak disebutkan, tetapi itu adalah pemenuhan oleh Roh.

Tuhan Yesus sudah berjanji! Salah satu tanda yang akan menyertai orang-orang percaya dalam perjalanan mereka memberitakan Injil ialah, ”mereka akan berbicara dalam bahasa-bahasa yang baru bagi mereka” (Mrk. 16:17). Yang tertulis di situ secara harfiah adalah:

”bahasa-bahasa baru” (bukan: bunyi-bunyi suara), yaitubahasa-bahasa yang sebelumnya tidak dikenal oleh para murid yang berasal dari Israel. Penggenapan janji Yesus (yang diucapkan dalam Mrk. 16) di dalam Kisah Para Rasul 2, melengkapi sifat bahasa-bahasa baru itu. Itulah bahasa-bahasa semua negeri asing, tempat orang-orang Israel telah merantau sejak kecil.

Demikianlah puji-pujian pada hari Pentakosta itu merupakan tanda utama (dan bukan sebuah contoh) dari pemberitaan Injil ke seluruh dunia.

Jadi, perbedaan antara mukjizat hari Pentakosta yang pertama dan glossolalia seperti yang dijumpai pada zaman kita dalam lingkungan karismatik (biasanya) ialah orang-orang Karismatik berdoa dalam bahasa-bahasa yang tidak ada, tetapi yang terdiri dari serangkaian bunyi-bunyi suara yang tak dapat diterjemahkan. Kisah Para Rasul 2 tidak mengungkapkan pengalaman doa para murid. Yang kita dapati di sana ialah puji-pujian yang diucapkan dengan penuh antusiasme dan keberanian. Dan itu sebuah karunia Roh yang membuat kita merindukan kehidupan doa yang lebih kaya!

Kisah Para Rasul 10 dan 19: Roh Membangkitkan Bahasa-

bahasa Baru Itu

Kisah Para Rasul 2 bercerita tentang pencurahan Roh ke atas Israel, sedangkan pasal 10 berkisah tentang Pentakosta bagi bangsa-bangsa lain. Hal itu terjadi di rumah Kornelius, seorang berkebangsaan Roma. Sekarang Petrus boleh memberitakan Kabar Baik tentang damai sejahtera yang ada di dalam Kristus, tanpa mengadakan pembedaan antara orang Yahudi dan bangsa-bangsa lain. Setelah itu Roh Kudus turun ke atas rumah Kornelius. Maka orang-orang Yahudi yang hadir di situ ”berbicara dalam pelbagai bahasa dan memuji-muji kebesaran Allah” (BIMK, Kis. 10:46). Dalam TB 2 tertulis, ”Sebab mereka mendengar orang-orang itu berkata-kata dalam bahasa lidah dan memuliakan Allah.” Dalam bahasa Yunani, sepasang kata kerja seperti itu (berkata dan memuji) sering menunjukkan bahwa kata kerja yang kedua melengkapi kata kerja yang pertama. Orang-orang itu berkata-kata dalam bahasa-bahasa yang tak dikenal, yaitu mereka memuliakan nama Allah.

Naskah Alkitab sama sekali tidak memberi alasan untuk mengatakan bahwa kejadian itu berbeda dengan apa yang telah terjadi di Yerusalem. Apa yang terjadi di Yope adalah sama, yaitu: terdengar bahasa-bahasa berbagai negeri. Dan sekali lagi, yang terdengar ialah pujian nama Allah! Melihat kejadian di Yope itu, Paulus mengingat pengalamannya sendiri pada hari Pentakosta di Yerusalem. ”Allah memberikan karunia yang sama kepada mereka seperti kepada kita” (Kis. 11:17). Dia sudah mengalami sendiri bagaimana rasanya memuliakan nama Allah dalam bahasa asing! Petrus menyadari bahwa apa yang terjadi di rumah orang Roma itu, adalah sama dengan apa yang telah diterimanya sendiri pada hari Pentakosta yang pertama.

Apa yang terjadi di sini, di rumah Kornelius adalah sekaligus sebuah tanda bagi orang-orang Israel yang hadir, yaitu juga bangsa-bangsa lain mendapat bagian dari keselamatan dalam Kristus! Seperti yang dikatakan oleh Petrus: Allah memberikan karunia yang sama kepada mereka seperti kepada kita.

Hal yang sama terjadi di Efesus. Ketika itu para rasul bertemu dengan sekelompok murid yang sudah mendapat pengajaran dari Yohanes Pembaptis, tetapi belum mengetahui secara lengkap Injil Kristus dalam penderitaan dan kematian-Nya, dalam hidup-Nya dan pemerintahan-Nya. Juga murid-murid yang masih dalam tahap permulaan ini boleh percaya dan dibaptis. Kita membaca bahwa ketika Paulus menumpangkan tangan di atas mereka, ”Turunlah Roh Kudus ke atas mereka, dan mulailah mereka berkata-kata dalam bahasa lidah dan bernubuat” (Kis. 19:6, BIMK: ”bahasa-bahasa yang aneh”). Pada kata terakhir itu, kita ingat bahwa untuk menjelaskan tanda itu, Petrus mengutip nubuat Nabi Yoel pada masa lalu: ”Maka anak-anakmu laki-laki dan perempuan akan bernubuat”. Bernubuat dan memuji kebesaran Allah di depan umum: kedua hal itu sangat berdekatan. Roh memberi karunia Pentakosta itu juga di Efesus, di luar negeri, kepada orang-orang yang pada akhirnya menerima Injil Yesus Kristus dengan lengkap. Terjemahan seperti ”bahasabunyi-bunyi suara” atau ”bahasa lidah” terlalu bertitik tolak dari apa yang pada masa kini disebut kaum Karismatik glossolalia. Sekali lagi saya tidak melihat alasan untuk memikirkan hal lain kecuali karunia pada hari Pentakosta yang pertama: puji-pujian dalam bahasa-bahasa yang sebelumnya tidak dikuasai oleh orang-orang yang mengucapkannya.

Isinya juga seperti yang disebut dalam Kisah Para Rasul 2, tetapi sekarang disebut: bernubuat. Artinya, didorong oleh kekuatan Roh, mereka berbicara tentang rencana dan janji Allah. Bernubuat letaknya sangat berdekatan dengan ”memuliakan” Allah karenaperbuatan-perbuatan-Nya yang besar (seperti dalam Kis. 10).

Di Efesus Roh Pentakosta mengejar ketinggalan yang dialami oleh sekitar 12 murid yang sampai hari itu belum mengenal rencana keselamatan Allah. Tampaknya seakan-akan ke-12 murid itu mewakili ”sisa-sisa” dari ke-12 suku Israel, yang meskipun terlambat, masih diperkenankan mendapat bagian dari Roh Pentakosta. Sekarang skema yang telah kita buat pada Kisah Para Rasul 2, akan saya lengkapi dengan naskah tentang Kisah Para Rasul 10 dan 19.

