Setelah melihat bentuk bahan katekese dan unsur-unsurnya, sekarang kita membahas hal pengorganisasian unsurunsur yang diajarkan itu. Dengan istilah didaktis: menentukan kurikulum katekese.
(organisasi dan urutan unsur-unsur katekese)
Ada banyak cara menyusun buku katekismus dan menetapkan kurikulum katekisasi. Sudah kita lihat bahwa urutan pembahasan pokok-pokok iman merupakan hal penting, dan sering mencerminkan dasar-dasar prinsipiil yang menjadi landasan penyusun kurikulum tersebut. Tapi, cara mana pun yang ditempuh perlu diperhatikan faktor-faktor berikut.
– alasan-alasan teologis; urutan pembahasan pokok-pokok iman bukannya tidak punya arti penting. Katekismus Heidelberg, umpamanya, justru dalam urutannya memperlihatkan secara jelas prinsip-prinsip teologi Reformasi. Urutan itu menekankan dan mengajarkan kebenaran oleh kasih karunia saja.
– alasan-alasan pedagogis; metode itu perlu dirancang, menurut prinsip-prinsip didaktis yang baik serta mementingkan tahap-tahap psikologi belajar.
– alasan-alasan keadaan; keadaan dapat mempengaruhi cara kerja, frekuensi (kekerapan), susunan, dan jumlah bahan pelajaran katekisasi (lihat bagan mengenai korelasi antara keadaan dan metode katekese pada bab sebelumnya).
– alasan-alasan kebudayaan; kebudayaan juga merupakan faktor penting dalam menentukan cara kerja, susunan pokok katekese dsb. Masalah ini akan dibicarakan secara khusus dalam bab selanjutnya (15).
– alasan-alasan misioner, dalam keadaan misioner seorang pekabar Injil biasanya menghadapi keadaan yang agak sulit, karena orang belum tahu apa-apa mengenai perbuatan-perbuatan Allah. Bahan dan metode katekese harus disesuaikan dengan keadaan ini. Biasanya ada pula katekisasi khusus dewasa dan orang-orang tua.
Daftar alasan ini menunjukkan betapa penentuan metode dan susunan bahan sangat dipengaruhi oleh keadaan di lapangan. Dalam bab sebelumnya sudah diuraikan pentingnya faktor keadaan (lingkungan) diperhatikan berkaitan dengan penentuan isi bahan katekese. Pengaruh faktor lingkungan menasihatkan kita untuk betul-betul menyadari, bahwa setiap keadaan yang berbeda menuntut pertimbangan panjang lebar dari pihak gereja (pengajar melalui kerja sama dengan majelis). Karena itu pula sebuah metode katekisasi tidak dapat ditetapkan dalam bentuk yang kaku. Kenyataan inilah nampaknya yang menyebabkan dalam keadaan misioner sering diciptakan sejumlah besar metode katekisasi. Akibatnya ada yang dengan berseloroh mengatakan, "Setiap pendeta misioner yang menghargai dirinya, seharusnya mengembangkan metode dan buku katekesenya sendiri". Tapi bukan hanya dalam keadaan misioner buku-buku katekismus dapat tumbuh seperti cendawan di musim hujan. Di Eropa (umpamanya pada pertengahan abad ke-18 dan abad ke-19) diterbitkan sejumlah besar metode dan buku katekese baru. Ini sebenarnya kurang baik. Tapi, di sisi lain, ini membuktikan bahwa setiap pengajar harus menciptakan metode yang sesuai dengan budaya, bahasa, tingkat perkembangan, dan lingkungan pendidikan umum masyarakat yang dilayaninya.
Ini terasa sangat mendesak bila, misalnya, dalam keadaan misioner di mana sama sekali tidak ada orang yang tahu membaca dan berbahasa Indonesia. Sementara itu ada kalanya orang-orang yang sudah ubanan mohon dibaptis. Untuk itu tentu mereka perlu mengikuti katekisasi lebih dulu. Keadaan demikian akan mempengaruhi bahan, susunan, dan metode katekisasi yang akan dijalankan. Karena para orang tua itu belum mengenal budaya baca tulis, maka menggunakan alat-alat tulis dalam katekisasi, misalnya buku, buku tulis, papan tulis, dan peta-peta yang harus dihafal akan sia-sia.
Metode pengajaran juga harus disesuaikan bila gereja hendak mendidik anak-anak kota apalagi kelompok siswa dan mahasiswa. Di kota, di mana biasanya ditemui sekolah tinggi atau universitas, gereja harus mempunyai metode yang berbeda, sesuai dengan tuntutan masyarakat setempat. Pemuda-pemudi kota tentu suka membaca buku, mengamati peta, dan menggunakan media lain (visual, audiovisual). Mereka pun suka berdiskusi secara intelektual.
