Rufus Th. Pos
Di dalam seluruh Alkitab (baik PL maupun PB) kita sudah menjumpai pembicaraan mengenai ”gereja”. Bagi seorang teolog yang berada dalam tradisi Reformasi, Alkitab merupakan sumber satu-satunya bagi pengetahuan mengenai Allah dan mengenai segala hal ihwal ajaran gereja (lih. Bab 1), juga bagi ajaran gereja mengenai dirinya sendiri, yaitu ”doktrin gereja”. Jelas, Alkitab tidak memberikan pembahasan sistematis mengenai hal gereja. Tetapi Alkitab adalah sumber yang mutlak bagi kita yang ingin merumuskan ”dogma gereja”. Berdasarkan keyakinan ini, kami berpendapat bahwa Alkitab tidak semata-mata memberikan informasi mengenai ”gereja” zaman lalu. Berdasarkan Alkitab, ilmu teologi wajib memberikan petunjuk-petunjuk normatif mengenai ”gereja” yang juga masih berlaku sampai hari ini.
Susunan pokok-pokok dogmatik sering mengikuti Pengakuan Iman Rasuli. Di dalamnya kita mengakui Allah sebagai Allah Tritunggal, yaitu Bapa, Anak dan Roh Kudus. Dalam bagian ketiga (yang meliputi bidang karya Roh Kudus) terdapat pengakuan mengenai gereja. Ternyata gereja adalah hasil karya Roh Kudus yang dikerjakan-Nya melampaui zaman, khususnya setelah pencurahan-Nya pada Hari Pentakosta. Berdasarkan hal itu, dalam buku ini topik gereja dibicarakan sesudah bagian mengenai Roh Kudus.
Sekarang ini kita melihat gereja di mana-mana. Di seluruh dunia ada kegiatan misioner yang dengannya gereja-gereja ditanam. Melihat hal itu, dengan mudah gereja dapat dianggap sebagai ciptaan atau hasil kegiatan manusia. Karena ada orang yang mendirikan gereja sebagai perkumpulan, sesuai dengan kemauannya dan hikmatnya sebagai manusia. Gereja dianggap sebagai persekutuan pemeluk-pemeluk agama Kristen, yakni orang-orang yang berkumpul karena keyakinan agamawi yang sama. Kelihatannya gereja adalah hal yang sifatnya manusiawi. Tetapi sebenarnya tidak. Karena Alkitab menjelaskan bahwa gereja bukan lahir dari bawah, melainkan lahir dari atas. Kristus (yang di surga) akan mendirikan gereja-Nya di atas dasar yang telah diletakkan-Nya (yaitu pengakuan Petrus sebagai batu karangnya, Mat. 16:18). Rasul Petrus menulis surat kepada orang-orang pendatang yang tersebar di Asia Kecil (1Ptr. 1:1). Petrus berkata kepada orang-orang percaya ini: ”Tetapi kamulah bangsa yang terpilih, imamat yang rajani, bangsa yang kudus, umat kepunyaan Allah sendiri” (1Ptr. 2:9; bnd.. Ul. 7:6: ”… untuk menjadi umat kesayangan-Nya.”). Ternyata orang-orang ini dipilih Allah untuk menjadi bangsa-Nya. Ide ”gereja” lahir dalam pikiran dan keinginan Allah Tritunggal. Allah ingin mengumpulkan orang dari mana
Gereja lahir dari atas mana dan di mana-mana untuk menjadi anggota bangsa-Nya dan membentuk suatu persekutuan sesuai kehendak-Nya. Bangsa Allah yang hidup pada waktu Perjanjian Lama boleh disebut juga ”gereja” masa itu. Di luar keputusan Allah, gereja sama sekali tidak ada. Dia berdaulat untuk mengumpulkan suatu bangsa bagi diri-Nya. Calvin berkata bahwa Firman Tuhan memperanakkan kita melalui gereja sebagai rahim. Allah adalah Bapa kita, gereja (Yerusalem surgawi) adalah ibu kita (bnd. Gal. 4:26).
Apakah pendapat tadi (gereja lahir dari atas) bertentangan dengan kenyataan adanya banyak denominasi gereja di dunia ini? Apakah Allah bertanggung jawab terhadap semua perselisihan di antara banyak gereja itu? Pasti tidak! Itu pasti bukan hasil pekerjaan Roh Kudus. Hal itu disebabkan oleh perselisihan manusia karena berbeda pendapat mengenai isi iman. Iman Kristen sering dipengaruhi oleh pendapat-pendapat yang tidak berdasarkan firman Tuhan, tetapi berasal dari pikiran dan kemauan manusia. Perbedaan di antara gerejagereja sering disebabkan oleh ketidaktaatan pada petunjuk-petunjuk Tuhan dalam firman-Nya. Kita tidak boleh memandang terpecahnya gereja sebagai hal yang baik. Terpecahnya gereja membuktikan kelemahan manusia untuk untuk memelihara kesatuan yang telah Tuhan berikan.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, istilah ”gereja” dipakai untuk mengacukan dua hal: Persekutuan orang-orang Kristen, dan gedung yang di dalamnya mereka berkumpul. Dalam ilmu dogmatik, kata ”gereja” dipakai untuk menunjukkan konsep ”gereja”, bukan sebagai gedung melainkan sebagai persekutuan orang-orang yang percaya kepada Yesus Kristus.
Kata gereja berasal dari bahasa Yunani ”ekklesia”, melalui kata bahasa Portugis, ”igreja”. Di wilayah perdagangan Portugis, antara lain di Nusantara, Indonesia, kata ini diucapkan menjadi lebih pendek dengan ”greja” yang kemudian ditulis sebagai ”gereja. Sebenarnya, kata ”igreja” berasal dari kata dalam bahasa Yunani lain, yaitu ”kuriakos” yang secara harfiah berarti ”milik Tuhan” (kepunyaan ”Kurios”).
Penting untuk diketahui apa arti kata Yunani ”ekklesia”. Kata itu adalah komposisi dua kata Yunani, yaitu ”ek” (yang berarti ke luar) dan ”kaleo” (yang berarti panggil). Sehingga ”ek-kaleo” berarti memanggil ke luar. Artinya, ekklesia adalah perhimpunan orang-orang yang dipanggil ke luar (dari dunia, dari kegelapan, misalnya 1Ptr. 2:9 atau Kol.1:13) untuk masuk ke dalam terang (lih. Van Niftrik-Boland 358-361).
Biasanya kita menyebut seluruh umat Kristen dengan nama ”gereja”.
Tetapi, sebenarnya, kita hanya dapat memberikan nama ”gereja” kepada semua orang yang membiarkan diri dipanggil ke luar oleh Tuhan Sendiri. Hanya mereka yang mau mendengar suara Gembala Agung, yang layak untuk disebut ”gereja”.
ekklesia diterjemahkan dalam bahasa-bahasa Eropa Barat secara berbeda-beda. Dalam bahasa Perancis jelas bahwa kata ”église” berasal dari ekklesia. Dalam bahasa-bahasa lain ”gereja” mengacu pada kata kuriakos dalam bahasa Inggris ”church”, bahasa Belanda: ”kerk”; bahasa Jerman: ”kirche”; bahasa Scotlandia: ”kirk”.
Ada satu kata lain yang juga perlu diperhatikan di sini, yaitu ”jemaat” (berasal dari bhs. Arab jemaah, yang berarti ”yang telah berkumpul, atau dikumpulkan”). Istilah ini biasa dipakai untuk persekutuan orang Kristen setempat. Misalnya, GKI (Gereja Kristen Injili) terdiri atas ratusan jemaat di tempat-tempat tertentu.
Dalam Alkitab, kata ”jemaat” sinonim dengan kata ”gereja”. Ada kalanya kata Yunani ekklesia diterjemahkan dengan ”gereja”, pada waktu lain dengan ”jemaat”. Baik jemaat lokal, maupun gereja universal disebut ekklesia dalam Alkitab (Rm. 16:5; 1Kor. 1:2; Ef. 5:25; 1Kor.12:26)
Perbedaan di antara istilah ”gereja” dan ”jemaat” pada dasarnya tidak ada.
Gereja yang tidak memikirkan secara sistematis apa hakikatnya, pasti akan dipengaruhi oleh pandangan-pandangan pribadi para pemimpinnya. Gereja seperti itu bertindak seolah-olah gereja adalah hal manusiawi saja. Sedangkan firman Tuhan menerangkan secara gamblang bahwa gereja sebagai bangsa Tuhan (milik kepunyaan-Nya) adalah hal ilahi. Karena itu, kita manusia (khususnya kaum teolog) tidak berhak untuk mengembangkan pandanganpandangan mengenai gereja lepas dari Pemilik gereja. Artinya, kita patut menyelidiki firman Tuhan sebagai otoritas mutlak untuk mengembangkan ajaran kita mengenai gereja. Ajaran itu harus didasarkan pada data alkitabiah. Alkitab berfungsi sebagai patokan ilmiah dalam usaha kita untuk merumuskan ajaran mengenai gereja. Alkitab juga membatasi pikiran kita.
Hal ini menjadi jelas sekali, bagaimana Alkitab mengibaratkan gereja sebagai ”tubuh dan kepala”. Seperti yang dibuat oleh Rasul Paulus dalam Roma 12; 1 Korintus 12 dan Efesus 4. Kristus adalah Kepala gereja, sedangkan gereja adalah tubuh-Nya. Bahasa ibarat ini menunjukkan siapakah yang berhak di dalam gereja, siapakah yang berwewenang penuh di dalam gereja. Jika kita mengembangkan suatu ajaran yang lepas dari Kepala gereja (Yesus Kristus), maka kita sebenarnya memisahkan Kepala dari tubuh-Nya. Kita semua tahu bahwa tubuh (gereja) tidak dapat hidup tanpa kepala. Seluruh kehidupan di dalam gereja dan semua pembahasan mengenai gereja akan bergantung pada Kepalanya. Kita wajib mendengar kepala lebih dahulu.
Tuhan adalah kepala gereja. Kita wajib mengembangkan ajaran gereja berdasarkan firman-Nya.
Perjanjian Lama ditulis dalam bahasa Ibrani. Dalam bahasa ini, bangsa Israel dibedakan dari bangsa-bangsa lain dengan memakai sebuah kata tertentu. Israel adalah ”am” (bangsa). Bangsa-bangsa lain biasanya dinamai sebagai ”goyim” (bangsa-bangsa kafir). Perbedaan ini menunjukkan Israel sebagai bangsa istimewa karena dikhususkan Allah pada waktu Dia membuat perjanjian dengan bangsa ini di Gunung Horeb. Bangsa Israel dipisahkan dari bangsabangsa lain. Allah menghubungkan diri-Nya sendiri dengan mereka karena anugerah. Dia pun menetapkan suatu tanda lahiriah untuk memeteraikan hubungan ini, yaitu sunat. Berdasarkan hal itu, bangsa Israel dapat dilihat sebagai gereja Perjanjian Lama. Semua anggota dari bangsa ini adalah anggota gereja. Sifat pemerintahan Israel adalah teokrasi. Karena Allah memerintah bangsa itu melalui hakim-hakim, raja-raja, nabi-nabi. Dialah yang menunjuk pemimpin-pemimpin bangsa Israel itu. Segenap warga Israel dihitung sebagai umat Tuhan.
Pada masa kita, tidak seorang pun akan menjadi anggota gereja berdasarkan kewarganegaraannya di bumi ini, tetapi semata-mata berdasarkan kewarganegaraan surgawi. Hak itu diberikan kepada semua orang yang dipanggil Tuhan dan yang bertobat kepada-Nya, dan kepada semua orang yang sebagai anak telah lahir di dalam lingkungan perjanjian dan yang telah menerima tanda baptisan kudus.
Kenyataan bahwa ”bangsa” dan ”gereja” pada waktu Perjanjian Lama adalah satu, tidak berarti bahwa semua orang bangsa Israel secara individual menerima semua yang dijanjikan Allah kepada bangsa Israel. Janji-janji memang diberikan kepada seluruh bangsa, tetapi isi janji-janji ini hanya dipenuhi bagi mereka yang taat mengikuti segala perintah Allah, dan mendengarkan suaraNya (Kel. 19:5-6).
Selain dari kata ”am”, ada kata-kata lain yang memperlihatkan bangsa Israel sebagai umat yang beribadat di hadapan Allah. Kata pertama ialah ”qahal” (berarti ”pertemuan”, ”jemaat”). Septuaginta (PL dalam bahasa Yunani, juga diacukan dengan LXX) menerjemahkan qahal dengan ekklesia. Qahal ialah ”kaum Allah” atau ”bangsa Allah”, yaitu bangsa yang pernah menerima perjanjian Allah. Semua orang yang tergolong dalam bangsa Allah dan yang mengambil bagian dalam perjanjian-Nya disebut qahal Allah. Dalam Ulangan 31:30 dapat kita baca bahwa kata qahal/ekklesia mengacu pada bangsa Israel sebagai kesatuan religius, dan juga sebagai kesatuan politik. Kata ”qahal” sering dipakai dalam Kitab Tawarikh, Ezra, dan Nehemia.
Di samping kata ”qahal” ada juga kata ”ĕdah” (dari kata kerja ”ya’ad” berarti mengurus pertemuan). Kata ”ĕdah” dipakai dalam Kitab Keluaran sampai dengan Bilangan. Kata Ibrani ”ĕdah” berarti pertemuan yang ditentukan, jemaat.
Dalam Septuaginta (LXX) kata ”ĕdah” biasanya diterjemahkan dengan kata sinagoge (tempat pertemuan). Baik ”qahal”, maupun ”ĕdah” menunjukkan suatu perhimpunan orang untuk berada di hadapan Allah demi penyembahan dan pemujaan nama-Nya dalam suasana kultus. Bangsa Israel sebagai gereja Perjanjian Lama telah menerima satu pengakuan yang adalah dasar gereja, dan yang terdapat dalam Ulangan 6:4, ”Dengarlah, hai orang Israel: Tuhan itu Allah kita, Tuhan itu esa!”. Pengakuan ini disebut ”syema Israel”).
Dalam Kitab-kitab Injil, kata ”ekklesia” belum sering dipakai. Tetapi, justru pada saat ekklesia ditemukan, Tuhan Yesus membicarakan hal yang penting sekali.
Matius 16:16-18.
Yesus sendiri yang akan mendirikan jemaat-Nya di atas batu karang, yaitu pengakuan Petrus (petra=batu karang=pengakuan Petrus: ”Engkaulah Mesias, Anak Allah yang hidup!”). Dengan demikian pengakuan Gereja Perjanjian Lama (”syema Israel”, Ul. 6:4) diperdalam. Allah adalah Tuhan yang Esa, dan Yesus Kristus sebagai Anak-Nya, satu dengan Dia.
Di atas pengakuan ini, Yesus berkata, ”Aku akan mendirikan jemaat-Ku” (ekklesia). Jadi ekklesia (jemaat, gereja) yang tidak mengakui hal ini, bukanlah jemaat Kristus lagi. Jelas bahwa di sini, jemaat mempunyai arti luas, yaitu jemaat di seluruh dunia, gereja universal.
Matius 18:17.
Jika ada seorang anggota jemaat yang berdosa dan yang tidak mau bertobat, maka hal itu harus diberitahukan kepada jemaat (ekklesia). Orang-orang Kristen saling berhubungan satu dengan yang lain, sebagai anggota dari satu tubuh. Ekklesia adalah tubuh itu. Anggotaanggotanya merasa bertanggung jawab satu sama lain. Satu anggota yang berdosa itu mempertaruhkan nyawanya. Melihat itu, anggota-anggota lain ingin menolong orang itu sehingga ia membuang dosanya dan tidak kehilangan keselamatannya. Tetapi, ada motif lain juga dari segi kepentingan jemaat. Dosa-dosa yang dibiarkan dalam jemaat membahayakan persekutuan dan kekudusan jemaat. Kalau seseorang yang berdosa tidak bertobat dan juga tidak mau mendengarkan jemaat, ”pandanglah dia sebagai seorang yang tidak mengenal Allah atau seorang pemungut cukai” (Mat. 18:17). Artinya, orang itu tidak termasuk jemaat lagi, tetapi di luar jemaat, dikucilkan. Tempatnya di dalam jemaat Kristus tidak ada lagi.
Orientasi:
Ada juga tafsiran lain mengenai Matius 16:18. Tafsiran ini terutama diikuti oleh Gereja Katolik Roma. Apakah (atau siapakah!) yang dimaksud dengan ”batu karang” yang disebut Yesus? Dalam naskah Yunani dipakai kata ”petra”. Kata ini hampir sama dengan nama murid yang mengaku bahwa Yesus adalah Anak Allah, yaitu Petrus. Berdasarkan kemiripan kedua kata tersebut, Gereja Katolik Roma membangun ajarannya bahwa Rasul Petrus sebagai wakil kedua belas rasul dijadikan sebagai dasar (batu karang) gereja (bnd. Ef. 2:20; Why. 21:14; kemudian ”Petrus” dalam sejarah Gereja Katolik Roma diganti Paus). Tetapi justru Petrus sendiri dalam suratnya yang pertama menunjukkan bahwa Tuhan Yesus sebagai Batu Penjuru Gereja (1Ptr. 2:7). Kami berpendapat bahwa Yesus menggunakan kata ”petra” dengan sengaja untuk menunjukkan pengakuan Petrus sebagai dasar yang teguh bagi gereja.
Kisah Para Rasul
Kitab Kisah Para Rasul menceritakan mengenai pertumbuhan gereja sesudah Roh Kudus turun pada Hari Pentakosta. Penting untuk menyadari bahwa gereja tidak lahir pada Hari Pentakosta. Gereja sudah ada. Dalam Kisah Para Rasul 1:14 kita membaca bahwa ”mereka semua bertekun dengan sehati”. Ayat yang berikutnya berkata bahwa mereka itu adalah ”saudara-saudara seiman yang sedang berkumpul itu” (Kis.1:15). Murid-murid Tuhan Yesus tidak tersebar menyendiri. Mereka mencari persaudaraan dan bertekun bersama-sama dalam doa. Di atas jemaat inilah Roh Kudus diturunkan sebagai penggenapan perjanjian (Yoel 2).
Kata ”ekklesia” dipakai 21 kali dalam Kitab Kisah Para Rasul. Biasanya untuk mengacu jemaat setempat. Kadang-kadang istilah itu dipakai untuk beberapa jemaat di daerah tertentu.
Kisah Para Rasul 2:42.
Jemaat digambarkan sebagai persaudaraan yang selalu berkumpul, yang bertekun dalam pengajaran rasul-rasul. Jemaat ini merayakan kesatuan dengan Tuhannya melalui pemecahan roti sebagai akta ketaatan pada perintah Tuhan (lih. 1Kor.11:24).
Kisah 15:23-28. Pada sidang di Yerusalem, utusan-utusan dari beberapa jemaat membicarakan hal sunat. Keputusan, yang diberikan oleh Roh Kudus, akan disampaikan secara tertulis kepada orang-orang Kristen di Antiokhia, Siria dan Kilikia. Dalam kejadian ini menjadi jelas bahwa jemaat-jemaat dipimpin oleh rasul-rasul dan penatua-penatua (Kis. 14:23), dan pada akhirnya oleh Roh Kudus. Dengan demikian gereja Kristus dibangun.
Surat-surat Paulus.
Kata ”ekklesia” sering dipakai Paulus dalamsurat-suratnya. Dalam 1 Korintus 16:19 ia memakai kata ”ekklesia”untuk jemaat di rumah Akwila dan Priskila. Dalam ayat yang sama Paulus memakai kata ”ekklesia” untuk jemaat-jemaat di Asia Kecil. Tetapi kata ”ekklesia” kadangkadang ia pakai secara lebih luas, yaitu semua orang Kristen pada segala zaman dan di segala tempat, gereja universal (mis. dalam suratnya kepada jemaat Efesus pasal 1, 3, 5 dan Kolose 1:18, 24).
Paulus mengalamatkan surat-suratnya dengan memakai kata ”ekklesia” di tempat tertentu, atau dalam wilayah tertentu. Singkatnya, di mana saja ada orang yang berkumpul untuk merayakan persaudaraan dan kesatuan dalam Kristus, di situ ada ekklesia. Ekklesia menghubungkan orang-orang yang dipanggil Tuhan di lingkup lokal dan universal. Ekklesia ini disebut jemaat Allah (1Tes. 2:14), jemaat Kristus (Rm. 16:16), jemaat dalam Kristus Yesus (1Tes. 2:14), dan jemaat orang-orang yang dipanggil menjadi kudus (1Kor. 1:2). Paulus memberi beberapa lambang dalam surat-suratnya yang melukiskan arti gereja. Metafora-metafora ini akan kita bicarakan di bawah.
Surat Ibrani
Surat Ibrani menggambarkan ekklesia sebagai bangsa Allah yang sedang berjalan menuju ke tujuan surgawi. Dalam surat ini, kata ”ekklesia” dipakai dua kali. Ibrani 2:12 mengutip Mazmur 22:23. Ekklesia dipakai di situ sebagai perkumpulan saudara-saudara yang memasyhurkan nama Tuhan ”di tengahtengah jemaat”. Di sini yang dimaksudkan bukan jemaat lokal, atau beberapa jemaat di daerah tertentu, melainkan jemaat sebagai umat Allah. Dalam Ibrani 12:22-23, ekklesia menunjukkan perkumpulan orang percaya yang tidak ada di atas bumi, tetapi yang sudah berada di surga (gereja surgawi).
Yohanes
Yohanes memakai kata ”ekklesia”dalam suratnya ketiga, dalam arti jemaat lokal (3Yoh. 6, 9, 10).
Yakobus
Yakobus memakai kata ”ekklesia” hanya satu kali dalam arti jemaat lokal yang dipimpin oleh penatua-penatua.
Wahyu
Yohanes menerima tugas dari Tuhan untuk menulis tujuh buah surat kepada tujuh jemaat (Why. 2 dan 3). Di sini ekklesia dipakai untuk jemaat jemaat setempat (lokal). Dalam Wahyu 22:16 Yohanes memakainya untuk menunjukkan semua jemaat di seluruh dunia.
Pada waktu Perjanjian Lama, gereja (qahal) dikumpulkan semata-mata terdiri atas bangsa Israel. Pada waktu Perjanjian Baru, gereja dikumpulkan dari orang-orang yang dipanggil Allah, baik dari bangsa Israel maupun bangsa-bangsa lain (goyim).