Yang luar biasa pada kemampuan untuk ”berbicara dalam bahasa-bahasa” dalam Kisah Para Rasul 10 dan 19 ialah:

1. Bentuk: puji-pujian yang diucapkan dengan nyaring dengan kata-kata (yang tidak dikenal, tetapi yang dapat diterjemahkan);
2. Isi: doa itu dapat juga disebut ”memuliakan Allah” atau ”bernubuat”.

Jadi, dalam Kitab Kisah Para Rasul, kita menjumpai tiga kali tanda berupa ”berkata-kata dalam bahasa-bahasa”. Mula-mula di Yerusalem untuk orang-orang Israel, sesudah itu di Yope untuk bangsa-bangsa lain, dan akhirnya di Efesus, Asia Kecil, untuk para murid yang baru setengahnya menerima Injil. Dalam ketiga peristiwa itu kita mengenali perjalanan yang ditempuh berita Injil menuju janji Kristus, yaitu: dari Yerusalem sampai ke ujung dunia.

Itulah perjalanan Roh di kalangan bangsa-bangsa, dengan memakai semua bahasa. Di kalangan orang Yahudi dan bangsa-bangsa lain, dalam bahasa berbagai-bagai bangsa. Di mana Roh menyediakan ruang, di situ terdengar puji-pujian yang membesarkan nama Allah!

Yang tidak kita baca dalam Kisah Para Rasul ialah hal seperti itu juga terjadi dalam jemaat di Korintus di tanah Yunani, yaitu negara Eropa yang pertama. Dari ketiga kejadian dalam Kitab Kisah Para Rasul, kita tidak dapat menyimpulkan apakah karunia berbicara dalambahasa-bahasa lain itu telah diterima secara insidental dan untuk sementara yaitu pada hari Pentakosta dan beberapa waktu kemudian ataukah dijumpai di mana-mana dan selama waktu yang lama. Apakah itu tanda dari Roh Pentakosta yang hanya berlangsung sementara, atau karunia yang tetap dari Roh kepada gereja? Baru dalam surat Paulus kepada jemaat di Korintus kita menerima kesan yang lebih jelas. Di situ dibicarakan sebuah karunia Roh, yang dijumpai di dalam jemaat, bertahun-tahun sesudah hari Pentakosta yang pertama.

1 Korintus 12 14: Memuliakan Allah dengan Berbagai Suara

Banyak penafsir Alkitab berpendapat bahwa yang dibicarakan dalam Korintus itu ialah karunia yang berbeda dengan yang diberikan pada hari Pentakosta. Dalam Kisah Para Rasul, karunianya ialah mukjizat di mana orang-orang percaya berbicara dalam bahasa negeri-negeri asing (xenolalia). Sedangkan dalam jemaat di Korintus, orang-orang berdoa ”dalam bahasa yang terdiri dari bunyi-bunyi suara”. Karangan berjudul ”Roh berbicara semua bahasa” dalam buku Lebih dari Cukup! sependapat dengan penjelasan bahwa di Korintus pun yang dimaksud ialah sama dengan mukjizat Pentakosta. Untuk sementara hal itu tidak akan saya bahas dahulu, sebaliknya saya bertanya: apakah kita menemukan kembali pola yang sama yang telah kita temukan dalam Kisah Para Rasul? Sekali lagi saya akan meneliti bentuk, isi, dan pengalaman doa yang dijumpai kita dalam 1 Korintus 12 14. Dalam pembahasan di bawah ini saya tidak memakai terjemahan (yang terlalu eksplisit) seperti ”bahasa lidah” atau ”bunyi-bunyi suara”.

Sengaja saya memakai kata-kata terjemahan yang lebih netral.

Pertama-tama, sungguh menarik bahwa kita menjumpai bermacam-macam perkataan yang berhubungan dengan doa yang diucapkan dan doa yang dinyanyikan.

- ”Siapa yang berkata-kata dengan bahasa lidah, tidak berkata-kata kepada manusia, tetapi kepada Allah” (TB 2 1Kor. 14:2; BIMK ”bahasa yang ajaib”).
- ”Aku akan berdoa dengan rohku, tetapi aku akan berdoa juga dengan akal budiku; aku akan menyanyi dan memuji dengan rohku, tetapi aku akan menyanyi dan memuji juga dengan akal budiku” (1Kor. 14:15).
- ”Sebab sekalipun pengucapan syukurmu itu sangat baik, tetapi orang lain tidak dibangun olehnya (1Kor. 14:17).

Berkata-kata kepada Allah, berdoa, memuji, dan mengucap syukur: semuanya jelas menunjukkan bahwa yang dimaksudkan dengan berbicara dalam bahasa-bahasa mana pun ialah sebuah doa khusus.

Kedua, adalah penting bahwa di sini Paulus membandingkan bernubuat dan berdoa dalam sebuah bahasa, sebagai dua bentuk pengungkapan yang berbeda di dalam pertemuan jemaat. Dengan berbagai alasan, nubuat dianggap lebih bernilai.

- Nubuat ialah sapaan kepada manusia, yang diarahkan kepada para anggota jemaat maupun hadirin yang tidak percaya. ”Siapa yang bernubuat, ia membangun jemaat” (1Kor. 14:4).
- Lagi pula nubuat diucapkan dalam bahasa yang langsung dan dapat dimengerti. Sedangkan bahasa-bahasa itu selalu harus lebih dahulu diterjemahkan atau ditafsirkan (1Kor. 14: 5,13) untuk dapat dimengerti.
- Pada nubuat, jemaat dibangun dalam imannya, tetapi siapa yang berkata-kata dengan bahasa ajaib membangun dirinya sendiri (1Kor. 14:4). Dalam hal itu seorang dibangun dan diperkaya sendiri. Inilah kali pertama Kitab Suci menyebutkan pengalaman si pendoa sendiri (hal itu tidak disebut dalam Kisah Para Rasul).

Karena ketiga alasan itu, nubuat adalah lebih penting daripada berkata-kata dalam sebuah bahasa. Nubuat ialah sapaan, yang diucapkan dalam bahasa yang dimengerti, ditujukan pada pembangunan iman jemaat sebagai keseluruhan. Berdoa dalam sebuah bahasa ditujukan kepada Allah dan hanya membangun iman si pendoa sendiri. Tulisan Paulus yang berikut ini terdengar kritis: siapa yang berkata-kata dengan bahasa ajaib, ”ia membangun dirinya sendiri”. Memang kita bertindak egois kalau menganggap doa kita sendiri lebih penting.

Lalu, apa yang terjadi dengan orang yang berdoa dengan cara itu? Dalam 1 Korintus 14, untuk pertama kali Paulus menyinggung pengalamannya sendiri sebagai seorang pendoa seperti itu (1Kor. 14:18). Ada satu perbedaan besar yang disebutnya, yaitu:

”Aku akan berdoa dengan rohku, tetapi aku akan berdoa juga dengan akal budiku; aku akan menyanyi dan memuji dengan rohku, tetapi aku akan menyanyi dan memuji juga dengan akal budiku” (1Kor. 14:15).

