10. DIDAKTIK UMUM

Dalam setiap buku mengenai katekese perlu disajikan petunjuk-petunjuk didaktis. Barangsiapa menyadari tanggung jawabnya sebagai pengajar di dalam gereja, perlu memperhatikan pelbagai petunjuk mendasar dalam didaktik, guna meningkatkan kualitasnya sebagai pengajar. Karena tidaklah mungkin si pengajar mengajar secara sembarangan, tanpa arah, tanpa tujuan, tanpa organisasi, dan tanpa menguasai proses belajar, dll. Bab ini melukiskan secara umum berbagai prinsip didaktis.

Didaktik, Apa Itu?

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia didaktik adalah "ilmu tentang masalah mengajar dan belajar secara efektif; ilmu mendidik". Yang penting dalam definisi ini ialah kata "efektif". Kata ini menekankan tujuan ilmu tersebut, yakni menyelidiki dan mengatur hal-hal mengajar dan belajar sehingga hasil mengajar dan belajar itu bertambah baik, bertambah sukses.

Secara ilmiah didaktik dapat didefinisikan sebagai berikut:

Didaktik adalah ilmu yang meneliti organisasi proses-proses mengajar dan belajar, sedemikian rupa, sehingga murid- murid (mulai dari situasi awal mereka yang khusus) mampu mengolah pengetahuan atau keterampilan baru melalui bahan ajaran tertentu, sampai tujuan ajaran tercapai.

Definisi singkat ini menyebut beberapa unsur yang penting dalam didaktik, yakni:

  • organisasi;
  • proses belajar-mengajar;
  • situasi awal murid;
  • bahan ajaran;
  • tujuan ajaran.

situasi → awal bahan ajaran murid → tujuan

Proses tersebut dapat digambarkan dalam bagan sebagai berikut:

Situasi Awal Murid

Kesadaran akan situasi awal murid sangat penting. Sebenarnya kita tidak perlu menjelaskan hal ini lebih jauh, karena barangsiapa berpikir tentang proses belajar, pasti akan berhadapan dengan masalah ini. "Situasi awal murid" mengacu kepada posisi, keadaan dan tingkat kemampuan nalar si murid pada permulaan pengajaran. Umpamanya, guru Sekolah Dasar kelas 1, perlu menyadari situasi awal murid yang baru masuk SD: belum tahu abjad, belum bisa berbahasa Indonesia dengan baik, belum bisa membaca, berhitung, dan lain-lain. Tapi bukan itu saja. Guru juga harus mengerti, bahwa sebelumnya anak-anak itu hanya dididik oleh orang tua mereka; kinilah untuk pertama kalinya mereka meninggalkan lingkungan keluarga, dan lain sebagainya. Ada banyak faktor lain yang perlu disadari sebagai unsur penting dalam situasi awal si murid. Misalnya:

  • pengetahuan awal;
  • pengalaman-pengalaman murid;
  • hal-hal perasaan dan pendapat;
  • motivasi awal;
  • latar belakang sosial;
  • kebudayaan dan agama;
  • dsb.

Jelaslah bahwa agar dapat memahami situasi awal murid lebih baik, maka perlu perhatian yang sungguh-sungguh dari pihak guru. Kalau guru tidak berusaha untuk mengerti situasi awal ini, maka ia tidak akan dapat mengajar dengan baik. Umpamanya, guru yang mengajar anak-anak desa tanpa mengenal keadaan dan tingkat kehidupan desa, lalu mengajar seolah-olah anak-anak itu berasal dari kota, maka ia jelas salah.

Guru harus mengajar dengan bertitik tolak dari situasi awal anak-anak. Misalnya, ia harus sadar bahwa anak-anak belum mengerti bahasa Indonesia dengan baik, karena di desa atau di rumah mereka selalu berbicara dalam bahasa daerah.

Sangat penting untuk bertitik tolak dari situasi awal. Kenapa? Jikalau proses belajar tidak bertitik tolak dari situasi awal, maka percumalah guru mengajar dan percuma pula murid belajar. Pendapat ini didasarkan atas ilmu lain, yakni psikologi belajar. Ilmu ini menekankan bahwa seseorang baru dapat mempelajari sesuatu dengan baik, jika bahan pelajaran itu dapat dihubungkan dengan keadaan awal. Artinya, dipertalikan pada pengetahuan yang sudah ada, dicerna dengan perasaan, pendapat, motivasi, keadaan sosial, budaya, dan lain-lain, yang sudah ada dalam diri murid.

