Gereja mulai setelah Yesus naik ke surga dan Roh Kudus dicurahkan. Menurut janji Yesus, Roh Kudus akan memimpin murid-murid ke dalam kebenaran yang sempurna. Dokumen yang membuktikan pimpinan itu adalah Kitab-kitab PB. Setelah rasul-rasul meninggal, ada orang lain yang mengambil alih kepemimpinan mereka. Apakah mereka juga setia dalam kerja kateketis? Dalam bab ini akan kita teliti praktik katekese di gereja pada abad-abad pertama.
Didakhe adalah dokumen Kristen tertua di luar PB, memberi pelajaran singkat mengenai ajaran Kristen. Dokumen itu berjudul: Ajaran Tuhan yang diberikan oleh para rasul kepada bangsabangsa atau biasa disingkat Didakhe (bahasa Yunani untuk "ajaran"). Ini adalah buku katekisasi pertama yang mungkin berasal dari akhir abad pertama.
Isi buku pelajaran itu mencakup:
Ikhtisar isi "Didakhe" | |
Bab 1-6 | undang-undang Kristen untuk kehidupan sehari-hari. Diuraian dua jalan, masing-masing menuju kehidupan dan kematian. |
Bab 7-10 | baptisan, hal berpuasa, hal berdoa, perjamuan kudus. Bagian "berdoa" mengandung nas "Doa Bapa Kami". |
Bab 10-14 | berbagai peraturan gerejawi, antara lain mengenai persekutuan antar gereja, pergaulan anggota jemaat, dan aturan mengenai pemimpin-pemimpin jemaat. |
Bab 15 | nasihat untuk berjaga-jaga (eskatologi). |
Penggunaan kata "didakhe" menunjukkan kesamaan buku ini dengan tradisi pendidikan Yahudi, yang teknis pelaksanaannya dan materi pelajarannya telah diuraikan dalam bab 3. Tapi buku ini menjadi sangat berbeda karena isinya didasarkan atas Injil mengenai penebusan oleh Yesus Kristus. Bukankah PL digenapi oleh Kristus?
Hukum hanya disebut secara singkat berupa ringkasan dari 10 hukum. Doa Bapa Kami ditetapkan untuk didoakan tiga kali sehari. Kesamaan aturan ini dengan aturan "syemone esre" jelas memperlihatkan kaitannya dengan adat agama Yahudi, (lihat bab 3 mengenai pendidikan Yahudi).
Cara pembahasan sakramen-sakramen, hari-hari puasa, dll, mengingatkan kita pada pendidikan hari-hari raya di Israel.
Hal "kepercayaan" tidak diuraikan secara khusus. Baru setelah perkembangan gereja pada abad-abad pertama, setelah terbentuknya berbagai pengakuan iman ("credo"), unsur "kepercayaan" mendapat tempat yang tetap dalam katekese.7
"Didakhè" dimaksudkan sebagai bahan pelajaran bagi orang dari luar yang ingin masuk ke dalam gereja, yang menyerahkan diri kepada Kristus, dan menyatakan keinginan untuk dibaptis. Inilah tujuan utama katekese: pelayanan baptisan. Secara singkat hal ini diistilahkan dengan pendidikan baptisan.8 Pada tahap-tahap awal, seperti tertulis dalam PB, pengakuan pendek mengenai Yesus sebagai Mesias sudah cukup sebagai syarat baptisan (lihat Kis 2:41; 8:38; 16:33). Namun, tidak lama setelah itu syarat tersebut diperluas lagi.
"Didakhè" memperlihatkan pembahasan pokok-pokok iman secara lebih teliti dan luas, terutama di bidang kehidupan Kristen dan gereja.
Klemens 9 (140 M) dalam suratnya yang kedua kepada jemaat di Korintus menyebut katekese sebagai permintaan jemaat. Melalui katekese ini orang yang datang kepada Kristus belajar mentahirkan diri dari segala berhala. Sejak abad-abad pertama itulah kata katekesis menjadi istilah tetap untuk praktik pendidikan ajaran gereja.10 Kata ini dalam PB belum lazim dipakai; yang dipakai adalah didakhe atau didaskalia. Tertullianus11 (kira-kira 200 M) menegaskan bahwa pengajaran sebelum baptisan harus diberikan oleh orang yang berhak untuk itu. Artinya, harus ada orang yang dikhususkan menjadi pengajar. Ternyata Tertullianus merasa perlu menjaga kualitas ajaran gereja.
