Dalam Proses belajar-mengajar Pendidikan Ajaran Kristen, telah diuraikan situasi awal murid (Bab 10) kemudian tujuan umum dan tujuan khusus katekese (Bab 11 dan 12). Jelas bahwa proses belajar berlangsung dari situasi awal, melalui tujuan khusus, ke tujuan umum. Sebagai pacu daya untuk menghidupkan dan menggerakkan proses ini perlu ada bahan ajaran. Itulah yang dibahas dalam Bab 13 ini.
Bahan ajaran dominan dalam seluruh proses belajar. Bahan ajaran merupakan isi ajaran yang diberikan konkret dalam setiap jam pengajaran. Walaupun begitu, secara prinsipiil pembahasan bahan ajaran harus dilakukan belakangan, karena dalam didaktik bahan ajaran pada hakikatnya harus dinilai di bawah kepentingan situasi awal dan tujuan pengajaran. Situasi awal dan tujuan itulah yang akan menentukan isi bahan ajaran (dan seterusnya juga susunannya dan organisasinya). Jadi bahan ajaran baru dapat ditentukan setelah analisa situasi awal dan tujuan pengajaran ditetapkan. Bahan ajaran harus disesuaikan dengan hasil penyelidikan itu dan harus melayani tujuan yang telah ditentukan itu. Penen tuan bahan ajaran tergantung dari analisa situasi awal dan tujuan teologis serta tujuan khusus pengajaran. Demikianlah bahan ajaran merupakan komponen ketiga dalam proses belajar. Penentuan isi dan arahnya tergantung dari tujuan yang hendak dicapai. Sedangkan tingkat dan titik tolaknya tergantung dari situasi awal murid-murid.
Bahan ajaran adalah informasi yang dipakai dalam proses belajar. Informasi ini dapat diberikan dalam bentuk yang beraneka ragam, lihat bagan berikut:
Bahan ajaran adalah informasi dalam bentuk lisan, tulisan, visual atau audiovisual yang masih baru (belum dikenal) dan digunakan dalam proses belajar.
Biasanya bahan ajaran terdiri dari sesuatu yang belum diketahui, atau belum pernah dilihat atau didengar oleh murid. Bahan ajaran berasal dari luar, masuk ke dalam situasi awal si murid dan dikaitkan kepada sesuatu yang sudah ada sebelumnya. Bahan ajaran itu harus membantu murid untuk maju mencapai tujuan pendidikan, dan mengikuti proses belajar sampai selesai. Bahan ajaran itu juga harus mampu menjadi stimulans untuk meningkatkan prestasi, semangat belajar, dan merangsang perasaan gembira murid mengikuti pelajaran. Tapi bahan ajaran juga harus dapat berfungsi sebagai cambuk untuk belajar secara teratur dan tekun. Kadang kala murid senang dan terbuka menerima segala macam bahan ajaran yang baru; tapi ada kalanya mereka kesulitan menerima informasi lainnya.
Telah dikemukakan bahwa bahan ajaran harus bisa menjadi stimulans bagi murid untuk bertahan dalam proses belajar dengan senang hati. Kenyataan ini mengandung tuntutan besar bagi siapa saja yang merumuskan bahan ajaran itu. Terutama bagi mereka yang mengarang buku katekismus. Tapi untuk pengajar (pendeta atau penginjil yang mendampingi murid dalam proses belajar) hal ini juga merupakan tanggung jawab besar. Mereka harus berusaha agar bahan yang diberikan mempunyai isi dan bentuk yang menarik serta mampu menjadi sumber motivasi. Guru harus mengerti bahwa tanpa persiapan ia tidak akan dapat mengajar sesuai dengan tanggung jawabnya.
Di bawah ini kita menyebut beberapa unsur yang berperan penting dalam menentukan bentuk bahan ajaran itu:
Yang penting ialah urutan dan susunan bahan. Hal ini diuraikan lebih lanjut di bagian lain, pada pembahasan isi bahan ajaran. Di sini kita hanya menyebut bahwa ada banyak kemungkinan untuk mengatur semua unsur itu, umpamanya menurut garis (linier) atau konsentris, atau dalam bentuk cerita-cerita, dsb. Itu dijelaskan lebih rinci pada akhir bab ini.