Metafora ialah perkataan atau cerita yang dipakai sebagai perumpamaan (perbandingan, lambang, kiasan, ibarat, misal) untuk mencontohkan atau menekankan suatu aspek dari suatu hal yang dijelaskan. Di atas kita sudah menekankan bahwa gereja bukan hal dari bawah, melainkan dari atas. Gereja hidup terkait dengan Tuhan dan berharga besar bagi-Nya. Kenyataan itu memaksa gereja untuk mengerti secara mendalam dan tepat apa arti dan wujud gereja. Yesus sendirilah yang memberikan beberapa perbandingan untuk menjelaskan apa yang Dia maksud dengan jemaat. Kemudian rasulrasul juga memakai metafora untuk menyifatkan gereja/jemaat, atau satu aspek dari gereja. Alkitab memakai banyak sekali metafora untuk gereja, di bawah ini kami hanya menyebut 8.
a. Ranting-ranting pada pokok anggur. Dengan metafora ini Yesus (dalam Yohanes 15) menekankan pentingnya hubungan antara jemaat dan Tuhannya. Jemaat (anggota-anggotanya) hanya dapat bertumbuh dan berbuah selama hubungannya dengan Tuhan ada dan terpelihara seperti ranting-ranting yang bertumbuh pada pokok anggur.
b. Kawanan domba. Metafora yang sangat terkenal, yang mengumpamakan jemaat dengan kawanan domba. Domba-domba yang mendengar suara gembala; yang tinggal dekat dengannya. Hal itu menentukan mati dan hidup bagi mereka. Jemaat yang taat kepada Tuhannya, sama dengan kawanan domba yang mendengar kata-kata gembala yang baik (Yoh. 10). Jemaat adalah jemaat yang hidup bila bersedia menaati Tuhan dan mendengar Firman-Nya.
c. Tubuh. Paulus membandingkan jemaat sebagaimana tubuh dan bagian-bagian tubuh. Maksudnya untuk menekankan kesatuan dalam keanekaragaman. Tiap anggota tubuh mempunyai fungsi khusus, tetapi semua anggota bersama-sama membentuk satu tubuh yang hidup sebagai kesatuan (1Kor. 12:12-17). Di Korintus, metafora tubuh digunakan Paulus untuk kesatuan intern satu jemaat setempat, seperti jemaat di Korintus (yang bergumul dengan perpecahan, 1Kor. 11:18-22). Di Efesus dan Kolose, metafora tubuh menekankan relasi dan kesatuan gereja dengan Kristus. Dia adalah ”kepala” dan jemaat di bumi adalah ”tubuh-Nya” (Ef. 1:22-23; Ef. 4:15-16; Kol. 2:19; Kol. 3:15). Pertumbuhan jemaat terjamin jika jemaat memelihara hubungannya dengan Kepala Gereja, Yesus Kristus.
d. Rumah. Metafora ini mengandung beberapa ajaran sekaligus. Ibrani 3:6 memakai ibarat ini untuk jemaat yang adalah seperti rumah Allah, dengan Anak yang ditugaskan ”tuan rumah” untuk mengepalai rumah itu. Dalam 1 Korintus 3:9 menjadi jelas bahwa Allah sendirilah yang membangun rumah itu. Apa maksud dengan rumah itu? Tuhan ingin berdiam di dalamnya. Jemaat adalah Bait Allah (1Kor. 3:16). Rumah ini adalah rumah rohani yang sedang dibangun dengan batu-batu hidup (=orang-orang percaya; 1Ptr. 2:5). Rumah itu dibangun di atas ”batu penjuru” Yesus Kristus (1Ptr. 2:4-8). Di dalam jemaat ada dua kegiatan yang saling menguatkan. Pertama, dari pihak para anggota, yang membiarkan diri dibangun atas dasar yang teguh (”Kristus”, Firman Allah). Kedua, dari pihak Tuhan yang selalu membangun jemaat-Nya di bumi. Dialah yang telah meletakkan dasar yang teguh itu dan membangun jemaat-Nya di atasnya melalui pekabaran Injil dan pelayanan firman-Nya. Dengan demikian, melalui Roh-Nya Dia bergaul dengan umat-Nya di bumi. Perhatikanlah: Paulus memakai metafora ”bait Allah” dalam tiga arti yang berbeda-beda. 1 Korintus 6:19: Tubuh seorang Kristen adalah ”bait Roh Kudus”. Dalam 1 Korintus 3:1-17: Jemaat di Korintus adalah ”bait Allah”. Dalam Efesus 2:21-22: Semua orang yang percaya, baik Yahudi, maupun yang bukan Yahudi dibangun menjadi satu ”bait Allah”.
e. Tiang penopang dan dasar kebenaran. Dalam 1 Timotius 3:15, jemaat Allah dibandingkan dengan tiang penopang. Tiang-tiang ini juga biasa dipakai untuk menempelkan berita-berita untuk mengiklankan sesuatu. Bandingkanlah dengan papan reklame masa kini. Metafora ini menekankan tugas gereja untuk mengabarkan kebenaran Allah di tengah dunia yang murtad. Hal ini juga ditekankan dengan dua metafora yang lain, yang terdapat di Matius 5:13-14, tentang garam dan terang dunia: ” Kamu adalah terang dunia. Kota yang terletak di atas gunung tidak mungkin tersembunyi”.
f. Ladang Allah. Dalam 1 Korintus 3:9, jemaat dibandingkan dengan ladang yang diolah Allah untuk menghasilkan buah-buah. Ada orang yang menanam, ada yang menyiram. Semua bekerja sebagai pelayan Tuhan. Tetapi, Tuhanlah yang memberikan pertumbuhan. Jemaat hanya menerima pertumbuhan sebagai anugerah Tuhan.
g. Pengantin perempuan. Satu metafora yang sangat penting dan sangat berarti. Dalam Efesus 5:22-33 dan 2 Korintus 11:2, Paulus membandingkan hubungan Kristus dengan jemaat-Nya sebagai hubungan antara suami dan istrinya. Kristus sendiri telah menguduskan dan menyucikan jemaat ”dengan air dan firman”, ”supaya dengan demikian Ia menempatkan jemaat di hadapan diri-Nya dengan cemerlang tanpa cacat atau kerut atau yang serupa itu, tetapi supaya jemaat kudus dan tidak bercela” (Ef. 5:27), bagaikan pengantin perempuan yang sangat bagus. Yohanes mengatakan dalam Wahyu 21:2: ”Aku juga melihat kota yang kudus, Yerusalem yang baru, turun dari surga, dari Allah, yang berhias bagaikan pengantin perempuan yang berdandan untuk suaminya.” Pengantin perempuan ini juga disebut dalam Wahyu 21:9 dan 17. Dalam Markus 2:19-20 Kristus membandingkan diri-Nya sendiri dengan seorang pengantin laki-laki. Metafora ini menegaskan hubungan yang erat antara Kristus dan jemaat-Nya sampai keduanya menjadi satu pada hari kedatangan Kristus kembali. Hari ini juga disebut, berdasarkan metafora ini, sebagai hari perkawinan Anak Domba (Why. 19:7).
h. Yerusalem surgawi sebagai ibu kita. Di Galatia 4:26, Paulus berkata mengenai Yerusalem surgawi yang adalah perempuan yang merdeka, ”dan ialah ibu kita”. Metafora ini memperlihatkan bahwa gereja bagai ibu yang memelihara anak-anak yang dilahirkannya. Anak-anak itu dipangku dan diasuhnya serta diberi makanan rohani untuk memelihara mereka bagi kehidupan yang kekal bukan? Pemeliharaan ini diusahakan Yesus Kristus melalui Roh-Nya dan jemaat-Nya.
Semua metafora alkitabiah bekerja sama untuk menggambarkan gereja Kristus.
Masih banyak metafora lain yang menerangkan gereja atau suatu aspek atau pelayanan gereja. Misalnya bahtera, benteng, kubu pertahanan, nabi, bait suci, kerajaan, roti, garam, terang, imam, pela yan, hamba, dian. Setiap metafora dapat meno long kita untuk mengerti satu faset kehidupan gereja. Dan untuk memperdalam pengertian akan anugerah Allah yang mengumpulkan kita sebagai orang-orang berdosa untuk menjadi anggota gereja-Nya yang kudus. Banyaknya metafora juga menyebabkan masalah dan risiko. Siapa yang mengutamakan satu metafora dengan mengabaikan metafora-metafora yang lain, akan mudah melukiskan sesuatu karikatur gereja. Satu metafora hanya menerangkan satu aspek saja. Gambaran gereja yang benar akan memakai warna dan bentuk semua metafora sebaik-baiknya. Dengan metafora ”bangunan Allah” dan ”ladang Allah”, Tuhan menekankan bahwa Dialah (dan bukan manusia) yang membangun jemaat. Apabila Tuhan hendak menjelaskan bahwa hidup jemaat bergantung pada Dia, maka Dia memakai metafora tubuh dan kepala. Apabila Dia mendorong gereja untuk memelihara kesatuan, maka Dia memakai metafora tubuh yang anggota-anggotanya bekerja sama sebagai kesatuan yang menuju ke tujuan yang sama. Ajaran gereja tidak dapat didasarkan atas satu atau dua ayat Alkitab, melainkan atas keseluruhan petunjuk Alkitab mengenai pokok gereja. Bukan ayat-ayat Alkitab, melainkan keseluruhan Alkitab adalah dasar kita untuk merumuskan ajaran gereja, eklesiologi kita.
Kita mengaku Allah sebagai Allah Tritunggal, yaitu Allah Bapa dan Anak dan Roh Kudus. Ketiga oknum Ilahi ini selalu bekerja sama dalam penciptaan, penyelamatan, pengudusan, kepemimpinan sejarah, dan lainlain. Pembangunan gereja kita akui sebagai karya khusus Roh Kudus. Tetapi, sekaligus kita tahu bahwa bukan hanya Roh Kudus yang bekerja untuk membangun gereja. Allah Bapa dan Allah Anak memainkan peran yang penting juga. Di bawah ini kita akan fokus pada kegiatan setiap oknum untuk menjadikan gereja.
Allah Bapa
Allah Bapa adalah Pencipta segala sesuatu. Tetapi, sebelum itu Allah sudah memikirkan dan mempersiapkan terjadinya gereja. Menurut Paulus, di dalam Kristus ”Allah telah memilih kita sebelum dunia dijadikan, supaya kita kudus dan tak bercacat di hadapan-Nya” (Ef. 1:4). Gereja adalah hasil karya pemilihanNya itu. Dalam Perjanjian Lama, bangsa Israel dipilih menjadi bangsa Allah. Tuhan (Yahwe) mengikat perjanjian dengan bangsa Israel dan memberikan janji-janji-Nya. Dengan demikian Israel menjadi bangsa Allah (am Yahweh). Pada waktu bangsa ini tidak menaati peraturan-peraturan Tuhan, Nabi Hosea bernubuat bahwa bangsa ini menjadi ”bukanlah umat-Ku” (lo-ammi, Hos. 1:910; lih. juga Rm. 9:22-26, yang di dalamnya Paulus menyatakan pemenuhan nubuat ini). Di sini kita lihat pekerjaan Allah yang sangat luas. Bukan saja dari Israel, melainkan dari semua bangsa dunia, Allah Bapa akan mengumpulkan suatu bangsa yang baru, yaitu gereja. Dan sama seperti pada waktu Perjanjian Lama, Allah berdiam di tengah-tengah bangsa-Nya, menurut kata Paulus, ”Aku akan tinggal bersama-sama dengan mereka dan hidup di tengah-tengah mereka” (2Kor. 6:16).
Kesimpulan: Pada masa Perjanjian Lama, Allah Bapa memanggil bangsa Israel untuk menjadi milik-Nya; pada masa Perjanjian Baru Dia memanggil bangsa-Nya, baik orang Yahudi maupun orang Yunani. Gereja Kristen sebagai bangsa Allah yang baru dikumpulkan dari semua bangsa di dunia, untuk menjadi milik-Nya, yang dikasihi-Nya.
Allah Anak
Anak Allah diberikan oleh Allah Bapa dalam rangka rencana-Nya yang abadi itu: Menyiapkan dan membentuk satu bangsa bagi-Nya. Gereja dibangun di atas batu karang Anak itu (Mat. 16:18; Ef. 2:20).Dari Matius 28:18 dan Efesus 1:21-22 kita mengetahui bahwa Yesus Kristus sebagai Anak Allah mempunyai kuasa atas segala sesuatu yang di bumi dan di surga. Dan Paulus berkata bahwa Yesuslah Kepala atas bangsa Bapa-Nya (gereja); ia juga membandingkan bangsa itu dengan tubuh Kristus (Rm. 12 dan 1Kor. 12). Seperti sudah ditunjukkan di atas, metafora ini menekankan adanya hubungan yang erat antara gereja dan Tuhan Yesus, Anak Allah. Gereja tidak dapat hidup tanpa hubungan dengan Kepalanya. Gereja sebenarnya dikuasai oleh Tuhan Yesus, tetapi tidak sama seperti sebuah bangsa duniawi yang dikuasai oleh seorang tiran atau diktator. Efesus 5 menjelaskan bahwa Yesus sebagai kepala yang mengasihi tubuh-Nya sedemikian rupa, sehingga Dia bersedia memberikan nyawa-Nya sebagai kurban untuk melepaskan bangsa-Nya.
Kesimpulan: Dialah yang berkuasa atas segala sesuatu, menjadi Kepala gereja, yang sangat dikasihi-Nya. Karena kasih-Nya yang besar itu gereja hidup dan ada.
Allah Roh Kudus
1 Korintus 3:16 dan Efesus 2:22 menyebutkan bahwa gereja sebagai bait Roh Kudus. Itu berarti bahwa Roh Kudus berdiam di dalam gereja/jemaat. Bila Roh Kudus berdiam di dalam jemaat, maka Dia mengerjakan sesuatu yang ajaib di dalamnya. Karena Roh Kudus adalah Roh yang menghidupkan. Dialah yang menjadikan sesuatu yang sudah mati hidup kembali. Tubuh Kristus adalah tubuh yang hidup karena karya Roh Kudus. Untuk mencapai tujuan ini Roh Kudus memberikan karunia-karunia kepada gereja (karismata, antara lain dalam pelbagai jabatan).
Dalam bagian mengenai ”pemerintahan gereja’ kita akan membahas arti karismata dan jabatan-jabatan bagi pembinaan gereja. Sekarang hanya ditekankan satu pemberian istimewa yang diberikan oleh Roh kepada gereja, yaitu ”persekutuan”. Persekutuan yang diciptakan oleh Roh Kudus ialah hal yang tidak terjadi karena kemauan manusia. Orang-orang yang masuk ke dalam persekutuan ini, tidak masuk karena mereka saling mengasihi atau karena menularkan hobi dan kegemaran yang sama. Roh Kuduslah yang membuat mereka yang sangat berbeda itu hidup bersama-sama dalam damai, Dialah yang menciptakan hubungan ajaib di antara mereka.
Bagaimana hal itu diperbuat-Nya?
Roh Kudus mulai menghu bungkan orang-orang kepada Tuhan Yesus, sehingga mereka mengakui Dia sebagai Tuhan dan Penebus mereka. Kemudian terjadi hubungan di antara semua orang yang mengakui hal yang sama. Dengan demi kian gereja dikhususkan dan disediakan untuk dikemudikan Roh Kudus, sesuai dengan maksud Tuhan. ”Unio” (kesatuan) dengan Kristus menjadikan ”kommunio” (persekutuan) di antara orang yang percaya.
Untuk dipikirkan: Persekutuan orang kudus terdapat dalam gereja, tidak ditemukan di luar gereja. Walaupun demikian, persekutuan ini tidak persis sama dengan gereja. Ternyata ada orang-orang munafik (hipokrit) dalam gereja yang sebenarnya tidak termasuk dalam persekutuan. Roma 9:6-7: ” Sebab tidak semua orang yang berasal dari Israel adalah orang Israel, dan juga tidak semua yang terhitung keturunan Abraham adalah anak Abraham”. Hal ini dijelaskan Yesus dengan perumpamaan mengenai ladang di mana musuh petani datang menabur benih lalang di antara benih gandum yang baik. Yesus berkata, ”Biarkanlah keduanya tumbuh bersama sampai waktu menuai” (Mat. 13:30).
Persekutuan dengan Yesus sebagai Kepala adalah persekutuan oleh Roh Kudus; persekutuan ini menyebabkan adanya persekutuan orang-orang kudus.
Yesus memberitakan bahwa Kerajaan Allah sudah dekat (Luk. 17:21). Muridmurid-Nya memberitakan Injil Kerajaan Allah (Luk. 10:11). Yesus telah berkata: ”Injil Kerajaan ini akan diberitakan di seluruh dunia menjadi kesaksian bagi semua bangsa, sesudah itu barulah tiba kesudahannya” (Mat.24:14). Apakah gereja sama dengan Kerajaan?
Kalau Perjanjian Baru menyebut ”Kerajaan Allah”, maksudnya adalah untuk mengungkapkan bahwa Tuhanlah yang memerintah. ”Kerajaan Allah” berarti ”pemerintahan atau penguasaan Allah”. Menurut Kolose 1:13, orang-orang yang beriman dilepaskan Allah dari ”kuasa” kegelapan untuk hidup di dalam Kerajaan Allah. Artinya, mereka sudah berpindah dari bawah suatu kuasa (kegelapan) ke bawah suatu kuasa yang lain (terang, atau kuasa Allah). Kerajaan Allah berarti bahwa Tuhanlah yang memerintah kehidupan mereka masing-masing. Pemerintahan ini terwujud dalam mereka yang bertobat dan mengaku Tuhan sebagai Raja mereka.
1. Allah Bapa menginginkan gereja sebagai bangsa-Nya;
2. Allah Anak menginginkan gereja sebagai tubuh-Nya;
3. Allah Roh Kudus mengerjakan keinginan Bapa dan Anak dalam gereja.
Apakah kerajaan di sini sinonim dengan gereja, atau apakah terdapat perbedaan? ”Gereja” lebih kurang dapat dianggap sebagai tempat yang di dalamnya orang-orang percaya berkumpul. ”Kerajaan” dapat dianggap sebagai status pemerintahan Tuhan dalam gereja itu. Demikianlah, gereja adalah petunjuk jalan menuju ke Kerajaan Allah. Yesus telah memberikan kunci-kunci kerajaan kepada Petrus serta rasul-rasul lain. Melalui mereka, kunci-kunci itu diberikan kepada gereja. Apakah kunci-kunci itu yang menjadi petunjuk jalan ke kerajaan dan yang membuka (atau menutup) kerajaan itu? Kunci-kunci itu adalah ajaran rasul-rasul dan nabi-nabi yang terungkap dalam seluruh Alkitab. Gereja diberi tanggung jawab untuk memakai kunci-kunci itu untuk mewujudkan Kerajaan Allah. Ajaran Rasuli menyifatkan gereja sebagai ”gereja yang apostolis” sebagai alat di tangan Roh Kudus untuk merealisasikan kerajaan Allah(Mat. 16:19; Matius selalu berkata mengenai ”Kerajaan Surga”. Karena ia menulis kepada orang-orang Yahudi yang tidak mau memakai nama ”Allah” karena Hukum ke-3).
Gereja boleh dianggap sebagai pertemuan orang-orang yang adalah warga Kerajaan Allah. Di dalam gereja, Allah sebagai Raja bertemu dengan bangsaNya. Tetapi, Kerajaan-Nya melampaui batas gereja. Di dalam gereja semua kegiatan bertujuan untuk mengadakan pertemuan antara Raja dengan semua warga kerajaan-Nya. Itulah gereja. Tetapi, semua anggota gereja sebagai warga kerajaan Allah bergiat di dunia. Dan banyak kegiatan itu yang tidak dapat dinamakan ”kegiatan gerejawi”, misalnya sekolah Kristen, lembaga penerbitan Kristen, rumah sakit Kristen, partai politik Kristen, kegiatan sosial Kristen, dan sebagainya. Tiap hari setiap anggota gereja mempunyai kegiatan sebagai orang Kristen dalam tugas duniawi. Itu semua bersama-sama dapat disebut ”Kerajaan Allah”.
Ada satu catatan lain yang penting yang berhubungan dengan konsep ”Kerajaan Allah”. Kerajaan itu selalu bersifat ”sudah ada, tetapi belum genap”. Kuasa di bumi ini diberikan kepada Yesus Kristus (Mat.28:16), tetapi kuasa ini belum diterima di seluruh hidup gereja. Sehingga gereja dan para anggotanya masih berkekurangan dalam hal menaati Tuhan sebagai Raja. Di samping itu masih ada banyak orang di dunia ini yang sama sekali tidak ingin menerima Tuhan sebagai Penguasa dan Raja. Kuasa Iblis belum ditiadakan, sebaliknya, ia masih ”berjalan keliling sama seperti singa yang mengaumaum dan mencari orang yang dapat ditelannya” (1Ptr. 5:8). Karena itu, Tuhan Yesus telah mengajar gereja untuk bertekun dalam doa ”datanglah KerajaanMu.” Ternyata pada zaman ini Kerajaan Allah belum selesai. Kerajaan yang lengkap dan sempurna akan nyata pada hari terakhir, pada waktu Tuhan Yesus kembali sebagai Raja dalam kemuliaan-Nya. Pada hari kiamat itu, Kristus akan menaklukkan segala pemerintahan, segala kekuasaan dan segala kekuatan; kemudian Dia akan menyerahkan kekuasaan-Nya sebagai Raja, kepada Allah, Bapa kita (lih. 1Kor. 15:24, dst.).
Tanda-tanda Kerajaan Allah
Yesus sendiri memperlihatkan kuasa-Nya sebagai Raja melalui banyak tanda. Dia berkuasa atas angin ribut dan ombak-ombak (Mrk. 4:35-41). Dia melepaskan orang-orang dari kuasa roh-roh jahat. Dia menyembuhkan orang sakit. Dia mencelikkan mata orang buta dan membuat orang-orang lumpuh dapat berjalan. Kemudian, pada waktu rasul-rasul memberitakan Injil Tuhan, mereka juga mengadakan banyak tanda mukjizat yang mengiringi dan menandai pengabaran Injil mengenai Kerajaan Allah (Mrk. 16:17-18; Kis. 5:12-16).
Karena tidak semua orang yang sakit disembuhkan oleh Yesus danrasul-rasul-Nya, kita dapat menyimpulkan bahwa tanda-tanda tersebut bersifat sementara. Penyempurnaan kerajaan belum ada dan masih dinantikan gereja.
Kesimpulan:
Kerajaan Allah tidak sama dengan gereja. Kerajaan Allah lebih luas daripada gereja. Di mana pun orang bergiat sebagai warga Kerajaan Allah yang ingin menaati undang-undang pemerintahan Allah, di situ kerajaan Allah diwujudkan dan ditampakkan di dunia ini. Anggota-anggota gereja pasti dihitung sebagai warga Kerajaan Allah selama mereka bertekuk lutut di hadapan Raja mereka dan memuliakan Dia dalam kehidupan mereka. Tuhan akan mewujudkan kepenuhan Kerajaan-Nya melalui pekabaran Injil dan pelayanan firman-Nya. Firman itu dipercayakan kepada gereja. Artinya, gereja memainkan peran yang krusial dalam hal mewujudkan Kerajaan Allah. Jemaat sebagai perkumpulan orang-orang yang dipanggil Tuhan merupakan ”demonstrasi Kerajaan Allah” di dunia. Gereja menunjukkan jalan ke Kerajaan Damai yang sudah kelihatan di dunia ini.
Orientasi:
Agustinus berpendapat bahwa gereja sebagai persekutuan orang-orang kudus dapat disamakan de ngan Kerajaan Allah (di dalam bukunya De civitate Dei, Agustinus mempertentangkan civitas Dei (kerajaan Allah) dan civitas terena (kerajaan secara duniawi). Yang terakhir adalah vanitas (kesia-siaan), hawa nafsu, dan kecongkakan. Kerajaan Allah yang diwujudkan di dalam pemerintahan negara membawa kebaikan, kesejahteraan, keadilan yang bersifat supra, baik di gereja dan masyarakat. Civitas terena membawa kebalikannya.
Gereja Katolik Roma mengajarkan bahwa Kerajaan Allah dapat disamakan dengan gereja menurut institusinya (pemerintahan hierarkis oleh Paus dan para uskup). Vaticanum I (1869/70) masih membahas gereja dengan kata-kata masyarakat negara. Gereja dianggap sebagai masyarakat yang sempurna. Vaticanum II (1962-65) melepaskan pandangan ini dan mulai merumuskan sifat gereja yang tidak lagi sebagai institut, melainkan sebagai komunitas (communio). Gereja adalah bangsa Allah (lih. Alister Mc Grath, Christian Theology, an introduction, hlm. 429 dan seterusnya).
J.A. Heyns, seorang teolog reformasi di Afrika Selatan, merumuskan Kerajaan sebagai ”kemenangan kehendak Allah”. Kerajaan ini diperlihatkan dalam diri orang-orang yang taat kepada kehendak Allah (Heyns hlm. 6).
Kaum Modern berpendapat bahwa Kerajaan Allah tidak sama dengan gereja, melainkan merupakan tujuan gereja di dunia ini. Menurut ajaran ini, gereja bertugas untuk merealisasikan keadilan di bidang sosial, ekonomi, dan lingkungan pada seluruh dunia ini. Tugas inti gereja bukan terdapat dalam hal kelepasan dari dosa, melainkan kelepasan dari semua struktur yang menindas hak orang dan mengikat mereka pada sebuah situasi yang tidak adil. Kerajaan Allah (yang berbentuk damai duniawi, keadilan, kesehatan, dan sebagainya) dikerjakan oleh usaha gereja (dalam liberation theology, black theology, feministic theology; mis. Leonardo Boff, dari Amerika Selatan, dengan bukunya Jesus Christ Liberator).
Gereja dalam Perjanjian Baru hidup dalam terang Kerajaan Allah yang sudah datang dalam Kristus, yang sedang datang menjelang hari kedatangan-Nya yang kedua, dan yang pada hari itu akan digenapkan secara sempurna.
1. Pengumpulan dan kumpulan (Yoh. 10:1-5)
Pengumpulan –congregatio
Dari data-data Alkitab dapat kita ketahui bahwa gereja adalah perkumpulan orang, yang dikumpulkan oleh Tuhan sendiri. Katekismus Heidelberg Mg. Ke21 p/j 54 merumuskannya sebagai berikut, ”Anak Allah mengumpulkan bagi diri-Nya sendiri satu jemaat”. Dalam dogmatik dipakai kata Latin congregatio (dari ”grex”=kawanan (domba) Yohanes 10 berkata mengenai kawanan ini ”Gembala memanggil domba-dombanya”. Jadi, Tuhanlah yang mengumpulkan orang-orang menjadi anggota gereja-Nya. Anggota-anggota gereja itu berada dalam posisi ”menerima saja” segala karunia dan janji Tuhan. Jelaslah, Tuhan Allah adalah sebagai penggerak pertama (inisiator) dalam hal mengumpulkan gereja. Dengan demikian pengumpulan jemaat sangat berbeda dengan segala aktivitas pengumpulan lain di dunia ini. Karena Tuhan Allah yang bergerak dari surga untuk mengumpulkan bangsa-Nya. Untuk itu Dia memakai firman-Nya dan Roh-Nya. Dengan firman, Dia memanggil dan dengan Roh, Dia mengerjakan respons dalam hati orang-orang untuk menerima firman Allah yang pusat intinya adalah Yesus Kristus.
Kumpulan–coetus
Tuhan Yesus Kristus sebagai gembala memanggil domba-dombanya. Tetapi, domba-domba mendengar suara-Nya dan datang kepada Dia (Yoh. 10:3). Dari perspektif manusia yang mendengar jelas bahwa hal perkumpulan gereja adalah hasil kegiatan manusia juga. Merekalah yang datang dan membiarkan diri untuk dikumpulkan. Dalam ilmu dogmatik, ada istilah khusus yang dipakai untuk mengungkapkan hal ini, yaitu dalam bahasa Latin coetus, kumpulan, (dari kata kerja ”co-ir”=datang bersama-sama untuk berkumpul). Aktivitas manusia untuk mendengar suara Tuhan sebenarnya dikerjakan oleh Roh.
Tetapi, walau Roh tetap mendorong orang untuk mendengar sampai bertobat, pada akhirnya manusia sendiri yang bergerak, sebagaimana diungkapkan dalam Pasal Ajaran Dordrecht, ”Lalu kehendak yang telah diperbarui itu tidak hanya digerakkan dan didorong Allah, tetapi setelah digerakkan Allah, maka kehendak itu sendiri juga bergerak” (PAD III/IV.12).
Diterapkan pada konsep gereja, hal ini berarti: Tuhan (Anak Allah) mengumpulkan gereja oleh Roh-Nya dan oleh firman-Nya. Oleh karya itu ada orang-orang yang datang (dan ada yang tidak datang). Anggota-anggota jemaat adalah orang-orang yang dipanggil. Tetapi akta kedatangan mereka bersifat ketaatan manusia itu untuk menyerahkan dirinya digabungkan dengan jemaat Kristus. Orang-orang percaya menggabungkan diri pada suatu jemaat tertentu ketika Tuhan memanggil mereka.
