Dalam bab 10, mengenai "Didaktik Umum", telah diuraikan perbedaan tujuan pendidikan. Pengajar mencapai tujuan umum melalui tujuan khusus dan tujuan pelajaran. Lalu dalam bab 11 sudah kita teliti penetapan tujuan umum katekese. Dalam bab ini akan kita tinjau tujuan khusus. Penentuan tujuan khusus sangat penting. Untuk itu ada sejumlah pertanyaan yang perlu dijawab terlebih dahulu, misalnya: "Apakah murid perlu memperoleh banyak hafalan?" Atau, "Apakah lebih diutamakan pengertian mengenai hal-hal iman?" Atau barangkali, "Lebih mengutamakan pembentukan sifat murid sebagai seorang Kristen?" Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini akan sangat menentukan cara mengajar dan pemilihan bahan pelajaran.
Dalam mempertimbangkan tujuan katekese, kita akan menemui berbagai soal sesuai dengan tujuan katekese yang akan dilaksanakan. Antara lain:
Kita akan meneliti pengertian istilah-istilah di atas dan implikasinya terhadap katekisasi.
Dalam proses pendidikan lazim dibedakan dua bidang, yaitu kognitif dan afektif. Pembedaan ini didasarkan atas penelitian pribadi manusia (psikologi dan antropologi) yang menunjukkan bahwa setiap proses pendidikan selalu menyangkut kedua bidang ini:
kognitif – pengetahuan, pengertian, penerapan, analisis, dan sintesis;
afektif – perasaan, kepentingan, sikap mental, sikap, norma.
Yang perlu dipertimbangkan untuk katekese ialah, apakah tujuan katekese adalah menguatkan dan mengembangkan bidang kognitif atau bidang afektif?
Untuk itu kita akan memusatkan perhatian kepada tiga tujuan khusus, yang disimpulkan dari pertimbangan di atas yaitu:
tujuan pengetahuan
tujuan pengertian
tujuan pembentukan
Sebelum memilih satu dari antara ketiga tujuan di atas sebagai tujuan katekese, kita perlu menerangkan maksudnya satu per satu. Karena menentukan tujuan berarti pengajar akan mengatur bahannya, caranya, dll untuk mencapai tujuan yang ditetapkan itu. Hal ini kita terangkan dengan menguraikan tingkat-tingkat pendidikan sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai.
Tingkat 1
Adakalanya kita mengajar anak-anak untuk menghafal suatu rangkaian nama alkitabiah (umpamanya anak-anak Ishak, murid-murid Kristus, kitab-kitab Alkitab, dsb). Jika tujuan katekese hanya itu saja, maka pada saat murid menguasai suatu rangkaian nama, guru senang dan pekerjaannya telah selesai. Karena ia sudah mencapai tujuannya, yaitu tujuan pengetahuan rangkaian nama-nama itu.
Tingkat 2
Tapi mungkin juga tujuan pendidikan lebih dari sekadar mengetahui nama-nama saja. Si anak bukan saja perlu menghafal namanama, tapi juga perlu dimampukan untuk menempatkan nama-nama itu dalam kerangka sejarah; juga perlu mengetahui pentingnya nama-nama itu dan hubungannya satu sama lain. Si anak juga harus mengerti kenapa mengetahui nama seseorang penting untuk dapat memahami sejarah suci. Dengan kata lain, di samping tujuan pengetahuan, guru juga berusaha mencapai tujuan pengertian.
Tingkat 3
Masih ada tujuan lain yang juga penting yang dapat dicapai melalui pendidikan. Selain pengetahuan dan pengertian, kita juga dapat menetapkan agar pendidikan memampukan anak secara emosional menghayati semua bahan yang dipelajarinya. Terkait dengan pengetahuan dan pengertian, disajikan pula norma-norma dan sikap positif serta perilaku kristiani. Dan guru berusaha membentuk sikap dan emosi ini. Dengan kata lain, dalam katekisasi guru berusaha (artinya mengatur bahan, cara pendidikan, cara menguji, dll) untuk mencapai tujuan pengetahuan, pengertian, dan pembentukan.
