Kita telah berdoa. Kita telah meletakkan doa permohonan kita di hadapan Tuhan. Kita telah mengatakan ”amin” sungguh pasti dan benar. Dan sesudah itu, apa yang kita lakukan?
” Tuhan, pada waktu pagi Engkau mendengar seruanku, pada waktu pagi aku mengatur persembahan bagi-Mu, dan aku menunggu-nunggu” (Mzm 5:4).
Kita berdoa sebelum dan sesudah makan. Apa yang kita harapkan dari doa itu? Kita berdoa sebelum tidur dan sesudah bangun. Apakah gerangan yang kita harapkan? Kita berdoa pada awal dan akhir ibadah kita di gereja, rapat dan pertemuan kita, juga sebelum dan sesudah mengikuti pelajaran di sekolah. Apa kah yang kita harapkan?
Kalau kita berdoa ketika dililit kesulitan, dilanda masalah dalam perkawinan, menemui kegagalan dalam mendidik anak, mengalami kekeringan rohani, nah, apakah yang kita rindukan? Jawaban Tuhankah? Penyelamatan? Kekuatan untuk menanggung beban yang berat itu?
Ataukah, sebetulnya kita tidak mengharapkan banyak manfaat doa itu? Apakah kita tidak sungguh-sungguh mempercayai janji-janji Allah sehingga kita tidak betul-betul berharap bahwa doa kita terkabul? Seandainya demikian halnya, kenapa kita masih berdoa? Ka rena takhayul? Karena kita tidak berani meninggalkan kebiasaan itu begitu saja? Karena mungkin ada gunanya juga, siapa tahu?
Calvin mengatakan, sehubungan dengan Mazmur 5:4, doa kita dengan sia-sia terlempar ke udara kalau dalam hati kita tidak ada harapan yang hidup. Karena harapan itulah, maka seolah-olah kita berdiri di atas menara penjagaan dan dengan tenang menunggu kedatangan Allah (Institutio III.20:17).8
Demikianlah doa-doa kita dengan sia-sia terlempar ke udara, kalau kita hanya berdoa supaya keinginan kita dipenuhi, sambil berpikir: kalau tidak berhasil, tidak rugi apa-apa. Doa-doa kita dengan sia-sia terlempar ke udara, kalau kita menganggap doa-doa kita itu hanya sebagai metode psikologis ”atasilah sendiri”: bukankah manusia sekali-sekali harus mencurahkan isi hatinya? Harus bisa bercakap-cakap dengan orang lain: dengan ahli psikolog, dokter, atau pendeta. Memang, keadaannya tidak akan berubah sesudah itu, tetapi paling tidak, perasaan kita menjadi lega. Kita bisa lagi menanggung beban kita.
Nah, metode itu dapat juga kita terapkan dalam doa. Kita mencurahkan isi hati kita. Kita menyusun semua permohonan kita secara berderet-deret. Untuk kepentingan diri kita sendiri. Memang, keadaan nya tidak banyak berubah sesudah itu. Tetapi, bagaimanapun juga, hati kita menjadi lega: kita menjadi kuat lagi menanggung beban kita. Namun itu bukan hal yang benar dalam berdoa. Allah tidak mau disapa begitu. Bukankah Dia Mahakudus?
Kalau kita berdoa, kita seakan-akan berdiri di atas menara penjagaan. Kita menatap cakrawala. Berapa lama lagi kita harus menunggu? Dan dari mana pertolongan kita akan datang? Sebab di dalam hati kita ada harapan yang hidup: sebagai jawaban atas doa kita, Tuhan akan datang untuk menolong kita.
Elia adalah manusia biasa sama seperti kita (lih Yak 5:17).
Tuhan telah mengatakan dengan jelas kepadanya: Aku akan mendatang kan hujan. Nabi Elia sama sekali tidak menyangsikan perkataan itu. Sebelumnya ia menyuruh menyampaikan pesan ini kepada raja: hujan akan datang lagi. Apakah setelah itu ia duduk berpangku tangan? Apakah ia hanya menunggu saja?
