Alkitab bukan akta notaris. Dokumen notaris seperti itu menetapkan dengan saksama dan kaku bagaimana keadaan sebuah perkara, dan hanya itu.
Tidak demikian halnya dengan firman Allah. Di situ Allah berbicara kepada kita, dengan cara mengajak, membujuk, menghibur, mendesak, memerintah, dan kadang mengancam. Tetapi Ia selalu berusaha merebut hati kita. ”Aku berkata kepada orang yang tidak menanyakan Aku: ’Ini Aku, ini Aku’” (Yes 65:1).
Israel sering tidak memahami ajakan itu. Mereka menganggap perjanjian pengampunan Allah sebagai kontrak. Mazmur 50 menyinggung hal itu. Israel berbuat sesuatu: mereka mempersembahkan kurban. Dan sekarang Tuhan harus melakukan juga sesuatu: menjadi Allah mereka.
Sementara itu, hati mereka jauh dari-Nya. Kalau mere ka melihat pencuri, mereka berkawan dengannya. Dengan orang berzinah, mereka senang bergaul (lih Mzm 50:18). Maka datanglah Tuhan kepada umat-Nya dalam api dan badai (lih Mzm 50:3).
Ia mengingatkan mereka kepada perjanjian yang pertama itu.
Akulah Allah, Allahmu! (lih Mzm 50:7). Dengan nada ironis dan sedih Ia bertanya: ”Daging lembu jantan kah Aku makan, atau darah kambing jantankah Aku minum?” (Mzm 50:13).
Dan Ia tidak menganggap sia-sia untuk berusaha lagi merebut hati umat-Nya. Ia menunjukkan kepada mereka jalan yang lebih baik daripada jalan ”jasa ganti jasa”: ”Berserulah kepada-Ku pada waktu kesesakan” (Mzm 50:15a).
Karena kalau dalam perjanjian-Nya, Dia sendiri melicinkan jalan lagi menuju takhta-Nya, maka Israel, atau kita, tidak bebas lagi menentukan apakah kita mau menggunakannya. Karena itu, Dia meme rintahkan kita untuk menempuh jalan itu. Perintah itu bukan tuntutan yang keras, melainkan perintah yang bertujuan menjaga hidup kita. Perintah yang mutlak kita perlukan, seperti udara bagi paru-paru kita.
Sebab itu, perintah dan doa bukanlah dua hal yang bertentangan perintah seperti belenggu yang kuat, sedangkan doa suatu ungkapan hidup yang spontan. Sama sekali bukan. Seperti sebuah tiram menyembunyikan mutiara yang indah, demikian pula perintah Allah mengandung janji-Nya: ”Aku akan meluputkan engkau, dan engkau akan memuliakan Aku” (Mzm 50:15b).
Tidak ada kepentingan yang bertentangan antara Allah dan umat-Nya. Keselamatan kita adalah kemuliaan-Nya. KemuliaanNya adalah keselamatan kita.
Bagai sebuah urat emas perkataan dalam Mazmur 50 itu melintasi seluruh Kitab Suci. Dalam PL, Yoel bernubuat tentang hari Tuhan. Hari yang besar dan dahsyat. Matahari akan berubah menjadi gelap gulita dan bulan menjadi darah. Dan siapakah yang dapat diselamatkan?
Yoel memberi jawabannya: Di gunung Sion dan di Yerusalem tempat Tuhan berdiam, di situlah ada keselamatan. Bagi siapa? ”Barang siapa yang berseru kepada nama Tuhan akan diselamatkan” (Yl 2:32).
Kata-kata itu sedikit berbeda dengan kata-kata dalam Mazmur 50 karena disesuaikan dengan keadaan. Tetapi pada intinya isinya sama: ”Berserulah kepada-Ku pada waktu kesesakan, Aku akan meluputkan engkau, dan engkau akan memuliakan Aku” (Mzm 50:15).
Berabad-abad kemudian, dalam PB, Petrus yang dipenuhi Roh Kudus, berkhotbah pada Hari Pentakosta kepada orang-orang Israel. Dia juga berbicara tentang hari Tuhan yang hebat dan dahsyat. Hari itu akan datang sesudah bumi diliputi darah dan api dan gumpalan-gumpalan asap. Maka siapakah yang dapat diselamatkan?
