9. PERKEMBANGAN KATEKESE PASCA REFORMASI

Pengaruh reformasi terhadap katekese dalam gereja pra-reformasi dan Gereja Ortodoks Timur sangat menarik. Itu disajikan dalam bab ini. Pengarah itu ternyata sangat positif.

Sayang sekali, di kalangan Prostestan perkembangannya justru kurang baik. Sebab warisan reformasi dan ajarannya sering diabaikan. Rasionalisme dan modernisme mengakibatkan semakin lemahnya prinsip-prinsip reformasi, juga di bidang katekese.

Gereja Katolik Roma

Reformasi gereja pada abad ke-16 sangat besar dampaknya bagi kehidupan Gereja Katolik Roma. Kontra Reformasi60 menyambut tantangan reformasi, terutama dalam bidang katekese. Konsili61 Trente (1545-1563) memutuskan penyusunan sebuah katekismus yang bisa menjadi sarana untuk mengikat kaum muda lebih erat pada Gereja Roma. Untuk itu, sejak dini anak-anak sudah harus diberi ajaran gereja. Arti serta jalannya upacara gereja juga harus ditekankan, sehingga mereka menjadikan itu bagian dari hidupnya.

Katekismus Romanus atau Tridentinus yang ditulis oleh Borromeus dan beberapa orang lain berdasarkan keputusan konsili di atas, rampung tahun 1566. Susunan buku itu sederhana; hanya terdiri dari kata pengantar dan pembahasan keempat unsur katekese tradisional. Tapi buku tersebut khusus untuk guru, bukan untuk murid. Baru pada tahun 1570 terbit ringkasan Katekismus Romanus yang dikhususkan untuk anak-anak.

Petrus Kanisius62

Sebelum Katekismus Romanus terbit, golongan Yesuit sebenarnya sudah mengkaji masalah katekese secara mendalam. Pada tahun 1555, Petrus Kanisius telah menulis katekismusnya yang besar dan kecil untuk digunakan di sekolah-sekolah. Kedua-duanya dalam bahasa Latin, tapi tahun 1558 edisi kecil itu sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Jerman. Kemudian pada tahun 1559 ia menulis lagi sebuah buku berukuran "sedang" dalam bahasa Latin, yakni Parvus Katekismus Katolikorum. Dalam buku itu, bagian kuno Apostolikum, Doa Bapa Kami, dan Dasa Titah ditempatkan di bawah judul iman, harapan, dan kasih. Setelah itu barulah bab mengenai sakramen. Sedangkan bab terakhir berisi uraian mengenai beberapa kewajiban untuk hidup dalam kebenaran. Di sini soal dosa juga dibahas, terutama mengenai tujuh dosa utama dan tujuh kebajikan utama. Isi bab terakhir ini merupakan sisa pengaruh katekese pengakuan dosa dari abad pertengahan. Katekismus Kanisius, khususnya jenis yang sedang itu, berpengaruh luas dan dipedomani oleh banyak pihak. Selain itu Kanisius juga menerbitkan sejumlah buku yang agak bercorak abad pertengahan mengenai cara yang benar untuk mengikuti upacara gereja.

Dalam konsili Trente (1562) yang sangat dipengaruhi oleh Petrus Kanisius, dikeluarkan peraturan untuk mengajarkan katekese secara teratur kepada anak-anak, paling tidak pada hari Minggu dan hari-hari raya. Tujuannya tentu saja untuk menghindari jemaat terus berada dalam kebodohan. Peraturan itu muncul karena pengaruh pendidikan gereja-gereja reformis. Sekalipun pembaruan dalam Gereja Katolik Roma berawal dari reaksi mereka terhadap reformasi (Kontra Reformasi), tapi isi ajaran pembaruan itu tidak senada dengan ajaran reformasi.

Gereja Ortodoks Timur

Yang sangat berbeda adalah dampak reformasi terhadap Gereja Ortodoks Timur. Di sini, dampak tersebut bukan hanya berupa reaksi yang menjadi perangsang munculnya kesadaran baru, tapi lebih jauh lagi, yakni terjadinya perubahan positif dalam isi ajaran. Sudah sejak permulaan reformasi terjadi kontak langsung antara reformasi dan Gereja Ortodoks Timur, khususnya melalui pertukaran surat antara Melanchthon dengan beberapa tokoh terkemuka gereja tersebut. Dalam paroan kedua abad ke-17, bahkan ada pertukaran pikiran secara tertulis antara para teolog Tübingen dan Patriakh63, Konstantinopel, Cyrillus Lukaris. Meskipun pertukaran pikiran itu terputus kemudian dan Patriakh tersebut di hukum mati karena simpatinya terhadap reformasi (1638) ia berusaha melakukan reformasi yang mirip ajaran Calvin tidak dapat disangkal bahwa di kemudian hari gagasan dasar reformasi berpengaruh terhadap gereja-gereja timur.