Barangkali ada yang beranggapan bahwa bahasa tidak perlu dipersoalkan di sini, karena Bahasa Indonesia adalah bahasa resmi yang dipakai di seluruh wilayah Indonesia. Tapi perlu diperhatikan bahwa ada wilayah tertentu
URUTAN DAN SUSUNAN BAHAN
BAHASA
di mana Bahasa Indonesia tidak dapat dipakai sebagai bahasa pengantar katekisasi. Umpamanya di pedalaman Sumba atau Papua. Biasanya anak-anak dan terlebih lagi orang dewasa (orangorang berusia tua yang minta dibaptis) tidak mengerti bahasa nasional itu. Mereka masih tergantung pada bahasa suku mereka. Dan justru bahasa suku itulah bahasa batin mereka, yang kena di perasaan dan gampang mereka mengerti. Dalam keadaan seperti ini, memaksakan penggunaan bahasa nasional hanya akan merusak katekisasi. Justru penggunaan bahasa suku mereka sendiri akan sangat membantu, sehingga mereka tertarik dan terdorong. Sedangkan bahasa yang tidak mereka mengerti akan membuat mereka tersinggung dan kemudian menimbulkan perasaan takut dan kurang mampu. Di sini, bahasa nasional menjadi rintangan bagi kelancaran proses belajar.
Di sisi lain, di daerah-daerah di mana ada perkembangan dan kemajuan intelektual (umpamanya di lingkungan sekolah-sekolah tinggi) bahasa umum perlu dipakai dengan baik, sesuai dengan tingkat perkembangan bahasa Indonesia di lingkungan itu. Sebab jika pengajar menggunakan bahasa tidak dengan tepat, maka penerimaan ajaran juga menjadi tidak tepat.
Yang dibicarakan di sini adalah bentuk bahan ajaran yang disajikan dalam katekisasi. Salah satu bentuk yang sangat penting ialah bahan lisan. Dalam bahan lisan juga termasuk semua cerita dan penjelasan yang diberikan oleh guru. Untuk itu guru harus pintar bercerita. Sebenarnya bercerita merupakan keahlian asli Indone- sia. Justru karena itulah metode ini perlu diperhatikan secara khusus dalam katekese. Kita harus menyadari pentingnya cerita dalam tradisi nenek moyang di berbagai daerah di Indonesia. Betapa banyak dan bagusnya cerita-cerita dongeng itu! Dan betapa kaya isinya sebagai bahan pendidikan anak-anak serta untuk mempertahankan sejarah suku dan norma-norma kehidupan menurut adat-istiadat. Hal ini akan diuraikan dalam bab khusus, di mana akan diberikan contoh katekisasi berdasarkan metode bercerita.
LISAN
(penjelasan cerita)
Dalam zaman ini jelaslah bahwa katekisasi harus memakai bahan tulisan juga. Tapi harus disadari bahwa di daerah tertentu masih ada orang yang buta aksara. Dalam keadaan demikian, katekisasi tentu tidak dapat memakai bahan tulisan. Barangsiapa memberikan buku kepada seorang yang buta aksara, hanya akan membangkitkan rasa malu dalam diri orang tersebut. Dan perasaan itu membuat dia menjadi malas mengikuti katekisasi! Itu berarti, pengajar (yang memang bukan buta aksara!) harus merendahkan diri dan berusaha memakai bentuk-bentuk lisan dan gambar saja untuk mengajar mereka. Janganlah pengajar memaksakan bahan tulisan yang dibuatnya untuk menunjukkan kehebatannya sebagai orang berpendidikan tinggi ....
Tapi memang jelas, bentuk bahan tulisan merupakan alat pendidikan yang sangat efektif, juga dalam Pendidikan Ajaran Kristen. Bahan tulisan biasanya disajikan dalam buku-buku katekisasi, papan tulis, dan juga dalam buku-buku tulis yang dipegang oleh murid. Kesempatan untuk membaca Alkitab bersama-sama, menyanyikan Mazmur dan Nyanyian Rohani sangat menolong dalam pengajaran katekisasi.