2. Persekutuan orang kudus
Orang-orang yang dikumpulkan oleh Kristus dalam jemaat-Nya, tidak semata-mata terhubung dengan Tuhan (vertikal), tetapi mereka digabungkan satu dengan yang lain dalam suatu relasi antarmanusia (horisontal). Mereka hidup bagaikan anggota-anggota tubuh yang sama, yaitu jemaat Tuhan. Secara singkat, Unio (kesatuan) dengan Tuhan menghasilkan kommunio (persekutuan) dengan anggota-anggota lain. Katekismus Heidelberg melukiskan persekutuan ini dengan kata-kata ”... semua orang beriman dan tiap-tiap orang beriman perseorangan, sebagai anggota Tuhan Kristus, mendapat bagian dalam Dia dan dalam semua harta-Nya serta semua karunia-Nya.” Dan, ”tiap orang percaya harus menyadari kewajibannya untuk dengan sukarela dan gembira mempergunakan segala karunia yang didapatnya demi kebaikan dan keselamatan anggota lain” (KH Mg. Ke-21 p/j 55).
Pengakuan Iman Rasuli (yang sering dibaca dalam ibadat-ibadat gereja di seluruh dunia) mempunyai tiga bagian tertentu: Pengakuan mengenai Allah Bapa (1), mengenai Allah Anak (2), dan mengenai Allah Roh Kudus (3). Dalam bagian ke-3 terdapat pengakuan mengenai gereja. Posisi ini menjelaskan bahwa gereja dianggap sebagai karya Roh Kudus.
Mengenai ”Roh Kudus” orang Kristen mengaku: Aku percaya kepada
Roh Kudus (sama seperti ”Aku percaya kepada Allah Bapa dan kepada Yesus Kristus”). Menurut naskah yang terdapat dalam buku Enam Belas Dokumen Dasar Calvinisme (Jakarta, 2000), pengakuan mengenai gereja berbunyi agak berbeda dan tidak mengulangi kata kepada, yaitu ”Aku percaya adanya gereja”. Sebenarnya dalam naskah aslinya (bahasa Yunani) tidak tertulis ”aku percaya adanya”. Naskah asli itu berbunyi ”Aku percaya kepada Roh Kudus, gereja yang kudus dan am”. Jadi: Kata-kata ”aku percaya kepada” tidak diulangi dalam pengakuan mengenai gereja. Tidak ada keberatan untuk menambah kata ’adanya’ seperti terjemahan Thomas van den End dalam buku tersebut, ”aku percaya adanya” Yang penting kita menyadari bahwa kata ”kepada” dalam naskah asli tidak diulangi. Dan hal itu mempunyai alasan yang penting, yang menentukan ajaran gereja.
Gereja Katolik Roma memakai naskah yang berbunyi ”Aku percaya kepada gereja” (sama seperti ”aku percaya kepada Roh Kudus”). Dalam literatur Gereja Katolik Roma, dapat dibaca hal yang sama, ”Aku percaya kepada gereja”, misalnya dalam Katekismus Katolik Roma. Ada teolog-teolog Katolik Roma yang berpandangan bahwa anggota-anggota gereja akan diselamatkan berdasarkan kepercayaan mereka kepada gereja. Mereka beriman kepada gereja. Oleh karena mengaku ”iman kepada gereja”, anggota-anggota gereja Katolik Roma mengklaim penyelamatan mereka. Gereja dianggap sebagai institusi yang membawa anggota-anggotanya ke surga. Ada teolog-teolog Katolik Roma lain yang setuju bahwa kata kepada sebenarnya tidak ada dan tidak tepat. Naskah dalam bahasa Latin berbunyi: Credo ecclesiam (aku percaya gereja). Ada yang menjelaskan ungkapan itu (tanpa kepada) begini: Aku percaya bahwa gereja kudus dan katolik.
Tradisi Reformasi (khususnya Calvin) memberi tekanan yang lebih lagi atas hal ini. Ungkapan ”kepada gereja” dianggap haram dalam tradisi Protestan karena Reformasi tidak mengakui gereja sebagai sesuatu yang ilahi, yang sama tingkatannya dengan Allah sendiri. Tentu saja, Reformasi selalu menyadari bahwa gereja bukan hal manusiawi, melainkan hal Tuhan. Gereja adalah milikNya. Tidak ada keberatan untuk menambahkan kata ”adanya”. Dalam catatan Institutio Yohanes Calvin (Kitab IV, bab IV. 12, hal 183, Jakarta 1980) Thomas van den End mencatat pada naskah ”Aku percaya gereja”: ”Pisteuo Ekklesian”, ”Credo Ecclesiam”, ”I believe the Church”, di sini berarti: ”Aku percaya bahwa gereja adalah lembaga keselamatan yang didirikan oleh Allah”.
Orientasi:
Katolik Roma:
Pernah kami bertemu dengan seorang misionaris Katolik Roma yang berpendapat bahwa selama anggota-anggota gereja percaya kepada gereja (mengharap keselamatan mereka dari usaha pastor-pastor dan imamimam yang mengerjakan keselamatan di dalam gereja), maka tidak penting lagi kalau anggota-anggota masih hidup sesuai dengan adat-istiadat mereka yang lama. Mereka tetap akan diselamatkan karena mereka percaya kepada gereja.
Niftrik Boland berkeberatan untuk menambahkan dalam pasal 9 PIGB ”bahwa ada” gereja, atau ”adanya” gereja. Menurut dia, ”Bahayanya ialah, bahwa pasal pengakuan iman ini kita anggap hanya ada sangkut-pautnya dengan ’suatu’ gereja yang ’tidak kelihatan’, sebagai suatu pandangan yang indah, suatu pengertian yang abstrak.” (hlm. 357). Walaupun bahaya tersebut betul ada, salah paham ini tidak akan dikurangi bila tambahan yang diusulkan, dipotong. Tepat sekali Niftrik Boland yang menekankan bahwa kita patut mengingat bahwa dalam pengakuan ini kita berbicara mengenai gereja yang berhubungan dengan keselamatan kita. Bukan gereja ideal, melainkan gereja seperti kita mengakuinya dalam KH: ”bahwa saya adalah anggota-yang-hidup dari jemaat itu” (KH Mg 21 p/j 54).
Karl Barth menjelaskan pengakuan ”credo ecclesiam” seperti berikut:
”Saya percaya bahwa di sini (di dalam gereja), di tempat ini, di dalam perkumpulan ini, karya Roh Kudus ada secara pasti” (menurut Alister Mc Grath, Christian Theology, an introduction, hlm 427).
Pengakuan Iman Rasuli mengungkapkan dua sifat gereja, yaitu adanya gereja yang ”kudus” dan ”am”. Pengakuan Iman Nicea-Konstantinopel memberikan empat sifat tertentu kepada gereja, dengan pengakuannya ”Aku percaya satu gereja yang kudus dan am dan rasuli.” Melalui abad-abad, gereja dalam sejarahnya dan teologinya mengikuti pengakuan itu dengan menekankan dan membahas keempat sifat ini, yaitu satunya (1), kudusnya (2), umumnya (3) dan rasulinya (4) gereja. Di bawah ini akan kita selidiki keempat sifat (yang biasanya juga disebut atribut) gereja. Dalam pembahasan di bawah ini kami mengikuti J.A. Heyns, yang menekankan bahwa setiap atribut mempunyai tiga aspek yang menerangkan artinya bagi gereja. Menurut dia setiap atribut adalah pemberian (a), pesanan (b), dan perjanjian (c).
Aku percaya adanya satu gereja (una)
a. Kesatuan sebagai pemberian kepada gereja Gereja adalah satu menurut wujudnya. Gereja adalah tubuh Kristus satusatunya (Ef. 4:15). Pengungkapan bahwa gereja patut menjadi satu sebenarnya bertentangan dengan wujud gereja. Karena tubuh Kristus tidak pernah terbagi. Kristus hanya mempunyai satu tubuh. Berdasarkan hal itu, gereja bertahan mengaku: Tubuh-Nya ialah satu! Dengan dan di dalam Kristus, kesatuan itu diberikan kepada gereja. Hanya dengan mata yang beriman kita dapat melihat dan memuja kebenaran ini. Bacalah Yohanes 17:21-22; Kisah Para Rasul 2:41-47; 1 Korintus 12:4-27; Efesus 4:1-6.
Dengan mata lahiriah terlihat realitas yang berbeda, yang tidak sesuai dengan pengakuan tadi. Karena tidak ada satu gereja, melainkan ada banyak gereja dan denominasi gereja. Semua gereja itu berbeda-beda. Dengan mudah dapat dikatakan, apa yang kita lihat sama sekali tidak sesuai dengan apa yang kita akui. Artinya, kita mengakui kesatuan gereja dalam Kristus yang patut diusahakan gereja. Kesatuan gereja sudah rusak dan sudah menjadi hal untuk dikejar hingga direstorasi. Dengan kata lain, kesatuan gereja sudah menjadi satu hal yang tidak ada (walaupun ada dalam Kristus) dan yang harus dicari melalui hasil usaha kita, yang bertanggung jawab.
Kalau kita berkata demikian, maka jelaslah bahwa pengakuan kita mempunyai titik tolak dari apa yang ada di depan mata kita, dan tidak dari apa yang kita percaya. Jalan pikiran ini menimbulkan ajaran yang salah mengenai gereja. Perhatikan: ”Walaupun saya melihat gereja-gereja yang berbeda-beda, namun saya percaya satu gereja saja yang dapat diusahakan manusia”. Rumusan ini tidak sesuai dengan ajaran firman Tuhan mengenai kesatuan gereja.
Syukurlah, Pengakuan Iman Rasuli mengungkapkan satu realitas yang jauh lebih bagus daripada perumusan tadi, bahwa kesa tuan gereja hanya berada dalam kepercayaan orang. Pengakuan ini menekankan: gereja adalah satu (walaupun saya tidak melihat kesatuan itu)! Kenapa gereja adalah satu? Karena kesatuan adalah hal yang diberikan Tuhan kepada gereja-Nya. Karena gereja yang mengakui Kristus sebagai Kepala, adalah tubuh Tuhan yang tidak mungkin terbagi.
Orientasi:
Ajaran Gereja Katolik Roma mengenai kesatuan gereja didasarkan pada alasan-alasan yang sama. Tetapi, ada satu hal yang ditambah, dan yang ditolak oleh kaum Reformasi. Kesatuan gereja bagi mereka terjamin dalam pengganti Allah menjamin kesatuan gereja di dalam Yesus Kristus.
Petrus, yaitu Sang Paus di Roma. Paus menjamin kesatuan gereja. Siapa yang mengakui otoritas Paus sebagai pengganti Petrus, menikmati tergolongnya ia dalam satu-satunya gereja Kristus, sesuai dengan Katekismus Katolik Roma 816: ”Itulah satu-satunya Gereja Kristus ... Sesudah kebangkitan-Nya, Penebus kita menyerahkan Gereja kepada Petrus untuk digembalakan. Dia memercayakannya kepada Petrus dan para Rasul lainnya untuk diperluaskan dan dibimbing... Gereja itu, yang di dunia ini disusun dan diatur sebagai serikat, berada dalam Gereja Katolik, yang dipimpin oleh pengganti Petrus dan para Uskup dalam persekutuan dengannya.”
Dewan Gereja-gereja se-Dunia (WCC = World Council of Churches) tidak dapat menyangkal adanya banyak gereja. Dewan ini berusaha untuk mencapai keesaan gereja dengan memperkecil (meminimalisasikan) pengakuan dasarnya. WCC menerima semua gereja yang ”confess the Lord Jesus Christ as God and Savior according to the scriptures and therefore seek to fulfill together their common calling to the glory of the one God, Father, Son and Holy Spirit”. Dalam bahasa Indonesia, semua gereja yang ”mengaku Tuhan Yesus Kristus sebagai Allah dan Penebus menurut Kitab-kitab Suci, dan yang oleh karena itu berusaha memenuhi panggilan mereka bersama-sama demi kemuliaan Allah yang Esa, Bapa, Anak, dan Roh Kudus”. Pengakuan ini bagus dan pada hakikatnya tidak salah. Masalahnya adalah dalam hal bahwa hanya pengakuan pendek ini saja yang menjadi dasar DGD. Mengapa tidak mengakui satu pengakuan semacam Pengakuan Iman Rasuli, yang walaupun pendek, berisi rumusan iman yang cukup kuat dan lebih luas? Karena ada beberapa gereja yang mempunyai masalah dengan pengakuan itu, dan yang termasuk dalam keanggotaan DGD. Itu sebabnya DGD merumuskan pengakuan yang pendek sekali, supaya pintu terbuka bagi banyak gereja yang berbeda-beda ajarannya. Demikianlah DGD dapat merayakan kesatuan gereja-gereja (sesuai dengan tujuannya yang utama ”… to call one another to visible unity in one faith and in one Eucharistic fellowship, expressed in worship and common life in Christ, through witness and service to the world, and to advance towards that unity in order that the world may believe”) yang hanya menampakkan kesatuan yang semu.
Teologi modern mencari kesatuan gereja dalam konsep pluralisme gereja (diperluas dengan konsep pluralisme agama, lih. Bab 1). Gereja tidak dipanggil untuk menjadi satu dalam kebenaran. Tidak mungkin, karena menurut teologi ini, tidak ada satu kebenaran. Ada beranekaragam kebenaran. Kesatuan gereja dicapai, sesuai dengan teologi modern, dalam persepakatan gereja untuk memerangi segala ketidakadilan dan kemiskinan di dunia ini.
b. Kesatuan gereja sebagai pesan Kristus
Walaupun Kristus menganugerahkan kesatuan kepada gereja-Nya, Dia juga tahu kelemahan para muridnya untuk mempertahankan kesatuan itu. Itu sebabnya Dia memanggil gereja-Nya untuk mengupayakan dan membela kesatuan ini. Sebenarnya begini: Gereja dipanggil untuk memelihara kesatuan yang sudah diberikan Allah kepadanya. Seolah-olah Yesus berseru: ”Peliharalah kesatuan sebagai harta yang telah dipertanggungjawabkan kepadamu!” Dalam Efesus 4:3, Paulus memakai kata ”memelihara”itu, ”… berusahalah memelihara kesatuan Roh”.
Bagaimana kita harus memelihara kesatuan gereja secara praktis? Sudah jelas bahwa mereka yang berbicara mengenai kewajiban gereja-gereja untuk mencari kesatuan, sebenarnya menyangkal kesatuan gereja sebagai atribut gereja (”atribut adalah hal yang menyifatkan sesuatu sebagai elemen, di samping elemen-elemen lain”). Demikianlah kesatuan adalah elemen mutlak gereja. Gereja yang betul-betul menundukkan diri kepada Kepalanya, yaitu Tuhan, sudah satu dalam iman. Kesatuan yang sudah ada tidak perlu dicari lagi. Gereja dikumpulkan ke dalam kesatuan yang sudah ada. Kesatuan yang sudah ada itu harus kita pelihara dan kita perlihatkan.
Untuk melihat kesatuan gereja, marilah mengingat titik awal kehidupan Anda. Pada waktu kita lahir, gereja sudah ada. Adanya gereja itu tidak tergantung dari kita yang memutuskan untuk menjadikan gereja. Gereja sudah ada sebelumnya. Tuhan hanya memanggil kita untuk masuk gereja yang sudah ada itu. Dia memanggil kita untuk menjadi anggota-anggota tubuhNya. Atau, sebagai anak-anak yang lahir di dalam gereja, kita sudah diangkat Tuhan sebagai anggota tubuh-Nya sebelum kita dapat menyadari hal itu, atau siap untuk memutuskan hal itu secara mandiri. Itulah gereja yang berjalan melalui abad-abad dunia, menuju masa depan, sesuai dengan rencana Tuhan. Dalam proses kesejarahan ini, selalu ada kemajuan!
”Tetapi Aku juga mempunyai domba-domba lain yang bukan dari kandang ini; domba-domba itu harus Kutuntun juga dan mereka akan mendengarkan suara-Ku dan mereka akan menjadi satu kawanan dengan satu gembala” (Yoh. 10:16). Kesatuan itu dirindukan dan didoakan Yesus, ”supaya mereka semua menjadi satu, sama seperti Engkau, ya Bapa, di dalam Aku dan Aku di dalam Engkau, agar mereka juga di dalam Kita, supaya dunia percaya bahwa Engkaulah yang telah mengutus Aku” (Yoh. 17:21). Pekerjaan Tuhan ini (menuju gereja yang dibayangkan-Nya) akan merayakan penyelesaiannya pada hari Perkawinan Anak domba (Why. 19:6-9). Pada hari perkawinan itu, kesatuan gereja yang sempurna dan benar itu akan kelihatan dalam Pengantin Perempuan yang paling bagus. Siapakah Pengantin Perempuan itu? Itu adalah gereja yang dikumpulkan Kristus sendiri dari segala tempat dan segala waktu, melalui garis-garis sejarah, sesuai dengan rencana Allah.
Sesuai dengan Alkitab, rahasia kesatuan gereja adalah kesatuannya dalam satu kepercayaan yang benar, ”satu Tuhan, satu iman, satu baptisan” (Ef. 4:5). Di luar Kristus tidak ada kesatuan. Di luar Kristus sebagaimana Dia dinyatakan dalam Kitab-kitab Suci. Kesatuan hanya berdasarkan pada kesatuan ajaran mengenai Kristus dan pada semua yang diajarkan Kristus (Mat. 28). Dengan kata lain, wajarlah dan patutlah kita memelihara kesatuan gereja dengan menekankan ”ajaran yang sehat”, ”bersungguh-sungguh dalam pengajaran” (sesuai dengan kata-kata Paulus), suatu ajaran yang sesuai dengan Alkitab. c. Kesatuan gereja sebagai perjanjian
Tuhan Yesus mendoakan kesatuan gereja dari Bapa-Nya (Yoh. 17:20-21). Pada akhirnya Allah sendirilah yang akan mencapai tujuan dengan gereja-Nya, kesatuan yang sempurna. Kebenarannya itu akan nyata di bumi baru, di dalam Yerusalem yang baru. Kota itu akan penuh dengan keanekaragaman bangsa dan kebudayaan (”Bangsa-bangsa akan berjalan di dalam cahayanya dan rajaraja di bumi membawa kekayaan mereka kepadanya” [Why. 21:24]), tetapi mereka merayakan kesatuan mereka dalam satu Allah yang Esa Bapa dan Anak dan Roh. Mereka semua mandi dalam terang yang sama, ”Kota itu tidak memerlukan matahari dan bulan untuk menyinarinya, sebab kemuliaan Allah meneranginya dan Anak Domba itu adalah lampunya” (Why. 21:23).
Kesatuan Gereja adalah anugerah, perintah dan perjanjian dari Tuhan.
Orientasi:
Agustinus (pada abad ke-4) berpendapat bahwa gereja tidak dapat dibagi, walaupun ada anggota-anggota yang tidak menurut ajaran yang baik. Agustinus menunjukkan pada Matius 13:24-31: Gandum bertumbuh bersama dengan lalang. Tidak baik untuk memisahkan lalang dari gandum sebelum waktu menuai datang. Jadi, dalam gereja, terdapat baik orang percaya maupun orang yang tidak percaya atau orang yang memeluk suatu ajaran palsu.
Cyprianus dari Khartago (abad ke-3) membandingkan kesatuan gereja dengan jubah Tuhan yang ” tidak ada jahitan, ditenun dari atas ke bawah” (Yoh. 19:23). Kesatuan ini sudah mendapatkan dasarnya yang teguh di dalam Petrus (”… di atas batu karang ini Aku akan mendirikan jemaat-Ku” [Mat. 16:18]). Siapa yang merusak kesatuan ini tidak akan menerima keselamatan. Karena ”di luar satu gereja ini, tidak ada keselamatan” (dari Cyprianus terdapat adagium ini: ”… extra ecclesiam nulla salus”).
Kaum Donatis (pengikut-pengikut Donatus, abad ke-4) berpendapat bahwa seseorang yang sudah murtad dan kehilangan iman, tidak dapat diterima kembali ke dalam pangkuan gereja, juga tidak jika orang itu bertobat. Orang itu kehilangan kemungkinan untuk diselamatkan lagi. Orang-orang Donatis mendasarkan pendapat ini atas ajaran Cyprianus, tetapi mereka lebih radikal daripada Cyprianus. Sebab ia sendiri masih bersedia untuk menerima kembali anggota-anggota yang karena penganiayaan menjauhkan diri dari gereja; hanya mereka tidak boleh diangkat lagi sebagai pejabat gereja.
Gereja Katolik Roma menggunakan ajaran Cyprianus untuk menyingkirkan gerakan Reformasi pada abad ke-16 sebagai hal yang tidak sah, karena gereja tidak dapat dibagi (lih. di bawah: 7.1).
Pada umumnya dapat dikatakan bahwa ada empat cara untuk mendekati masalah kesatuan gereja:
1. Ada satu gereja saja yang betul- betul gereja yang benar. Semua gereja lain adalah gereja palsu. Gereja Katolik Roma mempertahankan keyakinan ini sampai Vaticanum II.
2. Ada perbedaan antara gereja ideal dan gereja yang dapat kita lihat.
3. Perbedaan-perbedaan antara gereja adalah hal yang sementara saja yang akan kehilangan pada akhir zaman.
4. Semua gereja adalah cabang-cabang dari pohon yang sama dan satu, yaitu gereja purba.
Teologi Reformasi sebenarnya tidak memilih satu dari keempat pendekatan tadi. Reformasi, dalam ajarannya mengenai gereja, mempertahankan kesatuan gereja sebagai fakta, sebagai pemberian dalam Kristus. Ada satu Kristus saja dan Kristus adalah satu. Pengakuan Iman Reformasi (1561) mengungkapkannya begini: ”… tidak seorang pun bagaimanapun tingkat dan kualitasnya patut mengasingkan diri untuk berdiri sendiri dengan seenaknya. Sebaliknya, mereka semua harus bergabung dengan perkumpulan ini dan bersatu dengannya, seraya memelihara kesatuan Gereja” (ps. 28). Pendapat ini mendorong Reformasi untuk menunjukkan hal-hal yang tidak baik dalam gereja-gereja lain, tetapi hanya dalam rangka memelihara kesatuan gereja.
Banyaknya gereja biasanya disebabkan oleh perselisihan pendapat di antara orang-orang Kristen. Hal ini tidak diinginkan oleh Tuhan. Hanya jika ada kesediaan orang-orang yang mengakui kesalahan dan kelemahan mereka dalam hal ini, gereja dapat berhasil menemukan kehendak Tuhan atas kesatuan gereja.
Memang, tidak bermanfaat untuk menyangkal perbedaan-perbedaan di antara gereja-gereja. Lebih baik untuk meneliti asal munculnya perbedaan perbedaan ini. Seandainya perbedaan-perbedaan ini disebabkan oleh kebiasaan atau kebudayaan, maka perbedaan gereja itu dapat diterima. Jika perbedaanperbedaan itu disebabkan oleh penafsiran Alkitab yang berbeda-beda, gereja harus mempercakapkan hal ini. Jelaslah, segala usaha untuk mempersatukan gereja akan gagal selama perbedaan-perbedaan yang disebabkan oleh perbedaan ajaran tidak dibahas dan ditiadakan. Segala perbincangan antargereja untuk mencapai kesatuan hanya benar dan berhasil, apabila firman Tuhan diterima semua pihak sebagai norma normans (lih. Bab 1), yaitu asas bersama-sama untuk merayakan kesatuan iman dan menentukan isinya.
Jawaban yang sama sekali tidak dapat kami terima adalah aksi untuk membentuk gereja baru. Kesatuan seperti itu hanya dibuat-buat dan dipaksakan. Selama masih ada gereja-gereja yang bersedia menundukkan diri di bawah firman Tuhan, kita patut mengupayakan dan mendorong penggabungan gereja-gereja itu. Kelemahan-kelemahan gereja untuk merayakan kesatuannya hanya dapat diatasi dari dalam gereja.
Melihat segala sesuatu yang buruk pada gereja-gereja pada umumnya, banyak orang berkeberatan memakai kata ”kudus” untuk menyifatkan gereja, sebagaimana yang ada dalam Pengakuan Iman Rasuli. Sama dengan atributnya ”satu”, atribut ”kudus” juga seolah-olah jauh dari realitas gereja yang kita lihat di depan mata kita. Bagaimana gereja dapat diakui sebagai sesuatu yang ”kudus”? Ternyata ada banyak kelemahan dan keburukan. Banyak anggota gereja mempertahankan dosa-dosa yang nyata dalam kehidupan mereka. Apakah kata ”kudus” itu bukan sesuatu yang terlalu jauh dari kebenaran yang nyata itu? Kata yang terlalu indah, terlalu besar bagi gereja di dunia ini? Ada usulan untuk mengganti kata itu dengan ”suci”. Karena, menurut gagasan itu, kata ”suci” lebih cocok dengan manusia. Kata ”kudus” hanya patut dikhususkan untuk Allah.
Usulan tadi kembali bertolak dari keyakinan bahwa kita sebagai manusia harus berusaha hingga gereja menjadi kudus. Tetapi, usaha itu sama sekali tidak mungkin dan pasti akan gagal. Karena tidak ada satu orang pun yang tidak berdosa, juga tidak di dalam gereja. Karena itu sama sekali tidak mungkin bagi manusia yang berusaha agar gereja menjadi kudus. Sama seperti dengan kesatuan gereja, kita mengaku bahwa Tuhan sendiri yang mengaruniakan kekudusan kepada gereja-Nya. Kekudusan adalah karunia dari Allah bagi gerejaNya. Hal ini dapat dijelaskan (dan dibenarkan) jika kita meneliti metaforametafora yang dipakai Alkitab untuk menyifatkan gereja 1. Gereja adalah bangsa Allah Bapa yang kudus; 2. Gereja adalah tubuh Allah Anak yang menguduskan gereja oleh darah-Nya dan 3. Gereja adalah Bait Roh Kudus.