Tidak. Ia berdoa. Dengan patuh dan rendah hati. Seperti orang yang memohon-mohon. ”Ia membungkuk ke tanah, dengan mukanya di antara kedua lututnya. Semakin kukuh dan pasti janji itu, semakin kuat pengharapannya. Elia berkata kepada bujangnya, ”Naiklah ke atas, lihatlah ke arah laut.” Bujang itu naik ke atas, ia melihat dan berkata, ”Tidak ada apa-apa.” Kata Elia, ”Pergilah sekali lagi.” Demikianlah sampai tujuh kali (lih 1Raj 18:42-43). Dan kita, apakah kita juga menantikan jawaban atas doa-doa kita dengan penuh pengharapan? Kalau kita melemparkan segala keinginan begitu saja ke udara, kita tidak akan pernah mendapatkan jawaban sesungguhnya atas doa kita. Seandainya pun doa-doa itu terkabul. Kenapa tidak?
Karena dalam hal itu, kita tidak menerima jawaban itu dari tangan Allah. Kita hanya melihat pemberiannya. Dan kita mengira bahwa kita beruntung. Bahwa kita sedang mujur. Bahwa kita bernasib baik. Namun, kita tidak melihat Sang Pemberi. Dan memang itu tidak mungkin. Bukankah mata kita tidak terarah kepada-Nya? Dan peng harapan kita bukan kepada-Nya? (lih Mzm 123:2).
Tetapi apakah yang boleh kita harapkan? Apakah yang menjadi idaman hati kita? Kesembuhan kalau kita sedang sakit? Pekerjaan kalau kita di-PHK? Anak-anak kalau perkawinan kita tidak membuahkan anak?
”Aku menanti-nantikan Tuhan, jiwaku menanti-nanti, dan aku mengharapkan firman-Nya” (Mzm 130:5).
Mengharapkan firman-Nya! Itu berarti: mengharapkan apa yang telah dijanjikan-Nya. Dan Dia telah menjanjikan banyak sekali kepada kita. Segala yang kita perlukan untuk hidup dan mati di dalam Dia. Tetapi bukan segala yang kita inginkan. Juga bukan semua nya yang menurut kita sangat kita perlukan!
Dia menjanjikan pengampunan dari dosa-dosa kita kalau kita meng akuinya kepada-Nya. Pengampunan itu pasti boleh kita harapkan (lih 1Yoh 1:9).
Ia menjanjikan Roh Kudus kepada kita, kalau kita meminta kepada-Nya. Itulah yang pasti boleh kita harapkan (lih Luk 11:13).
Ia menjanjikan hidup kekal kepada kita. Itulah yang pasti boleh kita harapkan (lih Yoh 11:25-26).
Ia berjanji bahwa Ia akan memelihara kita (lih Mat 6:25-34).
Ia memberi tempat perlindungan kepada kita, dan bahwa di bawah kita ada lengan-lengan kekal (lih Ul 33:27). Janji itu diberikan kepada Israel, dan juga berlaku bagi umat Allah masa kini. Dan setiap anggota umat itu boleh dengan pasti mengharapkannya.
”Allah itu bagi kita tempat perlindungan dan kekuatan, sebagai penolong dalam kesesakan sangat terbukti” (Mzm 46:2).
Janji itu boleh diharapkan setiap orang percaya, dan ia tidak akan kecewa. Bahkan ia tidak akan dikecewakan kalaupun keinginannya yang paling ia dambakan tetap tidak terkabul.
