12. BUAH-BUAH DOA

Kita tidak berdoa supaya nasib kita menjadi lebih baik. Tetapi kita boleh mengharapkan buah dari doa kita.

”Janganlah hendaknya kamu khawatir tentang apa pun juga, tetapi nyatakanlah dalam segala hal keinginanmu kepada Allah dalam doa dan permohonan dengan ucapan syukur. Damai sejahtera Allah, yang melampaui segala akal, akan memelihara hati dan pikiranmu dalam Kristus Yesus” (Flp 4:6-7).

Damai sejahtera Allah, itulah buah yang dijanjikan Tuhan atas doa kita. Damai sejahtera itu sudah pasti boleh kita harapkan.

Damai sejahtera Allah

Lantas apakah arti damai sejahtera Allah? Artinya, bukan bahwa semua keinginan kita selalu dan langsung dikabulkan. Artinya, bukan juga suatu perasaan yang tak dapat dijelaskan bahwa Tuhan pasti akan melakukan sesuatu yang sejalan dengan kehendak kita. Perasaan begitu kadang-kadang disebut percaya!

Dalam Alkitab, damai sejahtera berarti bahwa semuanya baik.

Semuanya utuh dan sempurna. Semuanya ada di tempatnya masing-masing. Semuanya berfungsi dengan baik. Damai sejahtera itu ada di Taman Eden dahulu. Pertama-tama antara Tuhan Allah dan manusia. Jadi, juga antara Adam dan Hawa. Antara manusia dan seluruh ciptaan lainnya. Maka Allah melihat bahwa segala yang dijadikan-Nya itu sungguh amat baik (lih Kej 1:31).

Damai sejahtera itu telah kita rusak. Tetapi dalam perjanjian damai- Nya, Tuhan telah memperbaiki damai sejahtera itu (lih Yes 54:10). Dalam perjanjian itu Ia membagi-bagikan perdamaian lagi: ”Tuhan memberkati engkau dan melindungi engkau; Tuhan menyinari engkau dengan wajah-Nya dan mem beri engkau kasih karunia; Tuhan menghadapkan wajah-Nya kepadamu dan memberi engkau damai sejahtera” (Bil 6:24-26).

Dengan kata-kata itulah para imam harus memberkati umat Allah. Dan itu bukan keinginan seorang imam yang saleh dan baik hati, tanpa punya kekuatan apa pun. Bukan, melainkan Tuhan Allah sendiri ada di balik kata-kata para imam itu: ”Demikianlah harus mereka meletakkan nama-Ku atas orang Israel, maka Aku akan memberkati mereka” (Bil 6:27).

Perjanjian damai itu diteguhkan dalam Tuhan Yesus Kristus.

Dalam darah-Nya. Sekarang Dia sendiri menjadi damai sejahtera kita (lih Ef 2:14-16). Karena itulah sekarang ini dalam setiap ibadah gereja, damai sejahtera Allah dapat diletakkan juga di atas kita: ”Anugerah dan damai sejahtera dari Allah, Bapa kita, dan dari Tuhan Yesus Kristus menyertai kamu” (1Kor 1:3). Dan itu bukan juga keinginan yang tak ada kekuatannya, yang diucapkan seorang pendeta yang suka membantu. Bukan: melainkan begitulah Tuhan, lewat mulut hamba-Nya, meletakkan perjanjian damai-Nya ke atas kita. Dan Dia sendiri ada di balik kata-kata itu.

Semuanya sudah baik lagi antara Allah dan kita. Semuanya licin kembali. Tidak ada lagi sesuatu yang memisahkan Dia dari kita. Damai sejahtera itu meresap dalam hidup kita sebagai rasa hangat yang nyaman. Sebab sekarang kita tahu lagi tempat kita pada-Nya. Sekarang kita tahu dan kita alami juga bahwa Dia memelihara kita beserta segala masalah dan kebutuhan kita. Sekarang kita bisa lagi merasa tenang pada-Nya. Merasa pasti dalam Dia. Seperti dahulu di Taman Eden. Sekarang kita tahu bahwa Tuhan dapat membuka jalan bila kita tidak melihat jalan lagi dan bahwa kita hidup dari tangan-Nya saat demi saat.