Keterkaitannya dengan Allah Tritunggal, membuat gereja adalah kudus. Memang, memandang lahiriah gereja, maka kita mundur dan sering terkejut. Tetapi, Allah membuat kita melihat dengan mata yang berbeda. Berdasarkan Firman-Nya kita boleh memuji Dia dan mengaku bahwa gereja sebagai entitas kudus. Kita percaya gereja yang kudus.
Dalam Perjanjian Lama kata ”kudus” sering dipakai untuk Allah (bhs. Ibrani kadosh). Allah yang kadosh berarti Dia yang ”sangat berbeda” (Karl Barth), bersih, terpisah dengan hal-hal duniawi, dikhususkan, tidak bercacat, tidak bercela, murni, tidak bercampur. Semua yang menjadi milik Allah ini dikenakan dengan kekudusan Allah dan tidak mencemarkan-Nya melainkan menjadi kudus (imam-imam; benda-benda dalam Bait Suci; para anggota gereja yang juga disebut persekutuan orang kudus). Pada waktu Perjanjian Lama, bangsa Israel disebut bangsa yang kudus.
Contoh ini menjelaskan bahwa ”kekudusan” tidak berarti bahwa bangsa itu tidak berdosa lagi. Banyak sekali peristiwa yang membuktikan kebalikannya. Dalam bangsa yang kudus itu dosa-dosa merajalela, ada kalanya seluruh bangsa itu berdosa sebagai bangsa. Namun, bangsa ini adalah kudus di mata Tuhan. Karena ”kudus” tidak berarti bahwa tidak ada dosa, melainkan makna dasar kata ini di dalam Alkitab adalah diasingkan, dikhususkan (untuk Tuhan). Demikianlah bangsa Israel yang kudus berarti: Satu bangsa yang dikhususkan/diasingkan dari bangsa-bangsa lain. Tuhan Allah juga menekankan posisi yang khusus ini dengan tanda sunat. Dan pada waktu pengikatan perjanjian di Gunung Sinai, Allah berkata, ”Kamu akan menjadi bagi-Ku kerajaan imam dan bangsa yang kudus” (Kel. 19:6).
Dalam Perjanjian Baru, orang-orang percaya disebut ”kudus”. Paulus, dalam Roma 1:7 menulis: ”Kepada kamu sekalian yang tinggal di Roma, yang dikasihi Allah, yang dipanggil dan dijadikan orang-orang kudus”. Di sini juga nyata bahwa anggota-anggota jemaat di Roma tidak dapat disifatkan sebagai ”orang-orang yang tidak berdosa”. Paulus dalam suratnya memberikan teguran dan nasihat yang cukup keras kepada mereka, yang disebutnya orang-orang kudus juga!
Petrus memuji status jemaat yang berdosa itu dengan kata-kata ”Tetapi kamulah bangsa yang terpilih, imamat yang rajani, bangsa yang kudus, umat Allah sendiri, supaya kamu memberitakan perbuatan-perbuatan yang besar dari Dia, yang telah memanggil kamu keluar dari kegelapan kepada terangNya yang ajaib” (1Ptr.2:9). Karena statusnya yang indah itu, bangsa itu juga harus hidup sesuai dengan statusnya, ”sebab ada tertulis: Kuduslah kamu, sebab Aku kudus” (1Ptr. 1:16). Kekudusan jemaat merupakan karunia Allah kepada jemaat-Nya. Gereja memang masih ada di dunia, tetapi bukan dari dunia, karena Kepala gereja (Yesus) bukan dari dunia (Yoh.17:1417). Dalam kehidupannya sebagai bangsa kudus (khusus, terasing), gereja memperlihatkan statusnya (kekudusannya) yang diberikan Allah kepadanya. Supaya dunia melihat dan merasa terpanggil juga untuk menggabungkan dirinya kepada gereja. Itu hanya dapat terjadi jika gereja juga berusaha untuk merefleksikan kekudusannya dalam Allah di dalam dunia, dengan perbuatanperbuatan yang baik dan dengan ”memberitakan perbuatan-perbuatan yang besar dari Dia”, (1Ptr.2:9). Gereja terpanggil untuk hidup ”kudus” dalam arti yang lain, yaitu suci, saleh, dan baik (Im. 11:44-45; 1Ptr. 2:9,10) dan untuk melawan segala dosa dan bertobat jika dosa-dosa itu ada. Anggota-anggota gereja dikuduskan oleh Tuhan dalam kebenaran (Yoh.17:19). Terjemahan Alkitab Bahasa Indonesia Masa Kini (BIMK) mengungkapkan doa Yesus ini secara bagus dengan ”Aku menyerahkan diri sebagai milik khusus Bapa, supaya mereka pun menjadi milik khusus Bapa melalui kebenaran”. Kristus sendiri, oleh Roh-Nya berusaha supaya gereja menjadi gereja tanpa cacat atau kerut atau yang serupa itu, supaya jemaat kudus dan tidak bercela (Ef. 5:27) dan pada akhirnya akan berdiri di hadapan-Nya ”bagaikan pengantin perempuan yang berdandan untuk suaminya” (Why. 21:2), siap untuk pernikahan. ”Kepadanya dikaruniakan supaya memakai kain lenan halus yang berkilau-kilauan dan putih bersih! (Lenan halus itu adalah perbuatan-perbuatan yang benar dari orang-orang kudus.)” (Why. 19:8). Penting sekali untuk meneliti naskah ini dalam bahasa aslinya, Yunani. Hasilnya memperlihatkan bahwa ”lenan halus” itu bukan perbuatan-perbuatan yang benar dari orang-orang kudus, melainkan perbuatan-perbuatan orang-orang kudus yang dibenarkan. Di dalam pengistilahan itu dinyatakan rahasia kekudusan gereja. Kristus sebagai pengantin laki-laki telah menumpahkan darah-Nya untuk menyucikan pengantin perempuan-Nya dari segala dosa-dosa. Oleh karena itu jemaat, akan berdiri di hadapan-Nya dan di hadapan Bapa-Nya bagaikan pengantin perempuan yang paling bersih dan amat kudus.
Orientasi:
Agustinus sudah mengajarkan hal yang sama seperti di atas: Kekudusan gereja tidak didapati dalam anggota-anggota gereja sendiri. Anggota-anggota ini semua kena dosa turunan. Tuhan sendirilah yang menguduskan gereja-Nya.
Gereja Katolik Roma mengajarkan bahwa kekudusan gereja menyokong kekudusan anggota-anggota gereja. Melihat banyak orang dalam gereja masih berdosa, gereja ini mendorong anggota-anggotanya untuk bergumul dan mencoba mencapai kekudusannya. Itu sebabnya dalam gereja ini terdapat segala macam cara untuk menjadi kudus. Misalnya dengan keputusan pribadi untuk hidup selibat (tidak menikah, melainkan menyerahkan hidup, membaktikan hidup yang murni dan total kepada Tuhan). Misalnya Mother Theresa (Bunda Teresa dari Kolkata) menjadi orang kudus oleh penetapan Paus Yohanes Paulus II setelah kematiannya pada 1997. Siapakah yang dapat meraih gelar orang kudus dalam gereja Katolik Roma? Seseorang yang jumlah perbuatannya yang baik (amalannya) selama hidupnya melebihi jumlah dosa.
Gereja Katolik Roma mengajarkan adanya perbedaan antara gereja yang kudus secara objektif (gereja yang diatur menurut hierarki) dan anggota-anggota gereja yang masih berdosa. Institusi atau lembaga gereja tetap kudus, selama gereja ini diperintah secara hierarkis. Ajaran ini tidak menurut Alkitab. Dalam Wahyu 2 dan 3 menjadi nyata bahwa bukan saja anggota-anggota gereja yang menerima teguran, melainkan seluruh jemaat sebagai ekklesia setempat. Jemaat yang dibentuk menurut firman Allah tidak berfungsi sebagai lembaga yang tetap kudus yang di dalamnya anggota-anggotanya boleh hidup dalam dosa.
Ajaran kaum Anabaptis (Reformasi radikal). Kaum Anabaptis merupakan sayap radikal dari mereka yang keluar dari Gereja Katolik Roma pada waktu Reformasi. Aliran ini berjalan lebih jauh dalam kritik mereka terhadap ajaran Katolik Roma. Mereka mengembangkan suatu ajaran yang radikal hingga tidak cocok lagi dengan Alkitab. Menurut ajaran ini, gereja hanya benar selama kehidupan anggota-anggotanya sempurna dan suci. Bagi mereka, kudus berarti kudus, tanpa dosa, murni, suci. Akibatnya, setiap anggota yang masih berbuat dosa patut dikeluarkan dari gereja. Orang-orang yang berdosa langsung dikucilkan melalui siasat. Menurut mereka, gereja adalah tempat yang tersendiri di dunia yang gelap ini (pada 1533 mereka merebut kota Munster di Jerman dan menyebutnya Yerusalem Baru). Menurut ajaran Anabaptis, gereja murni sudah harus ada di bumi ini, dan bukan baru nanti di surga atau di bumi baru.
Kaum Anabaptis menjauhkan diri dari konsep alkitabiah mengenai kekudusan. Yang di dalamnya Alkitab melukiskannya terutama sebagai pemberian Allah kepada gereja-Nya, di situ mereka menganggapnya sebagai hasil pekerjaan manusia. Alkitab memandang kekudusan gereja dalam terang pengampunan dosa, tetapi mereka mencapai kekudusan karena usaha mereka sendiri. Karena ajarannya, kalangan itu hampa belas kasihan berdasarkan anugerah. Orang-orang yang berdosa tidak dipanggil lagi untuk bertobat dan kembali, melainkan langsung ditolak. Berbeda sekali dengan sikap Rasul Paulus terhadap jemaat di Korintus. Walaupun Rasul harus menegur jemaat ini karena dosa-dosa besar, namun Paulus menyebut jemaat ini jemaat Allah. Lihat, betapa indahnya Paulus menyebut dua hal itu, yaitu status kudusnya jemaat, dan panggilan kepada semua anggotanya untuk hidup sesuai dengan status itu: ”Kepada jemaat Allah di Korintus, yaitu mereka yang dikuduskan dalam Kristus Yesus dan yang dipanggil menjadi orang-orang kudus” (1Kor. 1:2).
Gereja kudus tidak berarti bahwa anggota-anggotanya tidak berdosa lagi, tetapi bahwa gereja dikhususkan Allah untuk hidup berbakti kepada-Nya.
Aku percaya adanya satu gereja yang am (catholica)
Kata ”am” yang dipakai dalam naskah Pengakuan Iman Rasuli, maknanya sama dengan ”umum”, ”Aku percaya gereja yang umum”. Dalam bahasa aslinya dipakai istilah ”katolik”. Kata ”katolik” di lingkungan gereja, langsung menimbulkan acuan ke gereja Katolik Roma. Siapa yang memakai kata ”katolik” dalam arti yang sebenarnya, harus berhati-hati. Karena hal ini mudah disalahpahami. Karena itu, istilah ”katolik” hampir tidak dipakai lagi di lingkungan gereja-gereja Protestan. Tetapi, pada hakikatnya kata itu berasal dari Pengakuan Iman Rasuli yang juga diakui gereja-gereja Protestan. Maknanya yang mendasar adalah di seluruh dunia.
Thomas Aquinas pernah menjelaskan arti katolik seperti berikut: Aku percaya gereja yang katolik, artinya gereja yang secara geografis, sosiologis dan kronologis adalah:
1. Gereja yang tidak terikat pada satu tempat saja, melainkan gereja yang universal, di seluruh dunia (Rm. 1:8; Mrk. 16:15).
2. Gereja terbuka bagi semua suku dan bangsa. Baik orang Yahudi maupun orang Yunani, baik laki-laki maupun perempuan, baik tuan-tuan, maupun hamba-hamba (Gal. 3:28).
3. Gereja yang mulai dengan Adam dan akan berada sampai akhir zaman (Mat. 28:20).
(dikutip dari Alister Mc Grath, Christian Theology, an introduction, hal 438,9).
Gereja Kristen tidak dibatasi oleh bahasa, kulit, rambut atau apa pun.
Beberapa arti kata ”katolik”
Pada abad-abad pertama, kata ”katolik” digunakan untuk mencirikan gereja yang menjaga seluruh ajaran Alkitab. Jadi, ”katolik” dipakai sebagai lawan dari gereja palsu yang tidak mengikuti Alkitab sepenuhnya.
Pada waktu yang sama, kata ”katolik” dipakai untuk menentang pretensi orang-orang Yahudi yang mempertahankan bahwa keselamatan diberikan secara eksklusif hanya kepada mereka. Dalam terang ini, kata ”katolik” dalam Pengakuan Iman Rasuli mendapatkan maknanya yang nyata. Dengan kata itu, orang-orang Kristen pertama menekankan luasnya keselamatan yang bukan hanya bagi orang-orang Yahudi saja, melainkan untuk semua bangsa dunia. Peristiwa yang diceritakan Kisah Para Rasul 15 sudah menjelaskan bahwa orang-orang yang tidak bersunat dan yang tidak berasal dari bangsa Israel, juga berhak menerima perjanjian yang sama.
Pada waktu Reformasi, Gereja Katolik Roma mengklaim katolisitasnya dengan mengikat katolisitas gereja pada satu tempat tertentu, yaitu Roma, dan pada satu sistem pemerintahan gereja yang tertentu pula, yaitu Paus dan hierarki. Pandangan ini ditolak oleh kaum Reformasi, dan itu jelas.
Teologi Reformasi merumuskan ide katolisitas gereja secara baik dalam Katekismus Heidelberg (1563, Mg. Ke-21) dan Pengakuan Iman Belanda (561, pasal 27). Kristus mengumpulkan jemaat-Nya dari awal dunia sampai akhir zaman dan dari semua bangsa, dalam kesatuan iman yang benar (bnd. Why. 7:9).
Pengakuan Iman Belanda mengakui ciri gereja yang ”katolik/am/umum” secara berikut ini,
1. Gereja adalah suatu persekutuan manusia yang meliputi segala warna kulit, segala bangsa, segala jenis, segala lapisan masyarakat, dan segala zaman.
2. Gereja patut hidup dari kepenuhan Kristus (pemberian) dan bertumbuh ke kepenuhan ini, bersama dengan semua orang kudus (Ef. 3:14-18).
3. Kita harus mengikuti seluruh Kitab suci dan bukan sebagian saja.
Aku percaya adanya satu gereja yang rasuli (apostolica)
Pengakuan Iman Nicea-Konstantinopel pada 381 menyebutkan ciri gereja bukan saja satu, kudus, dan umum, tetapi juga apostolis (rasuli). Atribut itu tidak disebut dalam Pengakuan Iman Rasuli pada ungkapannya mengenai gereja. Pengakuan Iman Rasuli (yang bukan ditulis oleh Rasul-rasul) sudah dalam judulnya menekankan hal apostolisitas gereja. Kata itu bermakna bahwa seluruh isi pengakuan itu berdasarkan ajaran para Rasul, sebagaimana yang diberikan kepada gereja dalam Kitab-kitab Suci, khususnya dalam Injil-injil dan Surat-surat Perjanjian Baru.
Apostolos=rasul secara harfiah ”seorang yang diutus”. Walaupun dalam Perjanjian Baru ada beberapa orang yang juga disebut ”rasul” (apostolos), istilah ini biasanya dikhususkan untuk mengacu pada kedua belas murid Tuhan Yesus (termasuk pengganti Yudas, Matias [Kis. 1:26]). Syarat mutlak untuk menjadi rasul ialah bahwa orang itu dipilih oleh Tuhan Yesus sebagai saksi mata dan saksi telinga. Hal ini juga berlaku untuk Paulus sehingga jumlah para rasul Kristus adalah 13. Karena Kristus juga menampakkan diri kepada Paulus, sehingga ia seperti bayi yang lahir sebelum waktunya! (lih. 1Kor.15:8).
Tuhan Yesus memberi kepada rasul-rasul-Nya kuasa-kuasa khusus sehingga semua orang yang menerima orang yang diutus Kristus ini (apostolos!), ”menerima Aku, dan siapa saja yang menerima Aku, ia menerima Dia yang mengutus Aku” (Yoh.13:20). Orangorang itu menerima ajaran para rasul, seolah-olah dari Tuhan sendiri. Dalam Perjanjian Baru kita sudah melihat adanya hubungan yang akrab antara gereja dan rasul-rasul (Mat. 16:18; Ef.2:20; Why. 21:14). Mereka yang telah menerima pimpinan khusus (Yoh. 15:26-27; Kis. 1:8).
Gereja adalah gereja apostolis selama gereja menjaga dan mempertahankan ajaran para rasul (Kis. 2:42) sebagai dasarnya yang teguh (Mat. 16: 18; Why. 21:14).
Pada waktu Reformasi, Gereja Katolik Roma memandang dirinya sebagai satu-satunya gereja yang benar, yang memiliki keempat sifat gereja (kesatuan, kekudusan, umum, dan apostolis). Karena banyak hal yang makin buruk di dalam gereja Katolik Roma itu, para reformator mulai menentang pandangan itu; mula-mula dari dalam untuk mereformasi gereja, kemudian dengan memisahkan diri dan dengan mendirikan gereja-gereja yang ”reformasi”, artinya dipulihkan kembali sesuai dengan ajaran Alkitab. Misalnya mengenai kesatuan Gereja Katolik Roma, para reformator berpendapat bahwa kesatuan itu tidak dibangun dalam Yesus Kristus (yang sesuai dengan Alkitab), tetapi dalam Paus sebagai pengganti Petrus. Namun, setelah terjadinya perpecahanperpecahan gereja, mereka membutuhkan ukuran-ukuran lain untuk membedakan antara gereja yang benar dan sejati dengan yang palsu. Keempat atribut itu tidak memadai untuk tujuan tersebut.
Keempat sifat (atribut) gereja tidak dapat disamakan dengan, apa yang kita sebut, ciri gereja. Di atas sudah terbukti bahwa sifat gereja adalah hal yang diberikan Allah kepada gereja sebagai karunia. Keempat sifat itu didasarkan pada hubungan Tuhan dengan gereja-Nya. Demikianlah, gereja itu satu dan kudus. Gereja juga bersifat katolik dan apostolis karena Tuhan yang telah mengaruniakan atribut-atribut itu kepadanya. Sifat-sifat gereja memperlihatkan apa gereja itu.
Makna ”ciri” sedikit berbeda dengan ”sifat”. Penentuan suatu ”ciri” hendak memberikan ”tanda pengenal” pada gereja. Dari ciri-ciri itu, kita dapat tahu di mana gereja (dan bukan apa gereja itu). Ciri dipakai sebagai norma untuk mengetahui di mana ada gereja yang sejati. Reformasi sangat membutuhkan ukuran-ukuran seperti itu, dalam keadaan yang baru, yang makin kacau balau. Karena itu perlu memakai ukuran yang menjelaskan apakah suatu gereja yang didirikan adalah betul-betul gereja yang di dalamnya Tuhan ingin mengumpulkan anak-anak-Nya.
Jadi, sifat-sifat gereja diterima dan terus dipelihara oleh gereja. Ciri-ciri gereja dipakai oleh gereja untuk mengerjakan dan menjaga kebenaran di dalam gereja setempat, dan, dengan pertolongan Roh Kudus, untuk membedakan antara gereja yang sejati dan yang palsu.
Pengakuan Iman Belanda menyebutkan tiga ciri untuk membedakan antara gereja yang benar dan gereja yang tidak benar: ”Ciri-ciri pengenal gereja yang sejati ialah, jikalau gereja memakai pemberitaan Injil yang murni, jikalau gereja memakai pelayanan sakramen-sakramen yang murni sebagaimana ditetapkan Kristus, jikalau diselenggarakan disiplin gereja, untuk menghukum dosa”. Tiga ciri ini akan kita bahas di bawah ini.
a. Ciri pertama: Pemberitaan Injil yang murni
Luther menekankan bahwa cara menggunakan firman Tuhan, menentukan apakah gereja itu benar atau tidak. Berdasarkan ciri itu ia menunjukkan ”Roma” sebagai gereja yang palsu. Firman Tuhan menerangi hati orang. Firman Allah mengubah orang untuk bertobat dan hidup baru hal itu memperlihatkan mana gereja yang benar.
Calvin menyebut dua ciri untuk mengukur gereja mana yang benar, yaitu
Pelayanan firman Tuhan (1) dan Pelayanan sakramen-sakramen menurut Firman Tuhan (2).
Semua gereja Kristen memakai Alkitab sebagai sumber utama ajaran (doktrin) dan perbuatan (etik) mereka. Tetapi, itu tidak berarti bahwa hanya karena itu gereja dapat dikatakan sudah baik dan benar. Masalahnya adalah perbedaan antara gereja dalam hal menggunakan dan menilai Alkitab. Misalnya, di masa kita, teologi liberal menganggap Alkitab sebagai buku yang berisi kesaksian orang-orang mengenai pengalaman pribadi mereka dengan Allah. Mereka menilai buku itu sebagai buku manusiawi. Gereja-gereja yang setia pada tradisi Reformasi pasti menentang ide itu dan mempertahankan bahwa Alkitab itu Firman Allah yang sejati.
Satu contoh untuk memperlihatkan bagaimana visi atau anggapan mengenai arti firman Tuhan memengaruhi pengakuan gereja: Tata Dasar Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) mencatat dalam Bab II fasal 3: ”PGI mengaku bahwa Yesus Kristus adalah Tuhan dan Juru Selamat Dunia serta Kepala gereja, Sumber Kebenaran dan Hidup, yang menghimpun dan menumbuhkan gereja, sesuai dengan firman Allah dalam Alkitab, yaitu Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru (1Kor. 3:11): ”Karena tidak ada seorang pun yang dapat meletakkan dasar lain daripada dasar yang telah diletakkan, yaitu Yesus Kristus.”
Pengakuan ini baik sekali bunyinya. Apa masalahnya? Rumusan firman Allah dalam Alkitab dipilih secara saksama dan memperlihatkan pengaruh teologi tertentu, yang cenderung ke arah liberal. Karena dengan demikian arti Alkitab sebenarnya diperkecil. Firman Allah dalam Alkitab. Kenapa tidak tertulis: Sesuai dengan Alkitab atau sesuai dengan firman Tuhan, yaitu Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru? Sesuai dengan tradisi Reformasi, gereja harus mempertahankan ajaran ”tidak” bahwa firman Allah terdapat dalam Alkitab (seakan-akan kita harus membedakan dalam Alkitab, mana firman Allah dan mana dari manusia), yang benar, Alkitab adalah Firman Allah (dari Kitab Kejadian sampai dengan Kitab Wahyu).
Orientasi:
Ignatius dari Antiokhia (abad ke-1) mengajarkan: Di mana (ada) Kristus, di sana (ada) gereja katolik. Ignatius adalah orang pertama yang menggunakan kata ”katolik” untuk gereja. Dalam Gereja Katolik Roma pendapatnya ini diterapkan untuk menekankan bahwa gereja adalah kelanjutan Kristus (dengan Paus sebagai penerus).
Calvin mengajarkan: Di mana pun Firman dikabarkan dan ditaati, di situ gereja ada.
Karl Barth mengajarkan: Di mana Firman dikabarkan dan ditaati, di situ terjadi persekutuan. Menurutnya ”gereja” adalah sebuah kata kerja dan bukan kata benda. Artinya, gereja selalu terjadi dan bukan sebuah organisasi yang berada (menurut Alister Mc Grath, Christian Theology – an introduction, hlm. 424 dan 434).
b. Ciri kedua: Pelayanan Sakramen-sakramen yang murni
Dari Alkitab kita mengenal dua sakramen, yaitu Baptisan Kudus dan Perjamuan Kudus (lih. KH, p/j 68). Alkitab memberi data yang mendasarkan cara gereja untuk melayani sakramen-sakramen ini secara baik. Mengenai pelayanan Perjamuan Kudus dapat kita baca dalam 1 Korintus 10 dan 11, misalnya mengenai persiapan diri. Mengenai Baptisan Kudus, dalam Matius 28:19 bahwa orang-orang harus dibaptis dalam nama Allah Bapa, Anak dan Roh Kudus. Jadi, gereja tidak berhak untuk mengganti rumus ini dengan katakata: ”Aku membaptiskan engkau dalam nama iman, harapan dan kasih”, atau rumusan lain, sesuai dengan selera pribadi si pelayan. Dengan kata lain, gereja yang memakai rumus baptisan yang lain tidak memenuhi ciri gereja mengenai pelayanan sakramen-sakramen yang murni. Gereja seperti itu bukan gereja yang sejati.
Dalam ”gereja” Saksi Yehova, sakramen baptisan sama sekali tidak dilayani.
Gereja Katolik Roma mengajarkan adanya tujuh sakramen: Baptisan, Penguatan (atau Krisma, atau Konfirmasi), Ekaristi (atau Misa) Rekonsiliasi (atau Pengakuan Dosa), Pengurapan orang sakit yang keadaan kesehatannya sangat terancam, Imamat (yang menjamin suksesi Apostolik), dan Perkawinan.
Dalam hal perayaan Sakramen Perjamuan Kudus, Gereja Katolik Roma mengajarkan sesuatu yang, menurut keyakinan Reformasi, menyimpang dari ajaran Kitab Suci. Ajaran trans-substansiasi mengubah arti dan maksud Alkitabiah Perjamuan Kudus. Menurut ajaran trans-substansiasi, oleh ucapan imam, roti berubah menjadi tubuh Yesus Kristus dan air anggur berubah menjadi darah Tuhan. Dengan kata lain, dalam misa Katolik Roma, Yesus Kristus terus-menerus dikurbankan. Alkitab menjelaskan kematian Yesus sebagai hal yang ”telah dilakukan-Nya satu kali untuk selama-lamanya, ketika Ia mempersembahkan diri-Nya sendiri” (Ibr. 7:27). Kurban itu, di bukit Golgota, pada waktu tertentu, adalah kurban satu-satunya, cukup untuk semua dosa dari segala tempat dan masa, di mana saja gereja memperingati kurban Kristus itu (dan segala karunia-Nya) dalam pelayanan Perjamuan Kudus.