Media visual (alat-alat untuk memperlihatkan sesuatu) dan media audio (alat-alat untuk memperdengarkan sesuatu) sangat berguna dalam katekisasi. Perlu pula petapeta69 untuk memperlihatkan keadaan dan topografi Alkitab, atau buku berisi gambargambar tentang situasi atau peristiwa penting. Juga perlu diorama-diorama dan foto-foto untuk menjelaskan sesuatu, atau kaset untuk melatih nyanyian ro Akan sangat menolong bila menggunakan PETA ALKITAB terbitan Bina Kasih.
hani. Ada juga yang lebih modern lagi, yakni penggunaan film hidup atau video (alat-alat ini disebut media audiovisual karena dapat memperdengarkan maupun memperlihatkan sesuatu). Media ini terutama sangat berguna jika Sejarah Suci merupakan unsur penting dalam katekisasi. Untuk unsur Ajaran Gereja juga ada gambar-gambar atau bagan-bagan yang dapat dipakai. Tapi masuk tidaknya Sejarah Suci menjadi bahan ajaran tergantung dari tujuan dan isi bahan pelajaran itu, sebagaimana diuraikan berikut ini.
Kita sudah meneliti bentuk bahan ajaran. Sekarang kita akan membahas isi bahan ajaran.
Dalam bagian mengenai sejarah katekese kita sudah lihat bahwa sejak awal bahan ajaran Kristen selalu mengandung empat unsur berikut:
HUKUM | KREDO | DOA | SAKRAMEN |
Unsur-unsur ini juga dipakai oleh Luther dan Calvin tapi dalam urutan yang berbeda. Unsur ini juga sudah ditemukan dalam pendidikan agama anak-anak Israel pada zaman PL. Yang perlu dipertimbangkan untuk kepentingan masa kini ialah apakah unsur-unsur lain juga perlu dimasukkan dalam program katekisasi. Misalnya:
ISI ALKITAB SEJARAH SUCI | SEJARAH GEREJA | PENGAKUAN GEREJA |
IBADAH GEREJA | AGAMA-AGAMA LAIN | PEKABARAN INJIL |
Keputusan untuk memasukkan unsur-unsur ini menjadi bahan pelajaran katekisasi tergantung dari banyak hal, terutama keadaan, lingkungan, dan tingkat perkembangan gereja yang bersangkutan. Dengan kata lain, kita tidak dapat menyajikan satu program katekisasi yang bisa langsung dipakai di semua gereja. Gereja sendiri harus memutuskan mana unsur yang perlu dimasukkan dalam program katekisasinya, karena keadaan jemaat setiap gereja tidak selalu sama. Umpamanya, keadaan di pedalaman Papua berbeda sekali dengan di Jakarta. Sebagai contoh kita lukiskan keadaan di Papua.
Keadaan ini terutama ditentukan oleh tingkat dan fase perkembangan jemaat. Di sini banyak orang dewasa yang mengikuti katekisasi karena ingin dibaptis. Itu sebabnya tekanan Pendidikan Ajaran Kristen di daerah ini adalah katekisasi untuk orang dewasa. Hal ini tentu saja akan berubah pada generasi berikutnya. Sekarang katekisasi untuk anak-anak Kristen memang diadakan, tapi sering juga diikuti oleh anak-anak yang belum dibaptis.
Jika kita memperhatikan keadaan anak-anak itu, kita bisa menyimpulkan sebagai berikut:
– Pendidikan Kristen dalam keluarga hampir belum terwujud; orang tua belum mampu mendidik anak-anak mereka, umpamanya dengan membacakan cerita-cerita Alkitab. Memang, bisa saja membacakannya, tapi pendidikan ini tidak bersifat struktural.
– Di Sekolah Dasar, "agama" mendapat perhatian yang lebih besar. Alangkah baiknya kalau gereja ikut memperhatikan agar pendidikan ini diberikan secara teratur, sesuai dengan ajaran Kristen yang sehat, dan menurut kurikulum yang baik. Guru-guru yang hanya bisa menyanyi dan bercerita asal-asalan, justru akan berpengaruh buruk dalam Pendidikan Ajaran Kristen. Kalau bisa, gereja bekerja sama dengan guru-guru sekolah untuk menentukan isi ajaran. Umpamanya dalam Pendidikan Ajaran Kristen di gereja di pedalaman Papua, dipakai satu buku cerita Alkitab dalam bahasa sederhana dengan gambar-gambar yang jelas (biasanya disebut "Buku Merah"). Jika sekolah juga memakai buku ini maka anak-anak akan memperoleh pendidikan yang teratur dalam Sejarah Suci, mulai dari penciptaan sampai perjalanan-perjalanan Paulus.
