6. PENDANGKALAN DALAM ABAD-ABAD PERTENGAHAN

Apa gunanya mempelajari sejarah katekese dalam gereja abad-abad pertengahan? Sebelum mempelajarinya kita mungkin masih meragukan manfaatnya. Tapi setelah menyelidikinya, kita akan heran melihat betapa pentingnya pengetahuan sejarah itu untuk kita sekarang. Bukan saja untuk mengerti dengan lebih baik keadaan gereja masa kini (umpamanya perbedaan Protestan dan Katolik Roma), tapi juga akan heran menyaksikan bimbingan Tuhan dalam sejarah: Ia selalu menghadirkan orang yang mempertahankan kebenaran ajaran Kristen, juga dalam abad-abad pertengahan yang gelap itu! Demikianlah Ia masih tetap menjaga gereja sampai kedatangan Kristus kembali. Nasihat sejarah abadabad pertengahan membuat gereja dewasa ini lebih waspada.

Kesalahan Perkembangan Sakramen

Sudah kita lihat dalam bab 5 bahwa pada gereja kuno terlihat ciri-ciri perkembangan yang salah dalam pendidikan ajaran gereja dan pengertian sakramen. Terutama kesalahan pengertian tentang sakramen baptisan kepada anak-anak, yang kemudian mengakibatkan semakin lemahnya jemaat-jemaat Kristen. Anak-anak kurang dididik dan orang cepat puas biarpun hanya memiliki sedikit pengetahuan, umpamanya hanya menghafal Doa Bapa Kami dan Kredo. Kekurangan ini membuat kaum awam makin lemah dan "bodoh" dalam pokok-pokok iman. Para klerus, sebagai kaum yang terdidik, akhirnya mendominasi gereja.

Jadi pendangkalan dalam katekese gereja yang sudah mulai sejak gereja kuno, terus berlanjut dan makin berkembang pada abad-abad pertengahan. Dalam gereja di kerajaan-kerajaan "Kristen" abad-abad pertengahan, sangat berkurang upaya untuk mempersiapkan dan membekali para calon anggota jemaat. Usaha yang sungguh-sungguh dan teliti seperti yang terdapat dalam gereja-gereja PI pada abad-abad pertama berangsur hilang. Unsurunsur utama katekese (kredo, titah, doa, sakramen), memang masih tetap dipelihara, tapi maknanya telah merosot menjadi sekadar formalitas belaka, yang cukup hanya dihafal saja (Kredo dan Doa Bapa Kami); sebagian lain menjadi sekadar sarana bantu untuk menjaga kelangsungan operasional gereja (Dasa Titah dan sakramen).

Berkembangnya Sakramen Pengampunan Dosa

Konsili gereja di Reims tahun 625 menentukan bahwa setiap orang yang hendak membaptiskan anaknya, harus dapat mengucapkan Apostolikum dan Doa Bapa Kami di depan imam. Imam ini mendapat tugas khusus menasihati para orang tua dan para saksi, agar mereka mengajar anak-anak menghafal Apostolikum dan Doa Bapa Kami.

Dasa Titah juga sejak gereja mula-mula telah berkembang menjadi peraturan khusus dalam praktik kehidupan Kristen (sudah diuraikan dalam Didakhe). Dasa Titah hanya disebut sejauh dapat dipakai untuk tujuan praktis. Dosa-dosa khusus mendapat tempat yang makin besar dalam nasihat katekese. Sementara itu juga sering muncul perumusan tradisional perihal Dasa Titah dalam literatur Bapak Gereja. Namun yang akhirnya dominan ialah perhatian yang makin besar untuk menyebut dan menginvestarisasi semua dosa yang dapat dilakukan manusia.

Daftar dosa yang harus diwaspadai itu mendapat tempat yang lebih penting ketimbang penjelasan mengenai Dasa Titah. Hal ini berkembang secara khusus setelah meluas kebiasaan untuk mengakui dosa secara pribadi kepada seorang rohaniwan (sejak paroan kedua abad ke-3), suatu hal yang lambat laun menjadi peraturan gereja.

