Jan A. Boersema
Ada teolog-teolog yang disebut teolog-perjanjian dan teologi yang dinamakan teologi perjanjian. Kami sependapat mengenai pentingnya ajaran itu, namun kami menolak istilah teologi perjanjian. Sebab ungkapan itu mengandung keyakinan bahwa segala pokok ajaran teologis harus berkisar pada perjanjian. Tetapi penyataan Allah begitu agung adanya, sehingga tidak dapat ditunjuk salah satu pokok sebagai intinya, seakan-akan kita dapat menguasai seluruh penyataan itu.
Apalagi, mereka yang mengemukakan teologi perjanjian, pendapat antara yang seorang dan yang lainnya berbeda jauh.
H. Berkhof, dan juga H. Hadiwijono, mengutamakan bahwa hakikat Allah adalah menjadi sekutu umat-Nya. Dengan mengatakan demikian, berarti bahwa Allah kurang bernilai tanpa manusia. Seakan-akan Allah bergantung kepada manusia dan kepada perjanjian-Nya dengan manusia. Dalam hal ini, Berkhof dipengaruhi Karl Barth, karena ia mengajarkan bahwa sebenarnya perjanjian itu tidak diadakan dengan manusia tertentu, tetapi dengan umat manusia. Tetapi, maksud mereka bukan bahwa perjanjian telah dinyatakan dalam Taman Firdaus (Eden), sebab menurut teolog modern itu firdaus itu tidak pernah ada dan hanya merupakan dongeng. Maksud mereka tidak lebih dari bahwa Allah beserta dengan manusia.
Teolog-teolog lain justru menekankan kedudukan Allah yang tinggi.
Mereka mengutamakan bahwa Allah telah memutuskan hendak bergaul dengan manusia dalam perjanjian itu, meskipun Allah sendiri tidak membutuhkan persekutuan itu. Selaku Allah Tritunggal, Dia tidak pernah sendirian. Perjanjian adalah satu jalan untuk membuktikan kasih dan kesetiaan Allah kepada manusia, baik sebelum manusia jatuh maupun sesudahnya. Kami menyebut nama teolog K. Schilder, yang disebut teolog perjanjian, meskipun ia sendiri tidak mengutamakan pokok ajaran yang satu di atas yang lain.
Ajaran tentang perjanjian dijunjung tinggi oleh Gereja-gereja Reformasi di Belanda yang dipengaruhi oleh ajaran K. Schilder. Akhir-akhir ini juga terjadi perbantahan. Wajarkah, demikian pertanyaan mereka yang memprotes, bahwa satu kata yang tidak terlalu lazim dalam Alkitab, mendapat perhatian yang begitu besar? Ada juga yang mengatakan bahwa ajaran perjanjian membuat manusia menjadi sembrono, sebab orang berpikir bahwa ia akan diselamatkan secara otomatis kalau sudah lahir dalam lingkungan perjanjian dan sudah dibaptis.
Menyangkut keberatan yang pertama, kami mengatakan bahwa kata ”berit”
(PL) terdapat 400 kali, dan kata ”diatheke” (PB) 30 kali, dan itu bukan sedikit. Dan yang lebih penting lagi ialah bahwa perihal perjanjian selalu ditemukan di seluruh Alkitab. Intinya ditemukan dalam firman kepada Abraham (Kej. 15 dan 17): ”Aku akan menjadi Allahmu, dan kamu akan menjadi umat-Ku” (Kej.17:7; Im. 26:12; Ul.7:6; Yer. 7:23; 11:4; 24:7; 30:22; 31:1,33 (=Ibr. 8:10); 32:38; Yeh. 11:20; 14:11; 34:30; 36:28; 37:23,27; Hos. 2:23 (bnd.. Rm. 9:26; 11:1); Yl. 2:27; Za. 8:8; 13:9).
Menyangkut keberatan yang kedua, kami mengatakan bahwa ajaran perjanjian yang tulen tidak mungkin akan membawa ke otomatisme dan kedangkalan iman. Karena justru selaku anggota perjanjian, manusia dipertanggungjawabkan.
Kami tidak hendak mengembangkan sebuah ”teologi perjanjian”, namun ingin mengutamakan betapa aktualnya untuk memusatkan perhatian teologis pada perjanjian, berhubungan dengan:
Pengajaran mengenai perjanjian telah mulai diuraikan pada zaman Reformasi, didahului oleh H. Bullinger di Zurich, dan kemudian oleh J. Calvin. Tetapi pemikiran Agustinus juga memengaruhi perkembangan ajaran ini (J. A.Meijer).
Pada umumnya dapat dikatakan bahwa gereja-gereja Injili dan Karismatik kurang memerhatikan pentingnya perjanjian, begitu juga dengan gereja Katolik Roma.
Perbedaan Barth dengan Berkhof adalah bahwa menurut Barth pikiran teologis harus bertolak dari perjanjian Allah dengan manusia Yesus Kristus, sedangkan menurut Berkhof, permulaan pikiran adalah perjanjian dengan Israel (Van Genderen).
Setelah Allah menciptakan manusia, Dia mengadakan suatu hubungan dengan manusia yang dapat disebut ”perjanjian”. Kata itu tidak terdapat dalam Kejadian 1–3 , tetapi baru ditemukan dalam Kejadian 6:18, namun dapat dibuktikan bahwa hubungan Allah dengan manusia pada waktu itu tidak lain dari perjanjian.
Kejadian 6:18 membicarakan perjanjian dalam perkataan Allah kepada Nuh sebelum air bah: ”Tetapi dengan engkau Aku akan mengadakan perjanjian-Ku, dan engkau akan masuk ke dalam bahtera itu...”. dan Kejadian 9:9-10 sesudah air bah itu: ”Sesungguhnya Aku akan mengadakan perjanjian
Ku dengan kamu dan dengan keturunanmu, dan dengan segala makhluk hidup yang bersama-sama dengan kamu: burung-burung, ternak dan binatangbinatang liar di bumi yang bersama-sama dengan kamu, segala yang keluar dari bahtera itu, segala binatang di bumi.”
Lebih tampak lagi ungkapan ”perjanjian” dalam sejarah Abraham (Kej. 15 dan 17).
Dogmatik Reformasi melihat bahwa cara pergaulan sebagaimana yang dilakukan antara Allah dan Abraham, juga telah dibentuk Allah dengan manusia pertama, Adam.
Dalam butir-butir berikut akan ditunjukkan bahwa sejarah perjanjian dapat dibagi. Terdapat perjanjian sebelum manusia jatuh ke dalam dosa. Perjanjian itu sering disebut ’perjanjian kerja’, dan juga ’perjanjian penciptaan’ atau ’perjanjian kebaikan Allah’.
Sesudah manusia jatuh, mulai masa ’perjanjian anugerah’, yang dapat dibagi dua yaitu Perjanjian Lama (masa sebelum Kristus) dan Perjanjian Baru (masa sesudah Kristus, sampai kedatangan-Nya untuk kali yang kedua). ’Perjanjian anugerah’ kadang-kadang disebut juga ’perjanjian penciptaan kembali’.
Tetapi, sebelum pembagian itu diuraikan, perlu ditekankan bahwa perjanjian Allah dengan kita sebenarnya hanya satu adanya, sekalipun terbagi masanya. Ciri-ciri perjanjian yang tampak dalam Taman Eden, terlihat juga di bumi baru: sungai, air kehidupan, dan pepohonan kehidupan (bnd.. Kej. 2 dengan Why. 22).
Penciptaan dan perjanjian
Perjanjian harus dibedakan dengan penciptaan. Karena penciptaan itu mendahului terbentuknya perjanjian. Manusia yang diciptakan menurut gambar dan rupa Allah, akan menggambarkan Allah dalam perbuatannya dan dapat mewakili Allah. Manusia diciptakan dengan karunia yang sedemikian rupa sehingga ia akan menjadi bendahara dan wakil Allah yang baik (bnd. Bab 4). Allah telah membuat taman di Eden dan menumbuhkan pohon kehidupan di tengah-tengah taman itu, dan juga pohon pengetahuan tentang yang baik dan yang jahat. Ketika manusia berdiri di dekat pohon itu, Allah berbicara kepadanya sambil menunjukkan kedua pohon itu, dan perkataan Allah dapat dinilai sebagai janji dan tuntutan. Kedua ketetapan itu, janji dan tuntutan, merupakan dasar dari suatu hubungan yang disebut ”perjanjian”.
Pohon kehidupan memeteraikan janji Allah tentang hidup yang kekal, dan pohon pengetahuan itu menjadi tanda dari tuntutan Allah, sebab Allah melarang manusia memakan buah pohon itu.
Perjanjian di Taman Eden itu wajar dibandingkan dengan perjanjian pada masa sekarang, lihat Tata Cara Baptisan tentang Adam dan Kristus. Sebab perjanjian pertama itu mempunyai ketentuan-ketentuan khas, yaitu janji (menerima hidup yang kekal) dan tuntutan (jangan memakan buah pohon yang dilarang itu, termasuk hukuman bila terjadi pelanggaran: mati)
Perjanjian kerja?
Sebutan ”perjanjian kerja” sering diberikan pada perjanjian sebelum ada dosa, yang mengesankan bahwa manusia pada masa itu memperoleh keselamatan karena perbuatannya. Tetapi, di hadapan Allah yang Mahatinggi itu manusia tidak berhak atas apa pun. Semua yang diberikan Allah adalah kebaikan Allah. Tuhan Pencipta tidak seharusnya mengadakan perjanjian dengan Adam. Tetapi itu terjadi karena kebaikan Allah. Mungkin kata ”perjanjian kebaikan Allah” patut diberi prioritas. Atau: ”perjanjian sebelum dosa”.
Dosa pertama manusia merupakan perusakan perjanjian: ”Tetapi mereka itu telah melangkahi perjanjian di Adam, di sana mereka telah berkhianat terhadap Aku” (Hos. 6:7). Dalam terjamahan ini, Adam dianggap sebagai satu lokasi, terjemahan yang lebih baik adalah: ”seperti Adam”. Bandingkan Ayub 31:33: ”Jikalau aku menutupi pelanggaranku seperti manusia dengan menyembunyikan kesalahanku dalam hatiku” (terjemahan lebih baik dari ”seperti manusia” adalah ”seperti Adam”).
Nama ”perjanjian kerja” keliru karena memberi kesan bahwa sebelum ada dosa manusia harus mengerjakan keselamatannya.
H. Hadiwijono mengungkapkan dengan baik tentang satu perjanjian tanpa kata-kata di dalam Taman Eden. Perjanjian itu adalah seperti hubungan antara orang tua dan anak-anak. Menurut Hadiwijono, hubungan itu mula-mula sepihak saja. Tetapi, kemudian diberikan tanggung jawab, sama seperti kepada anak-anak, yang juga baru kemudian diberi tanggung jawab.
Kata perjanjian (bhs. Ibrani berit, bhs. Yunani diatheke) merupakan suatu ikatan antara dua pihak yang saling memberi janji dan juga saling menuntut kesetiaan. Dalam bahasa Ibrani dikatakan ”potong perjanjian” (karat berit) kalau ditunjukkan upacara peletakan perjanjian. Latar belakangnya dapat dimengerti berdasarkan upacara yang disebut dalam Kejadian 15. Abraham harus memotong hewan dan meletakkan bagian-bagiannya sebelahmenyebelah, sehingga di antaranya terbentuk jalan yang dapat dilalui oleh mereka yang mengadakan perjanjian itu. Makna dari tanda itu ialah: Siapa yang mengingkari perjanjian itu akan dipotong, seperti hewan itu.
Hanya saja, pada saat Tuhan mengadakan perjanjian dengan Abraham, Tuhan sendiri yang berjalan di sana pada waktu itu, sedang Abraham tidak. Karena manusia tidak dapat mengawali perjanjian dengan Allah, hanya sebaliknya.
Perjanjian Tuhan dengan Abraham seketurunannya dimulai oleh Tuhan, baru kemudian terdapat dua pihak yang masing-masing bertanggung jawab satu terhadap yang lain. Seperti dalam perkawinan, yang juga merupakan perjanjian, yang di dalamnya pasangan itu berjanji untuk saling mengasihi, dan juga menuntut kesetiaan antara yang satu dengan lainnya. Begitu juga dalam perusahaan, dapat dibuat semacam perjanjian, antara majikan dan karyawan, demikian juga di tengah bangsa-bangsa.
