16. BERDOA ADALAH BEKERJA

Berdoa tidak terlaksana dengan sendirinya. Dan kita tidak selalu dapat berdoa dengan lancar. Kadang-kadang kita mendengar ungkapan: ”berdoa dan bekerja”. Yang satu berdampingan dengan yang lain. Tetapi pada intinya, berdoa adalah bekerja. Hampir selalu kita harus berusaha untuk berdoa. Kita harus berusaha untuk melakukan ”karya doa”.

Sekalipun Ia adalah Anak Allah

Tidak seorang pun begitu akrab bergaul dengan Sang Bapa kecuali Tuhan Yesus. Dia adalah Anak Bapa (lih Mat 3:17).

Ia dapat mengatakan kepada orang Yahudi: ”Aku dan Bapa adalah satu” (Yoh 10:30). Tidak ada sesuatu pun yang dapat memisahkan antara Dia dan Bapa. Ia senantiasa berkeinginan untuk melakukan kehendak Allah. Hukum Allah ada dalam dada-Nya (lih Mzm 40:9). Kalau ada orang yang dapat masuk keluar istana surgawi dengan bebas, tanpa hambatan apa pun, maka Dialah orangnya.

Dan apakah yang kita baca tentang diri-Nya? Ini: ”Pagi-pagi benar, waktu hari masih gelap, Ia bangun dan pergi keluar. Ia pergi ke tempat yang terpencil dan berdoa di sana” (Mrk 1:35).

Dan ini juga: ”Setelah orang banyak itu disuruh-Nya pulang, Yesus naik ke atas bukit untuk berdoa seorang diri” (Mat 14:23). Hal itu terjadi setelah Ia menerima berita tentang kematian Yohanes Pembaptis. Berita itu pasti mengejutkan-Nya. Kepergian-Nya untuk berdoa itu juga terjadi setelah sehari penuh Ia bekerja keras di antara orang banyak. Dan Ia tahu arti penting beristirahat (lih Yoh 4:6). Untuk tidur. Pernah Ia tertidur sangat nyenyak di tengah-tengah badai, setelah Ia bekerja keras (lih Mrk 4:38).

Tetapi yang lebih kuat di dalam diri-Nya ialah keinginan-Nya untuk bergaul dengan Sang Bapa. Sebab itu Ia benar-benar mengesampingkan segala yang lain. Orang banyak dan para murid di suruh-Nya pulang. Ia menolak ketika mereka dengan antusias hendak menjadikan-Nya raja (lih Yoh 6:15). Keletihan dan kebutuhan akan tidur tidak diperhatikan-Nya, Ia mencari tempat yang tenang. Ia mendaki bukit. Ia ingin menyendiri. Untuk berdoa sampai jauh malam. Bahkan kadang-kadang semalam suntuk (lih Luk 6:12).

Siapakah yang dalam hubungan ini tidak teringat Getsemani?

Waktu itu dengan sedih dan sangat ketakutan Ia menginginkan kehadiran para murid-Nya untuk ikut prihatin bersama-Nya: ”Tinggallah di sini, dan berjaga-jagalah dengan Aku.” Tetapi kemudian Ia melepaskan diri dari mereka yang dengan kehadirannya mendorong semangat-Nya itu, lalu masuk ”ruang dalam” taman itu untuk berdoa di situ dan menaikkan permohonan-Nya ke hadapan Bapa-Nya (lih Mat 26:38-39). Demikianlah, sekalipun Ia adalah Anak, Ia telah berusaha untuk mampu berdoa (lih Ibr 5:8).

Dan bagaimana dengan kita, yang secara alami merupakan musuh Allah? Dari diri kita sendiri, kita tidak mungkin dan tidak mau menaati hukum Allah (lih Rm 8:7). Dosa-dosa begitu mudah merintangi kita (lih Ibr 12:1). Dan Iblis punya kaki tangannya di dalam hati kita (lih Rm 7:23).

Jadi, betapa pentingnya bagi kita untuk bekerja keras supaya dapat berdoa. Untuk mampu berpegang teguh pada janji-janji Allah, dan dengan demikian mengatasi banyak halangan di jalan kita.

Peraturan-peraturan

Allah tahu betul bahwa dengan kekuatan sendiri, tak mungkin kita mematuhi hukum-Nya. Sebab itu, dalam PL Ia tidak menyerahkan sama sekali kepada umat-Nya untuk menentukan apakah mereka mau berdoa kepada-Nya, dan berapa seringnya mereka menghadap-Nya. Ia datang menolong Israel dengan memberi mereka peraturan-peraturan, di mana Ia meminta usaha keras umatNya.

Demikianlah, tiga kali setahun semua orang laki-laki harus menghadap ke hadirat Tuhan pada hari-hari raya besar (lih Kel 23:17).

Elkana dari tahun ke tahun pergi meninggalkan kotanya untuk sujud menyembah dan mempersembahkan kurban kepada Tuhan semesta alam di Silo (lih 1Sam 1:3).

Setiap tahun Yusuf dan Maria pergi ke Yerusalem untuk merayakan Hari Raya Paskah (lih Luk 2:41). Perjalanan itu bukanlah tamasya di hari libur. Perjalanan dari Nazaret ke Yerusalem, dengan menyeberangi Sungai Yordan, sekitar 130 sampai 150 kilometer. Perjalanan di zaman itu, pergi pulang dengan sarana angkutan masa itu, ditambah dengan masa tinggal di Yerusalem, wah, alangkah banyak tenaga yang diperlukan! Alangkah banyak persiapannya. Siapa yang tidak berkemauan keras untuk berseru kepada Tuhan di tempat suci-Nya, pasti akan tinggal di rumah saja.

Kemudian Tuhan memberi peraturan mengenai hari Sabat, mengenai bulan baru, mengenai Hari Raya Penebusan. Semuanya itu tidak sama kuat pengaruhnya pada jalan kehidupan seharihari, tetapi sudah pasti menuntut usaha keras umat. Tentu saja Israel boleh juga mempersembahkan kurban secara sukarela.

