17. Melihat dalam Iman

Jika kita masih mendapati kekurangan-kekurangan dalam diri kita, bagaimana kita bisa melihat terjadinya buah-buah pemilihan dalam diri kita sendiri? Seperti penata buku, haruskah kita mencari-cari sesuatu, entah apa pun itu, yang tampak bagus dalam hidup kita? Haruskah kita menjumlahkan yang satu dengan yang lain sehingga kita sampai pada keyakinan bahwa ”aku ini memang terpilih”? Sama sekali tidak. Sebab, jika demikian halnya, kita mengandalkan perbuatan-perbuatan kita sendiri daripada mengandalkan Tuhan Yesus.

Meskipun demikian, untuk bisa melihat buah-buah itu, hendaklah kita belajar untuk mem perhatikan dengan teliti.

”Ujilah dirimu sendiri, apakah kamu tetap tegak di dalam iman. Selidikilah dirimu ...!” (2Kor 13:5)

Pertanyaan lantas muncul, ”mampukah kita melakukannya? Apakah kita tidak akan keliru?” Bisa saja terjadi bahwa kita memang keliru. Kemungkinan bisa saja terja di bahwa seseorang dengan berani mengambil keputusan dan kurang hati-hati ”menganggap dirinya sudah memiliki anugerah pemilihan, atau pun ia berkhayal tentang hal itu seenaknya dan lancang, namun tidak mau mengikuti jejak orang pilihan”.22 Tentang itu Mazmur 25 mengatakan: ”Beritahukanlah jalan-jalan-Mu kepadaku, ya Tuhan, tunjukkanlah itu kepadaku.

Bawalah aku berjalan dalam kebenaran-Mu dan ajarlah aku ....” (Mzm 25:4-5)

Bisa saja terjadi kekeliruan yang lebih parah daripada kekeliruan sebelumnya. Kemungkinan bisa saja ada ketika seseorang sungguh-sungguh berjalan di jalan-jalan Allah dengan penuh keinginan untuk diselamatkan, namun karena pendidikan (ajaran), pemberitaan Injil, kesedihan, atau karena alasan yang lain, ia tidak mampu mengatasi kecemasan bahwa akhirnya ia akan binasa, ”dengan mencurigai Yesus sebagai penyebabnya” (pandangan semacam itu memang ada!). Hal itu adalah bentuk kekeliruan dari orang-orang yang tetap mengharap kan keyakinan, tetapi tidak pernah berani untuk memilikinya. Mengenai orang-orang seperti itu, pernah dikatakan bahwa ”Nan ti, ketika ia membuka mata di surga, keli hatannya ia akan berkata, ’Wah, Tuhan, jadi aku ini terpilih?’” Apakah dalam mencari kepastian, kita per lu berhati-hati dalam dua kekeliruan yang sangat berbeda itu? Bukankah ketakutan yang berlebihan terhadap sikap menganggap enteng bisa membuat kita keliru di satu sisi, dan kecemasan yang berlebihan terhadap sikap murung (sedih) juga akan membuat kita keliru di sisi lain? Kita tidak perlu takut. Sebab, kita tidak berjalan sendirian di jalan Tuhan. Dia yang memberitahukan jalan-jalan-Nya kepada kita. Ketika kita dibaptis, ”Roh Kudus menegas kan kepada kita bahwa Dia ingin diam di dalam hati kita, dan menguduskan kita menjadi anggota Kristus yang hidup, dengan menjadikan segala yang telah kita peroleh dalam Yesus Kristus sebagai milik kita”. Apa yang dimaksud dengan ”segala sesuatu yang telah kita peroleh dalam Yesus Kristus?” Dua hal ini: ”pembasuhan dari dosa kita dan pembaruan kehidupan kita sehari-hari.”23 Pernyataan itu bukanlah kata-kata yang kosong! Bukan karena ungkapan pertama, yaitu pembasuhan dari dosa kita. Atau pun ungkapan kedua, yaitu pembaruan kehidupan kita sehari-hari. Sebab, jika kita telah diperdamaikan dengan Allah (melalui pembasuhan dari dosa kita), kita tidak perlu lagi mewujudkan pembaruan itu dari pihak kita sendiri sebagai semacam imbalan.

