15. MENGUCAP SYUKUR

Di mana ada doa, di situ ada ucapan syukur. Itu benar, bukan? Ataukah ucapan syukur sering termasuk bagian yang dilupakan dalam hidup kita? Kita telah berdoa. Kita sering dan banyak berdoa. Sebab ada hal-hal yang sangat memenuhi pikiran kita. Dan Tuhan mengabulkan doa kita itu. Lalu, berapa kalikah kita mengucap syukur untuk itu?

Di manakah hormat yang kepada-Ku itu?

Sebetulnya, untuk apa kita hidup? Sering kita merasa menjadi pusat segala-galanya. Tetapi kita ditegur oleh Alkitab. Tujuan dan pemenuhan keberadaan kita ialah dalam Allah. Begitulah keadaannya sejak semula.

Keadaan itu terjadi berdasarkan perjanjian Allah yang penuh rahmat. Dalam perjanjian itu, Tuhan mengatakan kepada Abraham: ”Hiduplah di hadapan-Ku dengan tidak bercela” (Kej 17:1). Kembali ke hadapan wajah Allah. Kembali tanpa cela.

Ia mencamkan hal itu ke dalam hati Israel di dekat gunung Sinai: ”Kamu akan menjadi bagi-Ku kerajaan imam dan bangsa yang kudus” (Kel 19:6). Kembali menjadi imam: hamba-hamba Allah. Kembali menjadi bangsa yang kudus: dipisahkan untuk melayani Dia.

Sebab itu, Daud mengangkat dari orang Lewi itu beberapa orang sebagai pelayan di hadapan Tabut Tuhan untuk memasyhurkan Tuhan, Allah Israel dan menyanyikan syukur dan puji-pujian bagi-Nya (lih 1Taw 16:4-6).

Tuhan mengingatkan umat-Nya tentang hal itu melalui Yeremia dengan tanda ikat pinggang. ”Sebab seperti ikat pinggang melekat pada pinggang seseorang, demikianlah tadinya segenap kaum Israel dan segenap kaum Yehuda Kulekatkan kepada-Ku... supaya mereka itu menjadi umat, menjadi ternama, terpuji dan terhormat bagi-Ku” (Yer 13:11).

Sebab itu juga, Roh Kudus mengatakan bahwa kita harus menya takan dalam segala hal keinginan kita kepada Allah dalam doa dan permohonan dengan ucapan syukur (lih Flp 4:6). Calvin mengatakan sehu bungan dengan kata-kata itu bahwa keinginan kita keliru dan cacat kalau tidak disertai ucapan syukur (Institutio III.20:11).18

Kita tahu bagaimana dalam kesesakan kita harus berseru kepada-Nya: ”Bapa! Bapa!” Dan itu benar. Tetapi kalau Dia seorang Bapa, maka tidak boleh tidak, mulut kita harus mengucapkan hormat kepada-Nya (Mal 1:6).

Dalam Kristus Yesus

Yang dikehendaki Allah di dalam Kristus Yesus bagi kita ialah bahwa kita mengucap syukur dalam segala hal (lih 1Tes 5:18). Dalam Kristus Yesus! Sebab janganlah kita mengira bahwa dalam ucapan syukur kita itu, ada sesuatu yang patut dihargai. Kalau kita datang ke hadapan takhta Allah dengan membawa segala permohonan kita, hal itu diperkenankan dalam nama Tuhan Yesus. Seakanakan Ia sendiri ber diri di belakang kita dan mendorong semangat kita: ”Bicaralah saja. Sapalah saja Bapa atas kuasa-Ku.”

Dan kalau kita mengucap syukur, apakah dengan berbuat begitu kita dapat tampil di depan Tuhan dengan sedikit lebih bebas? Atas kuasa kita sendiri? Mungkin karena kita membawa sesuatu kepada-Nya?