Constitutiones Apostolicae (kitab aturan-aturan gereja dari abad keempat di gereja Timur), sudah menetapkan pendidikan selama tiga tahun untuk setiap orang yang ingin dibaptis.12
Augustinus13, tokoh seperti Tertullianus di gereja Barat, masih harus mengikuti dua tahun pengajaran baptisan pada usia 31 tahun, sebelum diterima menjadi anggota jemaat dan dibaptis tahun 387.
Jadi dalam gereja lama kita lihat perkembangan katekumenat (pengajaran katekismus kepada calon baptisan) yang materinya agak berat, yakni periode katekese khusus sebelum penerimaan dan pembaptisan anggota-anggota jemaat yang baru.
Sang katekumen (calon penerima baptisan) berdiri di ambang pintu gereja. Syarat-syarat untuk masuk gereja bertambah berat. Banyak orang ikut katekisasi, tapi sebagian besar tidak pernah memberi dirinya untuk dibaptis. Mereka tidak mau menyesuaikan kehidupan mereka dengan ajaran dan undang-undang Kristen. Sedangkan pelayanan baptisan dilakukan dengan tuntutan akan kehidupan Kristen yang makin lama makin berat. Alhasil banyak orang tetap berdiri di ambang pintu gereja. Mereka ikut kebaktian, mendengar khotbah, tapi mereka tidak ikut Perjamuan Kudus. Bahkan mereka harus ke luar bila Perjamuan Kudus dilayankan. Hanya orang-orang yang kompeten (yang juga disebut kompetentes, artinya orang yang cakap, yang berwewenang, yang tahan belajar) pada akhirnya diterima untuk dibaptis. Tuntutan etis sangat kuat terhadap calon-calon baptisan, ditambah tuntutan penge tahuan mengenai jalan keselamatan. Baik hati maupun akal budi perlu dibentuk sebelum seseorang diterima dalam jemaat. Beberapa bulan sebelum baptisan dilayankan mereka belajar Doa Bapa Kami dan Pengakuan Iman Rasuli. Suasana berubah dalam gereja; baptisan mendapat arti ritualistis, sebagai ritual untuk masuk misteri-misteri agama Kristen.14
Pada tahap pertama, katekisasi diberikan oleh bermacam-macam orang di rumah calon anggota jemaat. Baik uskup sebagai imam, para diaken maupun pembaca Kitab Suci bertindak sebagai kateket. Kaum wanita pun, khususnya janda yang saleh, diizinkan memberi pelajaran kepada para katekumen.15 Tapi lambat laun ada peraturan bahwa uskup harus memilih kateket dari antara para penatua dan diaken.
Tapi dalam agama Kristen, pengajaran seperti itu dianggap tidak memadai untuk pendidikan. Kaum Kristen terpaksa mengirim anak-anak mereka ke sekolah-sekolah yang dijalankan oleh guru-guru beragama bukan Kristen (sekolah-sekolah retoris). Baru dalam abad ke-4, mulai banyak penatua yang membuka sekolah di mana anak-anak sejak usia 5 tahun mendapat pengajaran.
Sesuai tradisi Yahudi, keluarga dianggap pusat segala pendidikan dan pengajaran Kristen. Paulus sudah menunjuk ke arah itu, umpamanya Ef 6:4: "Dan kamu, bapak-bapak, janganlah bangkitkan kemarahan di dalam hati anak-anakmu, tapi didiklah mereka di dalam ajaran dan nasihat Tuhan."
Paulus mengingatkan Timotius mengenai pendidikan yang diterimanya "dari kecil", yang telah menuntunnya menuju kese lamatan oleh iman kepada Yesus Kristus. Berkaitan dengan itu ia berkata, "Seluruh Kitab Suci diilhamkan Allah dan bermanfaat untuk mengajar, untuk menyatakan kesalahan, untuk memperbaiki kelakuan dan untuk mendidik orang dalam kebenaran" (2 Tim 3:16).
