5. APAKAH BERDOA ADA GUNANYA?

Sesungguhnya, apa gunanya kita berdoa? Bukankah Allah mengetahui segala sesuatu? Kalau begitu, apakah yang masih perlu kita katakan kepada-Nya?

Lagi pula, bukankah Allah bekerja dalam segala hal sesuai kepu tusan-Nya yang abadi? Jadi, bukankah semuanya sudah ditentukan sebelumnya? Dapatkah kita mengubah ketentuan itu dengan jalan berdoa untuk mendobrak atau menentangnya?

Pergaulan yang hidup

Di atas tadi, diucapkan sebuah kata yang bisa dipakai Iblis untuk menyusahkan kita: Keputusan Allah yang abadi. Keputusan Allah dan doa kita, sesuaikah kedua hal itu? Ya, sangat sesuai! Bahkan begitu sesuai sehingga kalau kita hendak mengetahui apa gunanya kita berdoa, kita jus tru harus mengambil keputusan Allah itu sebagai titik awal kita.

Sebab demikianlah Allah mempertimbangkan dengan diriNya sendiri, apakah sesudah menciptakan para malaikat, hewan, tanaman, bintang, dan batu-batuan, akan dibuat-Nya juga manusia. Dan apakah kemudian Dia mau mengadakan pergaulan yang hidup dengan manusia itu. Pergaulan Dia dengan mereka. Dan pergaulan mereka dengan Dia. Pada waktu hari sejuk Allah berjalanjalan di Taman Eden tempat tinggal manusia (lih Kej 3:8).

Begitulah sejak semula Allah berpikir tentang kita, yakni bahwa Dia tidak menghendaki keadaan tanpa kita. Dan sesuai ketentuan-Nya, Ia menciptakan kita begitu rupa sehingga kita pun, dari pihak kita, tidak dapat hidup tanpa Dia kita terikat kepadaNya. Hati kita tidak menemukan ketenangan hingga kita menemukannya di dalam Allah semata (Agustinus).

Dosa telah mengganggu ketenangan itu. Kita menjadi musuh Allah. Itulah akhir pergaulan dengan Tuhan. Namun ketentuan Allah yang abadi tidak rusak karena terbentur dosa kita. Sebab melalui Firman dan Roh-Nya, Allah sendiri menciptakan lagi mitra-mitra ber bicara bagi diri-Nya sendiri. Dan di situ Dia menemukan lagi kegembiraan-Nya, yakni bahwa orang-orang berdosa yang sudah diberi-Nya hidup, datang lagi kepada-Nya, hidup lagi bagi-Nya dan di hadapan-Nya, berbicara dan berdoa lagi kepadaNya.

Dan karena Dialah, hidup baru di dalam diri kita menjangkau lagi kepada Dia yang Hidup. Seperti tanaman yang berpaling kepada matahari. Pergaulan yang semula dapat berkembang lagi.

Sebagai Allah, yang tetap ada dan tetap Allah Aku adalah Aku, artinya: tetap setia dan tepercaya begitulah Ia ingin dipanggil oleh kita (lih Kel 3:15). Allah ingin bergaul dengan umat-Nya.

Dan tidak pernah lagi peristiwa kejatuhan dalam dosa dapat mengganggu apa yang telah diperbaiki Allah di dalam Kristus: ”Lalu aku melihat langit yang baru dan bumi yang baru... Lalu aku mendengar suara yang nyaring dari takhta itu berkata: ’Lihatlah, kemah Allah ada di tengah-tengah manusia dan Ia akan tinggal bersama-sama dengan mereka. Mereka akan menjadi umat-Nya... dan menjadi Allah mereka’”(Why 21:1-3).

Pergaulan dan hubungan dengan Dia tetap berlangsung kekal dan abadi. Sesuai ketentuan-Nya.

Mengalami pergaulan itu

Nah, dalam hidup kita sehari-hari, kita juga boleh mengalami pergaulan itu. Ya, mengalaminya dalam segala tingkah laku kita di hadapan wajah Allah. Dan juga dalam doa kita.