– Di gereja telah dibentuk kelompok-kelompok khusus di mana anak-anak bisa mendengarkan cerita-cerita Alkitab.
– Di beberapa tempat diadakan juga Sekolah Minggu secara teratur dan dengan memakai buku-buku yang baik.
Dalam menentukan program katekisasi untuk anak-anak, majelis gereja harus mempertimbangkan kondisi-kondisi seperti di atas. Berdasarkan itulah mereka menetapkan cara pendidikan ajaran gereja dalam katekisasi, umpamanya yang sesuai dengan Katekismus Heidelberg (edisi sederhana).
Keadaan sebenarnya dari kenyataan yang dilukiskan di atas tentu jauh lebih kompleks. Tapi yang hendak ditekankan di sini adalah bahwa program katekisasi harus disesuaikan dengan keadaan jemaat. Analisa atas keadaan itulah yang menentukan tujuan dan metode pedidikan ajaran Kristen dalam jemaat itu. Analisa itu juga akan menggambarkan bagaimana pengetahuan jemaat mengenai unsur-unsur Pendidikan Ajaran Kristen (PAK) tersebut. Hal ini dapat dibandingkan dengan daftar unsur PAK yang kita tentukan berdasarkan tujuan umum katekese. Kita hanya dapat menentukan daftar hal kekristenan yang perlu diketahui oleh seorang Kristen dewasa. Kemudian setiap gereja harus memperhatikan bagaimana pengetahuan jemaat mengenai semua hal itu.
Bagan di halaman berikut memperlihatkan hubungan timbal balik (korelasi) antara keadaan umum gereja (sebagai kenyataan faktual) dan daftar bahan katekese (yang ditentukan gereja berdasarkan tujuan teologis yang telah ditetapkan).
Kita akan menentukan tema-tema yang perlu diperhatikan dalam Pendidikan Ajaran Kristen. Tema-tema ini ditentukan berdasarkan tujuan teologis yang telah ditetapkan dalam Bab 11. Di situ kita menetapkan:
"Katekisasi adalah pendidikan perjanjian dalam jemaat Yesus Kristus, menurut perintah-Nya, kepada anggota-anggota muda untuk mengantar mereka melalui berkat dan pimpinan Roh Kudus kepada pengenalan akan Allah dan Juruselamat mereka untuk seluruh kehidupan mereka."
Ada lima aspek penting dalam definisi ini:
1. Katekese adalah pendidikan dalam rangka perjanjian;
2. Katekese adalah pendidikan dalam jemaat Kristus;
3. Katekisasi merupakan bidang kerja Roh Kudus;
4. Katekese diadakan supaya Allah diakui sebagai Allah untuk seluruh kehidupan.
5. Katekese adalah pendidikan yang mengantarkan katekumen menuju pengenalan akan Allah.
Kelima aspek ini memperlihatkan bahwa melalui katekisasi kita ingin mendidik anak-anak Perjanjian, sehingga menjadi anggota-anggota dewasa yang mengenal Allah dalam arti yang sangat luas. Dalam Alkitab juga telah dijelaskan bahwa pengetahuan merupakan syarat untuk kehidupan rohani yang kuat. Dalam Bab 1 sudah kita lihat pentingnya pendidikan dalam seluruh aspek kehidupan Kristen. Bab 2 ditutup dengan perkataan Yesus sendiri: "Belajar segala sesuatu yang telah Aku perintahkan". Apakah isi "segala sesuatu" itu? Paulus menasihati jemaat Korintus berhubung dengan Perayaan Perjamuan Kudus:
"Siapa yang makan dan minum tanpa mengakui tubuh Tuhan, ia mendatangkan hukuman atas dirinyi" (1 Kor 11:29).
"Mengakui tubuh Tuhan" demikian Alkitab terbitan LAI.