Tidak seluruh ibadah kepada Tuhan berdasarkan hukum dan per aturan. Namun, di samping kurban sukarela ada juga persembahan wajib sehari-hari. Kurban pagi dan malam setiap hari. Di samping itu ada tambahan kurban di hari Sabat dan hari raya lainnya. Kurban wangi-wangian dan kurban sajian setiap hari. Semua kurban itu memanggil umat Allah dan menolong mereka agar dapat memelihara persekutuan dengan Tuhan dan berusaha keras untuk itu.

Kebiasaan

Demikianlah, Yesus tumbuh dalam keluarga yang taat akan Allah dengan melakukan banyak kebiasaan baik, yang merupakan penopang dalam kehidupan dengan Tuhan. Misalnya, kebiasaan untuk merayakan Sabat. Tuhan Yesus tidak meremehkan kebiasaan itu, melainkan menaatinya. Padahal Dia adalah Anak Bapa! (lih Luk 4:16).

Daniel punya kebiasaan untuk berlutut dan berdoa serta memuji Allah tiga kali sehari (lih Dan 6:11).

Para pemazmur mengatakan: ”Di waktu petang, pagi dan tengah hari aku cemas dan menangis...” (Mzm 55:18). Kata-kata itu menunjukkan keteraturan dan kebiasaan.

Petrus dan Yohanes naik ke Bait Allah menjelang waktu sembahyang (lih Kis 3:1) menurut peraturan yang tetap.

Kornelius mengatakan kepada Petrus, bahwa pada jam tiga petang ia sedang berdoa (lih Kis 10:30). Waktu yang tetap untuk kebiasaan yang tetap.

Peraturan seperti tertera dalam PL tidak lagi kita kenal.

Namun, kita boleh melanjutkan kebiasaan untuk merayakan hari Minggu. Pada hari itu kita pergi ke gereja. Kita berusaha keras untuk melakukannya. Dan kalau kita taat, kita membaktikan diri untuk itu. Pada waktu-waktu yang tetap, kita sebagai warga jemaat merayakan Perjamuan Kudus. Sesuai kebiasaan.

Kitab Suci mengenal ucapan syukur sebelum makan. Para nenek moyang kita telah memakainya sebagai dasar untuk membina kebiasaan supaya berdoa sebelum makan, membaca Alkitab dan mengucap syukur. Sekarang pun kita masih memetik buah-buahnya.

Kehidupan modern merenggangkan ikatan keluarga sehingga tidak lagi seerat dahulu. Sebab itu, kini sulit memelihara kebiasaan mengadakan ibadah rumah tangga. Tetapi usaha kita pasti tidak sia-sia bila kita membaktikan diri untuk memelihara kebiasaan itu. Demi kita sendiri, demi anak-anak kita, dan untuk memberi hormat dan puji syukur kepada Tuhan di dalam keluarga kita.

Kebiasaan seperti itu memberi dukungan dan dorongan pada kehidupan iman kita. Demikianlah, di dalam kehidupan doa kita, sebaiknya ada kebiasaan untuk pada waktu yang tetap memasuki ”ruang dalam”, di mana kita membaktikan diri kita pada kebiasaan berseru kepada Tuhan dalam ”karya doa”.

Persiapan

Bagaimana caranya? Apakah kita begitu saja memasuki istana surga tanpa mengetahui apa saja yang hendak kita katakan di situ kepada Tuhan? Ataukah kita mempersiapkan diri untuk itu?

Kalau kita pergi kedokter, kita sudah memikirkan masakmasak tentang apa yang hendak kita katakan. Soalnya, kita hendak memberitahu segala keluhan kita kepadanya, sejelas mungkin. Kalau begitu, pantaskah kita menghadap Tuhan tanpa sebelumnya memikirkan baik-baik apa yang hendak kita katakan kepada-Nya?

Memang benar Mazmur 147:9 mengatakan: ”Dia, yang memberi makanan kepada hewan, tentu mendengar anak-anak burung gagak yang memanggil-manggil.” Dan Dia tentu mendengar juga seruan dan keluhan kita kalau kita tak mampu lagi berkata-kata.

Tetapi, dalam jalan kehidupan kita sehari-hari, bolehkah kita menghadap kepada-Nya hanya dengan berseru dan mengeluh? Ataukah kita berusaha keras untuk berpikir baik-baik lebih dahulu tentang apa yang akan kita katakan? Tentang dosa-dosa yang harus kita akui? Tentang watak kita yang buruk dan penuh dosa, yang sulit sekali kita tanggalkan? Tentang segala rincian kesulitan dan kebutuhan kita? Misalnya, yang menyangkut keluarga kita? Pekerjaan kita? Sakit penyakit? Bahaya?

Dan apakah kita sungguh-sungguh dan dengan sadar berpegang teguh pada janji-janji yang diberikan Allah kepada kita supaya berdasarkan janji-janji itu, kita berani menghadap Dia?

Kegiatan rutin sehari-hari dan perbuatan tanpa pikir panjang merupakan musuh bebuyutan bagi kehidupan doa kita. Tetapi kalau kita mempersiapkan diri dengan khidmat untuk menghadap Allah dan berdoa sesuai kebiasaan kita, maka doa-doa kita akan hidup.

Kita juga berdoa untuk orang-orang lain. Kita berdoa syafaat untuk gereja dan dunia (lih 1Tim 2:1-2). Itu harus.

Semua orang yang bertekad untuk melakukannya, menemukan sesuatu yang baru, yaitu bahwa lingkaran doa syafaatnya semakin luas. Lingkaran itu melebar melintasi samudera dan daratan. Semakin banyak orang, semakin banyak perkara, semakin banyak masalah, yang kita bawa kepada Tuhan.

Boleh jadi, dan itu memang terjadi, lingkaran itu menjadi begitu luas sehingga akhirnya kita kehilangan pandangan keseluruhannya. Sehingga adakalanya kita melupakan seseorang. Padahal kita sudah berjanji begitu sungguh-sungguh: Aku akan berdoa untukmu. Adakalanya beberapa perkara tertentu lolos dari perhatian kita selagi berdoa. Padahal kita sudah begitu bertekad untuk membawanya senantiasa ke hadapan Tuhan. Dengan terkejut kita menyadari bahwa kita lalai. Dan kita malu.