Menyangkut perjanjian Allah dengan manusia, dikatakan (dalam bhs. Yunani) bahwa perjanjian itu pada mulanya monopleuris (dari satu pihak), tetapi selanjutnya menjadi dipleuris (dari dua pihak).
Secara singkat:
p: majikan | p: karyawan |
---|---|
berjanji memberi gaji |
berjanji bekerja dengan setia |
menuntut kesetiaan dalam pekerjaan |
menuntut diberi gaji |
P: Tuhan Allah | p: manusia |
---|---|
berjanji pengampunan dosa dan hidup kekal |
berjanji menaati firman Allah |
menuntut menaati firman Allah |
menuntut pengampunan dosa dan hidup kekal |
Perlu ditambahkan bahwa kata ”menuntut” tidak layak di hadapan Allah, tetapi yang dimaksudkan ialah bahwa kita boleh memohon dengan sungguhsungguh apa yang telah dijanjikan oleh Allah sendiri.
Mengenai taraf pertama, yakni perjanjian Allah dengan manusia di dalam Taman Eden, pada waktu itu Allah tidak menjanjikan pengampunan karena belum perlu. Tetapi apa yang dijanjikan tidak berbeda, yaitu pergaulan akrab dengan Tuhan Allah untuk selama-lamanya, seperti tanda yang diberikan, yaitu pohon kehidupan.
Kalau perjanjian Allah dibandingkan dengan hubungan majikan/
karyawan, mungkin akan timbul kesan yang tidak baik, seolah-olah perjanjian itu adalah sebuah kontrak. Tentu perjanjian Allah jauh lebih mulia daripada itu, namun dalam satu segi, dapat dikatakan bahwa ada unsur kontrak juga. Hanya saja, kita harus tetap mengingat bahwa kedua pihak tidak setara, manusia memusatkan pengharapannya hanya kepada Allah. Karena Allah sendiri yang memberi kepastian.
Dalam Tata Cara Baptisan Gereja Reformasi sejak abad ke-16, janji dan tuntutan itu disebut sebagai kedua bagian perjanjian.
Janji itu bukan saja suatu penyataan (peramalan), tetapi selalu merupakan suatu penyampaian yang harus diterima (Van Genderen, mengutip Schilder). Dalam hal ini, J. Kamphuis terus terang mengatakan bahwa perjanjian itu mempunyai persyaratan, sekalipun ia menyadari bahwa hal itu dapat ditafsirkan secara arminianistis. Tetapi, maksud kata syarat bukan berarti bahwa keselamatan bergantung pada manusia, seperti yang diajarkan Arminius (dan sebelumnya Pelagius), tetapi bahwa Allah sendiri telah menentukan bagaimana Dia akan bergaul dengan manusia, yakni dengan menuntut sesuatu dari manusia dan memberikan tanggung jawab kepadanya.
Van Genderen mengatakan bahwa Allah dan manusia tidak dapat disebut pihak atau mitra, dan dalam hal itu ia melawan teologi modern dari Barth dan Berkhof . Tetapi selanjutnya ia juga berbicara tentang dua pihak yang tidak setara, dan justru ketidaksetaraan itulah yang memungkinkan perumusan tentang kedua pihak dalam perjanjian itu.
Definisi perjanjian anugerah menurut Van Genderen: ”Relasi antara Allah dengan orang percaya dan anak-anak mereka itu, yang didirikan Allah dalam anugerah-Nya dan yang melaluinya Dia mengikatkan diri untuk menjadi Allah mereka dan mengikat mereka untuk menjadi bangsaNya melalui Yesus Kristus sebagai Pengantara perjanjian. Relasi perjanjian itu berkisar pada keselamatan.”
Dalam Bab 2 tentang Allah, telah dibicarakan rencana pemilihan Allah yang kekal. Karena sering terjadi kekeliruan mengenai hubungan antara pemilihan yang dari kekal dan perjanjian itu, di sini perlu diberi keterangan lanjutan.
Rencana pemilihan kekal Allah laksanakan dalam sejarah dunia ini melalui perjanjian-Nya dengan umat-Nya. Manusia terikat pada firman perjanjian, yang nyata dan teguh, bukan pada pemilihan yang tidak dinyatakan . ”Hal-hal yang tersembunyi ialah bagi Tuhan, Allah kita, tetapi hal-hal yang dinyatakan ialah bagi kita dan bagi anak-anak kita sampai selama-lamanya, supaya kita melakukan segala perkataan hukum Taurat ini” (Ul.29:29). Tetapi, sekaligus harus disadari bahwa kita diyakinkan tentang pemilihan yang dari kekal itu, bila kita menerima firman perjanjian itu dengan percaya.
Bolehkah kita berkata bahwa hanya orang yang sungguh-sungguh percaya, yang termasuk anggota perjanjian, dan bahwa orang yang suam-suam adanya tidak termasuk? Demikian juga orang yang murtad? Atau, dengan kata lain, bahwa hanya mereka yang dipilih dari kekal adalah anggota perjanjian yang sebetulnya? Khususnya mengenai mereka yang murtad, hampir semua buku dogmatik berpandangan bahwa mereka bukan anggota perjanjian. Namun. itu keliru. Karena, kalau mereka tidak pernah diperhitungkan, mereka juga tidak dapat mempertanggungjawabkan dan tidak dapat dikatakan bahwa merekalah yang mengingkari perjanjian. Padahal, contoh-contoh dalam Alkitab tentang mereka yang merusakkan perjanjian itu sangat banyak.
Orang sering mengutip Roma 9:6, yang mengatakan bahwa bukan semua orang yang berasal dari Israel adalah orang Israel. Apakah nas itu membuktikan adanya dua jenis anak perjanjian? Tidak dapat disangkal bahwa di hadapan Allah memang jelas sekali siapa yang diselamatkan dan siapa yang tidak, siapa yang percaya dan siapa yang tidak. Tetapi, di mata manusia hal itu tidak tampak dan kita harus bertitik tolak pada janji Allah dan yang berlaku pada setiap orang yang mendengar-Nya dan menerima tanda-Nya (sunat pada masa PL, baptisan pada masa PB).
Esau dan Yakub
Kami uraikan contoh yang sangat terkenal, yaitu pembedaan antara Esau dan Yakub. Keduanya benar-benar anak perjanjian dan benar-benar telah menerima tanda sepenuhnya, yaitu sunat. Memang, tentang Esau dikatakan: ”Anak yang tua akan menjadi hamba anak yang muda” (Kej. 25:23), namun kata-kata itu bukan berarti bahwa Esau ditolak sebagai bagian dari bangsa Tuhan. Hanya bahwa adiknya akan diperlakukan sebagai anak sulung dan akan memperoleh hak waris (bnd. juga Ismael dan Ishak).
Dikatakan pula oleh Allah: ”Aku mengasihi Yakub, tetapi membenci Esau”, (Mal.1:2-3; Rm.9:13). Tetapi, ucapan Allah itu adalah kutukan-Nya atas bangsa Edom (keturunan Esau) melalui Nabi Maleakhi, dan pada waktu itu kutuk telah terlihat pada kehancuran Edom sebagai hukuman Allah karena mereka telah mengkhianati orang Israel dan menyembah kepada Babel (bnd. Kitab Obaja). Tuhan Allah tidak pernah berkata kepada Ribka bahwa anaknya yang sulung itu dibenci-Nya. Sebelum ia lahir tidak, dan kemudian juga tidak.
Janji Allah bukan suatu nubuat atau ramalan, janji yang pasti akan digenapi, bagaimana pun juga sikap kita terhadap janji itu. Janji Allah harus diterima dengan iman. Iman adalah syarat untuk keselamatan. Kalau kita tidak menerima janji itu, seperti halnya pada perkara Esau, kita menjauhkan diri dari Tuhan Allah (bnd. Ibr.12:16).
Apa yang ditentukan Allah dari kekal (pemilihan), dikerjakan Allah dalam sejarah melalui perjanjian.
Pokok tentang dua jenis perjanjian telah menjadi latar belakang perpecahan gereja Reformasi di Belanda pada 1944, ketika sinode umum menginstruksikan untuk mengajarkan bahwa terdapat dua macam perjanjian, yang benar dan yang tidak benar, dan bahwa terdapat dua macam baptisan, yaitu yang benar untuk mereka yang betul-betul menjadi percaya dan yang semu untuk mereka yang tidak menjadi percaya ketika mereka dewasa. Anggota gereja yang tidak dapat menerima pembedaan itu, dengan alasan bahwa untuk hal itu tidak ada dasar alkitabiahnya, dikenakan siasat gerejawi. Kemudian mereka membebaskan diri dari keputusan sinode itu dan karena mereka itu kemudian tidak diterima lagi, terbentuklah Gereja Reformasi yang Bebas. Terdapat dua gereja yang disebut ”gereformeerd” (reformed) dan dua Pendidikan Tinggi Teologia di Kampen. Gereja yang tidak mendukung ajaran tentang dua jenis perjanjian itu biasanya disebut Gereja Reformasi yang bebas (Gereformeerde Kerken Vrijgemaakt, GKV) dan yang lain Gereja Reformasi (Gereformeerde Kerken, GKN), dan sekarang Gereja Protestan di Belanda (Protestantse Kerk in Nederland, PKN).
Van Genderen tidak mau memihak kepada mereka yang mengajarkan adanya dua macam perjanjian. Tetapi, yang ia utamakan adalah bahwa sebuah perjanjian ialah suatu ikatan yang berkisar pada janji, tetapi juga suatu pengikatan yang menjurus pada hidup bersama. Kalau yang kedua tidak tercapai maka inti perjanjian juga tidak tercapai. Kamphuis mengatakan bahwa pembedaan antara dua macam anak perjanjian tidak selalu dapat dihindarkan, dan juga tidak dapat dihindarkan adanya pembicaraan tentang perjanjian yang utuh dan perjanjian yang tidak mencapai sasaran. Namun, ia memperingatkan untuk tidak mengikuti pola pikir filsafat yang membedakan antara perjanjian yang kelihatan dan perjanjian yang inti. Karena hal seperti itu memberi kesan bahwa hanya yang inti itu yang penting. Dengan demikian manusia tetap akan meragukan keselamatannya.
Perjanjian anugerah dapat dibagi dua:1. Perjanjian Lama (sebelum Tuhan Yesus datang dan menebus dosa di kayu salib)
2. Perjanjian Baru (sesudah Tuhan Yesus datang).Dalam bahasa Indonesia digunakan kata ”perjanjian lama dan perjanjian baru”, dalam bahasa Inggeris ”the old/new testament”, kata testament itu berbeda dengan perjanjian. Terjemahan Indonesia dengan ”perjanjian” lebih tepat. Arti ”testament” sebenarnya ”wasiat”. Perbedaan tersebut disebabkan oleh penggunaan kata bahasa Ibrani ”berit”, artinya: perjanjian, dan sekali-sekali juga berarti wasiat. Kata berit itu dalam bahasa Yunani (PB) diterjemahkan dengan ”diatheke”, yang pada umumnya dapat diartikan sebagai wasiat, dan hanya sekali-sekali mempunyai arti perjanjian. Kata berit mengutamakan peran kedua pihak, sedangkan diatheke menekankan peran satu orang saja, yaitu pembuat wasiat itu.
Perjanjian Lama dapat dibagi menjadi:
1. Masa Adam sampai Abraham.2. Masa Abraham sampai pemberian Taurat di gunung Sinai.3. Masa Sinai sampai pembuangan ke Babel.4. Masa pembuangan ke Babel sampai Kristus.Perjanjian Allah dengan Nuh tidak termasuk dalam pembagian di atas, meskipun justru di situ kata ”berit” ditemukan untuk pertama kalinya (Kej. 6 dan Kej. 9). Kejadian 6 merupakan perjanjian Allah dengan Nuh, yang menyatakan bahwa Tuhan akan meneruskan kasih-Nya kepada Nuh sekeluarga, sedangkan orang-orang lain akan dihukum dalam air bah. Kejadian 9 adalah perjanjian sesudah air bah, yang menyatakan bahwa bumi ini tidak akan dimusnahkan lagi oleh bencana seperti itu, dan bahwa manusia harus melindungi hak asasi manusia, dan jangan membunuh. Perjanjian itu disertai dengan tanda yang sangat indah, yakni pelangi, yang sampai sekarang menghibur kita untuk tidak putus asa bila terjadi berbagai bencana alam berupa tsunami atau gunung meletus, dan malapetaka lain. Perjanjian dengan Nuh itu diikat tidak hanya dengan Nuh dan keluarganya, bahkan dengan segala makhluk. Perjanjian dengan Nuh ini tidak disebutkan dalam daftar di atas, karena baru pada masa Abraham, Allah memulai sesuatu yang baru dalam sejarah perjanjian, yaitu Abraham sekeluarga dipilih dari seluruh umat manusia menjadi bangsa Allah, dan bangsa tempat lahir Mesias.