Bahan Ajaran

Dilihat dari segi situasi awal tadi, maka bahan ajaran harus berisi hal-hal yang baru dan hal-hal yang lama, yang sebelumnya sudah diketahui. Hanya dengan demikianlah dapat diharapkan hasil yang maksimal dari dalam proses belajar. Karena harus terjadi integrasi (pembauran hingga menjadi kesatuan yang utuh atau bulat) antara pengetahuan lama dengan pengetahuan baru.

Dengan kata lain, bahan pelajaran harus mempunyai titik hubung dengan situasi kehidupan si murid. Secara teoritis, prinsip-prinsip didaktis ini mutlak perlu. Tapi kenyataannya begitu sering diabaikan sehingga tentu saja menghasilkan hal yang sangat negatif.

Contoh 1, dari Papua:

Anak-anak pedalaman biasa hidup di kampung atau di hutan. Bahan pelajaran di sekolah diatur sesuai dengan kurikulum yang ditentukan secara umum di Indonesia. Jadi bahan pelajaran yang dipakai di Jawa sama dengan di tempat-tempat lain di Indonesia. Karena itu, guru di Papua harus menyadari, bahwa kebanyakan bahan dan istilah yang dipakai dalam bahan pelajaran itu, sama sekali tidak berhubungan dengan lingkungan hidup anak-anak kampung di Papua, bahkan mungkin juga di Kalimantan.

Contoh 2, mengenai kebudayaan:

Orang asing yang datang dari tempat atau negara lain untuk mengajar di suatu negeri lain, perlu menyadari segala perbedaan mendasar antara dia dengan orang-orang yang akan diajarnya. Jika ia tidak mempelajari kebudayaan setempat (adat-istiadat, bahasa, keadaan hidup, sosial-ekonomi, dst) maka ia akan melakukan banyak kesalahan dalam proses mengajar. Misalnya, murid-murid tidak akan mengerti apa yang diajarkan atau mengerti tapi secara salah. Contohnya, cerita mengenai Nuh. Di Papua ada bahasa daerah yang memakai kata "nuh" yang artinya babi. Jika hal itu tidak disadari oleh guru, maka cerita Alkitab mengenai Nuh dan Air Bah akan salah dimengerti sebagai cerita mengenai babi.

Ingatan Manusia

Menurut psikologi belajar pula, orang hanya dapat mempelajari sesuatu yang baru jika yang baru itu dapat dipertalikan kepada sesuatu yang lama. Demikianlah cara berfungsinya ingatan manusia. Menurut temuan psikologi ini, semua bahan pelajaran perlu mengandung hal-hal baru dan hal-hal yang sudah diketahui atau dipercaya sebelumnya. Dalam bagan berikut68 kita lihat bagaimana ingatan manusia berfungsi:

background image

Melalui panca indra (telinga, mata, hidung, alat meraba, alat merasa) manusia menerima sangat banyak informasi dari dunia sekelilingnya (keadaan). Ia mendengar, melihat, mencium, meraba, merasa, dan semua data yang masuk melalui panca indra ini diterima dalam otak (masuk akal, registrasi). Potensi "masuk akal" itu sangat besar, tapi potensi mengingat sangat kecil; kebanyakan data (berupa gambar, kata, dll) hanya tinggal beberapa detik saja, lalu hilang jika ingatan jangka pendek tidak menangkapnya dan menahannya. Ingatan jangka pendek ini mempunyai potensi mengingat data yang sangat terbatas; sebagian data diingatnya hanya selama 30 detik saja. Sebagian lagi diproses terus ke ingatan jangka lama. Ingatan ini mempunyai potensi yang hampir tidak terbatas; sangat banyak data yang bisa ditahannya untuk jangka waktu yang sangat lama.

Apakah psikologi belajar dapat menolong kita dalam katekese? Apakah manfaat ilmu ini? Untuk menjawab pertanyaan ini kita, harus memperhatikan proses kerja indra dan otak manusia secara teliti, sehingga kita mengetahui manfaatnya untuk katekese.

Manusia melihat, mendengar, dan merasa banyak hal dengan panca indra, termasuk ajaran dan pendidikan dari orang tua, guru, dsb. Semua informasi itu diterima sensor-sensor otak, tapi jika manusia tidak berusaha menyadari dan mengolahnya secara aktif maka informasi itu akan kandas dan hilang begitu saja. Tentu banyak informasi yang masuk melalui panca indra ke alat-alat sensor otak tapi tidak diperhatikan lalu kemudian hilang. Hanya jika manusia aktif menaruh perhatian maka informasi itu diteruskan kepada ingatan jangka pendek. Begitulah kesadaran manusia bekerja.

Tapi informasi tidak bertahan lama dalam ingatan jangka pendek. Hanya jika manusia aktif mengolahnya (melalui pengorganisasian secara berulang-ulang, pemberian perhatian atau konsentrasi69) maka informasi itu akan diteruskan kepada ingatan jangka lama dan akan terekam di situ dalam jangka waktu yang sangat lama.

"Belajar"

Yang perlu ditekankan di sini adalah aktivitas manusia dalam proses mengolah informasi tersebut. Proses mengolah informasi ini juga dapat disebut belajar. Bagan berikut memperlihatkan tiga hal yang sangat penting dalam proses itu: strategi, organisasi, dan motivasi (pengharapan).

background image

Ketiga hal ini merupakan syarat yang sangat penting dalam proses belajar. Kalau dalam diri manusia tidak ada motivasi untuk mengingat informasi yang diterimanya, maka kecil kemungkinan informasi tersebut bisa bertahan dalam ingatan jangka lama. Sebaliknya, kalau ada motivasi untuk mempertahankannya, maka dengan gampang informasi tersebut akan masuk ke dalam ingatan jangka lama.

Begitu pula dengan strategi dan organisasi belajar. Pengorganisasian yang baik akan sangat mendorong terekamnya datadata dalam ingatan jangka lama.

Peranan Ingatan Jangka Lama (Long Term Memory)

Ingatan jangka lama adalah gudang untuk semua data, informasi, gambar, pengalaman, dll, yang penting untuk manusia. Semua itu diolah dalam keadaan tertentu, yang khusus untuk dia, berhubungan dengan keadaan keluarga, tugas, ekonomi, sosial, dll. Semua data itu memainkan peranan sentral dalam setiap proses belajar. Dalam bagan berikut kita lihat hubungan saling mempengaruhi antara ingatan jangka pendek (short term memory) dan ingatan jangka lama (long term memory):

Dalam sumber ingatan jangka lama muncul banyak hal yang mempengaruhi proses belajar. Dalam sumber itu terkandung banyak hal yang sudah diketahui dan dimengerti. Bila ada informasi baru yang masuk ke dalam ingatan jangka pendek melalui panca indra dan sensor-sensor otak (masuk akal), peranan ingatan jangka lama untuk mengolah informasi baru itu sangat penting. Jika dalam ingatan jangka lama belum ada pengertian yang dapat mengolah informasi baru itu, besar kemungkinan informasi itu akan hilang lagi.

background image

Tapi jika informasi baru itu dapat dikaitkan kepada data-data dan pengertian yang sudah ada dalam ingatan jangka lama, maka informasi tersebut akan gampang masuk dan terus tersimpan dengan baik dalam long term memory. Proses belajar berhasil.

Proses Belajar

Proses belajar belum selesai kendati informasi baru telah diterima dan disimpan dalam ingatan. Tahap pertama ini (menerima informasi baru) merupakan tahap paling sederhana tapi sekaligus menjadi syarat paling mendasar dalam proses belajar. Bagan berikut melukiskan tahap-tahap dalam proses belajar dan dari situ terlihat bahwa tahap-tahap yang lain lebih sukar dibandingkan tahap pertama itu:

background image

Tujuan Ajaran

Didaktik selalu mencari jalan untuk menguasai dan mengatur proses belajar. Satu hal yang penting dalam hal ini adalah menentukan tujuan ajaran secara teliti. Untuk setiap bentuk pengajaran (kursus, penataran, sekolah, katekisasi) tujuan pengajaran itu perlu diuraikan secara konkret. Hal ini dapat menolong kita untuk menguasai dan mengatur proses belajar. Tujuan pengajaran dapat dibagi atas tiga bagian penting:

tujuan umum | tujuan khusus | tujuan pelajaran

tujuan umum juga disebut perspektif ajaran. Tujuan ini menguraikan maksud pendidikan secara umum, umpamanya "memanusiakan manusia" atau "mengajar murid agar bertingkah laku sebagai warga negara yang bertanggung jawab" atau "menguasai sebuah keahlian". Dalam bahasa Inggris tujuan umum ini disebut aims.

tujuan khusus adalah tujuan dalam rangka tujuan umum yang menguraikan tujuan tertentu dari kegiatan pengajaran itu. Umpamanya, untuk "menjadikan seorang murid menjadi warga negara yang bertanggung jawab" perlu diadakan kursus "mengajar bahasa Indonesia", atau "mengajar politik negara". Dalam bahasa Inggris tujuan khusus ini disebut goals.

tujuan pelajaran lebih terbatas lagi, yakni untuk mencapai pengertian atau pengetahuan atas materi pelajaran tertentu. Tujuan khusus setiap pelajaran perlu diuraikan secara rinci. Umpamanya, dalam kursus "mengajar bahasa Indonesia" dapat diadakan pelajaran dengan tujuan mempelajari "ejaan", yang lain dengan tujuan mempelajari "kata berimbuhan" atau "kata bilangan", dst. Dalam bahasa Inggris tujuan ini disebut objectives. Dalam bagan berikut kita melihat tahap-tahap pencapaian ketiga tujuan itu: melalui tujuan pelajaran kita mencapai tujuan dan melalui tujuan khusus kita mencapai tujuan umum.

background image

Jangan beranggapan bahwa teori pendidikan ini tidak penting.

Setiap orang yang ingin mengajar perlu mengetahui secara tepat tujuan-tujuan setiap pelajaran. Jika seorang guru tidak mengetahui tujuan pelajaran yang diajarkannya, maka ia bukanlah guru yang baik. Ia tidak akan dapat mengarahkan dan menguasai proses belajar-mengajar itu. Sebab bagaimana mungkin seorang jurumudi kapal dapat mengemudikan kapalnya dengan baik, jika ia tidak tahu tujuan perjalanannya? Begitu pula seorang guru yang tidak tahu tujuan pekerjaannya tidak akan dapat mengajar sama sekali. Bukankah ia menjadi guru justru untuk menguasai dan memimpin proses belajar itu?

Menentukan Tujuan Umum

Penentuan tujuan umum biasanya tergantung dari pandangan hidup, keyakinan politik, dan pengharapan religius si penyusun bahan ajaran terkait. Tapi pandangan hidup manusia yang bersangkutan lebih berperan dalam penentuan tujuan umum.

Untuk menguraikan tujuan umum katekese, teologi memainkan peranan yang mendasar. Karena proses untuk belajar percaya sangat tergantung dari pandangan teologis yang dianut gereja yang hendak melaksanakan dan mengatur katekisasi itu. Dalam bidang katekese, tujuan umum ini juga disebut tujuan teologis, karena ilmu teologi memainkan peranan yang penting dalam menentukan tujuan tersebut.

Pembedaan Lain

Dalam hal penentuan tujuan ajaran, kita juga dapat membedakannya ke dalam tiga jenis tujuan berikut yakni untuk:

  • mengumpulkan pengetahuan kognitif
  • membentuk pendapat afektif
  • mengajar keahlian/tingkah laku attitude

Jelaslah bahwa tujuan mengajarkan pengetahuan (mengajar data-data eksakta, konkret) paling gampang diatur dan dikuasai. Yang lebih sukar adalah mengajarkan norma-norma, tingkah laku, prinsip-prinsip, pandangan dunia, dsb. Sebenarnya tujuan-tujuan ini tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Seorang guru tidak mungkin mengajarkan pengetahuan saja. Pasti ia akan mengalihkan keyakinannya juga, berupa norma, agama, politik, dll. Hal ini tidak mungkin terpisahkan dalam praktik mengajar.

Masalah ini lebih jelas dalam pendidikan agama. Karena dalam proses belajar agama peranan aspek kognitif, afektif, dan attitude sangat penting. Tidak mungkin mengajarkan data-data agama tanpa mempengaruhi tingkah laku dan perasaan si murid. Dalam katekese hal terakhir ini justru jauh lebih penting dibandingkan data-data pengetahuan.

Bahan Ajaran Bagaikan Bumbu

Untuk membuat nasi goreng yang enak, perlu ada bumbu tertentu. Segala macam bumbu itu kemudian diaduk dan digoreng bersama nasi putih. Yang menguasai proses ini adalah juru masak. Dialah yang mengatur seluruh proses itu, mulai dari situasi awal hingga ke tujuan yang telah ditentukan sebelumnya. Resep dan cara memasak diketahui juru masak, dan dengan tangan yang terampil ia mengatur dan menguasai seluruh proses itu hingga tujuannya tercapai.

Begitu pula proses belajar-mengajar. Guru harus mulai dari situasi awal murid; ia memilih bumbu ajaran, menyiapkan, kemudian mengaturnya, dan menyerahkannya kepada murid. Cara dan tempo kerjanya tergantung dari tujuan yang hendak dicapainya.

Seluruh proses belajar itu perlu dia kuasai; diawali dengan penentuan situasi awal murid, hingga tujuan pelajaran, tujuan khusus dan terakhir pada tujuan umum pengajaran. Ia berusaha "memasak" murid-murid dengan mengisi "bumbu ajaran" hingga tujuannya tercapai.

Informasi Buku

  1. PDF
  2. Penulis:
    G. Riemer
  3. ISBN:
    979-9143-18-7
  4. Copyright:
    LITINDO © 1998
  5. Penerbit:
    Yayasan Komunikasi Bina Kasih/OMF