Hal itu sangat jelas tampak dalam katekese mereka. Tahun 1721 Sinode Suci Gereja Rusia Ortodoks mengeluarkan peraturan mengenai penyusunan buku-buku sederhana untuk dipakai dalam mengajar kaum muda dan rakyat biasa. Pada hakikatnya itu adalah reaksi (yang agak lambat) terhadap reformasi dan Kontra Reformasi Katolik. Tak lama kemudian, atas perintah Tsar Peter I terbitlah buku Pengajaran Pertama Bagi Kaum Muda dan di dalamnya tampak jelas pengaruh reformasi. Susunan isi buku itu terdiri dari kata pengantar mengenai kehidupan sakramen gereja, menyusul penjelasan tentang Dasa Titah, Doa Bapa Kami, dan pengakuan Iman Apostolis. Jadi di sini pun kita menemukan lagi unsur-unsur katekese dari gereja kuno.

Penulisnya pasti menggunakan penjelasan-penjelasan teologi Protestan untuk menulis buku tersebut. Hal itu tampak lebih jelas dalam buku pelajaran berjudul Ajaran Ortodoks, yang ditulis oleh Jeromonach Platon tahun 1765. Mengenai bahan dan pembagian isi buku itu, Platon mengikuti Confessio orthodoxa (1643) karya Petrus Mogilas.64 Sesudah kata pengantar mengenai penyataan Allah, Kitab Suci, dan arti Katekismus, di bawah judul "iman" dibahas pengakuan Nikea dalam kaitannya dengan Perjamuan Kudus dan Baptisan Kudus. Lalu di bawah judul "pengharapan" dibahas Doa Bapa Kami dan Ucapan-ucapan Bahagia. Kemudian di bawah judul "kasih" dijelaskan Dasa Titah. Sebagai penutup ada keterangan mengenai penerapan ajaran itu dalam kehidupan sehari-hari. Buku itu menjadi pedoman tetap untuk segala jenis katekese di kemudian hari dalam agama Kristen Timur.

Katekismus Ortodoks Timur yang resmi berasal dari tahun 1839 dan praktis sesuai dengan Katekismus Platon. Bahkan sampai sekarang, dalam katekese Gereja Ortodoks Timur, pola dasar buku itu masih tampak. Yang mencolok dalam buku itu adalah perhatian khusus yang diberikan kepada Alkitab sebagai Firman Allah yang sejati. Dan seluruh pembahasannya menunjukkan beberapa ciri teologi Protestan. Pada Titah mengenai hari Minggu misalnya, kesejatian Firman sangat ditekankan. Tapi selain itu, pengaruh Katekismus Katolik Roma karya Kanisius juga terlihat dalam pembagian dan pembahasan ketiga unsur kekristenan itu (iman, pengharapan, dan kasih).

Gereja-gereja yang Bercorak Reformasi

Dalam perkembangan katekese selanjutnya di kalangan reformasi, dapat disebut dua titik balik yang penting. Titik balik pertama terkait dengan nama Philipp Jacob Spener († 1705), titik balik kedua dengan nama Friedrich Daniel Ernst Schleiermacher († 1834). Keduanya sama-sama bekerja di Berlin; Spener sebagai pendeta dan Schleiermacher sebagai maha guru.

Pengaruh Pietisme Terhadap Katekese

Sesudah tahun 1600, katekese di kalangan reformasi makin lama makin menyimpang dari tujuannya semula, sampai akhirnya hanya berupa tanya jawab yang menguji kecerdasan semata. Karena itu timbullah penentangan dari pihak pietisme. Gerakan yang disebut "Reformasi Lanjut" yang muncul di Nederland (dengan tokoh-tokohnya Koelman, † 1695; De Labadie, † 1674 dan Van Lodenstein, † 1677) menekankan perlunya diberi perhatian yang lebih besar bagi "hati" dan "jiwa" dalam metode pelayanan gereja. Gerakan ini kembali berpegang pada sifat reformasi yang sebenarnya, di mana keputusan iman pribadi digarisbawahi dengan tegas. Spener, pietis yang menganut ajaran Luther, mengembangkan pemikiran ini lebih lanjut untuk pendidikan gereja. Ia menganggap katekese sebagai tugas khusus para pendeta. Mereka tidak boleh menyerahkan pekerjaan itu kepada orang lain, melainkan mereka sendirilah yang harus datang ke sekolah-sekolah, atau pada hari Minggu memberi katekisasi kepada kaum muda di rumahnya. Spener menekankan agar para murid menerima katekismus secara subjektif. Para guru tidak boleh hanya mengajar dengan tanya jawab, melainkan harus berorientasi pada pemahaman pelajaran itu lewat pembahasan bersama.