Ada gereja-gereja yang mengundang dan menerima semua orang di Meja Tuhan begitu saja, dengan tidak memeriksa hidup orang-orang yang diundang. Tetapi, gereja bertanggung jawab untuk menjaga kekudusan Perjamuan Kudus. Hanya mereka yang membuktikan diri sebagai anggota-anggota tubuh Kristus (anggota-anggota gereja) dapat diterima di Meja Tuhan. Selain itu, sebagai syarat intern jemaat, hanya mereka yang ”membenci dirinya karena dosa-dosanya, tetapi masih percaya juga, bahwa dosanya itu telah diampuni karena Kristus” (KH, p/j 81; bnd. 1 Kor.10 dan 11 mengenai persiapan diri, pengujian diri).
Darah sunat, air baptisan, darah Yesus, anggur dan roti
Ada dua macam baptisan: Baptisan anak-anak, dan baptisan atas dasar kepercayaan (pembaptisan orang-orang dewasa berdasarkan iman semata). Kedua jenis baptisan ini tidak sama. Gereja Katolik Roma dan Gereja-gereja Reformasi memakai dua cara baptisan ini, yang pada hakikatnya sama artinya. Baptisan anak tidak dilayani di Gereja Pentakosta, Gereja Baptis, dan berbagai jenis Gereja Evangelikal. Di gereja-gereja itu diajarkan bahwa hanya orang dewasa saja yang dapat dibaptis, berdasarkan iman mereka. Ajaran ini sering didasarkan atas urutan kata-kata Markus 16:16 (”Siapa yang percaya dan dibaptis akan diselamatkan, tetapi siapa yang tidak percaya akan dihukum”). Percaya dahulu, maka baptisan dapat menyusul dilayankan. Di samping itu, menurut mereka, tidak ada contoh baptisan anak dalam Perjanjian Baru.
Tradisi teologis Reformasi selalu menekankan kepentingan perjanjian Allah. Dialah yang mengikrarkan perjanjian-Nya dengan Abraham dan dengan anak-anaknya. Perjanjian itu dibuat-Nya tidak dengan individu melainkan dengan seluruh bangsa itu, termasuk anak-anak, hamba-hamba, dan seterusnya. Untuk menandai perjanjian itu, semua anak laki-laki yang berumur 8 hari menerima tandanya, yaitu sunat. Tanda ini tidak diberikan berdasarkan kepercayaan. Dengan tanda itu (yang diperintahkan Allah) Allah sendiri yang meneguhkan segala janji-janji-Nya kepada keturunan bangsa perjanjian-Nya itu.
Dengan kehidupan dan kematian-Nya, Yesus Kristus menggenapkan perjanjian dengan Abraham itu. Dia telah menumpahkan darah-Nya di kayu salib. Menurut Rasul Paulus, Tuhan Yesus berkata mengenai cawan pada malam, ketika Dia menetapkan Perjamuan Kudus, ”Cawan ini adalah perjanjian baru yang dimeteraikan dengan darah-Ku” (1Kor. 11:25). Perjanjian baru ini adalah penerusan dan penggenapan perjanjian Allah dengan Abraham. Darah sunat (dan darah kurban-kurban lain) diganti oleh darah Anak Allah, Yesus Kristus. Karena itu, tanda perjanjian baru juga berubah: Bukan darah (sunat) lagi, melainkan tanda air; bukan kurban-kurban binatang lagi, melainkan kurban Kristus yang satu-satunya. Roti dan anggur menandai kurban itu dan memeteraikan segala hartanya bagi seluruh kaum perjanjian, yaitu gereja. Perjanjian ini diberikan Tuhan kepada seluruh bangsa itu, baik kepada orang-orang dewasa yang percaya, maupun kepada anak-anak mereka. Allah adalah Allah ”bangsa”. Artinya, suatu golongan manusia yang merupakan kesatuan yang utuh dan yang terdiri dari keluarga-keluarga, kerabat-kerabat, termasuk anak-anak juga. Bagaikan kawanan domba; ”kawanan” itu mengacu ke semua binatang yang tergolong kawanan itu, baik jantan, betina, dan anak-anak domba. Dengan menyebut perjanjian Allah dengan Abraham, Petrus berkata pada Hari Pentakosta: ”Sebab bagi kamulah janji itu dan bagi anak-anakmu …” (Kis. 2:39). Dan di dalam Perjanjian Baru memang tidak ada contoh langsung tentang anak-anak yang dibaptis, tetapi motifnya sama dengan tanda perjanjian lama. Karena baptisan dilayankan, misalnya kepada Krispus yang dibaptis bersama dengan seisi rumahnya (Kis. 18:8; bnd. 1Kor. 1:14). Dan kepada Lidia, yang juga dibaptis dengan seisi rumahnya (Kis. 10:48). Dan kepada kepala penjara. Ia pun dibaptis dengan seisi rumahnya (Kis. 16:33), sama seperti Stefanus (1Kor. 1:16). Yang dimaksud dengan ”seisi rumah/keluarga” pastilah semua yang tinggal dalam rumah itu, suami, istri, anakanak, mungkin juga termasuk hamba-hambanya. Persekutuan kecil itu adalah ”rumah”, dalam bahasa Yunani ”oikos”. Baptisan merupakan tanda dari dan keyakinan atas perjanjian Tuhan. Baptisan terikat pada apa yang diperbuat Tuhan dan tidak terikat pada kepercayaan kita. Lingkungan-lingkungan yang hanya menerima baptisan dewasa saja, mengikat tanda baptisan pada iman seseorang, dan tidak pada janji Tuhan. Hal itu sangat berbeda dengan konsep tanda perjanjian yang kita jumpai dalam Alkitab, sesuai dengan penjabaran tadi. Pada hakikatnya tanda baptisan seperti yang dilayankan di kalangan Gereja Baptis, Gereja Karismatik dan Gereja Injili, dilandaskan atas dasar yang berbeda sekali, yaitu dasar kepercayaan pribadi (lih. J.J. Schreuder, Baptisan Anak, Surabaya, 1999).
c. Ciri ketiga: Disiplin Gereja
Siasat atau disiplin berarti bahwa gereja tidak membiarkan anggotaanggotanya hidup dalam dosa. Anggota-anggota ini ditegur supaya bertobat. Dalam Matius 18:15-18 kita belajar bahwa orang yang berbuat dosa, wajar kalau ditegur. Kalau orang ini tidak mau mendengar, maka gereja harus menjelaskan bahwa jalannya dalam dosa ini tidak menuju ke hidup kekal, tetapi ke kebinasaan. Hidup semata-mata adalah hidup dalam pengampunan dosa yang dianugerahkan oleh Yesus Kristus. Jadi, orang yang berbuat dosa harus dipanggil untuk bertobat dan berdoa supaya menerima pengampunan. Siasat gerejawi maksudnya hanya satu, yaitu untuk menjaga penyelamatan orang berdosa supaya ia berbalik dan kembali ke jalan yang benar. Dengan demikian siasat gerejawi adalah untuk mengupayakan kesejahteraan orang yang berdosa itu.
Baik Luther maupun Calvin membandingkan siasat dengan ”obat”.
Maksudnya untuk menyembuhkan orang berdosa. Seorang dokter kadangkadang memakai obat yang pahit atau pisau yang tajam untuk menyembuhkan manusia. Calvin tidak menyebut siasat sebagai ciri ketiga. Itu tidak berarti bahwa Calvin meremahkan siasat gerejawi. Ia menempatkan siasat dalam ciri pertama, ”Pelayanan Firman”. Sehubungan dengan itu, organisasi gereja (jabatan-jabatan, saling menasihati, menyiasat) disebutnya sebagai hal yang menentukan, bergabung dengan pemakaian firman Tuhan secara baik. Selaras dengan itu, gereja Reformasi mengembangkan siasat sebagai ciri ketiga, misalnya dalam teologi dari tokoh Reformasi di kota Strassbourg, Martin Bucer (1491–1551 ).
Dalam golongan Anabaptis (Reformasi radikal), siasat mempunyai fungsi yang berbeda sekali. Bagi mereka, tujuan utama siasat adalah menjaga gereja sehingga menjadi murni, kudus. Karena mereka berpendapat bahwa gereja harus dikuduskan oleh usaha anggota-anggotanya sendiri. Para pemimpin Anabaptis akan mempergunakan siasat sebagai alat, tidak untuk menyelamatkan orang berdosa, melainkan untuk membersihkan gereja dari dosa, sehingga gereja tidak dicemarkan. Pemakaian siasat pada golongan ini memperlihatkan kekurangpercayaan akan belas kasihan Allah (lih. 2 Kor. 2:78) dan kekurangpengertian akan inti pusat pekerjaan-Nya dalam Kristus.
Gereja yang enggan melaksanakan siasat, memperlihatkan diri sebagai gereja yang tidak melindungi domba-domba Tuhan. Gereja itu membiarkan mereka sesat di jalan yang berbahaya dan yang menuju ke kematian kekal. Tuhan memberikan tanggung jawab besar kepada gereja dan para pejabatnya untuk menjaga keselamatan anggota-anggotanya. Jika tugas itu dilalaikan gereja, maka Tuhan akan mengadakan perhitungan dengan mereka yang dibuat-Nya bertanggung jawab itu. ”Tanggung jawab atas kematiannya akan dituntut darimu” (lih. Yehezkiel 3:16-20).
Ketiga ciri tersebut dapat dipakai untuk memeriksa, apakah gereja setempat adalah baik atau tidak. Apakah para pejabat gereja itu bertindak sesuai dengan tanggung jawab mereka? Apakah mereka mengaku segala sesuatu sesuai dengan tiga ciri itu? Dalam perbincangan antargereja menuju penyatuan, ciri-ciri ini akan menentukan agenda. Ciri-ciri gereja yang sejati, dan segala daya upaya untuk mewujudkannya dalam gereja (kendati dengan segala kelemahan kita sebagai manusia), tidak menyempitkan gereja melainkan menciptakan suasana yang mulia, yang di dalamnya suara Gembala Agung tetap dapat didengar dengan baik.
Di gereja yang memedulikan ketiga ciri gereja yang sejati, suara Gembala Agung terdengar jelas dan gamblang.
Perhatian!
Ketiga ciri gereja ini terutama dipakai sebagai ukuran untuk gereja kita sendiri, dan tidak untuk mengukur gereja-gereja lain. Memang, itu juga gunanya, tetapi hal itu bukan tujuan yang pertama. Dalam pembicaraan mengenai persatuan dengan gereja-gereja lain, ciri-ciri tersebut dapat dijadikan pokok pembicaraan. Atau, bila ada orang Kristen yang berpindah ke tempat lain, orang itu dapat memakai ketiga ciri itu untuk memilih sebuah gereja di mana ia bisa menggabungkan diri. Tetapi ciri-ciri gereja, terutama dipakai untuk melindungi dan memelihara kebenaran dalam gereja di mana kita sendiri bertugas. Artinya, ciri-ciri itu merupakan pedoman intern gereja untuk mendorong gereja ke arah yang baik dan untuk menjaga kebenarannya. Ciri-ciri itu membentuk cermin bagi gereja, untuk mengecek kecantikannya sebagai pengantin perempuan menjelang hari perkawinannya.
Apa yang kita lihat mengenai gereja dan penampilannya di dunia, sering tidak sesuai dengan apa yang kita baca dalam Alkitab dan yang dijabarkan di atas. Kenyataan itu (pertentangan akan ”ajaran” dan ”kehidupan” gereja) menyebabkan pengembangan banyak teori sebagai percobaan untuk menjembatani pengakuan dengan kenyataan. Beberapa teori akan kita bahas di bawah ini. Sebelumnya diberikan sebuah uraian historis singkat untuk menjelaskan konteks berbagai tokoh gereja yang memainkan peran penting dalam eklesiologi gereja.
Abad ke-3, Cyprianus
Pada abad ke-3, Uskup Cyprianus mengembangkan ajaran mengenai gereja, yang sangat berbobot dan berdampak luas. Cyprianus hidup pada zaman penganiayaan gereja di bawah pemerintahan Roma. Banyak anggota gereja menyerah dan tidak dapat mempertahankan kepercayaan mereka, sehingga mereka meninggalkan iman dan gereja. Dalam keadaan seperti itu, timbul pertanyaan, apa yang harus dilakukan jika orang-orang yang murtad ini ingin diterima kembali dalam gereja. Menurut Cyprianus, meninggalkan gereja adalah dosa yang cukup besar. Karena itu ia merumuskan pendapatnya dalam kalimat pendek, yang menjadi ungkapannya yang terkenal, ”extra ecclesiam nulla salus” (di luar gereja sama sekali tidak ada keselamatan). Menurut Cyprianus, gereja adalah satu dan tidak boleh dipecahkan. Tetapi harus diingat, Cyprianus bukan semata-mata berjiwa episkopal (sebagai uskup), melainkan juga berjiwa pastoral (sebagai gembala). Didorong oleh jiwanya yang pastoral, ia setuju untuk mengangkat kembali anggota-anggota yang telah murtad itu, asalkan sidang uskup yakin mengenai kebenaran pertobatan mereka. Dua ucapan lain dari Cyprianus yang juga sangat terkenal, yaitu 1). Tidak seorang pun yang boleh memisahkan diri dari gereja. 2). Orang-orang yang telah memisahkan diri (”lapsi”) boleh diterima kembali asal sesuai dengan syarat-syarat tertentu.
Abad ke-4, Donatis
Pada abad ke-4 terjadi perjuangan dalam gereja mengenai hal yang sama. Sekali lagi gereja menderita karena penganiayaan hebat yang dilakukan oleh pemerintah. Banyak orang Kristen yang kalah dan tidak berani bertekun dalam iman. Sesudah penganiayaan mereda, banyak orang-orang yang tadinya meninggalkan gereja itu ingin bertobat dan kembali ke gereja. Keinginan mereka dijawab positif, sesuai dengan petunjuk Cyprianus tadi.Tetapi ada anggota-anggota gereja yang bertahan dalam penganiayaan, merekalah yang keberatan dan tidak setuju. Terutama dari golongan Donatus. Mereka berpendapat bahwa orang-orang yang pernah menyerahkan buku-buku Kristen kepada pemerintah untuk dibakar (orang-orang ini disebut ”traditores”karena mereka menjual iman Kristen) tidak bisa diterima kembali ke dalam pangkuan gereja. Tetapi, Gereja Katolik Roma tetap bersedia menerima traditores ini kembali, sehingga terjadi perselisihan yang hebat antara kaum Donatis dan gereja resmi, yang disebut Katolik Roma. Sehingga pada akhirnya pengikut-pengikut Donatus memisahkan diri dari gereja Katolik dan mendirikan gereja tersendiri yang mereka akui sebagai ”satu-satunya gereja yang benar, Israel yang benar, pemilik Roh Kudus.
Abad ke-4, Agustinus
Pada waktu Agustinus menjadi uskup di Hippo, di Afrika Utara, pengikutpengikut Donatus bertambah banyak, sedangkan gereja Katolik Roma menjadi lebih kecil. Agustinus mencoba memperdamaikan kedua golongan gereja ini (Donatis dan Katolik Roma), tetapi tidak berhasil. Ia mengemukakan bahwa memisahkan diri dari gereja (seperti yang dilakukan oleh kaum Donatis) adalah dosa yang lebih besar daripada dosa yang diperbuat oleh traditores yang meninggalkan iman karena penganiayaan yang hebat. Jadi, Agustinus mengecam kesalahan mereka yang memisahkan diri dari gereja. Pandangan Agustinus ini di kemudian hari menjadi alasan bagi Gereja Katolik Roma untuk menyalahkan Reformasi.
Abad ke-16, Luther
Luther meninggalkan Gereja Katolik Roma (setelah ia dikucilkan oleh Paus) dengan menekankan bahwa keselamatan hanya oleh anugerah (sola gratia). Ia juga mendasarkan diri kepada Agustinus. Gereja Katolik Roma membalas bahwa gereja ini pun mendasarkan diri pada ajaran Agustinus, yaitu ajaran bahwa memecah gereja adalah dosa yang paling besar. Alister Mc
Grath memulai sebuah paragraf eklesiologinya (yaitu Sejarah Pemikiran Reformasi, dalam Christian Theology – an introduction, hlm. 245) dengan mengutip Warfield yang menyimpulkan: ”Bila dipikirkan secara mendalam, Reformasi adalah kemenangan ajaran Agustinus tentang anugerah atas ajaran Agustinus tentang gereja.”
Dalam mempelajari pandangan-pandangan mengenai gereja yang dikembangkan para reformator (khususnya Luther dan Calvin), penting untuk disadari bahwa mereka berada dalam ketegangan antara Katolik Roma dan Reformasi radikal (Anabaptis). Sedangkan Katolik Roma mengklaim bahwa gereja Tuhan semata-mata dapat dilihat dalam Gereja Katolik Roma, sedangkan Reformasi radikal berpendapat bahwa gereja Tuhan sama sekali tidak dapat dilihat karena tidak ada lagi di bumi. Di antara kedua ekstrem ini para reformator (mulai 1541, setelah diskusi antara teolog-teolog Katolik Roma dan teolog-teolog Protestan, yang diadakan di Regensburg, yang sebenarnya gagal) mengembangkan eklesiologi mereka, termasuk keyakinan mereka mengenai kesatuan gereja dan gereja yang sejati, yang kelihatan (sebagaimana, antara lain, diungkapkan dalam Pengakuan Iman Belanda, pasal 27-29).
Masalah ”gereja yang dapat dilihat” (visible church) dan ”gereja yang tidak dapat dilihat” (invisible church) merupakan unsur penting dalam setiap riset eklesiologis. Dari mana munculnya pembedaan antara dua jenis gereja ini? Dari kekecewaan orang terhadap keadaan gereja yang dapat dilihat, yaitu institusi-institusi gereja yang ada di dunia ini. Menurut teori ideal gereja, setiap gereja patut memenuhi beberapa syarat. Dalam praktik, gereja-gereja hampir tidak berhasil mencapai tujuan itu, suatu hal yang sangat mengecewakan. Ada banyak gereja dan organisasi gereja yang bukan hanya lemah, melainkan salah sekali dalam hal-hal tertentu, meskipun gereja-gereja itu juga mempunyai segi-segi yang kuat. Dengan mengembangkan teori mengenai invisible church, masalah ini dapat dipecahkan. Teori ini memungkinkan untuk membedakan antara gereja sesuai dengan teori ideal, dan gereja sebagaimana ditampilkan dalam praktik sehari-hari. Yaitu ”gereja yang dapat dilihat” dan ”gereja yang tidak dapat dilihat”.
Orientasi:
Agustinus berkata mengenai gereja yang kelihatan: ”di luarnya ada banyak domba dan di dalamnya banyak serigala” (dikutip oleh Calvin dalam Institutio buku 4.1 ps. 8). Maksudnya ada gereja yang tidak kelihatan yang hanya dapat dipandang oleh mata Allah. Tuhan tahu siapa yang termasuk gereja-Nya (2Tim. 2:19).
Cyprianus juga sudah membedakan antara gereja yang kelihatan dan yang tidak kelihatan. Gereja yang dapat dilihat ialah gereja menurut organisasi hierarkis. Di samping itu ada juga gereja mistik yang tidak kelihatan. Walaupun Cyprianus berkata mengenai kedua gereja ini, namun ia menekankan bahwa hanya ada satu gereja saja.
Luther mengalami Gereja Katolik Roma yang diperintah oleh sistem hierarkis (paus, uskup-uskup). Luther yakin bahwa gereja itu jauh dari norma Alkitabiah. Organisasi ini memang mempunyai nama ”gereja”, tetapi apakah kita boleh menyebut gereja ini ”Gereja Kristus”? Pasti tidak! Luther memakai istilah ”rohani” untuk mengacu ke gereja Tuhan yang benar. Ada ”gereja rohani” yang harus kita percaya, dan di samping itu ada gereja yang dapat dilihat sebagai organisasi di dunia.
Calvin memakai istilah yang berbeda lagi. Ia berkata mengenai ”gereja coram Deo” (= gereja yang dipandang oleh mata Allah) dibedakan dari gereja yang dipandang oleh mata manusia. Luther dan Calvin, dalam keadaan gerejawi pada waktu itu, mencari jalan karena mereka tahu bahwa dalam Gereja Katolik Roma (yang mereka anggap palsu) masih ada banyak anak-anak Tuhan.
Alkitab kadang-kadang memakai kata ”gereja” untuk orang-orang yang percaya, semua orang yang dipilih Tuhan, semua orang yang akan diselamatkan oleh Tuhan. Inilah gereja yang dilihat Allah, yang berada di atas ”dasar yang diletakkan Allah itu teguh dan meterainya ialah: ’Tuhan mengenal siapa milikNya’ dan ’Setiap orang yang menyebut nama Tuhan hendaklah meninggalkan kejahatan.’” (2Tim. 2:19). Di bagian lain, Alkitab memakai kata ”gereja” untuk semua orang yang termasuk bangsa Tuhan, tetapi yang tidak semua akan diselamatkan. Jika Paulus menulis kepada jemaat di Korintus dan di Efesus, ia memberi petunjuk untuk mengeluarkan anggota-anggota karena perbuatan mereka yang salah (”Usirlah orang yang melakukan kejahatan dari tengahtengah kamu” [1Kor. 5:13]), bandingkan juga dengan apa tertulis mengenai bangsa Israel. Semua orang yang bersunat mempunyai tanda lahiriah ”gereja”, bangsa Israel, yaitu bangsa Tuhan. Tetapi, tidak berarti bahwa semua anggota bangsa itu satu per satu akan diselamatkan (”Sebab tidak semua orang yang berasal dari Israel adalah orang Israel”, Rm. 9:6).
Pada saat ini ada teolog-teolog yang menggunakan pembedaan antara gereja yang kelihatan dan yang tidak kelihatan untuk menjelaskan masalah pengakuan adanya satu gereja saja, sedangkan yang kelihatan adalah adanya banyak gereja dan denominasi. Mereka memakai konsep ”invisible church” untuk membenarkan kesatuan gereja yang, walaupun tidak kelihatan, secara ”invisible” tetap ada.
Tradisi Reformasi menganggap konsep mengenai ”gereja yang tidak kelihatan” sebenarnya kurang baik. Sebab konsep ini dianggap bertentangan dengan pandangan alkitabiah bahwa gereja setempat adalah kaki dian emas (Why. 2:1) dan kota di atas bukit (Mat.5:14). Artinya, gereja justru dipanggil untuk menampilkan dirinya secara nyata di dunia ini. ”Kelihatan gereja” adalah syarat mutlak untuk menaati panggilannya di dunia. ”Keterlihatannya” sangat menyifatkan gereja yang benar.
Jelas juga bahwa gereja tidak dapat dilihat oleh manusia seperti Tuhan melihatnya. Dialah yang melihat hati dan batin semua anggotanya. Kita di dunia hanya melihat ”sebagian” gereja. Katekismus Heidelberg menerangkan bahwa Anak Allah mengumpulkan jemaat dari awal dunia dan dari segenap umat manusia (Mg. Ke-21). Jadi jelas bahwa kita sendiri hanya melihat separuh gereja saja. Kita tidak dapat mengetahui secara persis bagaimana gereja pada Abad-abad Pertengahan, atau bagaimana gereja di Cina atau India. Pandangan seorang manusia sangat terbatas. Alangkah baiknya bila kita tidak membedakan antara segi ”kelihatan” dan ”tidak kelihatan” dari gereja. Perbedaan itu pun menjadikan keterpisahan antara dua jenis gereja. Sedangkan yang ada hanya satu gereja. Itulah kebenarannya. Dan ada segi-segi yang dapat kita lihat, dan segi-segi lain yang hanya dapat dilihat Allah. ”Tuhan mengenal siapa milikNya” (2Tim. 2:19).
Siapa yang mandi di Danau Toba (di Sumatra Utara) pasti tidak dapat melihat danau itu secara keseluruhan. Sebelah lain danau itu pasti tidak dapat dilihatnya. Namun, ia dapat berkata, ”Saya telah melihat Danau Toba dan saya berenang di dalamnya.” Begitu pun dengan gereja. Mustahil untuk melihat gereja secara keseluruhan. Namun, kita, yang pada masa kita dan di tempat kita berada di dalamnya sebagai anggota, berhak berkata: ”Saya sudah melihat Gereja Kristus dan menikmati segala kebaikannya!”.
Orientasi:
Salah paham: ada orang yang secara keliru memahami konsep ”gereja kelihatan” sebagai gedung gereja dan ”gereja yang tidak kelihatan” sebagai persekutuan orang percaya. Dalam ilmu dogmatik gereja sebagai gedung sama sekali tidak dibicarakan.
Katolik Roma:
Tetap, Gereja Katolik Roma menganggap diri sebagai satu-satunya gereja, yaitu Gereja Katolik Roma, yang kelihatan dalam organisasi di bawah pimpinan Paus.
