Muasal semua Gereja Protestan di seluruh dunia adalah REFORMASI AKBAR yang terjadi abad ke-16. Muasal ini terus mengalir sampai ke ujung bumi hingga hari ini. Marilah belajar dari tokoh-tokoh reformasi seperti: Luther, Calvin, dan Zwingli. Mereka mengajar kita mempertahankan dan menerapkan prinsip reformasi: Sola Scriptura, Sola Fide, dan Sola Gratia. Di bidang katekese mereka juga konsisten menerapkan prinsip utama ini. Dasar katekese yang mereka letakkan empat abad yang lalu ternyata semakin aktual untuk gereja masa kini. Justru kita perlu menyelidiki secara saksama perkembangan katekese pada abad reformasi.
Dengan menempatkan Alkitab sebagai titik pusat teologi dan praktik gereja, reformasi abad ke-16 membawa perubahan besar juga dalam katekese. Perubahan itu juga meliputi pemerdekaan pribadi manusia dari kungkungan pengajaran "institut" Roma. Tapi pembaruan itu tidak mengesampingkan bahan katekese lama.
Keempat unsur tradisionalnya (iman, titah, doa, sakramen) mampu bertahan bahkan muncul dengan kekuatan baru sebagai ringkasan ajaran Kitab Suci yang sangat baik dan berguna. Reformasi Akbar itu menghasilkan aneka ragam karangan katekismus, tapi pada umumnya semua mempertahankan keempat unsur tradisional itu. Lihat ikhtisar berikut:
Luther
Pada tanggal 31 Oktober 1517, Martin Luther, tokoh utama reformasi, menempelkan ke-95 dalilnya di pintu gereja Wittenberg. Peristiwa ini biasanya dikenal sebagai hari lahirnya Reformasi Akbar. Kemudian pada tahun 1529 Luther menulis Katekismus Besar dan Katekismus Kecil. Dalam buku tersebut ia menguraikan ajarannya yang didasarkan atas ketiga semboyan reformasi: Sola Scriptura, Sola Fide, Sola Gratia.
Calvin
Calvin juga membahas keempat unsur katekese lama itu dalam katekismus yang disusunnya, "De Institutione Christi". Pada tahun 1536 ia meringkaskan buku "De Institutione Christi" sehingga cocok menjadi bahan pelajaran bagi jemaat. Ia mengarang lagi sebuah "Katekismus" pada tahun 1541 yang lazim dikenal sebagai "Katekismus Jenewa".
Secara khusus kita akan membahas pandangan Calvin mengenai pentingnya Pendidikan Ajaran Kristen pada bab berikutnya.
Martin Luther
Melanchthon; Zwingli
Catechismus karangan Melanchthon30 sesuai dengan katekismus Luther. Tapi Zwingli31 menyimpang dari paham itu karena ia menghilangkan Dasa Titah dan Sakramen-sakramen.
Inggris: Cranmer
Di Inggris, Hendrik VIII, setelah murtad dari Gereja Katolik Roma, menyuruh ke-10 uskupnya menyusun "Institution of a Christian", yang kemudian digunakan sebagai buku pelajaran dalam gereja-gereja di Inggris. Pekerjaan tersebut berlangsung di bawah pimpinan Cranmer dan mendapat bantuan dari sejumlah cendekiawan. Selain memuat keempat unsur katekese awal, dalam buku itu ditambahkan doa Ave Maria, pembenaran oleh iman dan api penyucian arwah. Beberapa unsur yang khas Katolik tetap ditampilkan, tapi bersamaan dengan itu, dimunculkan pula dengan baik sebuah ajaran yang khas reformis. Ketika Cranmer menyusun lagi sebuah buku katekismus pada tahun 1548, umumnya ia mengikuti katekismus Luther.32
Mula-mula kaum Presbiterian dan Puritan33 di Inggris mengikuti Katekismus Calvin. Tapi pada abad ke-16, mereka menulis katekismus sendiri (besar dan kecil), yang berkembang terus, dan akhirnya disetujui secara resmi oleh rapat gerejawi pada tahun 1643 di Westminster sebagai Katekismus Westminster. Dalam katekismus itu juga dibahas apa gunanya mendengar dan membaca Firman Allah.
Swiss
Di Swiss, sewaktu reformasi Zurich, untuk pertama kalinya Bullinger (1566)34 menyertakan dalam katekismusnya yang besar sebuah bab terpisah mengenai Kitab Suci. Sebelumnya (1534), Leo Judae hanya membahas keempat unsur katekese awal dalam katekismus yang disusunnya. Kaum gereformeerd calvinistis di Swiss dan Prancis juga memakai Katekismus Calvin atau sadurannya.