Kata Yunani dalam nas ini berarti: membedakan, menentukan harganya, melihat tajam tubuh Tuhan.
Berdasarkan petunjuk di atas dapat disimpulkan bahwa seorang Kristen dewasa harus mengetahui semua hal yang penting untuk hidup sehat sebagai anggota jemaat Kristus. Semua hal yang penting itu dapat dikelompokkan ke dalam bidang-bidang berikut:
ALKITAB (SEJARAH SUCI) POKOK-POKOK IMAN IBADAH GEREJA SEJARAH GEREJA OIKUMENE GEREJA AGAMA-AGAMA LAIN ALKITAB (SEJARAH SUCI) |
Pengetahuan mengenai isi Alkitab merupakan kebutuhan utama setiap orang Kristen dewasa. Dalam sejarah gereja sudah kita lihat betapa rusaknya kekristenan jika hal ini diabaikan. Kaum awam pada Abad-abad Pertengahan sama sekali tidak tahu membaca dan tidak tahu isi Alkitab. Hanya klerus (pemimpin-pemimpin gereja) yang tahu membaca Alkitab dalam bahasa Latin. Keadaan yang buruk ini mengakibatkan Reformasi Akbar pada abad ke-16. Penerjemahan Alkitab dalam berbagai bahasa memungkinkan semua orang membaca Alkitab. Seorang Kristen harus bergaul dengan Firman Allah. Firman Allah harus berperan penting dalam hidupnya. Itu sebabnya Alkitab harus dibaca setiap hari secara teratur, misalnya seusai makan malam. Paulus berkata:
"Firman itu dekat kepadamu, yakni di dalam mulutmu dan di dalam hatimu" (Roma 10:8).
Anak-anak gereja harus mempelajari dan mengalami pentingnya hidup ini mulai dari lingkungan keluarga. Katekese juga merupakan sarana yang penting untuk mempelajari isi Alkitab secara teratur. Pelajaran tersebut dapat dibagi misalnya ke dalam empat pokok berikut:
– Belajar mengaku bahwa Alkitab adalah Firman Allah yang diilhamkan oleh Roh Kudus. Alkitab memiliki wewenang historis dan etis berkaitan dengan Kristus sebagai penyelamat yang satu-satunya.
– Mengetahui peristiwa-peristiwa keselamatan dalam urutan yang benar (Sejarah Keselamatan dari Adam/Hawa, Nuh, Abraham, Musa, Daud ... kepada Yesus, dan seterusnya sejarah gereja mula-mula dalam PB). Dalam katekese, hubungan antara peristiwa-peristiwa itu harus ditunjukkan sehingga jelas perkembangan sejarah sebagai sejarah Penyataan Allah.
– Alkitab sebagai kitab: untuk itu harus dipelajari penggunaannya, kitab-kitabnya, perbedaan PL dan PB, dan strukturnya.
Cara menggunakan Alkitab merupakan hal yang sangat mendasar di setiap bidang dalam teologi, begitu pula dalam katekese. Alkitab dan cara penggunaannya sesuai dengan maksud Alkitab sendiri, menjadi syarat yang tak bisa ditawar-tawar bagi mudamudi yang mengikuti katekisasi. Karena itu Alkitab selalu merupakan unsur yang mutlak sangat penting dalam program katekese.
POKOK-POKOK IMAN
Bahan mengenai pokok-pokok iman biasanya dimuat dalam sebuah katekismus. Ajaran iman ini merupakan ringkasan pokokpokok iman yang sistematis. Dalam bagian mengenai sejarah katekese sudah kita lihat banyaknya buku katekismus ditulis, sejak abad-abad pertama (dengan buku "Didakhe"). Juga sudah kita lihat perkembangan penting pada zaman Reformasi, di mana Luther dan Calvin menyusun katekismus mereka sendiri. Perkembangan yang sangat penting kemudian adalah terbitnya Katekismus Heidelberg yang lazim dipakai hingga sekarang, dan telah diterjemahkan ke dalam banyak bahasa, termasuk bahasa Indonesia.
Dalam banyak buku katekismus unsur-unsur yang tetap sama antara lain ialah:
– pembahasan Pengakuan Iman Rasuli; – pembahasan Dasa Titah; – pembahasan Doa Bapa Kami; – pembahasan Sakramen-sakramen.