Jawabannya diberikan dalam Kitab Yoel dan Mazmur 50: ”Dan barangsiapa yang berseru kepada nama Tuhan akan diselamatkan” (Kis 2:19-21).
Dan untuk ketiga kalinya muncullah janji yang sangat berharga itu, yang selalu dapat memberi semangat baru kepada setiap orang yang berdoa. Sekarang muncul dalam surat kepada jemaat di Roma. Juga di situlah, dalam hubungan yang lebih luas, dibica rakan hari penghakiman Allah yang dahsyat itu. Juga tentang pertanyaan siapakah yang dinyatakan benar dalam penghakiman itu. Hanya orang Yahudi? Atau juga orang Yunani?
Janganlah bertanya itu! Gerbang Allah terbuka ke segala arah.
”Sebab tidak ada perbedaan antara orang Yahudi dan orang Yunani. Karena, Tuhan yang sama adalah Tuhan dari semua orang dan bermurah hati kepada semua orang yang berseru kepada-Nya. Sebab, ’siapa saja yang berseru kepada nama Tuhan, akan diselamatkan’” (Rm 10:12-13).
Dalam setiap perjanjian yang tercatat dalam Kitab-kitab Injil, terdengar nada dasar ”janji dalam perintah” itu. Janji itu membuka bagi setiap orang berdosa jalan masuk menuju takhta Allah. De ngan penuh kasih janji itu memberi perintah ini: ”Berserulah kepada-Nya!” Adakah yang masih berhak berkata, ”Saya memang tidak ditakdirkan untuk berdoa?”
Meski begitu, Tuhan mengenal hati manusia. Hati yang takut, yang tidak berani. Hati yang kaku, yang tidak mau. Hati yang keras, yang tidak tergoyahkan. Hati yang lamban, yang selalu kehilangan Dia. Hati kita.
Dan Dia tidak menganggap sia-sia untuk selalu memperdengarkan di seluruh Kitab Suci, tema yang satu itu, yaitu tema: ”Berserulah kepada-Ku” dengan berbagai variasi dan setiap kali disertai motif-motif yang saling berbeda. ”Tidak pernah Aku menyuruh keturunan Yakub untuk mencari Aku dengan sia-sia” (Yes 45:19).
Ia tidak membiarkan kita berseru-seru di bawah langit yang tidak tertembuskan: ”Sebab Ia menyendengkan telinga-Nya kepadaku” (Mzm 116:2).
Tak seorang pun perlu mengira bahwa suaranya tidak terdengar. Sebab sekali lagi janji ini bergema: ”Dia yang menanamkan telinga, masakan tidak mendengar? Dia yang membentuk mata, masakan tidak memandang?” (Mzm 94:9).
Banyak halaman dari buku ini dapat kami isi dengan janjijanji yang sama indahnya. Kami hanya menyebut di sini janji yang satu itu, di mana Tuhan Yesus sendiri, dengan penuh kasih memberi janji dan perintah ini: ”Mintalah, maka akan diberikan kepadamu; carilah, maka kamu akan mendapat; ketuklah, maka pintu akan dibukakan bagimu. Karena setiap orang yang meminta, menerima dan setiap orang yang mencari, mendapat dan setiap orang yang mengetuk, baginya pintu dibukakan. Adakah seorang dari antara kamu yang memberi batu kepada anaknya, jika ia meminta roti, atau memberi ular jika ia meminta ikan? Jadi, jika kamu yang jahat tahu memberi pemberian yang baik kepada anakanakmu, apalagi Bapamu yang di surga! Ia akan memberikan yang baik kepada mereka yang meminta kepada-Nya” (Mat 7:7-11).
Sebab itu: Berserulah kepada-Nya. Mari, kita berseru kepadaNya!
Tetapi mungkinkah itu? Bagaimana orang berdosa, yang sudah mati dapat berseru kepada Allah? Memang, itu tidak mungkin. Untuk itu harus terjadi keajaiban lebih dahulu. Dan sampai sekarang pun keajaiban masih terjadi. Sebab perbuatan Allah Yang kudus adalah ajaib (lih Kel 15:11). Ia memanggil orang yang sudah mati dan mereka hidup kembali oleh Injil-Nya.
Melalui Roh Kudus, Ia menerangi akal kita, sehingga kita memahami dengan baik panggilan firman-Nya. Melalui Roh yang sama itu, Ia menembus dengan firman-Nya kuat-kuat ke dalam diri kita. Dan kita menjadi manusia yang berbeda. Kita dilahirkan lagi. Kita dilahirkan kembali. Hati kita yang tertutup, dibukaNya. Bagian yang keras di dalamnya, dilunakkan-Nya (PAD III/IV, 11).3 Dia membuat kemauan kita yang sudah mati, menjadi hidup; kemauan kita yang jahat, menjadi baik; yang mula-mula tidak mau, sekarang mau; yang keras kepala, kini menurut. Entahlah bagaimana hal itu terjadi. Secara supernatural, dengan rahasia, tak terbayangkan.
Benar-benar keajaiban, tidak kurang ajaib daripada menghidupkan kembali orang yang sudah mati (PAD III/IV, 12).4 Tidak kurang hebat daripada menciptakan hal yang baru (lih 2Kor 5:17).
Dan tangisan pertama bayi yang baru lahir merupakan doa:
”Ya Allah, kasihanilah aku orang berdosa ini” (Luk 18:13). Melalui tangga janji-janji Allah (menurut Calvin) manusia yang baru, naik sampai kepada takhta Allah yang mulia. Di situ ia berseru kepadaNya (Institutio III.20:14).5
Sebab hanya dalam janji-janji Allah kita mendapatkan keberanian kita. Meskipun kita harus mengakui, berulang kali, bahwa kita tidak layak hidup di hadapan Allah, bahkan segala kesalehan kita mirip kain kotor (lih Yes 64:6), namun kita berpegang juga pada ”perintah beserta janji” Allah yang diberikan dengan penuh kasih. Dan kita berkata, ”Tuhan, Engkau sendiri telah memerintahkan dan menjanjikannya. Karena itu aku berseru kepada-Mu.”
Karena itu, Ia mendengar doa kita. Sebab Ia senang mendengarkan doa-doa kita. Itu telah ditegaskannya, baik di dalam PL maupun dalam PB. Dengan kata-kata penuh janji. Dengan tandatanda ajaib. Dengan tindakan-Nya menyerahkan Anak-Nya yang tunggal.
Di dalam PL, dua kali sehari seorang imam harus mempersembahkan kur ban bakaran dupa wangi di atas mezbahwangi wangian dari emas (lih Kel 30:7-10), sementara umat berdoa di luar, di pelataran depan (lih Luk 1:10).
Kalau seorang tuan rumah di Timur hendak menghormati tamunya, ia membakar dupa yang wangi bagi tamu tersebut. Demikianlah Tuhan dihormati dengan persembahan kurban wangiwangian. Dan umat tahu:
Tuhan suka mencium bau persembahan penghormatan itu. Bukankah Dia sendiri yang menetapkan peraturan itu? Umat tahu juga: seperti asap kurban wangi-wangian membubung tinggi, begitu pula doa-doa kita boleh naik sampai ke takhta Allah. Dan Tuhan senang mendengar doa-doa itu.
Demikianlah Israel belajar untuk menghadap Allah dengan berani: ”Ya Tuhan, aku berseru kepada-Mu, datanglah segera kepa daku; berilah telinga kepada suaraku, waktu aku berseru kepada-Mu! Biarlah doaku adalah bagi-Mu seperti persembahan ukupan, dan tanganku yang terangkat seperti persembahan korban pada waktu petang” (Mzm 141:1, 2).
Dan bagaimana janji itu terdengar di dalam PB? Di situ tidak ada tanda-tanda ajaib lagi. Kini yang penting bukan bayangannya lagi, melainkan kenyataannya (lih Ibr 10:1). Sebab sekarang Tuhan memberi kan Pengantara-Nya (lih 1Tim 2:5). Dan dalam nama-Nya, yang melebihi segala kurban wangi-wangian, kita sekarang dapat datang kepada Bapa dengan berani. Sebab Bapa mengasihi Dia: ”Inilah Anak-Ku yang ter kasih, kepada-Nyalah Aku berkenan, de ngarkanlah Dia” (Mat 17:5).
Dengarkanlah Yesus kalau Ia berkata, ”Apa pun yang kamu minta dalam nama-Ku, Aku akan melakukannya... Jika kamu meminta sesuatu kepada-Ku dalam nama-Ku, Aku akan melakukannya” (Yoh 14:13-14).