Perjanjian dari Kejadian 9 justru membuka jalan bagi pemilihan Abraham
(Kej. 12) dan perjanjian dengannya (Kej. 15). Karena di atas bumi yang menurut janji Allah akan dipelihara terus, Tuhan akan memberi tempat khusus kepada Abraham seketurunannya sebagai bangsa perjanjian, yaitu tanah Kanaan. Bahkan sebelum perjanjian diikatkan, dua janji telah diberikan oleh Allah kepada Abraham: keturunan (Kej. 12:2; bnd. 15:5; 17:2-6) dan tanah Kanaan (Kej. 12:7; bnd. 15:7, 18; 17:8), diiringi dengan dua tuntutan: hidup dengan tidak bercela, dan setia pada perjanjian. Dan ganjaran hukuman akan diberikan jika melanggar perjanjian (Kej. 17:14).
Kedudukan yang khusus untuk bangsa keturunan Abraham itu baru berakhir pada hari Pentakosta karena mulai hari itu Allah mengumpulkan bangsa-Nya dari segala penjuru bumi. Kepentingan perjanjian dengan Abraham itu ditunjukkan melalui penentuan tanda sunat.
Janji dan perjanjian dengan Daud dan keluarganya juga tidak dicantumkan dalam daftar di atas, karena perjanjian ini pun bersifat khusus dan bukan perjanjian untuk seluruh bangsa. Kepada keluarga Daud dijanjikan bahwa mereka tetap terlindung sebagai keluarga raja di Israel (2Sam. 7:16, Mzm. 89:4). Tentu tidak terlepas dari rencana Tuhan bahwa dari keluarga Daud itu akan lahir Sang Mesias.
Perjanjian dengan Abraham diikatkan pada bangsa Israel seluruhnya secara resmi dan nyata di Gunung Sinai, dan hukum Taurat diberikan sebagai hukum perjanjian.
Sebelum itu hukum hanya diberikan secara lisan, turun temurun, tetapi di padang gurun Sinai hukum telah menjadi bagian dari upacara pengadaan perjanjian. Tuhan sendiri yang menulisnya di atas dua loh batu, dan semua peraturan yang terperinci diberikan dalam Kitab Keluaran–Ulangan (bnd. Rm. 5:13-14).
Pentingnya pelepasan dari tanah Mesir itu ditunjukkan melalui sakramen Paskah, yang sejak keluaran itu dirayakan setiap tahun sekali.
Pembuangan ke Babel adalah momentum penting dan menunjukkan peralihan masa. Inilah hukuman atas perjanjian, yang telah dinubuatkan dalam Ulangan 29–30 . Pada masa para nabi, semakin jelas bahwa hukuman itu akan datang. Tetapi, baik dalam Kitab Ulangan maupun dalam Kitab-kitab para nabi, diberitahukan bahwa sesudah pembuangan itu akan didirikan suatu perjanjian yang baru (Yer. 31; Yeh. 36; bnd. Ibr. 8-10), yang di dalamnya Allah akan menuliskan hukum Taurat ke dalam hati orang Israel dan akan menyunat hati mereka. Perkataan itu secara tersirat telah menyatakan kedatangan Roh Kudus.
Pembuangan ke Babel itu mempunyai tujuan khusus, yakni mempersiapkan umat Allah untuk kedatangan Mesias dan Roh Kudus. Menarik sekali apa yang dikatakan tentang perjanjian baru itu dalam Yeremia 31 dan Yehezkiel 36, khususnya jika dilihat berdasarkan Ibrani 8–10, yang mengutip Yeremia 31 itu.
Sehubungan dengan kedatangan kembali dari pembuangan (30:18), terdengar janji akan kedatangan Mesias (30:21) dan bahwa Tuhan tetap mengasihi bangsa-Nya (31:3; bnd. ayat 9, 20). Kasih-Nya kekal, sehingga tetap akan tertinggal sisa untuk bangsa Tuhan (31:2).
Perjanjian Baru itu akan menggantikan perjanjian Sinai (31:32), hukum Taurat akan ditulis dalam hati (31:33) dan mereka semua, besar dan kecil, akan mengenal Tuhan (31:34), dan memperoleh pengampunan dosa (31:34)
Dinubuatkan di sini bahwa Tuhan Allah akan mendatangkan suatu masa perjanjian yang di dalamnya ketumpulan dan kekerasan hati orang Israel akan dikalahkan oleh cara kerja Tuhan yang lebih kuat lagi dibandingkan dengan hukum yang diberikan di Sinai, yakni melalui Roh-Nya (bnd.Yeh 36:26;27;32).
Tetapi bukan akan datang sesuatu yang berbeda total dengan Perjanjian Lama. Karena masa Perjanjian Baru justru merupakan penggenapan dari nubuat-nubuat yang telah diberikan: tentang pergaulan Allah dengan bangsaNya (2Kor. 6:16,18), tentang kedatangan Mesias (bnd. Luk 1:72); tentang pencurahan Roh Kristus
(Yes.44; Yl. 2; Kis. 2), sehingga mereka lebih mengenal Allah (bnd. Yoh 14:26; 16:13).
Perbedaannya adalah bahwa kemuliaan dan kekayaan perjanjian lebih tampak (2Kor 3) dan tidak lagi hanya bagi orang Yahudi (Kis. 2:39). Selain itu perluasan bangsa perjanjian dengan terhisabnya bangsa-bangsa lain, juga telah dinubuatkan pada masa Perjanjian Lama (Kej. 12: segala bangsa bumi akan diberkati bersama dengan Abraham, yaitu melalui Yesus Kristus yang lahir dari keturunan Abraham itu, bnd. Mzm. 67, 87, dan lain-lain).
Perjanjian Baru lebih berharga karena Kristus adalah Anak Domba yang Benar (Yoh. 1:29), sehingga Paskah dan kurban binatang tidak perlu lagi (Ibr. 9:11-15, 18-22, 26-28; Ibr. 10:3-4, 8-10, 18) dan sunat juga tidak berlaku lagi (Gal. 3; Kis. 15, bnd. Kis. 16:3; mengenai Timotius, 1Kor. 9:20).
Perjanjian Baru sebenarnya baru mulai ketika Tuhan Yesus mengesahkannya dengan darah-Nya (Ibr. 9:11-28). Kematian Kristus itu harus dihubungkan dengan Hari Pentakosta karena pada hari itu Kristus sendiri mengaruniakan Roh-Nya yang Kudus dari surga (Kis. 2). Dalam Perjanjian Baru itu Injil Kristus dikabarkan sampai ke ujung bumi dan tanda sunat diganti dengan baptisan, kemudian tanda Paskah diganti dengan Perjamuan kudus.
Dalam arti tertentu, dapat dikatakan bahwa setiap masa dalam perjanjian anugerah itu melebihi yang lain, karena pengajaran perjanjian makin jelas. Tetapi intinya tetap sama.
Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru merupakan dua babak dari perjanjian yang sama.
Terdapat satu pandangan mengenai perjanjian yang membedakan dengan sangat teliti antara beberapa masa perjanjian. Kami maksudkan dispensasionalisme (dispensasio=pembagian), yang perintisnya adalah John Nelson Darby (abad ke-19), yang mengajarkan adanya tujuh perjanjian. Setiap kali rencana Allah gagal, Dia mulai dengan suatu perjanjian yang baru.1. Eden. Diberikan kebenaran.2. zaman Adam. Diberikan keinsyafan batin.3. zaman Nuh. Diberikan pemerintah.4. zaman Abraham. Diberikan janji.5. zaman Musa. Diberikan Taurat.6. zaman Kristus. Diberikan anugerah.7. Kerajaan seribu tahun (lih. Bab 10). Diberikan kerajaan. Zaman ini masih dinantikan. Gereja akan menghilang. Yerusalem akan dibangun lagi. Orang Yahudi akan bertobat.
Ajaran ini tidak berbeda jauh dengan ajaran Coccejus pada abad ke-17, hanya saja Coccejus belum menganut pandangan mengenai kerajaan seribu tahun dan kedudukan orang Yahudi.
Ajaran dispensasionalisme ini dianut dalam banyak aliran Injili dan Kharismatik.
Dalam mengadakan perjanjian-Nya, Tuhan Allah menggunakan bentuk dan struktur yang pada waktu itu lazim antara seorang raja dan sebuah bangsa yang takluk kepadanya. Khususnya dokumen bersejarah orang Hetit, memperlihatkan bagaimana pada waktu itu perjanjian raja–bangsa diadakan. Mereka tinggal di Asia Kecil dan Libanon sekitar 1500 SM.
Acara yang biasa dipakai di antara mereka juga terlihat pada pembuatan perjanjian di padang gurun Sinai, dan nyata dalam struktur Kitab Keluaran (20–23 ) dan Ulangan.
Susunan dalam upacara itu secara garis besarnya sebagai berikut:
1. Mukadimah (raja memperkenalkan dirinya kepada bangsa yang akan terlibat dengan perjanjian itu).Bandingkan urutan dalam Keluaran maupun Ulangan:
1. Sebagai mukadimah: Keluaran 20:12. Sebagai sejarah: Keluaran 20:23. Sebagai ketetapan: Keluaran 20:3-17, ditambah dengan Keluaran 21-23.Kitab Ùlangan merupakan dokumen pembaruan perjanjian, pada saat bangsa Israel masuk ke tanah Kanaan:1. Ulangan 1–4: pendahuluan2. Ulangan 5–26: ketetapan3. Ulangan 27–30: berkat dan kutuk, serta saksi4. Ulangan 31–34: penggantian Musa oleh Yoshua.
Adam dan Kristus
Dalam Roma 5:12-19 dibicarakan peran Adam dan peran Kristus. ”Sebab itu, sama seperti dosa telah masuk ke dalam dunia melalui satu orang, dan melalui dosa itu juga maut, demikianlah maut itu telah menjalar kepada semua orang, karena semua orang telah berbuat dosa (…) Tetapi karunia Allah tidaklah sama dengan pelanggaran Adam. Sebab, jika karena pelanggaran satu orang banyak orang telah jatuh di dalam kuasa maut, jauh lebih besar lagi anugerah Allah dan karunia-Nya, yang dilimpahkan-Nya atas banyak orang karena satu orang, yaitu Yesus Kristus (…) Sebab, jika karena pelanggaran satu orang, maut telah berkuasa melalui satu orang itu, maka terlebih-lebih mereka, yang telah menerima kelimpahan anugerah dan karunia kebenaran, akan hidup dan berkuasa karena satu orang itu, yaitu Yesus Kristus. Jadi, sama seperti melalui satu pelanggaran banyak orang beroleh penghukuman, demikian pula melalui satu perbuatan kebenaran, banyak orang beroleh pembenaran untuk hidup. Sebab, sama seperti melalui ketidaktaatan satu orang banyak orang telah menjadi orang berdosa, demikian pula melalui ketaatan satu orang banyak orang menjadi orang benar. ”
Kesamaannya nyata, tetapi perlu juga kita bedakan seorang dari yang lain.
Sebab Adam adalah kepala perjanjian, sehingga mereka yang terhisab padanya turut berdosa ketika Adam dan Hawa melanggar firman Tuhan. Dan mereka yang dimaksudkan itu adalah seluruh umat manusia yang lahir dari Adam dan Hawa.
Tetapi Kristus bukan kepala perjanjian anugerah, sebab kalau demikian maka semua orang yang berada di dalam perjanjian itu langsung akan diselamatkan oleh Kristus, karena mereka dianggap terhisab pada-Nya.