Spener juga memprakarsai penggunaan "ayat-ayat harian" (tiap hari dipilih secara khusus ayat-ayat tertentu dari firman Allah). Hal itu dikaitkannya dengan kebiasaan yang menurut ajaran Reformasi Luther telah dimulai oleh Melanchthon sejak dulu, yakni penggunaan nas-nas Alkitab sebagai pengucapan khusus.

Murid Spener, August Hermann Francke († 1727) mendesak supaya Alkitab dibaca bersama-sama dengan anak-anak, segera setelah mereka dapat mengeja kata-kata, dan supaya katekismus diajarkan dengan memberikan penjelasan-penjelasan yang dapat dimengerti. Ia juga mendirikan yayasan kateketis yang pertama dengan tujuan mendidik para kateket dalam bidang teori maupun praktik. Tapi dalam metode Francke masih dipertahankan kebiasaan untuk mengajarkan Alkitab dan ajaran Kristen kepada anak-anak dalam bentuk tanya jawab.

Pengaruh pietisme terhadap katekese sangat besar artinya berkat Spener dan Francke. Pietisme sangat bernilai sebagai reaksi terhadap dogmatisme kaku yang sangat dominan pada zaman "skolastik65 Protestan". Kalangan pietis terlalu giat berusaha membentuk "orang-orang saleh" lewat katekese, sebab yang paling mereka utamakan adalah kesalehan orang percaya. Tapi aliran ini mengabaikan perbuatan Allah yang menyelamatkan yang terwujud dalam Kristus. Namun demikian, sejak pietisme pendidikan gereja tidak pernah lepas sepenuhnya dari nasihat yang mutlak perlu diperhatikan, yakni penghayatan iman pribadi sebagai karya Roh Kudus.

Pengaruh Rasionalisme66 Terhadap Katekese

Rasionalisme menyelinap ke dalam katekese terutama pada abad ke-18. Kemudian rasionalisme menjadi berkuasa dan mulai mengukur iman dengan prinsip-prinsip rasionalnya. Akibatnya sangat buruk. Dalam pengajaran yang berdasarkan rasionalisme itu, hampir tidak ada lagi yang tersisa dari Kristus kecuali hanya sebagai teladan agung yang harus ditiru. Orang tidak lagi percaya akan kuasa-Nya yang menyelamatkan, dan karena itu perubahan-perubahan moral dilihat sebagai satu-satunya jalan memperoleh keselamatan.

Kendati masih mempertahankan sifat tertentu dari reformasi, tapi sesungguhnya rasionalisme telah mengingkari agama Kristen. Hingga abad ke-18 dan ke-19 bahkan menjelang akhir abad ke-20, sisa rasionalisme masih ditemukan dalam banyak buku katekismus, walaupun selalu merupakan unsur yang kurang penting. Yang pasti adalah di mana rasionalisme menjadi dominan, riwayat katekese akan segera tamat dan kemudian lenyap sama sekali. Itulah sebabnya rasionalisme tidak berhasil menjadi kekuatan tandingan yang sebenarnya bagi pietisme, dan kita tidak melihat adanya pengaruh tetap rasionalisme dalam katekese.

Selanjutnya pada abad ke-19 banyak aliran katekese bermunculan, antara lain:

Modernisme dengan konsekuen meneruskan garis rasionalisme, dan lambat laun menyangkal apa saja yang tidak sesuai dengan akal atau pemikiran yang wajar.

Reveil67 membawa berkat karena melanjutkan prinsip-prinsip pietisme. Gereja mulai mengatur beraneka ragam kegiatan, mi salnya untuk para pemuda. Dalam kegiatan seperti ini, para pemuda duduk mengelilingi Alkitab dan menyelidiki serta membahasnya bersama-sama. Sekolah-sekolah Minggu juga mulai dibuka, di mana para guru memberitakan Injil dengan cara yang dimengerti oleh anak-anak. Dengan demikian manfaat yang diperoleh lebih besar dari kekurangan yang terkandung dalam metode tersebut.