Van Niftrik-Boland: ”Gereja, sebagaimana disebutkan dalam Pengakuan Iman, adalah serentak bersifat ”kelihatan” dan ”tidak kelihatan”, tanpa memisahkan keduanya dan tanpa meleburnya satu dengan yang lain” (hlm. 353). Kemudian Van Niftrik- Boland membandingkan gereja dengan tubuh Kristus (Rm. 12:4; 1Kor. 10:16; 12:12; Kol. 1:18,24; Ef. 1:22; 4:12; 5:23, 29). Sama seperti tubuh Kristus dapat dilihat (Anak Allah yang menjadi manusia, 1Yoh. 4:2), demikian juga gereja sebagai tubuh Kristus dapat dilihat. Tetapi sama seperti ”tubuh Kristus” tidak dapat dilihat (karena merupakan sesuatu yang kita percaya) gereja pun tidak dapat dilihat. Melalui penalaran ini, Van Niftrik- Boland mempergunakan pandangan mengenai kedua tabiat Kristus sebagai kunci untuk membahas soal gereja. Sama seperti Firman Allah ”mendaging” dalam Kristus yang menjadi manusia, demikian juga gereja sebagai tubuh Kristus menyatakan dirinya dalam bentuk yang kelihatan. Sekaligus, gereja, menurut wujudnya yang ilahi, tidak dapat dilihat. Van Niftrik-Boland menekankan hal ini supaya kita tidak (karena kecewa) suka bermimpi mengenai suatu gereja mistik yang tidak bersangkut-paut dengan praktik sehari-hari.
Dr. J.A. Heyns berkata begini, ”Tentu benar bahwa kita yang hidup pada masa kini, tidak dapat melihat misalnya gereja yang ada pada waktu Abad Pertengahan. Sama benar bahwa orang-orang yang hidup pada waktu Abad Pertengahan itu memang melihat gereja yang tidak dapat kita lihat itu.”
Karena itu, menurut Heyns, tidak tepat untuk berbicara mengenai gereja yang tidak kelihatan. Sebagai manusia kita terbatas, karena itu kita tidak dapat melihat gereja sebagaimana Tuhan melihatnya. ”Tidak tampaknya itu” tidak dapat mewujudkan gereja, hanya sebagai fakta yang diakibatkan oleh mata kita yang terbatas. Karena itu lebih baik untuk mengatakan bahwa ”kita tidak dapat melihat gereja secara keseluruhan”. Sesuatu yang keseluruhan, segala aspeknya tidak jelas bagi kita.
Gereja dipanggil Tuhan untuk bersinar sebagai lampu. Artinya, keterlihatannya, termasuk wujud gereja. Kita tidak mampu melihat gereja secara keseluruhan.
Sehubungan dengan masalah gereja yang tidak kelihatan, telah menimbul teori lain yang cukup berbobot. Abraham Kuyper, seorang teolog Belanda dan Amerika (akhir abad ke-19), menekankan bahwa kita harus membedakan antara gereja sebagai ”organ” (= badan yang hidup) dan gereja sebagai ”lembaga”. Gereja sebagai lembaga memperlihatkan diri dalam beberapa ”forma” (=rupa atau bentuk; ”pluriforma”=banyak bentuk). Maksudnya, adanya Gereja Lutheran, Gereja Reformasi, Gereja Baptis, Gereja Katolik Roma, dan seterusnya. Semua gereja ini merupakan salah satu bentuk dari gereja yang benar di hadapan Tuhan. Masing-masing lembaga ini merupakan satu bentuk lahiriah dari gereja yang sejati itu, yang kita akui dalam Pengakuan Iman Rasuli. Dalam semua lembaga gerejawi ini kita melihat gereja sebagai organisme yang adalah gereja yang sesungguhnya. Artinya, lembaga Gereja Lutheran secara tersendiri bukan gereja sejati, tetapi di dalam lembaga itu terdapat sebagian dari gereja sejati.
Demikianlah dapat dikatakan bahwa gereja yang sejati itu terdiri atas semua orang percaya yang berasal dari semua bentuk lembaga gereja. Gereja benar itu secara keseluruhan tidak kelihatan. Kita hanya dapat melihat semua lembaga yang kita sebut ”gereja” atau ”denominasi gereja”. Gereja yang sejati tersembunyi bagi kita menurut wujudnya dalam semua gereja, sampai hari kiamat. Lembaga-lembaga gereja itu semata-mata merupakan pantulan gereja yang sesungguhnya. Jelas juga bahwa ada perbedaan antargereja dalam memantulkan gereja yang sejati. Ada yang baik, ada yang kurang baik, dan ada yang buruk. Dalam pandangan Gereja-gereja Reformasi, Gereja Katolik Roma mencerminkan gereja yang sejati secara lemah sekali. Gereja-gereja Reformasi memperlihatkan gambaran gereja yang lebih jelas.
Abraham Kuyper dan ahli-ahli lain membenarkan teori ini dengan mengatakan bahwa kebenaran Allah begitu kaya dan besar, sehingga kebenaran ini tidak dapat dipantulkan hanya oleh satu lembaga gereja saja. Tiap lembaga mempunyai sedikit dari seluruh kebenaran itu. Gereja-gereja dibandingkannya dengan sinar-sinar matahari. Tidak ada satu sinar yang tersendiri yang memperlihatkan besarnya dan jelasnya terang matahari. Semua sinar secara bersama memperlihatkan matahari. Semua gereja, secara bersama-sama memperlihatkan hebatnya terang gereja yang sejati. Teori ini sering diterima dengan gembira karena dialami sebagai obat melawan kesedihan terhadap perselisihan gerejawi.
Sebenarnya PGI didirikan berdasarkan teori pluriformitas ini. Idenya juga ditemui dalam pandangan denominasi, yang terdapat di Amerika Utara. Semua gereja Kristen yang berbeda-beda dilihat dan diterima sebagai denominasi gereja sejati; satu denominasi tidak lebih atau kurang benar, tetapi setiap denominasi mengandung sebagian dari gereja yang universal. Orang-orang dapat memilih denominasi yang warna, gaya dan kebudayaannya cocok dengan selera masing-masing. Dari semua denominasi dan lembaga gereja ini Tuhan mengumpulkan anggota-anggota tubuh-Nya.
Walaupun pandangan ini berpengaruh besar, namun Alkitab sama sekali tidak memberikan dasar yang mendukung pandangan ini. Alkitab membicarakan tentang satu kawanan domba yang akan dipersatukan oleh Tuhan (Yoh. 17:21-22). Gembala bukan gembala ratusan kawanan domba yang berbeda-beda, melainkan Gembala Agung yang mengumpulkan dombadomba-Nya ke dalam satu kawanan saja. Domba-domba yang berada dalam kawanan domba lain dipersalahkan karena tidak mendengar panggilan suara Gembala (Yoh.10).
Pengakuan Iman Belanda (1561) mengaku dalam pasal 29 bahwa gereja sejati dapat dikenal oleh ciri-ciri-nya ”melalui hal-hal itu orang dapat mengenali gereja yang sejati dengan pasti, dan tidak seorang pun diperbolehkan memisahkan diri darinya.” Artinya, gereja yang sejati dapat dikenal, sehingga orang wajib menggabungkan dirinya dengan gereja itu. Gereja yang sejati dapat dikenali sebagai tubuh yang kelihatan, yang berkumpul di salah satu tempat, yang alamatnya dapat dikenali orang.
Pengakuan Iman Westminster (1641) mengungkapkan soal ini seolah-olah ada gereja-gereja yang beda kemurniannya. Pengakuan ini sekaligus menyebutkan kenyataan ini, yaitu sesuatu yang tidak menurut kehendak Tuhan. Westminster berkata bahwa di masa lampau ada gereja yang katolik (dalam arti umum) yang kadang-kadang kelihatan, kadang-kadang kurang kelihatan (Bab XXV.4). Semua gereja termasuk gereja katolik (gereja yang am). Kadang-kadang gereja-gereja ”bisa saja mereka bersifat campuran dan kena ajaran sesat. Ada yang telah begitu merosot, sehingga bukan lagi Gereja Kristus, melainkan jemaat Iblis” (Bab XXV.5).
Gembala Agung memanggil kita untuk datang kepada kawanan domba-Nya dalam kandang tertentu, dan tidak kepada kawanan domba yang tersebar dalam banyak gereja atau denominasi.
Di atas kita sudah melihat pendekatan Abraham Kuyper, bahwa dalam tiap gereja Kristen terdapat sebagian dari kebenaran. Para teolog liberal makin berjalan lebih jauh dalam penalaran mereka mengenai kebenaran Kristen. Mereka makin mengembangkan gagasan bahwa dalam satu gereja ada bermacam-macam kebenaran iman. Tidak ada satu kebenaran saja, melainkan banyak (plural) kebenaran. Berdasarkan pendapat itu maka tidak perlu lagi membentuk gereja yang mempunyai ”warna” tertentu, misalnya Lutheran, Baptis, Reformasi, Injili, Pentakosta, dan lain-lain. Semua ”warna” dan ”ajaran” dapat saja membentuk satu gereja yang sifatnya plural. Melalui abad-abad sejarah gereja, anggota-anggota gereja yang tidak setuju dengan sesuatu perubahan ajaran dalam gereja mereka, akhirnya memisahkan diri dari gereja. Mereka menggabungkan diri dengan gereja lain, atau mendirikan gereja baru. Pandangan pluralisme memungkinkan orang untuk tetap tinggal di dalam gereja, karena ”kebenaran yang satu-satunya” secara objektif tidak ada. Kebenaran adalah hal yang subjektif, tergantung dari keputusan orang secara pribadi. Dan karena ada banyak orang, maka kebenaran juga banyak. Legitimasi pluralisme kebenaran itu sangat mengubah wajah gereja di dunia. Apa yang benar untuk saya, mungkin tidak benar untuk saudara saya di gereja yang sama. Tiap orang mempunyai kebenaran untuk dirinya sendiri. Tidak perlu lagi ada banyak gereja. Pluralisme menciptakan ruang untuk semua pendapat, keyakinan, pengalaman dan ajaran. Gereja dibuat menjadi bagaikan hotel atau wisma. Di dalam satu gedung, di bawah satu atap terdapat banyak sekali kamar. Pada hakikatnya filsafat pluralisme ini menciptakan suasana hidup bersama dalam Dewan Gereja se-Dunia dan menentukan cara mereka untuk mempersatukan semua gereja. Dalam satu gereja diterima ajaranajaran yang saling bertentangan (lihat juga Wikipedia bahasa Indonesia, http://id.wikipedia.org/wiki/Pluralisme, yang di dalamnya jelas bahwa ”pluralisme” adalah paham filosofis yang dikembangkan ilmu pengetahuan untuk menerangkan dan membenarkan adanya beragam pemahaman, atau bermacam-macam paham, pikiran di segala bidang kehidupan manusia di bumi ini. Konsep ”pluralisme agama” makin mendorong kerukunan umat beragama, yang intinya adalah hidup bersama dengan kesatuan hati dan bersepakat untuk tidak menciptakan perselisihan dan pertengkaran.
”Pluralisme” mengabaikan eksklusivitas penyelamatan melalui Tuhan Yesus Kristus yang mengklaim-Nya dalam Yohanes 14: 6: ”Akulah jalan dan kebenaran dan hidup.”.
Orientasi:
Dewan Gereja seDunia (WCC) juga menerima anggota yang berpendapat bahwa kebenaran tidak semata-mata terdapat dalam Alkitab. Menurut pandangan pluralistis ini, baik Alkitab, Alquran, Tripitaka, Weda, dan sebagainya adalah buku-buku agamawi yang berisi kebenaran. Pandangan ini mendorong para pemeluk agama untuk melepaskan gagasan bahwa hanya agamanya sendiri adalah kebenaran. Hanya caranya yang berbeda. Semua agama mempunyai tujuan yang sama, hanya jalan kepada tujuan itu yang berbeda. Teologi ini disebut teologi inklusif, sedangkan teologi yang mempertahankan adanya satu jalan penyelamatan disebut teologi eksklusif.
Abdurrahman Wahid. Pandangan inklusif juga makin tersebar luas di Indonesia, dikobarkan teologi modern-liberal dan pada umumnya oleh penyebaran paham liberalisme. Hal ini nyata misalnya dari pidato mantan Presiden Abdurrahman Wahid pada waktu ia mengunjungi Bali. Ia berkata , ”Kalau kita benar-benar beragama, akan menolak kebenaran satu-satunya di pihak kita dan mengakui kebenaran semua pihak. Kebenaran mereka yang juga kita anggap berbeda dari kita. Ini yang paling penting. Karena itu semuanya benar.”
Mahatma Ghandi (seorang pemimpin spiritual dan politikus dari India) pada 1958 mengungkapkan kesamaan agama dengan kata-kata berikut: ”Saya sampai pada kesimpulan bahwa (1) semua agama itu benar, (2) semua agama itu memiliki beberapa kesalahan di dalamnya, dan (3) semua agama itu bagi saya sama berharganya sebagaimana agama saya sendiri yaitu Hindu.”
J. Verkuyl memuat hikayat Nathan der Weise (Nathan yang Bijaksana) dalam bukunya berjudul Samakah Semua Agama?. Nathan adalah orang Yahudi yang ditanya oleh Sultan Saladin tentang agama manakah yang terbaik, apakah Islam, Yahudi, atau Nasrani. Ujungnya, dikatakan, bahwa semua agama itu intinya sama saja. Verkuyl tidak setuju dengan teori ini.
Alkitab sama sekali tidak memberi alasan bagi pikiran adanya multiragam kebenaran. Tuhan Yesus berkata, ”Akulah jalan dan kebenaran dan hidup ” (Yoh. 14:6; bnd. Yoh. 16:13). Menurut Alkitab, hanya ada satu kebenaran. Kebenaran itu terdapat dalam pengakuan mengenai Kristus. Dia harus diakui sebagai Anak Allah dalam arti bahwa Kristus adalah baik Anak Manusia maupun Anak Allah (lih. pengakuan Rasul Tomas, Yoh. 20:28). Yohanes menekankan pentingnya pengakuan ini dalam surat pertama, ”Siapa yang mengaku Anak, ia juga memiliki Bapa” (1Yoh. 2:23). Yesus Kristus adalah Anak Allah yang hidup. Siapa yang semata-mata percaya kemanusiaan Yesus Kristus, akan kehilangan Allah Bapa. Gereja Kristen yang dasarnya adalah Alkitab (dan bukan filsafat manusiawi) tidak dapat tidak menerima ajaran bahwa hanya ada satu kebenaran, yaitu dalam nama Yesus Kristus. Tidak ada nama lain di bawah kolong langit ini yang menyelamatkan manusia. Dalam surat kedua, Yohanes menulis: ”Setiap orang yang tidak tinggal di dalam ajaran Kristus, tetapi melangkah keluar dari situ, tidak memiliki Allah. Siapa yang tinggal di dalam ajaran itu, ia memiliki Bapa maupun Anak. Jikalau seseorang datang kepadamu dan ia tidak membawa ajaran ini, janganlah kamu menerima dia di dalam rumahmu dan janganlah memberi salam kepadanya.” (2Yoh 1:9-10).
Teologi Reformasi mengakui Alkitab sebagai sumber kebenaransatu-satunya. Itu berarti bahwa teologi ini mencirikan diri sebagai teologi eksklusif. Ajarannya berputar mengelilingi keyakinannya bahwa hanya ada satu jalan kepada keselamatan (lih. Kis. 4:12). Dalam hal ini Teologi Reformasi sama dengan teologi Islam (golongan yang tidak liberal) yang mengaku bahwa hanya Islam yang benar dan semua yang lain adalah kafir dan sesat.
”Pluralisme”, ”Pluriformitas”, ”Gereja yang tidak kelihatan” dikembangkan sebagai konsep manusiawi dan bertentangan dengan ajaran alkitabiah untuk melindungi dan mencari kesatuan yang dimaksudkan Tuhan sebagai Gembala Agung (Yoh. 17: 21).
Yesus, menurut Lukas 15, menceritakan perumpamaan tentang domba yang hilang dan gembala yang mencari domba itu. Maksud Si Gembala adalah untuk membawa domba yang hilang itu kembali ke dalam keamanan kawanan dan kandang. Sebab gembala yang baik tahu bahwa di luar kawanan domba dan di luar kandang itu tidak ada kehidupan bagi satu domba yang terasing. Sama seperti gembala itu, Yesus Kristus mengumpulkan domba-domba-Nya dari seluruh dunia. Karena Dia tahu bahwa di luar gereja tidak ada kehidupan bagi seseorang secara tersendiri. Hanya di dalam perkumpulan, di dalam jemaat, di dalam gereja, keselamatan terjamin. Oleh iman yang diberikan Tuhan melalui Roh-Nya (Ef. 2:8-10) orang akan menerima bagian dalam pengampunan dosa dan hidup kekal. Di dalam jemaat ada pelayanan penghiburan dan pengampunan dosa, dan, di mana perlu, nasihat pastoral. Berdasarkan keyakinan itu maka Pengakuan Iman Belanda dalam pasal 28 menekankan mengenai gereja, bahwa ”karena di luarnya tidak ada keselamatan, maka tidak seorang pun bagaimana pun tingkat dan kualitasnya patut mengasingkan diri untuk berdiri sendiri dengan seenaknya. Sebaliknya, mereka semua harus bergabung dengan perkumpulan ini dan bersatu dengannya, seraya memelihara kesatuan Gereja.” Siapa yang ingin mengambil bagian dari segala anugerah dan harta Kristus, wajarlah bila ia bergabung dengan gereja Kristus yang sejati. Tidak ada jalan lain.
Banyak buku dogmatik menghadapkan trauma agama Kristen (adanya banyak gereja yang berwarna-warni dan yang dibentuk karena perselisihan intern gereja) dengan kenyataan yang patut diterima seolah-olah keadaan itu sesuai dengan Alkitab. Apakah mungkin Tuhan memanggil kita untuk mengakui gereja-gereja yang berbeda-beda? Apakah mungkin Gembala Agung mengumpulkan domba-domba-Nya dalam beberapa kandang yang berbedabeda? Menurut kami tidak.
Yesus berkata, ”Tetapi Aku juga mempunyai domba-domba lain yang bukan dari kandang ini; domba-domba itu harus Kutuntun juga dan mereka akan mendengarkan suara-Ku dan mereka akan menjadi satu kawanan dengan satu gembala” (Yoh. 10:16). Dalam perumpamaan ini, Yesus pasti tidak menyinggung adanya beberapa kawanan domba, misalnya satu yang dikumpulkan-Nya, dan yang lain oleh gembala lain. Dengan ”bukan dari kandang ini”, Dia bermaksud ”bukan dari bangsa Israel saja.” Dia juga akan mengumpulkan domba-domba dari bangsa-bangsa lain. Maksud-Nya ialah bahwa mereka menjadi satu kawanan dengan satu gembala saja. Keadaan yang kita hadapi setelah dua milenium sejarah gereja (banyak gereja yang berbedabeda) sama sekali tidak dapat dihubungkan dengan kata-kata dan maksud Tuhan di sini. Perselisihan, perpecahan dan hasilnya (banyak gereja) sama sekali tidak sesuai dengan Firman dan kehendak Tuhan. Keadaan fragmentasi gereja harus menyedihkan kita karena menyedihkan Tuhan. Karena perpecahan itu disebabkan oleh keputusan taat/tidak taat kepada firman Allah, maka proses itu menghasilkan satu gereja yang benar, dan satu yang palsu.
Dengan acuan ”gereja palsu” kita tidak menilai anggota-anggota gereja itu, melainkan ajaran (doktrin) dan situasi gereja itu. Hanya Tuhan saja yang menilai hati orang. Kita wajib untuk menilai doktrin gereja, supaya kita tahu apakah Tuhan memanggil kita untuk menggabungkan diri dengan persekutuan gereja itu atau tidak. Dan supaya kita tahu dengan gereja mana, gereja kita dapat bergabung kembali, atau belum.
Pada waktu Reformasi abad ke-16, orang cenderung berpendapat bahwa karena dosa manusia ada gereja palsu. Gereja Reformasi menekankan pendapatnya bahwa ajaran dan kelakuan gereja Katolik Roma tidak sesuai dengan Firman Tuhan. Bertitik tolak dari hal itu, maka mereka menasihati semua orang percaya untuk tidak menggabungkan diri dengan gereja itu. Gereja Reformasi menetapkan dalam Pengakuan Iman Belanda bagaimana gereja benar dapat dibedakan dengan gereja palsu. Karena memakai ciri-ciri gereja sebagai norma, orang-orang pada waktu itu dapat melihat dengan mudah apakah sebuah gereja adalah gereja yang benar atau gereja yang palsu (lih. PIB, ps. 27). Ingat juga, bahwa pada waktu itu jumlah gereja masih sangat terbatas. Ada gereja ”Katolik Roma”, ada gereja ”Protestan” (Calvin, Luther), ada pula ”Anabaptis”. Keadaan masa kini lebih kacau-balau, khususnya dalam aliran Protestan.
Dalam Pengakuan Iman Westminster, ajaran gereja diungkapkan dalam bab XXV. Westminster mengaku, sebagaimana kita sudah lihat di atas, bahwa ada gereja-gereja benar yang berbeda tingkat kemurniannya. Pandangan itu dapat dibenarkan. Semua gereja yang ada masih lemah. Tidak ada satu gereja pun yang utuh sempurna dalam kemurnian di dunia ini. Bukan gereja yang dapat memenuhi tujuan itu. Tuhan sendiri yang melakukannya pada hari kedatangan-Nya. Perlu ditekankan di sini bahwa sebuah gereja benar yang masih lemah di bidang ajaran atau ibadat, berbeda dengan gereja palsu. Gereja lemah kurang menyadari kelemahannya dan masih dapat diobati melalui pelayanan Firman yang benar. Masalah gereja palsu jauh lebih berbeda. Gereja itu secara sengaja memeluk ajaran palsu dan cenderung menganiaya mereka yang hendak hidup sesuai dengan firman Tuhan. Mungkin, sebagai manusia dan dengan emosi manusia, kita merasa kurang enak untuk membedakan antara gereja benar dan palsu. Seakan-akan kita sombong dan beraja dengan memandang diri kita sendiri pandai dan yang lain tidak. Sebaliknya. Ajaran mengenai satu gereja yang benar sepenuhnya terdiri atas Alkitab. Alkitab sendiri membedakan antara saudara dan saudara (Gal. 2:4), rasul dan rasul (2Kor. 11:13), guru dan guru (2Ptr. 2:1), saksi dan saksi (1Kor. 15:15), nabi dan nabi (Mat. 7:15), dan mesias dan mesias (Mat. 24:24). Ada Mesias yang benar, akan ada banyak sekali mesias palsu. Alkitab selalu membedakan antara yang benar dan yang palsu, dan tidak takut membongkar dan menelanjangi segala bentuk kepalsuan.
Gereja adalah suatu tubuh yang dinamis dan tidak pernah statis. Gereja hidup dan terus sibuk untuk mencapai tujuannya. Selama kehidupannya di dunia lama ini, gereja ”belum tiba”, ”belum selesai”. Gereja selalu dipanggil untuk berusaha menyesuaikan diri pada firman Allah, sesuai dengan perubahan zaman, perubahan konteks, perubahan paham Alkitab. Karena pasti Alkitab belum dipahami secara keseluruhan dan mutlak oleh angkatan gereja pada waktu dahulu. Dengan mudah kita dapat menunjukkan salah-salah mereka dalam memahami firman Tuhan. Artinya, gereja harus siap dan bersedia untuk mereformasikan dirinya terus-menerus. Hal itu sesuai dengan inti pertama ajaran Reformasi, Sola Scriptura. Mungkin kita butuh koreksi dalam cara kita beribadat, berdasarkan pemahaman Alkitab bahwa ibadat yang benar berpusat kepada Allah dan bukan manusia dengan emosinya. Mungkin muncul kekurangan dalam pelaksanaan jabatan-jabatan. Mungkin jemaat dikuasai oleh satu orang secara dominokratis, dan para penatua kehilangan wewenang sebagai majelis gereja. Mungkin gereja semakin mengabaikan hal menolak dosa-dosa umum. Mungkin gereja salah sebagai lembaga gereja di tengah masyarakat, dan terhadap pemerintah negara. Ada banyak contoh lain yang dapat disebut di sini. Iblis selalu sibuk mencari kesempatan untuk menyesatkan gereja-gereja. Yang dibutuhkan gereja, dan yang dikaruniakan Allah, adalah peronda-peronda dan pengawas-pengawas yang setia. Gereja wajib memeriksa diri terus-menerus, supaya hidup sesuai teladan Yerusalem, yang aman, yang dikelilingi tembok, yang punya menara yang kuat, suatu kota yang berkubu. Gereja itu memperlihatkan dan menjaga dirinya sendiri, supaya dapat dikatakan ”Sesungguhnya inilah Allah, Allah kitalah Dia seterusnya dan untuk selamanya! Dialah yang memimpin kita!” (Mzm. 48). Untuk menemukan kebenaran itu, maka gereja harus selalu direformasikan (semper reformanda) sesuai dengan Firman Tuhan, Kepala-nya.
Di atas kita sudah fokus kepada ajaran gereja dan melihat apa yang baik dan yang tidak baik. Selalu muncul pedoman Reformasi agar gereja hidup sesuai dengan firman Allah dan untuk mereformasikan diri secara terus-menerus. Tetapi bagaimana? Siapa yang bertanggung jawab? Siapa yang memimpin? Siapa yang berwewenang dan mengambil keputusan-keputusan yang benar? Dalam paragraf ini kita akan mempelajari pokok pemerintahan gereja dipandang dari sudut dogmatik gereja.
Pada masa pascamodern kita, kebanyakan orang berpendapat bahwa manusia adalah makhluk otonom (auto=sendiri; nomos=hukum). Manusia sendiri berwewenang penuh dan berkuasa, bebas dari segala penindasan atau pemerintahan ekstern (dari luar). Negara kita diperintah oleh presiden beserta stafnya, tetapi itu berbeda, karena pemerintahan itu berdasarkan persetujuan bersama sebagai masyarakat negara. Kekuasaan presiden diberikan kepadanya oleh masyarakat negara. Demi pembinaan yang baik (secara ekonomis, sosial, keamanan, dan sebagainya) rakyat juga memberi diri untuk taat kepada pemerintah yang dipilihnya. Dalam sistem pemerintahan yang demokratis, prinsip ini menjadi sangat jelas (demokrasi=bangsa yang diperintah oleh perwakilan yang dipilihnya).