Tapi susunan dan urutan unsur-unsur tersebut agak berbeda.
Katekismus Heidelberg merupakan sintesa antara Katekismus Calvin dan Luther.
Luther bertitik tolak dari pertanyaan: bagaimanakah perdamaian antara Allah dan manusia terjadi? Dengan kata lain, ia bertitik tolak dari posisi manusia. Manusialah yang pertama-tama harus menyadari kerusakannya, sesudah itu ia dibenarkan oleh kepercayaan dalam Yesus Kristus, lalu mewujudkan relasi dengan Allah melalui doa. Pada akhirnya perdamaian itu diteguhkan melalui sakramen-sakramen yang menggarisbawahi kebenaran Injil dalam persekutuan gereja. Pendekatan Luther ini disebut pendekatan antropologis. Jadi, urutannya adalah: Dasa Titah, Pengakuan Iman Rasuli, Doa Bapa Kami, dan Sakramen-sakramen. Dasa Titah di sini berfungsi sebagai cermin bagi manusia untuk mempelajari dosa dan sengsaranya, bukan terutama sebagai undang-undang perilaku seorang Kristen. Karena itu, pada Luther etika menempati posisi yang kurang penting.
Calvin (yang menulis Katekismus Jenewa) mengajukan pendekatan yang lebih teologis. Cara menyusunnya lain. Ia mulai dengan pertanyaan bagaimana manusia dapat mengenal dan melayani Allah. Pertanyaan ini dijawab dengan menekankan bahwa manusia terutama harus percaya sepenuhnya kepada Allah, kemudian harus hidup sesuai dengan kehendak Allah dan hukum-hukum-Nya. Lalu ia harus berseru kepada Allah dalam doa, dan pada akhirnya bersama-sama dengan orang percaya lainnya, ia harus beribadah dalam persekutuan Firman dan Sakramen-sakramen. Urutannya ialah: Pengakuan Iman Rasuli, Dasa Titah, Doa Bapa Kami, dan Sakramen-sakramen. Jadi, Calvin berbeda dari Luhter, terutama dalam ajaran mengenai dosa. Pada Calvin, dosa tidak mempunyai tempat khusus, sedangkan etika menempati posisi yang cukup penting.
Katekismus Heidelberg merupakan sintesa antara Katekismus Calvin dan Luther. Pendekatan antropologis (Luther) dan teologis (Calvin) disatukan dalam pendekatan yang sangat bagus dan berhikmat, yang dapat dinamakan kristologis. Titik tolak katekismus ini adalah sebagai berikut:
Pertanyaan: Apa penghiburan Anda satu-satunya, baik pada masa hidup maupun sesudah mati?
Jawab: Bahwa badan dan jiwa saya, baik pada masa hidup maupun sesudah mati, bukan milik saya, melainkan milik Yesus Kristus, Juruselamat saya yang setia, yang sudah menebus saya dengan menghapuskan segenap dosa saya dengan darah-Nya yang tak ternilai harganya, dan yang sudah me- lepaskan saya dari segala kekuasaan Iblis, dan yang memelihara saya sehingga sehelai rambut pun tidak akan jatuh dari kepala saya, jika tidak dengan kehendak Bapa yang di surga, bahkan segala sesuatu sungguh berguna untuk keselamatan saya. Karena itu juga dengan RohNya Yang Kudus, Ia sudah menjamin hidup yang kekal bagi saya, sehingga mulai dari sekarang dengan rela hati saya bersedia menjadi hamba-Nya.
Bagian pertama ini mengungkapkan bahwa penghiburan satusatunya untuk manusia yang berdosa adalah Yesus Kristus. Pengakuan ini ibarat payung untuk seluruh isi katekismus ini, yang diatur dalam suatu struktur yang sangat bagus dan dengan urutan yang sangat jelas:
Sekali lagi, struktur Katekismus Heidelberg ini sangat bagus. Urutan unsur-unsurnya jelas, pembagian isinya ke dalam 52 minggu dan jawaban-jawaban juga sangat jelas, membuat katekismus ini terkenal di seluruh dunia. Katekismus ini menjelaskan ajaran Kristen secara sistematis. Banyak gereja yang berasal dari Reformasi telah menetapkan katekismus ini menjadi Pengakuan Gereja yang resmi (biasanya di samping pengakuan-pengakuan oikumenis, Pengakuan Iman Reformasi, dan pasal-pasal ajaran Dordrecht).
