Allah mendengar doa kita. Selalukah? Apakah Dia juga mengabulkannya? Selalu? Mengapa kadang-kadang tampak sia-sia? Dan bagaimana dengan segala janji-janji-Nya yang seolah-olah tidak pernah terwujud?
Itulah berbagai pertanyaan yang menyangkut ”kepentingan” kita. Janganlah kita menganggapnya pikiran yang terlarang, lalu mengusirnya dari benak kita. Sebab, kalau begitu, pikiran itu bisa menjadi bom waktu. Pada saat kita lemah, Iblis datang dan meledakkan bom itu di dalam hidup kita dan membawa kehancuran. Sebab itu, janganlah pertanyaan tadi diusir keluar, melainkan sebaiknya ditangani. Dengan diterangi cahaya Alkitab.
Dengan melanggar titah Allah, Israel maju perang dan menyerang bang sa Amalek (Bil 14:41). Ternyata mereka dikalahkan dan menangis di hadapan Allah. ”Tetapi Tuhan tidak mendengarkan tangisanmu dan tidak memberi telinga kepada suaramu” (Ul 1:45).
”Siapa memalingkan telinganya untuk tidak mendengarkan hukum, juga doanya adalah kekejian” (Ams 28:9).
Siapa tidak mau mendengarkan Allah, jangan berharap bahwa Allah mau mendengarkan dia.
Ketika Israel mendirikan mezbah-mezbah di setiap jalan di Yerusalem untuk mempersembahkan kurban kepada Baal, maka Tuhan mengatakan melalui Yeremia: ”Aku tidak akan mendengarkan pada waktu mereka berseru kepada-Ku karena malapetaka mereka” (Yer 11:14). Bahkan Yeremia dilarang-Nya berdoa untuk Israel. ”Tetapi engkau, janganlah berdoa untuk bangsa ini, janganlah sampaikan seruan permohonan dan doa untuk mereka, dan janganlah desak Aku, sebab Aku tidak akan mendengarkan engkau” (Yer 7:16).
Hidup tanpa ketaatan kepada Allah tidak bisa berjalan bersama dengan doa.
Nah, hal itu tidak berlaku bagi kita. Bukankah kita taat kepada Allah? Itu menurut pikiran kita. Meskipun begitu, janganlah kita terlalu mudah mengesampingkan pertanyaan apakah doa-doa kita mungkin juga ditolak.
Petrus menulis surat-suratnya bukan kepada orang-orang yang tidak taat kepada Allah, melainkan kepada orang-orang per caya. Dan apakah yang kita baca? ”Hai suami-suami, hiduplah bijaksana dengan istrimu, sebagai kaum yang lebih lemah! Hor matilah mereka sebagai teman pewaris dari kasih karunia, yaitu kehidupan, supaya doamu jangan terhalang” (1Ptr 3:7).
Seorang istri harus tunduk kepada suaminya. Sudah lebih dahulu Petrus mengatakan hal itu. Tetapi sang suami tidak boleh memanfaatkan nasihat itu. Dia tidak boleh menjadi tiran yang berbuat sewenang-wenang di rumahnya. Dia harus menjadi kepala istrinya di dalam Tuhan.
Dan kalau tidak demikian halnya, siapakah yang akan menghukumnya? Tuhanlah yang akan menghukumnya. Sebab, Dia adalah saksi antara dia dan istrinya (lih Mal 2:14). Tuhan selalu hadir, juga kalau penjaga rumah tidak ada. Tuhan ada di kamar keluarga. Juga di kamar tidur. Kalau sang suami tidak menghormati istrinya di dalam Tuhan, maka boleh saja ia berdoa, tetetapi kata-katanya tidak naik sampai ke takhta Tuhan. Doanya terhalang. Ada sesuatu yang mengganjal.
Apakah nasihat itu hanya untuk para suami? Dan bukan juga untuk para istri? Apakah hanya berlaku untuk perkawinan? Tidak di luar nya? Tidak untuk segala hubungan manusiawi, yang bertujuan menjadi berkat dan yang dapat diracuni oleh tindakan sewenang-wenang?
Berikut ini kami memberi sebuah contoh dari hidup seharihari. Sebuah keluarga mempunyai peraturan yang bagus: semua anggotanya harus makan apa yang tersedia di meja. Kalau perlu, hanya beberapa sendok saja.