Muncul juga konfesionalisme yang berpatokan pada naskah pengakuan iman reformasi. Itu berarti Katekismus Heidelberg digunakan kembali. Seperti terlihat dalam sejarah pemisahan (1834) dan Doleantie (1886), pemulihan itu misalnya terjadi di gereja-gereja yang tidak memisahkan diri dari gereja Hervormd Belanda.

Pengaruh Psikologi dan Pedagogi

Pada abad ke-20, khususnya di tahun-tahun antara kedua perang dunia, mulailah pengaruh psikologi dan pedagogi merembes ke dalam katekese. Pengaruh tersebut berawal dari penemuan baru dalam psikologi pada paroan kedua abad ke-19 yang menyatakan bahwa anak-anak juga memiliki keberadaan sebagai oknum tersendiri. Sebelumnya, pada Abad Pertengahan, anak hanya dianggap sebagai model kecil dari orang dewasa. Ukuran proporsi gambar tubuh anak-anak pada Abad Pertengahan dibuat menurut model manusia dewasa, hanya dilukiskan dalam skala yang diperkecil. Meskipun pengetahuan mengenai ciri-ciri badani khas seorang anak sudah cukup maju pada zaman Renaisans, tapi hal itu tidak sampai mendorong munculnya pengakuan terhadap nilai khas kehidupan seorang anak sebagai totalitas struktur psikofisis.

Spinoza, umpamanya, menganggap periode belia sebagai hal negatif yang diperlukan dalam keberadaan manusia. Dan menurut Pascal, masa remaja merupakan awal yang sebenarnya dari kehidupan manusia, karena akal manusia harus lebih dulu berkembang dengan baik. Hanya Comenius († 1670) dan terutama Rousseau († 1778) yang bisa dikatakan sebagai kekecualian positif. Mereka menghargai kehidupan "kanak-kanak" dan mengang gapnya sebagai berkat yang harus dinilai secara positif. Tapi pada umumnya orang tetap menganggap seorang anak sebagai bentuk kedewasaan yang belum lengkap. Bahkan pakaian anak-anak dibuat dengan model pakaian orang dewasa dalam ukuran kecil.

Penemuan sifat khas dalam pribadi anak-anak yang tidak boleh dianggap sebagai proyeksi kedewasaan itu, kemudian mengakibatkan perubahan cara pandang atas keberadaan anak-anak. Inilah yang menjadi faktor pendorong bagi kemajuan ilmu psikologi perkembangan. Dan sekarang ilmu ini berpengaruh besar terhadap perkembangan pedagogi. Arti perkembangan dan penemuan ini sudah diterima secara umum, baik dalam dunia sekolah maupun keluarga. Lambat laun katekese juga tertarik pada cara kerja psikologi dan metode-metode pedagogis. Sekarang orang pasti setuju atas pendapat yang mengatakan, bahwa katekese yang bertanggung jawab tidak mungkin diberikan tanpa studi sekadarnya di bidang psikologis pedagogis.

AJARAN UNTUK KITA MASA KINI

  • Kesadaran akan pentingnya Pendidikan Ajaran Kristen timbul berkat pengaruh reformasi. Gereja Katolik Roma dan Gereja Ortodoks Timur kemudian juga menyadari betapa pentingnya pendidikan tersebut.
  • Pengutamaan faktor intelektual (pemeriksaan kecerdasan anak) ternyata mengakibatkan perkembangan yang salah.
  • Rasionalisme makin merusak hakikat katekese sehingga prinsip-prinsip reformasi ("hati" dan "jiwa" perlu turut belajar) makin terabaikan.
  • Modernisme mengubah isi katekese secara total dan pada akhirnya tidak lagi membangun kepercayaan anak-anak, tapi justru menghilangkannya.
  • Sebagai reaksi atas modernisme dan rasionalisme, pietisme memang baik. Tapi karena pietisme lebih menekankan perasaan dan pengalaman, anak-anak akhirnya semakin meragukan keselamatan sebagai karunia Allah.

Informasi Buku

  1. PDF
  2. Penulis:
    G. Riemer
  3. ISBN:
    979-9143-18-7
  4. Copyright:
    LITINDO © 1998
  5. Penerbit:
    Yayasan Komunikasi Bina Kasih/OMF