Andreas Hiperius
Sebagai ahli teologi reformasi irenis di Marburg, Andreas Hiperius († 1564) menata buku katekismusnya Elementa religionis christianae35 sesuai dengan Ibr 6:1. Lalu, berdasarkan penggolongan keempat unsur utama katekese, ia membagi bukunya dalam tujuh bab sebagai berikut:
1. Meninggalkan perbuatan yang sia-sia (Dasa Titah);
2. kepercayaan kepada Allah (Apostolikum);
3. ajaran mengenai baptisan;
4. ajaran mengenai kewajiban dan perbuatan baik;
5. penumpangan tangan (Perjamuan Kudus);
6. kebangkitan orang mati;
7. penghakiman terakhir.
Orang lain juga mengikuti skema ini, tapi pada akhirnya keempat unsur utama itu (iman, titah, doa, sakramen) tetap mendominasi semua buku katekismus yang disusun kemudian.
Edisi pertama Katekismus Heidelberg tahun 1563.
Pada tahun 1562 Kaspar Olevianus dan Zakharias Ursinus bekerja sama menulis sebuah katekismus yang kemudian terkenal di antara kaum reformis yang bercorak calvinistis. Raja Palts yang bernama Frederik III, menetapkan bahwa seluruh rakyatnya harus menerima ajaran reformasi. Selain itu, ia juga mengatur pendidikan ajaran reformasi di gereja-gereja dan sekolah-sekolah. Untuk itulah ia menyuruh Olevianus (1536-1587) dan Ursinus (1534-1583) keduanya mahaguru teologi d i Heidelberg menyusun sebuah buku katekismus. Mereka juga menggunakan buku-buku katekismus lain (umpamanya dari Leo Judae, 1534; Calvin, 1545; Yohanes à Lasco, 1546) sebagai bahan perbandingan dalam penyusunan buku tersebut. Cetakan pertama Katekismus Heidelberg terbit pada tahun 1563. Karena isinya sangat bagus buku ini menjadi sangat terkenal dan disukai banyak orang. Buku Katekismus ini dipakai di seluruh dunia dan masih aktual hingga hari ini.
Jadi reformasi tetap mempertahankan unsur-unsur katekese dari gereja kuno. Tapi di lain pihak, reformasi harus pula mencari dasar-dasarnya sendiri, yakni dengan cara melakukan perluasan atau penggalian lebih dalam atas isi Kitab Suci. Bullinger, dalam Katekismus Besar, sudah menyebutkan perluasan itu sebagai bagian dari ajaran reformasi. Hal itu akhirnya terwujud dalam bentuk pembahasan sejarah Kitab Suci secara tersendiri.
Berikut ini adalah garis besar pembaruan katekese sebagai hasil reformasi:
Ketiga pokok ini akan kita teliti dalam bagian berikut.
Sungguh menarik, bahwa pada permulaan masa reformasi, Alkitab muncul dalam sebuah katekismus edisi tertua, tapi hanya sebagai sumber pemberitaan Injil. Umpamanya pada Luther, Calvin, dan juga dalam Katekismus Heidelberg. Walaupun Zwingli menghendaki agar anak-anak mengenal Kitab Suci, khususnya sejarah Suci, namun ia tidak memasukkan hal itu menjadi suatu unsur khusus dalam katekismusnya. Sebaliknya Bullinger, teman sekerjanya, melakukannya. Pelajaran tentang sejarah Kitab Suci digali dari Alkitab sendiri. Namun begitu, di mana pun tidak pernah ada mata pelajaran khusus mengenai sejarah Kitab Suci dalam katekese. Dan memang di situlah letak perbedaan penting antara pengajaran zaman reformasi dengan pra-reformasi. Juga usaha menghafal sejumlah ayat dan mengetahui beberapa kisah Alkitab, sejak semula dianggap penting oleh reformasi untuk memperjelas ajaran Kristen. Hal itu tampak jelas dari buku-buku katekisasi yang sejak abad ke-16 banyak sekali diterbitkan. Tapi Alkitab sebagai buku sejarah, tidak mendapat perhatian utama bagi para reformator. Bagi mereka yang lebih penting adalah pemberitaan Firman yang hidup.