Jika demikian halnya, apa salahnya menyusun daftar yang dipikirkan matang-matang dan mencatat nama orang-orang dan perkara-perkara yang hendak kita bawa kepada Tuhan? Kegiatan itu juga dapat tergolong ”karya doa”.

Apa salahnya kalau daftar itu menjadi panjang? Dan sudah pasti panjang. Sebab itu, bagaimana kalau kita menyusun jadwal sederhana? Jadwal untuk satu minggu atau lebih lama lagi? Hari Senin berdoa untuk hal-hal ini. Hari Selasa untuk orangorang itu. Hari Rabu untuk hal-hal atau orang-orang yang lain lagi. Dan begitu seterusnya.

Dengan berdiri di depan Allah kita tidak pantas berbicara seenaknya saja, tanpa berpikir panjang! Itu tak boleh kita lakukan, demi rasa hormat kita kepada Dia, demi orang lain, dan demi kita sendiri.

Berpuasa dan berdoa

Persiapan, tekad teguh, kebiasaan, semua itu tidak bertentangan dengan Alkitab. Hal itu dibuktikan oleh kenyataan bahwa Alkitab mengenal ungkapan tetap: berpuasa dan berdoa. Berpuasa, artinya: tidak makan. Bisa juga berarti, makan makanan yang sangat sederhana. Mengapa orang melakukannya? Sebagai bukti sikap rendah hati (lih Yes 58:3).

Setiap tahun, pada suatu hari tertentu, bangsa Israel harus berpuasa. Hari itu adalah Hari Raya Pendamaian (lih Im 16:29-31).

Di samping itu, Israel mengenal puasa sukarela. Samuel berdoa untuk bangsanya, dan mereka berpuasa pada hari itu (lih 1Sam 7:5-6). Daud memohon agar nyawa anaknya diselamatkan, dan ia berpuasa dengan tekun (lih 2Sam 12:16). Dalam Mazmur 35 Daud mengatakan bahwa ia merendahkan diri dengan berpuasa dan berdoa (ay 13). Ezra menulis: ”Jadi berpuasalah kami dan memohonkan hal itu kepada Allah” (Ezr 8:23).

Tentang Manasye, Nehemia, dan Daniel kita membaca bahwa mereka berpuasa dan berdoa. Hana beribadah kepada Allah siang dan malam dengan berpuasa dan berdoa (lih Luk 2:37). ”Jenis ini tidak dapat diusir kecuali dengan berdoa dan berpuasa,” demikian dikatakan Tuhan Yesus ketika para murid-Nya tidak dapat mengusir roh jahat (lih Mat 17:21). Paulus dan Barnabas diutus oleh jemaat Antiokhia untuk memberitakan Injil, sesudah jemaat itu berpuasa dan berdoa (lih Kis 13:3).

Lalu, apakah hubungan semua itu dengan doa-doa kita? Bukankah kita tidak berpuasa lagi? Memang, kita tidak berpuasa lagi. Tetapi yang penting, kita belajar dari semua itu bahwa berdoa memerlukan persiapan dan tekad. Orang harus bertekad untuk berpuasa. Puasa tidak mungkin terlaksana dengan sendirinya. Selain itu, diperlukan juga ketekunan. Dan semua itu dilakukan sebagai persiapan sebelum berdoa.

Apakah kekuatan doa kita bertambah besar setelah kita berpuasa? Ini merupakan pertanyaan yang tidak terjawab. Namun yang penting kita mengenal maksud dan tujuan puasa itu, yakni: tekad, persiapan, dan sikap rendah hati.

Doa spontan

Jadi, apakah itu berarti bahwa dalam pergaulan kita dengan Tuhan, tidak ada tempat untuk doa spontan? Untuk doa, yang kita naikkan dari hati kita, sesuai kebutuhan pada saat itu? Untuk itu tersedia segala ruang dan peluang. Kalau tidak, maka pergaulan itu tidak mungkin disebut pergaulan yang hidup. Kehidupan iman boleh mendapat dukungan dalam tekad, kebiasaan, dan persiapan, tetapi tidak tergantung dari rangkaian peraturan.

Demikianlah Israel mengenal, di samping persembahan yang diharuskan, ada juga persembahan kurban keselamatan secara sukarela. Untuk mengucap syukur kepada Tuhan, dipersembahkan kurban syukur (lih Im 7:11-15). Untuk memuji Dia: kurban pujipujian. Untuk mengucapkan janji kepada-Nya: kurban nazar. Untuk mengungkapkan penyerahan diri sepenuhnya kepada-Nya: kurban bakaran (Im 22:18).

Setelah mendapat mimpi di Betel, Yakub mengucapkan janji kepada Tuhan (lih Kej 28:20).

Yefta melakukan hal yang sama sebelum ia maju perang memimpin umat Allah (lih Hak 11:30).

Ketika Hana mencurahkan isi hatinya kepada Tuhan, ia bernazar: kalau Tuhan memberi anak laki-laki kepadanya, akan diberikannya anak itu kepada Tuhan (lih 1Sam 1:11).

Orang Israel dapat membaktikan dirinya secara sukarela kepada Tuhan selama waktu yang pendek atau lama, dengan mengucapkan janji kaum Nazir (lih Bil 6:1-21).

”Aku akan masuk ke dalam rumah-Mu dengan membawa korban-korban bakaran, aku akan membayar kepada-Mu nazarku, yang telah diucapkan bibirku, dan dikatakan mulutku pada waktu aku susah” (Mzm 66:13-14).

Dalam Kisah Para Rasul, kita membaca bahwa Paulus pada suatu waktu bernazar (lih Kis 18:18). Dalam jemaat Yerusalem ada empat pria yang juga bernazar (lih Kis 21:23).

Jadi, dalam kehidupan dengan Tuhan betul-betul terbuka segala kesempatan untuk pergaulan yang hidup, aktif, dan spontan. Itu juga berlaku bagi doa.

