Jika berbicara tentang pemilihan, apakah hal itu membuat Anda bahagia? Bagi kebanyakan orang, pemilihan sama sekali tidak berarti bahwa mereka akan merasa bahagia. Mereka menganggapnya sebagai takdir, atau sebagai keti dakyakinan yang menakutkan. Seperti yang dikatakan seorang mahasiswa: ”Aku memang ingin terpilih. Asalkan Allah juga menghendakinya.” Yang penting saya terpilih ... Jika Allah tidak menghendakinya, biarpun Anda bertelut dan berdoa sampai lutut sakit, Anda tak mungkin diselamatkan.
Anggap saja Anda berusia 18 atau 19 tahun.
Anda ingin meng akui iman Anda di depan jemaat Tuhan agar diterima sebagai anggota sidi jemaat. Tetapi, ketika seseorang ber tanya kepada Anda, ”Apakah benar Anda terpilih?” Anda lalu tidak segera menjawab dengan tegas, ”ya”.
Lalu bagaimana? Kalau begitu, bukankah Anda harus menjawab perta nyaan itu secara pribadi terlebih dahulu, sebelum Anda mengakui iman Anda dengan hati yang tulus di depan jemaat Tuhan? Bagi orang lain, kata ”terpilih” tidaklah penting, atau bahkan tidak berarti sama sekali.
Hal itu adalah perkara yang sangat sulit dan tak terpahami. Mereka berasumsi, ”yang terpenting kita percaya saja. Bukankah itu sudah cukup? Karena itu, lebih baik jangan pikirkan perkara yang sulit-sulit.”
Apakah benar bahwa lebih baik kita tidak perlu memikirkan hal pemilihan, dan bila perlu meniadakannya dalam khotbah, percakapan, dan tulisan-tulisan? Tetapi, Allah sendiri secara terang-terangan membicarakan hal itu di dalam firman-Nya. Hal itu dilakukan-Nya bukan untuk menakut-nakuti orang, tetapi seperti yang diakui gereja dalam pengakuan imannya untuk menjadi ”penghiburan yang menggairahkan” bagi orang-orang percaya (PAD, I.14).1 Mungkin secara sinis orang bisa saja bertanya: Penghiburan yang menggairahkan? Ajaran tentang pemilihan? Apakah itu mungkin? Jawabannya: Ya!
Seorang kerabat saya dibesarkan dalam lingkungan Kristen yang taat. Dia belajar banyak hal tentang janji-janji Allah. Sebagai pemuda yang belum genap 20 tahun, dia percaya janji-janji Allah itu dengan sepenuh hati.
Tetapi, tentang pemilihan Allah, ia jarang atau bahkan belum pernah mende ngar tentang hal itu. Lalu apa yang terjadi? Ketika zaman perang, ia terpaksa bersembunyi dalam sebuah kapal sungai di wilayah barat laut Provinsi Overijssel (Belanda) yang ber limpah air. Selama di sana, ia memiliki banyak waktu luang. Lalu ia mulai membaca ...
PAD yang ditemukannya dalam buku gerejanya, serta Alkitab dan Kidung Mazmur. Buku-Buku itu sungguh-sungguh membuka matanya.
Apa yang dia baca itu membuat dia merasakan kelegaan yang belum pernah ia alami sebelumnya, dan membuat dirinya sangat bahagia.
Sebab pada saat itu, ia menyadari bahwa dia pun sudah dikenal oleh Allah dalam kasih-Nya, bukan baru dalam tahun-tahun kehidupannya, melainkan sudah dari semula. Dan 50 tahun kemudian ia masih tetap bersyukur atas kelegaan itu.
Sekali lagi saya bertanya: jika Anda berpikir tentang pemilihan Allah, apakah hal itu membuat Anda bahagia? Apakah Anda juga menemukan penghiburan dan kelegaan yang diberikan melalui pemilihan Allah yang kekal itu? Melalui penghiburan itu, TUHAN hendak memberikan keyakinan kepada kita.
Mengenai hal pemilihan itu, kita boleh saja mengajukan banyak pertanyaan. Salah satu di antaranya yang akan dibahas dalam buku ini, yaitu ”Bagaimana kita secara pribadi menerima keyakinan tentang pemilihan kita, sehingga kita mendapati kedamaian dan kebahagiaan di dalamnya?”
Dalam pembahasan ini kita berpegang pada Alkitab dan juga pengakuan iman gereja.
Pengakuan iman gereja? Iya, benar! Saya sadar bahwa selama berabad-abad, ada orang-orang orang-orang percaya yang tidak menyambut baik pengakuan-pengakuan iman. ”Itu semua kan buah pikiran manusia”, begitulah pendapat mereka sejak dahulu hingga sekarang. Tetapi, hal yang mereka lupa kan, yaitu kenyataan bahwa Allah menempatkan semua anak-Nya, satu demi satu, dalam persekutuan orang-orang kudus. Kadang persekutuan itu sangat dipuji-puji. Tetapi, orang yang mencarinya dengan sungguh-sungguh, tidak mungkin hanya memperhitungkan dirinya sendiri. Juga tidak mungkin ia hanya mende ngarkan apa yang dialami, di katakan, dan ditulis dalam kalangan dan di zamannya sendiri. Sebab dalam abad-abad terdahulu, orang-orang kudus telah merenungkan firman Allah dengan iman yang teguh. Mereka pun telah berpegang pada firman itu sambil mempertahankan kebenarannya dalam pengakuan iman mereka. Melalui pengakuan iman itu, mereka sering me nentang perlawanan, penindasan, dan penganiayaan. Tidak tepat jika kita, dalam ”hikmat” kita yang kadang malah tidak setara dengan salah satu di antara mereka, mengabaikannya begitu saja. Karena, jika demikian halnya, kita memutuskan persekutuan orang-orang kudus yang dikehendaki oleh Allah.
”Atau apakah firman Allah berasal dari kamu? Atau hanya kepada kamu sajakah firman itu telah datang?” (1Kor 14:36)