Kesadaran akan pentingnya pengetahuan sejarah Kitab Suci baru benar-benar muncul pada akhir abad ke-16 dan terus berlangsung hingga abad ke-17. Aliran pietisme misalnya sangat mempedulikan pengetahuan mengenai sejarah Kitab Suci. Sebagai contoh kita lihat buku-buku berikut:
"Kisah-kisah Alkitab dengan lukisan-lukisan"36
Buku tentang sejarah Alkitab, diberi ilustrasi. Meskipun cenderung mengikuti Alkitab bergambar dan Alkitab sejarah dari zaman pra-reformasi, buku ini jauh lebih teliti dalam mengikuti data-data Alkitab.
"Bahan peringatan ke-17 buku sejarah PL"37
Buku ini terbit di kalangan kaum pietis pada abad ke-17. Merekalah yang pertama kali memasukkan seluruh sejarah Alkitab ke dalam katekese. Dalam buku ini setiap buku sejarah dalam Alkitab diringkas dalam bentuk sastra puisi. Tujuannya untuk dihafal di luar kepala!
"Sejarah Suci Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru"38
Di Jerman, tokoh pietisme Philipp Jacob Spener († 1705) memberi tempat tetap bagi sejarah Alkitab dalam bahan katekese. Buku ini paling banyak dipakai dibandingkan bukubuku lainnya. Penggantinya adalah buku yang berjudul,
"Dua kali lima puluh dua cerita Alkitab"39
Buku ini terkenal dan dicetak ulang lebih dari 100 kali. Di samping cerita-ceritanya, ada sejumlah pertanyaan (yang jawabannya tidak dapat dicari dalam cerita bersangkutan) dan sajak tentang penerapan ajaran Alkitab dalam kehidupan sehari-hari. Sampai abad ke-19 buku ini mendominasi pengajaran sejarah Alkitab.
"Barang emas permata"40
Buku yang terbit di Belanda ini juga menyertakan sejarah PL dan PB. Seterusnya buku-buku mengenai sejarah Kitab Suci terbit dalam jumlah besar dan dalam bentuk aneka ragam. Bahkan ada kecenderungan untuk memberi porsi yang lebih besar bagi cerita-cerita Alkitab daripada ajaran gereja. Umpamanya pada akhir abad ke-18, katekismus bahkan mulai terdesak oleh sejarah Alkitab, seperti misalnya tampak dalam,
"Pertanyaan-pertanyaan Historis Alkitab"41
Hingga sekitar 100 tahun kemudian buku ini masih banyak dipakai di Belanda dan menjadi pedoman untuk penyusunan buku-buku lain yang sama metodenya.
Berkembangnya pembahasan Alkitab sebagai sejarah, lama-kelamaan menimbulkan perhatian juga terhadap sejarah gereja. Mulamula masih sebagai bagian dari sejarah umum umat manusia, tapi kemudian (pada abad ke-18) sejarah gereja tampil dengan wibawa tersendiri. Demikianlah di bawah pengaruh reformasi, bahan katekese mengalami perluasan penting. Di samping keempat unsur utama itu, berturut-turut muncullah sejarah Alkitab pada abad ke- 17 dan sejarah gereja pada abad ke-18, dan sejak itu keduanya mendapat tempat tetap dalam pengajaran gereja.
Bila setiap orang percaya pada dasarnya dianggap sebagai imam, seperti halnya dalam reformasi, maka segala usaha harus dilakukan untuk memberitahu mereka semua pengajaran mengenai ke benaran iman. Berdasarkan prinsip ini, teologi harus menjadi milik umum, walaupun pengajarannya disesuaikan dengan kemampuan nalar seseorang. Hal itu membebani katekese dengan tugas yang luar biasa besarnya. Seperti Alkitab sendiri seharusnya menjadi buku rakyat dan dalam bahasa rakyat, begitu pula katekismus harus menjadi buku pendidikan rakyat dan dalam bahasa mereka sendiri. Itu sebabnya pengadaan katekismus yang baik dan berguna dianggap sebagai keharusan pertama sesudah penerjemahan Alkitab. Dan teknik cetak yang sekitar seabad sebelumnya ditemukan, memungkinkan terwujudnya gagasan tersebut.
Para reformator menganggap katekese terutama sebagai tugas setiap keluarga. Para orang tua harus mengajarkan pengetahuan Injil kepada anak-anaknya, dan memberi teladan dalam menempuh jalan iman.
Selanjutnya, pengajaran gereja di masa reformasi dianggap sebagai tugas khusus sekolah-sekolah. Itu mudah dimengerti mengingat hubungan erat antara gereja dan sekolah. Di Skotlandia misalnya, sekolah-sekolah adalah murni lembaga gereja. Begitu pula di Inggris. Tapi di Inggris, pemimpin gereja pada waktu itu juga sekaligus kepala negara. Di Jerman, sekolah biasanya didirikan oleh negara, tapi gereja sangat mempengaruhinya. Di kebanyakan negara, termasuk Belanda, situasinya agak berbeda; negara dan gereja sama-sama berpengaruh di sekolah. Tapi pada umumnya, pengajaran lebih merupakan urusan gereja sehingga gereja juga berfungsi sepenuhnya di sekolah.
Sesuai dengan itu Luther berpendapat, bahwa keluarga dan sekolah adalah tempat terbaik bagi katekese, sedangkan gereja memberi penjelasan tambahan lewat pemberitaan katekismus. Demikianlah keadaannya sampai sekarang di negara-negara yang dipengaruhi ajaran Luther. Kata Ajaran Agama42 yang berasal dari sekolah disetujui secara umum bagi katekese gereja. Dan sebaliknya, kata Katekismus beberapa waktu lamanya digunakan di luar kosa kata gereja. Pada akhir abad ke-18 dan pada paroan pertama abad ke-19, kata katekismus bahkan dipakai dalam makna yang sedemikian luas, yakni buku pelajaran atau buku pedoman dalam bidang yang sama sekali tidak berhubungan dengan ajaran gereja. Umpamanya di Jerman, kata itu dipakai untuk ajaran militer, "Katekismus untuk Prajurit", ada pula "Katekismus untuk Musik" dan "Katekismus Alam". Tapi sekarang orang kembali menggunakan kata katekismus dalam hubungan dengan gereja saja. Meskipun demikian, kenyataan bahwa kata itu dipakai secara kurang murni, yakni untuk terminologi berbagai mata pelajaran, menunjukkan bahwa oleh pengaruh Luther pengajaran gereja sering diserahkan menjadi tanggung jawab sekolah.
Zwingli mencari jalan lain. Ia berusaha menciptakan ruang untuk katekese khusus lewat gereja, dan bukan lewat sekolah. Ia menyuruh anak-anak berkumpul menjelang Natal dan Paskah untuk menerima pelajaran mengenai Apostolikum dan Doa Bapa Kami. Calvin juga menyadari arti penting keluarga dan sekolah dalam katekese, tapi ia memperjuangkan adanya pengajaran gereja tersendiri, khususnya menjelang sidi.43 Ia memperjuangkan katekisasi umum sesudah kebaktian gereja, di mana anak-anak harus menjawab pertanyaan pendeta di hadapan seluruh jemaat. Kebiasaan itu masih dilakukan di banyak gereja reformasi yang bercorak calvinistis hingga sekitar pertengahan abad ke-19. Tak lama kemudian, muncul juga pemberian pelajaran katekisasi pada harihari kerja, yang lambat laun mendesak kebiasaan tanya-jawab di hari Minggu itu.
Dalam protestanisme reformed, sejak semula katekese tergolong tugas gereja dan dijalankan langsung oleh para pendeta, sedangkan pengajaran di sekolah dan di kalangan keluarga dianggap sebagai pelengkap saja.
Edisi pertama "KATEKISMUS KECIL" Karangan Martin Luther.
Untuk memperluas ajaran Kristen di kalangan rakyat, semua reformator besar menulis katekismus. Pada tahun 1518-1520 Luther sudah menulis berbagai penjelasan singkat mengenai Doa Bapa Kami, Dasa Titah, dan Pengakuan Apostolis yang diterbitkan dalam satu buku dan dicetak ulang berkali-kali.44 Buku itulah yang menjadi pedoman dalam menyusun Katekismus Besar dan edisinya yang dipersingkat, yang disebut Katekismus Kecil.45 Dalam kata pengantarnya, Luther mewanti-wanti para orang tua agar setiap pekan memeriksa kemajuan pelajaran anak-anak mereka. Para pendeta juga diingatkan agar dalam khotbah katekismus khusus menjelaskan kembali apa yang telah diajarkan dalam katekisasi, sehingga anak-anak lebih memahami apa yang mereka pelajari.