Bagaimana dengan pemerintahan gereja? Alkitab menunjuk kepada Allah. Dialah sumber segala kuasa. Allah adalah Raja yang berdaulat atas seluruh kosmos. Allah, sebagai Pencipta, berhak dan berkuasa atas segala sesuatu. Tetapi, Allah juga memberi kuasa kepada manusia (Kej. 1:26). Semua kuasa atau otoritas manusia dapat dijabarkan dari atas, dari Allah. Otoritas dikaruniakan Allah kepada manusia, bukan berasal dari dirinya sendiri.
Kuasa mutlak atas segala sesuatu ada di tangan Allah Tritunggal. Allah Bapa pernah memberikan kuasa ini kepada Anak-Nya, kepada Mesias kita, Yesus Kristus. Mazmur-mazmur sudah bernubuat mengenai Mesias. Kata-kata yang tertera menjelaskan bahwa otoritas akan diberikan kepada Anak Allah sebagai Mesias (Mzm. 2:8-9; Mzm. 8:6, dan Mzm. 110:7). Penyataan dalam Perjanjian Baru mengenai hal ini makin jelas. Rasul Paulus melukiskan Tuhan Yesus yang sudah bangkit dari maut sebagai Raja (1Kor. 15:25-27). Tuhan Yesus sendiri beberapa kali menyatakan bahwa otoritas diberikan kepada-Nya oleh Bapa-Nya (Mat. 11:27; 28:18; Yoh. 5:22, 27; 17:2).
Pada waktu Kristus hidup di bumi, kuasa-Nya sering Dia nyatakan. Dia menghardik angin ribut dan menyembuhkan banyak orang. Dia mengeluarkan dan mengusir roh-roh jahat dan membangkitkan orang mati. Tuhan Yesus Kristus menyatakan Diri sebagai Yang berkuasa atas alam dan Yang lebih kuat daripada maut dan daripada semua Setan dan Iblis.
Tuhan Yesus Kristus adalah Kepala gereja. Karena kuasa-Nya,rasul-rasul pun diberi kuasa untuk melakukan mukjizat dan tanda tertentu dalam periode setelah kenaikan-Nya ke surga. Supaya nyata bahwa kabar mereka benar: Yesus Kristus hidup dan sudah naik ke surga dan Dia diberi kuasa untuk memerintah dunia dari surga. Untuk memperlihatkan kebenaran ini, maka Yesus memberi kuasa kepada para rasul-Nya untuk mengusir roh-roh jahat dan untuk menyembuhkan orang. Juga kuasa untuk menginjak ular dan kalajengking, untuk menahan kekuatan musuh. Yesus telah memberikan kuasa-kuasa ini kepada para rasul-Nya untuk mengabarkan kerajaan Allah yang sudah dekat di antara bangsa Israel (Mat.10; Luk.10).
Kepada Petrus (dan dengan demikian kepada kedua belas rasul) Yesus memberikan kunci-kunci Kerajaan Surga (Mat. 16:19). Dan Dia berjanji, ”Apa yang kamu ikat di dunia ini akan terikat di surga dan apa yang kamu lepaskan di dunia ini akan terlepas di surga” (Mat.18:18). Yesus, yang mempunyai otoritas mutlak dan universal, memberi otoritas kepada muridmurid-Nya untuk menjadikan semua bangsa murid-Nya, membaptis mereka dan mengajar mereka (Mat. 28:18-19), setelah kenaikan-Nya ke surga. Para rasul, dalam nama Yesus yang sudah bangkit, harus menyampaikan berita Injil tentang pertobatan dan pengampunan dosa kepada segala bangsa (Luk. 24:4648). Yesus mengutus para murid-Nya, dan mereka menerima kuasa untuk mengampuni dosa atau untuk menyatakan bahwa dosa tetap ada (Yoh. 20:2123). Dalam pekabaran Injil, Roh Kudus memainkan peran yang krusial. Dialah yang akan memimpin para rasul (yaitu kedua belas Rasul Kristus, lih. Yoh. 14:26; 16:13-15) ke seluruh kebenaran. Rasul-rasul ini dipilih Yesus untuk menjadi saksi-saksi telinga dan saksi mata. Paulus juga dibuat menjadi saksi mata dan dipilih khusus oleh Yesus secara khusus, yaitu untuk memberitakan nama Yesus kepada bangsa-bangsa lain serta raja-raja dan orang-orang Israel (Kis. 9:15). Paulus diberi kuasa dan karunia serta tanggung jawab untuk membangun jemaat (2Kor. 10:8). Paulus menulis suratnya yang kedua kepada jemaat Korintus supaya ia tidak terpaksa bertindak keras menurut kuasa yang dianugerahkan Tuhan kepadanya untuk membangun (lih. 2Kor. 13:10).
Para rasul bertindak sebagai utusan Kristus dengan kuasa yang diberikan kepada mereka oleh Tuhan, melalui Roh Kudus-Nya.
Para rasul Kristus sudah meninggal dunia. Secara langsung mereka tidak dapat lagi bertindak di dalam jemaat-jemaat. Tetapi ajaran mereka diberikan kepada gereja sebagai kunci-kunci kerajaan Allah. Ajaran itu disimpan dan disiapkan Roh Kudus dalam bentuk tulisan yang kudus (karena diilhami oleh Roh). Hasil kepemimpinan Roh ke dalam seluruh kebenaran terdapat dalam kitab-kitab Perjanjian Baru. Itulah yang dianugerahkan Roh kepada gereja Kristus sebagai asas gereja dan sumber kebenaran. Alkitab Dia berikan sebagai karunia yang paling istimewa. Firman Allah itu diberi wewenang penuh bagi segala ajaran dan kelakuan jemaat (2Tim. 3:16; 1Tes. 5:27; 2Tes. 3:14; Kol. 4:16; Why. 1:3; lih. juga Bab 1). Gereja diberi sesuatu dari atas yang berotoritas mutlak. Asalnya tidaklah intern melainkan ekstern karena dari Allah, dari atas. Gereja telah menerima pimpinan dari Alkitab. Itulah yang pertama dan yang terutama. Di samping itu ada karunia-karunia lain, seperti gembala-gembala dan pengajar-pengajar (Ef. 4:8-11)
Sumber otoritas dalam gereja tetap adalah Allah Tritunggal. Karena Allah Anak, yaitu Yesus Kristus, adalah Kepala gereja, maka segala bentuk otoritas dalam gereja berasal dari Dia. Itu sebabnya gereja wajib untuk memakai kuasa ini secara saksama dan hati-hati, bertanggung jawab sepenuhnya terhadap Tuhan-nya. Otoritas ini tidak boleh dipakai secara salah untuk hal-hal yang tidak dimaksudkan oleh Tuhan, tetapi ”sesuai dengan kehendak Allah, dan jangan karena mau mencari keuntungan, tetapi dengan pengabdian diri” (1Ptr. 5:2).
Apa maksud Tuhan dengan memberikan Alkitab-Nya dan orang-orang yang berkuasa di dalam gereja? Sama seperti para rasul yang pernah menerima perintah untuk mengabarkan Injil, begitu juga gereja telah menerima tugas untuk melayankan firman Tuhan secara benar dan menyebarkan kabar baik di dunia. Itu berarti, ketika gereja memanggil orang-orang untuk bertobat dari dosa, firman itu berkuasa. Dalam nama Tuhan gereja boleh mengabarkan bahwa Iblis sudah dikalahkan dan kuasanya tidak ada lagi terhadap semua orang yang percaya kepada Dia yang empunya segala kuasa di bumi dan di surga, yaitu Yesus Kristus. Pekabaran Injil di tengah dunia ini, ditanggungjawabkan kepada gereja. Seruan gereja ini diberi kuasa dari atas. Gereja berhak membawa firman Allah. Melalui gereja, Allah sendiri yang memanggil kembali segenap isi dunia dan seluruh ciptaan-Nya. Dia menuntut hak-Nya sebagai Allah yang berdaulat. Hak itu dicari-Nya melalui gereja. Pekabaran Injil adalah sesuatu dari Allah, yang berkuasa untuk mengaruniakan penghiburan, semangat, keyakinan iman, pengampunan dosa dan pengharapan akan hidup yang kekal.
Baik otoritas pemerintah duniawi (mis. pemerintah negara) maupun otoritas pemerintah gerejawi berasal dari Tuhan. Tetapi, ada bedanya juga. Menurut surat Paulus kepada jemaat di Roma, setiap orang harus takluk kepada pemerintah yang di atasnya. Pemerintah ini tidak percuma menyandang pedang, yaitu untuk menghukum yang berbuat jahat (lih. Rm.13:1-7).
Sifat otoritas gereja berbeda sekali. Gereja tidak boleh bertindak secara fisik, tidak menyandang pedang. Sifat otoritas gereja adalah rohani. Walaupun Tuhan Yesus Kristus berkuasa, namun Dia mengajar murid-murid-Nya tidak untuk dilayani, tetapi untuk melayani, menurut contoh-Nya sendiri, ”Anak Manusia datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani” (Mat. 20:25-28). Kuasa para rasul dan gereja tidak bersifat sama dengan kuasa pemerintah negara (Mat.26:51-52). Yesus tidak setuju dengan Yohanes dan Yakobus yang ingin menyuruh api turun dari langit untuk membinasakan penduduk-penduduk desa orang Samaria yang tidak mau menerima Yesus (Luk. 9:54-56).
Kerajaan Yesus bukan dari dunia ini, sesuai dengan perkataan-Nya kepada Pilatus. Itulah sebabnya hamba-hamba-Nya tidak boleh melawan pada waktu Yesus diserahkan ke dalam tangan orang-orang yang memegang pedangpedang dan tongkat-tongkat. Yesus adalah Raja yang datang ke dunia untuk memberi kesaksian tentang kebenaran (Yoh. 18:36-37).
Paulus tidak berjuang secara duniawi. Senjata orang Kristen bukan senjata duniawi (2Kor. 10:3-4). Perlengkapan senjata Allah berbeda dengan perlengkapan senjata duniawi (Ef. 6:11-18a). Rasul Petrus menegaskan bahwa pemerintahan oleh para penatua di jemaat bersifat rohani (1Ptr. 5:1-3).
Dalam Alkitab hanya diberikan prinsip-prinsip otoritas gereja. Gereja dipanggil untuk membentuk otoritas gereja sesuai dengan garis-garis dasar ini. Jelas bahwa terdapat perbedaan-perbedaan dalam pembentukan jemaat seperti itu, tergantung dari pengertian dan penafsiran terhadap firman Tuhan mengenai hal ini.
Perjanjian Lama
Anggota-anggota ”Gereja Perjanjian Lama” (bangsa Israel) semua adalah warga negara. Negara itu pada hakikatnya diperintah oleh Tuhan Allah melalui nabi, imam, dan raja. Sistem pemerintahan itu disebut teokrasi (Allah memerintah). Pemerintahan itu mempunyai sifat yang sangat spesifik dan yang memengaruhi semua aspek kehidupan bersama dalam negara itu, baik politik, ekonomi, sosial-budayanya, dan seterusnya. Tidak ada bidang kehidupan yang tidak dikenai pemerintahan Tuhan. Pada masa sekarang tidak ada negara duniawi yang warga-warganya semua adalah anggota dari gereja yang sama. Tuhan Allah, setelah Hari Pentakosta, sudah masuk ke jalan yang berbeda sekali untuk memerintah orang-orang pilihan-Nya menuju bumi baru.
Perjanjian Baru
Rasul-rasul membangun jemaat-jemaat di mana pun. Karena rasul-rasul hanya tinggal dalam jemaat-jemaat ini sementara waktu, mereka memberi pesan kepada jemaat-jemaat untuk memilih anggota-anggota yang penuh Roh Kudus untuk melayani sebagai pejabat-pejabat.
Quakerisme dan Darbisme
Di kalangan kaum Injili Quakerisme dan Darbisme, sama sekali tidak ada jabatan. Menurut pandangan aliran-aliran ini, semua pemerintahan manusia akan menyebabkan kesulitan dan perselisihan, juga yang dilaksanakan melalui pejabat-pejabat gerejawi. Segala pemerintahan oleh manusia akan mengecilkan peran ilahi dan rohani dalam gereja. Setiap anggota gereja ini harus merasa diri terdorong dan dipimpin secara langsung oleh Roh Kudus.
Erastus
Erastus, seorang teolog di Swiss pada abad ke-16, berpendapat bahwa jabatanjabatan dalam gereja hanya diberikan untuk mengatur Pekabaran Injil. Semua kegiatan di lapangan pemerintahan patut dilaksanakan oleh pemerintah negara. Misalnya, disiplin gereja harus dilaksanakan oleh pegawai-pegawai negara. Sistem ini hanya dapat dipakai bila pemerintah negara adalah pemerintah Kristen dan semua warga negara diwajibkan untuk mengakui Kristus. Dahulu sistem ini diikuti oleh gereja-gereja Lutheran di Jerman dan di Skandinavia.
Episkopal
Episkopus (”uskup”, ”bishop”, dari bahasa Yunani epi-skopei =”melihat dari atas”, menilik). Sistem ”episkopal” berpendapat bahwa Kristus telah mempercayakan pemerintahan gereja-Nya kepada para uskup. Anggota-anggota yang bukan ahli Kitab-kitab Suci, tidak dapat diterima sebagai pejabat pemerintahan gereja. Sistem ini terdapat dalam gereja Katolik Roma, dan kami mengenal sistem ini sebagai sistem hierarki. Paus di Roma dianggap sebagai penerus Rasul Petrus. Paus mewakili Kristus dalam hal pemerintahan gereja. Sistem ”paus” didasarkan atas tafsiran Matius 16:18 dan 19. Baik Gereja Lutheran maupun Gereja Anglikan menggunakan bentuk sistem ini, tetapi tidak terlalu bersifat kaku dibandingkan dengan gereja Katolik Roma. Jelas, mereka tidak mengakui Paus di Roma, tetapi Uskup Agung mereka sendiri.
Kongregasional
Kongregasional berasal dari bahasa Latin ”con-gregere”. ”Con”=bersama-sama, ”gregere” datang. Congregatio=perkumpulan, jemaat). Setiap gereja lokal dilihat sebagai suatu badan lengkap, yang tidak tergantung pada gereja yang lain. Dalam sistem ini, kekuasaan gereja sepenuhnya berada pada anggota Jemaat, yang memiliki kekuasaan untuk mengatur dirinya sendiri secara independen dan penuh. Segala keputusan diambil oleh jemaat, yang memberi tugas kepada para pejabat untuk bertindak menurut keputusan-keputusan ini. Bukan para pejabat yang memerintah jemaat, melainkan jemaat memerintah dirinya melalui para pejabat.
Gereja Nasional
Dalam sistem ini pemerintahan gereja diberikan kepada panitia yang terdiri dari orang-orang yang mewakili gereja dan yang mewakili pemerintah negara. Panitia ini memerintah secara hierarkis semua gereja lokal. Dipandang dari segi hierarkis, sistem ini mirip dengan gereja Katolik Roma.
Presbiterial-Sinodal
”Presbiter” (dari bahasa Yunani ”presbuterion”=dewan penatua, majelis gereja, ”presbuteros”=tua-tua, penatua). Gereja diperintah oleh Kristus sebagai Kepala, yang telah memberikan jabatan-jabatan kepada gereja (Ef. 4:11-13). Melalui para pejabat (yang berkumpul dalam presbiterium (dewan gereja, majelis), Tuhan membimbing dan memelihara jemaat-Nya. Sistem ini diikuti oleh semua gereja Reformasi (Reformed dan Presbyterian).
Dalam Alkitab, jemaat-jemaat tidak hidup independen (mandiri). Lihat perkumpulan di Kisah Para Rasul 15. Lihat juga Paulus, yang berusaha agar jemaat-jemaat saling memedulikan. Ada hubungan satu dengan yang lain, sistem presbiteral mengatur hubungan itu. Jemaat lokal dipimpin oleh dewan gereja yang pada hakikatnya mempunyai otoritas penuh di gereja setempat. Untuk mengatur persekutuan antara semua gereja-gereja setempat, ada empat jenis sidang gerejawi, yaitu Majelis Gereja, rapat-rapat Klasis, Sinode Wilayah, dan Sinode Am atau Nasional. Dalam sidang-sidang ini tidak akan dibahas perkara apa pun selain yang bersifat gerejawi, dan dengan cara gerejawi. Dalam rapat yang lebih luas, hanya akan dibahas masalah-masalah yang tidak berhasil diselesaikan dalam rapat-rapat yang kurang luas atau yang menyangkut Gereja-gereja yang berkumpul dalam rapat itu.
Sidang Sinode Am adalah rapat ”yang paling luas” dalam sistem ini, bukan sidang sinode ”yang paling berkuasa”. Keputusan-keputusan selalu harus diambil oleh gereja-gereja lokal dan majelisnya. Gereja lokal mewajibkan diri untuk menjalankan keputusan rapat gerejawi yang lebih luas, ”kecuali kalau hal itu terbukti bertentangan dengan firman Allah atau dengan pasalpasal yang telah ditetapkan dalam Sinode Am” (ps. 31, Tata Gereja Belanda, Dordrecht 1619).
Ada juga gereja-gereja yang menganut sistem presbiteral, tetapi tercampur dengan unsur-unsur hierarkis. Misalnya dalam hal menempatkan seorang pendeta di suatu jemaat. Dalam gereja-gereja seperti itu, keputusan itu tidak diambil oleh majelis jemaat melainkan oleh sinode. Sistem itu dapat disebut sistem sinodal-presbiteral.
Orientasi:
Louis Berkhof membicarakan sistem-sistem pemerintahan gereja dalam buku Teologi Sistematika, volume 5: ”Doktrin Gereja” (Jakarta, 1997). Grudem membicarakan pemerintahan gereja dalam pasal 47 (Wayne Grudem, Systematic Theology).
Kesimpulannya adalah bahwa pemerintahan gereja dapat diatur secara bertanggung jawab dengan berbagai sistem. Menurutnya, hal pemerintahan gereja bukan merupakan hal ajaran yang dapat diputuskan secara mutlak. Ada faktor-faktor (sosial-budaya, perkembangan, ekonomi, kesejarahan, dan sebagainya) yang memainkan peran dalam memilih sistem yang paling cocok. Wayne Grudem menulis empat belas halaman mengenai hal ini.
Gereja Kristen harus memilih sistem pemerintahan yang sesuai dengan prinsip-prinsip alkitabiah. Tuhan memerintah jemaatNya melalui para pejabat yang diberikan-Nya.
Dalam sebuah lembaga duniawi keputusan-keputusan diambil oleh pegawai atau petugas yang bertanggung jawab. Dalam gereja hal itu berbeda. Karena gereja adalah milik Tuhan. Dialah yang menentukan bagaimana gerejaNya diperintah. Karena Kristus adalah Kepala gereja maka gereja harus menaklukkan diri kepada-Nya, juga dalam hal pemerintahan gerejawi.
Pemerintahan dalam gereja ialah hal rohani. Tuhan sendiri yang memerintah gereja oleh Roh dan firman-Nya. Untuk memelihara dan memerintah gereja-Nya, Kristus menunjuk orang-orang tertentu untuk memimpin gereja dalam namaNya. Supaya orang-orang ini mampu melaksanakan tugas yang indah ini, maka Kristus memberi mereka karunia-karunia khusus (Kis. 6:3; 1Tim. 3:13). Pekerjaan mereka bersifat pelayanan (diakoni =pelayanan). Pejabat-pejabat ini Tuhan berikan kepada jemaat-Nya (Ef. 4:11-12).
Gereja Reformasi mengaku dalam Pengakuan Iman Belanda, pasal 30: ”Kita percaya, bahwa gereja yang sejati itu harus diperintah menurut tatanan rohani yang diajarkan Tuhan kepada kita dalam firman-Nya.” Semua jabatan adalah peraturan Tuhan dan akan diatur sesuai dengan petunjuk alkitabiah. Apakah petunjuk-petunjuk dari Alkitab untuk menetapkan jabatan-jabatan di dalam gereja?
Petunjuk 1 – Tidak seorang pun dapat menjadi pejabat tanpa panggilan. PIB menetapkannya begini: ”Kita percaya, bahwa para Pelayan Firman Allah, para Penatua dan para Diaken harus dipilih untuk jabatan mereka oleh pemilihan gerejawi yang sah” (Kis. 1:23-24; Kis. 6:2-3). Petunjuk 2 – Orang-orang yang dipilih dan ditunjuk sebagai pejabat akan menerima tugas-tugas khusus. Artinya, seorang penatua tidak berhak untuk bertindak sebagai pelayan Firman, atau sebagai diaken dan sebaliknya. Petunjuk 3 – Setiap jabatan bersifat melayani. Tuhan Yesus pernah datang untuk melayani. Para pejabat Tuhan berikan kepada gereja untuk melayani dan tidak untuk dilayani (1Ptr. 5:2-3). Petunjuk 4 – Seorang pejabat mempunyai kuasa dari Tuhan karena Dialah yang memanggil dan memberi kuasa (Ef. 4:11 dan 1Kor. 12:28). Tugas itu dilaksanakan dalam nama Tuhan.
Para pejabat merupakan karunia khusus dari Tuhan kepada gereja-Nya. Mereka harus memimpin jemaat sebagai pelayan Tuhan.
Rasul (1Kor. 12:28)
Tuhan sendiri yang menentukan jabatan rasul. Mereka mempunyai status khusus di dalam gereja karena mereka adalah saksi mata dan saksi telinga dari kehidupan, kematian dan kebangkitan Yesus. Mereka ini dipimpin secara khusus oleh Roh Kudus ke dalam seluruh kebenaran (Yoh. 16:13). Mereka mewakili Dia yang telah mengutus mereka dan yang telah mempercayakan seluruh ajaran-Nya kepada mereka. Mereka diberi nama khusus, yaitu ”apostolos”, yaitu ”yang diutus” (Yoh. 13:20). Gereja diasaskan atas, dan dihubungkan dengan ajaran mereka. Ajaran para rasul ini dibuat Roh Kudus menjadi dasar gereja (Mat. 16:18; 1Kor. 15:2). Kunci-kunci Kerajaan Allah diberikan kepada mereka. Apakah yang dimaksudkan dengan kunci-kunci itu? Tidak lain dan tidak bukan adalah ajaran mereka yang di kemudian hari (karena pimpinan Roh Kudus) dibukukan ke dalam Kitab-kitab Perjanjian Baru. Rasul-rasul diberi otoritas yang paling besar di dalam gereja segala masa (Gal. 1:6-10). Jabatan rasul ditetapkan Allah sebagai jabatan sementara yang kemudian menghilang dengan kematian rasul-rasul. Mengapa? Karena tugas mereka sudah selesai. Kesaksian mereka dan pengajaran mereka adalah hasil yang dituju Allah. Pada masa kini, gereja memiliki hasil itu sebagai warisan yang paling berharga dan yang menentukan bagi gereja. Fondasi gereja telah mereka letakkan. Di atasnya gereja segala abad dapat dibangun. Gereja yang pada masa kini memberanikan diri untuk sekali lagi menetapkan rasulrasul (”pembaruan rasuli”, Apostolic Movement) meremehkan maksud Tuhan dengan jabatan para rasul. Gereja adalah sebuah bangunan yang hanya mempunyai satu batu fondasi, yaitu ajaran para rasul. Keyakinan Gereja Katolik Roma bahwa Sang Paus di Roma adalah pengganti Rasul Petrus bertentangan dengan itu. Begitu pula semua gereja (di kalangan Injili atau Karismatis) yang mengklaim pembaruan Rasuli dan menetapkan rasul-rasul yang baru.
Jemaat menerima pimpinan dari para pejabat supaya seluruh harta ”karismata” yang tersedia di dalam jemaat dapat membina seluruh jemaat, dan pekabaran Injil di luarnya.
Nabi (Ef. 4:11; 1Kor. 12:28)
Nabi-nabi menegur dan menghibur jemaat dalam nama Tuhan. Kadangkadang mereka bernubuat, artinya mereka membuka kehendak Tuhan untuk waktu yang akan datang (bnd. Agabus yang bernubuat tentang kelaparan di kota Yerusalem, Kis. 11:28; 21:10). Tugas ”nabi” pada masa kini menyangkut pelayanan Firman di dalam gereja, dan pekabaran Injil di luar gereja, di dunia.
Pengajar (Rm. 12:7)
Tugas mengajar selalu sangat penting di dalam gereja, yaitu untuk mempertahankan ajaran Alkitab dan mengalihkan dan meneruskannya kepada keturunan yang berikut.
Pemberita Injil (penginjil).
Misalnya Filipus (Kis. 8), dan semua pekabar Injil yang berjalan ke manamana, sampai ke ujung bumi, untuk mengabarkan Injil kepada semua bangsa, budaya dan bahasa.
Gembala dan Pengajar (Ef. 4:11).
Yang dimaksud adalah satu kelompok orang yang baik, yang menjaga dan mengajar kawanan domba Tuhan.
Penatua (presbuteros)(Kis. 14:23; 20:28; Rm. 12:8)
Paulus dan Petrus meneguhkan penatua dalam setiap jemaat. Kuasa dan tugasnya terbatas hanya untuk jemaat setempat saja. Setiap jemaat dipimpin oleh penatua-penatua yang dipilih dan diteguhkan dalam jemaat itu. Penatuapenatua harus memenuhi syarat-syarat tertentu (1Tim. 3; Tit. 1).
Diaken.
