Ketika berdoa kita berbicara kepada Allah. Kita memasuki ruangan suci surga. Kita berdiri di situ, di depan takhta Allah dan berkomunikasi dengan-Nya. Dengan Dia sendiri. Kita melakukan itu berdasarkan janji-janji yang diberikan-Nya sendiri kepada kita dan keyakinan teguh bahwa Dia mendengarkan kita. Begitu hebatnya doa itu.
Calvin mengatakan dalam pranatanya (Institutio III.20:2): ”Dengan berdoa, segala harta berupa janji-janji Allah kita gali keluar sehingga menjadi milik kita.”1 Selain itu: ”Dengan berdoa kita menarik Tuhan sepenuhnya kepada kita, supaya dengan nyata Ia membuktikan kehadiran dan pertolongan-Nya kepada kita.”
Doa disebut juga napas hidup rohani kita. Tuhan Yesus menyamakan orang yang berdoa dengan orang yang mengetuk pintu atau seorang anak kecil yang minta roti (Mat 7:7-11). Begitu mutlaknya doa dalam kehidupan kita bersama Tuhan.
Berdoa itu begitu sederhana sehingga anak kecil pun dapat dan boleh melakukannya: ”Tuhan, berkatilah makanan ini. Amin.” Berdoa itu begitu sulit sehingga banyak orang dewasa pun kadang merasa sukar melakukan sepanjang hidupnya. Seperti para murid Yesus, mereka mengaku ”Tuhan, ajarlah kami berdoa,...” (Luk 11:1).
Doa itu begitu kuat, sehingga kita boleh menaikkannya dalam segala keadaan dan untuk segala kebutuhan mendesak. Apa kah doa kita begitu juga?
Seorang pemuda selalu gagal mendapatkan istri. Ia menjadi sangat sedih dan kesepian. Lalu ia membicarakannya dengan pendetanya. Sang pendeta bertanya kepadanya, ”Apakah kamu sudah memohon dalam doamu?” ”Belum,” jawabnya.
Belum pernah ia membawa kebutuhan hidupnya yang begitu mendesak kehadapan takhta Allah.
Seorang warga gereja mengeluh tentang khotbah-khotbah pendetanya. Selama bertahun-tahun ia mendengarkan khotbah-khotbah itu setiap hari Minggu, namun menurutnya, ia belum pernah merasakan manfaatnya. Akhirnya, ia membicarakannya dengan pendetanya. Perta nyaan yang sama diajukan juga kepadanya, ”Pernahkah Anda berdoa untuk itu?” Dan jawabannya pun sama, ”belum pernah.” Belum pernah ia berdoa untuk dirinya. Belum pernah pula ia berdoa untuk jemaat. Ia juga belum pernah berdoa untuk pendetanya.
Apakah kedua orang itu tidak beriman? Tentu mereka beriman! Tetapi dalam hal berdoa, mereka hidup di bawah tingkat anak-anak Allah. Bukankah Allah berfirman, ”Bukalah mulutmu lebar-lebar, maka Aku akan membuatnya penuh” (Mzm 81:11).
Dan Allah membuktikan kebenaran firman-Nya, jauh melebihi doa dan akal kita. Banyak anak Allah yang dapat memberi kesaksian mengenai hal itu.
Kita hidup di daerah pendudukan. Daerah itu diduduki penguasa dunia ini, yaitu Iblis. Dan kita bukan pahlawan di bidang doa. Iblis tidak perlu bekerja keras menggoda kita untuk melemahkan peng harapan kita sehingga tidak lagi terarah kuat kepada Tuhan. Kita begitu mudah terhambat dalam menerima anugerah Allah (lih Ibr 12:15). Akibatnya, doa kita sulit lepas landas dari bumi, bahkan mungkin sama sekali tidak naik. Bahaya terbesar adalah kita menyerah saja pada keadaan itu.
Dan kita berpikir: begitulah memang jalannya hidup bersama Tuhan tanpa banyak rasa bahagia dan hanya sedikit buah. Dan, ka lau kita membaca bahwa kita boleh mengajukan segala keinginan kita kepada Allah melalui doa dan permohonan disertai ucapan syukur, dan bahwa kedamaian Allah yang melebihi segala akal, akan melin dungi hati dan pikiran kita dalam Kristus Yesus (lih Flp 4:6-7), maka, jika bersikap jujur, kita kecewa. Inikah damai sejahtera Allah yang sedang kita alami dan rasakan sekarang?
Untunglah, kita masih dapat kecewa. Itu berarti pengharapan kita masih cukup tinggi. Sebab iman tidak mungkin berharap terlalu banyak. Tetapi kehidupan yang dihasilkan iman itu, juga kehidupan doa, tidak begitu saja jatuh dari langit. Kita harus berusaha keras memperolehnya.
”Latihlah dirimu beribadah” (1Tim 4:7).
”Tetaplah berdoa” (1Tes 5:17). ”Berserulah kepada-Ku pada waktu kesesakan” (Mzm 50:15a).Berseru, seperti yang dilakukan Bartimeus, seorang pengemis buta di pinggir jalan: ”Kasihanilah aku!” (Mrk 10:47-48).
Untuk melakukan itu, kita perlu bernapas dalam-dalam. Lalu kita mengetuk pintu Allah penuh kerinduan. Lalu kita menarik Tuhan kepada kita. Dan kita menggali keluar harta janji-janji-Nya, serta memohon, ”Tuhan, ajarlah kami berdoa” (Luk 11:1).