Di sini akal budi dan roh tidak saling berlawanan, seakan-akan akal budi mewakili iman yang dingin dan rasional, sedangkan ”rohku” mewakili iman yang pribadi dan hangat. Sama sekali tidak.

Seperti dikatakan oleh Paulus sendiri: kedua tingkat kehidupan batin telah disentuh oleh Roh Kudus dan terlibat dalam iman dan penyembahan. Apakah perbedaan antara berdoa dan memuji kemuliaan Allah?

- Pada akal budi termasuk pengendalian diri sambil kita berdoa dengan bahasa kita sendiri. Dengan penuh kesadaran kita berseru kepada Tuhan atau kita memuji nama-Nya, misalnya kalau kita memimpin persekutuan dalam doa dan penyembahan. Kidung juga dinyanyikan bersama-sama, berisi kata-kata terkenal di mana Allah dipuji-puji.
- Sebaliknya, ”dengan rohku” menunjuk pada karunia doa di mana dengan spontan kita mengungkapkan iman kita sendiri kepada Allah, dengan cara yang lebih spontan dan emosional. Pada saat seperti itu, Roh menguasai lidah dan bahasa kita. Seakan-akan kita berdoa atau menyanyi dengan melewati kata-kata biasa. Itu berbeda dengan menyapa pihak lain dengan pesan yang dapat dimengerti. Dan hal seperti itu dapat terjadi pada saat kita berdoa, tetapi juga pada saat kita bernyanyi memuji Tuhan.

Saya akan menyambung pokok tentang bernyanyi itu dengan paragraf yang berikut. Kata-kata yang diucapkan secara pribadi dalam bahasa ajaib, dapat menjadi sebuah doa yang bernada akrab atau menjadi kidung dengan bunyi sorak-sorai. Mengenai pengalaman pribadi Paulus sebagai pendoa seperti itu, dia hanya mengatakan bahwa: imannya sendiri telah dibangun karenanya. Siapa yang mendengar doa seperti itu, melihat suatu keberanian iman. Dan juga kebahagiaan yang melimpah.

Hal yang menarik dalam 1 Korintus 12 14 ialah:

1. Bentuknya: doa yang diucapkan dengan nyaring dalam persekutuan, dengan bahasa yang tidak dikenal (oleh si pendoa, tetapi yang dapat dan harus diterjemahkan);
2. Isinya: berdoa sambil memuji, mengucap syukur dan bernyanyi, dengan dipenuhi oleh Roh;
3. Pengalamannya: iman pribadi dibangun karenanya
.

Apakah yang telah kita pelajari dari perbandingan antara 1 Korintus dan Kisah Para Rasul? Dalam kedua kitab Alkitab itu mungkin saja yang dimaksudkan ialah xenolalia, yaitu penyembahan dalam bahasa yang tidak dikenal oleh sang pendoa, tetapi yang dapat diterjemahkan. Sekarang masih ada satu pokok yang perlu dijelaskan. Apakah dalam doa khusus seperti itu, si pendoa menerima penyataan Roh, yang harus disampaikan (melalui terjemahannya) kepada jemaat? Untuk jawabannya, kita memakai 1 Korintus 14:2 sebagai dasar: ”oleh Roh ia mengucapkan hal-hal yang rahasia” (TB 2). BIMK menulis, ”Tidak ada orang yang mengerti apa yang ia katakan, sebab Roh Allah yang menyebabkan ia mengucapkan hal-hal yang hanya diketahui Allah”. Dalam bahasa Yunani tertulis kata misteria, yang biasanya diterjemahkan dengan ”rahasia-rahasia tentang keselamatan Allah” yaitu rahasia-rahasia dalam Perjanjian Baru yang dinyatakan di dalam Kristus. Saya memahami ayat 2 sebagai berikut: dalam doa pribadi, Anda berbicara dengan Allah tentang rahasia-rahasia keselamatan yang telah dinyatakan oleh Roh di dalam perjanjian yang baru. Dalam doa seperti itu wawasan Anda diperkaya, dan Anda mengucap syukur kepada Allah karena segala keselamatan yang kita peroleh di dalam Kristus. Saya tidak melihat alasan untuk berpendapat bahwa Anda menerima sebuah penyataan khusus melalui doa seperti itu. Ketika Paulus menuntut supaya doa seperti itu diterjemahkan atau ditafsirkan, alasannya bukan karena isinya mutlak harus diketahui, tetapi karena tanpa terjemahan, doa itu tidak berarti apa-apa bagi para hadirin, sehingga mereka tidak dapat menyepakatinya dengan ucapan ”amin”.

Apakah artinya penjelasan ini tentang 1 Korintus 14? Kita digerakkan oleh Roh untuk menaikkan doa puji-pujian, yang kita ungkapkan kepada Allah dengan berani dan antusias.

Efesus 5:10-21: Menyembah Allah dengan Bernyanyi

Sambil merenung tentang berdoa sambil bernyanyi, saya teringat kepada ayat dalam Kitab Efesus 5, ”dan berkata-katalah seorang kepada yang lain dalam mazmur, kidung puji-pujian dan nyanyian rohani.

Bernyanyi dan bersoraklah bagi Tuhan dengan segenap hati” (Ef. 5:19, TB 2). Yang dimaksudkan di situ juga pemenuhan dengan Roh.

Itulah satu-satunya peristiwa di mana Paulus berbicara dalam bentuk perintah. Dikatakannya, ”hendaklah kamu penuh dengan Roh.” Dengan indah dia menyusun kedua kalimat yang saling berlawanan ini, ”Janganlah kamu mabuk oleh anggur, tetapi hendaklah kamu penuh dengan Roh!” Bagaimanakah kepenuhan itu diungkapkan? Apakah yang Anda lakukan kalau hati Anda penuh? Anda akan mengucapkan ayat-ayat mazmur, dan memuji-muji Tuhan serta menyanyikan lagu-lagu rohani. Seperti juga ditulis terjemahan lain: ”nyanyikanlah bersama mazmur, himne dan lagu-lagu yang diilhamkan oleh Roh”.

Ungkapan ”Berkata-katalah... dalam...” memberi kesan seolah-olah yang dimaksudkan ialah deklamasi. Memang, ada baiknya juga kalau Anda hafal sejumlah mazmur, sehingga dapat mengucapkannya di luar kepala. Namun, tampaknya yang dimaksudkan Paulus ialah jenis berbicara yang lebih spontan dan bersemangat. Dia memakai kata kerja (”berkata-kata”) yang sama dengan kata kerja dalam Kisah Para Rasul dan 1 Korintus yang menggambarkan bahasa-bahasa (yang tak dikenalnya sendiri). Juga Dalam surat kepada jemaat di Efesus, yang dimaksudkan ialah berkata-kata sambil memuji Tuhan, dengan memakai bahasa puji-pujian yang kita kenal di dalam nyanyian- nyanyian rohani. Itulah juga yang dilakukan Paulus dalam suratnya kepada gereja di Korintus, ketika dia menempatkan doa dalam bahasa lidah pada satu tingkat dengan mazmur (1Kor.14:26). Juga mengenai hal mengucap syukur kepada Allah, surat kepada Efesus berhubungan dengan surat kepada Korintus (Ef. 5:4; 1Kor.14:16).