Pada suatu hari dihidangkan sayur bayam. Dan Nani yang berusia enam tahun, sama sekali tidak doyan bayam. Dia sudah mual melihatnya, apalagi harus menelannya! Begitu bayam itu dihidangkan, Nani mulai merengek-rengek bahwa ia tidak doyan bayam.
Tetapi sang ayah kurang sabar mendengar rengeknya. Tanpa basa-basi ia mengisi piring Nani dengan sayur bayam. Bukan hanya satu sendok, melainkan tiga, bahkan empat sendok penuh. Dan ketika Nani bergidik karena jijik melihat bayam itu, ayahnya menatapnya penuh ancam an, seakan-akan menghardik: ”Jangan cobacoba. Makan habis! Ayah berkuasa di sini!”
Kemudian: Berdoa mohon berkat! Nani juga. Dan nanti:
Mengucap syukur! Nani juga. Doa-doa yang terhalang. Doa ayah karena ia tidak adil terhadap anaknya, jadi ia tidak berdiri dengan benar di hadapan Tuhan. Doa ibu karena ia tidak dapat berdoa dengan sepenuh hati. Sebab ia merasa kasihan kepada anaknya dan tidak mau (tidak berani?) membantah ayah di depan keluarganya. Doa Nani dan kakak adiknya karena mereka merasa jengkel melihat tindakan ayah (lih Ef 6:4).
Kita tidak selalu bisa memasuki istana surga. Kita tidak bisa begitu saja muncul di hadapan takhta Allah. Tidak bisa kita berbicara secara pribadi dengan Dia dengan suasana hati muram dan galau.
Tadi itu hanyalah contoh dari hidup sehari-hari. Kita ini orang berdosa. Para suami, para ayah, guru, majikan, dan pejabat. Para istri, para ibu, dan tidak kurang juga para perawat. Sebab itu bisa terjadi juga ber bagai penghalang doa-doa kita dalam berbagai masyarakat. Dalam keluarga kita. Dalam sekolah kita. Dalam pertemuan kita. Dalam ibadah gereja. Kita tidak boleh berdoa tanpa menghiraukan segala penghalang itu. Sebab Tuhan tidak akan mendengarkan.
Meskipun begitu, surat Petrus yang sama itu, membuka dalam pasal yang sama, gerbang menuju istana Allah: ”Sebab mata Tuhan ter tuju kepada orang-orang benar, dan telinga-Nya kepada permohonan mereka yang minta tolong” (1Ptr 3:12).
Orang-orang benar. Yang dimaksudkan bukan orang-orang saleh, yang sangat puas dengan dirinya sendiri. Orang-orang benar ialah mereka yang tidak memalingkan telinganya dari hukum Allah, melain kan mendengarkannya (lih Ams 28:9). Orang-orang benar ialah mereka yang mau disadarkan oleh hukum Allah itu bahwa mereka adalah orang berdosa. Bahwa mereka menjadi pewaris anugerah kehidupan. Bersama istri mereka. Bersama anakanak mereka. Bersama saudara-saudara sekandung.
Kata-kata di atas, dikutip Petrus dari Mazmur 34. Di situ dilanjutkan lagi keterangan mengenai orang-orang yang benar: ”Apabila orang-orang benar itu berseru-seru, maka Tuhan mendengar, dan melepaskan mereka dari segala kesesakannya” (Mzm 34:18).
Kalau dengan rendah hati kita berseru kepada Allah, maka hatiNya menjadi terharu memandang kita. Dia tidak tinggal tetap di tempat yang jauh, tanpa berbuat apa-apa, melainkan Ia bangkit berdiri menolong kita. Dan pertolongan itulah yang kita nantikan. Tetapi tidak selalu bantuan itu langsung datang.
Lalu bagaimana? Apakah kita menjadi kurang sabar? Atau merasa jengkel kalau harus menunggu lebih lama daripada yang kita duga? Hilangkah pengharapan kita sementara waktu berjalan?
Tetapi, apakah kita telah memperhatikan waktu dan masa Allah? Tuhan dapat datang dengan cepat sekali: ”Maka sebelum mereka memanggil, Aku sudah menjawabnya; ketika mereka sedang berbicara, Aku sudah mendengarkannya” (Yes 65:24).
Abraham menyuruh hambanya mencari istri untuk Ishak.
Wanita pilihannya itu nantinya menjadi nenek moyang umat Allah. Sungguh berat tugas itu! Sebab itu, sesampainya di Mesopotamia, hamba itu berdoa mohon bimbingan Allah. Dan belum selesai ia berdoa, Ribka sudah datang ke tempat ia berdiri (lih Kej 24:15).
Pada suatu hari Raja Hizkia jatuh sakit. Begitu parah penyakitnya sehingga tak lama lagi ia akan meninggal. Hal itu diberita hukan kepadanya oleh Yesaya atas perintah Tuhan. Lalu berdoalah raja. Dan Nabi Yesaya yang hendak meninggalkan istana, belum sampai ke pintu gerbang, ketika Tuhan mengatakan kepadanya: ”Baliklah dan katakanlah kepada Hizkia: Telah Kudengar doamu... sesungguhnya Aku akan menyembuhkan engkau” (2Raj 20:1-11). Demikianlah kita dapat mengambil banyak contoh dari Alkitab.
Musa berdoa memohon pertolongan bagi Israel ketika bangsa itu harus berperang melawan orang Amalek. Dan Tuhan menolong umat-Nya pada waktu Musa berdoa, dan selama ia berdoa (lih Kel 17:8-13).
Di Mizpa, Samuel berseru minta tolong kepada Allah, dan Tuhan langsung mendengarkan (lih 1Sam 7:9).
Ketika Simson hampir mati kehausan di Ramat Lehi, ia berdoa mohon pertolongan Allah. Lalu Tuhan membelah batu karang, sehingga terjadi celah yang mengeluarkan air. Simson minum, lalu menjadi kuat dan segar kembali (lih Hak 15:18-19).
Tetapi keadaannya bisa juga sangat berbeda. Yeremia berdoa untuk sisa-sisa bangsa Israel yang sudah dikalahkan dan yang tidak punya pemimpin lagi. Tetapi sepuluh hari berlalu sebelum Tuhan menjawab doanya (lih Yer 42:7).
Daniel berpuasa dan berdoa untuk bangsanya pada akhir masa pembuangan 70 tahun itu. Ia harus menunggu 21 hari sebelum ia menerima jawaban. Apakah selama itu Tuhan tidak merasa kasihan kepada umat-Nya? Karena itukah mereka harus menunggu begitu lama sebelum Ia bertindak? Tidak, tetapi ada perlawanan yang kuat. Malaikat Mikhael harus turun tangan untuk mengalahkannya (lih Dan 10:13). Dan itu hanya masalah yang menyang kut beberapa hari.
Sedangkan Abram sudah berusia 75 tahun ketika ia berang kat dari Haran (lih Kej 12:4). Allah berjanji kepadanya: ia akan menjadi bangsa yang besar. Abram berusia 100 tahun ketika Ishak lahir (lih Kej 21:5). Di antaranya terdapat masa 25 tahun, di mana harapan dan rasa putus asa silih berganti. Soalnya, ia merasa bahwa tubuhnya semakin lemah dan rahim Sara pun semakin kering. Menunggu selama 25 tahun. Baru setelah itu tibalah waktunya Allah bertindak (lih Rm 4:18-19).
Ishak dan Ribka mewarisi janji yang sama yang diberikan kepa da Abraham. Selama 20 tahun pasangan itu tidak dikaruniai anak, dan baru setelah itu Tuhan memberi Yakub dan Esau kepada mereka (lih Kej 25:20, 26).
Israel sangat tertindas di Mesir. Anak-anak laki-laki mereka, harapan bangsa, harus mereka tenggelamkan. Mereka menderita dan meratap karena disiksa dan dipaksa bekerja. Dan bagaimana mere ka yang percaya teguh pada janji-janji Allah kepada Abraham, Ishak, dan Yakub? Pastilah mereka tak henti-hentinya berseru kepada Tuhan, mohon pertolongan. Namun keadaan sama sekali tidak berubah. Apakah Tuhan tidak mendengar?
Apakah Dia tidak melihat? Lupakah Dia pada janji-janji yang telah diberikan-Nya?
”Mengapa Engkau berdiri jauh-jauh, ya Tuhan, dan menyembunyikan diri-Mu dalam waktu-waktu kesesakan?” (Mzm 10:1).
Dan siapa yang dapat menduga bahwa Tuhan sudah dalam perjalanan untuk menolong umat-Nya? Siapakah yang dapat menduga bahwa pertolongan itu datang melalui kelahiran Musa? Ketika di masa kecilnya ia dibesarkan di rumah ayah ibu kandungnya yang memegang teguh janji-janji Allah? Juga di masa mudanya ketika bertahun-tahun lamanya ia digembleng untuk menguasai segala hikmat bangsa Mesir dan menjadi perkasa dalam perkataan dan perbuatannya?
Juga ketika ia ternyata lebih suka menderita sengsara bersama umat Allah dari pada untuk sementara waktu menikmati kenyamanan dosa (lih Ibr 11:25). Dan ketika Israel menolaknya dengan mengatakan, ”Siapakah yang mengangkat engkau menjadi pemimpin dan hakim atas kami?” (lih Kel 2:14; Kis 7:27). Dan ketika 40 tahun lamanya ia melakukan perjalanan melintasi padang pasir. Siapakah yang dapat menduga semua itu?
Tetapi kemudian semuanya menjadi nyata: Waktu yang ditentukan Allah telah tiba. Jadi, Ia memang melihat penderitaan umat-Nya. Ia mengetahui betapa berat beban mereka. Sebab itu, Ia turun untuk menyelamatkan mereka (lih Kel 3:7-8). Tetapi sebelumnya telah lewat masa yang amat panjang lebih dari 80 tahun.
Sebuah contoh lain: Atalya, putri raja Ahab yang tidak menyembah Allah, membunuh seluruh keturunan raja di Yerusalem. Dengan satu pukulan, rumah Daud menjadi seperti batang pohon yang terpenggal. Sudah pasti orang-orang yang taat kepada Allah waktu itu, berseru-seru kepada-Nya, mohon pertolongan. Benarkah janji-janji Allah yang diberikan kepada Daud dan rumahnya tidak akan terwujud?
Tahun-tahun berlalu. Dan tidak seorang pun tahu bahwa sejak semula Tuhan selalu mengingat janji-janji-Nya. Tidak seorang pun tahu bahwa dalam sebuah gudang penyimpanan tempat tidur di Bait Allah telah disembunyikan anak kecil yang berusia satu tahun, bersama inang penyusunya. Anak keturunan Daud itu dididik agar taat kepada Allah. Baru sesudah enam tahun anak kecil itu dinobatkan menjadi raja. Dan baru pada waktu itu menjadi nyata:
Tuhan tidak melupakan janji-janji-Nya (lih 2Raj 11).
Dan pernahkah kita mengingat orang-orang beriman yang hidup sesudah nabi terakhir, Maleakhi, menyampaikan pesan Tuhan untuk terakhir kali? Inilah pesan itu: ”Sesungguhnya Aku akan mengutus Nabi Elia kepadamu menjelang datangnya hari Tuhan yang besar dan dahsyat itu. Maka ia akan membuat hati bapa-bapa berbalik kepada anak-anaknya dan hati anak-anak kepada bapa-bapanya supaya jangan Aku datang memukul bumi sehingga mus nah” (Mal 4:5, 6).
Pastilah orang-orang beriman itu menunggu-nunggu dengan tak sabar datangnya penghibur Israel itu. Generasi yang baru lahir, digantikan generasi baru berikutnya, begitu seterusnya. Apakah yang mereka lihat? Bangsa miskin dan tertindas, yang harus meringkuk dijajah orang-orang yang tak mengenal Allah. Bangsa yang patut mengatakan, seperti di masa pembuangan: ”Tandatanda kami tidak kami lihat, tidak ada lagi nabi, dan tidak ada di antara kami yang mengetahui berapa lama lagi” (lih Mzm 74:9).
Lebih dari 400 tahun berlalu, sebelum Juruselamat Kristus Tuhan dilahirkan. Adakalanya waktu yang ditentukan Allah untuk bertindak seolah-olah tidak akan pernah datang. Kita dapat menye but satu contoh lagi.
Yohanes mendapat penglihatan di mana dilihatnya di bawah mez bah, jiwa-jiwa mereka yang telah dibunuh oleh karena firman Allah. Ia mendengar mereka berseru dengan suara nyaring: ”Berapa lamakah lagi, ya Penguasa yang kudus dan benar, Engkau tidak menghakimi dan tidak membalaskan darah kami?” (Why 6:9-11). Dan mereka diberitahu supaya beristirahat sedikit waktu lagi. Sampai datangnya waktu Allah. Sementara itu, sudah 19 abad berlalu.
Waktu-waktu yang ditentukan Allah untuk bertindak. Bagaimana gerangan reaksi kita seandainya kita harus berseru-seru selama 7, 25, 80, atau 400 tahun, sebelum Tuhan datang?
Apakah kita tidak akan bertanya: ”Adakah Tuhan di tengah tengah kita atau tidak?” (Kel 17:7). Apakah kita tidak akan mengeluh: Sia-sia kita berseru kepada-Nya? Kapankah janji kedatangan-Nya itu terwujud? (lih 2Ptr 3:4). Apakah hanya para pengejek yang mengajukan pertanyaan-pertanyaan itu? Tidakkah hati kita sendiri juga berpikir ke arah itu? Masih tetap kuatkah pengharapan kita sampai berlalunya ”sedikit waktu” dalam Wahyu 6:11?
Dan mengenai kehidupan kita sehari-hari: Kita berdoa untuk kebutuhan gereja dan bangsa dan dunia. Untuk masa depan anak cucu kita. Itu sungguh bukan perkara yang remeh! Tetapi, apakah ada banyak perubahan sebagai jawaban atas doa-doa kita?
Dan mengenai kehidupan pribadi kita: kita serahkan segala kekhawatiran kita kepada Tuhan (lih Mzm 55:23; 1Ptr 5:7). Itu memang boleh. Dia sendiri yang menyuruhnya. Tetapi kadang-kadang kita ber tanya: manakah tanda-tanda bahwa Dia memelihara kita? Ketika kita jatuh sakit? Kehilangan pekerjaan? Menjadi jompo? Pada saat harus meninggal? Dan seandainya Tuhan menolong pada waktu-Nya, apa kah kita melihatnya? Apakah kita menyadari: Tuhan mendengar juga? Apakah kita berkata, ”Memang, Ia telah berusaha, tetapi tidak satu pun dari kata-kata-Nya meninggalkan kesan?”
Atau, apakah daya regang penantian kita yang penuh harap itu kurang kuat untuk menunggu begitu lama sambil terus memperhatikan datangnya waktu-waktu Allah?
Memperhatikan jalan-jalan Allah
Seorang tukang sepatu yang sudah tua, dan yang taat kepada Tuhan, bercerita tentang pengalamannya di sekitar 1890. Ia bertutur: waktu itu kami sekeluarga begitu miskin, sehingga kadangkadang sama sekali tidak ada uang untuk membeli roti. Dan sering saya berpikir bahwa satu-satunya cara di mana Tuhan dapat menolong kami ialah menyu ruh sebuah dompet ber isi uang tergeletak di balik pintu depan. Tetapi ternyata selalu yang dikirimNya ialah orang yang membawa sepatu rusak, yang harus saya perbaiki. Setelah itu ada lagi uang di rumah kami.
Begitu sederhana, begitu wajarnya Tuhan dapat menolong kita memenuhi kebutuhan kita. Apakah kita pernah memperhatikan itu? Ataukah sebelumnya kita sudah punya penyelesaian siap pa kai di benak kita: sebuah dompet penuh uang yang diletakkan di balik pintu, misalnya? Dan apakah karenanya kita tidak melihat tangan Allah, kalau Ia menolong kita melalui jalan lain, jalan yang biasa saja?
Kita kadang-kadang menatap ke arah timur. Kita pikir: dari situlah pertolongan kita harus datang. Dan kalau pertolongan itu datang dari arah barat, apakah kita melihat tangan Tuhan dalam pertolongan itu?
Kita kehilangan pekerjaan kita. Kita berseru kepada Tuhan untuk menanggulangi hal itu. Tentu saja kita juga membuat dan mengirimkan banyak lamaran. Sesudah menunggu beberapa lama, datanglah panggilan! Dan tentu saja kita berusaha sekuat tenaga untuk bisa diterima. Ternyata... kita terpilih dari sekitar pu luhan pelamar lain! Alangkah senang hati kita!
Tetapi, apakah dalam kejadian yang sangat wajar itu, kita menyadari bahwa doa-doa kita terkabul? Ataukah... sebetulnya kita tidak be gitu kuat berharap agar doa kita dikabulkan, dan berpendapat bahwa ternyata kita mampu menanggulangi masalah itu?
Atau ketika diserang penyakit parah, kita harus dirawat inap.
Diperiksa. Dan harus menjalani operasi berat. Kita menaikkan doa dan permohonan kepada Allah: ”Bapa, tolonglah, beri kami kesembuhan!” Kemudian kita dibawa ke kamar operasi. Semua pengetahuan dan kemampuan ilmu bedah dan perawatan yang canggih dipakai. Ternyata ... operasinya berhasil!
Kita diberi kesembuhan. Kita boleh pulang ke rumah lagi.
Duduk lagi di tempat kita yang biasa. Dikelilingi lagi oleh orangorang yang kita cintai, dan segala benda yang begitu kita kenal. Kita telah berseru minta tolong kepada Allah dan Dia menyembuhkan kita (Mzm 30:3).
Apakah hati dan mulut kita penuh ucapan syukur kepadaNya? Ataukah yang selalu kita bicarakan kalau dibesuk orang ialah ahli bedah yang mengoperasi kita? Dan apakah pengetahuan kita hanya terbatas pada ucapan ini: ”Wah, luar biasa canggihnya dunia kedokteran masa kini?”
Kalau kita hidup dekat firman Tuhan, maka dalam hidup kita sehari-hari kita tidak melihat terjadinya keberuntungan atau kemujuran. Yang kita lihat hanyalah Dia yang penuh kasih menyertai kita.
”Siapa yang mempunyai hikmat? Biarlah ia berpegang pada semua nya ini, dan memperhatikan segala kemurahan Tuhan” (Mzm 107:43).
Sikap itu tidak cocok dengan sifat kita. Kita tidak dapat melakukannya dengan kemampuan sendiri. Tetapi untuk dapat berbuat itu kita boleh berseru kepada-Nya. Supaya Ia mau mengajarkannya kepada kita dengan Roh dan firman-Nya. Lalu kita menyadari: memang benar, Tuhan mendengar. Dia mengabulkan doa.
Banyak anak Tuhan telah mengalaminya berkali-kali. Mereka mengalaminya setiap hari. Dalam perkara-perkara besar. Dalam perkara-perkara kecil. Dalam masalah keluarga. Dalam kesulitan di tempat kerja. Dalam pergaulan dengan para rekan, dengan mahasiswa, dengan pimpinan kantor, dengan bawahan kita. Di gereja. Dalam ber bagai situasi yang tampaknya tak memberi harapan. Di saat-saat kita harus mengadakan pembicaraan yang sulit.
Itu bukan omong kosong yang tidak ada harganya sedikit pun.
Itu adalah kebenaran. Kita dapat mengandalkannya. Kita boleh mengharapkannya. Semua orang yang mau melayani Tuhan pasti mengalaminya.
Tetapi kita harus tahu betul: Tuhan bebas mutlak dalam tindakan-Nya. Ia menolong dan memecahkan persoalan pada waktuNya sendiri. Ia datang melalui jalan-Nya sendiri. Dan jalan itu tidak jarang merupakan sepasang sepatu tua.
Doa-doa yang tidak terkabul?
Apakah kita selalu menerima apa yang kita minta dari Tuhan? Kesem buhan kalau kita sakit, pekerjaan kalau kita menganggur, anak-anak kalau kita mandul? Tentu saja tidak.
Jadi, pernahkah doa orang benar tidak didengar? Itu juga tidak benar. Seandainya itu benar, bagaimana mungkin kita dapat menutup doa-doa kita dengan kata ”amin”?
Tetapi ada perbedaan besar antara keinginan yang tidak terkabul dan doa-doa yang tidak didengar. Kita berpandangan picik, bahkan kadang-kadang kita berdosa dalam cara menyatakan keinginan kita. Tetapi berkat anugerah Allah, kita belajar untuk menyerah kan segala keinginan kita kepada kehendak-Nya (lih 1Yoh 5:14).
Masakan kita mau memanfaatkan Dia untuk membuat segala gagasan kita diterima, melawan kehendak-Nya? Masakan ada orang yang tetap mau hidup, melawan kehendak-Nya? Masakan ada orang yang tetap mau mempertahankan istrinya, anaknya, perusahaannya, posisinya, kalau ia tahu bahwa kemauannya melawan kehendak Tuhan? Siapa berani berbuat begitu? Kalau itu kita lakukan, maka di mana iman kita? Di mana penyerahan kita kepada-Nya? Dan di mana kehormatan Allah?