Pandangan yang sebenarnya adalah bahwa Kristus adalah Pengantara perjanjian itu, sehingga setiap orang yang datang kepada-Nya dengan percaya, akan diselamatkan.
Maksud Roma 5:12-19 sangat indah: rahmat Allah dalam Kristus tidak terbatas. Melalui Kristus semua orang dapat diselamatkan. Tetapi kata ”semua” jangan diartikan secara mutlak: maksud kalimat-kalimat itu adalah untuk meyakinkan kita tentang besarnya rahmat Tuhan. Seorang pun tidak dapat berkata bahwa dia tidak dapat diselamatkan, dengan alasan bahwa kasih Tuhan terbatas pada sejumlah orang saja. Tetapi surat Roma selanjutnya membuktikan bahwa iman itu perlu. Misalnya pasal 6–7 menyatakan bahwa kita tidak boleh meneruskan dosa, dengan harapan bahwa secara otomatis kita diselamatkan. ”Jika demikian, apa yang hendak kita katakan? Bolehkah kita bertekun dalam dosa, supaya semakin bertambah anugerah itu? Sekali kali tidak! Bukankah kita telah mati bagi dosa, bagaimanakah kita masih dapat hidup di dalamnya?” (Rm. 6:1-2).
Pengantara telah menjalani apa yang harus kita jalani. Kita mati bersama dengan Kristus, dan telah bangkit bersama Dia (lih. Rm. 6). Fakta itu sekaligus menjadi ajakan dan tuntutan bagi kita: jangan lagi hidup dalam dosa. Semua yang diperoleh Kristus baru menjadi bagian kita jika kita percaya kepada-Nya.
Pengantara anak-anak orang percaya
Juga anak-anak orang percaya telah mempunyai segala sesuatu dalam Kristus, mereka dikuduskan bersama orang tuanya. Tentang itu Paulus menulis: ”Karena suami yang tidak beriman itu dikuduskan oleh istrinya dan istri yang tidak beriman itu dikuduskan oleh suaminya. Andaikata tidak demikian, tentu anak-anakmu adalah anak cemar, tetapi sekarang mereka adalah anakanak kudus” (1Kor.7:14). Baptisan anak adalah sesuai dengan sifat perjanjian. Bukankah perjanjian itu pada permulaan sepihak saja? Justru hal itu dan tekanan itu tampak pada baptisan anak.
Tetapi, waktu anak-anak itu semakin besar, mereka pun harus mendengar akan tuntutan perjanjian, memercayakan diri kepada Kristus dan mengaku iman di tengah-tengah jemaat. Sebab setiap perjanjian mementingkan peran dari kedua belah pihak: pihak manusia harus mengasihi Allah yang telah lebih dahulu mengasihinya.
Perjanjian dan gereja
Kristus bukan kepala perjanjian, tetapi Kristus dapat disebut kepala semua orang pilihan-Nya dan juga kepala Gereja (Ef. 5:23). Gereja adalah umat perjanjian. Dalam gereja, anggota-anggota perjanjian berkumpul untuk berbakti kepada Tuhan dan untuk diperkuat oleh firman-Nya dan sakramen. Gereja adalah tempat kerja Roh Kudus. Kalau kita bicara tentang ”perjanjian”, kita bicara tentang status kita, sedangkan kata ”gereja” selalu mempunyai unsur aktivitas. Kristus mengumpulkan, dan kita datang untuk berkumpul (bnd. Bab 9 tentang gereja). Kristus dapat disebut kepala jemaat-Nya, bukan karena semua anggota jemaat secara langsung diselamatkan oleh Kristus, tetapi karena gereja adalah tempat kerja Roh Kudus. Bila kita adalah anggota gereja yang hidup, kita akan memperoleh keselamatan oleh Kristus. Karena justru seorang anggota yang hidup, ingin mengikut Kristus.
Dalam bab ini akan dibicarakan juga alat-alat anugerah, yaitu firman dan sakramen. Alat-alat itulah yang dipercayakan Tuhan kepada gereja-Nya. Jadi, ”gereja” itu adalah sebutan untuk umat perjanjian yang aktif, dan yang melaksanakan tugas yang diberikan Allah kepadanya melalui firman dan sakramen.
Kristus adalah Pengantara perjanjian, bukan Kepala perjanjian
(seperti Adam). Kristus adalah Kepala Gereja dan Kepala orang pilihan Allah.
Menurut Van Genderen, ungkapan bahwa Hamba Tuhan ditetapkan menjadi ”perjanjian untuk bangsa” (Yes. 42:6) dapat diartikan sebagai ”Pengantara perjanjian untuk bangsa”.
Kadang-kadang Kristus disebut juga ”jaminan” perjanjian (Ibr.7:22), yang artinya hampir sama dengan pengantara (Ibr. 8:6, 9:15, 12:24) tetapi lebih menekankan kepastian dan keterjaminan perjanjian oleh darah Kristus. Calvin menyebut Kristus fundamentum (dasar) dan complementum (kelengkapan) perjanjian (Van Genderen).
KH p/j 65 mengajar: Roh Kudus mengerjakan iman dengan firman dan meneguhkannya melalui sakramen. Firman itu ialah yang pertama dan utama. Pemberitaan firman adalah kejadian inti dalam persekutuan perjanjian antara Allah dengan kita (C.Trimp, dikutip oleh Van Genderen). Firman dan sakramen itu biasanya disebut alat-alat anugerah.
Dalam dunia modern ini agaknya kekuatan sebuah perkataan (firman) makin berkurang. Tidak dapat disangkal bahwa manusia modern sangat ditarik oleh gambar-gambar, entah berupa ilustrasi atau film. Manusia modern tidak mudah menaruh perhatian pada satu khotbah yang panjang, padahal pada waktu lalu, hal itu biasa.
Pada waktu lampau manusia lebih bergantung pada kata-kata yang diucapkan, sebab film dan sejenisnya belum ada. Apalagi ada banyak suku yang dahulu tidak mempunyai aksara.
Sangat wajar kalau ditekankan bahwa perbuatan-perbuatan harus mendukung firman yang diucapkan. Namun, khotbah tetap penting, dan untuk itu, sampai saat ini Allah menetapkan pemberita dan pejabat gerejawi adalah merupakan utusan-Nya. Firman itu bukan milik gereja, tetapi milik Tuhan.
Pentingnya firman dilihat pada cara kerja Allah sendiri. Ketika Allah menciptakan, Dia hanya berfirman. Yesus Kristus juga disebut Firman.
Firman
Roh Kudus tidak boleh dipisahkan dari firman Allah. Tentu Allah mampu mengaruniakan iman di luar pemberitaan firman Allah, tetapi Roh sendiri menyatakan bahwa Dia bekerja melalui jalan pemberitaan Injil.
Allah selalu menekankan bahwa firman-Nya dekat dengan kita, bahkan di dalam mulut kita dan di dalam hati kita. ”Sebab perintah ini, yang kusampaikan kepadamu pada hari ini, tidaklah terlalu sukar bagimu dan tidak pula terlalu jauh. Tidak di langit tempatnya, sehingga engkau berkata: Siapakah yang akan naik ke langit untuk mengambilnya bagi kita dan memperdengarkannya kepada kita, supaya kita melakukannya? Juga tidak di seberang laut tempatnya, sehingga engkau berkata: Siapakah yang akan menyeberang ke seberang laut untuk mengambilnya bagi kita dan memperdengarkannya kepada kita, supaya kita melakukannya? Tetapi firman ini sangat dekat kepadamu, yakni di dalam mulutmu dan di dalam hatimu, untuk dilakukan” (Ul. 30:11-14). Nas ini dikutip Paulus dalam Roma 10:8-9: ”Tetapi apa katanya? Demikian, ’Firman itu dekat kepadamu, yakni di dalam mulutmu dan di dalam hatimu.’
Itulah firman iman, yang kami beritakan. Sebab jika engkau mengaku dengan mulutmu bahwa Yesus adalah Tuhan, dan percaya dengan hatimu, bahwa Allah telah membangkitkan Dia dari antara orang mati, maka engkau akan diselamatkan.”
Allah tidak menuntut hal-hal yang terlalu sulit bagi kita. Asalkan kita mau mendengar, kemudian Roh Allah akan mengerjakan sehingga firman Allah diteguhkan dalam hati kita maupun dalam mulut kita. Sebab oleh Roh Kudus kita percaya dengan hati dan mengaku dengan mulut.
Firman itu adalah alat dari Roh Kudus maka firman itu dapat dibandingkan dengan api yang menyala dan palu yang dapat memecahkan batu (Yer. 23:29).
Allah bekerja jika manusia yang diutus Allah setia untuk menyampaikan firman-Nya (bnd. 8.10).
Sakramen
Kata sakramen tidak terdapat dalam Alkitab, tetapi menjadi istilah penting dalam ajaran gereja, khususnya oleh pengaruh Tertullianus. ”Sacramentum” dalam lingkungan orang Romawi adalah sebuah jaminan dari dua pihak yang sedang beperkara, suatu jaminan yang diletakkan dalam kuil dewata. Arti lain kata ”sacramentum” adalah sumpah tentara. Tertullianus menggunakan arti yang kedua. Sama seperti kata ”mysterium”, maka kata ”sacramentum” juga telah menjadi terjemahan dari kata Alkitab ”mysterion”=rahasia, (Van Genderen).
Sakramen adalah seperti sebuah cincin. Cincin itu meyakinkan kedua mempelai tentang kasih suaminya/istrinya, dan juga menuntut kesetiaan seorang dari yang lain, Allah membuktikan kepada kita kasih-Nya melalui sakramen yang lahiriah itu, dan mewajibkan kita untuk hidup setia kepadaNya.
Sakramen adalah tanda yang memperkuat janji Allah, maka saat kita dalam kebimbangan, kita tetap dapat mengingat bahwa Tuhan mengasihi kita.
Dalam PIGB 33, Gereja Reformasi mengakui hanya ada dua sakramen, yaitu sebagaimana ditetapkan oleh Yesus Kristus, yaitu baptisan dan perjamuan malam kudus (perjamuan kudus). Jumlah sakramen Gereja Katolik Roma ada tujuh (lih. di bawah ini), sedangkan Gereja Ortodoks-Timur, Anglikan, dan Luteran, selain baptisan dan perjamuan kudus, juga mempunyai konfirmasi (peneguhan). Yang disebut terakhir, dalam Gereja Reformasi disebut pengakuan iman, tetapi pengakuan itu bukan sakramen, karena tidak meneguhkan janji Allah, tetapi merupakan jawaban manusia atas janji Allah itu.
Sekarang juga terlihat kecenderungan untuk menerima pengurapan orang sakit sebagai semacam sakramen. Rupanya manusia tertarik oleh tanda/upacara yang, konon, memberikan kepastian. Menurut kami, sesuai dengan PIR, cukuplah menganut adanya dua sakramen dan berpegang kuat pada janji Tuhan dan bukan pada upacara-upacara tertentu.
Firman dan sakramen adalah alat-alat anugerah yang digunakan Roh Kudus dalam perjanjian Allah untuk menganugerahkan iman dan memperkuat iman.
Dalam ajaran tentang alat-alat anugerah, Dogmatik Reformasi menolak, baik subjektivisme maupun objektivisme.
Subjektivisme bertitik tolak pada manusia, seakan-akan manusia itu dapat menemukan Allah dengan dayanya sendiri dan karena kesalehannya. Subjektivisme muncul dalam bentuk spiritualisme, yang di dalamnya tekanan diberikan pada pekerjaan Roh, dengan tidak menghiraukan alat-alat anugerah yang diberikan Allah Roh Kudus. Spiritualisme itu ditemukan dalam Baptisisme dan Pentakostalisme.
Calvin mengatakan bahwa Allah memang tidak terikat pada alat-alat seperti firman dan sakramen, namun Allah sendiri telah mengikatkan kita pada cara itu (Van Genderen). Bandingkan ini dengan pemeliharaan Allah: Allah memberikan kepada kita hidup dan kekuatan, tetapi melalui makanan dan minuman yang diciptakan-Nya dan ditetapkan-Nya bagi kita (Van Genderen)
Tetapi, objektivisme juga ada bahayanya. Seakan-akan Roh terikat pada firman dan sakramen, serta anugerah diberikan secara otomatis atau magis.