Kebiasaan itu lahir dari seruan gereja mula-mula agar saling mengakui dosa di depan umum (Kis 19:18; Yak 5:16). Perkembangan ini berjalan sejajar dengan lahirnya kebiarawanan. Pada mulanya seruan itu punya aspek yang sangat eskatologis, sebagai usaha menguduskan jemaat sebelum kedatangan Tuhannya (berdasarkan Ef 5:27; 1 Tim 6:14; 2 Ptr 3:14). Begitulah berkembang kebiasaan yang kini disebut "Pengakuan Dosa" dan Sakramen Pengampunan Dosa dalam Gereja Katolik Roma.

Kaitan Katekese Dengan Sakramen-sakramen

Sementara itu pengetahuan mengenai sakramen makin lama makin terpusat pada upaya untuk mencamkan kesucian berbagai tindakan sakramen, daripada untuk menjelaskan arti dan isi sakramen itu. Bahkan pelayanan sakramen dihubungkan erat dengan seruan untuk mengakui dosa di depan umum, dan kemudian untuk mengakui dosa secara pribadi kepada imam, disertai peringatan terhadap segala macam dosa. Kemerosotan serupa terjadi pula dalam materi katekese. Katekese akhirnya berubah menjadi pengantar teknik saja, artinya teknik rohani untuk hidup sebagai Kristen.

Dalam Konsili Lateran ke-4 tahun 1215, ditentukan bahwa setiap gereja metropolit harus mempunyai magister khusus untuk pengajaran praktik kehidupan gereja.

Praktik itu terutama meliputi pengetahuan mengenai prosedur

Konfirmasi20 dan khususnya sakramen Pengakuan Dosa secara pribadi. Di kemudian hari pengetahuan itu diperluas sampai ke hukum kanonik dan peraturan-peraturan yang diajukan oleh teologi moral. Namun yang paling penting dalam semua itu masih tetap: orang harus hafal Apostolikum dan doa Pater Noster21, serta pengetahuan mengenai daftar dosa.

Perkembangan Teologis

Pada periode abad pertengahan berkembang pemikiran untuk melakukan pemisahan prinsipiil antara "tahu" dan "melakukan". Pemikiran ini berpengaruh kuat pada abad-abad pertengahan itu. Duns Scotus († 1308) memandang teologi sebagai ilmu praktik semata-mata, bukan ilmu pengetahuan. Yang dipentingkan adalah tahu bagaimana semua itu harus berlangsung dalam gereja. Untuk hal lain (umpamanya spekulasi dan teori) Alkitab tidak diperlukan. Itu adalah bidang ilmu filosofi, sedangkan teologi mencakup hal-hal praktis saja. Thomas dari Aquino22 († 1274) punya pendirian yang lebih luwes, yang pada akhirnya semakin berpengaruh dan sering dikutip oleh tokoh-tokoh reformasi. Thomas menganggap teologi sebagai pengetahuan mengenai teori maupun praktik. Menurut Thomas, "tahu" dan "melakukan" harus berjalan bersama-sama dalam teologi. Dengan demikian hilanglah pengaruh ajaran agama dari abad-abad pertengahan, yang menurun kan teologi semata-mata menjadi ajaran praktik gereja dan memerosotkan arti katekese menjadi hanya sekadar pengajaran praktik keterampilan gerejawi.

Walaupun tujuan katekese seperti yang dimaksudkan sejak awal masih bertahan agak lama (ada katekismus dari abad ke-8 yang tetap terpelihara), proses pendangkalan tetap berlangsung. Pada sinode Forli tahun 791, orang menganggap Kredo dan Doa Bapa Kami sebagai formula pemberi berkat saja (benedictiones). Kalau orang dapat mengucapkannya, sudah dianggap cukup. Hampir tidak ada lagi pengajaran, dan yang tersisa pada baptisan hanyalah ritus-ritus yang disebut sakramentalia praktiknya sama seperti ritus penerimaan calon katekumenat dan anggota jemaat dalam gereja kuno sebagai berikut:

– pemberian tanda salib di dahi, – pelayanan garam yang kudus, – pengucapan pengakuan iman, – peniupan untuk mengusir kuasa-kuasa setan.