Alkitab berbicara tentang orang-orang yang berseru kepada Allah dalam waktu kesesakan. Orang-orang yang hampir mati kehausan dan kelaparan. Yang diancam maut. Yang diterpa badai dahsyat di tengah laut sehingga mereka berjalan di kapal dengan sempoyongan seperti orang mabuk, dan kadang-kadang jatuh tersungkur. Orang-orang itu berseru pada saat mereka terancam bahaya. Mereka sama sekali tidak sempat berpikir masakmasak atau mempersiapkan diri. Dan itu tidak perlu. Hati yang mengalami kesesakan berseru kepada Allah, seperti seorang yang hampir mati tenggelam berteriak-teriak minta tolong. ”Dan dikeluarkan-Nya mereka dari kecemasan mereka” (Mzm 107:1-32).

Pengemis lumpuh yang duduk di Gerbang Indah, yang disem buh kan atas perintah Petrus, melompat berdiri dan mengikuti para rasul ke dalam bait Allah, sambil berjalan dan melompatlompat serta memuji Allah. Orang itu tidak dapat menahan dirinya. Ia tidak ada wak tu untuk mempersiapkan diri. Tetapi karena hatinya dipenuhi kegem biraan, kata-kata pujian kepada Allah meluap dari bibirnya pada waktu menjelang sembahyang itu (lih Kis 3:8).

Tuhan menciptakan kehidupan. Kehidupan yang hidup. Ia memberi peraturan kepada umat-Nya supaya mereka hidup. Dia juga senang menerima ungkapan kehidupan kita yang sukarela dan spontan sebagai ucapan yang dihasilkan bibir yang memuliakan nama-Nya (lih Ibr 13:15).

Doa kilat

Kita mengenal istilah doa kilat. Istilah itu tidak sering dipakai di kalangan kita. Meskipun begitu, mudah-mudahan saja inti istilah itu dipahami. Ini bukankah doa singkat yang dinaikkan secara tergesa-gesa, yang harus cepat-cepat menolong memenuhi kebutuhan kita. Doa seperti itu tidak pantas menyandang istilah doa. Namun, ada juga doa kilat lain.

Doa yang kita naikkan kalau mengalami bahaya. Kalau ditimpa kesedihan. Atau dilanda musibah. Kalau kita merasa bahagia. Kalau hati kita dipenuhi syukur. Dalam saat-saat seperti itu, hati kita yang penuh rasa sedih atau haru dapat naik kepada Allah dengan doa kilat yang mirip kepakan sayap burung, doa yang hanya terdiri atas beberapa perkataan. Misalnya, kalau kita sedang bekerja. Beberapa saat sebelum kita dibius untuk dioperasi. Kalau kita sedang menyetir mobil. Kalau kita berdiri di puncak gunung dan mengagumi pemandangan yang indah. Kalau kita sedang merayakan ulang tahun.

Orang yang bersifat tenang dan dingin kurang sering menaikkan doa begitu dibanding dengan orang yang emosional. Tetapi dalam keadaan yang tak terhitung banyaknya, doa kilat itu mempunyai tempat dalam pergaulan kita dengan Tuhan. Doa kilat itu memang tidak dipersiapkan dan tidak dipertimbangkan masak-masak. Apakah dengan demikian doa itu dangkal? Sama sekali tidak. Sebab doa begitu hanya muncul di ladang pergaulan sehari-hari dengan Allah.

Dalam Nehemia 2 kita membaca tentang doa kilat, setidaknya tampak seperti doa kilat. Namun, doa Nehemia itu bukan doa dangkal untuk membantunya menyelesaikan suatu masalah (Neh 2:4). Doa itu mempunyai dasar, dari mana ia tumbuh. Dasar itu ialah pergumulan iman Nehemia demi bangsa dan negara dan kota yang dijanjikan. Pergumulan itu ber bicara kepada kita melalui doa yang dipersiapkan Nehemia dengan matang (lih Neh 1:5-11).

Hal yang sama berlaku bagi doa-doa singkat lainnya yang dinaik kan Nehemia yang secara habis-habisan melayani Allah, dan yang senantiasa memelihara hubungan yang hidup dengan Tuhan nya. Bacalah Nehemia 4:4-5; 5:19 dan ayat-ayat 14, 22, 29 dan 31 dari pasal terakhir. Bacalah juga doa dalam Nehemia 9:637 yang disusun dengan seimbang dan dipertimbangkan masakmasak, dan yang menentukan dasar bagi doa-doanya yang singkat.

Doa tanpa kata

Tanpa kata-kata, hati kita dapat juga bangkit ke hadapan Allah. Dalam berbagai keadaan. Dan itu sama sekali tidak berarti bahwa sebelumnya tidak ada ”karya doa”. ”Karya doa” itu bahkan bisa dilakukan seumur hidup. Juga mengenai hal itu, Alkitab memberi contoh.

Daud, yang dibebani masalah berat dan kesedihan, mengatakan dalam Mazmur 38: ”Aku ini... seperti orang bisu yang tidak membuka mulutnya” (ay 14).

Dan dalam Mazmur 39: ”Aku kelu, tidak kubuka mulutku” (ay 10).

Dalam segala kesesakan itu jiwanya berpaling kepada Allah, tanpa kata-kata (Mzm 62:2, 6). Itu tidak berarti bahwa sejak itu ia tidak mau berdoa lagi. Catatan pinggir Alkitab Terjemahan Lama mengatakannya begitu indah: ”seakan-akan Daud mengatakan: bagaimanapun jadinya, aku tidak akan berhenti mengharapkan pertolongan dan keselamatan dari Allah dalam doa-doa dan kepercayaan....”

Dan Ezra, ketika ia mendengar tentang perkawinan campuran di kalangan Israel, belum lama setelah mereka pulang dari pembuangan, sangat terpukul dan duduk sepanjang hari di depan rumah Allah. Mulutnya terkunci karena sedihnya. Tetapi jiwanya bangkit mencari Allah dalam ”karya doa”. Setelah itu, kata-katanya mengalir deras dalam doanya.

Demikian juga kita dapat mengalunkan pujian bagi Allah tanpa kata (lih Mzm 65:2). Mulut kita diam karena rasa syukur yang besar.