Ajaran Reformasi menentang ajaran Gereka Katolik Roma yang prinsipnya adalah bahwa firman dan sakramen itu milik gereja dan dapat berkuasa, asalkan gereja menggunakannya dengan cara yang benar. Padahal, dua-duanya bukan milik gereja, tetapi milik Roh Kudus. Objektivisme Gereja KR juga tampak dalam hal ini, bahwa sering kali sakramen diberi prioritas atas firman, khususnya pada masa lalu dan juga sekarang, khususnya di mana Gereja KR berperan sebagai gereja rakyat, misalnya di Filippina atau Brasil. Pandangan Gereja KR itu tidak berbeda jauh dengan pandangan magis, bahwa kuasa tertentu melekat pada barang tertentu itu. Prioritas sakramen dalam gereja KR juga dapat dilihat dalam aspek ini bahwa seluruh kehidupan manusia diawasi oleh sakramen. Dalam Gereja KR ada tujuh sakramen: baptisan, komuni pertama (konfirmasi, peneguhan), misa (perjamuan) , pengakuan dosa, pelantikan imam, perkawinan, dan perminyakan yang terakhir. Bagi Gereja K.R. sakramen adalah pengangkut anugerah (vehiculum gratiae), yang dapat dikatakan bekerja ex opere operato (melalui kegiatan tertentu).
Aliran reformasi juga menentang ajaran Lutheran, yaitu bahwa Roh Kudus bekerja ”per verbum” saja, yaitu: melalui firman. Menurut ajaran Reformasi, harus ditambah: cum verbo: Roh Kudus bekerja melalui firman dan bersama dengan firman. Sebab Roh itu tidak terikat padanya.
Roh bekerja melalui dan dengan firman, dan firman itu tidak lain dari janji Allah kepada kita. Kata ”janji” itu selalu ditemukan dalam dokumendokumen dasar Calvinisme. Dan setiap janji juga menuntut bahwa siapa yang mendengarnya akan menerimanya dengan percaya dan melakukan kewajiban yang terkandung di dalamnya.
Berkhof menyusun rumusan dengan baik: ”Firman itu membawa Roh kepada hati, dan Roh itu membawa firman ke dalam hati” (dikutip oleh Van Genderen).
Menurut aliran Injili dan khususnya oleh Gereja Baptis, baptisan bukan tanda atas janji Tuhan, melainkan tanda dari iman kita. Kalau begitu, sangat sulit bagi kita untuk dapat diperkuat oleh baptisan. Karena pada saat kita berada dalam pergumulan dan kebimbangan, mungkin kita berkesimpulan bahwa baptisan kita salah, dan bahwa kita keliru waktu minta dibaptis. Akan hilang kepastian iman yang sebelumnya kita miliki.
Tetapi jika kita menganggap bahwa sakramen sebagai meterai dari janji Allah, maka kita mempunyai satu pegangan yang kuat yang dapat menolong kita pada saat kita dalam kebimbangan, yaitu karunia Roh Kudus.
Tidak dapat disangkal bahwa orang Kristen yang benar kadang-kadang juga bergumul tentang keselamatan mereka dan kebimbangan. (bnd. PAD Bab V, lih. Bab 7 tentang soteriologi). Buku-buku dari kalangan Injili rupanya menyangkal kelemahan itu (Gorden Fee, 1994). Tetapi, kita jangan melupakan contoh-contoh yang menyedihkan dari Daud dan Petrus.
Benih kelahiran kembali
Petrus berkata bahwa kita dilahirkan kembali oleh firman Allah yang hidup, dan bahwa firman adalah sebagai benih: ”Karena kamu telah dilahirkan kembali bukan dari benih yang fana, tetapi dari benih yang tidak fana, melalui firman Allah, yang hidup dan yang kekal” (1Ptr.1:23). Atau sebaliknya, kelahiran itu tidak akan terjadi kalau kita tidak mendengar dan menerima firman Tuhan, karena firman itu adalah benih bagi iman.
Timbul lagi pertanyaan mengenai anak-anak. Karena mereka belum dapat menerima firman Tuhan. Apakah benih itu tumbuh di dalam diri mereka tanpa mereka sadari? Apakah firman tidak perlu diterangkan? Tidak tepat kalau kita beranggapan bahwa benih itu tumbuh secara otomatis. Tetapi, kita harus mengerti apakah arti ”janji” itu? Karena janji Allah telah diberikan kepada anak-anak, tentu orang tuanya harus menyadarkan mereka tentang janji itu ketika mereka bertambah besar. Supaya mereka menerimanya dan tidak menolak.
Selagi kecil mereka belum bisa menolak janji Tuhan, dan janji itu tetap berlaku (PAD I,17). Inilah penghiburan bagi orang tua Kristen yang anaknya meninggal waktu masih muda. Bandingkan sekali lagi 1 Korintus 7:14: ”Kudus” di sini berarti: dipisahkan; dijadikan milik Tuhan, bukan kesucian hati.
Injil, proklamasi, kesaksian• Firman Allah adalah: Injil (euaggelion)=kabar yang baik. Istilah itu dalam kekaisaran Romawi digunakan untuk menyatakan kemenangan sang kaisar. Jadi, ketika para murid Yesus mulai menggunakan istilah itu (Mrk.1:1; 16:20), sangat menarik perhatian mereka. Euaggelion ini lebih penting daripada euaggelion mengenai sang kaisar!
Yohanes (Yoh. 21:24; 1Yoh.1:1,2, Why. 22:18-20, dll.). Para rasul adalah saksi mata dan kemudian semua pengikut Yesus harus memberi kesaksian tentang kemenangan Tuhan Yesus. Kesaksian di sini tidak mempunyai arti subjektif, tentang dirinya sendiri, tetapi arti objektif: yang menjadi objek pembicaraan ialah Yesus Kristus.
Pedang bermata dua
Setiap perjanjian mempunyai dua bagian: janji dan tuntutan (kewajiban). Firman Allah bersifat Injil (kabar yang baik), dan memang itulah tujuannya yang utama. Tetapi firman itu juga penuh peringatan, nasihat, bahkan ancaman.
Gereja tidak boleh mendiamkan adanya neraka.Pengkhotbah-Pengkhotbah Reformasi seperti Luther dan Calvin dan juga pengkhotbah Injili seperti John Wesley, Jonathan Edwards, dan Martin Lloyd Jones tidak segan untuk berkhotbah tentang neraka. Justru untuk mengingatkan dan menyelamatkan. Gereja harus menunjukkan kedua jalan, yang satu menuju ke hidup yang kekal, dan yang lain ke kematian kekal. Tuhan Yesus berbicara tentang kedua jalan itu dalam khotbah di bukit (Mat. 5–7 , a.l. Mat. 7:13-14), dan juga dalam Perjanjian Lama hal itu telah dinubuatkan: Yesaya 26 dan Daniel 12. Dalam kitab-kitab itu juga telah dinyatakan bahwa akan ada kebangkitan daging dengan dua tujuan: yang satu untuk hidup kekal, baik yang kenamengena dengan tubuh maupun jiwa, dan yang lain untuk kematian kekal di neraka, yang juga berkenaan dengan tubuh dan jiwa. Banyak pengkhotbah cenderung untuk berkhotbah dengan berat sebelah, yang hanya berbicara tentang surga, namun itu tidak sesuai firman Allah. Firman adalah seperti pedang yang bermata dua (Ibr. 4:12).
Firman adalah Injil (kabar baik) dan sekaligus hukum. Keduanya itu tidak bertentangan tetapi saling mengisi, sebagai dua sisi perjanjian. Walaupun demikian, gereja harus berusaha agar Injil diutamakan, dan bukan hukum. Karena kita hidup dalam perjanjian anugerah, berarti yang terutama, yang perlu dikabarkan adalah kasih Allah.
Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru juga tidak bertentangan, sebagai hukum dan Injil, sebagaimana sering dikatakan. Karena Perjanjian Lama bukan saja hukum melainkan terutama juga Injil, walaupun dalam bentuk janji, karena pada waktu itu Kristus belum datang. Dan Perjanjian Baru bukan hanya Injil, tetapi juga hukum, karena Kristus sendiri yang telah mengatakan bahwa Dia datang bukan untuk meniadakan hukum tetapi untuk menggenapinya. Kristus sendiri memenuhi segala tuntutan Firman Tuhan dan Dia juga mengajarkan kepada kita apa arti dan tujuanNya (Mat. 5-7, a.l. Mat. 5:17-18).
Mengapa perlu ditekankan bahwa firman perjanjian bersifat peringatan dan ancaman juga?
1. Supaya kita tidak hidup bersenang-senang saja. Kita harus bertanggung jawab.
2. Kehidupan/keberadaan bukan seperti lingkaran, yang tidak ada ujungnya. Kita lahir pada saat tertentu dalam sejarah, dan kita hidup dengan tujuan tertentu.
3. Allah akan menjadi pemenang atas dosa dan maut di dalam Yerusalem Baru.
4. Para penduduk Yerusalem Baru itu akan dikenal sebagai pengikut Anak Domba.
5. Di luar Yerusalem itu terdapat tempat bagi mereka yang menolak Kristus (neraka).
6. Penciptaan maupun perjanjian akan digenapi dalam Kerajaan Allah dan memuncak pada penciptaan baru (untuk 3-6 lih. Why. 21,22).
Benih kelahiran kembali bukan bersifat fisik (seperti cikal bakal) yang ditanam dalam hati batin, melainkan firman Allah yang harus didengar dan diterima.
Kalau arti janji dilupakan, timbullah teori bahwa kehidupan baru, atau kelahiran kembali mempunyai unsur yang fisik, yang ditanam Allah dalam hati orang pilihan-Nya. Pada awal abad ke-20, A. Kuyper mengajarkan bahwa anakanak orang Kristen dibaptis atas dasar kelahiran kembali itu. Atau sekurangkurangnya atas praasumsi (prasangka) bahwa anak itu sudah dilahirkan kembali. Seakan-akan Roh Kudus sudah menanam sesuatu yang khusus dalam hati mereka. Tetapi, bahwa dalam hati orang pilihan telah dikerjakan suatu hal yang luar biasa dan bahwa baptisan memeteraikannya, adalah semata-mata teori yang tidak ada dasarnya.
Teori itu mengakibatkan baptisan dianggap tidak sah kalau kemudian menjadi nyata bahwa anak itu tidak menjadi percaya (lihat butir 8.4). Tetapi, ajaran semacam itu dalam Alkitab tidak ada.
Mengenai hukuman kekal, sebagai hukum perjanjian, dikatakan oleh pengajar-pengajar terkenal seperti K. Barth, H. Berkhof, J. Verkuyl, bahwa nas-nas tentang hukuman bersifat nasihat, dan tidak dapat dipastikan apakah hukuman itu benar-benar akan terjadi. Satu contoh yang sering dipakai: Orang yang tidak percaya perlu diperingatkan bahwa sepertinya ia hampir tenggelam dalam laut; tetapi untunglah pada akhirnya yang ia alami sebetulnya adalah bahwa air itu tidak dalam, tetapi dangkal, sehingga ia selamat.
Dari dahulu terdapat aliran yang mengajarkan ”apokastasis pantoon”, artinya semuanya akan kembali menjadi baik. Dan tokoh-tokoh gereja seperti Origenes menganutnya, sedangkan Barth maupun Berkhof dan Verkuyl pada hakikatnya juga.
Sejak dahulu juga terdapat aliran yang menganut ”annihilatio”. Mereka yang tidak percaya akan menghilang. Pada akhirnya mereka tidak akan ada lagi (menjadi nihil). Pandangan itu juga muncul kembali (John Stott). Tetapi, itu pun tidak sesuai dengan Alkitab. Manusia harus mempertanggungjawabkan kelakuannya, dan apakah ia menerima Kristus atau tidak. Kalau seandainya terjadi annihilatio, pertanggungjawaban itu tidak perlu ada.
Menurut Tata cara Baptisan, Allah telah menetapkan perjanjian yang kekal dengan kita. Seperti dikatakan di atas, perjanjian itu telah dimulai di Taman Eden. Tetapi, Hosea 6 telah menyatakan bahwa manusia dalam diri Adam telah mengingkari perjanjian Allah, dan Roma 5 hanya dapat dipahami kalau dilihat dari sudut pandang bahwa Allah mengadakan perjanjian, yang di dalamnya Kristus datang untuk memperbaiki apa yang telah dirusak oleh Adam.
Ketika Allah menetapkan perjanjian dengan Abraham, Allah bersabda bahwa perjanjian itu untuk turun-temurun, menjadi perjanjian yang kekal (Kej. 17:7, bnd. Ibr. 13:20).
Apa arti ”kekal” itu? Kekal dalam bahasa Ibrani, sering diartikan sebagai waktu yang lama, yang tidak berakhir. Kekal juga dapat diterjemahkan dengan: untuk terus-menerus. Tetapi mengenai perjanjian yang kekal, harus dipahami bahwa perjanjian itu tidak akan diteruskan oleh Allah secara otomatis karena pada perjanjian terdapat dua segi: janji dan tuntutan (kewajiban). Orang Israel yang tidak percaya mengucilkan diri dari perjanjian itu. Hal itu harus disadari pula terhadap keadaan bangsa Israel pada masa kini, yang tidak lagi secara langsung dapat dijuluki sebagai bangsa Tuhan atau bangsa perjanjian, karena sebagian besar orang Israel sudah sekian lama tidak mengikut Tuhan.
”Kekal” menunjukkan kontinuitas (kesinambungan). Karena itu, kata tersebut juga menyatakan bahwa memang Perjanjian Lama diganti oleh Perjanjian Baru, tetapi sebagai dua tahap dalam perjanjian yang kekal itu.
Jadi, kita melihat kontinuitas (kesinambungan) dalam perjanjian kekal, yang ditetapkan Allah dengan manusia. Perjanjian itu diteruskan sampai di bumi baru, seperti nyata dari pohon kehidupan dan air kehidupan dari Taman Eden (Kej. 2), yang ditemukan kembali di Yerusalem baru (Why. 21). Protologi berhubungan dengan eskatologi.
Kontinuitas juga nyata dalam perjamuan kawin Anak Domba, yang sekarang dinantikan pada saat jemaat Tuhan merayakan perjamuan kudus (bnd. Bab 10.3).
Kontinuitas juga ditemukan dalam Wahyu 14:13, bahwaperbuatan-perbuatan orang-orang percaya menyertai mereka. Mereka tidak melakukannya dengan sia-sia. Seperti yang juga ditunjukkan dalam nas yang mengatakan bahwa pakaian putih di perjamuan Anak Domba adalah perbuatan benar dari orang kudus (Why. 19:8, bnd. Why. 7:14). Hal itu berarti bahwa terjadi pengupahan di penghakiman yang terakhir. Dan itu sesuai dengan sifat perjanjian, yang di dalamnya upah tersebut telah dijanjikan Allah kepada mereka yang setia dalam perjanjian itu. Namun, tidak seorang pun akan diberi upah berdasarkan perbuatan sendiri, karena setiap perbuatan kita berada di bawah garis kalau diukur dengan hukum Allah.
Perbuatan kita akan diberi upah kalau disucikan oleh darah Kristus.
Pakaian pesta harus dibuat putih oleh darah Anak domba. Perjanjian kekal adalah perjanjian anugerah. Dalam Efesus 2:10, Paulus menulis bahwa kita adalah ”buatan Allah, diciptakan dalam Kristus Yesus untuk melakukan pekerjaan baik, yang dipersiapkan Allah sebelumnya. Ia mau, supaya kita hidup di dalamnya.”
Setiap kali kita merayakan perjamuan kudus, kita didorong untuk menantikan kedatangan Tuhan (bnd. Luk. 22:16,18). Wahyu 19 berbicara tentang perjamuan kawin Anak Domba. Pada masa Perjanjian Lama, kehidupan di bumi yang baru telah dilukiskan sebagai pesta (Yes. 25), di pesta itu Tuhan Allah yang mengundang. Dalam terang Perjanjian Baru, kita tahu bahwa ”tuan rumah” itu bukan Allah Bapa saja, tetapi juga Tuhan Yesus. Dan Roh Kudus membangkitkan kerinduan dalam diri jemaat untuk menantikan kedatangan Tuhan Yesus sehingga pesta Perjamuan Anak Domba dapat dimulai. ”Datanglah Tuhan Yesus!” (Why. 22 :20).
Perjanjian kekal berarti bahwa Allah tetap setia pada janji-Nya.
Sesuai dengan sifat perjanjian, kesetiaan manusia juga tetap dituntut.
Ada juga satu arti kekal lain, yang secara khusus digunakan untuk Allah sendiri: bahwa Allah tidak terikat pada waktu dan urutan waktu. Malahan: Allah yang menciptakan waktu, tidak di bawah kuasa waktu. Allah hidup dari kekal sampai kekal. Kekekalan Allah itu dalam bahasa Latin: aeternitas, sedangkan yang lain (yang ada awalnya) aeviternitas (bnd. Bab 2).
Dalam buku-buku dogmatik, pokok baptisan sering dibicarakan dalam hubungan dengan pertobatan manusia. Dalam uraian seperti itu baptisan anak mendapat giliran kedua, sesudah pembahasan baptisan dewasa. Dan dalam buku yang berasal dari Gereja Baptis dan dari aliran Injili, baptisan anak sama sekali tidak dihiraukan, sebab gereja-gereja tersebut menyangkal atau mungkin menggantikannya dengan acara penyerahan anak kepada Tuhan.
Dalam buku ini, pokok sakramen dibicarakan dalam rangka perjanjian Allah. Karena itu, kita memulai dengan pembahasan baptisan anak. Maksudnya bukan bahwa baptisan anak lebih berarti daripada baptisan dewasa, tetapi dengan urutan ini kita mengindahkan tempatnya sebagai tanda perjanjian. Sakramen meneguhkan apa yang dijanjikan Allah, juga dalam hal baptisan dewasa, sedangkan hal itu sangat jelas pada baptisan anak.
Sunat
Hal-hal penting yang kita kenal dari Perjanjian Baru telah digambarkan bagi Israel melalui sunat: pembersihan dosa maupun kedatangan Kristus.
Arti sunat sebagai lambang, akan menjadi jelas kalau diperhatikan bahwa sunat di Israel dilakukan pada anak laki-laki yang baru berumur 8 hari, sedangkan sunat di tengah-tengah bangsa lain dilakukan pada anak laki-laki pada usia remaja. Pada bangsa lain, sunat itu merupakan upacara peralihan, yang menunjukkan bahwa masa kanak-kanak telah selesai, dan laki-laki itu masuk ke kedewasaan. Sunat menyatakan bahwa seboleh-bolehnya laki-laki itu akan menjadi subur dan akan mendapat anak.
Dengan menentukan cara sunat pada hari yang ke-8 (bukan pada usia remaja) Tuhan menyatakan kepada Israel bahwa Dia hendak membersihkan seluruh hidup anak-anak-Nya dan hendak menjadikan mereka subur secara rohani, dan untuk seluruh hidupnya.
Sebenarnya penyunatan batiniahlah yang perlu, karena hati yang tersumbat oleh dosa, perlu dibuka oleh Roh Kudus. Tujuan sunat dan baptisan sebenarnya sama. Keduanya menunjukkan perlunya penyucian, dan bukan hanya lahiriah melainkan khususnya batiniah. Kata Musa: ”Dan Tuhan, Allahmu, akan menyunat hatimu dan hati keturunanmu, sehingga engkau mengasihi Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu, supaya engkau hidup” (Ul. 30:6, bnd. Yeh. 44:7; Yer. 4:4; Rm. 2: 29; Flp. 3:3).
Berdasarkan Roma 4 dan Galatia 3, sunat juga boleh disebut sebagai tanda kebenaran oleh iman, bandingkan Roma 4:11 dengan Kejadian 15:6. Iman Abraham diperhitungkan kepadanya sebagai kebenaran (bnd. Hab. 2:4; Rm. 1:17; Gal. 3:11; dan Ibr. 10:38). Namun, hal itu tidak berarti bahwa sunat (dan baptisan) menandai sesuatu yang datang dari manusia (imannya), tetapi selalu menandai apa yang datang dari Tuhan, yaitu janji Tuhan untuk menebus dosa dan untuk membenarkan manusia yang berdosa, asal mereka menyesal dan bertobat.
Kelahiran anak yang dijanjikan Tuhan kepada Abraham, yaitu Ishak, adalah sebuah keajaiban. Asal mula bangsa Israel, benar-benar suatu mukjizat Tuhan, dan sebenarnya seperti itu juga seluruh perkembangan bangsa itu. Bangsa Israel tidak sewajarnya mengharapkan darah-daging, tetapi kuasa Tuhan saja dan anugerah-Nya (Rm. 4:19). Berbeda sekali dengan pandangan orang Islam yang mau dinamakan sebagai anak Ismael, anak Abraham yang lahir karena kekuatan darah-daging.
Demikianlah, sunat bagi orang Israel adalah sebuah tanda yang mengajarkan untuk mengharapkan anugerah Tuhan. Hal itu juga menjadi nyata bila diperhatikan siapa yang memperoleh janji Tuhan yang disertai dengan tanda sunat itu: Abraham seketurunannya turun-temurun, orang tua bersama anak-anak mereka (Yos. 24:15; Yes. 59:21; Yeh. 16:21; Mzm. 8), bahkan termasuk hamba-hamba di rumah mereka dan anak-anak mereka (Kej. 17). Sesungguhnya, di sekeliling Abraham, Tuhan telah menciptakan persekutuan yang di dalamnya setiap orang memperoleh berkat perjanjian bersama dengan tanda sunat itu.
Sekaligus oleh sunat, Tuhan memperkuat janji-Nya bahwa pada saat tertentu Juru Selamat akan lahir. Janji itu untuk pertama kali telah diberikan di Taman Eden (Kej. 3:15). Dan janji itu digenapi pada saat kelahiran anak dari perempuan yang dimaksudkan Tuhan, yaitu Juru Selamat kita Tuhan Yesus. Tanda sunat itu menunjukkan kepada Israel betapa pentingnya kelahiran anak. Bukan saja untuk perkembangan keluarga dan bangsa, tetapi khususnya karena melalui jalan itu Juru Selamat dunia akan lahir.
Sunat adalah sebuah tanda yang disertai dengan penumpahan darah, dan dalam hal itu sunat maupun upacara-upacara Perjanjian Lama yang lainnya telah melambangkan kurban Kristus (Kel. 24:8; Im. 17:11; Ibr. 9).
Baptisan anak
Sunat pada masa Perjanjian Lama telah menandai persekutuan dengan Juru Selamat yang akan datang. Persekutuan dengan Dia pada masa Perjanjian Baru dijelaskan oleh baptisan.
Seperti sunat yang bukan dimaksudkan hanya untuk orang dewasa tetapi juga untuk anak-anak orang percaya, demikian juga dengan baptisan. Karena janji Allah juga diperuntukkan bagi anak-anak perjanjian, sesuai dengan khotbah Petrus di depan orang-orang asal Yahudi pada hari Pentakosta: ”Bertobatlah dan hendaklah kamu masing-masing dibaptis dalam nama Yesus Kristus untuk pengampunan dosamu, maka kamu akan menerima karunia, yaitu Roh Kudus. Sebab bagi kamulah janji itu dan bagi anak-anakmu dan bagi orang yang masih jauh, yaitu sebanyak yang akan dipanggil oleh Tuhan Allah kita” (Kis. 2:38-39), sebagaimana telah Allah katakan kepada Abraham: ”Aku akan mengadakan perjanjian antara Aku dan engkau serta keturunanmu turun-temurun menjadi perjanjian yang kekal, supaya Aku menjadi Allahmu dan Allah keturunanmu” (Kej.17:7).
Beberapa kali kita membaca mengenai para rasul yang membaptiskan seseorang bersama dengan rumahnya (Kornelius, penjaga penjara di Filipi, Lidia, Kis. 10:2, 24, 44, 47 [=11:14]; 16:15, 31-34; 1Kor 1:16; bnd. PL: Yos. 24:15; Yes. 59:21).
Baptisan anak sering ditolak berdasarkan Markus 16:15-16: ”Lalu Ia berkata kepada mereka, ’Pergilah ke seluruh dunia, beritakanlah Injil kepada segala makhluk. Siapa yang percaya dan dibaptis akan diselamatkan, tetapi siapa yang tidak percaya akan dihukum.” Pengutipan itu tidak tepat. Karena: perkataan Yesus itu menunjukkan masa pekabaran Injil dan masa pendekatan pertama. Karena itu di sana hanya dibicarakan apa yang harus dilakukan terhadap orang dewasa. Tetapi sesudah orang itu menjadi percaya, maka anakanaknya pun harus dibaptis (bnd. KH p/j 74).
Dalam ajaran tentang baptisan,bertolak dari baptisan anak dan bukan dari baptisan dewasa, berarti menghargai bahwa kasih Allah mendahului kasih kita, menghargai kesatuan Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru dan keterkaitan antara sunat dan baptisan.
Kelebihan Perjanjian Baru
Sering dikatakan bahwa kelebihan Perjanjian Baru dibandingkan dengan Perjanjian Lama adalah bahwa sekarang orang dewasa saja yang dibaptis, berdasarkan iman dan pertobatan mereka. Tetapi, bukan pertobatan manusia yang mendasari baptisannya, tetapi perjanjian Allah dengannya. Baik dahulu maupun sekarang. Karena itu, kelebihan Perjanjian Baru adalah bahwa sekarang sakramen tidak lagi merupakan upacara berdarah, dan bahwa sekarang sakramen diberikan bukan saja pada laki-laki, tetapi juga kepada perempuan. Penumpahan darah tidak diperlukan lagi karena Kristus telah menumpahkan darah-Nya (Ibr. 9:22; Ibr. 10:18), dan posisi perempuan yang ada di belakang itu telah dipulihkan sesudah kedatangan Kristus (Gal. 4:28).
Baptisan melalui selam lebih menarik dan lebih jelas daripada melalui pemercikan. Namun, selam itu tidak dapat dianggap sebagai cara satu-satunya.
Mengapa selam sering diganti oleh pemercikan? Salah satu faktor ialah bahwa sesudah gereja berkembang, yang terbanyak dari mereka yang dibaptis adalah anak. Dan selam tidak cocok untuk bayi. Alasan kedua ialah bahwa perkembangan pertama terjadi di Eropa, di mana cuaca tidak selalu memungkinkan untuk baptis selam. Di Gereja Reformasi di Irian Jaya, baptisan selam dilakukan untuk orang dewasa. Sedangkan anak kecil dari orang yang percaya itu dibaptis dengan pemercikan.
Pada masa Perjanjian Baru, tentu tidak semua orang dibaptis dengan cara selam. Apakah ada air dalam jumlah yang banyak di penjara di Filipi dan di rumah-rumah lain di mana orang seisi rumahnya dibaptis? Dan apakah tiga ribu orang pada hari Pentakosta itu semua dibaptis dengan selam? Hampir tidak dapat dibayangkan.
Kata pemercikan terdapat dalam Yehezkiel 36:25-27; 1 Petrus 1:2, Keluaran 24:8; Ibrani 10:22.
Perintah Tuhan Yesus
Tuhan Yesus sendiri menginstruksikan murid-murid-Nya untuk membaptiskan mereka yang telah menjadi pengikut-Nya: ”Karena itu, pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus, dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu. Ketahuilah, Aku menyertai kamu senantiasa sampai akhir zaman” (Mat. 28:19-20). Markus 16 menunjukkan peristiwa yang sama dengan nas di atas. Pada pekabaran Injil, tujuan pertama bukan pembaptisan, melainkan menjadikan manusia murid Tuhan Yesus. Baru sesudah pengakuan imannya, maka ia akan dibaptis. Nas-nas dari injil tersebut itu menolak pembaptisan massal.
Sebelum Tuhan Yesus memberikan instruksi tersebut, Dia sendiri pernah membaptis (Yoh. 2 :22), dan juga murid-murid-Nya, tetapi yang menonjol pada waktu itu adalah Yohanes Pembaptis. Sering dikatakan bahwa baptisan Yohanes itu berbeda dengan baptisan yang diperintahkan Tuhan Yesus. Tetapi intinya sama: kepada mereka yang bertobat diberi satu tanda bahwa mereka dibersihkan dari dosa dan menjadi warga Kerajaan Allah.
Kalau dilihat sepintas lalu, baptisan Yohanes jauh berbeda, melihat sejarah dari Kisah 19, bahwa di Efesus terdapat orang yang hanya dibaptis dalam baptisan Yohanes. Tetapi kekeliruan mereka bukan bahwa mereka dibaptis ala Yohanes, yaitu sesudah pertobatan, tetapi bahwa mereka tidak menyadari betapa Yohanes menunjukkan orang yang lebih besar daripadanya, yaitu Tuhan Yesus. Karena itu, Roh Kudus membuktikan kebenaran baptisan dengan nama Yesus. Karena ketika mereka dibaptis dalam nama Tuhan Yesus, Roh Kudus datang kepada mereka dengan tanda yang besar.
Dibaptis dalam nama
Kalau diucapkan bahwa seseorang dibaptis dalam nama Tuhan Yesus (mis. Kis.19) atau dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus (mis. Mat.28), ungkapan itu mempunyai arti yang lebih dalam daripada pengucapan nama Tuhan Yesus atau nama Allah Tritunggal. Maksudnya ialah bahwa seseorang itu telah menjadi milik Tuhan Yesus, dan milik Allah, dan bahwa ia terdaftar sebagai milik Allah Tritunggal. Mungkin pada awalnya hanya nama Tuhan Yesus diucapkan, tetapi tidak ada perbedaan, karena melalui Tuhan Yesus kita diselamatkan oleh Allah Tritunggal.
Menyangkut cara pembaptisan, tidak ada persyaratan yang dikenal dari Alkitab mengenai pemercikan satu kali atau tiga kali. Gereja juga tidak mengatur itu, hanya menetapkan bahwa baptisan yang sah adalah: 1). ”dalam nama Bapa dan Anak (atau Putera) dan Roh Kudus”, 2). bahwa air yang digunakan itu seharusnya hanya air murni, tidak dicampur dengan minyak dan lain sebagainya, dan 3). bahwa baptisan harus dilakukan oleh orang yang berjabatan dalam gereja.
Gereja juga pernah memutuskan bahwa setiap baptisan, yang dilakukan dalam nama Allah Tritunggal akan diakui dan bahwa tidak akan terjadi baptisan ulang. Maksud peraturan itu bukan bahwa setiap gereja yang membaptis orang, langsung harus diakui sebagai gereja yang benar, tetapi dalam hal ini pekerjaan Allah dihargai dan Allah tidak terbatas. Allah bekerja dalam gereja lain juga.
Dalam bab ini kita tidak membahas ungkapan ”baptisan dengan Roh”, karena perkataan itu (Kis.1:5) menunjukkan kedatangan Roh Kudus pada hari Pentakosta, dan bukan suatu baptisan sebagai sakramen. ”Baptizein” berarti mencelupkan, menenggelamkan; dan Kisah 1:5 menceritakan bahwa Roh Kudus datang dengan begitu dahsyat hingga mereka yang didatangi Roh, dikelilingi oleh kehadiran Roh.
Dari arti ”menenggelamkan” itu dapat dipahami juga bahwa Paulus dalam Roma 6 berkata bahwa kita telah dikuburkan dengan Kristus melalui baptisan ke dalam kematian.
Sehubungan dengan arti lain dari ”membersihkan” dalam baptisan, ”menenggelamkan” juga berkesan pembersihan dari dosa berarti bahwa manusia yang lama harus mati, tenggelam dalam maut, sebab kita tidak akan tahan uji dalam penghakiman Allah kalau kita tidak diperbarui oleh Roh. Baptisan menghiburkan, tetapi juga menasihatkan!
”Dibaptis dalam nama Yesus” atau ”dalam nama Bapa dan Anak dan dan Roh Kudus” tidak menunjuk pada nama siapa yang diucapkan melainkan kepada siapa kita dipercayakan. (seperti dalam rekening bank: disetor atas nama....).
Baptisan anak terkenal dari sejarah gereja, sejak zaman rasuli sampai sekarang. Pandangan mereka yang hanya membaptis orang dewasa, itu pandangan yang baru dan menyimpang dari sejarah gereja (Van Genderen ). Yustinus (100 M ) menyatakan bahwa baptisan anak sudah biasa, Ireneus (130 M ) dan Origenes (185 M) menyatakan bahwa baptisan anak telah dipraktikkan oleh rasulrasul, dan kenyataan bahwa Tertulianus (160 M) pada mulanya berkeberatan terhadap baptisan anak, membuktikan bahwa praktik itu biasa.
Dalam abad XX, Karl Barth menentang baptisan anak. Hal itu disebabkan oleh kedangkalan yang dilihatnya dalam gereja rakyat, dan juga mempunyai kaitan dengan pandangan Barth bahwa dalam kehidupan iman tidak terdapat hal-hal yang stabil adanya. Menurut Barth, hal itu akan menurunkan keagungan Allah. Iman hanya terasa pada saat kita disentuh oleh kuasa Allah dari atas. Jelas bahwa pandangan perjanjian juga sangat bertentangan dengan ajaran Barth (Van Genderen).
Dalam pandangan Gereja KR, baptisan sama seperti sakramen lain yang memberikan keselamatan secara nyata. Sakramen disebut vehiculum gratiae, kendaraan pengangkut anugerah. Jadi, pandangan mereka yang menyangkut sakramen sangat objektif. Sakramen bekerja terlepas dari iman Si Penerima (Van Genderen ). Sehubungan dengan pandangan itu, praktik yang dilakukan Gereja KR ialah untuk membaptiskan secara darurat anak dari anggota gereja yang sakit keras dan mungkin akan meninggal dunia. Dalam keadaan itu salah seorang yang bukan pejabat gerejawi, juga diperbolehkan untuk membaptiskannya, misalnya bidan atau perawat, dan boleh dilakukan di rumah sakit atau di rumah pribadi, sedangkan untuk baptisan biasa, Gereja KR memang selalu menuntut agar baptisan dilakukan di gereja, khususnya dalam ruangan yang disebut baptisterium (ruangan untuk membaptis). Baptisan dalam Gereja KR tidak terjadi di tengah-tengah jemaat dalam kebaktian umum.
Gereja KR, sama seperti beberapa gereja lain, juga di Indonesia, mengenal peter dan meter (wali). Merekalah yang bertanggung jawab. Latar belakangnya ialah bahwa dalam pandangan KR, hubungan seksual dicemarkan oleh dosa sehingga lebih baik bukan ayah-ibu kandungnya yang bertanggung jawab, tetapi wali yang tidak memperanakkan anak itu. Dalam pandangan Reformasi, justru sangat penting bahwa orang tua sendiri yang berdiri dan bertanggung jawab.
Menyangkut perjamuan kudus, terjadi perdebatan rumit sepanjang sejarah gereja. Di sini terlihat perbedaan yang besar antara Gereja Katolik Roma dengan gereja-gereja lainnya. Gereja KR mengajarkan bahwa sakramen ini terutama merupakan persembahan, sedang bagi gereja-gereja protestan, sakramen ini adalah perjamuan dan peringatan akan Kristus. Juga peran gereja dan pejabatnya (klerus) bagi Gereja KR sangat penting karena hanya imam yang sah yang boleh melakukannya. Bagi gereja protestan, tekanan bukan pada pelayan, tetapi pada jemaat yang merayakan secara aktif. Yang sangat menentukan sikap KR adalah keputusan konsili pada 1215, bahwa dalam eukaristia itu roti dan air anggur berubah menjadi tubuh dan darah Kristus (trans-substansiasi: peralihan dari substansi/zat yang satu kepada substansi yang lain). Bagi gereja protestan, istilah ”inilah tubuh-Ku” ditafsirkan sebagai fraseologi sakramentalis (sebuah bentuk bahasa yang khusus untuk sakramen): hal yang ditandai, diberi nama dari apa yang ditandai.
Gereja-gereja seperti Ortodoks Timur, Anglikan, dan juga Luteran, mengambil posisi tengah antara Katolik Roma dan gereja protestan lainnya: bagi gereja-gereja itu, sakramen ini juga merupakan persembahan walaupun trans-substansiasi tidak diakui.