Itulah damai sejahtera Allah. Dan itu telah dijanjikan dengan pasti kepada kita.

Melampaui segala akal Damai sejahtera itu lebih unggul dari segala akal. Kita mencoba dengan bantuan akal kita supaya apa pun yang sangat kita inginkan terkabul. Kita mengatur. Kita sibuk berusaha. Kita menyusun rencana. Dan kalau semuanya sudah beres dan siap, kita merasa puas.

Itu boleh saja, bahkan harus. Akal adalah karunia Allah dan kita memang harus memakainya untuk bersiap-siap menghadapi masa depan. Hal itu telah diajarkan oleh Alkitab: ”Hai pemalas, pergilah kepada semut, perhatikanlah lakunya dan jadilah bijak” (Ams 6:6).

Dan seorang wanita yang malas mengurus dan memelihara seisi rumahnya disebut murtad dan lebih jahat daripada orang yang tidak ber iman (lih 1Tim 5:8).

Tetapi akal kita terbatas, lagi pula digelapkan oleh dosa. Sebab itu kadang-kadang akal itu mengecewakan. Kita tidak mungkin meninjau segala sesuatu, apalagi melihat semuanya lebih dahulu atau memeriksanya sepintas lalu. Karena itu, apa yang terjadi, sering berbeda dengan apa yang kita sangka. Dan damai sejahtera yang telah kita peroleh berkat pertimbangan akal kita menjadi goyah. Dalam damai sejahtera itu kita tidak mungkin merasa tenang sepenuhnya.

Tetapi besarlah Tuhan kita, berlimpah kekuatan-Nya, dan tidak terhingga kebijaksanaan-Nya (lih Mzm 147:5). Tidak pernah Ia merasa kewalahan. Tidak pernah Ia perlu memberi alasan: bagaimana mungkin Aku mengetahui keadaan ini sebelumnya. Atau: keadaan itu tak sampai terpikir oleh-Ku. Atau: tak mungkin Aku mencegah keadaan itu.

Sebab itulah, damai sejahtera-Nya melampaui segala damai sejahtera yang dihasilkan akal kita. Dan dalam damai sejahtera-Nya itu, kita dapat merasa tenang sepenuhnya.

Diselamatkan oleh damai sejahtera Allah

Karena damai sejahtera itu juga, maka ayat 6 dalam Flp 4 dapat dimulai dengan kata-kata: ”Janganlah hendaknya kamu khawatir tentang apa pun juga”.

Khawatir. Kata itu berarti bahwa kita tidak percaya sepenuhnya kepada Allah. Bahwa kita tidak berani menyerahkan semua perkara ke dalam tangan-Nya. Bahwa kita tidak berani meninggalkan perkara pada-Nya. Bahwa sebetulnya kita tidak yakin perkara itu aman pada-Nya.

Khawatir. Itu berarti kita sendiri ingin mengatur dan memegang kemudi. Tidak seorang pun mampu melakukan itu. Kalau kita melakukannya, akibatnya kita menjadi takut; cemas; gelisah. Segala sesuatu kita olah dan pertimbangkan matang-matang.

Kita mengandalkan keadaan. Kita terombang-ambing kesana kemari. Bunyi daun yang ditiupkan angin pun akan mengejutkan kita (lih Im 26:36). Kita merindukan damai sejahtera Allah. Soalnya, kita tidak hidup dengan berpegang pada apa yang diberitahu firman-Nya kepada kita, yakni mengenai akal kita sendiri yang goyah. Dan mengenai pimpinan-Nya yang agung: ”Hati manusia memikir-mikirkan jalannya, teta pi Tuhanlah yang menentukan arah langkahnya” (Ams 16:9).

Akal kita tidak dapat menciptakan damai sejahtera yang langgeng di dalam hati kita. Yang langgeng hanyalah damai sejahtera Allah. Damai sejahtera Allah melindungi hati dan pikiran kita. Hati kita itu lah batin kita yang paling dalam. Pikiran kita itulah segala apa yang kita pikirkan.