Adakalanya, kita telah meletakkan segala sesuatu di hadapan Tuhan. Adakalanya jiwa kita sudah menemukan ketenangan di hadapan-Nya. Meskipun begitu, kadang-kadang kita masih rindu untuk berada di dekat Tuhan tanpa kata, seperti seorang anak yang telah disapih berbaring dengan tenang dekat ibunya. Dengan sengaja dan penuh kesadaran kita berlindung dengan tenang kepadaNya (lih Mzm 131).

Adakalanya pula kita begitu terbeban, begitu kebingungan, dan begitu kacau karena penyakit, demam, kesedihan, ketegangan, keta kutan, atau kelelahan, sehingga kita tidak dapat lagi membentuk kata-kata dan kalimat-kalimat. Adakalanya jiwa kita hanya dapat bangkit mencari Allah sambil mengeluh panjang. Seperti seorang beriman, yang mengalami kesesakan yang begitu besar sehingga dengan susah payah ia berkata, ”Sekarang aku tidak dapat lagi... berdoa untuk orang lain... untuk diriku sendiri juga tidak... aku hanya dapat mengeluh... ”

Kalau hal itu terjadi pada kita, apakah kita harus khawatir bahwa jalan kita tersembunyi bagi Dia? Tidak. Sebab Dia mendengar keluhan orang tahanan (lih Mzm 102:21). Tuhan Yesus telah mengeluh kepada Allah karena penderitaan seorang yang tuli dan gagap (lih Mrk 7:34).

Dan, karena kita tidak tahu bagaimana sebenarnya kita harus berdoa, Roh Kudus sendiri menyampaikan di dalam hati kita permohonan kepada Allah dengan keluhan-keluhan yang tidak terucapkan (lih Rm 8:26). Dan Dia yang menyelidiki hati nurani, mengetahui maksud Roh itu.

Bukan orang yang pandai bicara

Allah menciptakan setiap manusia sesuai kehendak-Nya yang agung. Yang seorang dapat mengungkapkan isi hatinya dengan jelas dan tegas. Yang lainnya seperti Musa, yang tidak pandai bicara (lih Kel 4:10).

Apakah doa orang yang fasih bicara itu diperkenan Tuhan karena kekayaan kosa katanya, sedang doa orang gagap tidak karena jalannya tersendat-sendat?

Tetapi siapakah yang memberi mulut kepada manusia? Bukankah Dia, Tuhan? (lih Kel 4:11). Hal itu juga berlaku bagi mulut yang berdoa!

Hanya kalau seorang malas bekerja, kalau ia menganggapnya buang-buang tenaga saja untuk bertanya dalam hatinya apa yang harus diajukannya kepada Tuhan dan bagaimana caranya mengajukannya, sehingga ia tidak bisa menemukan kata-kata untuk berbicara, nah, kalau begitu keadaannya, maka seakan-akan angin kering berhembus di ladang kehidupan doanya. Meskipun akan di sembunyikannya hal itu dengan kata-kata yang muluk- muluk, ladang kering itu tak mungkin dijadikannya subur dan segar.

Namun, siapa yang sambil bergumul dengan kata-katanya, menghadap Allah dengan rendah hati, dia tidak akan dianggap kurang penting daripada si pendoa yang menerima bakat untuk berbicara dengan fasih.

Keduanya tergeletak di dekat tembok kehidupan, tanpa daya sehingga memerlukan pertolongan. Kata-kata dalam doa mereka tidak memberi pegangan apa pun (lih Mzm 139:5, 10). Satu-satunya yang memberi pegangan teguh ialah tangan Tuhan.

”Seperti mata para hamba laki-laki memandang kepada tangan tuannya, seperti mata hamba perempuan memandang kepada tangan nyonyanya” (Mzm 123:2), demikianlah mata orang yang pandai bicara maupun yang tidak, boleh memandang Tuhan Allahnya. Sebab hanya tangan Allah yang dapat menyelamatkan. Tuhan melihat hati yang berpaling kepada-Nya dalam ”karya doa” (lih 1Sam 16:7).

Berdoa memerlukan tekad kita. Sebab kita berdoa di daerah musuh. Di tengah perlawanan musuh.

Bagi Iblis sangat penting kalau kita melemah dalam berdoa.

Dan bahkan sama sekali berhenti berdoa. Iblis senang sekali kalau kita tidak menggali harta janji-janji Allah. Kalau kita tidak menarik Tuhan ke arah kita supaya Ia menunjukkan pertolongan-Nya dengan nyata. Iblis senang kalau kita menjadi seperti ranting-ranting pohon kering (lih Yoh 15:1-8).

Iblis musuh kita

Karena itu, Iblis namanya berarti lawan mencoba mencegah kita berdoa. Bagaimana? Setiap sarana dianggapnya cukup baik. Baik sarana sehari-hari maupun yang tampaknya saleh. Iblis berjalan berkeliling sama seperti singa yang mengaum (lih 1Ptr 5:8), namun juga seperti penggoda licik (lih Kej 3:1).

Dan kita? Apakah kita waspada? Apakah kita masih berjagajaga menghadapi perlawanannya? Atau, apakah dalam hati kita diam-diam merasa sudah mengalahkan perlawanan itu? Dan apakah karena itu, Iblis berpendapat bahwa kita mudah diserang?

Melalui kekeringan roha ni kita? Kelambanan kita? Sikap kita yang acuh tak acuh dalam pergaulan dengan Tuhan?

Perlawanan sehari-hari

Kita mau berdoa. Berdoa secara pribadi. Untuk itu kita masuk ke ”ruang dalam”. Sekarang. Nanti malam. Tetapi... jangan-jangan kita belum mematikan lampu mobil kita. Soalnya, kalau besok pagi aki kita kosong, berabe juga!

Atau: kita mau berdoa. Tetapi... tepat pada saat itu Warta Berita di siarkan. Dan kita perlu mengikuti kejadian di dunia, bukan?

Atau: ketika hendak berdoa, kita menyadari bahwa hari itu kita sama sekali belum membaca surat kabar. Dan kita perlu tahu tentang keadaan dunia, bukan? Jadi, membaca koran dahulu, dan kemudian....

Atau: surat yang sudah ditulis itu, harus segera diposkan. Supaya nanti sore masih bisa diambil mobil pos.