Orang-orang Reformasi memiliki tradisi kuat untuk bernyanyi bagi kemuliaan Allah. Hal itu unik di dunia ini: semua mazmur, 150 pasal, telah ditulis dalam sajak dan diberi iringan musik. Kita mempunyai harta berupa kidung rohani dari gereja segala abad, yang sedang kita pakai juga di Indonesia. Ada juga lagu-lagu baru yang diciptakan pada masa kini. Sungguh nikmat apabila sambil menyanyi memuji Allah, kita terbawa oleh perasaan kita, dan seakan-akan diangkat ke atas diri kita sendiri. Sungguh nikmat untuk memuji Allah dan sekaligus merasa berbahagia di dalam iman.

Pernahkah Anda mengalami saat di mana Anda merasa sangat senang ketika sedang menyanyi memuliakan Allah? Pada saat seperti itu kita begitu terharu dan terbawa oleh perasaan, sehingga ingin terus bernyanyi tanpa henti! Kadang-kadang kita begitu terharu sehingga isi hati kita terasa meluap melewati kata-kata nyanyian itu. Dan hati kita dipenuhi rasa kagum dan rasa cinta kepada Juru Selamat kita. Mungkin itulah yang dimaksudkan Paulus ketika dalam suratnya kepada gereja di Korintus dia menulis, ”Jika aku berdoa dengan bahasa lidah, maka rohkulah yang berdoa, tetapi akal budiku tidak menghasilkan apa-apa.” Nyanyian-nyanyian dapat membuat orang sangat terharu. Ada kalanya kesan yang ditinggalkan Firman begitu besar dalam hati kita, sehingga kita tidak mampu mengungkapkannya dengan kata-kata. Dan pada saat seperti itu Roh memberikan ruang kepada kita dalam sebuah kidung, dalam rangkaian kata-kata gubahan orang lain. Dengan demikian kita dapat mengungkapkan isi hati kita dengan kata-kata yang tak dapat kita temukan sendiri. Dari dalam kata-kata itulah hati kita naik sampai tinggi. Dan dengan melewati kata-kata itu, kita memuji-muji Bapa dan Anak dan Roh Kudus, dengan sepenuh hati.

Kita kadang-kadang lupa bahwa menyanyi adalah sebuah bentuk doa. Lihat saja, berapa banyak nyanyian yang dibuat menurut mazmur-mazmur dalam Alkitab. Kebanyakan adalah doa yang dinaikkan kepada Allah, yang telah digubah dalam berbagai keadaan. Doa-doa yang diberi melodi. Doa-doa yang diulurkan kepada kita oleh Roh, sebagai instrumen untuk mengungkapkan isi hati kita kepada Allah. Kadang-kadang hal itu terjadi dalam persekutuan jemaat. Lalu ada beberapa orang yang mengucapkan sebuah mazmur (1Kor. 14:26). Ada lagi orang lain yang memberi pengajaran, atau menyampaikan penyataan Allah. Namun, ada juga yang mempersembahkan mazmur yang baru saja lahir, yaitu sebuah lagu pujian bagi Tuhan. Semua itu untuk memberi ruang dan bentuk untuk penyembahan kepada-Nya.

Saya membaca dalam Firman, ”Aku akan berdoa dengan rohku, tetapi aku akan berdoa juga dengan akal budiku; aku akan menyanyi dan memuji dengan rohku, tetapi aku akan menyanyi dan memuji juga dengan akal budiku” (1Kor. 14:15). Hendaknya kita tahu benar apa yang kita nyanyikan. Dengan demikian, kita menyanyi dengan akal budi kita. Namun, kita boleh juga saling mengingatkan pada hal yang sebaliknya, yaitu menyanyi dengan roh kita. Artinya: mencurahkan seluruh isi hati kita kepada Tuhan. Dan ternyata, hati kita tidak menjadi kosong karena habis tercurah. Syukurlah, hati itu langsung terisi lagi dengan puji-pujian baru.

Yang menarik dalam Efesus 5 ialah:

1. Bentuk penyembahan: berbicara dengan suara nyaring, seorang kepada yang lain, menyanyikan bersama lagu-lagu rohani untuk memuji Allah
2. Isinya: puji-pujian dan ucapan syukur kepada Allah;
3. Ciri khasnya: itu bukti bahwa mereka penuh dengan Roh.

Bernyanyi dan berdoa sambil memuji Allah: ketiganya bagaikan sebuah kabel listrik dengan dua kawat saluran, satu positif dan satu negatif. Kawat yang satu ialah pemasok aliran listrik, sedangkan yang lain menyalurkannya. Pernahkah Anda mengalami nyanyian Anda, yang bertujuan memuliakan Allah, sekaligus memperkaya diri Anda sendiri? Pernahkah Anda mencurahkan seluruh isi hati kepada Tuhan, dan pada saat bersamaan hati itu dialiri lagi sehingga penuh?

Semoga semua orang akan memperoleh pengalaman ini: menyanyi sebuah kidung untuk menyembah Allah Tritunggal, dan hati kita menjadi begitu terharu dan bergembira, sehingga apa yang kita ucapkan melewati segala kata-kata. Dengan demikian, kita mulai mengerti sedikit mengenai apa yang dikatakan Kitab Suci kepada kita tentang berdoa dan memuji Allah dengan roh kita dan atau akal budi kita.

Dan indahnya ialah sambil menyanyi itu lidah kita terasa bebas untuk mengucapkan apa saja. Atau: mungkinkah karunia itu tidak diberikan kepada semua orang? Ada juga banyak orang percaya yang tidak begitu suka bernyanyi. Namun, saya rasa, melodi dan puisi sangat membantu. Dawai-dawai hati kita tersentuh olehnya, sehingga membebaskan emosi kita. Kalau Anda dapat mencurahkan isi hati Anda dalam sebuah nyanyian untuk memuliakan Allah, maka itu adalah sebuah karunia Roh! Kalau Anda dapat bernyanyi begitu, maka itu karunia Roh, meskipun Anda kurang berani untuk berdoa dengan bersuara dalam kehadiran orang lain. Dan meskipun Anda tidak dapat membentuk kalimat-kalimat dengan lancar dan kurang berani berbicara tentang Allah. Menyanyi ialah pengungkapan iman, dan banyak orang mampu melakukannya. Mereka berani bernyanyi bersama dengan nyaring dan di depan umum. Misalnya dalam nyanyian sesudah khotbah: pada saat itu hati jemaat terbuka lebar bagi Juru Selamat kita, dan suara seluruh jemaat menjadi satu paduan suara yang memuji kebesaran Allah. Nasihat rasul berbunyi demikian, ”Berkata-katalah seorang kepada yang lain...” Alangkah indahnya apabila puji-pujian bagi Bapa dan Anak dan Roh Kudus lebih sering menentukan nada percakapan di kalangan jemaat di gereja! ”Ucaplah syukur senantiasa atas segala sesuatu dalam nama Tuhan kita Yesus Kristus kepada Allah dan Bapa kita” (Ef. 5:20).