Semua itu dijaga. Dilindungi. Pikiran kita tidak lari kemana-mana seperti kuda lepas kendali. Pikiran-pikiran yang menakutkan, yang timbul menyerbu kita, tidak mengejar-ngejar kita.

Hati kita terkait teguh pada sauh yang kuat dan aman (lih Ibr 6:19). Seperti pasukan militer menjaga ketat pangkalannya, begitu pula kita dijaga. Musuh dari luar tidak dapat menyentuh kita. Dan di dalam pangkalan itu tidak ada rasa putus asa, melainkan kepercayaan teguh. Berkat Yesus Kristus, Tuhan kita sendiri, yakni damai sejahtera kita.

Kalau begitu, apakah kita tidak punya keinginan lagi? Apakah kita tidak ingin melihat keinginan itu terkabul? Misalnya: Kesembuhan bagi suami kita, istri kita, anak kita atau kita sendiri? Apakah kita tidak ingin rasa tegang kita dihapus? Juga sakit kita? Juga kesepian?

Adakalanya, di depan wajah Allah kita merasa sangat bahagia, tetapi adakalanya kita juga sangat sedih. Tetapi meskipun begitu, dalam dua keadaan itu, kita tetap dilindungi oleh damai sejahtera-Nya. Meski pun begitu, kita yakin dalam hati kita bahwa Dia membuat semua hal bekerja untuk kebaikan kita. Meskipun begitu, kita merasa pasti bahwa tidak ada yang dapat memisahkan kita dari kasih Allah, yang ada dalam Kristus Yesus, Tuhan kita. Tuhan yang adalah damai sejahtera kita (lih Rm 8:28, 39).

Kita tidak berdoa supaya nasib kita menjadi lebih baik. Tetapi nasib kita memang menjadi lebih baik. Sebab kalau kita dilindungi oleh damai sejahtera Allah, itu berarti kesembuhan bagi tubuh, jiwa, dan pikiran kita. Siapa yang dilindungi Allah, pasti selamat (lih Mzm 73:28).

Idealisme Kristen

Apakah kita selalu mengalami bahwa kita selamat karena dilin dungi Allah? Apakah dalam segala keadaan, kita dapat berpegang teguh pada perlindungan itu? Siapakah yang dapat menjawab ”ya” dengan sepenuh hati? Dan menurut beberapa orang, jawaban ”ya” demikian itu memang seharusnya diberikan.

Mereka punya gagasan sendiri bagaimana seharusnya kelakuan orang Kristen. Mereka punya cita-cita mengenai kekristenan yang harus mereka capai dan yang mereka pakai untuk mengukur dirinya sendiri dan juga orang lain. Orang Kristen harus selalu merasa tenang. Jadi, dia juga merasa tenang. Orang Kristen harus selalu gembira. Jadi, dia selalu gembira. Dia selalu gembira ria. Ucapan ”puji Tuhan” selalu siap diucapkannya. Sebab dengan cara itu, menurut pendapatnya, ia menjadi saksi hidup Kristus.

Domba-domba yang lemah dalam kawanan yang dibimbing Gembala yang baik mudah terkesan oleh gagasan itu. Dan mereka juga tertekan olehnya. Soalnya, dengan menyesal mereka harus mengakui bahwa mereka tidak selalu gembira. Tidak selalu berso rak-sorai. Wajah mereka tidak selalu mencerminkan rasa syukur yang meluap-luap. Dan akibatnya, mereka merasa diri sebagai saksi buruk bagi Juruselamat mereka.

Juruselamat mereka? Ada bahaya besar yang mengancam mereka, yaitu bahwa mereka terdesak sehingga menjauhi Dia. Bahwa Iblis tak hentinya mengganggu mereka. Iblis bertanya, tidak adakah kegembira an? Tetapi, adakah kepercayaan? Tidak adakah rasa tenang di dalam Tuhan? Tetapi, adakah doa yang serius? Adakah hu bungan yang baik antara Dia dan Anda? Ataukah Anda tidak pasti tentang hal itu? Dan mungkin karena itukah damai sejahtera Allah tidak dapat memenuhi hati Anda?

Ya, dan kalau Allah tidak mencegahnya, Iblis masih terus bertanya: Kenapa Anda tidak berhasil juga menemukan damai sejahtera Allah? Kalau begitu, di mana Allah Anda? Apakah Dia benar-benar ada? (lih Mzm 42:4). Maka sebuah jurang yang dalam dan kelam bisa terbuka di depan kaki kita.

Gambaran mengenai orang Kristen ideal merupakan patung berhala. Patung itu tidak melindungi hati dan pikiran kita di dalam Kristus Yesus. Hanya damai sejahtera Allah yang dapat memberi perlin dungan.

Bagaimana caranya?

Bagaimanakah damai sejahtera itu melindungi kita? Banyak orang merindukan ketenangan dan kepastian, tetapi hati mereka tetap tidak tenang. Kita dapat mengulurkan tangan kita ke arahnya seperti orang yang kehausan meraih air. Bagaimana, oh bagaimana kita mendapat bagian dari ketenangan itu?

Jawabannya? Itu tidak terjadi di luar kita sendiri. Damai sejahtera Allah tidak ditiupkan angin ke arah kita. Damai itu datang ke dalam hidup kita melalui jalan Filipi 4:6. Jalan doa dan permohonan dengan ucapan syukur.

Janganlah hendaknya kamu khawatir tentang apa pun juga.

Nyatakanlah dalam segala hal keinginanmu kepada Allah (lih Flp 4:6). Keinginan kita. Yang dimaksudkan bukannya segala apa yang timbul dalam pikiran kita. Sebaliknya, keinginan yang kita nyatakan itu sudah kita pertimbangkan baik-baik. Yang sangat kita dambakan. Yang selalu memenuhi hati kita.

Dalam segala hal. Dapatkah seseorang menyebut suatu hal yang tidak termasuk di dalamnya? Apa pun yang terjadi dalam hidup kita, hal yang kecil atau besar, kita boleh membawanya dengan khidmat kepada Tuhan. Kecemasan mengenai hidup, makanan, minuman, pakaian? Dia tahu bahwa kita sangat memerlukannya (lih Mat 6:25-34). Masalah dalam perkawinan, pendidikan, atau pengangguran? Kita boleh menyampaikan semua itu secara pribadi kepada Dia.

Mungkin kita sedang menghadapi keadaan di mana kita harus mengambil keputusan yang sangat berarti. Mungkin kita sedang menunggu jawaban sebuah lamaran penting. Mungkin kita meng hadapi ulangan ujian, ujian akhir. Mungkin kita sedang menghadapi ke sulitan sehari-hari dalam rumah tangga. Semua masalah dan kesulitan itu boleh kita bawa masuk ke dalam is tanaNya yang agung, dan meletakkannya di depan kaki Tuhan. Dengan demikian kita menarik Tuhan dekat-dekat kepada kita, supaya dengan nyata Ia membuktikan kehadiran dan pertolongan-Nya.

Sebagai orang-orang yang bijaksana

Dan kita menarik Tuhan kepada kita, dengan melibatkan diri kita sendiri, bukan dengan meniadakan keterlibatan kita. Kita melibatkan akal kita. Juga kemampuan kita sendiri dan kemampuan orang lain. Ada pendapat yang sangat aneh mengenai hidup dari tangan Allah. Misalnya saja, ada orang yang bertanya: ”Bolehkah kita berobat kepada dokter dan minum obat kalau kita sakit? Bukankah itu bukti bahwa kita tidak beriman? Jadi, haruskah akal dan pertolongan manusia kita kesampingkan?”

Di masa lalu, di padang gurun, Israel hanya dipimpin oleh Tuhan sendiri. Dalam tiang api dan tiang awan, Dia berjalan di depan umat-Nya. Pernahkah ada penjagaan yang lebih hebat daripada itu?

Meskipun begitu, Musa yang setia dalam segenap rumah Allah (lih Ibr 3:2), berkata kepada kepada iparnya, Hobab, ”Ikutlah bersama-sama dengan kami,... sebab engkaulah yang tahu, bagaimana kami berkemah di padang gurun, maka engkau dapat menjadi penunjuk jalan bagi kami” (Bil 10:29-31).

Musa menginginkan seorang pemimpin perjalanan. Seorang penunjuk jalan. Padahal dia sendiri sudah punya banyak pengalaman mengenai kehidupan di padang gurun. Bukankah selama 40 tahun ia mengembara di padang gurun sambil menggembalakan kawanan domba ayah mertuanya? (lih Kel 3:1). Tetapi sambil berjalan di bawah tiang awan itu, ia ingin sekali memanfaatkan pengetahuan seorang penghuni asli padang gurun.

Sungguh menyedihkan kalau ada orang-orang yang demi keagamaan ideal tidak mau pergi kedokter kalau mereka sakit.

Sikap demikian terlihat sebagai kekristenan ideal. Dan ideal seperti itu merupakan tuan yang kejam. Sikap itu sungguh menyedihkan karena dengan demikian belas kasihan Allah tidak diakui. Dan pengajaran firman Allah diabaikan. Seakan-akan Dia yang datang menolong umat-Nya dengan perantaraan pengetahuan Hobab melarang kita memanfaatkan pengetahuan dan kemampuan seorang dokter.

Kita tidak dituntut Tuhan supaya jangan menggunakan akal kita dan berbagai sarana. Yang diminta-Nya ialah supaya kita jangan menggunakannya karena tidak percaya kepada-Nya. Demikianlah Ia mendidik kita. Misalnya, dengan memberi keterangan mengenai Hobab, yang bahkan bukan orang Israel. Kita boleh dan harus berusaha keras. Dalam pekerjaan kita. Dalam sakit penyakit. Dalam kecemasan. Dan mengenai hasil usaha kita itu, kita harus menantikannya dari Tuhan, sambil berdoa. Dengan doa dan permohonan dan pengucapan syukur.

Orang-orang Kristen dari darah dan daging

Dengan jalan itu kita dilindungi. Bukan sebagai kaum idealis yang percaya kepada suatu gambaran, melainkan sebagai orang Kristen yang berdarah dan berdaging. Yang bisa jatuh sakit. Yang dapat merasa lapar. Yang dapat merasa sedih. Yang bisa diliputi ketakutan. Yang dapat menanggung beban berat: ”...aku telah menanggung kengerian dari pada-Mu, aku putus asa” (lih Mzm 88:16).

Semua itu bukan dosa. Bukan berarti bahwa kita jatuh dari tangan Allah. Di Getsemani Tuhan Yesus sendiri merasa sangat sedih dan gelisah, seperti mau mati rasanya.

Karena takut-Nya ia berseru kepada Allah sambil mencucurkan air mata (lih Mat 26:37-38). Tak seorang pun perlu merasa bersalah karena mengucurkan air mata (lih Ibr 5:7). Tak perlu juga seseorang ber pura-pura gembira padahal dagingnya dan hatinya habis lenyap (lih Mzm 73:26). Tuhan tidak sekejam itu sehingga menuntut hal itu dari anak-anak-Nya. Bahkan sebaliknya: ”Orang yang menyanyikan nyanyian untuk hati yang sedih adalah seperti orang yang menanggalkan baju di musim dingin” (Ams 25:20).

Itulah firman Allah. Demikianlah ia mendidik kita sesuai sifat manusiawi kita. Dalam hidup kita ada ruang untuk kesedihan, di mana Allah tetap melindungi kita dengan damai sejahtera-Nya.

Ketika Allah berdamai dengan kita dalam Yesus Kristus, Dia sudah tahu kita ini apa. Waktu itu Dia tahu betul bahwa kita ini debu. Sebab itu diberikan-Nya kepada kita seorang Imam Besar, yang dapat turut merasakan kelemahan-kelemahan kita. Yang dalam segala hal di cobai seperti kita (lih Ibr 4:15).

Rumah Allah yang penuh damai sejahtera bukanlah rumah perhambaan. Di situ kita tidak didera supaya terus maju. Di situ siapa pun tidak usah hidup lebih tinggi daripada status rohaninya.

Adakalanya, kita orang berdosa merasa kurang damai. Ada saat-saat di mana kita tidak puas. Karena bisnis kita kurang maju. Karena kita gagal membina keluarga. Atau kita kurang sehat. Maka jauh di lubuk hati kita, boleh jadi kita memberontak. Sebab tidak ada satu dosa pun yang asing bagi kita (lih 1Yoh 1:8).

Meski pun kita telah dilahir kan kembali oleh Roh Allah, bagi seorang anak Allah, saat-saat tadi sangat gelap dan ber bahaya (PAD V, 1).9 Tetapi kemudian, Allah yang kaya akan rahmat, tidak menjauhkan sama sekali Roh Kudus dari kita, orang-orang milikNya. Ia tidak membiarkan kita menghadapi nasib kita sendiri, sehingga kita berpaling daripada-Nya untuk selamanya (PAD V, 6).10 Dia membuat kita kembali mencari perlindungan kepada Jurupenengah kita satu-satunya. Sang juru Damai kita. Maka rasa tidak damai, serta pemberontakan di hati kita yang ditimbulkan oleh segala kegagalan kita, berubah menjadi rasa tidak puas dengan diri kita sendiri. Menjadi rasa benci dan jijik terhadap diri kita sendiri karena kita kurang percaya kepada Dia. Begitu lah jalannya damai Allah melindungi kita dengan kuat.

Langkah demi langkah

Di jalan itu kita berjalan langkah demi langkah selama hidup kita yang panjang. Di situ kita belajar bagaimana Tuhan dapat bertindak dengan kita. Kita bertambah pengalaman. Juga pengalaman berdoa. Orang muda. Orang tua. Dalam sukacita. Dalam dukacita. Ketika ada penambahan hidup dan ketika ada kehilangan hidup. Apakah damai Allah tidak dapat mengangkat kita di atas semua kesulitan?

Menolong kita begitu rupa, sehingga kita sendiri dan orang lain keheran-heranan karenanya? Ya, bisa. Dan itu sering terjadi. Bahkan kalau kita diliputi kesedihan. Maka bisa terjadi bahwa terdengar pujian-pujian bagi kesetiaan Allah, di saat-saat hidup kita hancur beran takan, di depan makam suami kita, istri kita, atau anak kita. Puji-pujian itu melampaui batas segala akal manusia. Begitu kuatnya damai Allah melindungi kita di saat-saat seperti itu.

Tetapi sesudah itu kita harus terus berjalan. Dengan segala kesedihan, kehilangan, kesepian, cacat tubuh, yang tahun demi tahun menekan berat hidup kita. Dalam hal itu sikap kita yang memujimuji boleh jadi berubah menjadi sikap berdiam diri. Bahkan bisa juga kita membisu. Tetapi juga di saat itu, damai sejahtera Allah masih tetap ada untuk melindungi kita. Memang caranya lain, tetapi nilainya tidak kurang. Kekuatannya juga tidak kurang.

Sebab di jalan yang begitu panjang dan berat, kita yang dilindungi dengan kuat oleh damai sejahtera Allah, tidak berpaling dari Tuhan. Dan siapa yang mengenal hatinya sendiri yang penuh dosa, dan suka menyeleweng itu, dia tahu kenyataan bahwa kita tidak berpaling dari Tuhan, juga melampaui batas segala akal.

Di sinilah berhenti segala pengetahuan dan ilmu. Si arif angkat tangan, si pemikir geleng kepala, tiada jalan lain, hanya damai Allah yang melakukan keajaiban itu. Berbahagialah dia yang percaya.

Informasi Buku

  1. PDF
  2. Penulis:
    H. Westerink
  3. ISBN:
    978-602-8009-43-0
  4. Copyright:
    © De Vuurbaak 1997
  5. Penerbit:
    Yayasan Komunikasi Bina Kasih