Padahal, dari diri kita sendiri, kita tidak mungkin memberi sesuatu kepada Tuhan. Juga segala kurban syukur kepada Allah, yaitu ucapan bibir kita yang memuliakan nama-Nya (lih Ibr 13:15) hanya dapat kita bawa ke hadapan takhta Allah melalui Kristus. Seandainya Dia tidak mengerjakan sampai tuntas segala kebenaran bagi kita, maka juga dalam ucapan syukur kita, kaki kita tidak mungkin berpijak di hadapan Tuhan. Dia menyucikan juga ucapan syukur kita melalui korban yang telah dipersembahkan-Nya satu kali dan untuk selamanya, selaku Imam Besar kita yang sempurna.

Harta yang hilang

Dan kalau kita tidak mengucap syukur, apa salahnya? Apakah bisa dikatakan bahwa hal itu gawat dipandang dari sudut Tuhan? Apakah kita merugikan Dia karenanya?

Itu pasti salah satu alasan. Bahkan alasan utama! Sebab hal itu bukan masalah kecil, yang dianggap remeh oleh Tuhan. Ia memang mengampuni kita kalau kita kurang sempurna melakukannya. Tetapi hanya mungkin karena juga dosa itu, sebelum Ia mengampuninya, telah ditimpakan kepada Anak-Nya yang terkasih Yesus Kristus dengan kematian yang pahit dan hina di kayu salib (Pasal Perjamuan Kudus).19

Tetapi kalau tidak mengucap syukur, kita juga merugikan diri kita sendiri. Karena, menurut Ursinus, kita kehilangan harta yang telah di berikan, sehingga kita tidak menerima juga pemberian yang kita perlukan dan yang masih akan diberikan kepada kita.

Sekilas, kata-kata itu terdengar aneh. Kehilangan harta yang sudah diberikan? Apakah Tuhan mengambilnya kembali?

Sebetulnya perkataan itu tidak begitu aneh. Sebab kalau kita tidak mengucap syukur, itu berarti kita tidak mengakui dengan segenap hati bahwa yang memberikan harta itu adalah Tuhan. Jadi, kita telah menerima harta, namun memilikinya persis seperti dunia memilikinya. Dunia juga tidak mengakui Tuhan sebagai Pemberi dan sebab itu juga tidak mengucap syukur kepada-Nya. Itu juga yang kita lakukan. Kita memang memiliki, tetapi tidak di dalam Dia. Meskipun kita kaya harta, kita tetap miskin di dalam Dia.

Dan kalau kita tidak bertobat, kita akan tetap miskin. Maka bisa juga terjadi bahwa setelah itu kita menerima harta. Bahkan mungkin sebagai jawaban atas doa kita. Tetapi kita tidak menerimanya dalam Tuhan sampai kita dihakimi.

Maka kita bisa disamakan dengan kesembilan orang kusta, yang tidak kembali untuk menghormati Allah. Kenapa tidak? Bukankah mereka telah disembuhkan Tuhan Yesus? Memang, tetapi mereka tidak melihat tangan Allah dalam kesembuhan itu. Mereka menerima kesembuhan mereka tanpa iman.

Hanya yang ke-10, seorang Samaria, yang memahami betapa besar mukjizat yang dilakukan Tuhan kepadanya. Ia kembali kepada Yesus, sambil memuji Allah dengan suara nyaring. Karena itu, Yesus mengatakan kepadanya: ”Imanmu telah menyelamatkan engkau” (Luk 17:12-19).

”Ya Tuhan, bukalah bibirku, supaya mulutku memberitakan puji-pujian kepada-Mu!” (Mzm 51:17).

Kidung mazmur di waktu malam

Tetapi, bagaimana kalau Tuhan tidak mengabulkan keinginan kita yang paling kita dambakan, yang telah kita bawa kepada-Nya dengan rintihan? Apakah kita harus tetap mengucap syukur? Dengan alasan ”seorang Kristen harus selalu gembira”? Apakah Tuhan menghendaki kita mengucap syukur seperti itu?

Tuhan tidak mengajukan tuntutan yang tidak wajar dan tidak manusiawi. Ia tahu betul bahwa mulut kita bisa membisu karena kesedihan. Ia tahu bahwa kita bisa tertindih beban yang berat (lih Mzm 39:3). Dan Ia pasti memperhitungkannya: ”Kalau ada seseorang di antara kamu yang menderita, baiklah ia berdoa! Kalau ada seseorang yang bergem bira, baiklah ia bermazmur!” (Yak 5:13).

Meskipun begitu, dengan kuat kuasa-Nya yang penuh belas kasihan Ia dapat memberi nyanyian mazmur di waktu malam. Nyanyian duka dalam Kitab Suci ialah Mzm 88: ”Jiwaku kenyang dengan malapetaka. Aku harus tinggal di antara orang-orang mati.Aku tertekan oleh panas murka-Mu. Mengapa, ya Tuhan, Kau buang aku? Aku telah menanggung kengerian dari pada-Mu, aku putus asa. Kehangatan murka-Mu menimpa aku. Telah Kaujauhkan daripadaku sahabat dan teman.”

Sungguh, penderitaan yang teramat berat! Meskipun begitu, Mazmur ini memberi penghormatan kepada Allah dalam ayat pembukaannya: ”Ya Tuhan, Allah yang menyelamatkan aku, siang hari aku berseru-seru, pada waktu malam aku menghadap Engkau” (Mzm 88:2).

Tuhan, Allah yang menyelamatkan aku! Dan akhirnya, seruan tersebut menjadikan nyanyian di tengah malam, di tengah penderitaan.

Paulus dan Silas telah didera. Dengan punggung yang memar dan berdarah, mereka dilemparkan dalam sel yang paling tengah dan kaki mereka dibelenggu pada pasungan. Tetapi kira-kira tengah malam mereka berdoa dan menyanyikan puji-pujian kepada Allah (lih Kis 16:22-25).

Guido de Bres berusia 45 tahun ketika ia dijatuhi hukuman mati. Ia masih tergolong muda dan masih punya banyak ikatan pada kehidupan. Apakah yang dikatakannya kepada orang-orang hukuman lain dalam penjara itu?

”Hari ini aku mati demi nama Anak Allah. Puji syukur kepada Allah! Aku sangat bahagia... Saat demi saat aku dikuatkan... Seakan-akan jiwaku punya sayap untuk naik ke surga, di mana aku diundang hari ini untuk menghadiri pesta perkawinan Tuhanku, Anak Allahku.”

Sebuah ”mazmur” dalam kegelapan malam.Apakah karena mereka adalah pahlawan-pahlawan iman yang hebat? Bukan, tetapi karena Juruselamat kita telah merendah kan diri sampai ke dalam neraka kehinaan dan kengerian yang paling dalam, ketika dengan suara nyaring Ia berseru: ”Allah-Ku, AllahKu, mengapa Engkau meninggalkan Aku?” (Mrk 15:34).

Itu adalah kata-kata dari Mazmur 22:2. Jadi, juga sebuah Mazmur. Dia mengucapkannya dalam malam yang sangat gelap, seperti yang belum pernah dialami dunia. Di saat itu Ia tetap berpegang pada kesetiaan Allah yang tidak pernah goyah: Allah-Ku.

Supaya kita tidak pernah lagi ditinggalkan Allah (Pasal Perjamuan Kudus)20 dan juga supaya di tengah malam yang gelap, nyanyian-Nya selalu menyertai kita (Mzm 42:9).

Mungkin ada orang yang berpikir: ”Aku tidak akan dapat mengucap syukur di tengah penderitaan”. Bukankah kita tahu betul betapa kecilnya iman kita? Bukankah kita tahu betul bagaimana takutnya kita menghadapi rasa sakit? Rasa sedih? Kemunduran fisik kita?

Bukankah kita sudah mengalami, bahkan kesulitan sedikit saja sudah membuat kita marah-marah? Kurang sabar dan tidak puas? Bukankah kita melihat juga pada orang lain, yang walaupun mereka orang beriman, mereka mengomel kalau meng alami kesulitan?

Memang itu benar. Tetapi kebalikannya juga benar.Kadang-Kadang kita melihat juga sedikit dari rahmat ajaib yang diberikan Tuhan untuk dapat bertahan. Dalam hidup kita sendiri. Dalam hidup orang lain. Apakah kita mengucap syukur untuk itu?

Dan menyangkut masa depan: tak seorang pun mengetahuinya dan tak seorang pun mendapat kekuatan sebelumnya. Tuhan memberi rahmat untuk hidup; pada waktu-Nya. Ia juga memberi rahmat untuk mati; pada waktu-Nya. Rahmat untuk dapat menderita, berkabung, mengalami penganiayaan, menjadi tua. Pada waktu-Nya. Menurut per kenan-Nya.

Tetapi rahmat itu tidak diberikan-Nya di luar diri kita sendiri.

Kata-kata muluk yang diberikan sebelumnya tidak berguna bagi kita. Namun hidup bersama Tuhan, hari ini, dalam kondisi saat ini, itulah yang harus kita cari. Bukan baru pada saat kita dilanda kesusahan, melainkan sekarang. Dan kita boleh minta kepada-Nya, sekarang, apakah Dia mau juga memelihara kita di masa depan.

”Ya Allah, Engkau telah mengajar aku sejak kecilku, dan sampai sekarang aku memberitakan perbuatan-Mu yang ajaib; juga sampai masa tuaku dan putih rambutku, ya Allah, janganlah meninggalkan aku.. ” (Mzm 71:17-18).

Meminta kepada-Nya, saat ini, sekarang, untuk boleh hidup dalam kepercayaan teguh bahwa Dia tidak akan meninggalkan kita. Dia, Allah yang menyelamatkan kita (lih Mzm 88:2).

Selalu mengucap syukur

Kapan kita harus mengucap syukur kepada Allah? Apakah hanya kalau kita, karena doa kita, menerima sesuatu dari-Nya? Tentu saja, juga waktu itu.

Tetapi Alkitab mengatakan bahwa kita harus menyatakan keinginan kita kepada Allah dengan ucapan syukur (lih Flp 4:6). Jadi, bukan mengucap syukur sesudah kita menerima sesuatu, namun langsung pada saat kita memohonnya. Itulah sikap semestinya di hadapan Tuhan.

Sebab pertama-tama: kalau kita berdoa sesuai firman Allah, maka bukankah kita mengatakan penuh iman: amin? Artinya: pasti sungguh dan benar. Adalah jauh lebih pasti bahwa Tuhan akan mengabulkan doaku (KH p/j 129),21 daripada perasaan dalam hatiku bahwa hal itu kuinginkan dari-Nya.

Karena itu, keyakinan kita juga boleh tampak dari rasa syukur yang kita ungkapkan sebelumnya atas jawaban yang pasti kita terima. Ucapan syukur itu jangan kita berikan secara susah payah, dan dengan putus asa, melainkan dengan percaya penuh kepada janji-janji Allah, sesudah kita mendengarkan penuh perhatian kepada firman-Nya.

Dan selanjutnya: bukankah Tuhan mengelilingi kita dengan pemeliharaan-Nya hari demi hari? Tuhan Yesus mengucap syukur atas roti yang akan dimakan (lih Mat 15:36). Paulus juga (lih Kis 27:35). Allah telah menciptakan makanan untuk disantap penuh rasa syukur (lih 1Tim 4:3-4). Hanya makanan saja? Bukankah juga pakaian? Juga rumah? Juga lingkungan hidup? (lih Mat 6:25-34).

Paulus mengucap syukur ketika bertemu dengan saudara-saudara seiman di Italia, setelah ia meringkuk di penjara bertahuntahun lamanya, dan setelah menempuh perjalanan yang sangat berat (lih Kis 28:15).

Makanan, minuman, pakaian, pertemuan antara saudara-saudara, itu semua hanyalah hal sehari-hari. Tetapi tangan Tuhan memungkinkan semua itu terjadi. Dan Ia tidak terlalu jauh dari kita untuk diberi syukur karena memberi semuanya itu.

Di dalam Dia kita hidup, kita bergerak, kita ada (lih Kis 17:28). Tidak pernah ada satu saat pun di mana Ia tidak mengelilingi kita. Tidak ada satu detik pun di mana Ia tidak meletakkan tangan-Nya ke atas kita. Di tengah lalu lintas. Dalam pekerjaan kita. Dalam rumah tangga kita. Di gereja. Di kolam renang. Dalam pesawat terbang. Kalau kita sedang tidur. Kalau kita berbaring tanpa dapat tidur.

Dalam keadaan sehat. Kalau kita menderita demam dan diganggu mimpi-mimpi mengerikan. Kalau kita sedang gugup, sedih, atau gembira. Kalau pikiran kita masih segar bugar, dan kalau kita mulai pikun. Kalau kita sedang dibius sebelum dioperasi. Kalau kita mengalami pingsan lama. Di saat-saat kita meregang nyawa. Dan apabila aku bangun dari tidur kematian masih saja aku bersama-sama Engkau (lih Mzm 139:18).

Dalam bab sebelumnya kita menyebut banyak sekali hal yang boleh kita ajukan dalam doa. Apakah diantaranya ada satu hal, satu keadaan pun yang tidak pantas kita syukuri karena kemurahan Allah?

Ketakutan?

Tetapi, apakah keharusan untuk mengucapkan syukur itu tidak menjadikan kita selalu gugup dan diliputi rasa takut? Yang selalu khawatir bahwa kita kurang berterima kasih?

Apakah dengan demikian, kepercayaan dalam kuasa Allah yang Mahakuasa dan ada di mana-mana itu, yang dipakai-Nya untuk mengatur langit dan bumi dan jalan hidup kita juga (KH p/j 27),22 tidak menjadi cambuk yang mendera kita supaya taat? Tidak!

Dalam Bab 6 kita melihat bahwa doa-doa kita bukan dinas penerangan yang melaporkan segala sesuatu kepada Allah. Itu berlaku juga bagi ucapan syukur kita. Sudahkah kita mempunyai pandangan terha dap segala yang kita terima dari Tuhan?

Tidak mungkin makhluk fana dapat terus menerus memperhatikan semuanya itu. Apalagi menyatakan semuanya satu per satu dalam doa ucapan syukurnya. Para malaikat tidak mampu melakukan itu. Mereka juga makhluk fana. Adam tidak sanggup melakukannya, juga sebelum ia jatuh ke dalam dosa. Tuhan juga tidak menuntutnya. Dan kita, setelah jatuh dalam dosa, sama sekali tidak dapat melakukannya lagi. Kita bahkan tidak tahu bagaimana melakukannya. Dan dalam hati, kita sama sekali tidak mau melihat tangan Allah.

Tetapi, apa yang telah terjadi? Keajaiban berupa kelahiran baru. Telinga kita yang tuli, dapat mendengar lagi. Mata kita yang padam cahayanya dapat melihat lagi. Hati kita yang mati dapat mengerti lagi. Dan hati itu ikut menyanyikan Mazmur 103, dan menghayati ajaran di dalamnya: ”Pujilah Tuhan, hai segala buatan-Nya, di segala tempat kekuasaan-Nya! Pujilah Tuhan, hai jiwaku!” (Mzm 103:22). Apakah nyanyian kita penuh kekurangan? Memang. Apakah kurang bersemangat? Itu sudah pasti.

Namun, kita tidak perlu diliputi rasa bersalah karenanya.

Sebab Tuhan sayang kepada kita, seperti seorang bapa sayang kepada anak-anaknya (lih Mzm 103:13). Ia telah memberi kepada kita Jurupenengah, yang datang dengan Hukum Allah di dalam dada-Nya (Mzm 40:9).

Hukum tentang ucapan syukur (Ibr 10:5-10). Sebagai jaminan. Sebagai penebus. Sebagai pengganti tempat kita. Seakan-akan kita telah menyatakan segala ucapan syukur, atas apa yang telah dilaksanakan-Nya un tuk kita.

Sehingga kita dapat merasa nyaman dengan kenyataan ini:

Barang siapa tidak merasa gugup dan ketakutan, dia boleh merasa tenang di dalam Tuhan (KH p/j 60).23

Informasi Buku

  1. PDF
  2. Penulis:
    H. Westerink
  3. ISBN:
    978-602-8009-43-0
  4. Copyright:
    © De Vuurbaak 1997
  5. Penerbit:
    Yayasan Komunikasi Bina Kasih