Buku-buku Katekismus dari Calvin46
Pada tahun 1536 Calvin menyajikan ringkasan bukunya Institutio47 sebagai katekismus dalam bahasa Prancis, dan tahun 1538 dalam bahasa Latin. Edisi yang lebih sederhana menyusul beberapa tahun kemudian, juga mula-mula dalam bahasa Prancis (1541) dan setelah itu dalam bahasa Latin (1545). Buku inilah yang dikenal dengan Katekismus Jenewa, yang membagi satu tahun dalam lima puluh dua hari Minggu dan isinya disusun dalam bentuk soal-jawab. Pada tahun 1548 kepada seorang yang bernama Edouard Seymour, Hertog Somerset, Calvin menulis, "Percayalah, gereja Allah tidak bisa bertahan tanpa katekismus ....
Jagalah supaya anak-anak dididik menurut katekismus yang baik, yang mengajarkan kepada mereka secara singkat apa artinya agama Kristen yang sejati".48
Penerbitan buku-buku katekismus tebal dan tipis sejak abad ke-16 semakin deras, dan materinya senantiasa disusun berdasarkan pola keempat unsur katekese awal itu. Mata pelajaran menyanyikan mazmur dan lagu-lagu Kristen biasanya termasuk dalam tata pengajaran. Nyanyian rohani yang dinyanyikan dengan nada lagu-lagu rakyat, luar biasa besar artinya bagi kelanjutan reformasi sebagai gerakan rakyat.
Dalam gereja-gereja Protestan pada pertengahan abad ke-16, Katekismus Calvin terdesak oleh Katekismus Heidelberg.49 Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, katekismus ini disusun pada tahun 1562 atas perintah Raja Frederik III dari Palts. Raja itu menghendaki buku pelajaran yang menggabungkan ajaran para reformator Swiss dan ajaran Luther. Pendeta istana Kaspar Olevianus dan mahaguru di Heidelberg Zakharias Ursinus ditugasi untuk menyusun buku itu dengan bantuan beberapa orang lain. Semula belum ada pembagian dalam hari-hari Minggu dan pertanyaan-pertanyaannya pun belum diberi nomor. Tapi tak lama kemudian kekurangan itu diperbaiki. Ursinus-lah yang membagi buku itu dalam tiga bagian utama (sengsara manusia, penebusan manusia oleh Yesus Kristus, sikap berterima kasih karena penebusan), yang kemudian banyak digunakan dalam gereja-gereja protestanisme reformasi di Belanda.50 Dalam Katekismus Heidel berg edisi kedua, ajaran Katolik Roma ditolak lebih tegas, bahkan dalam buku tersebut ditambahkan juga jawaban No. 80 yang mengkritik praktik Misa pada Gereja-gereja Katolik Roma abad pertengahan.
Proses penerimaan Katekismus Heidelberg
Ikhtisar berikut menggambarkan proses keputusan gerejawi mengenai katekismus.
Sama seperti katekismus Luther yang bertahan dalam lutheranisme, maka dalam calvinisme Katekismus Heidelberg sampai sekarang tetap bertahan sebagai buku pelajaran, meskipun buku ini sebenarnya tidak berasal dari calvinisme murni. Sebelum lahir buku Heidelberg, maka selain katekese Calvin, pada waktu itu telah lazim pula dipakai buku karya Yohannes à Lasco († 1560) yang sering disebut "buku yang tebal". Yohannes à Lasco adalah pendeta kaum pengungsi Belanda di London. Sebelumnya, ia tinggal di Emden dan di sanalah buku tersebut ditulisnya (1546). Kemudian, seorang lagi pendeta dari jemaat pengungsi di London, orang Vlaming bernama Martin Mikron († 1559), meringkaskan buku tersebut ("buku yang tipis") yang juga sangat digemari. Mikron juga telah menerbitkan bukunya sendiri, (Katekismus Kecil atau Ajaran untuk Anak-anak51). Tahun 1571 Sinode Emden masih mengizinkan gereja memilih antara Katekismus Jenewa, Katekismus Heidelberg atau katekismus lainnya. Akhirnya Sinode Dordrecht tahun 1574 mewajibkan pemakaian Katekismus Heidelberg. Keputusan serupa juga ditetapkan Sinode Sneek tahun 1587. Dari tahun 1618-1619, Sinode Nasional di Dordrecht mengharuskan katekismus Jenewa bagi gereja-gereja Waal (karena mereka berbahasa Prancis) tapi semua gereja lain diharuskan memakai Katekismus Heidelberg.