Tetapi kita tidak boleh membangkitkan pada orang lain atau pada kita sendiri pengharapan yang tidak berdasarkan firman Allah. Itulah yang dilakukan seorang yang menyembuhkan penyakit lewat doa. Anda bisa sembuh, tuturnya. Anda pasti akan sembuh. Pada saat ini juga. Asal Anda percaya dengan keyakinan sepenuhnya. Lalu ia meng utip ayat-ayat Alkitab, sedikit dari sini, dan sedikit dari situ. Tetapi bukan seluruh Alkitab diperhitungkannya. Ia tidak membaca Alkitab itu penuh hormat dan perhatian terhadap ayat-ayat yang mengatakan bagaimana Allah kadang-kadang memperlakukan anak-anak-Nya.
Dan bukan si ”penyembuh lewat doa” itu saja, melainkan kita semua sering tersandung pada cara kita mengharapkan janji Allah. Mana ada orang yang tidak dengan senang dan lancar menerapkan ayat-ayat Alkitab pada kebutuhannya yang khusus? Mana ada orang yang tidak dengan sangat mudah mencabut satu atau dua ayat dari keseluruhan firman Allah dan memakainya untuk menangani kesulitannya yang khusus?
Bukankah ada tertulis: ”Apa saja yang kamu doakan dan minta, percayalah bahwa kamu telah menerimanya, maka hal itu akan diberikan kepadamu”? (Mrk 11:24).
Nah, apa lagi yang harus disangsikan? Bukankah kita sering bernyanyi: Iman tidak pernah mengharapkan terlalu banyak. Nah, betul bukan?
Lalu kita mendesak Tuhan supaya Dia mewujudkan apa yang dijanjikan-Nya kepada kita. Dan yang kita maksudkan ialah satu ayat, yang telah kita pisahkan dari keseluruhan Alkitab. Ayat yang kita tarik seolah-olah kita mempunyai hak untuk itu. Dan kalau tidak memperoleh apa yang begitu kita dambakan, kalau kita menjadi lumpuh, kalau suami atau istri kita meninggal, kalau salah satu anak kita meninggalkan Tuhan, kita lantas kecewa.
Lalu Iblis menampi kita seperti gandum (lih Luk 22:31). Jadi, apakah kita tidak bisa mengandalkan janji-janji Allah? Dan yang kita maksudkan lagi ialah satu janji tadi yang telah kita tarik keluar dari keseluruhan Alkitab Apakah Allah tidak mendengar doa kita? Kenapa tidak? Berba gai kesangsian timbul di hati kita. Apakah cara kita berdoa tidak benar? Apakah doa kita kurang sungguh-sungguh? Kurang berapi-api? Apakah kita kurang sering berdoa? Kalau begitu, bagaimana seriusnya, bagaimana berapi-apinya, dan bagaimana seringnya kita harus berdoa untuk dapat membujuk Allah? Atau: apakah iman kita tidak sungguh-sungguh? Kurang kuat? Jadi, bagaimana kita harus percaya untuk dapat memperoleh apa yang begitu kita inginkan?
Dan kalau Tuhan tidak membawa kita pada jalan yang benar, dan tidak mengajar kita untuk menyadari bahwa penyebabnya ada pada kita sendiri, dan bukan pada Dia; bahwa kita tidak mendengarkan Dia dengan saksama dan penuh perhatian, dan sebab itu tidak berdoa sesuai keputusannya; bahwa kita tidak mengharapkan Dia dan menantikan kedatangan-Nya, seperti yang boleh kita lakukan menurut firman-Nya maka kita memandang-Nya sebagai tuan yang kejam.
Kita menganggap-Nya sebagai Baal yang harus kita bujuk dengan doa. Atau, kita tidak lagi percaya pada manfaat doa.
Mungkin kita belum berani untuk sama sekali tidak berdoa lagi, tetapi kita tidak bisa lagi menanti penuh harapan dan kepercayaan.
Sebab itu: kalau kita berseru kepada Allah, kita harus lebih dahulu mendengarkan firman-Nya. Dan mendengarkannya baik-baik.
Iblis mencobai Tuhan Yesus dengan sebuah ayat. ”Jika Engkau Anak Allah, jatuhkanlah diri-Mu ke bawah, sebab ada tertulis: Mengenai Engkau Ia akan memerintahkan malaikat-malaikatNya dan mereka akan menerima Engkau di atas tangannya, supaya kaki-Mu jangan terantuk pada batu.” (Mat 4:6)
Bukankah memang tertulis begitu? Tetapi Tuhan Yesus tidak hidup dengan mematuhi satu atau dua ayat saja. Seluruh Kitab Suci ada dalam hati-Nya: ”Ada pula tertulis: Janganlah engkau mencobai Tuhan, Allahmu!” (Mat 4:7).
Kita harus belajar hidup sesuai ajaran yang diterima kedua pengikut Yesus yang menuju Emaus. Mereka juga mempunyai penghara pannya sendiri. ”Kami dahulu mengharapkan bahwa Dialah yang akan membebaskan bangsa Israel.” Tetapi Tuhan mulai menjelaskan kepada mereka apa yang tertulis tentang Dia dalam seluruh Kitab Suci, mulai dari Kitab-kitab Musa dan segala kitab nabi-nabi. Kemudian hati mereka menjadi berkobar-kobar. Sekarang kita tidak bisa lagi, seperti kedua orang yang pergi ke Emaus itu, mendengar dari mulut Tuhan Yesus sendiri apa yang tertulis dalam seluruh Kitab Suci mengenai Dia dan Bapa-Nya (lih Luk 24:21-32).
Tetapi Dia telah mengutus Sang Penolong kepada kita. Roh Kudus. Dan Dialah yang akan mengajarkan segala sesuatu kepada kita dan akan mengingatkan kita akan semua yang telah dikatakan-Nya kepada kita (lih Yoh 14:26).
Dan kalau ada orang yang bertanya: Bagaimana caranya Roh Kudus melakukannya? Keterangan dalam Alkitab jelas, tidak samar-samar. Roh Kudus tidak pernah melakukannya di luar firman Allah. Dalam firman itulah, Dia datang kepada kita dengan anugerah Tuhan Yesus Kristus, dan kasih Allah, dan persekutuan Roh Kudus (lih 2Kor 13:13).
Dan bukan dengan cara di mana Ia meletakkan firman itu begitu saja di atas meja kita. Sehingga semua orang harus mempergunakannya sendiri-sendiri. Bukan begitu. Melainkan dalam pemeliharaan-Nya penuh kasih kepada kita, Dia telah mempercayakan Firman itu kepada gereja. Di situlah Firman itu disampaikan kepada kita oleh utus an-utusan Kristus (lih 2Kor 5:20) hambahamba Firman. Di situlah, Ia membuka Alkitab bagi kita. Di situ, di gereja. Dalam pemberitaan Injil. Dalam pelayanan baptisan dan perjamuan kudus. Dalam katekisasi, kunjungan keluarga dan kunjungan rumah sakit, juga kalau pe layanan itu dilakukan oleh para penatua dan diaken. Dalam latihan ketaatan kepada Tuhan.
Bisa saja Tuhan memerintahkan para malaikat untuk melakukan pelayanan itu. Tetapi Dia memilih manusia untuk itu. Dan pelayanan mereka selalu penuh kekurangan. Dan yang menerima pemberitaan mereka juga hanyalah manusia. Dan cara menerimanya juga penuh kekurangan. Meskipun begitu, di situ, dalam jemaat Allah yang hidup itu (lih 1Tim 3:15), merupakan tempat kerja Roh Kudus (lih 2Kor 3:8). Di situ juga, dalam persekutuan orang-orang suci, firman Tuhan disampaikan. Oleh para guru kepada anak-anak. Dalam pe kerjaan persekutuan. Dalam percakapan. Sebegitu rupa sehingga hati kita juga terasa berkobar-kobar.
Hanya di mana ada pengharapan yang memiliki dasar yang baik, di situ lah terdapat ketekunan dalam doa. Apakah yang dimaksud dengan ketekunan?
Itu bukan berarti bahwa kita harus selalu memperingatkan Allah mengenai apa yang kita inginkan dari-Nya. Seolah-olah Ia bisa lupa. Itu bukan juga: merengek-rengek untuk membujuk Dia melakukan ini atau itu. Juga bukan: dengan hujan kata-kata terus mengulangi segala keinginan kita.
Kita juga tidak boleh mengira bahwa Tuhan akan mengabulkan doa karena kita begitu tekun dan setia berdoa. Kalau Ia mengabulkannya, itu hanyalah karena belas kasihan-Nya demi Kristus.
Jadi, apakah ketekunan itu? Ketekunan ialah kita mengharapkan dengan teguh belas kasihan-Nya.
”Tuhan adalah penyayang dan pengasih, panjang sabar dan berlimpah kasih setia” (Mzm 103:8).
Kata-kata itu pula yang dipakai Tuhan untuk memperkenalkan diri kepada Musa. Berkat pertolongan Roh Kudus, kita tidak akan membiarkan diri kita menyeleweng dari kata-kata itu. Kesitulah kita arahkan doa-doa kita. Mengenai isinya. Dan mengenai seringnya kita berdoa dan mengenai panjangnya doa itu. Juga kalau kita harus mengeluh: ”Berapa lama lagi, Tuhan, Kaulupakan aku terus-menerus? Berapa lama lagi Kausembunyikan wajah-Mu terhadapaku?” (Mzm 13:2).
Maka kita tetap tidak melepaskan Dia, melainkan terus-menerus berseru kepada-Nya, berkat Roh Kudus, dalam pengharapan pasti bahwa Dia tidak menipu kita. Dia telah berjanji: ”Berserulah kepada-Ku pada waktu kesesakan, Aku akan meluputkan engkau” (Mzm 50:15).
Dan tidak menipu kita juga dalam titah-Nya: ”Karena itu, pertama-tama aku menasihatkan: Naikkanlah permohonan, doa syafaat dan ucapan syukur untuk semua orang, untuk raja-raja dan semua pembesar...” (1Tim 2:1-2).
Sebab kita berdoa untuk gereja dan dunia, untuk negara dan bangsa, dan untuk kehidupan pribadi kita. Tetapi kadang-kadang tampaknya tidak ada yang berubah karena doa itu. Lalu iman kita menja di lemah karenanya. Pergaulan kita dengan Tuhan menjadi lebih mendalam. Lalu kita berlindung lebih dekat kepada-Nya, dalam kepercayaan bahwa kita pasti tidak akan dipermalukan (lih Mzm 71:1).
Dengan berbicara kepada-Nya secara akrab dan penuh percaya, kita terus-menerus meletakkan segala kesulitan kita di hadapan-Nya, kita terus-menerus mencurahkan isi hati kita kepada-Nya, dan tanpa henti meminta pertolongan kepada-Nya. Itulah ketekunan.
Berapa lama kita berdoa? Dan berapa sering? Apakah Tuhan tidak akan habis kesabaran-Nya? Apakah menurut Dia sudah cukup kalau kita sudah dua atau tiga kali meminta hal yang sama? Bukankah Ia sudah tahu permintaan itu? Apakah sebaiknya kita berhenti saja meminta?
Tentu saja, Tuhan sudah tahu masalah kita setelah kita satu kali berdoa kepada-Nya. Bahkan Ia sudah mengetahuinya sebelum kita berseru kepada-Nya. Bagi Dia memang tidak perlu kita mengulang-ulanginya terus. Tetapi untuk kita sendiri itu perlu. Karena hati kita sering gelisah, akibat kelemahan iman kita. Di samping itu, Iblis tidak berhenti menyerang kita dengan cemoohannya: Di mana Allahmu? (lih Mzm 42:4). Sebab itu Tuhan datang menolong kita: ”Percayalah kepada-Nya setiap waktu, hai umat; curahkanlah isi hatimu di hadapan-Nya; Allah ialah tempat perlindungan kita” (Mzm 62:9).
Bagi-Nya merupakan kehormatan untuk menjadi tempat perlin dungan dan batu karang turun-temurun (lih Mzm 90:1), setiap kali hati kita memerlukan-Nya. Dan untuk itu, tidak seorang pun sia-sia ber seru kepada-Nya. Sebab dalam menanggapi doa kita, Ia memberi kan Roh Kudus kepada kita (lih Luk 11:13). Dan itu selalu mencukupi. Juga kalau keinginan yang paling kita dambakan, tetap tidak terkabul.
Hal yang disebut terakhir tadi dapat terjadi. Bahkan sering terjadi. Tiga kali Paulus berdoa kepada Tuhan supaya dibebaskan dari duri di dalam dagingnya. Lalu Tuhan memberitahu kepadanya bahwa keadaan itu tidak perlu diubah karena sudah baik. Bahwa anugerah-Nya cukup bagi Paulus (lih 2Kor 12:9).
Jalan hidup kita juga dapat berlangsung demikian. Kalau sepasang suami istri tetap tidak dikaruniai anak walau mereka berdoa siang malam. Kalau kita jatuh sakit dan kesehatan kita semakin mundur, walau kita berdoa sepenuh hati. Dengan memperhatikan perbuatan-perbuatan Allah, kita dapat mengerti: Tuhan mengambil jalan lain dengan hidup kita, atau dengan hidup seorang yang sangat kita cintai, atau dengan suatu hal yang amat besar artinya bagi kita. Dan jalan itu berbeda dengan apa yang kita inginkan. Maka, dalam keadaan kita yang lemah dan tidak berdaya, kalau kita kehilangan orang yang kita cintai, dan di saat-saat kita menantikan maut, kuasa Allah harus terwu jud sepenuhnya. Tetapi bagi kita, jalan itu pasti tidak mudah. Sama sekali tidak.
Lalu, bolehkah kita berhenti berdoa? Karena kita merasa tertipu dalam pengharapan kita? Kalau itu benar, berapa jauh dan dalamnya pengharapan itu? Apakah pengharapan itu hanya menyangkut diri kita sendiri? Ataukah, seperti dikatakan dalam Mazmur 130: 5, kita mengharapkan Tuhan?
Kalau yang kita pentingkan dalam doa yang berapi-api itu adalah Dia, maka seandainya keinginan kita tidak terkabul, kita tidak menjadi putus asa. Dan kita tidak akan berpikir: Sayang sekali, segala doa kita tidak didengar kalau begitu, untuk apa kita berdoa? Tetapi kalau yang kita pentingkan adalah Dia, maka akan muncul pengharapan yang jauh berada dalam lubuk hati kita. Lalu kita akan lebih tekun berusaha menarik Tuhan kepada kita, supaya Dia membuktikan kehadiran-Nya dan pertolongan-Nya pada saat itu juga. Bukanlah Dia Bapa kita yang Mahakuasa?
Maka isi doa kita berubah. Makin lama makin berubahlah doa itu menjadi ”berdoa bersama Tuhan”. Menjadi ”berdoa ke arah Dia”, sehingga makin lama kehendak kita makin menyatu dengan kehendak-Nya. Lalu kita mencari Dia sebagai bagian warisan kita, dan karena itu, dan juga di dalam itu, kita mengarahkan segala pengharapan kita kepada-Nya (lih Rat 3:24). Jiwa kita hanya tenang di dekat Allah, karena daripada-Nyalah keselamatan kita (lih Mzm 62:2). Dan demikianlah ka sih Allah menjadi agung di dalam hidup kita.
”Sekalipun dagingku dan hatiku habis lenyap, gunung batuku dan bagianku tetaplah Allah selama-lamanya” (Mzm 73:26).
Dan kita menerima Allah sebagai warisan. Itu sudah pasti.