Dengarkanlah Yesus kalau Dia meyakinkanmu: ”Sesungguhnya Aku berkata kepadamu: Segala sesuatu yang kamu minta kepada Bapa, akan diberikan-Nya kepadamu dalam nama-Ku” (Yoh 16:23).
Dengarkanlah Yesus, kalau Ia membuka pintu Allah bagi kita:
”Mintalah, maka akan diberikan kepadamu; carilah, maka kamu akan mendapat” (Mat 7:7).
Sebab, seberapa pun janji Allah, di dalam Kristus, janji-janji itu pasti dipenuhi. Sebab itu, karena melalui jalan janji-janji itu kita boleh menghadap Allah, maka oleh karena Yesus juga, pernyataan ”amin”, bertujuan memuliakan Allah (lih 2Kor 1:20).
Seorang pria tua, yang sejak remaja selalu beribadah kepada Tuhan, ditanyai orang: ”Dosa paling besar manakah yang pernah Anda lakukan dalam hidup Anda?” Ia menjawab, ”Dosa terbesar saya ialah saya tidak selalu percaya kepada Tuhan.”
Percaya ialah napas kehidupan bagi pergaulan kita dengan Allah. Jadi, juga napas kehidupan doa kita. Percaya berarti, kita yakin bahwa semua janji Allah berlaku bukan saja untuk orang lain, melainkan juga untuk kita. Kita yakin juga bahwa Tuhan mendengar suara kita kalau kita berseru kepada-Nya. Bahwa Dia juga memperhatikan permohonan kita, yang telah kita naikkan kepada-Nya dalam keadaan apa pun. Bahwa mata-Nya juga tertuju kepada kita (lih Mzm 32:8).
Percaya berarti bahwa dalam segala sakit derita, kita berpegang pada keteguhan janji-janji-Nya. Bahwa kita tahu dan yakin Allah yang hidup berada sangat dekat dengan kita. Dalam kepercayaan itu kita datang kepada-Nya. Sebab karena belas kasihan-Nya, jurang di antara Dia dan kita, telah dijembatani. Karena belas kasihan itu, hati Yang Mahakudus Israel mendekati hati kita. Karena belas kasihan itu, kita bisa menyerahkan diri kepadaNya.
Apakah dosa kita begitu besar? Begitu mengerikan? Begitu dahsyat dan memalukan, sehingga melampaui segala pengetahuan manusia? Dia mengetahuinya. Dia sudah mengetahuinya sebelum kita berseru kepada-Nya. Kita tidak dapat, dan tidak perlu, menyembunyikan dosa-dosa itu dari-Nya. Dia menyelidiki dan menge nal hati kita (lih Mzm 139:23). Dosa-dosa itu tidak ada lagi di antara Dia dan kita. Sebab Dia sendiri menghapuskannya ketika diserahkan-Nya Anak Domba Allah, yang menghapus dosa dunia (lih Yoh 1:29).
Apakah hidup kita menjadi gelap? Apakah kita dikurung kesukaran? ”Engkaulah harapanku, ya Tuhan, kepercayaanku sejak masa muda, ya Allah” (Mzm 71:5).
Melalui tangga janji-janji Allah, kita naik sampai ke takhta Allah. Kita telah meletakkan doa permohonan kita di hadapan-Nya. Lalu, dalam nama Tuhan kita Yesus Kristus, kita menutup doa-doa kita dengan kata singkat ”amin”.
Kepercayaan kita, pengharapan kita, dan keyakinan kita, semuanya kita nyatakan dalam kata singkat itu: amin! Apa yang kita doakan adalah benar dan pasti. Sebab, doa kita jauh lebih pasti didengar Allah, daripada perasaan kita bahwa itulah yang kita inginkan dari Allah (KH p/j 129).6
Puji syukur kita sudah lebih dahulu terkandung dalam kata singkat itu. Sebab itu, kita tak boleh memakai kata amin itu dengan sembarangan. Hanya sebagai penutup doa, tak lebih dari itu. Hati kitalah yang harus mengatakannya. Kata itulah yang boleh berbicara di hati kita berdasarkan janji-janji Allah yang teguh dan tak tergoyahkan.