Tingkat 4
Kita harus melangkah lebih jauh lagi, bukan saja anak-anak tahu dan mengerti fakta-fakta, nama-nama serta menerima norma dan perasaan, tapi terlebih agar mereka betul-betul hidup sesuai dengan norma yang sudah mereka terima. Jika itulah yang menjadi tujuan katekisasi, maka kita menyebut tujuan itu pendidikan khusus. Dalam hal ini, guru wajib berusaha (mengambil tindakan untuk mencapai tujuan itu) sehingga dalam praktik sehari-hari si anak hidup sesuai dengan norma-norma yang dipelajarinya.
Dari uraian di atas jelas bahwa tujuan-tujuan di tingkat yang lebih tinggi (umpamanya hidup menurut norma-norma, lihat contoh 4), hanya bisa dicapai melalui tingkat-tingkat yang lebih rendah.
Misalnya, untuk memperoleh pengertian akan sesuatu perlu ada pengetahuan lebih dahulu mengenai sesuatu itu. Terlebih dahulu harus ada pengetahuan mengenai data-data, fakta-fakta, nama-nama, istilah-istilah, dsb, baru setelah itu dapat dimengerti hubungan dan relasi di antara semua fakta itu.
Sebaliknya, sukar untuk membentuk seseorang jika tidak ada pengetahuan dan pengertian. Karena proses pembentukan hanya dapat dilakukan sesuai dengan suatu bentuk yang sudah diketahui dan dimengerti. Pembentukan dalam rangka katekisasi berarti pembentukan sesuai dengan isi iman, mengajarkan sikap kristiani sesuai dengan isi pelajaran fakta, data, pengertian, dst. Dengan kata lain, pembentukan merupakan pra-anggapan untuk pendidikan, di mana guru melalui nasihat, tindakan, hukuman, penghargaan, dsb, mendidik anak untuk hidup sesuai dengan isi dan tujuan pengajaran. Bagan berikut memperlihatkan kompleksitas dan urutan semua proses yang telah diterangkan di halaman sebelumnya:
Ada yang berpendapat bahwa dalam katekisasi, hal-hal kognitif kurang penting dibandingkan hal-hal afektif. Menurut pandangan ini, pembentukan dan pendidikan dapat dipisahkan dari pengetahuan dan pengertian. Dan karena anggapan bahwa pengetahuan dan pengertian mempunyai bobot yang lebih rendah dibandingkan hal-hal yang afektif, maka mereka menekankan supaya seluruh perhatian diberikan kepada pembentukan saja. Pengetahuan diabaikan oleh pandangan ini.
Pendekatan ini jelas akan menghasilkan katekisasi yang kurang berisi dan tidak mempunyai arah yang jelas. Lebih buruk lagi, cara ini tidak mempunyai dasar dan alasan yang bisa dipertanggungjawabkan, karena hanya didasarkan atas pikiran dan perasaan pribadi guru. Sebenarnya, bila caranya seperti ini, sub jektivitas gurulah yang pada akhirnya membentuk murid-murid, bukan ajaran kristiani itu.
Untunglah cara ini sudah dinyatakan buruk, juga menurut pedagogik. Uraian ini membuktikan pentingnya keseragaman dan "kerja sama" di antara segala tingkat pendidikan, seperti disebut di atas.
Apakah hal pembentukan juga perlu diatur sebagai tujuan katekese? Atau justru pembentukan itulah yang terpenting?
Adalah mungkin untuk menerapkan ilmu pedagogik (membedakan tingkat-tingkat pendidikan sebagaimana dilukiskan di atas) dalam katekese. Hal itu penting karena jangan dilupakan bahwa kita (artinya orang tua bersama gereja) bertanggung jawab untuk mengatur katekisasi sebaik-baiknya; kualitas katekisasi perlu optimal. Dan untuk itu kita jangan takut memakai hasil ilmu pedagogik.
