Selain surat kepada jemaat di Roma, tidak ada surat-surat Paulus yang paparannya begitu komprehensif, sistematis, dan begitu berarti untuk kita. Tokoh-tokoh seperti Agustinus, Martin Luther, John Wesley, dan Karl Barth menyaksikan bahwa kehidupan mereka berubah secara drastis setelah membaca surat Paulus kepada jemaat di Roma. Luther menyebut Surat Roma sebagai ”Injil yang paling murni” dan berpendapat bahwa tiap orang Kristen harus berusaha menghafal seluruh Surat Roma ini sambil merenungkannya tiap hari. Sedangkan menurut Calvin: ”Barang siapa mengerti isi surat ini, ia menemukan pintu yang terbuka dan mendapati harta Alkitab yang terindah”.
Paulus menulis surat kepada jemaat di Roma ketika dia di Korintus dalam perjalanan misinya yang ketiga (57–58 M). Paulus menyampaikan bahwa ia menganggap pekerjaannya di Yunani, Makedonia, dan Asia Kecil sebagai pekerjaan yang telah diniatkan, dan ia berencana untuk mampir di Roma dalam perjalanannya menuju ke Spanyol. Tetapi, sebelumnya ia harus ke Yerusalem untuk memberikan hasil persembahan untuk orang-orang miskin di Yerusalem (lih Rm 15:23-33).
Mengenai sifat dan tujuan surat ini begitu banyaknya pendapat bermunculan. Ada yang mengira bahwa Paulus ingin memaparkan Injil secara jelas dan sistematis. Yang lain berpendapat bahwa Paulus menulis suratnya sebagai reaksi akan pelbagai hal yang ditemukannya: Paulus telah mendapatkan informasi tentang jemaat Roma (msl, dari Priskila dan Akwila). Berdasarkan informasi itu Paulus menulis suratnya untuk membantu jemaat. Pada saat yang sama Paulus memberitahukan rencana kedatangannya ke Roma. Semoga kedua pendapat tersebut benar adanya. Tentunya surat ini tidak hanya memaparkan Injil dengan begitu teratur, tetapi juga menjawab secara konkret situasi orang-orang Kristen di Roma.
Banyak orang Yahudi yang menetap di Roma. Pada tahun 52 Kaisar Claudius mengusir orang-orang Yahudi dari Roma, tetapi banyak yang kembali ke Roma. Dengan demikian, dapat dimengerti bahwa Priskila dan Akwila―yang bertemu dengan Paulus di Korintus―yang tinggal di Efesus, akan kembali dan menetap di Roma (lih Kis 18:2; Rm 16:3). Kita tidak menge tahui persis bagaimana jemaat di Roma terbentuk. Jemaat terdiri dari berbagai kelompok rumah. Susunan jemaat bisa diperkirakan terdiri atas orang-orang Kristen yang berlatar belakang non-Yahudi (lih Rm 1:5-6; 15:15-16). Selain itu, ada pula orang-orang Kristen Yahudi (lih Rm 2:17). Roma adalah ibu kota kekaisaran Romawi yang selama seratus tahun berkuasa di dunia. Dari segi militer dan pemerintahan, Roma sangat kuat. Tetapi, dari segi budaya dan keagamaan, Roma hampir tidak memiliki kesatuan. Melalui pemujaan kaisar, kekaisaran Romawi mengusahakan kesa tuan. Tahun 54–68 M, Kaisar Nero (yg terkenal akan kekejiannya) berkuasa di Roma. Ketika Paulus menulis suratnya, penganiayaan terhadap orang-orang Kristen (oleh Nero) belum mulai (hal itu terjadi pada tahun 62–63 M). Roma adalah sebuah kota dekaden yang multietnis dan multireligi. Seluruh kehi dupan berputar tentang ”roti” dan ”sirkus”. Sebenarnya tidak sulit untuk membandingkan situasi itu dengan situasi dunia modern masa kini.
Secara umum, pasal 1:16-17 disebut sebagai tema Surat Roma. Pada bagian itu Paulus menulis sebagai penutup kalimat-kalimat sebelum nya: ”Sebab aku tidak malu terhadap Injil, karena Injil adalah kekuat an Allah yang menyelamatkan tiap orang yang percaya, pertama-tama orang Yahudi, tetapi juga orang Yunani. Sebab di dalamnya dinyatakan pembenaran oleh Allah, yang bertolak dari iman dan memimpin kepada iman, seperti ada tertulis: ’Orang yang dibenarkan karena imannya, akan hidup’”.
