Dapatkah Allah dibujuk dengan doa? Mungkinkah Ia membiarkan diri-Nya dibujuk dengan doa? Misalnya, bila kita mengalami kesulit an, penyakit, dan PHK?
Bukankah sejak berabad-abad lalu, Ia telah mengambil keputusan-Nya satu kali untuk selamanya? Bukankah segala rencanaNya sudah ditentukan? Bukankah rencana itu menyangkut segala hal, tanpa ada kemungkinan mengubahnya? Misalnya, rencana hari ini: apakah matahari akan bersinar, di mana dan kapan, dan berapa lama? Atau: apakah kita masih mengalami esok hari dan bagaimana kita mengalaminya? Atau: apakah setahun lagi akan ada perdamaian atau perang?
Bukankah Allah seperti seorang ahli program komputer yang menyetel komputernya dengan salah satu program, lalu selesai tugasnya? Petugas demikian tidak terlibat lagi dengan komputer itu. Ia boleh pulang, ia dapat tidur, bahkan ia dapat meninggal komputer yang telah diprogramnya dapat dipakai dengan sempurna, juga tanpa dirinya.
Bukankah begitu juga pekerjaan Allah? Bukankah Allah berpen dapat bahwa: satu kali diputuskan, tetap diputuskan? Bukankah Dia terikat untuk selamanya pada segala ketentuan-Nya sendiri?
Iblis senang sekali menanggapi cara berpikir tadi. Pada saat-saat yang paling tidak terduga Iblis menyerbu hati kita. Misalnya, pada waktu kita membaca Alkitab, atau sedang berdoa, atau sedang mendengarkan khotbah. Atau ketika kita menikmati hari libur, atau berada di tengah keramaian lalu lintas. Atau pada saat kita mengalami kesusahan besar sehingga justru sangat memerlukan pergaulan yang mesra dengan Tuhan.
Pada saat-saat seperti itu, Iblis dapat memunculkan kembali berbagai kesangsian yang lama terpendam di lubuk hati kita, yang belum pernah terungkapkan, dan belum pernah dipikirkan secara matang dan melemparkan segala kesangsian itu ke arah kita sehingga kita terperangkap di dalamnya seperti ikan dalam jaring. Ia bahkan hafal ayat-ayat Alkitab yang dengan fasih dikemukakannya: ”Keputusan-Ku akan sampai, dan segala kehendak-Ku akan Kulaksanakan” (Yes 46:10). Ayat itu memang ada! Pada Allah tidak mungkin ada perubahan, sedikit pun tidak (lih Yak 1:17). Jadi, apa yang harus kita percayai sekarang?
Segala pesan yang diberitakan Yesaya atas perintah Allah untuk menghibur Israel; segala yang ditulis Yakobus untuk menguatkan iman kita, semua itu dilepaskan Iblis dari hubungan keseluruhannya, lalu ditempatkannya kita di bawah berondongan kata-kata Allah yang telah diputarbalikkan. ”Ayo, berdoalah saja,” ejek Iblis. ”Berdoalah saja sampai kamu pingsan kelelahan. Bukankah keputusan Allah tinggi menjulang di hadapanmu seperti batu karang yang kuat? Semua doamu pasti terbentur pada keputusan yang tidak mungkin berubah itu. Siapakah yang dapat merasakan manfaatnya?”
Kalau orang terjerat dalam jaring seperti itu, ia dapat menjadi ragu. Bukankah kejam tindakan Allah yang membuat kita senang dengan janji kosong berupa ”berserulah kepada-Ku”? Soalnya, tidak mungkin terjadi perubahan walau kita berseru. Bahkan juga tidak, meskipun kita berdoa dengan tekun dan berapiapi. Apakah itu adil? Apakah itu tindakan penuh belas kasihan? Begitukah sikap seorang Bapa kepada anak-anaknya?
