Allah yang hidup itu juga Allah yang kudus. Apa artinya? Apa arti nya bagi doa kita? Apakah kita menjadi takut karenanya? Apakah kerinduan kita untuk berdoa menjadi berkurang karenanya?
Kudus berarti sangat tinggi kemuliaannya. Begitu tinggi dan begitu mulia sehingga kita tidak dapat membayangkannya. Yang hanya dapat kita lakukan ialah mengatakan dengan terbata-bata: Allah adalah ALLAH. Dia tidak mungkin diukur dengan ukuran mana pun. Tidak ada pula kelompok untuk menggolongkan-Nya. ”Dengan siapa hendak kamu samakan Aku, seakan-akan Aku seperti Dia? firman Yang Mahakudus” (Yes 40:25).
Ayub harus mengalami, apa arti Mahakudus bagi manusia.
Dia telah bicara dengan berani kepada Allah (lih Ayb 34:37). Menurutnya, Tuhan tidak memperhatikan doa orang yang sedang sekarat, dan yang luka-luka (lih Ayb 24:12). Menurut Ayub, Tuhan tidak memberi keadilan kepadanya (lih Ayb 27:2).
Kemudian Dia Yang Mahakudus, yang ”menciptakan semua itu” (Yes 40:26), memberi teguran keras kepada Ayub:
”Apakah si pengecam hendak berbantah dengan yang Mahakuasa?” (Ayb 39:35).
”Di manakah engkau, ketika Aku meletakkan dasar bumi?” (Ayb 38:4a).
”Pernahkah dalam hidupmu engkau menyuruh datang dinihari atau fajar kautunjukkan tempatnya?” (Ayb 38:12).
Lalu Ayub menutup mulutnya dengan tangan: ”Satu kali aku berbicara, tetapi tidak akan kuulangi; bahkan dua kali, tetapi tidak akan kulanjutkan” (Ayb 39:37-38).
Begitu tinggi kemuliaan Allah dalam kekudusan-Nya. Dan kita hanyalah debu dan abu (lih Kej 18:27). Bagaimana kita dapat memasuki kediaman-Nya di tempat tinggi, dan berbicara langsung kepada-Nya?
Pertanyaan itu semakin mencekam. Sebab jarak yang ada antara Allah dan manusia tidak perlu berarti permusuhan. Di Taman Eden Allah berjalan-jalan bersama Adam dan Hawa dan suasananya pe nuh kedamaian.
Tetapi kalau kita mendengar kata kudus, gambaran apakah yang pertama-tama timbul dalam pikiran kita? Tentunya gambaran tentang sesuatu yang tidak bernoda; tidak berdosa. Dan itu benar, sebab juga dalam hal itu Allah teramat mulia karena segala jalanNya adil (lih Ul 32:4). Kecurangan tidak ada pada-Nya (lih Mzm 92:16). Dia tidak berkenan kepada kefasikkan, dan orang jahat tak ’kan menumpang pada-Nya (lih Mzm 5:5). ”Kuduslah kamu, sebab Aku kudus” (1Ptr 1:16).
Kalau begitu, jalan menuju Allah benar-benar terhalang bagi kita. Soalnya, kita tidak kudus. Kita dilahirkan dalam kesalahan. Dalam dosa kita dikandung ibu (lih Mzm 51:7). Tidak ada orang yang benar, seorang pun tidak (lih Rm 3:10). Dan keinginan daging kita maksudnya, keadaan kita akibat dosa adalah perseteruan terhadap Allah; tidak takluk kepada hukum Allah; dan kejahatan (lih Rm 8:7). Jadi, semua itu menunjukkan bahwa kita benar-benar tidak kudus.
Itu bukan soal sepele. Kita tidak dapat mengabaikannya begitu saja, dan berpikir bahwa Yang Mahakudus pasti membiarkannya dan berpura-pura tidak melihatnya. Apakah yang harus kita lakukan supaya diizinkan menghadap takhta Allah? Di mana kaki kita dapat berpijak di tempat-Nya yang kudus, untuk dapat berbicara kepada-Nya?
Yesaya telah melihat Tuhan duduk di atas takhta-Nya yang tinggi dan mulia, dan ia mendengar para Serafim berseru: ”Kudus, kudus, kuduslah Tuhan semesta alam”, lalu ia mengatakan: ”Celakalah aku! aku binasa! Sebab aku ini seorang yang najis bibir” (Yes 6:1-5).
Bukankah kita harus mengatakannya juga bersama-sama Yesaya? Bukankah dengan demi kian, berdoa menjadi hal yang mustahil?
Perjanjian yang mengikat kita dengan Allah
Memang, berdoa adalah mustahil seandainya Allah karena belas kasih an-Nya yang besar tidak mengungkapkan lebih banyak tentang kekudusan-Nya. Tetapi Dia mengungkapkan-Nya karena Dia kudus, bukan saja karena sifat-Nya yang Mahakuasa. Dia penuh kemuliaan, bukan hanya karena tidak terdapat kecurangan pada-Nya. Tetapi Dia juga kudus dan penuh kemuliaan dalam kasih-Nya, dalam belas kasihan-Nya, dalam pengampunanNya, dan kesetiaan-Nya. Di seluruh alam semesta, hanya Dialah yang Mahakudus, yang tidak bisa disamakan dengan siapa pun.
Dan kekudusan itu selalu ditunjukkan-Nya demi kebaikan bagi umat-Nya.
Sesudah jatuh ke dalam dosa, Adam dan Hawa menyembunyikan diri terhadap Tuhan Allah. Seperti anak kecil yang penuh ketakutan bersembunyi dari bapaknya. Kemudian Sang Bapa mencari sendiri anak itu: ”Di manakah engkau?” (Kej 3:9). Lalu dibatalkan-Nya perjanjian jahat yang mereka ikat dengan Iblis: ”Aku akan mengadakan permusuhan antara engkau dan perempuan ini, dan antara keturunanmu dan keturunannya” (Kej 3:15). Dalam janji itu Dia meletakkan dasar untuk perbaikan hubungan antara Dia dan kita. Dan juga dalam hal itu Dia kudus dan teramat mulia dalam belas kasihan dan kuat kuasa-Nya.
Kemudian, hubungan yang telah diperbaiki itu, diberi-Nya bentuk sebagai perjanjian. Ia berfirman, ”Aku akan mengadakan perjanjian antara Aku dan engkau serta keturunanmu turun-temurun, menjadi perjanjian yang kekal, supaya Aku menjadi Allahmu dan Allah keturunanmu” (Kej 17:7).
Nah, bukankah tak pantas bila kita meremehkan tindakan itu? Atau menganggapnya ”sudah semestinya begitu”? bahwa Allah menjadi Allah kita dan keturunan kita? Soalnya, itu berarti suatu kenyataan mutlak bahwa segala permusuhan antara Dia dan kita telah terhapus. Bahwa sekarang hubungan telah pulih.
Tanpa mengurangi rasa hormat kita kepada-Nya, kita berpendapat bahwa Allah tidak dapat melakukan lebih dari itu. Sebab Dia telah memberi Diri-Nya Sendiri: Akulah Allahmu (lih Mzm 50:7). Dan dalam hal itu pun Ia sangat tinggi kemuliaan-Nya. Dalam perjanjian itu Allah mengangkat sebuah umat bagi-Nya. UmatNya sendiri. ”Aku akan mengangkat kamu menjadi umat-Ku dan Aku akan menjadi Allahmu.. ” (Kel 6:6).
Israel diperkenankan mengalami sendiri apa artinya memiliki Allah itu sebagai Allah mereka. Ketika Allah membawa mereka keluar dari Mesir, dan memimpin mereka menyeberangi Laut Teberau, pada saat itulah mereka melihat kekudusan Allah dalam tin dakan-Nya itu: ”Baiklah aku menyanyi bagi Tuhan, sebab Ia tinggi luhur. Siapakah yang seperti Engkau, di antara para allah, ya Tuhan; siapakah seperti Engkau, mulia karena kekudusan-Mu, menakutkan karena perbuatan-Mu yang masyhur, Engkau pem buat keajaiban?” (Kel 15:1, 11).
Mulia karena kekudusan. Menurut catatan kaki Statenvertaling, ”Mulia karena kekudusan berarti dihiasi dengan kekudusan agung yang sempurna.” Israel tidak perlu menganggap kekudusan Allah sebagai sesuatu yang jauh, yang tidak banyak artinya bagi mereka. Sebab keku dusan Allah dengan jelas dan nyata melawan musuhmusuh mereka, dengan perbuatan ajaib yang mengerikan: Laut Teberau, Laut Mati. Dan kekudusan itu membentang di atas umatNya untuk melin dungi mereka. Umat-Nya yang telah berseru kepada-Nya memohon per tolongan, disertai-Nya dengan tiang awan dan tiang api.
Dan setiap kali Israel terhadang oleh sebuah penghalang, selalu Sang Mahakudus, Allah Israel, membuka sebuah jalan keselamatan dan pembebasan bagi mereka.
Berabad-abad kemudian, Yesaya menghibur umat yang sama itu, yang sedang putus asa karena mengalami masa pembuangan. Maka Yesaya mengingatkan mereka bahwa Allah adalah kudus. ”Dengan siapa hendak kamu samakan Aku, seakan-akan Aku seperti dia? firman Yang Mahakudus.” Kepada Dialah Israel boleh berharap lagi. Dan tidak perlu lagi bangsa itu mengatakan dengan putus asa: ”Hidupku tersembunyi dari Tuhan, dan hakku tidak diperhatikan Allahku. Sebab Dia memberi kekuatan kepada yang lelah dan menambah sema ngat kepada yang tidak berdaya!” (Yes 40:25-29).
Dia Yang Mahakudus.
Demikian pula Hana. Dalam penderitaan hidupnya pribadi, yang menurut keyakinannya berhubungan erat dengan kehidupan umat Allah, Hana mengenal dan mencintai Tuhan, dan mencurahkan isi hatinya kepada-Nya (lih 1Sam 1:15). Dan Dia mendengar dan mengabulkan doanya. Lalu Hana berdoa dan mengatakan: ”Aku bersukacita karena pertolongan-Mu. Tidak ada yang kudus seperti Tuhan, sebab tidak ada yang lain kecuali ENGKAU dan tidak ada gunung batu seperti ALLAH kita” (1Sam 2:1-2).
Siapa tidak punya lagi tempat berpijak, harus lari ke gunung batu itu. Pertolongan lain tidak ada. Nama-Nya yang kudus adalah menara yang kuat, ke sanalah orang benar berlari dan ia menjadi selamat (lih Ams 18:10).
Juga penulis Mazmur 71, dalam hidupnya yang panjang, telah mengenal Allah seperti itu: ”Bagi banyak orang aku seperti tanda ajaib, karena Engkaulah tempat perlindunganku yang kuat. Engkau yang telah melakukan hal-hal yang besar; ya Allah, siapakah seperti Engkau? Engkau akan menghidupkan aku kembali. Dan akan berpaling menghibur aku.” Dan doanya menjadi puji-pujian: ”Aku mau menyanyikan mazmur bagi-Mu dengan kecapi, ya, Yang Kudus Israel” (Mzm 71:7, 19-22).
Allah yang kudus, Dia menyertai kita sejak masa muda hingga masa tua, juga sesudahnya. Sebagai tempat perlindungan yang teguh, sebagai penghibur yang melakukan hal-hal besar. Dialah yang menghibur dan menghidupkan kembali. Bukankah karena itu kita bernapas lega?
Kemuliaan Allah paling terbukti kekudusannya ketika perjanjian yang telah diadakan, diteguhkan-Nya dalam darah Anak-Nya yang tunggal.
Kita sudah tahu bukan bahwa Allah telah melakukannya, Allah, yakni Allah kita? Namun prosesnya tidak berjalan begitu saja. Diperlukan darah yang mengalir untuk mengajarkan kepada Israel bahwa tanpa penumpahan darah tidak ada pengampunan (lih Ibr 9:22).
Sebab itu sejarah Israel menunjukkan jejak darah yang melintasi seluruh dunia. Darah anak-anak, setiap kali seorang anak lakilaki disunat. Darah binatang yang dipotong sebagai kurban: darah kambing jantan. Darah lembu jantan. Darah anak lembu. Darah yang selalu menuntut sesuatu yang lebih baik. Sebab tidak mungkin darah lembu jantan atau kambing jantan menghapuskan dosa (lih Ibr 10:4).
Kemudian Allah Israel, Yang Mahakudus, membawa sesuatu yang lebih baik tersebut ke dalam dunia: Anak-Nya yang diperkenan. Darah Anak-Nya itu menjadi darah perjanjian, yang ditumpahkan bagi banyak orang untuk pengampunan dosa-dosa (lih Mat 26:28).
Dan karena itu, sekarang kita boleh belajar, tanpa pertumpahan darah, melainkan dengan air baptisan, bahwa oleh darah AnakNya itulah kita mempunyai perjanjian abadi dengan Allah. Perjanjian abadi. Perjanjian itu sudah ada di zaman Abraham. Juga telah ada di zaman Daud. Perjanjian itu didasarkan pada darah Anak Daud yang Agung. Perjanjian itu ada juga sekarang; anak-anak kita termasuk di dalamnya. Dan nanti, di masa depan, perjanjian itu akan tetap ada: ”Bagi siapa yang menang, Aku akan menjadi Allahnya, dan ia akan menjadi anak-Ku” (Why 21:7). Itulah kata-kata dalam perjanjian yang lama, yang juga berlaku bagi bumi yang baru. Begitu kudusnya nama Allah demi keselamatan kita.
Maria, ibunda Tuhan Yesus, menyebut hal itu dalam nyanyian pujiannya: ”...Kuduslah nama-Nya, dan rahmat-Nya turun-temurun atas orang yang takut akan Dia. Ia memperlihatkan kuasa Nya dengan perbuatan tangan-Nya. Ia menolong Israel, hambaNya, karena Ia mengingat rahmat-Nya... kepada Abraham dan keturunannya untuk selama-lamanya” (Luk 1:49-55).
Tuhan Yesus menyebutkannya juga ketika Ia berdoa bagi kita yang nantinya akan percaya kepada-Nya. Waktu itu, untuk kepentingan kita, Ia memohon dukungan kekudusan Allah yang melindungi dan menjaga kita, seperti di zaman dahulu Israel dilindunginya dengan tiang awan dan tiang api: ”Ya Bapa yang kudus, peliharalah mereka dalam nama-Mu” (Yoh 17:11).
Apakah kekudusan Allah hanyalah sesuatu yang menakutkan? Sebuah rem terhadap doa-doa kita? Bukan. Sebab dalam kekudusan-Nya Allah telah membuka lebar-lebar kekudusan surgaNya bagi kita: ”Berserulah kepada-Ku pada waktu kesesakan, Aku akan meluputkan engkau, dan engkau akan memuliakan Aku” (Mzm 50:15).
Dia Mahakuasa karena Dia kudus. Dia tidak bernoda karena Dia kudus. Tetapi Dia juga Penyayang karena Dia kudus. Dia tempat perlindungan dan gunung batu. Dialah yang melakukan perbuatan besar bagi umat-Nya. Dia menghibur dan Dia menghidupkan lagi karena Dia kudus. ”Sebab itu, marilah kita dengan penuh keberanian mengham piri takhta anugerah, supaya kita menerima rahmat dan mene mukan anugerah untuk mendapat pertolongan pada waktunya” (Ibr 4:16).
Marilah kita menghampiri-Nya dengan rasa takut seperti kanak-kanak karena Dia kudus.
Dengan kepercayaan seperti kanak-kanak. Sebab kuduslah nama-Nya (KH p/j 120).2