Manusia adalah satu-satunya makhluk berdarah daging yang dapat berbicara. Yang memang harus berbicara. Harus menyatakan diri ter hadap sesama manusia. Dan lebih-lebih, harus mencurahkan isi hatinya terhadap Penciptanya dan Juruselamatnya. Manusia adalah satu-satunya makhluk yang dapat menyapa Dia dan yang tidak dapat hidup tanpa menyapa-Nya.

Sebab itu, dengan penuh kasih, Allah memberi kita perintahNya untuk berdoa. Dan dalam memberi perintah itu Ia menyesuaikan diri-Nya sepenuhnya dengan apa yang Dia sendiri telah ciptakan dan ”ciptakan ulang” dalam diri kita. Itu berarti dengan penuh rindu, Ia menantikan kedatangan kita. Seperti bapak yang merindukan anaknya yang hilang.

Dan bilamana kita tidak selalu mengingat bahwa pergaulan dengan Tuhan itu mutlak kita perlukan dalam hidup kita, maka Dia tidak jemu-jemu mengingatkan kita melalui berbagai janji. Sebab Dia sendiri selalu menyadari bahwa sejak semula diinginkan-Nya pergaulan dengan umat-Nya dan bahwa Ia tetap menginginkannya sampai selama-lamanya. Dia tahu betul, dan Dia selalu tahu, bahwa kita, sesuai ketentuan-Nya, tidak bisa hidup tanpa pergaulan dengan Dia.

Sebab itu, pada satu pihak, pergaulan itu terarah kepada-Nya:

”Pujilah Tuhan, hai jiwaku! Pujilah nama-Nya yang kudus, hai segenap batinku!” (Mzm 103:1). Dan sebab itu juga, pada pihak lain, pergaulan itu terarah kepada kita: ”Curahkanlah isi hatimu di hadapan-Nya” (Mzm 62:9).

Dan kalau kita ingin membaca dalam satu ayat Kitab Suci mengenai pergaulan yang terarah pada kedua pihak, yakni ke arah Tuhan dan ke arah kita, inilah dia: ”Siapa yang mempersembahkan syukur sebagai korban, ia memuliakan Aku; siapa yang jujur jalannya, keselamatan yang dari Allah akan Kuperlihatkan kepadanya” (Mzm 50:23).

Dalam ketentuan Allah, kemuliaan-Nya tidak pernah berlawanan dengan keselamatan kita.

Gunanya kita berdoa

Apakah gunanya kita berdoa? Supaya keinginan kita selalu dipenuhi? Bukan, melainkan supaya kita bergaul dengan Tuhan. Supaya kita berjalan bersama Dia. Supaya kita mencurahkan isi hati kita kepada-Nya. Pergaulan itulah yang dikehendaki-Nya. Dalam pergaulan itu, Dia yang pertama dan Dia pula yang terakhir.

Sebab semua doa kita berasal dari Dia, dan ada karena Dia, serta terarah kepada Dia. Dan kita, betapapun remehnya, sama sekali bukan faktor yang tidak berarti dalam pergaulan itu. Itu berlaku bagi si kecil, yang dalam pakaian tidurnya berlutut di depan ranjangnya, sambil berdoa: ”Tuhan, jagalah aku dengan setia di saat aku tidur malam ini.”

Dan berlaku juga bagi orang tua yang berada di ambang kemati an, dan yang hanya dapat berbisik: ”Ke dalam tangan-Mulah kuserahkan nyawaku” (Mzm 31:6).

Sebab demikianlah ketentuan Allah mengenai kita: tanpa pergaulan-Nya dengan umat-Nya, Ia tidak mau menerima kemuliaan-Nya sepenuhnya. Ketentuan-Nya membuat doa kita tidak siasia. Hanya karena ketentuan itu kita bisa dan memiliki alasan untuk menaikkan doa-doa kita.

Informasi Buku

  1. PDF
  2. Penulis:
    H. Westerink
  3. ISBN:
    978-602-8009-43-0
  4. Copyright:
    © De Vuurbaak 1997
  5. Penerbit:
    Yayasan Komunikasi Bina Kasih