Dalam hal mengatur perangkat mata pelajaran katekisasi, ada yang membedakan antara kurikulum konsentris dan kurikulum mengikuti garis (linier). Dalam Bab Katekese dan Kebudayaan akan kita lihat dua metode yang lain, yang sesuai dengan kebudayaan setempat. Metode itu mempunyai keterkaitan dan kemiripan dengan dua metode yang dilukiskan di sini.
Bagan berikut memperlihatkan metode penyusunan program belajar itu:
– menurut garis lurus (linier); menurut sejumlah lingkaran yang memiliki pusat yang sama (konsentris)
Menyusun bahan dengan cara linier dinilai kurang bijak. Karena dengan cara ini Alkitab hanya diajarkan secara khusus dalam tahap pertama peng-ajaran (umur 12-13), sehingga perhatian terhadap Alkitab menjadi berkurang pada tahap-tahap berikutnya.
Hal ini tidak baik karena Alkitab justru harus berperan dominan dalam pengajaran muda-mudi Kristen. Lagi pula, dengan cara ini, pengajaran semua bahan terbagi-bagi dalam bidang dan kurun waktunya sendiri. Ini pun tidak baik, karena kehidupan Kristen justru tidak boleh dibagi ke dalam wilayah-wilayah yang saling terpisah. Alangkah baiknya kalau kesatuan kehidupan tercermin dalam kurikulum katekese.
Metode lain yang disebut konsentris lebih baik dan menarik.
Setiap periode katekisasi memberi perhatian kepada keempat masalah yang terpenting itu: Alkitab, Pokok-pokok Iman, Kehidupan Kristen, dan Hal-hal Gereja. Kepada kelompok anak usia 12-14 tahun, sudah diajarkan hal berdoa, beribadah, pekabaran Injil, diakonia, dan Isi Alkitab. Cara ini juga lebih menarik karena lebih variatif. Umpamanya, pelajaran tahap kedua untuk anak usia 15-17 tahun adalah PL, Pengakuan Iman Rasuli, Sejarah Gereja, dan Dasa Titah. Kurikulum ini juga menjamin pengajaran yang makin mendalam sampai lingkaran terakhir: katekisasi khusus untuk mereka yang ingin menjadi anggota sidi. Pada tahun persiapan sidi, pokok-pokok iman, soal-soal Alkitab, kehidupan Kristen dan bidang gereja dibahas lebih mendalam.
Jelaslah dalam jemaat diberikan pelajaran dalam bentuk yang beraneka ragam. Ada katekisasi, kelompok-kelompok penyelidikan Alkitab, kaum ibu-bapak, Sekolah Minggu, dll. Muncul pertanyaan: Apakah penyampaian ajaran seperti ini tidak semrawut? Apakah pengajaran tersebut dilakukan menurut pola tertentu, berdasarkan perencanaan yang bijak? Dalam sistem pendidikan dewasa ini, setiap sekolah wajib mengikuti kurikulum yang ditentukan secara teliti. Dalam kurikulum tersebut, semua alasan yang dikemukakan pada bagian awal bab ini selalu dipertimbangkan sebaik-baiknya. Tidakkah perlu diciptakan sebuah kurikulum untuk seluruh jemaat, sehingga semua kegiatan pengajaran diatur sesuai dengan kurikulum itu? Soal ini dibicarakan pada bagian akhir bab ini.
Juga perlu dipertanyakan, apakah Pendidikan Ajaran Kristen perlu dibatasi hanya untuk anak-anak yang menuju sidi atau orang dewasa yang ingin menerima baptisan? Bukankah baik mengatur sebuah rencana menyeluruh untuk seluruh jemaat? Karena setiap orang perlu dididik dalam setiap jenjang kehidupannya. Mereka yang sudah anggota sidi (setelah mengikuti katekisasi) perlu terus menerima ajaran Kristen. Melalui pendidikan itu jemaat dikuatkan dan persekutuan orang kudus terpelihara dengan baik.
Kesadaran mengenai hal ini sudah muncul sejak zaman Reformasi.