Sinode Dordrecht tahun 1618-1619 membentuk komisi yang beranggotakan enam orang untuk menyusun buku-buku kecil bagi anak-anak. Dalam sidang sinode terakhir, disajikanlah dua buku yang disusun oleh komisi tersebut. Ternyata peserta sinode lebih menyukai buku paling kecil, yakni buku ABC atau "Heneboekje". Buku Ringkasan Singkat ("Kort Be- grip") karya Faukelius tahun 1608 juga disetujui sebagai ringkasan katekismus Heidelberg. Pada abad ke-18 buku ini kemudian terdesak oleh buku Abr. Hellenbroek († 1731), Contoh-contoh kebenaran Ilahi ("Voorbeeld der goddelijke Waarheden"), yang disusun dalam bentuk tanya-jawab dan juga terbit dalam edisi sederhana (lazim disebut "Hellenbroek yang Besar dan Kecil"). Sampai sekarang masih ada gereja yang memakai buku Hellenbroek itu.
Buku-buku kecil yang terbit abad ke-17 tidak terhitung jumlahnya. Kadang-kadang buku kecil itu membengkak menjadi sangat tebal. Cornelis Poudroven menerbitkan buku paling tebal, tidak kurang dari 1.240 halaman, berjudul "Catechisatie". Isi buku itu adalah pelajaran yang diterimanya dari gurunya, Voetius. Voetius sendiri yang memeriksa isi buku yang disusun dalam bentuk soal-jawab itu.
Pada waktu itu banyak orang mengeluhkan kelalaian para pendeta melakukan tugas katekese dan ketidakmampuan mereka mengajar kaum muda. Umpamanya keluhan Wilhelmus à Brakel († 1713), "Saya tidak mengerti, bagaimana seorang pendeta yang tidak mengajarkan katekese dengan baik, dapat hidup dan mati dengan tenang".
Katekese dalam aliran-aliran lain: Remonstran
Di kalangan aliran Remonstran pada abad ke-17, banyak sekali buku katekisasi diterbitkan. Buku-buku itu ada yang berjudul "katekismus" ada pula "pengajaran". Mulai dari "Katekismus Gouda" (Goudse Catechismus) tahun 1609, lalu buku Hugo de Groot, "Pengajaran untuk anak-anak yang dibaptis" (Onderwijzing der gedoopte Kinderen), yang ditulis di penjara Den Haag sekitar tahun 1619 untuk putrinya, Cornelia. Ada pula buku Wtenbogaert, "Pengajaran dalam Agama Kristen" (Onderwijzing in de christelijke Religie) yang tahun 1640 terbit sebagai buku pelajaran resmi dalam Persaudaraan Remonstran, kemudian "Pengajaran Kebenaran" (Leer der Waarheid) karangan Joh. Molinaeus tahun 1696. Semua buku itu menampilkan gambaran yang sama. Keempat unsur katekese awal itu selalu dijelaskan, lalu ditambah dengan sebuah bab khusus mengenai Alkitab, biasanya dalam bentuk soal-jawab. Pembahasannya menunjukkan pendapat khas Remonstran pada zaman itu, dan kadang-kadang agak menentang ortodoksi yang waktu itu berpengaruh luas.
Katekese dalam aliran-aliran lain: Anabaptis
Kaum Anabaptis ("doopsgezind") sampai abad ke-18 hampir tidak mengenal pendidikan katekese khusus. Para anggota mendaftarkan diri untuk dibaptis dan menyerahkan dalam bentuk tertulis pengakuan iman yang mereka rumuskan sendiri. Lalu, setelah tanya jawab singkat, mereka langsung dibaptis tanpa lebih dulu mengikuti katekisasi. Namun di kalangan ini berkat pengaruh ajaran Menno Simons († 1561) seperti yang terdapat dalam buku kecilnya "Siasat Anak-anak" (Kindertucht) pengajaran keluarga di rumah menduduki posisi penting. Untuk kebutuhan itulah banyak buku ditulis, biasanya dengan mengikuti garis besar Apostolikum dan dengan uraian yang lengkap mengenai arti baptisan. Lambat laun terbentuk juga sejenis katekese.
Galenus Abrahamsz († 1706) mengisahkan bahwa sekitar 20 perikop dari PB dibagi-bagi dalam beberapa bagian, kemudian si pengajar menyuruh para calon baptisan mengucapkan bagian tertentu di luar kepala. Baru dalam tulisannya (1677) "Pembimbing ke dalam Pengetahuan Agama Kristen" (Aanleiding tot de Kennis van den christelijke Godsdienst), dan kemudian dalam ringkasan singkat yang lebih sederhana, Abrahamsz menata jenis pengajaran katekese itu.