Pendidikan ajaran Kristen oleh orang tua dalam keluarga, memainkan peranan penting dalam perkembangan gereja pada abadabad pertama. Sumbangan pendidikan itu untuk pertumbuhan gereja tidak dapat diabaikan. Dalam literatur patristis (dari para bapak gereja, seperti Tertullianus, Agustinus, dll) peranan keluarga dalam pendidikan Kristen sangat ditekankan. Katekisasi dalam keluarga (dalam bahasa Latin catechisatio domestica) berperan penting dalam gereja muda yang sedang berkembang.
Meskipun peranan keluarga begitu penting, sejak semula katekese adalah pekerjaan dan tanggung jawab jemaat.
Jemaat berperan aktif dalam katekese itu. Pemimpin-pemimpin jemaat biasanya diangkat menjadi pengajar (didaskaloi), yakni mereka yang dikaruniai kemampuan (kharisma!) mengajar (Kis 13:1; 1 Kor 12:28; Ef 4:11). Hal ini pun sesuai dengan kebiasaan Yahudi.
Kegiatan pekabaran Injil yang pertama membuat pengajaran menjadi sangat penting. Dalam Mat 28:19, usaha menjadikan murid dikaitkan dengan kerja membaptis dan mengajar. Gereja berdiri di tengah dunia dan berkembang terus. Selalu ada orang yang ingin menjadi anggota jemaat; dan untuk mereka katekese merupakan hal yang penting sekali. Sebab itu katekese terutama diarahkan kepada orang luar yang ingin menjadi anggota jemaat. Tapi di samping itu kita juga harus melihat perkembangan lain, yaitu pendidikan untuk mereka yang sudah menjadi anggota gereja. Seperti tertulis dalam Ibr 5:12-14.
"Sebab sekalipun kamu, ditinjau dari sudut waktu, sudah seharusnya menjadi pengajar, kamu masih perlu lagi diajarkan asas-asas pokok dari perkataan Allah, dan kamu masih memerlukan susu, bukan makanan keras ...."
Di sini disinggung pengajaran khusus bagi orang Kristen yang sudah menjadi anggota jemaat dan bisa memakan makanan keras; berbeda dengan susu bagi mereka yang baru bertobat, yang masih tergolong anak kecil dalam pemahaman Injil dan dalam membedakan antara yang baik dan jahat. Yang mencolok dalam Ibr 5:14 ialah tuntutan perkembangan etis dalam pendidikan.
Meskipun terdapat katekese untuk jemaat sendiri, motif peka- baran Injil tetap menguasai katekese dalam gereja kuno. Bahkan diadakan sekolah-sekolah khusus untuk mereka yang ingin mengajar orang-orang yang masih berada di luar gereja. Yang terkenal ialah sekolah katekese di Aleksandria, pusat perkembangan ilmu Yahudi pada waktu itu. Klemens Aleksandrinus dan Origenes pernah mengajar di sekolah itu. Di samping sekolah katekese di Aleksandria, ada juga sekolah katekese di Kaisarea, Antiokhia, Edesa, dan Nisibis, semuanya di bagian Timur. Tapi di Barat tidak ada sekolah kateket semacam itu. Di sana sekolah kateket ada di tangan para uskup dan presbiter. Sering sebuah biara berfungsi sebagai pusat pendidikan demikian.
Tahap-tahap Katekese Dalam Gereja Kuno16
1. Setiap orang yang ingin menjadi anggota jemaat harus terlebih dahulu mendaftarkan diri kepada pejabat gereja, atau melalui seseorang yang sudah menjadi anggota gereja. Orang ini berfungsi sebagai "pengantara" (susceptor).
2. Setelah itu, pemimpin-pemimpin jemaat mengadakan pembicaraan yang bertujuan memeriksa motif orang tersebut menjadi anggota jemaat. Pemeriksaan motif ini sangat penting.
3. Pada pembicaraan itu calon anggota harus berjanji untuk menjauhkan diri dari segala berhala dan kehidupan fasik.
4. Orang yang "dikristenkan" (artinya yang akan diterima dalam kaum katekumen), menerima peletakan tangan di atasnya, serta tanda salib dan doa.