Sejak tahun 1533, dalam Tata Gereja Wittenberg yang digunakan di gereja-gereja Lutheran, ditentukan bahwa seorang pemimpin perlu berkhotbah berdasarkan pola katekismus. Materi khotbah disesuaikan dengan urutan seperti yang terdapat dalam katekismus. Itu berarti bahwa pada petang setiap hari Minggu, jemaat diajar untuk mengerti pokok-pokok iman Reformasi. Calvin juga mengatur pemakaian katekismusnya di Jenewa. Katekismus Heidelberg mulai berperan penting dalam kebaktian sore di banyak Gereja Reformasi sejak tahun 1563. Pada tahun itu, isi katekismus dibagi ke dalam 52 hari Minggu, sesuai dengan jumlah hari Minggu dalam setahun. Sejak itulah pemakaian katekismus sebagai nas khotbah makin dilazimkan di banyak gereja, hingga dewasa ini. Dengan kata lain, cara ini menjamin pengajaran seluruh jemaat setiap hari Minggu. Untuk setiap anggota jemaat, tua dan muda, hal itu merupakan pengajaran pokok-pokok iman yang sistematis dan mencakup seluruh aspek kehidupan.
Sifat khotbah katekismus itu tidak sama seperti ajaran di sekolah atau di katekisasi. Hal itu selalu ditekankan sejak dahulu. Sifatnya harus tetap pelayanan Firman demi pembinaan jemaat. Tujuannya memang untuk membina pengetahuan jemaat tentang ajaran sejati gereja dan pembelaan kebenaran gereja di tengah dunia. Tapi secara prinsipiil khotbah ini tidak berbeda dari khotbah-khotbah lainnya. Khotbah katekismus tidak pernah boleh menjadi katekismus. Memang, bahannya sama (umpamanya Katekismus Heidelberg) tapi dalam khotbah bahan itu harus diuraikan lebih jauh lagi.
Sebagai sarana mengantar jemaat ke dalam harta-harta kebenaran Allah, khotbah Katekismus Heidelberg sangat berguna dan memuaskan.
Walaupun khotbah katekismus merupakan sarana yang tepat untuk mengajar jemaat, bukan berarti kurikulum besar untuk seluruh jemaat menjadi tidak perlu. Kurikulum itu perlu untuk mengatur pelaksanaan dan materi pelajaran untuk anak-anak, muda-mudi, calon-calon nikah, orang tua, orang dari luar (yang ingin masuk gereja) dan anggota jemaat lainnya. Dalam kurikulum tersebut, pengajaran seluruh materi pelajaran penting direncanakan secara bertahap: Perjanjian Lama dan Baru, Sejarah Gereja, Ajaran Iman, Ibadah, Diakonia, Kehidupan Kristen di tengah dunia, Etika, Pekabaran Injil, dll.
Sekali lagi, kondisi setempat harus menjadi patokan utama dalam menjalankan rencana pendidikan tersebut. Di beberapa tempat misalnya, pengajaran bidang-bidang pelajaran di atas telah terjamin dengan sendirinya. Umpamanya, sekolah-sekolah Kristen yang memperhatikan pengetahuan mengenai cerita-cerita Alkitab dan Sejarah Gereja. Sekolah Minggu pun menjamin pengajaran cerita-cerita itu, ditambah praktik ibadah, berdoa, menyanyi, dsb. Katekisasi menjamin pengajaran ajaran gereja kepada muda-mudi dan Katekisasi Sidi, kemudian memperdalam pengetahuan itu. Kelompok-kelompok lain (penyelidikan Alkitab, kebaktian rumah, kaum ibu) menjamin pengajaran seterusnya untuk lebih mengerti nas-nas Alkitab dan untuk memperdalam pengertian (dengan cara diskusi). Semua program pengajaran tersebut bisa saja berlangsung secara semrawut atau secara sistematis. Tapi yang lebih sering terjadi adalah kesemrawutan itu. Nas-nas dipilih hanya menurut keinginan pribadi tertentu atau mengikuti keadaan aktual. Akibatnya buruk, karena dengan demikian bukan
Alkitab yang menentukan rencana pengajaran, melainkan hal-hal yang kebetulan.
Dengan demikian jelaslah, betapa baiknya dibuat sebuah rencana pengajaran menyeluruh. Dan rencana itu dimulai dengan pendidikan iman kepada anak-anak dalam rumah tangga. Rencana itu tidak hanya mencakup kalangan berumur. Sebab Pendidikan Ajaran Kristen tidak berhenti setelah seseorang menjadi anggota sidi. Detik-detik pengakuan sidi justru harus dilihat sebagai titik tolak atau mata jalan menuju pengetahuan yang lebih lengkap.
Rencana pengajaran juga tidak boleh diatur secara kaku, melainkan harus fleksibel. Kurikulum ini berbeda dari kurikulum sekolah, karena yang diutamakan di sini adalah belajar dengan kepala, hati, dan tangan. Rencana ini lebih mengikuti bentuk spiral70 daripada garis atau lingkaran konsentris. Semua pokok iman berulang-ulang dibahas, di semua jenjang kehidupan segenap golongan usia.