Doa kita membeku di bibir dan dalam hati kita. Dan itu tidak mengherankan. Sebab apakah yang kita lakukan? Sama dengan apa yang dilakukan Ayub: menggelapkan keputusan Allah dengan ka ta-kata yang tidak berpengetahuan (lih Ayb 38:2).
Hanya ada satu jalan untuk lolos dari perangkap mematikan itu. Bukan jalan di mana kita, seperti Ayub, meminta pertanggungjawaban Allah, dan yang dijawab oleh Tuhan demikian: ”Di manakah engkau, ketika Aku meletakkan dasar bumi? Ceritakanlah, kalau engkau mempunyai pengertian!” (Ayb 38:4).
Juga bukan jalan yang dirancangkan pikiran kita. Sebab rancangan Allah bukanlah rancangan kita, dan jalan kita juga jalan pikiran kita bukanlah jalan-Nya (lih Yes 55:8).
Satu-satunya jalan ialah mencari perlindungan pada-Nya.
Jalan berupa ”berseru kepada-Ku” di hari-hari kesesakan seperti itu. Senan tiasa. Tak jadi soal, betapa seringnya kita memerlukannya.
Jalan yang aneh: bagaimana kita dapat berlindung ke suatu tempat yang menurut kita tidak bisa memberi perlindungan?
Jalan yang tidak masuk akal: bagaimana kekuatan logika kita dapat dikalahkan oleh tindakan kita mencari perlindungan?
Tetapi keanehan Allah lebih arif dari manusia dan kelemahan Allah lebih kuat ketimbang manusia (lih 1Kor 1:25). Kalau kita mengandalkan diri kepada janji-janji Allah, kita akan mengalami bahwa rumah kehidupan kita berfondasikan batu karang (lih Mat 7:24-27). Siapa yang mau melakukan kehendak Allah dan memilih jalan Allah, ia akan tahu apakah janji-janji itu berasal dari Allah.
Jadi, masihkah ada yang menyangka bahwa Tuhan tidak ada urusan lagi dengan segala keputusan yang telah diambil-Nya, seperti ahli komputer yang tidak berurusan lagi dengan program komputernya? Tetapi kalau begitu, bagaimana Roh Kudus dapat mengatakan dalam Yesaya mengenai Juruselamat Israel, bahwa dalam segala ke sesakan umat-Nya, Dia merasa sedih juga? (lih Yes 63:9).
Jadi, masihkah ada yang menyangka bahwa Tuhan terbelenggu pada rancangan-Nya sendiri? Tetapi bagaimana mungkin ada ayat-ayat Alkitab yang mengatakan bahwa pada suatu saat Tuhan tidak dapat lagi menahan hati-Nya melihat penderitaan Israel? (lih Hak 10:16).
Kita tidak berhak mengawasi tindakan-Nya agar di kemudian hari, dengan melihat hasilnya, kita dapat memutuskan apakah kita akan berseru kepada-Nya atau tidak. Sebab siapakah yang setingkat dengan Allah, sehingga dapat mengawasi tindakan-Nya? Mengawasi Dia, yang bukan manusia, melainkan Allah yang kudus di tengah-tengah kita? (lih Hos 11:9).
Allah adalah Allah, dan kita tidak memahami-Nya. Keten tuan-Nya langgeng. Tetapi ketentuan itu tidak kaku. Dan tidak samar-samar. Dan bukan teka-teki. Sebab Dia adalah terang, dan di dalam Dia sama sekali tidak ada kegelapan (lih 1Yoh 1:5).
Dalam ketentuan-Nya, Dia tidak berada jauh dari kita. Dia selalu hadir dalam segala hal yang terjadi pada kita. Dia selalu terlibat di dalamnya. Dia selalu ikut menghayatinya. Dengan pikiran-Nya. Dengan hati-Nya. Dengan keputusan-keputusan-Nya.
Dan Dia selalu siap mengambil keputusan mengenai diri kita, tak peduli betapa seringnya kita berseru kepada-Nya.