Katekese terbatas hanya pada apa yang diceritakan dalam ke- luarga dan yang diajarkan dalam penjelasan menurut bagian-bagian (perikop) Alkitab pada kebaktian gereja hari Minggu. Dan sudah pasti itu sedikit sekali. Selama proses pendangkalan ini berlangsung, khotbah-khotbah untuk mempersiapkan komuni paskah tetap mempunyai arti yang penting.

Karel Agung dan Pendidikan Gereja

Karel Agung23 pernah mencoba memulihkan keadaan yang buruk itu. Pada waktu itu pengajaran kekristenan kepada rakyat adalah terutama urusan sekolah-sekolah biara. Untuk meningkatkan pendidikan ini, Karel Agung membuka sebuah sekolah di Paris di mana diajarkan ilmu moral, fisika, dan teologi (terutama pengetahuan mengenai Kitab Suci) yang telah bermutu tinggi sesuai dengan ukuran zaman itu. Muridnya adalah para rohaniwan yang kelak mengajar rakyat di sekolah-sekolah biara. Memang tujuan sekolah yang didirikan Karel Agung itu adalah kepentingan pengajaran secara umum, tapi di sekolah itu diajarkan apa yang kita namakan katekese gereja.

Selain itu, Karel Agung dalam konsili di Mainz tahun 813, memerintahkan para imam di sekolah-sekolah biara agar mengajar rakyat menghafal Apostolikum dan Doa Bapa Kami. Karel Agung juga menentukan bahwa penghafalan Apostolikum dan Doa Bapa Kami itu harus dalam bahasa suku bangsa bersangkutan. Ketentuan ini membuktikan bahwa Karel Agung merasa penting agar setiap orang mengerti ajaran Kristen dan percaya dengan hati serta akal budinya. Rakyat tidak cukup hanya disuruh menghafal Kredo dan Doa Bapa Kami, tapi juga harus menerima ajaran yang lebih mendalam mengenai kedua naskah itu. Mereka harus tahu dosa-dosa mana yang harus diwaspadai orang Kristen. Situasi pemberitaan Injil di negara-negara Jerman, Saks, dan Frieslandia pada waktu itu memang mendukung gagasan tersebut. Terbitlah berbagai buku kecil berisi keterangan singkat mengenai Apostolikum dan Doa Bapa Kami, yang diperjelas lagi dengan kutipankutipan dari tulisan para Bapak Gereja.

Terus Pendangkalan ....

Pengaruh Karel Agung membawa kesegaran dan pendalaman pada katekese. Tapi tidak lama kemudian, dengan terjadinya berbagai pendangkalan dalam bidang pengajaran, kualitas katekese merosot lagi. Sesudah masyarakat Eropa menjadi Kristen, tidak banyak lagi yang tersisa dari katekese yang baik itu, kecuali penghafalan Kredo, Doa Bapa Kami, pengajaran sakramen-sakramen dan berbagai upacara yang menyertainya, dan pengajaran daftar dosa untuk kepentingan sakramen Pengakuan Dosa. Memang Dasa Titah diganti dengan daftar dosa. Doa Ave Maria muncul di sam ping Doa Bapa Kami.24 Tapi dalam seluruh proses yang serba dangkal itu, masih tetap tampak pola katekese asli, yakni Kredo, Doa Bapa Kami, dan Sakramen-sakramen.

Bahasa Latin ....

Di sekolah-sekolah pada abad-abad pertengahan, Dasa Titah juga bertahan sebagai naskah yang "harus dipelajari". Segera setelah seorang murid bisa membaca, ia harus menghafal Dasa Titah, Apostolikum, Doa Bapa Kami, dan kadang-kadang juga ketujuh mazmur penebusan dosa (Mzm 6; 32; 38; 51; 102; 130; dan 143). Keharusan mengenai Mazmur penebusan dosa itu pastilah berkaitan pula dengan sakramen Pengakuan Dosa. Tapi bahwa semua itu harus dihafal dalam bahasa Latin, tidak membantu anak-anak memahami apa yang dihafalkan itu ....

Pengaruh Sakramen Pengakuan Dosa25

Sakramen Pengakuan Dosa terus merajalela dalam praktik gereja. Ini mengakibatkan lenyapnya pengaruh positif yang tersisa dari tradisi katekese sebelumnya. Pada abad ke-15 pengaruh positif itu lenyap sama sekali. Pada waktu itu fungsi Pengakuan Dosa jauh lebih luas daripada yang kini berlaku di gereja-gereja Katolik. Praktiknya mirip pengadilan rohani dan hukumannya meliputi seluruh aspek kehidupan. Buku-buku Pengakuan Dosa atau Hukuman Dosa (poenitentiaria) yang banyak ditulis sejak abad ke-6 sampai ke-13 dijadikan oleh para rohaniwan sebagai pedo man dalam mengajukan pertanyaan dan menentukan hukuman. Buku-buku itu juga memberi gambaran mengenai situasi katekese pada abad-abad pertengahan. Ternyata memang pendidikan ajaran Kristen makin tenggelam lalu hilang lenyap ditelan segala urusan dan kesibukan gereja mengenai ritus-ritus sakramen.

Bisa dipastikan bahwa yang menjadi dasar bagi semua buku Pengakuan Dosa itu adalah Apostolikum dan Doa Bapa Kami, pengetahuan mengenai sakramen-sakramen, ketujuh dosa maut (kesombongan, kekikiran, ketidaksusilaan, iri hati, keserakahan, kemarahan, kelambanan). Keempat unsur tersebut muncul secara bergantian atau bersamaan dalam setiap buku. Baru pada abad ke-15, Dasa Titah kembali disebut dan sejak itu langsung berperan dominan dalam praktik katekese seterusnya.26

Karena keterbatasan sumber pelajaran, pada awalnya peraturan-peraturan baru (seperti yang diberlakukan oleh Uskup Zyrec, lihat catatan kaki nomor 24) itu belum dapat diterima jemaat dengan sepenuh hati. Masalah itu baru teratasi pada abad ke-15 (sesudah penemuan percetakan buku) yang memungkinkan keempat unsur katekese dijabarkan secara ringkas dalam berbagai bentuk. Untuk pengajaran yang berhubungan dengan Pengakuan Dosa, Dasa Titah mulai memegang peranan yang lebih besar lagi. Uraian tentang sakramen Pengakuan Dosa yang biasanya didasarkan atas Dasa Titah, menghasilkan banyak buku yang kaya dengan nilai-nilai moral dan sering diterbitkan dengan nama cermin (dalam bahasa Latin speculum). Selain itu, orang juga menyukai buku-buku bacaan katekese dengan ilustrasi yang menggambarkan Dasa Titah dan dihiasi dengan lukisan mengenai dosadosa yang membawa maut. Juga diterbitkan gambar-gambar katekese (biasanya untuk ditempelkan di dinding rumah) mengenai hal serupa yang disertai dengan gambaran semua sakramen yang membawa pengampunan. Umpamanya ada sebuah katekismus dinding dari kota Zurich (tahun 1525) yang menggambarkan Doa Bapa Kami, Ave Maria, Apostolikum, dan kedua loh batu Hukum yang dibawa oleh Musa. Jadi jelas meskipun ada berbagai variasi, inti pelajaran katekese itu tidak berubah karena hukum dan Pengakuan Dosa tetap mendapat perhatian utama. Dan keempat unsur dari katekese awal itu (iman, titah, doa, dan sakramen) selalu bisa ditemukan dalam semua sumber yang tersedia sampai menjelang Reformasi.

Tempat Alkitab Dalam Katekese Tidak Dihiraukan

Mencolok sepanjang sejarah gereja, dari dulu hingga sekarang, Alkitab tidak pernah dipakai sebagai bahan khusus katekese. Alkitab hanya dikutip untuk membuktikan kebenaran bagianbagian yang harus dipelajari. Meskipun begitu, pada abad-abad pertengahan sudah terlihat gejala bahwa Kitab Suci akan dipakai lagi dalam pengajaran gereja. Untuk itu kita harus meninjau sejumlah aliran pelopor Reformasi (termasuk di bidang katekese) yang pada awalnya dianggap murtad oleh Gereja Katolik Roma, antara lain:

Waldenzen

Gerakan Waldenzen muncul pada akhir abad ke-12.27 Banyak pengikut gerakan ini yang memisahkan diri dari kehidupan sosial dan tinggal di pegunungan Alpen. Biasanya pengetahuan mereka mengenai PB memadai. Setiap anak laki-laki kaum Waldenzen bisa menjawab pertanyaan mengenai iman dengan baik. Dalam katekismus Waldenzen abad-abad per tengahan yang masih tersimpan baik, tampak bahwa ajaran mengenai Perjamuan Kudus jelas menyimpang dari ajaran Gereja Katolik Roma. Mereka membuang 4 dari 7 sakramen Katolik Roma. Yang tetap dipertahankan adalah Perjamuan Kudus, Baptisan dan Pengakuan Dosa.

John Wycliff

Di Inggris, John Wycliff († 1384) menulis bukunya Pauper rusticus dalam bahasa nasional.28 Isinya mengenai iman, titah, dan doa, dengan penjelasan panjang lebar tentang kehidupan yang berdasarkan iman dan pergumulan iman.

Yohanes Hus

Juga Yohanes Hus († 1415) menulis buku penjelasan mengenai Apostolikum, Doa Bapa Kami dan Dasa Titah, agar para muridnya tahu bagaimana mengajarkan iman kristiani kepada rakyat. Dan menurut pengakuan iman Boheemse Broeders, katekismus harus merupakan ringkasan Kitab Suci. Katekismus mereka meliputi Dasa Titah, Apostolikum, Doa Bapa Kami, Sakramen, dan juga "meja keluarga", di mana dibahas kewajiban seorang Kristen terhadap keluarga dan masyarakat. Mereka menegaskan bahwa isi katekismus harus benar-benar dipahami dan diwujudkan dalam perilaku kehidupan.29

Persiapan Reformasi

Para tokoh yang dituduh mengajarkan kemurtadan pada abadabad pertengahan itu dengan demikian telah mempersiapkan reformasi kekristenan dalam tiga aspek:

1. Mereka ingin agar murid menalar sendiri ajaran yang mereka terima, tidak sekadar menghapal dan mengucapkannya sebagai rumusan mati saja.
2. Menurut mereka, katekismus bukan hanya sebuah buku pelajaran, melainkan juga dan terutama suatu pernyataan mengenai pengakuan iman bersama dari orang-orang Kristen.
3. Menurut mereka, pertama-tama kaum muda harus dibimbing menuju sumber Kitab Suci.

NASIHAT ABAD-ABAD PERTENGAHAN

  • Kita melihat bahwa kerusakan terjadi karena gereja mulai kurang mempedulikan katekisasi untuk anak-anak.
  • Karena anak-anak tidak diajar maka kaum awam makin lemah dan pada akhirnya menjadi bodoh, jahil.
  • Pokok-pokok iman tidak dimengerti lagi. Akibatnya kepercayaan juga tidak hidup di hati orang.
  • Kepercayaan yang benar diganti dengan kepercayaan takhayul; yang diutamakan adalah formula-formula ritual dan ritus ibadah.
  • Sakramen-sakramen diciptakan sesuai dengan keinginan manusia dan berfungsi sebagai momen untuk mencurahkan keselamatan (rite de passage).
  • Perkembangan yang keliru ini (kaum awam yang bodoh, kepercayaan takhayul) semakin diperparah lagi dengan pemakaian bahasa Latin (yang tidak dimengerti banyak orang) sebagai bahasa resmi dalam gereja.
  • Kita melihat betapa pentingnya bahasa suku bangsa dan pemahaman atas ajaran. Hanya dengan demikianlah orang dapat mengasihi Tuhan dengan segenap hatinya, jiwanya, akalnya, dan kekuatannya.
  • Jika kaum awam menjadi jahil, terbukalah jalan bagi klerus dan pemimpin-pemimpin gereja untuk menguasai gereja sekehendak hatinya. Dominokrasi dan hierarkhi tidak akan menguntungkan gereja, hanya menguntungkan tokoh-tokoh itu saja.

Informasi Buku

  1. PDF
  2. Penulis:
    G. Riemer
  3. ISBN:
    979-9143-18-7
  4. Copyright:
    LITINDO © 1998
  5. Penerbit:
    Yayasan Komunikasi Bina Kasih/OMF