Dalam uraian ini, kami akan membahas sakramen ini dari sudat pandang sakramen Perjanjian Lama, seperti yang menyangkut baptisan. Tetapi akan diberi penjelasan lebih dahulu mengenai fraseologi sakramentalis itu, karena hal itu mempunyai hubungan dengan kedua sakramen.
Fraseologi sakramentalis
Dalam Kisah Para Rasul 22:16, air dalam baptisan disebut penebusan dosa, padahal air itu hanya tanda, dan dalam Matius 26:26-28 roti dan air anggur disebut tubuh/darah Kristus, padahal tidak lebih dari tanda saja. Pengungkapan seperti itu sebenarnya tidak terlalu aneh sebab juga digunakan kalau kita melihat sebuah foto dan mengatakan: itu presiden, sedangkan umum diketahui bahwa itu hanya gambar.
Kepada mereka yang percaya, dalam sakramen itu Kristus sendiri yang memberikan apa yang ditandai. Jadi: sakramen-sakramen menandai, memeteraikan dan memberikan. Sakramen adalah signikatif (menandai), obsignikatif (memeteraikan), dan exhibitif (memberikan) (Van Genderen).
Paskah
Seperti sunat diganti baptisan, demikian juga paskah diganti oleh perjamuan kudus. Pada masa Perjanjian Lama terdapat banyak upacara persembahan yang diakhiri dengan makan bersama. Dari semua persembahan, bagian yang terbaik adalah untuk Allah, dan kadang-kadang juga kurban itu seluruhnya. Tetapi, sebagian dari persembahan-persembahan tertentu dimaksudkan untuk para imam dan orang Lewi, dan sebagian dapat dinikmati oleh keluarga pada saat mereka makan di pelataran Bait Suci atau di tempat lain di Yerusalem.
Dari semua upacara Perjanjian Lama, Paskah dapat dikatakan merupakan upacara yang terpenting. Paskah merupakan kurban persembahan (seekor anak domba disembelih di Bait Allah), tetapi paskah sekaligus adalah perjamuan.
Pada malam Tuhan Yesus menetapkan apa yang kita kenal sebagai Perjamuan Malam, Dia merayakan pesta paskah bersama dengan para muridNya. Mereka seakan-akan satu keluarga tersendiri, karena sebetulnya pesta Paskah dirayakan dalam lingkungan keluarga (Kel. 12:8-10). Tuhan Yesus bertindak sebagai kepala rumah tangga.
Dalam upacara pada malam itu, Tuhan Yesus mengubahperkataan-perkataan tertentu yang selalu dipakai di setiap keluarga Yahudi yang merayakan paskah. Ketika Dia memecahkan roti, Dia tidak berkata, ”Inilah roti kesengsaraan yang dimakan nenek moyang di Mesir”. Tetapi Dia berkata, ”Inilah tubuh-Ku untuk kamu.” Pada waktu Dia mengangkat cawan minuman dan membagi-bagikannya, Dia tidak berkata bahwa dengan air anggur ini mereka akan merayakan pelepasan dari Mesir, seperti biasa, tetapi mengatakan bahwa cawan pengucapan syukur itu adalah persekutuan dengan darah-Nya, yang akan ditumpahkan bagi mereka, dan disebut-Nya juga: darah perjanjian (Mat. 26; Mrk. 14; Luk. 22; 1Kor. 10-11).
Tentang anak domba, Tuhan Yesus tidak mengatakan apa pun. Dia fokus pada dua mata acara dari perayaan pesta Paskah, yaitu yang mengenai roti dan yang mengenai air anggur.
Kalau kita mengenal sejarah penetapan perjamuan ini, maka jelas bahwa Tuhan Yesus tidak mungkin bermaksud untuk menyatakan bahwa roti itu berubah menjadi tubuh-Nya, seperti yang diajarkan oleh Gereja KR. Tuhan Yesus sendiri yang pada waktu itu berada di tengah-tengah mereka. Seperti dahulu, roti yang tidak beragi itu melambangkan sengsara di tanah Mesir, demikianlah kemudian, roti melambangkan tubuh Kristus yang disalibkan.
Kelompok duabelas murid Tuhan Yesus bukan saja sebuah keluarga besar, tetapi juga jemaat Kristus yang pertama. Kepada jemaat-Nya Tuhan Yesus memesan: ”Perbuatlah ini sampai Aku datang” (bnd. 1Kor. 11:26).
Penggunaan sakramen
Sakramen berguna jika diterima dengan iman. Sahnya sakramen tidak bergantung pada iman kita. Janji Allah, yang diperkuat oleh sakramen itu, tetap berlaku dan tidak boleh diragukan. Tetapi jika kita tidak menerima sakramen itu dengan percaya, maka ia tidak akan berguna (bnd. PIGB 33). Tidak dapat disangkal bahwa Yudas ikut merayakan Perjamuan Malam, namun sakramen itu tidak berguna baginya, malahan menjadi pendakwaan terhadapnya. Mengenai sakramen bagi anak kecil, yaitu baptisan, sakramen itu akan digunakan oleh anak itu pada saat ia bertambah besar dan mulai mengerti, dan terlebih pada saat ia mengaku iman. Sedangkan sakramen baptisan anak itu berguna untuk orang tua Si Anak pada saat pembaptisan, untuk memperkuat iman mereka yang pada saat itu mengaku dan berjanji untuk mendidik anak itu dalam ketakutan akan Allah.
Dalam gereja, baptisan adalah tanda masuk, dan meterai keanggotaan, tetapi perjamuan menandai dan memeteraikan pertumbuhan iman. Kita diberi makanan dan minuman rohani untuk diperkuat dalam iman. Iman adalah tangan dan mulut jiwa (bnd. PIGB pasal 35). Anak-anak dari anggota jemaat yang belum mengaku iman tidak boleh ikut Perjamuan. Kalau seandainya mereka diikutsertakan, mereka tidak diajak untuk memilih sendiri, dan mereka seakan-akan dipaksa untuk mengikuti Tuhan Yesus.
Setiap perjanjian bukan hanya mempunyai ketetapan janji, melainkan juga tuntutan. Dan tuntutan itu dipenuhi pada waktu kita memilih untuk mengikut Tuhan Yesus melalui pengakuan iman, sesuai dengan perkataan Tuhan sendiri: ”Setiap orang yang mengakui Aku di depan manusia, Aku juga akan mengakuinya di depan Bapa-Ku yang di surga” (Mat. 10:32). Dalam Kitab Kisah Para Rasul, tidak pernah dinyatakan bahwa anak-anak ikut dalam Perjamuan, sedangkan mengenai baptisan, dikatakan bahwa ada orang yang dibaptis seisi rumahnya.
Pengujian diri
Merayakan Perjamuan Kudus juga berarti bahwa kita harus berhenti menyembah kepada berhala (1Kor. 10:20-21). Nas itu mengena pada semua hal yang melawan kehendak Tuhan.
Perjamuan Kudus menuntut bahwa jemaat akan menjauhkan dari dalam jemaat itu mereka yang tidak hidup sesuai dengan kehendak Allah dan tidak mau bertobat (1Kor.5:13). Langkah yang pertama dari siasat gerejawi ialah penundaan untuk mengikuti perjamuan (bnd. KH p/j 85).
Karena anak domba Paskah kita telah disembelih, yaitu Kristus, haruslah kita berpesta dengan kemurnian dan kebenaran (1 Kor.5:7-8).
Pengujian diri, bagi setiap orang yang ingin menerima sakramen itu, menurut Tata Cara PMK terdiri atas: 1). Menyadari dosa dan merendahkan diri. 2). Percaya atas pengampunan karena darah Kristus. 3). Mengucap syukur atas pelepasan itu, melalui perkataan dan perbuatan, khususnya dengan kasih persaudaraan dalam persekutuan orang-orang kudus.
Sama seperti perjamuan paskah, maka perjamuan kudus juga menunjukkan persekutuan, bukan saja dengan Kristus, tetapi juga seorang dengan yang lain dalam jemaat. Ungkapan ”membedakan tubuh Kristus” (1Kor.11) mempunyai makna ganda. Kita harus menyadari bahwa roti itu adalah tanda dari tubuh Kristus, tetapi di samping itu ”tubuh Kristus” adalah juga ungkapan untuk menunjukkan jemaat, dan jemaat itu harus dihargai oleh mereka yang merayakan perjamuan kudus.
Di gereja-gereja protestan di Indonesia, perayaan perjamuan kudus diberi perhatian berlebihan, khususnya kalau dilihat dari segi siasat gerejawi. Barangkali tekanan atas perasaan persekutuan merupakan latar belakang dari hal itu. Perasaan itu sangat tinggi di Indonesia, terutama dalam gereja-gereja kecil, yang anggotanya saling mengenal dengan baik sekali. Seorang yang berbuat dosa di tengah jemaat akan ditindak, dan ia harus berdamai dengan Allah dan jemaat, baru setelah itu ia diperbolehkan ikut dalam perjamuan kudus.
Di sini kadang-kadang dilupakan bahwa setiap kebaktian penting adanya, dan bahwa dosa bukan saja perlu diakui dan diselesaikan sebelum perjamuan kudus, tetapi secepat mungkin. Dan kebaktian tanpa perjamuan kudus juga sangat penting, karena pada saat itu firman Tuhan yang dikabarkan.
Sakramen bukan yang terpenting tetapi tanda dan meterai untuk memperkuat janji dan firman Tuhan. ”Membuat ini, menjadi peringatan akan Aku” kata Kristus. Memperingati kematian Kristus bukan saja mengingat apa yang terjadi pada waktu lampau. Kata ”memperingati” dalam Alkitab mempunyai arti yang aktif. Kita memperingati untuk mengabarkan bahwa: apa yang terjadi pada waktu lalu sangat penting untuk masa kini (Van Genderen).
Perjamuan kudus tidak boleh menjadi inti pastoral dan tugas khusus pendeta. Inti penggembalaan dan kependetaan adalah pemberitaan firman Allah.
Luther bertentangan dengan sebagian ajaran trans-substansiasi, tetapi sebagian mengikutinya juga. Ia berpendapat bahwa roti dalam misa itu selain dari roti juga daging Kristus, begitu juga dengan darah-Nya dalam anggur (konsubstansiasi: dalam zat yang satu, maka zat yang lain hadir juga). Sebab Kristus mahahadir, dan dapat hadir juga secara fisik dalam roti dan anggur. Tetapi, pendapat itu tidak mempunyai alasan alkitabiah.
Calvin mengutamakan bahwa Kristus sendiri hadir, tetapi bukan dengan tubuh dan darah-Nya, melainkan dengan Roh Kudus. Berarti ajaran tentang Allah Tritunggal penting juga dalam hal ini.
Reformator Zurich, Hulrich Zwingli, berkata bahwa Kristus sama sekali tidak hadir dan perjamuan itu hanya peringatan semata-mata.
Dalam Gereja KR, dikenal kata ”misa” dan kata ”ekaristi”, serta kata ”komuni”. Misa berarti kebaktian yang di dalamnya perjamuan dilayankan. Ungkapan itu datang dari bahasa Latin Ite, missa est, artinya: ”Perhatian, sekarang kamu dikeluarkan”. Kata itu dahulu diucapkan oleh imam, sesudah khotbah dan doa, ketika ia hendak menyuruh keluar anggota jemaat yang belum mengaku iman. Karena ekaristi bukan untuk mereka.
Ekaristi berarti persembahan. Kata itu berasal daripersembahan-persembahan yang dahulu dibawa ke kebaktian untuk makan bersama (agape). Tetapi lama-kelamaan ungkapan itu berubah menjadi istilah untuk persembahan dari apa yang disebut tubuh Kristus: sepotong roti yang telah diubah ketika imam menyatakan: ”Inilah tubuh-Ku”, dan yang diangkatnya sebagai kurban bagi Allah. Dalam gereja-gereja induk, ekaristi itu dilaksanakan setiap hari, menurut Gereja KR hal itu demi penebusan dosa.
Komuni berarti: persekutuan, yaitu mengambil bagian dari roti itu. Setiap anggota Gereja KR sekurang-kurangnya sekali setahun harus mengambil bagian dalam komuni itu, sedangkan ekaristi sering kali dilakukan oleh imam dengan dihadiri oleh beberapa orang saja.