Satu perkembangan mendasar yang muncul dalam reformasi adalah orang tak puas lagi hanya dengan menghafalkan tanpa berpikir segala soal-jawab dari sebuah katekismus. Luther menegaskan bahwa murid harus mengerti dan menghayati apa yang mereka pelajari. Zwingli dan Calvin sepenuhnya setuju dengan pendapat itu. Tujuan katekese, menurut Luther, adalah mempersiapkan murid mengikuti kebaktian gereja. Ia ingin agar kebaktian gereja dimengerti oleh semua orang dan dihayati secara sadar. Dan katekese harus membantu mewujudkan hal itu.
Mengenal dengan akal dan mengenal dengan hati, harus berjalan bersamaan. Itu berarti, dalam pengajaran gereja, akal dan perasaan (emosi) harus berperan aktif. Dalam kedwitunggalan kedua sisi kemanusiaan itu, keputusan iman harus dipersiapkan dan diserahkan ke tangan setiap orang. Mereka harus mengerti Injil dengan akalnya dan memahami dengan hatinya. Sebab itu, penjelasan katekismus harus sesuai dengan tingkat kemampuan nalar anak-anak. Berbagai sinode menyarankan perlunya penjelasan katekismus (yang dimaksudkan biasanya Katekismus Heidelberg) dalam kebaktian sore hari Minggu. Demikianlah gambaran citacita sinode nasional Dordrecht tahun 1618-1619.
1. Pemberitaan katekismus secara teratur pada hari Minggu. Khotbah diberikan, "pendek" saja, dan dapat dimengerti oleh anak-anak.
2. Pengajaran katekese dua kali seminggu oleh para guru di sekolah. Untuk anak-anak kecil cukup diajarkan naskah Apostolikum, Dasa Titah, sedikit mengenai sakramen dan beberapa doa singkat, beberapa pertanyaan sederhana mengenai ketiga bagian Heidelberg dan beberapa ayat Alkitab. Untuk anak-anak yang kelasnya lebih tinggi diajarkan ringkasan Katekismus Heidelberg, sedangkan untuk anak-anak yang lebih besar lagi katekismus tersebut diajarkan secara lengkap.
3. Katekisasi yang diberikan para pendeta, para orang tua atau pengunjung orang sakit, penting untuk kaum muda maupun orang dewasa.
4. Pendidikan keluarga di rumah. Para orang tua harus membiasakan anak-anaknya di rumah dengan doa-doa, pembacaan Kitab Suci dengan tambahan keterangan, dan mereka harus memeriksa apakah anak-anak telah hafal katekismus. Para orang tua yang lalai harus diperingatkan atau bahkan ditegur.
Bahwa akal sehat boleh ikut berperan merupakan semangat zaman pada waktu itu, yang berasal dari Humanisme abad ke-15 dan ke-16 maupun dari reformasi. Kedua gerakan ini lahir dari masa besar Renaisans yang mengakhiri Abad-abad Pertengahan, dan sekaligus membuka pintu kepada era baru. Kembalinya Renaisans humanistis kepada sumber-sumber kuno, kira-kira sama pentingnya dengan semboyan Renaisans Reformatoris: kembali ke sumber Alkitab (Sola Scriptura). Kedua gerakan ini sependapat bahwa pemikiran dan kepercayaan manusia tidak perlu lagi diikat oleh peraturan dan keputusan ajaran gereja. Penelitian Alkitab menjadi semakin ilmiah. Metode Reformed untuk penelitian Alkitab dan pendidikan gereja pada abad pertama reformasi, menunjukkan persamaan dengan keempat semangat utama Humanisme pada zaman itu. Namun dalam persamaan itu selalu tampak perbedaan nyata. Keempat butir persamaan (sekaligus perbedaan) itu adalah sebagai berikut.
1. Kedua-duanya mempunyai perhatian untuk tata bahasa dan penyelidikan naskah harfiah Alkitab (verba) secara teliti, untuk memperoleh pengetahuan sampai kepada intinya (res), yakni dengan cara mencari makna yang tersembunyi di balik kata-kata yang tertulis. Dalam surat penting yang ditulis Luther kepada semua pengurus kota di negara bagian Jerman surat ini kemudian diterbitkan tahun 1524 ia menempatkan pengajaran gereja dalam rangka pendidikan dan pengajaran umum. Ia berpendapat bahwa pengetahuan bahasa-bahasa dasar untuk penelitian Alkitab perlu, dan karena itu ia menganjurkan penelitian saksama terhadap bahasa Yunani dan Ibrani. Berkaitan dengan itu, maka sekolah-sekolah harus menyadari tanggung jawabnya.