Atau: tepat pada saat kita hendak berdoa, telepon berdering.

Relasi bisnis. Janji untuk rapat. Janji menghadiri pesta ulang tahun. Dan pembicaraan telepon begitu mudah menjadi percakapan panjang.

Atau...Ah, semua orang bisa menyelesaikan kalimat itu sendiri. Semua itu hanya hal-hal remeh. Hal-hal sehari-hari. Tetapi musuh kita itu pandai memakainya untuk menahan kita berdoa. Dan, terus terang saja, bukankah itu juga disebabkan oleh kita sendiri?

Masuk ke ”ruang dalam” untuk berdoa, tindakan itu memer lukan tekad yang teguh. Kita tidak menemui begitu banyak kesu litan bila mau memasuki ”ruang hobi” kita. Nah, seberapa kuatkah kerinduan kita untuk menyapa Tuhan?

Keadaannya bisa berbeda

Kita mau berdoa. Tetapi... pada saat kita memikirkannya, kita langsung merasa lelah. Soalnya, tadi malam kita pergi tidur terlalu malam. Sekarang kita mengantuk. Kita tidak dapat memusatkan pikiran kita pada doa kita. Dan, maaf saja, kita ’kan tidak hidup di bawah tekanan pelayanan? Kita ’kan tidak perlu berdoa begitu sering dan begitu lama?

Dan apa yang kita lakukan kemudian? Kita mengucapkan kata-kata yang sudah lama kita kenal. Misalnya, Doa Bapa kami. Itu singkat. Dan itu selalu baik, bukan? Itu doa yang sempurna, bukan? Nah, selesai. Kita telah berdoa.

Itu menurut kita. Tetapi... benarkah kita telah memasuki istana surga? Atau... bahkan ambang pintunya pun belum kita lewati?

Mungkin ada orang yang berpendapat bahwa kita tidak sepantasnya menghubungkan kehidupan doa dengan hal-hal seharihari begitu. Tetapi, bukankah lebih baik membicarakannya bersama-sama secara terus terang daripada bersikap seolah-olah kita lebih unggul daripada darah, daging, dan pikiran yang lamban?

Kalau kita menyadari dan mengakui bagaimana keadaan diri kita dan kehidupan doa kita, kalau kita belajar melihat dosa kita di dalamnya maka barulah ada harapan! Barulah kita boleh mengingat bahwa Tuhan Yesus tidak datang untuk memanggil orang yang benar, melainkan untuk membuat orang berdosa bertobat (lih Mat 9:13). Karena itu, dalam nama-Nya kita boleh datang dari kegersangan kehidupan doa kita untuk memohon dari Allah roh pengasihan dan roh permohonan (lih Za 12:10).

Maka kita mendapat janji-Nya yang teguh bahwa Ia akan menga bulkan permohonan itu. ”Jika kamu yang jahat tahu memberi pemberian yang baik kepada anak-anakmu, apalagi Bapamu yang di surga! Ia akan memberikan Roh Kudus kepada mereka yang meminta kepada-Nya” (Luk 11:13).

Percakapan rahasia

Iblis punya cara lain, yang lebih licik untuk melawan kita. Kalau kita hendak berdoa, kita masuk ”ruang dalam”. Tindakan itu baik dan memang perlu.

Tetapi di ruangan itu kita tidak boleh mengadakan pembicaraan rahasia. Kita tidak boleh memikirkan sesuatu, lalu membisikkannya atau mengatakannya dengan keras-keras kepada... ya, kepada siapa sebetulnya? Kepada kita sendiri? Bisa saja pembicaraannya sangat serius!

Hanya dengan demikian, kita mirip seseorang yang melepaskan tembakan, tanpa mengarahkannya pada suatu sasaran. Kalau kita tidak mengarahkan diri kepada Allah; kalau kita tidak membuka diri kepada-Nya; kalau doa kita merupakan pembicaraan yang tidak dialamatkan kepada Dia, Allah yang hidup, maka doa itu tetap melayang-layang di antara tembok-tembok keberadaan kita. Maka kita berbicara sendiri. Mungkin pembicaraan itu bersifat religius, namun kita tidak berusaha agar Allah membuka telinga-Nya bagi kita, padahal telinga itu disendengkan-Nya kepada kita.

Itu berarti, Iblis akhirnya berhasil juga menghalangi persekutuan kita dengan Tuhan. Dan untuk itu dia memanfaat kan peraturan keliru yang melumpuhkan sayap-sayap doa kita. Akibatnya pengharapan kita tidak teregang kuat ke arah Tuhan. Dia, yang mendengar dan mendengarkan. Dia yang menanggapi doa kita dengan bertindak demi kebaikan kita.

Kita harus betul-betul mengarahkan diri kepada Allah. Dengan berpegang teguh kepada segala janji-Nya, kita harus mencurahkan isi hati kita di hadapan-Nya. Berdoa tidak terlaksana dengan sendirinya.

Perlawanan yang ”saleh”

Tidak dengan sendirinya? Nah, sekarang Iblis membawa senjata ”kesalehannya” ke dalam pertempuran.

Tidak dengan sendirinya? Jadi, kita harus punya tekad untuk berdoa? Kita harus bersusah payah untuk itu? Menjadikannya suatu kebiasaan? Mempersiapkan diri? Membuat catatan atau bahkan menyusun jadwal? Tetapi, bukankah itu betul-betul ibadah yang mengutamakan tata cara? Kalau begitu, apa artinya berdoa dengan ”sungguh-sungguh”?

Sebab bukankah berdoa ”sungguh-sungguh” hanya kita lakukan kalau kita memerlukannya? Bukankah doa itu datang langsung dari hati? Dan seperti gambaran orang Kristen yang ideal (Bab 12) dapat merugikan, begitu juga halnya dengan gambaran tentang berdoa yang ”sungguh-sungguh”, dan yang ideal. Dengan doa itu, Iblis mengukur doa-doa kita. Dan kita ikut-ikutan begitu saja! Sebab kita memang tertarik kepada ideal yang meskipun sangat saleh, namun tidak sesuai dengan Alkitab.

Dan kalau doa ideal itu dipakai untuk mengukur, maka habislah riwayat doa-doa kita. Maka doa itu tidak pernah akan memenuhi syarat bagi sifat yang idealisme. Seumur hidup doa itu tidak akan pernah menjadi doa yang sesuai dengan ideal kita. Tuntutannya selalu terlalu tinggi. Dan prestasi doa kita selalu akan ketinggalan. Karena itu, kita tidak pernah berani berharap mendapat jawab an. Bagaimana mungkin? Pengharapan kita mengering. Doa kita tak terdengar. Dan si musuh mencapai tujuannya. Padahal sarana yang digunakannya tampak begitu saleh.

Pertentangan yang palsu

Tetapi sarana yang dipakai Iblis itu tidak saleh dan tidak alkitabiah. Namun, bukankah doa kita harus menyangkut hati dan kebutuhan kita?

Memang seharusnya begitu. Doa macam apakah itu kalau kita berdiri di depan takhta Allah dan menyapa-Nya, tetapi pada saat bersamaan berpikir: Sebetulnya aku tidak merasa perlu melakukan ini? Jadi, aku melakukannya tidak sepenuh hati? Namun: bagaimana mungkin ada orang berpendapat bahwa tekad, kebiasaan, dan persiapan pada satu pihak, dan kebutuhan hati pada pihak lain, harus saling bertentangan?

Kaum muda-mudi yang saling jatuh cinta, lebih pandai dalam hal itu. Mereka merasa perlu saling mengenal. Hati mereka saling merindukan. Lalu apa yang mereka lakukan? Mereka saling mencari. Mereka mempertaruhkan apa saja untuk saling mengenal. Mereka membuat kebiasaan untuk saling bertemu pada malam minggu. Dan mereka akan sangat heran kalau ada orang yang mengatakan kepada mereka bahwa perkara itu tidak menyangkut hati mereka karena hanya merupakan suatu kebiasaan dan mereka berusaha melakukannya.

Nah, itu yang pertama. Kemudian yang lebih penting: Di mana Alkitab mengajarkan bahwa hati Israel tidak terlibat kalau umat itu, sesuai kebiasaan, bertekad untuk menempuh perjalanan jauh guna merayakan hari-hari besar? Di mana tertulis bahwa tindakan itu tidak terdorong oleh kerinduan dan kegembiraan hati karena boleh bertemu dengan Allah? Sebaliknya, kita justru mendapat pengajaran dari nyanyian-nyanyian ziarah, yakni Mazmur 120 sampai 134: ”Aku bersukacita ketika dikatakan orang kepadaku: ’Mari kita pergi ke rumah Tuhan’” (Mzm 122:1).

Di manakah Alkitab mengatakan bahwa hati Daniel tetap dingin kalau seperti biasa, ia berlutut tiga kali sehari dan berdoa serta memuji Allahnya? (lih Dan 6:11).

Di mana ada tertulis bahwa tindakan Tuhan Yesus tidak sepenuh hati ketika menurut kebiasaan-Nya pada hari Sabat, Ia masuk rumah ibadah? (lih Luk 4:16).

Dan bahwa sungguh suatu pikiran yang jahat hati-Nya dingin ketika Ia bersusah payah bangun pagi-pagi, waktu hari masih gelap untuk mendaki bukit dan berdoa di sana? (lih Mrk 1:35).

Di mana ada tertulis bahwa Ia tidak berdoa dari kedalaman lubuk hati-Nya, ketika dengan sengaja Ia menyendiri di taman Getsemani untuk berseru kepada sang Bapa sambil mengucurkan air mata? (lih Mat 26:39).

Di mana pun Alkitab tidak mengajarkan hal-hal tadi kepada kita. Yang diberitahu kepada kita ialah Tuhan sendiri, di dalam PL, memberi banyak peraturan dan ketetapan, yang menyebabkan terbentuknya berbagai kebiasaan di kalangan Israel. Dan kebiasaan itu memang seharusnya terbentuk.

Kita harus mempunyai tekad yang sepenuh hati. Kita harus mempersiapkan diri terdorong oleh kerinduan besar. Kita harus membentuk kebiasaan karena desakan hati kita.

Dan janganlah kita biarkan diri kita didesak menjauh dari takhta Allah oleh berbagai pertentangan yang palsu dan tampak saleh, yang dipakai Iblis untuk menahan kita berdoa.

Pendakwa

Dalam nubuat Zakharia kita membaca bagaimana Iblis berusaha keras mengganggu hubungan antara Tuhan dan umat-Nya.

Tuhan telah membawa pulang Israel dari Babel. Alangkah senang hati mereka!

”Ketika Tuhan memulihkan keadaan Sion, keadaan kita seperti orang-orang yang bermimpi” (Mzm 126:1).

Israel hampir tidak percaya bahwa mereka telah kembali ke tanah airnya, begitu besar mukjizat itu. Dan dengan kebahagiaan yang meluap-luap mereka membangun kembali Bait Allah (lih Ezr 3).

Tetapi tak lama kemudian kegembiraan itu mulai pudar. Mereka masih membangun rumahnya masing-masing, rumah Tuhan yang penuh reruntuhan, mereka biarkan saja (lih Hag 1:4, 9). Lebih dari 10 tahun lamanya.

Kemudian Tuhan menimbulkan ketaatan yang baru di hati Israel dengan perantaraan pengajaran Hagai. Israel menyadari dosanya dan bertekad lagi untuk membangun kembali Bait Allah.

Lalu seorang nabi lain, Zakharia, diperkenankan menghibur umat. Dalam sebuah penglihatan Zakharia, ia melihat imam besar Yosua berdiri di hadapan Malaikat Tuhan. Lalu dilihatnya sesuatu yang sangat menyedihkan. Seperti keadaan umat, begitu pula tampaknya keadaan imam mereka. Umat itu lalai dan imamnya cemar. Sebab Yosua mengenakan pakaian imam yang kotor!

Dan siapakah yang berdiri di sampingnya? Iblis! Dan apakah yang dilakukan Iblis? Ia mendakwa Yosua. Ia menunjuk pada pakaian yang kotor itu (lih Za 3:1-10).

Masakan imam yang cemar harus melakukan pen damaian untuk umat yang lalai? Masakan hal itu dibiarkan saja? Bukankah Tuhan telah mengumumkan sendiri bahwa cara itu tidak dikehendaki-Nya? (lih Kel 40:13).

Kita juga bisa didakwa oleh Iblis seperti itu. Ia dapat menunjukkan dosa-dosa kita kepada kita. Dan ia tidak keliru. Dosa-dosa kita memang besar. Kita menjadi menjijikkan di mata Allah. Dan siapa tahu bagaimana seringnya kita jatuh ke dalam jurang dosadosa itu? Dan berapa kali kita masih jatuh lagi nanti? Lalu, masih dapatkah kita berdoa?

Iblis dapat menunjukkan kepada kita tabiat kita yang penuh dosa. Dan ia tidak keliru. Meskipun pada malam hari kita tidak dapat menyebut satu dosa pun, namun sudah yakinkah kita bahwa kita benar-benar mencintai Tuhan di atas segala-galanya, dan mencintai sesama kita seperti diri kita sendiri? Dan meskipun tidak yakin, apakah kita berdoa juga?

Iblis dapat mendakwa kita bahwa doa kita kurang bersemangat. Bahwa kerinduan kita untuk bertemu dengan Allah kurang kuat. Bahwa sebetulnya kita tidak dapat berdoa tanpa bantuan persiapan dan kebiasaan. Dan ia tidak keliru. Dan, meskipun demikian, kita masih berani menghadap Allah?

Iblis dapat melontarkan tuduhan bahwa kepercayaan kita kepada Allah begitu lemah. Dan ia tidak keliru. Ia bisa menuduh bahwa kita tidak mampu membuang sikap kita yang tidak beriman dan yang kurang beriman itu. Dan kita masih saja berani tampil di depan takhta Allah?

Iblis dapat mengejek bahwa kata ”amin” yang kita ucapkan terdengar begitu letih. Dan ia tidak keliru. Ia dapat menuduh bahwa kadang-kadang kita hampir tidak percaya bahwa Tuhan mendengar kita. Apalagi mengharapkan dengan penuh iman bahwa Dia jauh lebih pasti mengabulkan doa kita daripada perasaan hati kita bahwa hal itu yang kita inginkan dari Dia (KH p/j 129).24 Dan kita masih berani juga berseru kepada-Nya?

Demikianlah Iblis mendakwa kita. Bagaimana mungkin kita berani menengadahkan hati dan tangan kita ke arah Yang Mahasuci?

Pendusta sejak semula

Namun, boleh jadi Iblis mengatakan hal-hal yang benar, tetapi tidak pernah ia mengatakan kebenaran. Yakni: kebenaran Allah. Iblis itu pendusta. Sejak dahulu ia pendusta (lih Yoh 8:44). Kebenarannya yang setengah-setengah itu adalah dusta penuh.

Sebab Allah kudus. Sudah pasti. Tetapi justru karena itu, Dia Juruselamat yang tiada duanya (Bab 3), yang telah menarik Yosua bagaikan puntung dari api pembuangan.

Kudus. Sebab itu Dia melakukan perbuatan-perbuatan besar bagi umat-Nya. Ketika Yosua tidak dapat membela diri, Allah menghardik Iblis, dan memberi perintah kepada orang-orang yang melayani-Nya: Tanggalkanlah pakaian yang kotor itu daripadanya. Dan kepada Yosua Ia berkata: Aku telah menjauhkan kesalahanmu daripadamu.

Kudus. Sebab itu Ia berjanji: ”Aku akan mendatangkan hambaKu, yakni Sang Tunas” (Za 3:4, 8). Hamba itu akan menjadi Imam dan juga Domba Allah yang menghilangkan dosa dunia.

Demikianlah Tuhan sendiri menolak si pendakwa imam dan umat.

Dan meskipun hati nuraniku mempersalahkan aku, karena aku berbuat dosa berat terhadap segala hukum Allah, dan tidak ada yang aku taati (KH p/j 60 dan Pasal Perjamuan Kudus);25 dan meskipun aku tidak bertekad untuk tekun melayani Allah dan untuk berseru kepada-Nya, kalau aku bersalah; dan meskipun aku harus mengakui bahwa aku sama sekali tak dapat membela diri terhadap segala tuduhan Iblis kepadaku; tetapi kita masih tetap boleh berseru dari jurang yang dalam kepada Yang Mahakudus Allah Israel:

”Jika Engkau, ya Tuhan, mengingat-ingat kesalahan-kesalahan, Tuhan, siapakah yang dapat tahan? Tetapi pada-Mu ada pengampunan, supaya Engkau ditakuti orang.

Aku menanti-nantikan Tuhan, jiwaku menanti-nanti; dan aku mengharapkan firman-Nya.

Jiwaku mengharapkan Tuhan lebih dari pada pengawal mengharapkan pagi, lebih dari pada pengawal mengharapkan pagi.

Berharaplah kepada Tuhan, hai Israel! Sebab pada Tuhan ada kasih setia, dan Ia banyak kali mengadakan pembebasan.

Dialah yang akan membebaskan Israel dari segala kesalahannya” (Mzm 130:3-8).

Dan melalui tangga janji-janji Allah yang teguh, aku tetap boleh naik menuju takhta-Nya, dan menyapa Dia dengan penuh hormat. Karena ”Allah bukanlah manusia, sehingga Ia berdusta bukan anak manusia, sehingga Ia menyesal. Masakan Ia berfirman dan tidak melakukannya, atau berbicara dan tidak menepatinya?” (lih Bil 23:19).

Dia yang mengatakan kepada umat perjanjian-Nya:

”Berserulah kepada-Ku pada waktu kesesakan, Aku akan meluputkan engkau, dan engkau akan memuliakan Aku” (Mzm 50:15).

Informasi Buku

  1. PDF
  2. Penulis:
    H. Westerink
  3. ISBN:
    978-602-8009-43-0
  4. Copyright:
    © De Vuurbaak 1997
  5. Penerbit:
    YAYASAN KOMUNIKASI BINA KASIH