Bahasa-bahasa sebagai Tanda

Sebetulnya tujuan saya sudah tercapai mengenai pokok ini, yaitu menunjukkan bahwa berkata-kata dalam bahasa-bahasa adalah sebuah bentuk penyembahan. Dan bahwa kita boleh mengenali doa dan nyanyian yang berisi puji-pujian, sebagai karunia Roh, yang memenuhi hati orang-orang percaya. Hal itu kita tinjau lagi sebelum pembahasan kita selesai tentang sifat khas bahasa Roh atau bahasa lidah. Bukan maksud saya untuk memberi keterangan yang lengkap di sini tentang hal itu, tetapi bagaimanapun saya harus menyebutkan beberapa unsur dari pembahasan itu.

Dalam ketiga kesan yang kita peroleh dari Kisah Para Rasul, hal berkata-kata dalam bahasa (yang tak dikenal) itu adalah sebuah tanda bahwa Roh telah dicurahkan. Pada hari Pentakosta Sang Pencipta menjadikan hal itu jelas terlihat dengan adanya lidah-lidah seperti lidah api yang bertebaran dan hinggap pada merekamasing-masing (Kis. 2:3). Api tunggal dari Roh, telah dicurahkan kepada mereka masing-masing. Seperti api sebuah lilin tidak menjadi kecil meskipun banyak lilin lain dinyalakan dengan api itu, begitu juga api Roh tidak berkurang. Seperti kita berbicara tentang ”lidah-lidah api”, begitu juga kita dapat mengatakan bahwa lidah-lidah manusia dinyalakan oleh Roh Kristus sehingga menyala-nyala bagaikan api.

Tanda yang kasat mata, yaitu lidah-lidah api itu, menunjuk pada ucapan-ucapan yang memuji-muji Allah, suatu tanda Pentakosta yang dapat didengar.

Meskipun Lukas tidak memakai kata tanda dalam Kisah Para Rasul, Paulus memakainya dalam suratnya kepada jemaat Korintus.

Dia mengatakan bahwa bahasa lidah ”adalah tanda, bukan untuk orang yang beriman, tetapi untuk orang yang tidak beriman” (1Kor. 14:22). Itu aneh, sebab pada zaman ini glossolalia justru dipahami sebagai tanda pemenuhan dengan Roh. Dan tanda itu untuk orangorang percaya! Seakan-akan itu mengandung pesan yang berikut: baru setelah mendapat tanda itu, Anda benar-benar dipenuhi oleh Roh Allah. Jadi, apakah yang dimaksud oleh Paulus?

Paulus menunjukkan perbedaan antara bernubuat dan berbicara dalam bahasa ajaib. Nubuat dapat langsung dimengerti, sedangkan doa dalam bahasa itu tidak. Lalu dia menunjuk pada Yesaya 28.

Kalau kita membaca ayat-ayat itu kita mendengar sesuatu yang mirip glossolalia. ”Dengarlah, mereka berkata: Tsav latsav, tsav latsav, kav lakav, kav lakav, tambah ini tambah itu” (Yes. 28: 10-13). Hal itu dikatakan tentang para imam dan nabi, yang-dalam melaksanakan fungsi mereka-sedang mabuk. Bagaimana mungkin orang dapat mengajarkan sesuatu kepada umat dengan cara itu? Mereka hanya meracau (ingat saja pada reaksi orang-orang yang tidak percaya di Yerusalem terhadap para pengikut Kristus yang berbicara dalam bahasa-bahasa lain, Kis. 2:13, ”Mereka sedang mabuk oleh anggur manis”). Maka Allah Israel berfirman melalui Yesaya, ”Sungguh, oleh orang-orang yang berlogat ganjil dan oleh orang-orang yang berbahasa asing akan berbicara kepada bangsa ini Dia yang telah berfirman kepada mereka...” Itulah ayat yang dikutip Paulus. Allah menegur Israel sebagai bangsa yang tidak percaya dan yang tidak mau menurut perkataan-Nya. Dan Dia berbicara melalui mulut orang, yaitu orang dari negeri asing dengan bahasa-bahasa asing.

Allah mengancam mereka dengan kedatangan bangsa Asyur yang akan menaklukkan mereka dan memerintah mereka dalam bahasa asing, yang tidak mereka kenal.

Paulus bersikap kritis tentang pemakaian bahasa-bahasa asing dalam persekutuan jemaat, tanpa penerjemah. Begitu kritisnya sehingga Dia mengutip kata-kata pedas yang digunakan TUHAN dalam Yesaya. Rupa-rupanya bagi Paulus, tidak ada hal yang lebih parah daripada bahasa yang tidak dapat dimengerti apabila jemaat Kristus sedang berkumpul bersama! Bukankah itu merupakan hukuman Allah? Paulus menulis: Saudara-saudara, ingatlah juga kepada para tamu yang belum percaya kepada Kristus! ”Kalau seluruh jemaat berkumpul bersama-sama dan tiap-tiap orang berkata-kata dengan bahasa lidah, lalu masuklah orang-orang luar atauorang-orang yang tidak beriman, bukankah mereka akan katakan bahwa kamu gila?” (1Kor.14:23). Mereka mendengar bahasa yang sama sekali tidak menarik, dan bukan bahasa yang dapat membawa mereka pada pertobatan kepada Allah Israel. Adapun hal yang parah dari hukuman berupa bahasa yang tak dapat dimengerti ialah ini,”mereka tidak akan mendengarkan, firman TUHAN” (Yes. 28:12; 1Kor. 14:21).

Dalam arti itulah hal berbicara dalam bahasa-bahasa asing adalah tanda yang tidak diperuntukkan bagi orang-orang percaya, tetapi bagi orang-orang yang tidak percaya. Ada kemungkinan bahwa Paulus khususnya berpikir ke arah orang-orang Yahudi yang tidak percaya. Seperti TUHAN pun telah menegur Israel melalui Yesaya.