2. Kedua-duanya menyukai penghafalan ayat-ayat lepas yang oleh kaum humanis diambil terutama dari sastra masa purbakala, sedangkan kaum reformis mengambilnya terutama dari Alkitab. Perbedaannya ialah kaum humanis menganggap bahwa kutipan dari sastra zaman kuno klasik dengan kutipan dari Alkitab sama saja, bahkan kadang-kadang mencampuradukkannya secara sembarangan, sedangkan kaum reformis memberikan kewenangan khusus kepada ayat-ayat Alkitab. Sudah sejak awal reformasi muncul kecenderungan untuk menghafal Mzm dan ayat-ayat Kitab Ams, sesuai dengan kebiasaan humanistis pada zaman itu.
3. Kecenderungan untuk memberi nasihat moralistis, yang pada awalnya terdapat dalam buku-buku katekese, menunjukkan adanya kaitan dengan metode mengajar dalam kalangan humanis, khususnya dalam menyoroti tokoh-tokoh Alkitab.
4. Pendekatan sejarah terhadap Alkitab, yang dengan raguragu baru diterapkan beberapa dekade setelah abad reformasi, mengingatkan kita kepada metode yang dipakai pada zaman Renaisans humanistik untuk menggambarkan zaman purba klasik; metode ini meromantisir sejarah, artinya membuat sejarah menjadi cerita lengkap dengan nasihat-nasihatnya. Pada masa itu, sejarah gereja pun ditulis dengan metode serupa. Mungkin buku paling tua tentang sejarah gereja dari masa reformasi, ialah Historiola ecclesiae sive populi Dei karya murid Melanchthon, Michael Neander († 1595). Buku itu diresapi semangat dan metode kaum humanis.
Pada awal reformasi, kehidupan spiritual juga mendapat tempat yang sah dalam seluruh pendekatan manusia pada Injil. Luther sendiri, terutama dalam khotbahnya, bersaksi bahwa ia juga mengikutsertakan unsur perasaan dalam menetapkan keputusan imannya. Faktor perasaan ini sangat penting dalam katekisasi. Apa yang diajarkan di gereja tidak boleh ditiru begitu saja tanpa berpikir panjang, tapi harus dihayati dengan sungguh-sungguh. Ketika konvensi Wesel pada tahun 1568 mengharuskan para pendeta memberi pengajaran kateketis, ditekankan dengan sungguhsungguh, bahwa tujuannya bukan supaya anak-anak mampu menghafal katekismus, tapi yang lebih penting adalah mereka harus menyimpan ajaran itu di lubuk hatinya.
Ternyata tidak mudah menemukan jenis katekese yang memenuhi tuntutan itu. Paling banter anak-anak hanya diuji apakah telah hafal segala soal-jawab tentang katekisasi; suatu metode yang mengingatkan kita kepada praktik pengakuan dosa pada abad pertengahan. Tapi pastilah bahwa lewat pengajaran dan penjelasan itu, Injil dibawa sedekat mungkin kepada anak-anak; bukan saja ke pikiran mereka melainkan terutama ke hatinya. Hal itu terbukti dari banyaknya buku-buku kecil sekitar katekismuskatekismus penting diterbitkan. Buku-buku itu segera beredar setelah terbitnya katekismus besar dan kecil karangan Luther. Dan sementara abad-abad berlalu, hal yang sama juga terjadi dengan semua katekismus penting lainnya (Katekismus Calvin, Katekismus Heidelberg, dll).
Biasanya tujuan penjelasan dalam buku-buku itu tidak hanya untuk memberi keterangan-keterangan yang bersifat rasional (nalar), tapi terutama agar para murid lebih sungguh-sungguh menerima katekese itu sampai ke dalam batin mereka.
BELAJAR DARI REFORMASI
Warisan reformasi di bidang katekese sangat besar. Bukan saja kita mewarisi buku-buku yang sampai hari ini masih dipakai (Katekismus Heidelberg, Institutio Calvin), tapi juga prinsip-prinsip reformasi yang ternyata masih berpengaruh dan aktual hingga sekarang. Manfaatnya sangat besar, dan gereja yang mau belajar dari reformasi tentu akan berhikmat. Dalam bab berikut kita akan sajikan ringkasan dari buku katekese Calvin.
Bahan di atas sudah menyajikan berbagai butir penting.