Roh Kuduslah yang membuat pem baruan itu menjadi milik kita sehingga pembaruan itu menjadi ciri khas kita, dan mendapat tempatnya dalam hidup kita. Hal itu telah dijanjikan kepada kita ketika kita dibaptis. Janji itu diulangi berkali-kali dalam Alkitab, meskipun Ibid., hlm 458. mungkin kita tidak selalu menyadarinya. Misalnya, kalau firman Allah menyuruh kita menguji diri tentang apakah kita hidup dalam iman, dan ketika di dalam Alkitab Allah memerintahkan kita, ”Kuduslah kamu, sebab Aku kudus” (Im 11:44; 1Ptr 1:16), maka di dalamnya terkandung janji mengenai pembaruan sehari-hari. Karena, jika Allah meminta kita menguji diri kita sendiri, menjaga kekudusan, dan menjaga iman kita, mustahil kita melaksanakannya dari diri kita sendiri. Tetapi, Allah sendiri yang berkenan memberikannya kepada kita. Dia sendiri yang mengerjakannya di dalam kita.

”Siapakah orang yang takut akan Tuhan? Kepadanya Tuhan menunjukkan jalan yang harus dipilihnya.” (Mzm 25:12)

Sudah tentu, hal itu tidak berarti bahwa kita harus menunggu secara pasif saja apa dan kapan Allah berkenan memberikannya kepada kita. Di jalan Allah itu, kita pun diminta untuk aktif. Kita hendaknya memakai sarana-sarana yang Allah berikan untuk hal itu, yaitu khotbah, sakramen, katekisasi, pengajaran, doa, hidup sesuai Alkitab, percakapan dengan para pelayan jemaat dan saudara-saudara seiman, dan literatur. Apakah kita akan memenatkan diri sendiri dengan semua itu? Tidak. Namun jika kita memohon, Roh Kudus akan menolong kita dalam menggunakan sarana-sarana itu, untuk membuat kita memiliki apa yang telah Kristus kerjakan bagi kita. Pertolongan Roh Kudus itu telah dijanjikan kepada kita ketika kita dibaptis. Kita boleh meyakini hal itu.

Jadi, apakah kita yakin dengan semua itu? Apakah kita sungguh-sungguh memercayainya? Janji itu bukanlah suatu teori, bukan juga sebuah doktrin, yang dalam praktik tak ada gunanya sama sekali bagi kita. Kalau kita berseru kepada Tuhan berdasar kan janji-janji-Nya sendiri, kita pasti meng alami, merasakan, dan melihat bahwa kita sungguh-sungguh dididik di jalan Tuhan itu. Kita sungguh-sungguh belajar mengenali dosa-dosa kita dan juga tabiat kita yang berdosa, yang mungkin saja sudah tidak kita perhatikan bertahun-tahun lamanya.

Dan perjuangan kita untuk melawannya, tentu akan sangat berat. Namun, kita juga bissa belajar agar bisa melihat buah-buahnya. Buah-buah yang berasal dari sumber yang benar, yakni pemilihan Allah. Oleh Roh Kudus, kita belajar bahwa yang menggerakkan kita bukanlah sikap menganggap enteng, melainkan pengha rapan yang teguh, yang tidak mengecewakan. Mengapa? ”... karena kasih Allah telah dicurahkan di dalam hati kita oleh Roh Kudus yang telah dikaruniakan kepada kita. Karena waktu kita masih lemah, Kristus telah mati untuk kita orang-orang fasik pada waktu yang ditentukan oleh Allah.” (Rm 5:5-6) ”Semua orang, yang dipimpin Roh Allah, adalah anak Allah. Sebab kamu tidak menerima roh perbudakan ... tetapi kamu telah menerima Roh yang menjadikan kamu anak Allah. Oleh Roh itu kita berseru, ’Ya Abba, ya Bapa!’ Roh itu sendiri bersaksi bersama-sama dengan roh kita bahwa kita adalah anak-anak Allah.” (Rm 8:14-16)