Paulus menerangkan tema ini dalam 3 bagian besar:
Surat Roma dapat dirinci sebagai berikut:
Murka Allah (Rm 1:18–3:20)
Pada bab 5 kita telah membaca penjelasan Paulus tentang bagaimana manusia tanpa Allah: menjadi binasa akibat dosa dan pelanggarannya. Bagi Paulus, dosa tidak semata-mata melanggar aturan-aturan, tetapi merusak hubungan dengan Allah. Hakikat dosa adalah egosentrisme, keberpusatan pada diri sendiri. Bukan Allah yang menjadi pusat segala sesuatu, melainkan manusia sendiri. Pasal-pasal pertama Kitab Roma bukanlah bagian-bagian yang mudah dan menggembirakan. Paulus menekankan bahwa semua manusia berada di bawah kuasa dosa dan layak dimurkai Allah. Tidak ada orang yang baik dan layak menerima kemurahan Allah.
Paulus menunjukkan keadaan itu bagi dunia di zamannya; dunia non-Yahudi yang sangat dekaden (lih Rm 1:18-32). Mereka memang tidak memiliki Alkitab sebagai pernyataan khusus Allah, tetapi mereka tidak boleh berpikir bahwa atas dasar itu mereka dapat berdalih. ”Sebab sifat-sifat-Nya yang tidak tampak, ... dapat tampak dan dipahami dari karya-Nya sejak dunia diciptakan.” Mereka dapat mengenal kekuatan Allah, sekalipun mereka tidak memuliakan Dia sebagai Allah atau mengucap syukur kepada-Nya (lih Rm 1:19-21). Melalui perbuatan-perbuatan yang baik, mereka menunjukkan bahwa hukum Taurat tertulis di dalam hati mereka. Sehingga pada hari ketika Allah akan menghakimi segala sesuatu yang tersembunyi dalam hati manusia, mereka akan mengakui keadil an Allah (lih Rm 2:14-16). Yang menarik perhatian adalah Allah tidak menyatakan murka-Nya dalam hukuman khusus atas dosa, tetapi Dia ”menyerahkan mereka kepada kecemaran sesuai dengan keinginan hati mereka”. Allah menyerahkan mereka pada hawa nafsu mereka sendiri, pada kehidupan dekaden yang dipilih mereka, pada kemerosotan seksual yang diinginkan mereka (lih Rm 1:24-27), imoralitas dan disintegrasi sosial (lih Rm 1:28-32).
Kemudian dalam pasal 2, Paulus berpaling pada kelompok lain yang mengadili percabulan Romawi secara tak terkendali. Dalam bagian pertama pasal 2 (ay 1-16), kelihatannya Paulus berbica ra kepada semua orang yang memiliki standar moral tinggi, dan menghakimi kejahatan serta dekadensi pada waktu itu bukan saja kepada orang Yahudi. Walaupun dengan adanya standar moral yang tinggi itu, mereka tetap tidak luput dari hukuman Allah. Mereka tetap berdosa dan tidak sanggup memenuhi standar moral yang tinggi itu. Manusia yang tidak mengenal hukum Allah akan dihukum berdasarkan apa yang mereka ketahui tentang Allah dan kehendak-Nya; manusia yang mengenal hukum Allah akan dihakimi berdasarkan hukum itu.
Mulai dari pasal 2:17, Paulus mengarahkan perhatiannya secara eks plisit kepada orang-orang Yahudi. Paulus memakai gaya retoris ”diatribe”, yang sering dipakai pada waktu itu oleh para filsuf Yunani. Gaya ”diatribe” (bh Yunani) adalah sebuah dialog imajiner dengan musuh debat. Coraknya adalah Rasul Paulus seakan-akan berdebat dengan orang lain. Paulus menyapa dan menegur kelompok imajiner itu (kaum Yahudi) secara keras. Ia mempersalahkan mereka karena walaupun mengenal hukum Taurat sambil mengingatkannya kepada orang lain, tetapi mereka sendiri tidak memeliharanya. Paulus membuktikan kepada mereka bahwa status khusus sebagai bangsa pilihan―yang ditandai dengan Taurat dan sunat―tidak membawa pengaruh apa-apa dalam penghakiman Allah. Mereka tetap akan dihukum oleh Allah.
Pada akhirnya, Paulus menyimpulkan (lih Rm 3:9-20)―setelah mengutip banyak nas Perjanjian Lama―bahwa mereka semua mempunyai status yang sama di hadapan Allah, ”... supaya tersumbat tiap mulut dan supaya seluruh dunia berada di bawah penghakiman Allah” (Rm 3:19).
Kasih Karunia Allah (Rm 3:21–8:39)
Semua manusia (baik Yahudi maupun non-Yahudi) telah berbuat dosa, berada di dalam murka Allah, dan kehilangan kemuliaan Allah. Setelah pernyataan Paulus yang keras itu, Paulus menyampaikan kasih karunia Allah yang murni, ”pembenaran dari Allah melalui iman dalam Yesus Kristus bagi semua orang yang percaya”. Sebab tidak ada perbedaan.
Oleh karena semua orang telah berbuat dosa dan kehilangan kemuliaan Allah, tetapi oleh kasih karunia-Nya telah dibenarkan dengan cuma-cuma melalui penebusan dalam Yesus Kristus. Yesus Kristus telah ditentukan Allah menjadi jalan pendamaian melalui iman, dan dalam darah-Nya. Hal itu dilakukan-Nya untuk menunjukkan keadilan-Nya karena Ia telah membiarkan dosa-dosa yang telah terjadi dahulu pada masa kesabaran-Nya (lih Rm 3:22-25).
Bertentangan dengan ”hukum apodiktis” (yaitu hukum Taurat yg me nuntut perbuatan-perbuatan baik), Paulus mempresentasikan ”hukum iman” (bnd Rm 3:27). Kedua jalan ini merupakan dua prinsip yang saling berlawanan. Menurut ”hukum apodiktis”, manusia sendiri harus me ngerjakan keselamatannya menurut prinsip do ut des (bh Latin, ”saya memberi supaya kamu memberi”, mentalitas memberi untuk menerima). Sikap berdasarkan ”hukum apodiktis” tersebut ditandai oleh kewajiban balas jasa, bukan perbuatan kasih. Hukum itu diperkenalkan di seluruh dunia oleh semua agama manusia. Di mata manusia, hukum itu mungkin dapat membenarkan status seseorang, tetapi di hadapan Allah sama sekali tidak berharga. Di dalam Kristus, Allah telah memperlihatkan hukum lain, yaitu ”hukum iman”. Hanya karena iman kita dapat hidup di hadapan Allah dan diterima-Nya kembali sebagai anak-anak-Nya. Manusia sama sekali tidak perlu melakukan apa pun. Statusnya yang istimewa di hadapan Allah berdasarkan pada karya Yesus Kristus, dan tidak berdasarkan usaha sendiri! ”... siapa saja yang bermegah, hendaklah ia bermegah di dalam Tuhan” (2Kor 10:17).
Dengan gaya ”diatribe” Paulus dapat mengantisipasi sanggahan lawan debatnya. Yang tidak sependapat dengan Paulus, tentu akan segera melontarkan tuduhan bahwa Paulus mengesampingkan seluruh Perjanjian Lama (lih Rm 3:31). Pada pasal 4, dengan mencontohkan Abraham―bapak leluhur bangsa Israel―Paulus memperlihatkan bahwa Allah pada waktu itu sudah menyelamatkan orang karena iman, bukan karena perbuatan mereka. Allah memilih orang berdasarkan kasih karunia. Dalam Kejadian 15:6 tertulis: ”Lalu percayalah Abram kepada Tuhan, maka Tuhan memperhitungkan hal itu kepadanya sebagai kebenaran”. Apakah karena Abraham memelihara hukum Taurat dan melaksanakan sunat? Tidak. Pada waktu itu sunat belum ditetapkan Allah! Hal itu semata-mata terjadi karena Abraham percaya akan janji Allah! Perhatikan proses penyelamatan berikut (perhatikanlah posisi hukum di dalamnya):
Paulus memulai pasal 5 dengan kesimpulan semua yang dikatakan sebelumnya, ”Sebab itu, kita yang dibenarkan berdasarkan iman, kita hidup dalam damai sejahtera dengan Allah melalui Tuhan kita,
Yesus Kristus” (Rm 5:1). Yesus, karena kasih-Nya, telah menyerahkan diri-Nya sebagai kurban satu-satunya bagi kita, para pendosa dan para musuh Allah. Paulus membuat antisipasi dengan bertanya: Bagaimana mungkin melalui kematian satu orang, semua orang dapat diselamatkan? Bagaimana mungkin dengan satu perbuatan benar, semua orang mene rima pembenaran untuk hidup? Paulus memperlihatkan bahwa hal itu mungkin karena Allah tidak memandang manusia sebagai kumpulan individu yang terpisah, tetapi sebagai persekutuan yang mempunyai satu kepala atau satu pemimpin. Pemimpin tersebut mewakili seluruh persekutuan itu. Martin Lloyd Jones pernah mengungkapkannya sebagai berikut: ”Seluruh cerita kemanusiaan dapat diceritakan berdasarkan apa yang telah terjadi dengan kita oleh karena Adam, dan apa yang telah terjadi maupun yang akan terjadi dengan kita karena Kristus”.
Kemudian pada pasal 6, Paulus memperlihatkan bahwa pembenaran oleh iman mengubah seluruh kehidupan kita. Orang Kristen adalah penerima identitas baru oleh iman di dalam Yesus Kristus. Perubahan itu tidak berarti bahwa manusia lama (yg didorong oleh dosa) telah hilang sama sekali. Di dalam kehidupan seorang Kristen, tetap terlihat peperangan antara keinginan ”daging” dan keinginan ”roh”, antara sifat lama (sebagai orang berdosa yg tidak mempunyai hak) dan sifat baru yang diberikan oleh Kristus kepada kita (lih juga bab sebelumnya tentang ”sudah” dan ”belum”).
Pada Roma 6, Paulus memperlihatkan bahwa manusia lama, tidak berkuasa dan berhak lagi dalam kehidupan orang percaya. Pada pasal 8, Paulus merincikan hal itu dengan lebih jelas dan lebih indah. Siapa saja yang berada dalam Yesus Kristus adalah ciptaan baru. Ia tidak lagi mengarahkan hati kepada dirinya sendiri, tetapi kepada Roh Kudus. Oleh karena itu, kita harus menjalani kehidupan yang kudus dan berhenti dari perbuatan-perbuatan manusia lama kita. Pada saat yang sama kita merindukan masa depan. Karena pada akhir nya kita akan dilepaskan sepenuhnya dari semua dosa, ketika kita akan mengalami secara sungguh-sungguh bagaimana hidup sebagai anak-anak Allah.
Penjelasan Roma 7 (khususnya ay 14-21) menimbulkan banyak perdebatan. Paulus melukiskannya dengan peperangan antara manusia lama dan baru, antara keinginan untuk melakukan hal yang baik dan praktik kehidupan yang memburuk secara kronis. Paulus memaparkannya secara pribadi dan mutakhir, seakan-akan peperangan itu dialami nya saat itu. Selama berabad-abad banyak penafsir berpendapat bahwa Paulus memaparkan suatu peperangan yang dialami dan yang terjadi di dalam kehidupan tiap orang percaya. Tetapi, yang lain berpendapat, Paulus berbicara hanya tentang dirinya sendiri: keadaannya ”sebelum pertobatannya”.
Kata ”aku” dalam Roma 7:13-25 memang mengacu kepada Paulus sendiri pada saat itu, dan apa yang dia katakan tentang dirinya sendiri, berlaku juga untuk tiap orang Kristen. Pendapat ini didasarkan pada argumen-argumen berikut:
Dalam hal ini yang perlu diingat bahwa Roma 7 merupakan suatu pemaparan yang luas. Paulus berbicara begitu keras dalam bagian ini (seolaholah dosa selalu menang), untuk menjelaskan peran dosa dan pengaruh hukum Taurat terhadap manusia lama yang masih berada di dalam dirinya sendiri. Pada pasal 8, Paulus memperlihatkan sisi lain. Siapa saja yang percaya kepada Yesus memiliki sifat baru yang dituntun oleh Roh. Meskipun sifat kita yang lama masih tetap mengganggu kita, sifat yang baru merupakan identitas kita yang sebenarnya. Sifat itulah yang akan lebih menguasai kehidupan kita.
Skema berikut ini mengajukan singkatan pemaparan Paulus dalam pasal 6–8:
Rencana Allah (Rm 9:1–11:36)
Paulus dalam pasal 9–11 secara jelas beralih pada hal baru dalam surat ini. Secara mengesankan dia memulai dengan membuka hatinya tentang kenyataan bahwa kebanyakan umat sebangsanya, orang-orang Yahudi, menolak Mesias. Ia menutup bagian ini dengan pujian atas hikmat dan kemahakuasaan Allah (ay 11).
Di sini kita melihat berbagai aspek dalam tema suratnya kepada jemaat di Roma. Pasal 1–8 berbicara tentang pembenaran oleh iman; pasal 9–11 berbicara tentang hubungan antara Israel dan orang-orang Kristen non-Yahudi. Meski tidak banyak orang dari bangsa Yahudi yang menerima Yesus sebagai Mesias, Paulus menjelaskan kedaulatan dan pemilihan Allah. Jelas bahwa bukan karena kebaikan manusia yang menentukan pemilihan Allah, melainkan oleh karena janji dan panggilan Allah yang bebas. Paulus menjelaskan bahwa Israel yang sejati tidak ditentukan oleh keturunan menurut daging. Tidak semua orang dari bangsa Israel benarbenar terhitung sebagai Israel. Pun demikian tidak semua keturunan Abraham menurut daging adalah anak Abraham yang benar (lih Rm 9:67). Kebenarannya sudah dijelaskan oleh para nabi, ”... sekalipun jumlah anak Israel seperti pasir di laut, namun hanya sisanya akan diselamatkan ...” (Rm 9:27-29).
Di samping pemilihan Allah tersebut, hal lain yang disebutkan Paulus di dalam pasal 10 adalah ketidaktaatan Israel yang tidak mau menerima kabar baik tentang kedatangan Mesias, dan kasih karunia di dalam Yesus Kristus. Dengan kenyataan itu muncul pertanyaan: apakah Allah telah membuang umat-Nya? Hal itu menjadi menarik bagi orang-orang Kristen non-Yahudi karena mereka bisa mening gikan diri atas orang Yahudi. Tetapi, Paulus menjelaskan bahwa melalui sisa orang-orang Yahudi yang percaya, Allah terus bekerja dengan umat-Nya. Orang-orang Kristen non
Yahudi tidak perlu bangga! Mereka jus tru harus berterima kasih karena mereka diterima menjadi―umat Allah―bagian Israel. Dengan sikap yang baik seperti itu, orang-orang Kristen non-Yahudi mampu menarik orangorang Yahudi untuk mene rima Kristus sebagai Juruselamat.
Dengan menggunakan contoh pohon zaitun, Paulus menerangkan hubungan antara orang Yahudi dan orang-orang Kristen. Orang-orang Yahudi yang tidak percaya adalah cabang-cabang yang telah dipatahkan. Orang-orang Kristen non-Yahudi adalah tunas liar yang telah dicangkokkan pada pohon zaitun dan turut mendapatkan nutrisi untuk hidup dari pohon zaitun itu. Dengan demikian, Paulus menjelaskan posisi mereka yang dahulu tidak mengenal Allah, tetapi sekarang percaya. Ia menasihati mereka agar mereka tidak merasa lebih tinggi daripada orang Yahudi. Pada akhirnya, posisi itu ditentukan oleh kepercayaan. Kalau ada orang Kristen yang tidak percaya lagi, maka mereka juga dapat dipatahkan dari pohon zaitun itu. Orang Yahudi yang menerima Kristus dapat dicangkokkan kembali.
Pada akhir penjelasan, Paulus menulis: ”Saudara-saudara, supaya kamu jangan menganggap dirimu pandai, aku mau agar kamu mengetahui rahasia ini: Sebagian dari Israel telah menjadi keras hati nya sampai jumlah yang penuh dari bangsa-bangsa lain masuk. Dengan demikian, seluruh Israel akan diselamatkan ...” (Rm 11:25-26). Ada yang berpendapat bahwa ayat-ayat itu mempunyai arti bahwa pada akhir zaman, bangsa Israel akan bertobat dan akan diselamatkan. Tetapi, kita harus membaca kalimat tersebut secara saksama. Paulus tidak mengatakan bahwa pada saat itu seluruh Israel akan diselamatkan. Tetapi, dengan demikian seluruh Israel akan diselamatkan. Dengan cara yang bagaimana? Melalui kesetiaan Allah kepada sisa Israel yang percaya dan kepada semua orang yang telah menerima Yesus Kristus. Karena mereka itulah yang menjadikan seluruh Israel akan terselamatkan (bnd Rm 9:6).
Kehendak Allah (Rm 12:1–15:13)
Sama seperti pola suratnya yang lain, di dalam surat kepada jemaat di Roma, Paulus menjelaskan inti Injil dan menghubungkannya de ngan kehidupan kristiani secara praktis. Ia menjelaskannya dengan pola penalaran demikian: ingatlah arti hidup di dalam Kristus (Anda benar di hadapan Allah) dan biarkanlah pengetahuan itu menentukan kehidupan Anda (hiduplah kudus tiap hari). Dengan kata lain, Anda ada di dalam Kristus. Jadi, pengudusan hidup berakar pada pembenaran oleh iman dan kasih karunia. Selain dari itu, tidak ada alasan yang lebih kuat.
Siapa saja yang menyadari semua hal yang telah diperbuat Allah di dalam Yesus baginya, akan siap mengabdikan seluruh kehidupannya kepada Allah. Seperti yang diungkapkan Paulus: ”Karena itu, Saudarasaudara, oleh kemurahan Allah aku menasihatkan kamu, supaya kamu mempersembahkan tubuhmu sebagai persembahan yang hidup, yang kudus dan yang berkenan kepada Allah: Itulah ibadahmu yang sejati” (Rm 12:1). Secara konkret, apa yang hendak diterangkan Paulus kepada orang-orang percaya? Pertama, sikap saling melayani harus ada di dalam jemaat. Kepercayaan adalah sesuatu yang sangat pribadi, tetapi tidak per nah bersifat pribadi saja. Orang percaya adalah anggota tubuh Kristus: anggota jemaat. Dalam penerapan-penerapan pelayanan yang lain, kasih dan kerendahan hati selalu diperlihatkan sebagai nilai-nilai intinya. Kasih tidak hanya ditujukan kepada sesama orang percaya, tetapi juga kepada orang asing, bahkan kepada musuh. Siapa pun yang mengetahui bahwa dahulu ia adalah seteru Allah yang sekarang telah diperdamaikan dengan Allah melalui kematian Anak-Nya, harus siap untuk mengampuni orang lain juga (lih Rm 5:8-10). Dengan kata lain, tidak cepat membalas dendam kepada orang yang berlaku jahat terhadapnya, tetapi menyerahkan hal itu kepada Allah atau kepada pemerintah yang telah menerima tugas dari Allah untuk menghakimi kejahatan. Siapa pun yang masih berpikir bahwa bagi Paulus hukum Taurat tidak perlu diperhatikan lagi karena sekarang kita hidup dalam kasih karunia Roh, silakan membaca Roma 13:8-10. Pada bagian itu Paulus menerangkan bahwa justru hukum Taurat mengajarkan kita tentang hubungan antara kasih dan kerendahan hati.
Pada pasal 14 dan 15, Paulus berbicara tentang orang yang lemah dan beriman teguh. Apakah inti masalahnya? Tidak begitu jelas. Masalah ini diangkat Paulus berhubungan dengan hari raya-hari raya dan makanan. Mudah-mudahan ”orang yang lemah imannya” adalah mereka yang masih ingin merayakan hari raya-hari raya Yahudi dan menaati hukum-hukum tentang makanan. Tetapi, mungkin juga tidak. Sebab Paulus berbi cara mengenai orang yang sama sekali tidak makan daging (lih Rm 14:2) dan juga tidak minum anggur (lih Rm 14:21).
Orang-orang Yahudi senang makan daging (msl, daging domba, kambing) dan minum anggur. Kemungkinan yang lain, yaitu ke tika Paulus mengatakan bahwa ”orang yang imannya lemah” adalah mereka yang tidak mau makan daging dan merayakan pesta-pesta sebagai suatu respons melawan dekadensi kehidupan Romawi. Hari raya-hari raya yang disebutkan (lih Rm 14:5-6) itu ternyata adalah ”hari raya kafir”. Tetapi, keterangan itu pun tidak tepat atau aneh karena Paulus menutup bagian itu dengan berbicara tentang kesatuan antara orang Yahudi dan yang non-Yahudi. Bagaimanapun, keterangan bagian itu pesannya jelas. Tiap orang Kristen yang bersatu dalam jemaat, harus bersikap sabar satu terhadap yang lain dengan keyakinan bahwa dirinya sebagai ukuran moral dalam menghakimi kehidupan saudara-saudaranya. Jika arti itu di terapkan pada konteks kita saat ini, kemungkinan yang dimaksud de ngan ”saudara-saudara yang imannya lemah” adalah mereka yang mengambil jarak dengan (atau bersikap tertutup terhadap) dunia. Mereka cenderung berpegang pada aturan-aturan dan tradisi-tradisi.
1. Keyakinan yang teguh untuk menginjili
Bacalah Roma 1:16-17 bersama-sama. Jelaskanlah bahwa nas itu adalah tema seluruh surat ini. Paulus ”tidak malu” untuk mengabarkan Injil. Lembaga Alkitab Indonesia (LAI) dalam terjemahannya tidak memperlihatkan arti ”malu” ini yang ada dalam bahasa Yunani. Dalam bahasa Inggris kata Paulus diterjemahkan dengan For I am not ashamed of the gospel of Christ. Bahaslah bersama-sama pertanyaan: apakah yang kadangkadang membuat kita ”takut” atau ”malu” untuk mengabarkan Injil? Daftarkanlah alasan-alasan yang disebutkan pada selembar kertas besar. Bahaslah tiap alasan itu bersama-sama, bagaimana Injil itu sendiri membantu kita untuk menghilangkan halangan-halangan perasaan kita.
2. ”Tidak percaya”, namun ”mengenal Allah”
Bentuklah dua kelompok. Kelompok pertama mendapatkan bagian baca an Roma 1:19-20 yang ditulis pada selembar kertas besar. Kelompok kedua mendapatkan bagian bacaan ”Roma 2:14-15” yang ditulis pada selembar kertas besar.
Tiap kelompok membaca dan merenungkan bagian bacaan mereka.
Kelompok pertama menulis hal apa saja yang berkaitan dengan Allah me nurut orang yang tidak percaya dan yang tidak mengenal Alkitab. Kelompok kedua menulis hal apa saja yang dapat diketahui orang yang tidak percaya tentang hukum Allah.
Selanjutnya masing-masing kelompok mempresentasikan hasil diskusi kelompoknya, disusul dengan pembahasan melalui pertanyaan berikut: apakah yang bisa diketahui orang yang tidak percaya (dan yg tidak memiliki pengetahuan alkitabiah) tentang Allah dan hukum Allah? Apakah dampak dari pengetahuan seperti itu? Apa yang tidak akan pernah bisa diketahui melalui ”pengetahuan alamiah” tersebut?
3. Paulus dan katekismus
Salinlah Katekismus Heidelberg, pertanyaan 60 Minggu ke-23 tanpa teksteks acuannya. Silakan catat nas-nas yang menunjang/mendukung pertanyaan 60 itu dari Roma 3. Lakukanlah tugas itu di dalam kelompok-kelompok kecil.
4. Nilai 1 hingga 10
Pasanglah satu tali dengan nomor 1–10 (jarak antarnomor tetap sama). Angka-angka itu menjelaskan nilai moral tingkah laku kita. Angka 1 untuk moral yang sangat buruk (msl, perbuatan seorang pembunuh massal). Angka 10 untuk moral yang sangat baik (msl, Ibu Teresa). Persilakanlah tiap orang yang hadir untuk berdiri pada angka yang dianggapnya cocok sebagai nilai bagi dirinya. Mintalah beberapa orang untuk menjelaskan alasan pilihan mereka itu.
Bacalah Roma 3:10-12 dan bahaslah pertanyaan-pertanyaan berikut:
5. Manusia yang lama dan manusia yang baru
Salinlah Roma 7:13–8:12. Setelah penjelasan singkat tentang ”manusia lama” (yg dikuasai dosa) dan ”manusia baru” (yg dibangkitkan bersama Kristus), tiap orang―diberikan pensil warna hitam dan me rah―diminta membaca Roma 7:13–8:12 sambil menggarisbawahi dengan pensil hitam bagian-bagian tentang manusia lama; dan untuk manusia baru dengan pensil warna merah. Diskusikanlah hasilnya bersama-sama.
1. Hal apakah yang membuat Anda merasa tertarik setelah membaca bab ini?
2. Bagaimana pendapat Anda tentang surat Paulus kepada jemaat di Roma?
3. Calvin berkata: ”Siapa saja yang mengerti surat ini, ia mempunyai pintu yang terbuka untuk mendapati harta-harta alkitabiah yang paling indah”. Harta-harta manakah yang telah Anda dapatkan?
4. Bandingkan antara Roma 1:18–3:31 dan perumpamaan anak yang hilang (lih Luk 15:11-32). Pada bagian manakah Anda melihat situasi anak bungsu yang jauh dari rumah ayahnya dalam Surat Roma ini? Pada bagian manakah situasi anak sulung dalam Surat Roma ini? Di manakah bagian anak bungsu kembali ke rumah?
5. Bagaimana Paulus, di satu pihak, mengatakan hukum Taurat tertulis di dalam hati manusia (lih Rm 2:14-15) dan di pihak lain, semua manusia adalah jahat (lih Rm 3:10-18)?
6. Bacalah Roma 2:1-3. Apakah yang Anda pelajari dari Roma 2:1-3 tentang menghakimi orang lain?
7. Sering terdengar bahwa ada banyak orang yang mencari Allah, dan tersedia begitu banyak sarana (msl, tempat-tempat kursus Alkitab) bagi para pencari itu. Tetapi, Paulus mengatakan bahwa ”tidak ada seorang pun yang mencari Allah” (lih Rm 3:11). Bagaimana kah menjelaskan kedua hal itu?
8. Menurut Paulus, proses iman Abraham adalah, pertama, percaya dan pembenaran. Kedua, sunat (lih Rm 4:8-11). Bagaimana hubungan kedua hal itu dengan baptisan?
9. Paulus mengatakan bahwa orang Yahudi yang sejati adalah bukan mereka yang berasal dan memiliki nama Yahudi atau yang disunat secara lahiriah saja. Orang Yahudi yang sejati, yaitu orang yang sunatnya adalah sunat di dalam hati, secara rohani, bukan secara harfiah (lih Rm 2:28-29). Juga (pada Rm 9:6) tidak semua orang yang berasal dari Israel adalah orang Israel. Apakah artinya? Bagaimanakah Anda dapat menerapkan hal itu pada masa kini: kepada umat Allah, yaitu gereja?
10. Paulus mengatakan, ”Sebab siapa yang telah mati, ia telah bebas dari dosa” (lih Rm 6:7). Apakah artinya? Apa dampak dari kata itu bagi kehidupan Anda?
11. ”Aku, manusia celaka!” (lih Rm 7:24). Apa pendapat Anda mengenai hal itu bagi diri Anda sendiri? Jika ya, mengapa? Jika tidak, mengapa?
12. Bacalah Roma 8:31-39 dengan suara keras dengan mengganti kata ”kita” dengan kata ”saya” (”jika Allah di pihak saya, siapakah yang akan mela wan saya?” dst). Bagaimana perasaan Anda menyadari kebe nar an itu?
13. Bacalah Roma 9:1-3. Apa yang Anda pelajari dari Paulus pada bacaan tersebut? Apakah Anda juga mempunyai komitmen yang sama?
14. Masihkah kita mengharapkan pertobatan seluruh bangsa Yahudi? Jika ya, mengapa? Jika tidak, mengapa?
15. Roma 12 melukiskan sebuah jemaat yang anggotanya sangat terikat satu dengan lain, dan pada saat yang sama sangat terbuka dengan lingkungan sekitar. Apakah Anda sendiri memperlihatkan kombinasi seperti itu? Jika tidak, di manakah letak permasalahannya?
16. Roma 14 dan 15 berbicara tentang orang yang imannya lemah dan teguh. Dalam jemaat masa kini: siapakah orang yang imannya lemah dan siapakah orang yang imannya teguh itu?
Persiapan masuk ke bab 6
Di dalam bab 6, kita akan melihat surat-surat yang lain di dalam PB. Sebagai persiapan, bacalah ketiga surat berikut:
|
|
Saran
Catatan: bagaimana biasanya Anda membaca sebuah surat yang Anda terima? Tentu satu kali: dibaca mulai dari awal hingga selesai. Gunakanlah cara membaca seperti itu ketika Anda membaca surat-surat tersebut.