Ada juga orang yang melawan pendekatan ilmiah ini. Mereka mengatakan, "Pembentukan tidak merupakan tujuan khusus katekisasi. Pembentukan tidak perlu diatur secara khusus. Yang penting ialah bagian kognitif saja. Karena secara otomatis proses pembentukan telah berlangsung ketika hal-hal kognitif diajarkan. Karena itu pembentukan tidak perlu diatur secara eksplisit." Dan mereka juga mendasarkan pandangan ini atas istilah "tahu" dan "kenal" dalam Alkitab. Alasan mereka: "Bukankah istilah alkitabiah "mengetahui" dan "mengenal" mempunyai arti spiritual yang dalam sekali? Karena "mengenal Allah" tidak hanya berarti mengenal Dia secara kognitif, tapi juga mengenal Dia secara afektif. Dan mengenal Kristus juga merupakan pengenalan yang melibatkan seluruh aspek pribadi manusia akalnya, hatinya, batinnya, jiwanya, tingkah lakunya, mentalitas .... Pengenalan menciptakan relasi antara Kristus dan manusia, bukan saja secara kognitif, tapi terlebih lagi secara afektif. Memang benar bahwa di dalam Alkitab istilah "mengenal" dan "mengetahui" mengacu kepada relasi yang dalam itu serta mencakup hal kognitif dan afek tif. Tapi bukan berarti bahwa kita tidak boleh membedakan kedua bidang tersebut dalam upaya merancang metode pendidikan yang lebih baik.
Dalam ilmu pedagogik kita boleh, bahkan harus membedakan kedua bidang itu, karena ilmu ini berusaha meningkatkan kualitas pendidikan. Justru dengan membedakannya maka kedua bidang itu akan diperhatikan lebih baik. Dan justru untuk mengusahakan pengenalan akan Allah sesuai maksud Alkitab, kita mengembangkan suatu metode katekisasi menuju kepada pengenalan itu, yakni yang mencakup pengenalan secara kognitif dan afektif. Dalam pedagogik kita perlu cermat melihat setiap komponen yang perlu diatur dalam pengajaran itu. Sebenarnya analisa istilah pengetahuan dalam Alkitab justru menghasilkan pandangan pedagogis yang sama. Hal ini makin menguatkan keyakinan bahwa kita perlu mengindahkan setiap komponen sebaik-baiknya.
Amatilah bagan di halaman 153:
Di sini kita tidak memisahkan istilah mengenal menjadi dua bidang yang tidak saling berkaitan, melainkan hanya memperlihatkan semua komponen yang menurut Alkitab harus ada dalam pengenalan dan pengetahuan seorang Kristen akan Allah dan Anak-Nya. Komponen-komponen ini sangat menolong kita untuk menentukan tujuan dan mengatur metode katekisasi. Dengan demikian kita dapat mengarahkan pikiran kepada setiap komponen itu, sehingga tidak ada unsur yang terlupakan atau kurang diperhatikan. Dan kita pun bisa mengatur katekisasi dengan mempertimbangkan semua komponen itu.
Dengan memperlihatkan aneka ragam komponen yang perlu diperhatikan, muncul pertanyaan: komponen manakah yang perlu lebih ditekankan? Pengajaran atau pendidikan? Pengetahuan atau pembentukan? Kognitif atau afektif?
Janganlah menganggap pertanyaan-pertanyaan ini kurang penting. Apalagi berkata, "Yang penting ialah praktik katekisasi, tidak perlu banyak bicara mengenai teorinya!" Atau, "Pertanyaanpertanyaan teoritis ini kurang penting!"
Justru untuk memperbaiki praktik itulah kita perlu membahasnya secara teoritis. Kita juga perlu menentukan secara teoritis tujuan katekese, karena tidak mungkin memberikan katekisasi hanya secara intuitif (berdasar bisikan atau suara hati, mengikuti emosi). Kita harus bekerja secara sistematis dan menetapkan secara tepat dan pasti tujuan yang hendak dicapai. Pemilihan dan penyusunan tujuan-tujuan itu mempunyai efek terhadap penentuan metode dan cara kerja; pendeknya suasana katekisasi akan ditentukan oleh tujuan yang dipilih atau ditekankan. Umpamanya, jika seseorang berpendapat bahwa pembentukan adalah satu-satunya tujuan katekisasi, maka cara kerja dan isi pengajaran diatur dan disesuaikan ke arah pembentukan itu. Orang lain yang berpendapat bahwa katekisasi hanya perlu mengandung unsur-unsur kognitif, akan menciptakan situasi katekisasi yang lain lagi.
Marilah menentukan pendapat kita mengenai masalah ini.
Kami berpendapat bahwa dalam katekisasi yang pertama (primer) ialah pengajaran pengetahuan. Yang diajarkan adalah ajaran gereja. Pada dasarnya dalam katekisasi, bukan murid yang menjadi pusat perhatian, melainkan Allah dan pekerjaan-Nya. Katekese haruslah bercorak teosentris dan Kristosentris. Dari segi itu jelas bahwa jam katekisasi bukan jam pembentukan murid-murid. Memang, murid dituntun menuju pengakuan iman. Tapi pengakuan itu berarti pengakuan suatu isi. Dan isi itulah (yakni ajaran gereja, ajaran Kristen) yang perlu diajarkan. Murid perlu belajar untuk berbicara mengenai ajaran gereja dengan akalnya, dan untuk itu tentu ia harus memiliki pengetahuan mengenai ajaran tersebut. Untuk mencapai itulah si murid diajar, itu saja. Untuk itu pulalah pendeta diajar untuk mengajar. Justru mereka perlu mengetahui didaktik katekese: bagaimana mereka harus mengajar dengan baik.
Tapi, di sisi lain, murid juga diantar kepada pengakuan iman.
Itu berarti: pengajar bukan hanya mengarahkan pengajarannya kepada pengetahuan dan pengertian, tapi juga kepada penerimaan (akseptasi) isi Alkitab dan isi pengakuan iman. Dengan kata lain (menurut istilah pedagogis) kita ingin agar murid dibentuk: ia menerima norma-norma yang diajarkan kepadanya dan mulai berperilaku sebagai Kristen.
Ketentuan di atas menghasilkan kesimpulan bahwa selain mengajarkan pengetahuan, katekisasi juga harus menjadi wadah pembentukan sikap. Secara praktis, pembentukan adalah tugas khusus yang perlu diatur secara tersendiri dan lepas dari unsur pengajaran pengetahuan. Ada waktu yang disediakan khusus untuk pembentukan, umpamanya dengan diskusi, tanya-jawab, per mainan, pembicaraan pribadi, dst. Di samping itu, pendeta juga wajib mengatur pengajaran pengetahuan.
Namun demikian, cara ini (yang memisahkan kedua unsur itu) tidak baik. Dalam bagian berikut akan kita lihat metode yang lebih berhikmat.
Dalam bab 12 sudah kita bahas tujuan umum atau tujuan teologis. Tujuan ini dapat juga disebut tujuan jauh atau tujuan akhir. Sebagai contoh di sini dikutip definisi tujuan jauh menurut seorang mahaguru Kristen dalam ilmu pedagogik.
Sebuah contoh buku katekisasi yang diterbitkan di Indonesia, (terbitan Y.K. Bina Kasih)
Tujuan akhir pendidikan Kristen ialah seorang yang mandiri, yang secara dewasa melayani Allah sesuai dengan Firman-Nya, yang mampu dan bersedia untuk memakai karunia-karunia yang dianugerahkan Allah kepadanya, akan hormat Tuhan Allahnya, akan penyelamatan sesamanya, akan pengembangan penciptaan dan kebudayaan, dalam segala lingkungan hidup di mana Allah menempatkannya.
Keluarga, famili, sekolah, gereja dan katekisasi bekerja sama untuk mencapai tujuan ini. Semua pihak mengarahkan usaha mereka kepada tujuan akhir ini. Pengajar juga mengatur segala pekerjaannya untuk mencapai tujuan tersebut. Letak tujuan ini lebih jauh dibandingkan tujuan dekat, tapi tujuan ini paling mempengaruhi arah semua kegiatan katekisasi; lihat bagan berikut:
Walaupun arah dan fungsi semua komponen itu sama (karena tertuju kepada tujuan akhir itu), tujuan dan cara kerja pendidikan di lingkungan keluarga dan famili berbeda dari tujuan dan cara kerja di sekolah, gereja atau di katekisasi.
Tujuan dan cara kerja di katekisasi adalah sebagai berikut:
Dalam katekese, yang menjadi unsur pertama adalah pengetahuan dan pengertian tentang ajaran gereja. Hal ini dicapai melalui pengajaran, sedemikian rupa, sehingga murid menghayati ajaran tersebut. Inilah dasar pembentukan mereka. Pembentukan itu bukanlah hal yang terpisah atau tersendiri, karena tujuan akhir ini mempengaruhi dan menyatukan semua kegiatan katekisasi. Penjelasan atas suatu fakta, nama atau ujian pengetahuan semuanya merupakan jalan untuk mencapai tujuan akhir itu. Keyakinan ini akan menentukan metode katekese dan cara kerja pengajar. Katekisasi memang adalah pengajaran, tapi pengajaran yang membentuk.
Apakah dalam metode katekese murid dipaksa harus menghafal bahan katekese (umpamanya menghafal soal-jawab Katekismus Heidelberg)? Atau hanya perlu menghafal beberapa bagian penting, umpamanya Pengakuan Iman Rasuli, Doa Bapa Kami, dan Dasa Titah? Metode yang dipilih terkait erat dengan tujuan yang hendak dicapai. Jika tekanan diberikan kepada pembentukan perilaku murid, maka "penghapalan bahan" akan kurang dipentingkan. Yang dipentingkan ialah diskusi dan kemampuan murid mengungkapkan ajaran gereja dengan kata-katanya sendiri. Murid-murid katekisasi tidak perlu menghafal, mereka hanya diajar untuk berbicara mengenai pokok-pokok iman.
Jelas sekali bahwa kita tidak boleh puas dengan metode katekisasi yang mengutamakan ujian atau pemeriksaan bahan yang dihafal. Sebab, yang utama ialah keterangan pokok-pokok iman. Guru perlu menjelaskan katekismus. Penjelasan ini hendaknya menjadi pusat perhatian baik untuk guru maupun murid. Tidak mungkin mengatakan katekisasi berhasil sekalipun murid sudah mampu menghafal jawaban-jawaban yang diberikan dalam buku katekismus. Cara ini berbahaya karena murid kandas dalam tingkat ke-1 tujuan katekese: ia hanya mengumpulkan data-data tapi ia tidak mengerti data-data itu. Ia menerima pengetahuan yang tidak dipraktikkannya, yang hanya tinggal dalam otaknya sebagai formula-formula yang tidak berisi, dan yang tidak menjadi sumber kehidupan percaya baginya. Inilah bahaya cara penghafalan.
Cara ini sama sekali tidak memenuhi syarat pedagogik sebagaimana diuraikan dalam bab 10 mengenai didaktik umum, di mana disajikan bagan ihwal pentingnya memulai setiap pengajaran dari situasi awal murid. Jika katekisasi direndahkan menjadi kursus yang tidak berisi, yang hanya untuk menghafal beberapa jawaban saja, maka syarat penting didaktik sama sekali telah diabaikan. Karena syarat "bertitik tolak dari situasi awal murid" berarti kita mengaitkan diri pada situasi itu, kemudian mengubahnya secara positif.
Uraian tentang bahaya penghafalan bukan berarti tidak perlu menyuruh anak-anak menghafal berbagai pokok-pokok iman. Se perti telah dijelaskan sebelumnya, ada pendapat yang mengatakan bahwa tujuan pelajaran adalah agar murid mampu mengungkapkan isi imannya dengan kata-katanya sendiri. Karena itu yang perlu dalam katekisasi hanyalah penjelasan-penjelasan, diskusi, dan pembentukan pendapat murid. Ujian pun bisa dilakukan dalam bentuk pembicaraan terbuka mengenai berbagai pokok iman.
Tapi metode ini juga mengandung bahaya besar. Karena kemungkinan besar murid akan menjawab hal-hal penting dengan jawaban yang kurang tepat, yang kebenarannya telah terkikis atau salah sama sekali. Bukankah gereja melalui katekese wajib mengalihkan ajaran gereja dari satu generasi ke generasi berikutnya? Bukankah gereja perlu menjaga kesehatan ajaran itu sesuai dengan Alkitab? Itulah bahaya metode ini, yakni konsistensi ajaran diperlemah dan isi ajaran (yang ditetapkan secara teliti oleh generasi dulu) pada akhirnya terlupakan.
Dapat disimpulkan bahwa kegiatan menghafal tidak boleh menjadi kerja pokok dan tujuan pokok katekisasi. Yang perlu diprioritaskan ialah isi dan pengertian ajaran gereja. Ketentuan ini juga berarti bahwa dalam katekisasi hal penjelasan perlu diutamakan. Itu berarti bahwa bahan yang telah dijelaskan perlu diuji, diperiksa, dan dinilai. Apakah dalam cara ini masih perlu diberikan tempat kepada penghafalan? Tentu!
Umpamanya, yang dijelaskan adalah ajaran mengenai Tritunggal. Guru memberi pelajaran panjang lebar sehingga murid mengerti isi pokok tersebut. Tapi, pengertian saja belum cukup. Murid juga perlu mengingat apa yang dipahaminya, sehingga ia dapat mengungkapkannya dengan ungkapan yang tepat, dengan benar. Yang paling penting dihafal adalah isi pengakuan seperti yang terdapat dalam katekismus. Dengan demikian murid memperoleh pengetahuan yang cukup untuk membentuk pendapatnya sendiri secara tepat. Hal ini akan mencegah dia (dan bukan saja dia pribadi, melainkan seluruh persekutuan gereja) untuk tidak berbicara sembarangan mengenai pokok-pokok iman yang pen ting. Dalam perkumpulan kaum ibu atau kelompok penyelidikan Alkitab, misalnya, pembicaraan mengenai hal ini sering terjadi. Dan dalam pembicaraan itu kita dibantu dan disokong oleh pengetahuan yang kita peroleh waktu katekisasi. Isi katekismus dapat dipakai untuk mengecek apakah kita berbicara sesuai dengan ajaran gereja. Justru penghafalan akan membuat pengetahuan itu menjadi lebih tajam dan lebih berfungsi. Dengan demikian gereja juga menjauhkan diri dari segala macam pembicaraan yang tidak sehat, sesuai dengan nasihat Paulus kepada Timotius (2 Tim 3:14- 16):
Tetapi hendaklah engkau tetap berpegang pada kebenaran yang telah engkau terima dan yakini, dengan selalu mengingat orang yang telah mengajarkannya kepadamu. Ingatlah juga bahwa sejak kecil engkau sudah mengenal Kitab Suci yang dapat memberi hikmat kepadamu dan menuntun engkau kepada keselamatan melalui iman kepada Kristus Yesus. Seluruh Kitab Suci diilhamkan Allah dan bermanfaat untuk mengajar, untuk menyatakan kesalahan, untuk memperbaiki kelakuan dan untuk mendidik orang dalam kebenaran.
Dengan menghafal, orang memperoleh semacam "sistem sinyal" untuk mengingatkan ungkapan-ungkapan yang benar, dan memberi tanda bahaya atau peringatan akan ungkapan yang salah atau melenceng dari kebenaran. Semua bahan yang dihafal itu merupakan alat dan senjata bagi seorang Kristen, atau sokongan untuk berdiri tegak, merenungkan iman dan mengaku isi kepercayaan menurut ajaran yang sehat, sesuai dengan Alkitab.
Dengan kata lain, menghafal bahan katekisasi tetap baik dan merupakan unsur penting dalam pendidikan ajaran Kristen.
Kesimpulan bahwa anak-anak penting menghafal bagian-bagian tertentu dari bahan katekisasi perlu dijelaskan lebih jauh. Soalnya, cara ini tidak boleh diterapkan sembarangan. Jangan sampai murid baru menghafal pelajaran menjelang jam katekisasi. Me mang bisa saja mereka mampu mengucapkan hafalan itu di luar kepala, mungkin dengan pertolongan guru atau bisik-bisik dari teman. Tapi bagaimanapun cara demikian akan merusak katekisasi, karena hafalan itu langsung lenyap begitu jam katekisasi berakhir. Lagi pula waktu yang dihabiskan untuk menguji murid yang sebelumnya tidak belajar apa-apa, akan sia-sia.
Karena itu guru (pendeta, penginjil, atau katekis) perlu menuntut perhatian yang sungguh-sungguh. Ia tidak boleh lemah lembut dengan berkata, "Sayang, anak-anak tidak rajin mempelajari bahan yang ditugaskan ...." Bukankah Alkitab menerangkan kepada kita bahwa mereka tidak akan bersedia bekerja keras, khususnya dalam hal-hal iman? Bahwa mereka memiliki sifat-sifat jahat sehingga tidak dapat melakukan sesuatu yang baik?
Jadi guru perlu mengatur sistem pendidikannya dengan baik.
Ia harus bertindak sebagai orang yang berwewenang dan harus mengendalikan suasana katekisasi. Dan bila murid-murid mempermainkannya, ia perlu mengambil tindakan yang sepatutnya.
Walaupun penghafalan itu baik, tapi bila bahan hafalan itu banyak, maka ia tidak akan dapat bertahan lama dalam otak manusia. Itu hanya bisa jika bahan itu sering diulangi. Umpamanya Katekismus Heidelberg. Jelas bahannya terlalu banyak untuk diingat. Lebih baik sedikit bahan untuk dihafal, daripada banyak tapi hasilnya kurang baik. Karena apa yang dihafal dengan baik dapat bertahan lama, sedangkan yang tidak baik akan cepat hilang.
Bisa saja ada bagian-bagian yang tidak dihafal, yang cukup dijawab dengan kata-kata murid sendiri. Tapi metode ini tidak boleh mendominasi katekisasi; lihatlah alasan yang telah diuraikan sebelumnya.
Perlu kita perhatikan bahwa katekisasi mencakup semua bidang pendidikan: pengetahuan, pengertian, pembentukan (perilaku, si kap, norma-norma, dll) dan pendidikan khusus untuk hidup seusai dengan yang diajarkan.
Tapi, melalui cara seperti dijelaskan di atas (cara menghafal disertai penjelasan yang baik, sehingga murid mengumpulkan pengetahuan dan pengertian) pembentukan belum terjadi. Pembentukan belum tercapai hanya dengan menjelaskan sesuatu yang dihafal dan kemudian mengujinya.
Untuk mencapai pembentukan yang baik, hal-hal berikut perlu diperhatikan.
1. Sarana fisik
Ada yang berpendapat bahwa sarana yang dipakai untuk mengadakan katekisasi kurang penting; asal ada atap dan bangkubangku untuk duduk, cukuplah sudah. Biarlah meja-meja buruk, papan tulis kotor, tidak ada peta-peta dan perlengkapan lainnya. Apakah katekisasi kurang penting dibandingkan pendidikan di sekolah?
Ruang katekisasi tidak perlu diatur dengan biaya mahal.
Yang penting, diatur dengan baik sehingga memberikan suasana tenang, menarik, dan ramah. Harus tersedia peta dan gambargambar yang perlu, dan papan tulis yang baik.
Apakah ini penting untuk pembentukan? Ya tentu, karena pada umumnya anak-anak mempunyai perasaan yang peka untuk hal-hal seperti ini. Dan kalau suasana tidak menyenangkan, mereka akan cepat bosan.
2. Perilaku guru
Pembentukan sangat dipengaruhi oleh tabiat dan perilaku guru (pendeta, penginjil, katekis). Anak-anak tidak akan tertarik untuk dididik oleh orang yang sikapnya sendiri tidak baik apalagi buruk. Tapi mereka siap menerima pembentukan sikap dan perilaku dari orang yang tahu mengasihi dan sekaligus berwibawa. Bila anak-anak menyukai guru mereka, atau mengasihinya, mereka akan cepat menerima pelajaran yang diberikan gurunya.
Karena itu guru harus bersikap terbuka, bijak, menyayangi murid-muridnya, dan memberi perhatian serius kepada mereka. Di sisi lain, ia perlu tampil dengan wibawa. Tapi itu hanya bisa jika ia menyiapkan bahan ajarannya dengan baik, jika ia mengajar dengan baik, dan bisa menciptakan suasana tertib. Selain itu, ia juga harus hidup sesuai dengan apa yang diajarkannya, sebagai teladan untuk murid-muridnya. Dan yang paling penting lagi, ia harus mempunyai semangat yang dari Roh Kudus. Hal-hal inilah yang merupakan syarat agar katekisasi bisa menjadi sarana pembentukan watak perilaku, sikap, nilai-nilai, dll. Sebenarnya guru sendiri merupakan bentuk yang kemudian membentuk murid-muridnya.
3. Penarikan perhatian kepada bahan katekisasi
Murid-murid tidak akan mencurahkan banyak perhatian kepada pelajaran katekisasi. Mereka jauh lebih tertarik dengan hal-hal lain: bermain bola, mencari ikan, berburu, atau kesenangan lainnya. Yang perlu dijaga adalah bahwa guru tidak boleh selalu mengikuti keinginan murid. Jika itu terjadi maka katekisasi akan gagal. Itu berarti, kemurnian bahan pelajaran katekisasi harus tetap dipertahankan. Yang penting di sini adalah bahwa bahan itu harus menyentuh murid-murid. Mereka harus merasa bahwa bahan itu berbicara mengenai mereka sendiri, mengenai Bapa mereka, Juruselamat mereka, baptisan mereka dan masa depan mereka. Mereka harus tertarik karena merasa kepentingan mereka sendirilah yang terkandung dalam bahan ajaran itu.
Memang yang menjadi pusat katekisasi ialah Tuhan dan perbuatan-Nya, tapi sekaligus dengan itu aspek kemanusiaan murid juga harus disentuh. Harus ada keterkaitan antara bahan pelajaran dengan kehidupan sehari-hari, sebab murid juga memiliki persoalan sendiri. Mereka berdosa, mungkin ada yang marah, bingung atau merasa terkucil. Mungkin pula ada yang mengalami kesulitan dengan sekolah, pelajaran atau kesusahan keluarga. Ada yang hubungannya dengan orang tua rusak, atau dengan teman-teman .... Dan pada jam katekisasi perlu dijelaskan Alkitab mempunyai nasihat, penghiburan, dorongan untuk semua masalah tersebut.
Hal ini perlu diterangkan berdasarkan katekismus. Dengan demikian, jalan keluar dari masalah-masalah tersebut bisa dicarikan pada waktu jam katekisasi. Berkat sokongan dan pertolongan-Nya, orang bisa bernapas lagi dan kehidupan tetap berada di dalam sinar terang Injil.
Untuk pembentukan ini guru perlu berbicara dari dalam batin hatinya secara terbuka dengan mereka. Sehingga menjadi jelas bahwa bahan ajaran menyentuh hati dan kepribadian setiap murid. Cara seperti ini akan menarik perhatian mereka. Dengan demikian, bahan ajaran tidak terlepas begitu saja, tapi efektif dalam kehidupan mereka masing-masing.
Untuk pengajar hal ini berarti: jangan memberikan keterangan-keterangan yang berbau ilmiah, yang bercorak teologis. Guru harus berdiri di tengah kehidupan modern. Ia harus mengerti dan mengetahui lingkungan hidup murid-muridnya. Pidato-pidato teologis tidak berguna pada jam katekisasi. Guru harus memusatkan pikiran kepada bahan ajaran dan kaitannya dengan kehidupan nyata. Hanya dengan demikian seorang pengajar bisa berfungsi, dan hanya dengan demikian pula ia bisa berhasil memberikan pengajaran yang membentuk kepribadian anak-anak gereja.
Pengajaran yang membentuk watak, perilaku, sikap, nilai-nilai, kepribadian, dan kehidupan dalam praktik sehari-hari, harus memenuhi syarat-syarat berikut:
Penghafalan Sebagian ajaran harus disajikan dalam bentuk hafalan, umpamanya, dengan memakai sistem soal-jawab. Bahan yang dihafal dengan baik akan menjadi modal penting untuk kehidupan rohani yang sehat. |
Penjelasan Pengajar harus menjelaskan ajaran dengan baik dan berkaitan langsung dengan kehidupan murid-murid. Mereka harus belajar untuk mengerti pokok-pokok iman dan untuk mengungkapkannya dengan kata-kata sendiri. |
Sarana fisik Majelis gereja, bersama dengan pengajar, harus memperhatikan sarana katekisasi yang menjamin suasana aman, tertib, menarik dan menyenangkan. Juga harus ada petapeta dan peralatan lain yang perlu. |
Tabiat pengajar Pengajar (pendeta, penginjil, katekis) perlu mampu untuk mengasihi, tapi ia tetap harus berwibawa. |
Menarik perhatian Bahan ajaran tidak boleh diberikan terlepas dari kehidupan konkret anak-anak. Harus ada hubungan yang jelas, karena ajaran itu menyajikan sokongan, penghiburan, hikmat, dan sebagainya dalam kehidupan sehari-hari. |