5. Kaum katekumen mempunyai tempat tersendiri dalam ibadah. Mereka tidak boleh duduk bebas bercampur dengan orang percaya yang sudah dibaptis (yang disebut "fideles"). Mereka berdiri di belakang sekali, dekat ambang pintu. Dan mereka juga belum boleh mengikuti kebaktian seluruhnya. Mereka yang belum dibaptis harus ke luar setelah khotbah dan pemberian berkat, yakni sebelum perayaan perjamuan kudus (ekaristi). Pada waktu itu ekaristi merupakan rahasia yang tidak boleh diketahui orang di luar jemaat.
6. Audientes: Katekisasi berlangsung tiga tahun. Ada beberapa kelas (dua atau tiga) yang harus diselesaikan. Jangka waktu tersebut terbagi atas tiga tahap. Tahap pertama: peserta pemula boleh hadir dalam kebaktian-kebaktian, tapi hanya sebagai pendengar (audientes) khotbah.
7. Genuflectentes: Dalam tahap kedua mereka diizinkan untuk turut serta berdoa.
8. Baptizandi: Tahap terakhir adalah menjelang pembaptisan, yakni sekitar dua bulan sebelumnya. Mereka sekarang disebut calon baptisan (baptizandi) atau orang yang terpilih (electi), atau orang yang akan diterangkan (illuminandi).
Sebagai bahan katekismus, mereka mempelajari empat unsur yang biasa kita lihat dalam pendidikan ajaran Kristen, yaitu keper cayaan (kredo), hukum, sakramen-sakramen dan doa. Lebih lengkapnya sebagai berikut:
KEPERCAYAAN ringkasan kepercayaan Kristen. HUKUM penerapan kepercayaan itu dalam kehidupan sehari-hari (bagian etis). KEBAKTIAN ada juga keterangan mengenai kebaktian gereja, terutama mengenai arti baptisan dan perjamuan kudus. Keterangan ini diberikan pada fase baptizandi. DOA pada tahap terakhir itu pula mereka belajar "Doa Bapa Kami". |
Di samping bahan yang diajarkan ini, terdapat beberapa ritus yang diadakan pada masa katekisasi, yaitu:
– pengusiran Iblis dan roh-roh jahat (eksorsisme);
– tanda salib di dahi (simbol baptisan yang akan dilayankan);
– peletakan tangan (simbol pengakuan iman, konfirmasi);
– pemberian roti dengan garam (simbol perjamuan kudus, sakramen garam). Roti dan garam ini diterima kaum katekumen pada setiap perayaan ekaristi.
Setelah berakhirnya penganiayaan gereja, ketika agama Kristen menjadi agama negara yang resmi, tidak dibutuhkan lagi keberanian untuk mendaftarkan diri menjadi anggota gereja. Tapi akibatnya banyak orang masuk ke dalam gereja dengan motif yang salah, umpamanya karena ingin memperoleh nama Kristen.
Banyak pula orang tidak menyelesaikan tahap-tahap katekisasi sampai tahap ketiga, jadi tidak sampai pembaptisan. Sepanjang hidup, mereka tetap katekumen dalam nama. Alhasil, pengajaran baptisan tahap terakhir itu (fase baptizandi) hanya diikuti oleh sekelompok kecil katekumen.
Pendidikan baptisan yang khusus mulai dengan pemeriksaan ulang (telah dilakukan dalam tahap pertama) mengenai motif-motif orang ingin dibaptis. Pada saat itu juga diadakan pemeriksaan kehidupan calon baptisan, termasuk tingkah lakunya dalam kehidupan sehari-hari. Dalam semua proses ini calon baptisan dibimbing oleh pater-nya (kalau laki-laki) atau oleh mater-nya (kalau perempuan). Pater dan mater adalah bahasa Latin untuk "ayah" dan "ibu"; bukan orang tua jasmani yang dimaksudkan di sini, melainkan orang tua serani. Pada tahap ini calon baptisan memberitahukan namanya yang baru kepada presbiter (penatua). Baru mulailah masa terakhir untuk mereka, pendidikan dan latihan yang sangat intensif, hingga tiba saatnya mereka dibaptis.