Gereja yang memakai katekismus ini sekarang berarti memakai metode katekese yang berhikmat. Tapi, di sisi lain, ada beberapa hal yang juga perlu diperhatikan dari katekismus tradisional. Misalnya:
– Kepercayaan mengenai Kerajaan Allah; Posisi Israel Masa Kini; Kuasa Iblis dalam keadaan tertentu, umpamanya melalui adat-istiadat;
– Soal-soal etis konkret pada zaman modern.
IBADAH GEREJA
Setiap anggota jemaat yang dewasa harus mengerti unsur-unsur ibadah gereja, sebagaimana diadakan setiap hari Minggu. Pengertian mengenai maksud setiap unsur tersebut akan menjadi pendorong untuk mengikuti kebaktian dengan kesadaran. Dengan demikian jemaat dapat sepenuh hati mengikuti kebaktian. Jadi ada dua hal lagi yang perlu dimasukkan dalam bahan katekisasi:
pengetahuan mengenai isi dan maksud unsur-unsur liturgi;
memperkenalkan liturgi agar ibadah bisa dinikmati dengan benar.
SEJARAH GEREJA
Apakah sejarah gereja juga perlu dimasukkan dalam program katekese? Dulu hal ini memang hampir tidak diajarkan dalam katekisasi. Tapi sekarang banyak metode katekisasi yang memberikan pengajaran sejarah gereja. Dan itu memang penting karena setiap orang Kristen dewasa harus tahu bagaimana Tuhan menjaga dan memimpin sejarah dunia ini. Untuk mengerti keadaan gereja masa kini, perlu diketahui garis besar sejarahnya. Dengan sengaja kita menyebut garis besar, karena memang tidak mungkin membahas sejarah gereja secara rinci dalam katekisasi.
Ada beberapa cara utuk mempelajari sejarah gereja dalam katekisasi, antara lain:
– kronologis; mempelajari peristiwa-peristiwa sejarah menurut urutan waktu, atau biasa disebut metode historis. Tapi cara ini agak berat mengingat waktu katekisasi biasanya agak terbatas.
– pokok-pokok; memilih pokok-pokok sejarah yang paling penting dan membahasnya secara ringkas.
– biografis; membahas kehidupan tokoh-tokoh gereja dan menunjukkan pentingnya peranan mereka dalam perkembangan gereja.
Sejarah gereja dalam katekisasi harus disajikan dengan menarik, umpamanya dengan mengkombinasikan metode di atas. Hal ini tergantung dari kreativitas dan sifat pengajar.
OIKUMENE GEREJA
Masalah ini tidak selalu sama di setiap gereja. Jelaslah bahwa anak-anak perlu mengerti mengenai gereja-gereja lain, terutama yang ada di lingkungan mereka sendiri. Mereka perlu mengerti kenapa ada berbagai macam Gereja Protestan, dan apa sebabnya mereka beribadah kepada Tuhan secara terpisah dan dengan cara yang berbeda. Mereka perlu mengerti perbedaan mendasar antara Gereja-gereja Protestan dan Gereja Katolik Roma. Katekismus Heidelberg memberikan penjelasan yang cukup gamblang mengenai hal ini, umpamanya perbedaan antara Perjamuan Kudus dan Misa Roma, dan juga keterangan menggenapi soal amalan-amal an. Tapi, sebagaimana sudah dijelaskan sebelumnya, pengajaran peri masalah ini tergantung dari penilaian setiap gereja.
AGAMA-AGAMA LAIN
Hal yang sama juga perlu dilakukan mengenai agama lainnya. Di Indonesia sudah jelas perlunya mengetahui agama Islam, agama Hindu, dan agama Budha. Seorang Kristen harus menyadari perbedaan di antara agama-agama ini. Untuk itu, perlu memakai satu buku yang khusus membahas masalah agama sebagai bahan katekisasi.