Di taman Getsemani, Tuhan Yesus melihat seluruh penderitaan dahsyat yang harus dijalani-Nya. Tentu saja hal itu berpe ngaruh kepada-Nya, bukankah Dia hidup sebagai manusia seutuhnya? Sebab itu, Dia mulai menjadi sedih dan gelisah (lih Mat 26:37). Peluhnya menjadi seperti titik- titik darah yang bertetesan ke tanah (lih Luk 22:44). Lalu Ia berdoa: ”Ya, Bapa-Ku, jikalau Engkau ber kenan, ambillah cawan ini dari hadapan-Ku....”
Apakah cara berdoa seperti itu merupakan dosa? Apakah doa itu dinaikkan dalam ketidaktaatan? Apakah dengan doa itu Juruselamat kita membantah kehendak Bapa? Tidak, tetapi itu menunjukkan bahwa Ia ngeri menghadapi jalan gelap yang harus ditempuh-Nya.
”Sesuai kecenderungan sifat manusia untuk menghindar dari kebinasaannya sendiri”, demikianlah catatan pinggir Statenvertaling pada Matius 26:39. Tetapi, bagaimanapun juga, dalam segala hal Ia menye rah kepada kehendak Allah: ”Jikalau sekiranya mungkin... Tetapi janganlah seperti yang Kukehendaki, melainkan seperti yang Engkau kehendaki.”
Jikalau sekiranya mungkin.... Tetapi ternyata itu tidak mungkin. Bapa menghendaki lain, demi kasih-Nya kepada kita. Apakah dengan demikian doa sang Anak tidak dikabulkan?
Memang, doa yang dinaikkan sesuai kecenderungan sifat manusiawi untuk menghindari penderitaan dahsyat, tidak dikabulkan. Tetapi doa-Nya, di mana Ia menyerahkan keputusannya kepada kehendak Bapa-Nya, itulah yang dipenuhi: ”Ia mempersembahkan doa dan permohonan dengan ratap tangis dan air mata kepada Dia, yang sanggup menyelamatkan-Nya dari maut, dan karena kesalehan-Nya Ia telah didengarkan” (Ibr 5:7).
Dan setelah semuanya dilaksanakan-Nya, Bapa-Nya membangkitkan Dia dari dunia orang mati. Itulah doa yang dikabulkan!
Mungkin, kita juga melihat sebuah jalan di depan kita, yang menurut kecenderungan sifat kita sebagai manusia, hendak kita hindari sedapat mungkin. Kita terancam akan kehilangan suami, kehilangan istri, atau anak kita. Kebutaan, kepikunan, rasa stres, semakin mendesak ke arah kita. Ya Bapaku, Ya Bapaku, ambillah cawan ini dari ha dapanku!
Dan bagi kita masalahnya bertambah sulit karena sebagai ma nusia yang berdosa dan berpandangan picik, kita tidak menyelami kebijakan Allah. Kita bahkan nyaris tidak percaya bahwa Dia dapat melihat le bih jauh dan tahu lebih banyak daripada kita. Karena itu, kalimat ”bukan kehendakku melainkan kehendak Bapa”, sangat sulit keluar dari mulut kita. Dan kita sulit menyadari bahwa doa kita didengar kalau keinginan kita tetap tidak terkabul.
Belum lagi kita berbicara tentang teguran Yakobus: ”Kamu berdoa juga, tetapi kamu tidak menerima apa-apa, karena kamu salah berdoa, sebab yang kamu minta itu hendak kamu habiskan untuk memuaskan hawa nafsumu” (Yak 4:3). Kalau demikian halnya, maka dalam berdoa itu, kita sudah melampau batas-batas kesopanan. Kalau memang yang kita pentingkan hanyalah diri kita sendiri.
Jadi, apakah dalam kesesakan kita tidak boleh membawa keinginan yang sangat mendesak kepada Allah? O, itu selalu boleh. Kalau tidak, bagaimana kita bisa hidup di hadapan-Nya? Tetapi datang kepada-Nya dalam nama Kristus, itu berarti juga kita meletakkan segala keinginan kita di bawah hukum Kristus. Hukum yang sama, di mana Dia sendiri telah meletakkan kecenderunganNya yang tercipta dalam diri-Nya. Yakni, hukum berupa ”kehendak-Mu jadi” di mana kita letakkan segala-galanya di tangan Bapa kita yang ada di surga.
Dengan demikian, doa kita selalu benar dan pasti. Sebab doa itu lebih pasti didengar Allah daripada yang menurut perasaan kita, kita pohonkan daripada-Nya. Sebab itu, kita selalu dapat mengatakan ”amin”.