Sebuah tanda biasanya menunjuk pada keselamatan dari Allah, tetapi tanda itu dapat juga ditolak oleh orang yang tidak percaya. Apalagi sebuah tanda yang menentang arah seperti dalam Yesaya, ketika Allah menegur bangsa Israel dalam bahasa yang tidak dimengerti. Pada saat itu yang mendapat teguran Allah ialah Israel, umat-Nya, tetapi pada zaman Paulus, teguran itu juga diberikan kepada sejumlah bangsa lain seperti yang terdapat di Korintus, kota pelabuhan di tanah Yunani, tempat berkumpulnya bermacam-macam bangsa.

Namun, oleh nubuat yang dapat dimengerti (atau oleh doa yang diterjemahkan) seorang tamu akan merasa tertarik dan, kalau Roh mengizinkan, dia akan diyakinkan mengenai kebenaran. Maka, dia akan sujud menyembah Allah dan mengucapkan pengakuan ini, ”Sungguh, Allah ada di tengah-tengah kamu” (1Kor. 14:25).

Demikianlah bagian naskah dalam 1 Korintus 14 ini akhirnya sampai juga pada tujuan seluruh Injil, yaitu pemberian pujian kepada Allah dan pengakuan iman, sambil kesaksian kepada semua orang.

Pada zaman ini hal berbicara dalam ”bahasa lidah” dipahami sebagai tanda pemenuhan dengan Roh, yaitu tanda untukorang-orang percaya. Namun, itu berbeda sekali dengan apa yang dikatakan Paulus. Memang kita sejalan dengan Kitab Suci kalau memandang doa dan nyanyian yang penuh puji-pujian itu sebagai karunia Roh kepada orang-orang percaya. Asal ditambah dengan peringatan Paulus bahwa dalam persekutuan jemaat, hal itu harus dilakukan dalam bahasa yang dapat dimengerti. Dengan mengatakan itu, dia mengingat pembangunan iman jemaat, dan khususnya mengingat para tamu dari luar. Sebab itu, kita akan menentang ajaran rasuli (yang dipenuhi oleh Roh!) apabila memberi ruang pada glossolalia, tanpa memberi tempat pertama pada karunia lain yang dibutuhkan dan menjadi syarat untuk karunia itu, yaitu karunia untuk menerjemahkan. Sayangnya karunia kedua itu sangat kurang diperhatikan di kalangan karismatik.

Karisma Pujian-pujian dan Terjemahan Bahasa

Saya berusaha memahami karunia ajaib, yaitu kemampuan untuk berdoa dalam bahasa-bahasa lain (yang tak dikenal), dengan bantuan pengalaman iman dalam menyembah Allah sambil bernyanyi.

Namun, bukankah dalam jemaat di Korintus, karunia tersebut hanya diberikan oleh Roh kepada beberapa orang saja, dan tidak kepada semuanya? Sebab itu pada akhirnya saya akan menulusuri tulisan rasul tentang hal berbicara dalam bahasa ajaib itu, sebagai karisma yang khusus.

Dalam deretan pembagian karunia-karunia yang tercatat dalam Kitab Roma, tidak ada karunia doa, sedangkan karunia nubuat ada (Rm. 12: 6-8). Tentang pembagian berbagai karunia oleh Roh yang tunggal, Rasul Paulus menulis dalam 1 Korintus sebagai berikut, ”Kepada yang seorang, Ia memberikan karunia untuk berkata-kata dengan bahasa lidah, dan kepada yang lain Ia memberikan karunia untuk menafsirkan bahasa lidah itu” (1Kor. 12:10b). Kenyataan bahwa hal itu adalah karunia yang hanya diberikan kepada beberapa orang, telah digarisbawahi pada bagian akhir sebagai berikut, ”Apakah mereka semua mendapat karunia... untuk berkata-kata dalam bahasa lidah, atau untuk menafsirkan bahasa lidah?” (1Kor. 12:29-30). Itu adalah pertanyaan retorik, yang hanya dapat dijawab dengan ”tidak”. Yang jelas ialah bahwa semua orang dapat bernyanyi untuk memuliakan Allah, dengan memakai kata-katanya sendiri yang dapat dipahami. Namun, tidak semua orang dapat menyembah Allah dengan bahasa yang tidak dikenalnya sendiri.

Apa yang diberikan pada hari Pentakosta kepada para murid Yesus yang pertama adalah hadiah yang di dalam jemaat pada zaman kemudian tidak diberikan kepada semua orang.

Dalam 1 Korintus 14, rasul menyinggung kembali karunia itu, dan inilah yang dikatakannya, ”Aku mengucap syukur kepada Allah bahwa aku berkata-kata dengan bahasa lidah lebih daripada kamu semua” (1Kor. 14:18). Namun, lebih dahulu dia hendak menunjukkan jalan kasih, yaitu buah Roh yang paling penting.

Sebab itu ditulisnya, ”Sekalipun aku dapat berkata-kata dengan semua bahasa manusia dan bahasa malaikat, tetapi jika aku tidak mempunyai kasih, aku sama dengan gong yang berkumandang dan canang yang gemerincing” (1Kor. 13:1). Tanpa terjemahan, maka kehidupan doa yang sangat kaya pun menjadi seperti alat musik yang bunyinya tidak menentu (1Kor. 14:7-9). Tanpa kasih, kehidupan doa itu seperti suara yang keras dan kosong.

Ada orang yang berpendapat bahwa pemakaian bahasa lidah dalam pasal 13 ayat 1, menunjuk pada bahasa malaikat. Namun, Paulus memakai pemikiran Yahudi (yang selanjutnya tidak kita jumpai dalam Alkitab) bahwa ada bermacam-macam bahasa di dunia malaikat, hanya dengan maksud untuk mengatakan ini: coba bayangkan, seandainya kita bisa memakai segala macam bahasa yang ada di dunia ini untuk memuji Allah, tetapi tanpa kasih, kehidupan doa yang paling kaya pun akan tetap kosong. Paulus berbicara secara hipotetis (berdasarkan dugaan): karunia tertinggi mana pun, yang ada pada tingkat apa pun adalah kosong apabila tidak ada kasih kepada sesama manusia. Alkitab tidak memberi alasan di mana pun kepada kita untuk menghubungkan hal berkata-kata dalam bahasa lidah itu dengan bahasa malaikat. Kita hanya memikirkan segala bahasa yang ada di bumi ini. Dan barangkali ada pemikiran tentang kemungkinan adanya ekstase yang menampakkan diri dalam glossolalia. Hal itu termasuk dalam keanekaragaman bahasa yang nantinya akan hilang, yaitu apabila yang sempurna telah tiba (1Kor. 13: 8-10).

Akhirnya dalam pasal 14, Paulus membahas secara mendalam perbedaan antara bernubuat dan berbicara dalam bahasa lidah. Kita sudah merenungkannya di atas. Rasul menulis kepada jemaat di Korintus, sebuah kota yang memiliki dua pelabuhan. Pada zaman itu, di tanah genting di sana, belum digali terusan Korintus, sehingga kapal-kapal barang harus diseret sepanjang bagian daratan itu. Jadi, dari teluk yang satu ke teluk yang lain. Kota Korintus mempunyai penghuni internasional. Sama seperti Yerusalem yang pada masa Pentakosta dipenuhi dengan pengunjung dari seluruh dunia (Kis. 2), dan sama juga seperti kota pelabuhan yang satu lagi, Efesus di Asia Kecil (Kis. 19). Saya teringat bagaimana Paulus menjelaskan karunia doa yang paling tinggi, yaitu demikian, ”Sekalipun aku dapat berkata-kata dengan semua bahasa manusia dan bahasa malaikat...” Tidak ada apa pun yang lebih indah, kecuali apabilapuji-pujian kepada Allah dapat dimengerti oleh semua bangsa! Dengan demikian, kita tidak memerlukan terjemahan lagi. Pada akhirnya yang penting bukan kehidupan doa pribadiku sendiri, tetapi supaya segala nubuat dan puji-pujian dapat dimengerti!

Kekacauan bahasa yang terjadi di Babel adalah hukuman Allah atas umat manusia (Kej. 11). Selama berabad-abad keselamatan hanya terbatas pada bangsa Israel saja, dan melalui bahasa mereka, yaitu bahasa Ibrani, keselamatan itu diberitakan kepada bangsa-bangsa lain. Kemudian, pada hari Pentakosta, Roh Kristus mendobrakbatas-batas bahasa, lalu memakai semua bahasa di dunia sebagai sarana pemberitaan dan ucapan puji-pujian. Pemberitaan supaya orang percaya (pada nubuat) dan ucapan puji-pujian dalam iman (dengan berkata-kata dalam bahasa-bahasa lain). Karunia berbahasa lidah telah tercantum dalam perjalanan Injil Kristus di dunia internasional oleh kekuatan Roh. Janganlah kita melupakan hal itu pada waktu merenungkan arti karunia itu untuk zaman sekarang. Namun, kita tidak boleh juga menganggap kurang penting pemakaian bahasa kita sendiri dalam menyembah Allah Tritunggal, sambil memuji dan bersyukur kepada Tuhan dengan kata-kata yang meluap dari hati kita. Sebab pada akhirnya itulah yang menjadi tujuan karunia yang ajaib itu, yaitu bahwa keselamatan Kristus sampai kepada kita dalam bahasa kita sendiri dan membebaskan lidah kita supaya dengan segenap hati kita dapat memuji Allah. Dialah Sang Pencipta, Sang Pembebas, dan Sang Raja.

Setiap kali Kitab Suci menyebutkan karunia untuk berkatakata dalam berbagai jenis bahasa lidah, selalu disebutnya juga karunia kembarannya, yaitu karunia untuk menerjemahkan atau menafsirkan bahasa-bahasa itu (1Kor. 12:10, 30; 14:26). Siapa yang diperkenankan untuk berdoa dalam bahasa yang tidak dimengertinya sendiri, harus juga berdoa mohon kemampuan untuk menjelaskan kata-katanya (1Kor. 14:5, 13, 27). Terjemahan yang lebih harfiah berbunyi: mohon kemampuan untuk menerjemahkan bahasa yang dipakainya untuk berdoa. Karunia itu juga menunjukkan bahwa doa yang dipahami adalah lebih baik daripada yang tidak dipahami.

Dan meskipun ada orang yang dibangun iman pribadinya karena dia berdoa dalam bahasa lidah atau karena dia ”berkata-kata dalam bahasa lidah”, itu tidak berarti bahwa doa dalam bahasa yang bisa dimengerti, kurang memperkaya iman.

Kedalaman pengalaman iman tidak perlu dihubungkan dengan ”keajaiban” bahasa lidah. Pengalaman yang mendalam itu lahir dari emosi yang menjadi ciri khas doa dan nyanyian pujian yang ”kunaikkan dengan rohku” (1Kor. 14:15). Pendek kata, saya sendiri menganggapnya sebuah karisma Roh, kalau saya menerima karunia untuk menyembah Allah dan Kristus. Meskipun hal itu terjadi dengan cara di mana saya terbawa oleh perasaan saya, jauh melewati kata-kata dan penguasaan bahasa.

Jadi, sesuai nasihat Paulus, begitulah caranya berdoa kalau kita menaikkan doa pribadi dengan bersuara. Itulah yang dimaksudkan dengan ”berkata-kata kepada diri sendiri dan kepada Allah” (1Kor. 14: 28). Kalau kita belajar untuk dapat juga menaikkan doa pribadi di depan umum, dengan suara nyaring dan penuh perasaan, maka harus ada juga penafsiran mengenai isi doa kita. Dengan demikian kita akan mengikuti secermat mungkin apa yang telah dinyatakan Roh di dalam Kitab Suci kepada kita tentang pokok ini melalui Paulus.

Bernyanyilah dan Pujilah Tuhan dengan Sepenuh Hati

Kalau kita membiarkan kehidupan doa kita diilhami dan diperbaiki oleh Kitab Suci, kita sebagai orang-orang Kristen akan sependapat bahwa doa kita akan diperkaya oleh pujian memuliakan Allah.

Sebab berdoa memuji Allah dapat dilakukan oleh semua orang. Saya sendiri telah diperkenankan mengalami saat-saat di mana doa saya diperkaya, puji syukur kepada Allah! Padahal saya tidak mempunyai kehidupan doa glossolalia. Dengan kata lain, saya mengalami saat ketika dalam memuji-muji Tuhan, saya melewati kata-kata saya sendiri, tetapi tidak sampai kehilangan seluruh penguasaan bahasa.

Nah, itu sudah bisa disebut penambahan kekayaan rohani, sebagai hasil membaca Kisah Para Rasul dan 1 Korintus: bagaimanapun, yang penting mengenai ”berbicara dalam bahasa lidah atau bahasa ajaib” (apa pun sifat bahasanya) ialah bahwa itu adalah saat di mana aku berdoa dalam keadaan di mana aku dipenuhi oleh puji-pujian kepada Allah, dan aku diperkenankan mencurahkan isi hatiku kepada-Nya.

Juga spiritualitas golongan Reformasi dapat bersaksi bahwa apabila kita diperkenankan untuk berdoa atau bernyanyi dengan cara itu, maka itu merupakan pengalaman yang luar biasa, yang sungguh memperkaya kehidupan doa kita. Seluruh kehidupan itu menjadi ibadat penyembahan kepada Allah. Dan hal itu dapat kita alami kalau kita senantiasa membiarkan kehidupan doa kita diterangi oleh lampu Firman yang disampaikan para nabi dan para rasul.

Yang paling penting bukan jenis bahasanya-entah itu bahasa ibu, bahasa negeri asing atau bahasa lidah-melainkan kenyataan bahwa kita diperkenankan untuk memuji-muji Allah Tritunggal!

Juga kalau Anda boleh menyanyikan dan memuji-mujiperbuatan-perbuatan besar Allah dalam bahasa asal Anda sendiri, maka itu adalah karunia Roh Pentakosta. Pada akhirnya yang sudah dianggap penting oleh Allah Israel pada hari Pentakosta yang pertama itu ialah, ”bahasa kita sendiri, yaitu bahasa tempat kita dilahirkan”.

Biasanya orang-orang Kristen yang berasal dari garis pengalaman iman Reformasi, tidak tahu ”berbicara dalam bahasa lidah” sebagai bentuk berdoa. Meskipun begitu, kalau Roh menghendakinya, mereka juga berdoa dan bernyanyi dengan bersemangat dan penuh perasaan. Apakah mereka mengalami kekurangan kalau tidak berdoa dalam bahasa Roh (atau lidah)? Yang saya maksud bukan kekurangan yang membuat kita lebih miskin. Namun, bagaimanapun saya yakin bahwa doa kita kadang-kadang terasa kering, baik bagi Tuhan maupun bagi kita sendiri. Sungguh menyedihkan dan terasa sebagai kemiskinan, apabila orang-orang Kristen hanya memberi sedikit waktu kepada Tuhan untuk menghadap takhta-Nya dalam doa.

Hanya sedikit waktu untuk mencari jalan menuju Bapa melalui Kristus. Sungguh menyedihkan dan terasa sebagai kemiskinan apabila kita selalu bernyanyi sekadar karena wajib, sehingga terdengar kering. Sungguh disayangkan bahwa hanya sedikit orang percaya merasa bebas untuk berdoa bersama-sama dengan orang lain. Dan mereka merasa malu kalau kata-kata mereka sederhana saja.

Namun,-puji syukur kepada Allah!-ada juga rasa rindu untuk mendapat kehidupan doa yang lebih kaya dan untuk mengalami pemenuhan oleh Roh dalam doa. Dan berkat Firman, Roh dan gereja, kerinduan itu justru timbul pada mereka yang merasa miskin dalam doa dan puji-pujian mereka. Juga melalui sikap rendah hati itu, Roh hendak membebaskan diri kita supaya dapat berdoa dan bernyanyi memuji Allah dengan sepenuh hati.

Saya telah berusaha menunjukkan bahwa bentuk-bentuk doa di kalangan Reformasi dan karismatik-dalam maksud dan tujuan mereka yang tulus-dapat saling menyentuh dalam puji-pujian yang diucapkan atau dinyanyikan dengan nyaring demi kemuliaan Allah.

”Bernyanyilah dan pujilah Tuhan dengan sepenuh hati”. Seruan itu membangkitkan semangat kita semua untuk memberi ruang bagi puji-pujian itu dalam doa pribadi maupun doa bersama. Dan juga untuk menguji kita dan membiarkan diri kita dibarui dalam terang Firman.

Kalau kita berbicara tentang berdoa dalam bahasa lidah, janganlah kita lupa bahwa di surga Allah dipuja-puja dan disembah. Kita tidak tahu apa-apa tentang bahasa malaikat. Kalau dalam Alkitab suara mereka terdengar, maka yang mereka pakai ialah bahasa umat Allah di bumi. Sebabnya kita harus mengerti apa yang mereka nyanyikan bagi kemuliaan Allah. Namun, yang paling penting ialah kenyataan bahwa para malaikat itu memuji-muji Allah Tritunggal! Dan saya yakin bahwa orang-orang yang ada di Surga juga bernyanyi memuji Dia.

Di bumi pun hal yang paling penting ialah ”semua orang akan memuliakan Allah” (Rm. 14:11) dan segala lidah mengaku, ”Yesus Kristus adalah Tuhan” (Flp. 2:11). Seluruh kekayaan bahasa di bumi ternyata bergema di surga. Anak Domba disembah di sana, karena ”dengan darah-Mu Engkau telah membeli mereka bagi Allah dari tiap-tiap suku dan bahasa dan umat dan bangsa” (Why. 5:9). Demikian juga digambarkan kumpulan besar orang banyak yang tidak dapat dihitung jumlahnya (Why. 7:9). Karena Injil yang kekal telah diberitakan kepada mereka yang tinggal di bumi dan kepada semua bangsa dan suku dan bahasa dan umat” (Why.

14:6). Bahasa lidah mewakili sebuah segi dari keanekaragaman umat manusia di bumi. Dalam Kerajaan Kristus dan Allah, segala tembok pemisah dirubuhkan. Nyanyian puji-pujian dalam Kitab Wahyu memperlihatkan betapa pentingnya bahasa-bahasa segala bangsa. Dan memperlihatkan juga bahwa segala bahasa itu diangkat ke surga dan dijadikan lagu pujian yang baru, yang memuji-muji karya agung Allah di dalam Anak Domba dan melalui Roh. Dan sambil berdoa dan bernyanyi, gereja dan setiap orang Kristen, mulai sekarang pun, sudah boleh merasa tergabung dengan paduan suara yang menyanyikan pujian yang baru itu.

Pertanyaan-pertanyaan untuk Dibahas

1. Lagu-lagu Mazmur telah diangkat dari firman Allah dan dijadikan puisi. Lagu-lagu itu memberitakanperbuatan-perbuatan besar Allah dan menyampaikan pengetahuan tentang semua perbuatan itu. Tempat manakah yang dimilikimazmur-mazmur itu, kalau kita mengingat perbedaan yang disebut Paulus antara memuji dan berdoa dengan rohku atau dengan akal budiku?
2. Apakah nilai hakiki dari banyak lagu-lagu rohani digereja-gereja masa kini?
3. Apakah sebabnya lagu-lagu kebangkitan iman menyentuh banyak hati orang percaya? Haruskah lagu-lagu itu mendapat tempat tetap dalam ibadah gereja?
4. Dalam doa pribadi Anda, di manakah Anda menempatkanpuji-pujian dan penyembahan kepada Allah, dan berapa ruang yang Anda sediakan untuk itu?
5. Contoh-contoh manakah mengenai pujian kepada Allah dapat Anda temukan dalam Kitab Wahyu?
6. Apakah Anda merasa terbantu kalau Anda menaikkan doa pribadi dengan bersuara? Mungkin nasihat supaya kita ”berdoa di dalam kamar sendiri” bisa membantu dalam hal itu (Mat. 6:5-7)?
7. Bandingkanlah ringkasan-ringkasan dalam bab ini tentang arti berbahasa lidah/asing/ajaib yang ditemukan dalam Kisah Para Rasul, 1 Korintus, dan Efesus. Apakah yang dikatakan Kitab Suci kepada kita tentang pengalaman mereka yang berdoa dalam bahasa lidah?

Informasi Buku

  1. PDF
  2. Penulis:
    Henk ten Brinke, J.W. Maris, dkk.
  3. ISBN:
    978-602-0904-68-9
  4. Copyright:
    © De Vuurbaak, 2006
  5. Penerbit:
    Literatur Perkantas