Baptisan biasanya dilayankan pada malam Paskah. Sejak 40 hari sebelum Paskah, uskup menerangkan kepada mereka "homili" (khotbah/katekese) harian. Homili-homili ini umpamanya menerangkan pengakuan iman. Tapi beberapa unsur kepercayaan sengaja belum diajarkan hingga saat-saat terakhir menjelang Paskah (unsur-unsur ini disebut disciplina arcani). Misalnya nas pengakuan baptisan (seperti Pengakuan Iman Rasuli) diajarkan pada hari Minggu terakhir sebelum Paskah dan diulangi oleh calon baptisan (traditio et redditio symboli). Baru pada saat itu pula calon baptisan diizinkan mengucapkan sendiri "Doa Bapa Kami". Beberapa pokok keselamatan tetap tersembunyi untuk orang yang belum dibaptis: sakramen-sakramen, pengucapan Kredo, dan "Doa Bapa Kami". Ketersembunyian ini barangkali akibat dari penganiayaan yang dialami oleh orang Kristen pada saat itu, tapi mungkin juga oleh pengaruh agama misteri (= rahasia) Yunani.
Dalam pekan sesudah Paskah, barulah diberikan katekese secara rinci mengenai arti dari segala rahasia iman. Arti sakramen juga diungkapkan lebih jauh. Dan katekese ditutup dengan satu peringatan: segala rahasia iman tidak boleh diberitahu kepada orangorang di luar gereja.
Seiring dengan perkembangan gereja dari waktu ke waktu, lahirlah anak-anak di lingkungan jemaat dari orang tua yang percaya. Anak-anak itu tidak datang dari luar gereja (dari dunia bukan Kristen) tapi lahir di tengah-tengah kaum Kristen.17
Dengan kata lain, mereka masuk ke dalam jemaat dan telah menjadi anggota jemaat sejak lahir. Biasanya baptisan dilayankan tidak lama setelah kelahiran si anak. Ini berarti ada anggota gereja yang belum menerima pendidikan ajaran Kristen. Katekese pertama-tama dimaksudkan untuk mempersiapkan orang menerima baptisan. Sebenarnya perlu diciptakan katekese khusus untuk anak-anak sebelum mereka menjadi dewasa di dalam gereja. Tapi hal itu rupanya belum diatur secara khusus. Mungkin diadakan juga semacam pendidikan untuk anak-anak itu, tapi itu tidak disebut "katekisasi". Namun dan kendati belum mengikuti katekisasi, anak-anak itu dianggap telah sanggup menerima sakramen-sakramen berkat baptisan yang telah mereka terima. Kebiasaan yang keliru ini muncul dari anggapan yang salah, bahwa lewat baptisan anak-anak telah diterima untuk menerima semua sakramen.18
Barangsiapa sudah dibaptis sebagai anak, tidak lagi memerlukan pengajaran sebagai persiapan mengikuti upacara-upacara gerejawi yang lain, demikian anggapan yang berlaku saat itu. Itu sebabnya katekese sebagai pengajaran kepada pemuda yang sudah dibaptis, tetap berada di luar perhatian gereja. Katekese dianggap terbatas untuk orang-orang bukan Kristen yang akan atau baru masuk ke dalam gereja. Bahkan pengajaran khusus tidak diberikan untuk mempersiapkan perpisahan konfirmasi dari baptisan (biasanya konfirmasi diadakan setelah pelayanan baptisan). Hanya, orang tua dan terutama orang tua serani serta saksisaksi baptisan diwajibkan mengajar anak-anak serani menghafal "Doa Bapa Kami" dan "Kredo".
Hal itu memang sangat penting bagi perkembangan iman mereka selanjutnya.
AJARAN SEJARAH GEREJA MULA-MULA UNTUK GEREJA MASA KINI
Kegunaan mempelajari sejarah adalah mengambil hikmah dari peristiwa masa lalu untuk keperluan kita masa kini. Barangkali ada hikmat dalam sejarah yang sudah dilupakan tapi penting untuk kita sekarang. Atau ada kesalahan yang bisa menjadi pelajaran sehingga kita tidak mengulangi kesalahan yang sama. Marilah kita menguraikan titik-titik pelajaran yang bisa kita petik dari sejarah katekese pertama ini: