Budaya Indonesia kaya, luar biasa, dan bagus sekali. Budaya cerita dan sandiwara, misalnya, bisa ditemukan di semua wilayah Indonesia. Dengan memakai macam-macam boneka, nyanyian, dan alat-alat musik rakyat Indonesia memelihara dan mewariskan kekayaan kebudayaannya turun-temurun.
Dengan melukiskan beberapa contoh kegiatan mengajar di lingkungan sebuah masyarakat, akan kita lihat betapa pentingnya faktor kebudayaan dalam katekisasi. Meskipun contoh ini (kebudayaan sebuah suku di pedalaman Irian Jaya) agak ekstrim, tapi hikmahnya penting untuk kegiatan katekisasi, baik di pedalaman maupun di kota. Metode katekisasi harus memperhitungkan faktor-faktor budaya setempat, sehingga materi yang diajarkan mudah dicerna dan dihayati oleh masyarakat bersangkutan.
Walaupun kekayaan budaya ini nyata, toh misionaris umumnya tidak berani menggunakannya sebagai media untuk mengajar dan memperlihatkan kebenaran Alkitab. Dikatakan "tidak berani" karena mereka takut mencampur kebenaran Injil dengan ajaranajaran nenek moyang yang pada umumnya bersifat animis. Mereka takut ajaran murni Alkitab tercemar. Ketakutan ini memang beralasan, karena di banyak tempat di dunia ini kita lihat perkembangan yang kurang baik, di mana agama Kristen dicampur dengan agama lain (istilahnya sinkretisme) sehingga kebenaran Kristen yang satu-satunya tergerogoti. Penggunaan metode-metode asli atau tidak merupakan problem misiologis yang sampai hari ini belum terpecahkan.71
Tapi beberapa pendeta misioner berusaha memakai metodemetode asli itu dengan sangat hati-hati. Miriam Adeney72 berkata, "Ada juga misionaris yang mencoba berkomunikasi dengan memakai cara-cara asli yang tepat. Namun dalam program misi pada umumnya, hal itu merupakan kegiatan marginal, kurang penting" (hlm 399). Memang, pada perayaan Paskah, Natal, dan hari-hari besar lainnya, sering kita lihat pemakaian kebudayaan pribumi. Dan di samping buku nyanyian "resmi" sering terdapat satu kitab lagu-lagu bahasa daerah yang diiringi dengan penggunaan alat-alat musik asli. Tapi inti semua kegiatan itu bersifat asing. "Cara mengadakan Sekolah Minggu, katekisasi, penyelidikan Alkitab, khotbah, dsb semua bercorak tradisional, yaitu menurut tradisi asing. Biasanya karya yang dibuat menurut kebudayaan pribumi, tidak bertahan lama. Karya itu menjadi debu di lemari pencipta karya itu sendiri", demikian Miriam Adeney (hlm 399). Tapi dia menekankan bahwa pemakaian jenis-jenis kesusastraan indigenos justru merupakan alat yang sangat berguna.
Yang paling penting dalam hal ini ialah pendeta misioner atau guru sebagai pendatang, yang bekerja di tengah orang-orang yang berbeda kebudayaan, harus belajar untuk mengerti dan mengikuti pola pikir asli masyarakat yang dilayaninya.
Ilmu didaktik mengharuskan guru atau pengajar bertitik tolak dari situasi awal murid. Jika kita mengaitkan prinsip didaktis ini dengan petunjuk Adeney di atas, kita akan memahami betapa pentingnya menyelidiki dan memakai kebudayaan asli. Setiap suku bangsa mempunyai kebudayaannya sendiri. Kebudayaan itu berupa kesenian, musik, sandiwara atau kesusastraan. Kebudayaan mencakup seluruh kehidupan manusia. Kita juga dapat berbicara mengenai kebudayaan didaktis, karena dalam setiap suku bangsa ada anak-anak yang perlu dididik. Pendidikan diadakan berdasarkan prinsip-prinsip suku tersebut dengan metode yang sudah berlaku turun-temurun. Dengan kata lain, anak-anak suku bangsa itu dididik dan diajar menurut didaktik asli. Mempelajari didaktik asli, dengan demikian, merupakan hal yang sangat penting bagi siapa saja yang hendak mengajar atau menciptakan metode katekese untuk setiap suku bangsa. Mari kita lihat contoh berikut.
Pada tahun 1985 penulis mendengar dan mencatat cerita-cerita tradisional yang diceritakan oleh Awa, kepala perang suku Citak, Papua Selatan. Kendati sudah tua, ia masih ingat semua cerita yang pernah didengarnya dari ayahnya. Barangsiapa membaca dan meneliti cerita-cerita itu akan mengetahui hal-hal berikut:
– pandangan dunia orang Citak; sejarah lahirnya berbagai peraturan adat-istiadat dan undang-undang suku;
– asal-usul istilah-istilah yang masih lazim dipakai oleh orang Citak hingga sekarang. Sangat menarik melihat bagaimana sastra cerita digunakan oleh orang Citak, untuk menerangkan banyak istilah dan kebiasaan adat kepada generasi mudanya.
Penyelidikan metode asli itu harus menjadi pedoman, sehingga kita bisa menciptakan metode katekese yang optimal dan dapat pula mengajar secara optimal. Ini bukan hal sepele, melainkan kewajiban prinsipiil untuk setiap guru, pendeta, penginjil, dan katekis. |
Cerita-cerita Awa memperlihatkan bagaimana nenek moyang suku Citak mendidik dan mengajar anak-anak mereka peri semua hal yang perlu mereka ketahui dalam kehidupan orang Citak. Cara bercerita merupakan alat terpenting dalam pendidikan tersebut. Melalui cerita anak-anak dididik, diajar, dinasihati, dan dibentuk. Dari uraian di atas dapat disimpulkan pola didaktis sebagai berikut:
– cerita adalah medium pendidikan yang sangat penting; satu cerita, walaupun panjang, seharusnyalah diceritakan sekaligus (artinya, jangan membagi-bagi satu cerita menjadi cerita-cerita singkat).
– cara bercerita analitis kurang cocok; sintese merupakan inti cara pemahaman pribumi ini. Dengan kata lain, cerita itu sudah merupakan bahan ajaran yang arti dan maksudnya sudah jelas dari dirinya sendiri. Arti dan maksud itu tidak perlu lagi digali, misalnya dengan cara bertanya (soal-jawab) atau berdiskusi. Cerita itu sendiri sudah jelas, dan semakin jelas karena diulang-ulang.
– pedagogi tradisional menggunakan banyak hal yang dapat pula digunakan dalam katekese: – mulut yang menirukan bunyi-bunyi penting dalam cerita;
– cerita didukung oleh nyanyian tradisional mengenai peristiwa yang diceritakan itu;
Lagu-lagu tradisional berperan penting dalam penyampaian cerita adat. |
– segala hal ihwal dalam cerita perlu diceritakan secara rinci agar tidak ada yang terlupakan;
– setiap cerita harus tuntas dan tidak boleh berhenti di tengah-tengah dengan mengatakan: "besok kita sambung lagi ...."
– penggambaran tokoh-tokoh dalam cerita harus hidup;
Cara-cara analitis tidak selalu baik dan sesuai dengan didaktik tradisional. Kemampuan memikirkan hal-ihwal kehidupan secara abstrak, sering belum dimiliki. Yang penting ialah ajaran disajikan konkret dengan mengaitkannya pada kehidupan nyata. |
Suku-suku di Indonesia umumnya menggunakan cerita sebagai media pendidikan. Sebenarnya, seperti yang dapat kita baca dalam Alkitab, cara itu juga dipakai oleh bangsa Israel. |
– arti dan pentingnya cerita itu dalam kehidupan sehari-hari diungkapkan secara implisit, tidak secara langsung.
– hikmat kehidupan (termasuk petunjuk-petunjuk etis)
dimunculkan di dalam setiap cerita; di mana saja terbuka kesempatan untuk menunjukkan pentingnya hikmat itu dalam kehidupan orang Citak, peluang itu selalu digunakan.
Jelas bahwa cara berkomunikasi tradisional terutama bersifat lisan. Jelas pula bahwa pemahaman anak mengenai cerita tidak diuji melalui tanya-jawab. Karena dengan mendengarnya berkali-kali, mereka akan menguasai cerita itu (dan ajarannya dalam kehidupan sehari-hari), hingga mereka sendiri mampu menceritakannya kembali.
Banyak cerita mengandung petunjuk-petunjuk praktis, dalam bidang etis, sosial, politik, dan ekonomis.
Cerita biasanya dikisahkan pada malam hari ketika orang tua duduk bersama anak-anaknya di rumah. Pencerita adalah anggota keluarga yang mampu bercerita, sedangkan pendengar biasanya hanya anak laki-laki. Mereka duduk menyimak dan memberikan tanggapan-tanggapan kecil. Tapi mereka ikut menyanyi bila pencerita mulai menyanyi.
Apakah metode tradisional seperti dilukiskan di atas dapat diadaptasi untuk katekese?
Dapat, perlu dan bagus sekali! Karena cara masyarakat bersangkutan telah akrab dengan metode bercerita, maka metode itu sangat tepat digunakan untuk membentuk perilaku dan norma mereka. Bagan berikut menunjukkan hal-hal apa saja yang biasanya diajarkan melalui cerita-cerita itu.
Bagan ini melukiskan kuasa dan fungsi cerita. Dalam cerita itu terkandung semua fase dan tujuan pendidikan yang telah kita pelajari dalam bab mengenai Didaktik: ada tujuan kognitif dan afektif.
Ada pengajaran data, nama, tanggal, dsb, dan ada pula pembentukan sikap, norma-norma serta perilaku. Dengan kata lain, sistem pendidikan tradisional ini memang sederhana tapi sangat lengkap.
Apakah cara ini dapat diadaptasi untuk mengabarkan Injil dan mengajarkan kebenaran Firman Tuhan?
"Ya! Dalam fase permulaan pekabaran Injil cara ini perlu dipakai; karena semua murid masih primitif, buta huruf, dan terikat pada pandangan dunia mereka. Tapi setelah fase itu, setelah "kemajuan diperkenalkan dan mereka ’diadabkan’, maka metode tersebut dapat diganti dengan metode-metode modern."
Pendapat ini ada benarnya. Tapi jangan dilupakan, daya pengaruh cerita sebagaimana diterapkan dalam kebudayaan pribumi sangat kuat. Bukan saja bagi mereka yang hidup secara primitif, tapi juga bagi orang dewasa modern dan terdidik.
Bukankah Yesus Kristus sendiri memakai kekuatan metode cerita untuk mengajar ahli-ahli Taurat (tokoh-tokoh Israel dan orang-orang yang sangat arif!) waktu Ia menceritakan perumpamaan-perumpamaan? Dan bukankah cerita-cerita sejarah keselamatan menyatakan kedaulatan dan kekuatan Allah serta pimpinan-Nya di seluruh dunia dan sepanjang sejarah manusia? Betapa kaya dan berguna hikmat kebijaksanaan perumpamaan itu untuk kita dewasa ini!
Pertimbangan-pertimbangan ini telah menghasilkan metode katekisasi yang khas dan relevan untuk orang Citak. Mereka belajar menceritakan seluruh sejarah keselamatan dalam 12 cerita panjang. Setiap cerita merupakan satu kesatuan yang kemudian dirangkaikan menjadi satu cerita tentang sejarah suci. Metode bercerita sama dengan metode mereka sendiri, sedangkan materinya diambil dari Alkitab. Ajaran iman dimasukkan di bagian mana saja dari cerita bila terbuka kesempatan untuk melakukan hal itu.
Jadi, struktur metode katekisasi sama dengan struktur cerita adat suku (lihat bagan berikut).
Sebagaimana cerita suku merupakan sumber kekuatan untuk membentuk identitas suku, begitu pula cerita Alkitab harus merupakan sumber kekuatan untuk membentuk kehidupan Kristen.
Metode ini tidak menggunakan pendekatan analitis karena unsur-unsur ajaran tidak diuraikan secara eksplisit, tapi menyatu dengan cerita. Karena metode ini mengikuti garis waktu, penyampaian unsur-unsur ajaran agak kurang sistematis. Sebab pemunculan unsur ajaran dalam cerita tergantung dari alur cerita. Tapi bukan berarti di sini tidak ada sistem. Si pencipta metode ini harus mengusahakan agar semua unsur ajaran yang penting (Doa, Iman, Dasa Titah, Ibadah) muncul berulang-ulang (iteratif). Bagan berikut memperlihatkan ke-12 cerita sejarah keselamatan yang disebut di atas:
Istilah holistik menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti "pandangan yang menyatakan bahwa keseluruhan sebagai suatu yang lebih penting daripada satu-satu bagian suatu organisme". Kata ini dipilih untuk mengistilahkan metode katekese yang di-
uraikan di sini, yang didasarkan atas metode didaktik suku (melalui studi sastra suku). Kata sintetis tidak digunakan karena kata ini berkaitan erat dengan pola pikir yang pada dasarnya analitis. Artinya, dalam kata sintetis terkandung makna penyelidikan suatu peristiwa atau gejala secara analitis.
Penyelidikan analitis mendekati dan menguraikan suatu masalah menurut bagian atau unsur-unsurnya yang saling berkaitan. Metode analitis/sintetis ini lazim dipakai dalam ilmu modern, khususnya ilmu eksakta. Bahkan sekarang, cara berpikir seperti ini sudah diajarkan sejak sekolah dasar. Lalu, muncullah pertanyaan kritis terhadap pendekatan ini: apakah cara ini cocok dengan cara berpikir suku terkait? Masalah ini sangat penting, khususnya di daerah-daerah terpencil, seperti pedalaman Papua. Di sana ditemukan perbedaan mendasar antara Timur dan Barat. Proses berpikir yang mengurai masalah ke dalam bagian-bagian kecil untuk memperoleh pengertian tentang prinsip-prinsip dasarnya ... itulah analitis. Dan pemecahan ke dalam bagian-bagian itu untuk mengerti suatu gejala atau untuk mengatasi suatu masalah, merupakan proses berpikir yang tidak asli untuk orang Timur pada umumnya.
Yang lebih cocok untuk orang Timur adalah pendekatan total.
Mereka melihat dan mengerti sesuatu secara utuh, bukan dengan cara menguraikan sesuatu itu ke dalam banyak bagian lalu menyelidikinya. Kemudian (berdasarkan hasil penyelidikan itu) menentukan kaitan antara bagian yang satu dengan bagian lainnya; dan berdasarkan itu semua lantas menetapkan pengertian dari sesuatu itu sebagai totalitas. Uraian yang agak rumit ini menjadi jelas sekali dalam kata-kata seorang Papua, yang mengungkapkan perbedaan proses berpikir antara orang Timur dan Barat, sebagai berikut:
"Bila kami berpikir maka otak kami penuh dengan semua hal sekaligus, seperti dinding gaba-gaba, yang kami lihat sebagai keseluruhan. Bila kamu (maksudnya orang Barat) berpikir maka kamu mengambil bagian dari yang kamu pikirkan, ibarat melepaskan setiap batang dari dinding gaba-gaba itu, memeriksanya, dan memasangnya kembali, baru setelah itu mengambil batangnya."
Uraian di atas harus menjadi pedoman dalam menciptakan suatu metode katekese yang sesuai dengan pola pikir holistik itu. Sebagai prinsip kerja kita menentukan bahwa pemecahan kesatuan cerita Perjanjian sedapat mungkin harus dihindari. Pola pikir holistik itu (yaitu melihat dan mengerti sesuatu sebagai keseluruhan) juga nyata dari cara orang Citak bercerita, sebagaimana kita dengar dari Awa. Pengertian anak tidak diperiksa melalui ujian berbentuk soal-jawab, karena metode itu memang berasal dan berdasarkan pola pikir analitis. Barangsiapa mampu menceritakan ulang sebuah cerita, lengkap dengan semua rinciannya, maka anak itu "lulus" dan mendapat pujian. Kemudian ia akan tumbuh dewasa dan melahirkan anak-anaknya. Dan sebagai orang tua, ia akan menceritakan kembali semua cerita yang pernah dia dengar dari ayahnya.
Sekarang menjadi jelas cara memahami rangkaian cerita Perjanjian yang dilukiskan di atas. Yang perlu diperhatikan dan dimengerti, adalah keseluruhan dan kesatuan rangkaian cerita itu; seluruh rangkaian itu merupakan:
SATU SEJARAH PERJANJIAN.
Dan sejarah itu mempunyai satu tujuan saja, satu arti, satu cerita:
BAGAIMANA ALLAH YANG SATU-SATUNYA SUKA BERGAUL DENGAN MANUSIA.
Barangsiapa mampu memahami seluruh cerita ini, ia akan bergaul dengan Allah, dan pandangannya terhadap dunia dan kehidupan manusia akan dikuasai oleh pengetahuan itu. Sebab cerita itu akan menjadi sumber kekuatan yang luar biasa bagi dia.
Dan sebagaimana cerita suku terdiri dari sejumlah besar dongeng, sejarah suku atau cerita adat, begitu pula Cerita Perjanjian mencakup cerita-cerita lepas yang hanya mempunyai arti dalam keseluruhannya. Setiap cerita dapat diceritakan sendirisendiri, tapi arti dan tujuannya hanya dapat dipahami bersamasama dengan cerita lainnya, sebagai satu cerita besar.
Yang penting dalam metode ini adalah cara untuk mengulangi setiap cerita dengan baik dan lengkap. Tentang itu ingatlah bagaimana para leluhur melestarikan dan mewariskan cerita-cerita suku turun-temurun. Tradisi lisan ini tidak pernah berhenti dan tetap berhasil mencapai tujuannya. Tidak ada buku yang merekam cerita-cerita itu, hanya otak manusia. Hal itu hendaknya tidak ditafsirkan sebagai kekurangan atau kelemahan melainkan kekuatan. Karena pengetahuan yang ada dalam otak manusia lebih fungsional dibandingkan pengetahuan yang tertulis dalam buku.
Melalui rangkaian cerita-cerita, kekuatan inilah yang dimanfaatkan dalam katekisasi yang meneladani metode tradisi lisan. Syarat yang penting ialah bahwa setiap cerita diajarkan melalui langkah-langkah berikut:
1. Pengajar menceritakan satu cerita sampai selesai. Setiap cerita harus diceritakan utuh sebagai satu kesatuan dan tidak terputus-putus. 2. Cerita diulangi beberapa kali. 3. Murid-murid mencoba melanjutkan cerita pada bagian mana guru memberi kesempatan. 4. Satu atau dua murid diundang untuk bercerita sendiri. 5. Murid lainnya bersama guru mengoreksi di mana dan pada bagian mana ia menyimpang dari cerita asli. 6. Setiap murid harus belajar menceritakan cerita sendirian di muka umum. 7. Murid "lulus" hanya bila ia berhasil menceritakan sebuah cerita dari awal sampai akhir, tanpa bantuan orang lain. |
Dalam metode tradisi lisan ini, peranan kelompok sangat penting. Karena kelompoklah yang harus mendengar, mengoreksi, dan memetik pelajaran dari setiap cerita. Kelompok berfungsi sebagai penjaga tradisi lisan dan penjaga lengkapnya setiap cerita. Belajar melalui cerita merupakan usaha bersama, gotong-royong, tolong-menolong. Barangsiapa mampu dengan cepat menguasai sebuah cerita, janganlah ia langsung meninggalkan kelompok itu, tapi justru tinggal untuk membantu anggota lain yang kurang mampu, hingga mereka semua mencapai hasil yang diharapkan.
Pengajar harus menguasai setiap cerita dengan baik. Ia juga harus mampu bercerita secara menarik. Tujuannya adalah agar ceritacerita itu hidup dalam hati anggota-anggota kelompok. Karena itu, ia harus mengerahkan segenap kharismanya dalam bercerita. Menggunakan gerak-gerik yang baik, bunyi-bunyian, dan nyanyian yang sesuai dengan cerita. Tapi, setelah bercerita beberapa kali, tugasnya berubah sama sekali. Dia harus berhenti bercerita dan kelompok mulai mengambil alih cerita itu (inilah yang disebut tradisi!). Sejak itu ia bertugas terutama untuk memimpin dan mengatur proses tradisi lisan ini. Ia bertanggung jawab agar proses tersebut tetap berlangsung dengan baik, hingga semua anggota kelompok mampu bercerita. Baru setelah itu ia beralih ke cerita berikutnya. Dan ia juga berperan penting dalam merangkaikan cerita-cerita tersebut, agar pada akhirnya seluruh cerita Perjanjian diketahui dan dikuasai oleh setiap anggota kelompok.
Apakah di samping cerita tidak perlu lagi diadakan pengajaran khusus mengenai pokok-pokok iman? Umpamanya, sesuai dengan buku katekismus tertentu? Tidak! Karena metode ini sudah bersifat holistik, menyeluruh. Itu berarti, ajaran mengenai pokok-pokok iman sudah terkandung dalam cerita. Semua hal yang perlu diajarkan sesuai dengan tujuan teologis katekese, telah terjalin dan menyatu dalam cerita. Dengan demikian, ajaran atau amanat tidak diuraikan secara abstrak tapi secara konkret, karena disajikan dalam konteks kehidupan umat Tuhan, yang mirip dengan kehidupan masa kini. Miriam Adeney mengatakan,
"Kabar misioner pada umumnya bercorak cerita. Alkitab bukanlah ajaran abstrak. Alkitab adalah cerita mengenai manusia yang mengenal Allah. Dari cerita tentang Daud, kita lihat keragu-raguan. Dari Yeremia, kita lihat perasaan putus asa. Dari Yusuf, kita baca kisah pembuangan oleh famili. Dst."
Berkaitan dengan itu simaklah bagaimana Ibr 11 melukiskan semua saksi iman dari PL, "bagaikan awan yang mengelilingi kita," (Ibr 12:1).
Sajian di atas cocok dengan uraian kita mengenai cerita suku, yang juga berisi banyak "konotasi" mengenai kehidupan, etika, perang, agama, dll, (lihat bagan bab X). Hal inilah yang akan kita terapkan dalam metode katekisasi yang bersifat holistik itu. Dapatkah semua bahan yang hendak diajarkan dimasukkan dalam cerita, sehingga menjadi bagian yang utuh dari cerita tersebut? Bagaimana caranya?
Dari bagan rangkaian cerita Perjanjian (hlm 202) terlihat bahwa secara historis (menurut urutan kejadiannya) Pengakuan Iman Rasuli dapat dimasukkan menjadi bagian yang utuh dari cerita tersebut. Dasa Titah dijelaskan terutama pada bagian cerita mengenai pemberian Hukum di Gunung Sinai. Sedangkan keterangan mengenai ibadah Kristen dan sakramen-sakramen, cocok sekali ditempatkan pada bagian mengenai jemaat mula-mula dalam PB. Sebenarnya semua ajaran itu diperlihatkan kembali dalam konteksnya yang historis. Tapi, bukan ajaran itu yang dimasukkan ke dalam cerita, sebab justru ajaran itulah yang menjadi inti cerita. Rangkaian cerita Perjanjian dan ajaran yang dikandungnya dilukiskan pada bagan berikut.
Metode cerita diterapkan baik untuk anak-anak maupun orang dewasa yang ingin diterima sebagai anggota sidi. Tapi bagaimana dalam praktiknya? Apakah teknik dan isi cerita sama untuk setiap tingkatan usia? Sudah jelas bahwa cerita berfungsi sebagai kerangka historis untuk mengatur dan mengisi katekisasi. Dan dalam bagan sebelumnya sudah diperlihatkan kemungkinan untuk menciptakan kurikulum sesuai dengan tingkatan usia, sebagai berikut:
Kelompok 1
Kelompok ini terdiri dari anak-anak usia 10 tahun ke atas, atau orang dewasa yang ingin mengaku percaya. Pada permulaan ini, cerita diceritakan lengkap, tapi penyampaian ajaran dilakukan secara sederhana, sesuai dengan tingkat kemampuan nalar anggota kelompok. Umpamanya, unsur-unsur berdoa atau Dasa Titah cukup disebutkan, belum diuraikan lebih jauh. Semua cerita harus diulang oleh anggota kelompok.
Kelompok 2
Semua cerita diulangi dari awal dengan memasukkan unsur ajaran sedikit demi sedikit. Murid harus menyebut arti dan maksud peristiwa-peristiwa untuk mereka. Orang dewasa yang ikut pada tahap ini akan menyelesaikan katekisasi setelah mereka mempelajari arti dan menghafal isi Doa Bapa Kami, Dasa Titah, dan Pengakuan Iman Rasuli. Anak-anak juga harus menghafal ketiga materi tersebut.
Kelompok 3 dan 4
Pada tahap ini, anak-anak sudah mulai menguasai cerita-cerita yang mereka pelajari. Namun demikian, mereka masih mempelajari arti semua peristiwa dan pokok-pokok iman dari cerita-cerita tersebut. Umpamanya, berkaitan dengan cerita kelahiran Yesus, mereka mempelajari arti "dikandung dari Roh Kudus" dan "lahir dari anak dara Maria", dan membandingkannya dengan ungkapan Katekismus Heidelberg mengenai hal tersebut.
Kelompok 5: calon sidi
Pada tahap ini, pokok-pokok iman, khususnya ajaran mengenai sakramen-sakramen, arti baptisan, dan Perjamuan Kudus perlu diperhalus. Ingat, ajaran tersebut dapat diberikan dengan memasukkannya dalam cerita mengenai baptisan Perjamuan Kudus pada jemaat mula-mula. Sedangkan kehidupan Kristen (khususnya pertobatan dan pembaruan oleh Roh Kudus serta kewajiban orang Kristen terhadap jemaat dan dunia) diajarkan dalam ceritacerita mengenai jemaat di Asia Kecil (Korintus, Efesus, Laodikia, dsb.).
Metode cerita ini juga cocok diterapkan di daerah yang sedang berkembang. Soalnya, masyarakat masih akrab dengan cerita dongeng dan tradisi lisan. Para orang tua pun masih akan mampu mengikuti metode tersebut. Metode-metode lain (misalnya metode tanya-jawab) kurang mereka pahami, sehingga metode terse but tidak akan mampu menyampaikan ajaran Kristen yang berfungsi sebagai sumber kekuatan dalam kehidupan mereka. Harapan kita ialah, metode yang diadaptasi dari metode leluhur ini mampu membuahkan kehidupan Kristen yang saleh. Tapi itu semua tergantung dari kemampuan pengajar untuk memenuhi tanggung jawabnya sesuai dengan tujuan metode ini. Itulah syarat terpenting.
Selain untuk daerah sedang berkembang, metode ini juga terbukti sangat cocok untuk anak-anak sekolah, baik di desa maupun di kota. Karena itu, penerapan metode ini perlu dipertimbangkan.
Tapi bukan berarti metode lain (misalnya yang menggunakan buku-buku tanya-jawab dan gambar-gambar sederhana) tidak baik. Metode yang diciptakan Pdt. H. Versteeg (lihat lampiran "Katekisasi di kampung") juga bercorak tradisional tapi cukup baik. Para misionaris atau pengajar katekisasi sebaiknya berprakarsa meneliti dan menggunakan didaktik suku sebaik-baiknya, guna memperkayanya dengan metode lain yang lebih relevan.