Sebab itu, kita boleh berseru dan mendesak minta tolong kepada-Nya, setiap kali kita dihimpit ketakutan. Sebab Tuhan penuh belas kasihan dan mau menyendengkan telinga-Nya.
Musa telah mengalaminya sewaktu memimpin Israel mengembara di padang gurun. Waktu itu, Israel, yang sudah sering menunjukkan sikap kurang berterima kasih, masih menambah dosa mereka dengan menyembah anak lembu emas. Lalu Tuhan memutuskan dengan tegas: Ia akan membinasakan Israel. Dan keputusan itu diberitahukan-Nya kepada Musa.
Kita pasti berpendapat: Tak mungkin lagi Tuhan mengubah niat-Nya. Keputusan-Nya teguh, dan tidak tergoyahkan. Tetapi apakah yang kemudian dilakukan Musa? Apakah dia pasrah saja karena merasa bahwa keadaan itu tak bisa diubah-ubah lagi?
Tidak, ia tidak menyerah. Berdasarkan janji-janji Allah sendiri kepada Abraham, Ishak dan Yakub, Musa berdoa, memohon pertolongan bagi umat Allah. Lalu Tuhan menyesal karena telah merancangkan malapetaka atas umat-Nya (lih Kel 32:14). Allah menyendengkan telinga-Nya kepada doa Musa, lalu mengubah keputusan-Nya.
Dan bukan hanya saat itu Ia mengubah niat-Nya.
Tuhan menilai dosa Israel menyembah lembu emas itu begitu besar, sehingga Ia mengatakan kepada Musa: Aku akan mengutus seorang malaikat berjalan di depanmu, tetapi Aku sendiri tidak akan berjalan di tengah-tengahmu, sebab engkau ini bangsa yang tegar tengkuk, supaya Aku jangan membinasakan engkau di jalan (Kel 33:1-3).
Nah, sekali lagi Musa berdiri di depan tembok kuat keputusan Allah. Keputusan itu sudah diucapkan. Sudah diumumkan. Dan tidak mungkin diubah. Betulkah keputusan Allah itu teguh bagaikan tembok?
Namun Musa tahu jalan menuju hati Allah. Sekali lagi ia berdoa dan memohon pertolongan. Bagi dirinya sendiri sebagai gembala kawanannya. Bagaimana mungkin ia masih dapat membimbing mereka dalam perjalanan itu? Ia mohon pertolongan juga bagi umat itu. Bagaimana mungkin mereka bisa sampai ke Kanaan? Dan Musa berdoa juga bagi Tuhan sendiri. Bagaimana jadinya janji-janji yang telah diucapkan Allah sendiri? ”Ingatlah, bahwa bangsa ini umat-Mu.” Apakah Tuhan kemudian menjawab: Sekali diputuskan, tetap diputuskan? Tidak. Lalu, apakah yang terjadi? Sang SAHABAT yang baik membuka hati-Nya bagi sahabat-Nya. ”Aku sendiri hendak membimbing engkau dan memberikan ketenteraman kepadamu.”
Maka berkatalah Musa: ”Jika Engkau sendiri tidak membimbing kami, janganlah suruh kami berangkat dari sini.” Lalu Tuhan menjawab: Juga hal yang telah kaukatakan ini akan Kulakukan (lih Kel 33:11-17).
Doa Musa tidak terbentur pada keputusan Allah yang teguh bagai karang. Tuhan mau menyendengkan telinga-Nya dan mengubah keputusan-Nya.
Bagaimana mungkin Allah mau mengubah keputusan-Nya? Untuk mengetahuinya kita harus sejenak menyelusuri sejarah Musa dengan teliti. Sebab begitu eratnya pergaulan Tuhan dengan Musa, sehingga Musa memohon: Perlihatkanlah kemu liaan- Mu kepadaku. Lalu Musa benar-benar melihat sedikit dari kegemilangan Yang Mahakudus Israel.
Tuhan mewujudkan diri kepadanya.
Sebab Musa mendengar suara berseru: ”
Tuhan, Tuhan, Allah penyayang dan pengasih, panjang sabar, berlimpah kasih-Nya dan setia-Nya, yang meneguhkan kasih setia-Nya kepada beriburibu orang, yang mengampuni kesalahan, pelanggaran dan dosa; tetapi tidaklah sekali-kali membebaskan orang yang bersalah dari hukuman” (Kel 34:6-7).
Karena Tuhan pengasih dan panjang sabar, dan berlimpah ka sih-Nya, Dia mau mendengar doa kita dan mengubah keputusan-Nya. Sebab Dia kudus.
Perwujudan diri Tuhan itulah yang disebut Musa dalam Bilangan 14:18, sebagai pendukung doanya. Untuk kesekian kalinya Israel memberontak lagi. Dan lagi-lagi Tuhan mengatakan: Aku akan membinasakan bangsa itu. Dan lagi-lagi Musa berdoa dan mohon pertolong an, berdasarkan janji-janji Allah. Biarlah kira nya kekuatan Tuhan itu nyata kebesarannya, seperti yang Kau firmankan: ”Tuhan itu berpanjangan sabar, dan kasih setia-Nya berlimpah-limpah, Ia mengampuni kesalahan dan pelang garan.” Maka lagi-lagi Tuhan mendengar doa Musa dan mengubah keputusanNya. Karena dalam kasih setia-Nya, Ia mendapat kemuliaan-Nya.
Dan berabad-abad kemudian Yoel juga menyinggung perwujudan kemuliaan Allah kepada Musa itu untuk memperkuat imbauan nya kepada Israel supaya bertobat. Hari Tuhan datang, hari yang dahsyat dan mengerikan. Itulah pokok khotbahnya. Tetapi apakah sang nabi pasrah saja setelah mengumumkan nasib yang tak terelakkan itu? Bukankah tak ada kemungkinan lagi untuk lolos? Bukankah hari Allah pasti datang?
Tetapi Yoel tidak menyerah. Koyakkanlah hatimu, serunya kepada Israel. Bertobatlah. Siapa tahu, mungkin saja Ia mau berbalik dan menyesal. ”Sebab Ia pengasih dan penyayang, panjang sabar dan berlimpah kasih setia, dan Ia menyesal karena hukuman-Nya” (Yl 2:12-14).
Yoel tahu:
Tuhan bukan Allah yang kaku, yang berpendirian teguh bahwa apa yang sekali diputuskan tetap diputuskan, melainkan Ia mau mengubah keputusan-Nya sebagai jawaban doa.
Begitu pula ketika Musa berdoa untuk Miriam yang dihukum dengan penyakit kusta. Bagaimana mungkin ia dapat sembuh dari penyakit itu? Tetapi kemudian, atas permintaan Imam Harun, Musa memohon kesembuhan Miriam kepada Allah: ”Ya Allah, sembuhkanlah kiranya dia” (Bil 12:13). Dan Tuhan menolong Miriam. Ia menjadi tahir.
Amos juga tahu bahwa Tuhan mau mengubah keputusanNya sebagai jawaban doa kepada-Nya. Amos melihat dua penglihatan. Yang pertama, serangan belalang di masa mendatang, yang kedua, api yang dahsyat. Artinya teramat jelas: Penghakiman Allah terjadi, tanpa ditunda-tunda. Lalu Amos berseru: ”Tuhan ALLAH, berikanlah kira nya pengampunan!” Dan lagi-lagi Tuhan mengubah rencana-Nya.” Itu tidak akan terjadi,” firman Tuhan (lih Am 7:1-6).
Allah tidak kaku, tanpa ampun. Dia telah mewujudkan Diri-Nya sebagai: penyayang, panjang sabar dan berlimpah kasih. Tidak peduli apakah kita dapat memahaminya atau tidak. Tidak peduli apakah hal ini sesuai dengan hal itu. Dan demikianlah kita dapat berseru kepa da-Nya dan berharap kepada-Nya.