Khusus mengenai kalimat yang terakhir, seandainya Alkitab sendiri tidak mengata kan tepat seperti itu, kita tentu akan menye but kannya sebagai suatu bentuk kesaksian yang tidak pantas (sembrono). Apakah Roh Allah dan roh kita sebagai dua saksi yang saling menyetujui dan saling melengkapi? Apakah itusungguh-sungguh mungkin? Ya, mungkin! Pertama, karena dalam (banyak ayat)

Alkitab, Roh ”yang menjadikan kamu anak Allah (!)” itu menyaksikan dengan tegas bahwa kita sungguh-sungguh adalah anak-anak Allah. Roh adalah saksi yang pertama.

Kedua, karena roh kita sendiri belajar menyetujui Alkitab mengenai perihal menjadi anak Allah dengan penuh iman. Kita sendiri adalah saksi yang kedua. Dengan demikian, terjadilah mukjizat yang besar, bahwa kedua saksi itu (Roh Allah dan roh kita) sependapat. Mereka sependapat, supaya kita mengetahui apa yang dikaruniakan Allah kepada kita (bnd 1Kor 2:12).

Kita melihat. Kita yakin. Kita tidak takut.

Semuanya itu dalam keluasan pemilihan Allah yang penuh rahmat.

Apakah sekarang dan seterusnya kita telah (dan mampu) mengatasi segala kele mahan kita? Tidak. Dosa, kelemahan, perjuangan, dan kebingungan masih dapat membuat kita mengalami banyak kesulitan. Kelemahan kita adalah kita selalu berdiri di pihak yang keliru, dan tidak pernah di pihak Allah. Apa yang kita pikirkan selalu bukan dari Allah. Oleh karena itu, Iblis memiliki kesempatan menyulitkan hidup kita. Namun, dalam serangan-serangan Iblis, Allah ”turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia, yaitu bagi mereka yang terpanggil sesuai dengan rencana Allah” (Rm 8:28). Justru pada saat kita melihat betapa kita ”terjual di bawah kuasa dosa” (Rm 7:14), betapa kita hanya dikatakan ”dosa belaka”, dan bahwa kita tidak akan pernah dapat lolos dari (dosa) dengan kekuatan kita sendiri, namun kita belajar bahwa kita memang harus disadarkan dengan keadaan itu oleh Roh Kudus dan oleh firman Allah. Tentu kita mengalami bahwa hal itu bukanlah teori, melainkan fakta, yaitu Roh Kudus sungguh-sungguh menunjukkan jalanjalan Tuhan kepada kita. Dia yang mengajar kita meminta kesadaran yang penuh iman: ”Selidikilah aku, ya Allah, dan kenallah hatiku, ujilah aku dan kenallah pikiran-pikiranku; lihatlah, apakah jalanku serong, dan tuntunlah aku di jalan yang kekal!” (Mzm 139:23-24)

Jika dalam kelemahan kita berseru kepada Allah seperti itu, Allah tentu men dengar dan tidak mengambil Roh Kudus dari kita (bnd Mzm 116:2; 51:13). Sebab, seruan kita tidak akan hilang tertiup angin begitu saja. Ada telinga yang mendengar dan ada hati yang mengasihi kita.

Kita makin menyadari bahwa berjalan di jalan yang kekal akan mungkin, apabila Allah sendiri yang memanggil kita dari kematian menuju kehidupan. Ya, Allah yang sudah mengenal kita sebelum kita lahir. Oleh karena itu, kita patut bersyukur. Kita dapat bernyanyi dengan penuh sukacita: Yesus memanggil ”Mari seg’ra!” Ikutlah jalan s’lamat baka;

Jangan sesat, dengar sabda-Nya, ”Hai marilah seg’ra!” Sungguh, nanti kita ’kan senang, bebas dosa, hati pun tent’ram bersama Yesus dalam terang di rumah yang kekal (KJ 355 bait 1)

Informasi Buku

  1. PDF
  2. Penulis:
    H. Westerink
  3. ISBN:
    978-602-1006-03-0
  4. Copyright:
    © De Vuurbaak 2000
  5. Penerbit:
    Yayasan Komunikasi Bina Kasih