Orang-orang ini melayani di bidang khusus, terutama dalam ibadat (”melayani meja”), kemudian di bidang kemurahan hati, sehingga pemberian-pemberian para anggota dibagikan kepada orang-orang yang membutuhkan bantuan secara teratur (Ef. 4:12; 1Tim. 3; Kis.6). Sejak awal, gereja mempunyai beberapa jabatan yang ditetapkan melalui panggilan atau pilihan. Yaitu diaken-diaken (Kis. 6:1-6) dan penatua-penatua (Kis. 14:23; 1Tim. 3; Tit. 1). Sampai hari ini, ada gereja yang membedakan antara jabatan penatua (presbyter) dan penilik (episkopos) sebagai jabatan dengan kuasa dan posisi yang berbeda. Pada waktu Paulus memisahkan diri dari para penatua Jemaat Efesus di pantai Miletus (Kis. 20:17; 20:28), ia menyebut pemimpin-pemimpin jemaat Efesus baik sebagai penatua, maupun sebagai penilik dan sebagai gembala.
Tata Gereja Belanda (Dordrecht) menyebutkan empat jenis pelayanan, yaitu Pelayan Firman, Pengajar, Penatua, dan Diaken. Yang biasa disebut adalah tiga jenis pejabat, yaitu Pelayan Firman (penatua yang dikhususkan untuk mengajar, atau pendeta, 1Tim. 5:17; teaching elders), Penatua (yang memimpin gereja bersama-sama dengan Pelayan Firman, ruling elders). Pelayan Firman bersama dengan para penatua yang lain membentuk majelis gereja. Di samping itu ada Diaken, yang bidang pelayanannya terbatas, dan yang tugas dan wewenangnya juga terbatas (ia tidak mempunyai wewenang untuk memimpin gereja). Para pejabat ini dipilih oleh jemaat. Berdasarkan keyakinan bahwa Tuhan sendiri yang memilih mereka dan mengangkat mereka melalui pilihan jemaat. Pada waktu peneguhan, mereka semua harus menjawab positif pertanyaan ”Apakah Saudara merasa dalam hati bahwa Saudara telah dipanggil dengan sah oleh jemaat Allah, dan karena itu oleh Allah sendiri, ke pelayanan suci ini, yaitu masing-masing ke pelayanannya sendiri” (Tata cara peneguhan para penatua dan diaken, sebagaimana yang sering dipakai oleh gereja-gereja dengan tradisi Reformasi).
Apakah pada masa kini masih ada jabatan seperti pengajar dan nabi?
Isinya tetap ada. Setiap pelayan Firman dan penatua juga mempunyai tugas untuk mengajar, atau untuk bertindak sebagai nabi (”bernubuat” berdasarkan pemahaman wahyu yang tersedia dalam firman Allah). Seorang Pelayan Firman pada hakikatnya adalah ”nabi” karena ia dipanggil dan dikhususkan oleh Allah sendiri untuk membawa firman Allah kepada rakyat, gereja, dan negara.
Perempuan dalam Pelayanan?Dalam banyak gereja di dunia (dan di Indonesia), posisi perempuan dalam pelayanan sudah tidak dipermasalahkan lagi. Mereka diterima di semua jabatan, sama seperti laki-laki. Sebagai argumen, sering terdengar bahwa dalam masyarakat modern ini, perempuan dapat memenuhi segala fungsi yang dahulu biasanya dilaksanakan oleh laki-laki saja. Sebagai gereja, sebenarnya tidak salah untuk belajar dari masyarakat dan untuk menyesuaikan diri dengan perubahan kebiasaan dan perkembangan zaman. Tetapi sebaiknya tidak begitu saja, karena standar kita adalah firman Allah (Alkitab). Apakah Alkitab memang memberi ruang kepada gereja pada masa kini untuk mengubah dan menyesuaikan diri kepada konteks masa kini, juga dalam hal penerimaan perempuan dalam semua jabatan gerejawi?
Rasul Paulus memang mengatakan satu-dua hal tentang posisi perempuan dalam jemaat. Sungguh mencolok bahwa Paulus selalu menunjuk kembali ke awal dunia, pada Penciptaan dan Kejatuhan ke dalam dosa, dan tidak kepada konteks kontemporernya. Artinya, ia memakai argumen yang tidak mengikuti zaman. Berdasarkan hal itu ia menekankan kesimpulannya bahwa perempuan harus diam di dalam jemaat (1Kor. 14:34-35; 1Tim. 2:11-14). Paulus tidak melarang perempuan-perempuan untuk berbicara secara umum di dalam jemaat, hanya saja tidak berbicara dalam rangka kepemimpinan jemaat. Larangan itu merintangi jalan bagi perempuan untuk menjadi penatua (yang tugas intinya adalah untuk memimpin gereja).
Paulus juga menekankan bahwa di dalam Kristus tidak ada laki-laki atau perempuan (Gal.3:28 – melawan diskriminasi). Tetapi, sehubungan dengan petunjuk-petunjuk untuk mengatur pemerintahan di dalam gereja Kristus, Paulus memang membuat pembedaan antara laki-laki dan perempuan. Instruksi yang ia berikan kepada Timotius tentang ”penatua” semata-mata berkaitan dengan laki-laki. Ketika ia berbicara tentang diaken, mungkin dapat dibaca bahwa Paulus juga menyinggung perempuan. Dalam 1 Timotius 3:11 istilah Yunani yang dipakai Paulus seharusnya diterjemahkan dengan ”perempuan” (dan tidak dengan ’istrinya’). Berdasarkan pembedaan bahwa seorang penatua memimpin dan seorang diaken tidak (lih. di atas), kita dapat menyimpulkan bahwa Alkitab memberikan ruang untuk meneguhkan para perempuan dalam jabatan diaken. Sedangkan kepemimpinan rohani (yang dipercayakan Allah kepada jabatan penatua) tetap dilaksanakan oleh laki-laki saja.
Sejak dalam Perjanjian Lama sudah jelas bahwa orang yang memegang kuncikunci istana raja adalah orang yang sangat berkuasa. Pemegang kunci itulah yang memutuskan siapa yang boleh masuk istana raja untuk bergaul dengan raja (Yes. 22:21-22). Sesudah Petrus mengucapkan pengakuan mengenai Yesus, Sang Kristus, Yesus berkata, ”Kepadamu akan Kuberikan kunci Kerajaan Surga. Apa yang kauikat di dunia ini akan terikat di surga dan apa yang kaulepaskan di dunia ini akan terlepas di surga” (Mat. 16:19). Dari Matius 18:18 nyata bahwa ”kuasa kunci” ini sebenarnya diberikan kepada kedua belas murid Yesus, bukan hanya kepada Petrus. Di atas kita sudah membahas arti kunci-kunci ini. Karena pentingnya, di bawah ini kita akan menelitinya secara lebih saksama.
Apa arti kunci-kunci ini? Apakah para rasul diberi kuasa untuk menyelamatkan orang? Apakah mereka berkuasa untuk membuka pintu bagi saudara itu atau saudara ini, dan menutupnya untuk orang lain? Dalam banyak cerita (khususnya dalam lingkungan Katolik Roma) Petrus dilukiskan sebagai orang yang berdiri di pintu gerbang surga untuk membuka atau menu tupnya bagi orang yang sudah meninggal dunia dan tiba di pintu itu. Apakah ghambaran itu sesuai dengan maksud Yesus dalam Matius 16? Kita sudah melihat, bahwa Tuhan Yesus mengikatkan kunci-kunci yang diberikan Nya atas pengakuan Petrus. Pengakuan itu merupakan norma atau syarat untuk boleh masuk surga. Tuhan Yesus mengatakan bahwa muridmurid-Nya membuka Kerajaan Surga dengan membawa kabar baik mengenai kemenanganNya atas maut. Siapa yang menerima kabar ini, bertobat dan percaya, ialah yang akan diterima ke dalam Kerajaan. Pintu surga akan terbuka baginya seluas-luasnya. Pengakuan orang itu (yang sama dengan pengakuan rasuli mengenai Yesus) adalah kunci baginya untuk masuk. Bagi semua orang yang tidak mengaku Yesus sebagai Anak Allah, surga tetap tertutup. Tetapi, kabar baik yang diucapkan oleh rasul-rasul membuka Kerajaan Surga bagi orang-orang yang mendengar dan bertobat. Siapa yang percaya kepada Yesus sebagai Anak Allah akan diselamatkan.
Kunci-kunci Kerajaan Surga mengibaratkan pengakuan dan pengajaran Petrus dan para Rasul yang lain. Gereja Katolik Roma percaya bahwa pada zaman sekarang masih ada orang yang secara langsung berjabatan sebagai rasul-rasul, lengkap dengan wibawa untuk memakai kunci sebagai portir surga. Tugas ini dialihkan dari Petrus kepada Paus. Dalam tradisi Reformasi, ditekankan bahwa kuasa yang diberikan kepada rasul-rasul sebenarnya adalah kuasa yang terdapat dalam pelayanan Firman. Pelayanan Firman itu mencakup wibawa untuk membuka dan menutup Kerajaan Surga. Kuasa gerejawi ini tidak diberikan kepada orang-orang tertentu (uskup dan lain-lain) melainkan merupakan ciri pelayanan Firman. Gereja sebagai milik Tuhan juga berhak dan wajib untuk memakai kuasa kunci-kunci Kerajaan Sorga dalam praktik siasat gerejawi. Disiplin Gereja pada hakikatnya tidak lain dari melayankan firman Tuhan dalam kehidupan Kristen tertentu.
”Kunci-kunci Kerajaan Surga” mengibaratkan dua sarana untuk membuka Kerajaan Surga bagi orang-orang yang percaya, dan ditutup bagi orang-orang yang tidak percaya. Kedua sarana itu adalah: Pemberitaan Injil yang kudus, dan pengucilan resmi ke luar dari jemaat Kristus
Pekabaran Injil membuka pintu Kerajaan Surga bagi orang yang menyerahkan diri pada Firman Tuhan. Pekabaran Injil menutup pintu Kerajaan Surga bagi orang yang tidak mau menyerahkan diri kepada Firman Tuhan. Demikianlah siasat gerejawi berfungsi sebagai kunci kedua kerajaan Allah.
Siasat gerejawi hanya dilaksanakan secara rohani. Orang-orang yang tidak mau menyerahkan diri kepada firman Tuhan tidak akan dipaksa atau dipukul atau dipenjarakan (dalam sejarah gereja hal itu sering terjadi, khususnya ketika gereja bercampur dengan politik). Pada masa kini, anggota-anggota gereja yang hidup dalam dosa dan tidak mau bertobat akan ditegur berdasarkan firman Allah. Kepada mereka dijelaskan bahwa dosa-dosa mereka akan menjadi rintangan bagi mereka untuk boleh masuk ke dalam Kerajaan Tuhan. Selama mereka masih bergelimang dalam dosa, mereka harus menjauhkan diri dari perayaan Perjamuan Kudus, atau dijauhkan dari perayaan itu oleh keputusan majelis. Pada akhirnya mereka dapat dikucilkan dari gereja. Dengan demikian gereja menyatakan bahwa anggota yang bergelimang dalam dosa tidak akan masuk Kerajaan Surga, selama ia tidak bertobat. Siasat gerejawi ini akan dilaksanakan oleh para penatua. Penatua-penatua bersama dengan para pendeta bertanggung jawab untuk melaksanakan siasat gerejawi. Siasat ini sering sudah lebih dahulu mulai di tingkat jemaat, yaitu pada waktu orang yang berdosa itu ditegur oleh saudara-saudaranya sesuai dengan petunjuk Yesus dalam Matius 18:15-18.
Siasat bukan alat untuk menjauhkan anggota-anggota dari gereja. Benar sekali, pelaksanaan disiplin gerejawi pada akhirnya berarti bahwa seseorang (atau satu keluarga) dijauhkan dari gereja. Tetapi, tujuan pertama dan utama dari siasat ialah untuk menobatkan anggota-anggota hingga mereka tetap tinggal aman di dalam gereja. Pada waktu Reformasi, siasat gerejawi disebut sebagai obat untuk menyembuhkan orang. Siasat adalah alat untuk menjaga kawanan domba, supaya tidak ada domba-domba yang sesat, yang hilang, dan pada akhirnya mati. Gada, tongkat, dan umban (untuk mengumban batu) adalah alat-alat gembala yang dapat memberi sedikit rasa sakit pada domba, agar mereka kembali dan tinggal dekat dalam kawanan. Begitu juga dengan siasat gerejawi.
Pada masa kini ada banyak gereja yang berpendapat bahwa siasat tidak cocok lagi sebagai alat untuk mengumpulkan dan mengamankan jemaat dan anggota-anggotanya. Berdasarkan filsafat modern, setiap orang bertanggung jawab sendiri. Tetapi, Alkitab secara jelas memberikan tanggung jawab itu kepada para pejabat. Bandingkanlah dengan Yehezkiel 3:16-21: ”Kalau Aku berfirman kepada orang jahat: Engkau pasti dihukum mati! dan engkau tidak memperingatkan dia atau tidak berkata apa-apa untuk memperingatkan orang jahat itu dari hidupnya yang jahat, supaya ia tetap hidup, orang jahat itu akan mati dalam kesalahannya, tetapi Aku akan menuntut pertanggungjawaban atas nyawanya darimu.” Gereja tidak boleh membiarkan orang berdosa terus hidup dalam dosa, seolah-olah hal ini di luar tanggung jawab gereja. Kalau siasat tidak dilaksanakan oleh gereja, maka Tuhan akan menuntut darah orang yang nanti mati dalam dosanya dari tangan orang-orang yang bertanggung jawab dalam gereja.
Bila gereja tidak memakai siasat secara alkitabiah, maka pada akhirnya anggota-anggota tidak tahu lagi apa yang baik dan benar (secara etis dan secara dogmatis) dan apa yang tidak. Siasat gerejawi merupakan alat yang pada akhirnya tajam sekali karena seorang anggota atau beberapa anggota sekaligus dapat dipotong dari jemaat. Tetapi ketajaman ini pun hanya untuk mencari keselamatan bagi mereka yang berdosa. Pada dasarnya siasat gereja memperlihatkan kasih Gembala Agung, yang tetap memanggil dombadomba-Nya yang sesat untuk kembali. Pada akhirnya Tuhan sendirilah yang membuka dan menutup Kerajaan-Nya. Hanya Dialah yang mengenal isi hati orang. Dia juga yang tahu dan melihat mana siasat gerejawi yang digunakan dengan salah, atau lemah, atau tercemar karena dosa gereja. Akhirnya Dialah yang membuka atau menutup. Tetapi tanggung jawab untuk menggembalakan kawanan-Nya di bumi dengan baik, diberikan-Nya kepada para penatua. Termasuk pelayanan siasat, yang adalah salah satu tanda yang mencirikan gereja yang sejati.
Lihat Katekismus Heidelberg Hari Minggu ke-31, p/j 85, Pertanyaan: ”Bagaimana Kerajaan surga ditutup dan dibukakan melalui pengucilan resmi dari jemaat Kristen?” Jawaban: ”Menurut perintah Kristus, mereka yang memakai nama Kristen, namun membawakan ajaran bukan Kristen atau menempuh hidup yang bukan Kristen, harus berkali-kali dinasihati secara persaudaraan. Kalau mereka tidak mau melepaskan ajaran sesatnya atau cara hidupnya yang keji, namanya harus diberitahukan kepada jemaat, atau kepada orang-orang yang oleh jemaat diangkat untuk menangani perkara-perkara semacam itu. Kalau mereka tidak menghiraukan nasihat itu, orang-orang itu akan mengucilkan mereka dari jemaat Kristen dengan cara melarang mereka menerima Sakramen-sakramen yang kudus, dan oleh Allah sendiri mereka dikucilkan pula dari kerajaan Kristus. Tetapi, jika mereka berjanji dan menunjukkan pertobatan yang sungguh-sungguh, mereka akan diterima kembali sebagai anggota Kristus dan jemaat-Nya.”
Posisi sentral dan krusial majelis Gereja untuk mengumpulkan, menjaga, melayani, membina dan menyebarkan jemaat, sudah disebut secara berulangulang dalam dogma kita mengenai ekklesia, gereja Tuhan. Kita akan menutup bab ini dengan fokus pada tugas para penatua secara praktis. Apa yang perlu mereka perhatikan, apa yang harus mereka laksanakan secara praktis, untuk membina jemaat Kristus? Apakah tanggung jawab mereka sebagai ”oikonomos”,pengatur rumah Allah? Di atas sudah jelas, bahwa pandangan kita mengenai gereja sangat ditentukan oleh pemahaman segala metafora yang dipakai Alkitab untuk mencirikan gereja Kristus. Selain itu (dan diinspirasikan oleh hal itu) kita dapat melukiskan bidang kerja yang harus diperhatikan majelis (sebagai dewan yang bertanggung jawab). Harus, karena bidang-bidang itu membentuk semua hal yang butuh diperhatikan, karena sesuai dengan apa yang dikatakan Alkitab. Di bawah ini kita menyebut enam bidang kerja, yang bersama-sama membentuk sesuatu yang kita sebut eklesiologis minimum. Dengan pengetahuan bahwa eklesiologis minimum itu adalah pengetahuan dasar bagi para penatua untuk dapat membangun jemaat setempat. Pengetahuan itu juga adalah syarat mutlak bagi setiap orang yang terlibat dalam pekerjaan misioner untuk menanam gereja di tempat di mana gereja belum ada. Kita menyebut 6 bidang, secara singkat dengan kata kuncinya, Ibadat (1), Pekabaran Injil (2), Pelayanan (3), Penggembalaan (4), Pengajaran (5), Persekutuan (6).
Malaikat-malaikat di surga selalu memuji Allah (Yes. 6:3; Why. 4:11; 15:3-4). Demi kemuliaan Tuhan kita, gereja di bumi patut mengadakan kebaktiankebaktian untuk memberi hormat kepada Tuhan. Tuhan layak menerima pujipujian dan hormat dan kuasa (Why. 4:11). Menurut Katekismus Westminster, ”Tujuan utama dan tertinggi manusia ialah memuliakan Allah dan bersukacita sepenuhnya di dalam Dia untuk selama-lamanya”. Ibadat gereja adalah platform utama untuk membenarkan hal itu. Di dalamnya majelis mewujudkan pertemuan antara Tuhan dengan bangsa-Nya. Saat ibadat itu merupakan peneguhan perjanjian yang ada antara Allah dan bangsa panggilan-Nya. Di situlah firman Allah akan dibuka, dan pengampunan dosa akan dilayankan, baik dalam pelayanan Firman (khotbah), maupun dalam pelayanan sakramen (Baptisan Kudus dan Perjamuan Kudus). Di dalam kebaktian gereja, bangsa Tuhan mendengar dan menjawab, baik dalam doa-doa syukur, syafaat, dan dengan nyanyian-nyanyian. Inilah tempat dan waktu untuk bersyukur dan untuk bertobat. Berdoa untuk semua orang, untuk dunia, untuk pemerintah negara, untuk kedatangan kerajaan Allah (1Tim. 1:1-2) dan untuk menyanyikan mazmur-mazmur dan nyanyian rohani yang lama dan yang baru (Ef. 5:19 dan Kol. 3:16).
Setiap gereja setempat wajib juga untuk memberitakan Kabar Baik kepada dunia di sekelilingnya. Tugas ini juga dapat disebut tugas misioner gereja, yang dimulai dari dekat, di lingkungan gereja sendiri, kepada masyarakat yang di tengahnya gereja itu berfungsi sebagai terang Ilahi, sebagai kubu perlindungan.
Gereja sama sekali tidak dapat menyimpan segala hartanya bagi dirinya sendiri. Allah, dalam Kristus, dan melalui jemaat, mencapai seluruh dunia. Target misioner adalah semua orang yang belum percaya dan belum bertobat. Tuhan Yesus telah berpesan kepada murid-murid-Nya untuk membawa berita mengenai kematian dan kebangkitan-Nya sampai ke ujung bumi (Mat. 28:19). Gereja Tuhan bersifat misioner. Itu merupakan ciri gereja yang sejati. Gereja dan anggota-anggotanya adalah garam dunia dan terang dunia (Mat. 5:1316). Gereja harus selalu mengingat bahwa Allah telah mengirim Anak-Nya karena kasih-Nya terhadap dunia, supaya dunia tahu kasih Allah akan dunia ini, yang ”telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal” (Yoh. 3:16).
Orientasi:
J.C. Hoekendijk, ahli misiologi Belanda, berpendapat bahwa gereja mempunyai satu tugas saja, yaitu pekabaran Injil kepada orang-orang yang tidak mengenal Tuhan. Hanya tugas inilah yang menjadi dasar adanya gereja dan mensahkan adanya gereja. Walaupun pendapat ini sangat menarik, namun Hoekendijk mengecilkan fungsi gereja sampai hanya satu tugas saja, sedangkan Alkitab memperlihatkan gereja yang mempunyai tugas-tugas lain juga, seperti yang dilukiskan di sini.
Terhadap pemerintah dan situasi negara, gereja mempunyai tugas khusus, seperti dewan yang berfungsi sebagai nabi. Gereja wajib berfungsi sebagai saksi terhadap pemerintah untuk mendorong pemerintah hingga bertindak secara jujur dan benar, demi kebaikan seluruh masyarakat dan negara. Dalam hal ini doa bagi pemerintah harus diperhatikan majelis sebagai unsur yang penting dalam ibadat gereja. Lihat pesan Paulus kepada Timotius (1Tim. 2:1-2) dan ingat juga bahwa pemerintah negara adalah pemberian Allah kepada negara, kepada masyarakat, kepada kita sebagai warga negara (Rm. 13:1). Di dalam ”masyarakat madani” (civil society) gereja adalah suatu kelompok masyarakat yang penting, dan yang mempunyai posisi dan status khusus, demi bekerja sama dan hidup bersama secara damai. Juga untuk, jika perlu, mengangkat suara sebagai penentang. Ingat misalnya kesaksian beberapa gereja di Jerman sebelum dan ketika Perang Dunia II sedang berlangsung. Mulai dengan Karl Barth, yang harus lari ke Swiss, ada gereja-gereja Kristen dan berbagai tokoh gereja yang menentang politik negara yang sangat ekstrem dalam banyak hal, khususnya terhadap orang-orang Yahudi. Dengan hormat kita menyebut di sini Bonhoeffer, seorang teolog muda, yang pada akhirnya dipenjarakan (ia menulis Surat-surat dan Tulisan-tulisan dari Penjara)dan memberikan nyawanya karena kesaksiannya.
Injil yang dipercayakan kepada gereja tidak dapat ditukarkan dengan bermacam-macam hikmat dunia (1Kor. 1, 2). Gereja tidak boleh mengubah atau menyangkal sepatah pun dari firman Tuhan dengan maksud memuaskan opini publik atau filsafat politik dan sosial-ekonomi (Why. 21:18-19).
Gereja juga bertugas untuk menunjukkan belas kasihan kepada orang yang mengalami kesusahan, baik di dalam maupun di luar gereja (Gal. 6:10; 1Tes. 3:12). Gereja yang menjadi bintang di bidang amal dengan membantu orang-orang yang sakit, yang miskin, yang menderita, yang terpenjara, yang dianiaya, dan seterusnya, memperlihatkan kasih Allah dan kasih Kristus di tengah dunia ini. Kristus sendiri juga tidak datang untuk dilayani, melainkan untuk melayani (Mat. 20:28). Rasul Yakobus menekankan bahwa ibadat yang murni ialah mengunjungi yatim piatu dan janda-janda dalam kesusahan mereka (Yak. 1:27; lihat juga Yak. 2:14-17). Tugas diakonia adalah bidang kerja yang penting sekali bagi setiap gereja setempat.
Sama seperti gembala yang mengumpulkan domba-dombanya dalam satu kawanan dengan tujuan melindungi, memelihara dan membimbing mereka, Tuhan mengumpulkan orang-orang-Nya di dalam jemaat dengan tujuan yang sama (lih. Mzm. 23:1; 28:9; 80:1; Yes. 40; Yeh. 34; Yoh. 10; Ibr. 13:20; Why. 7:17)). Tugas pastoral ini diatur majelis terutama melalui pelayanan Firman di dalam ibadat gereja. Karena itu (asal dilakukan dengan baik) anggota-anggota bertumbuh dalam iman, bertambah banyak, dan menjadi kuat untuk hidup mengikut Yesus dalam kehidupan mereka sehari-hari. Bagi mereka, Kerajaan Surga akan dibuka dan Kerajaan itu sudah mulai kelihatan di dunia ini, walaupun belum sempurna. Anggota-anggota jemaat dibimbing agar mereka hidup saleh dan tertib sebagai warga Kerajaan Allah (1Tim. 4:11). Bukan saja melalui khotbah, yang melayankan firman Allah pada saat kebaktian. Juga melalui kunjungan-kunjungan pastoral, ketika firman Allah akan dibuka dan dilayankan dalam pembicaraan pastoral. Itulah tugas inti para penatua. Anggota-anggota didorong untuk mencerminkan kemuliaan Tuhan dan pemerintahan-Nya dalam kehidupan masing-masing anggota. Orangorang yang bersedih hati akan dihiburkan (2Kor. 1:4), orang-orang yang hidup dalam dosa ditegur (Mat. 18:17). Anak-anak didorong supaya mereka mengenal Juru Selamat mereka dan percaya kepada-Nya. Penting sekali bagi seorang penatua untuk mendengarkan secara sungguh terhadap masalahmasalah yang dialami para anggota jemaat. Anggota-anggota masing-masing dirawat secara rohani oleh pekabaran Injil, baik di dalam kebaktian, maupun di rumah-rumah. Tepat, sesuai dengan pesan Tuhan Yesus: ”Gembalakanlah domba-domba dan peliharalah anak-anak domba-Ku.” (lih. Yoh.21:15-19).
Wujud gereja juga dicirikan dengan tugasnya untuk mengajar. Paulus dalam suratnya kepada Timotius, menyebutkan bahwa Gereja adalah ”tiang penopang dan dasar kebenaran (1Tim. 3:15). Untuk memelihara statusnya ini, gereja harus mengamankan ajaran gereja, doktrinnya. Dengan demikian gereja mempertanggungjawabkan tugasnya kepada Tuhannya untuk memelihara dan mengalihkan serta meneruskan segala sesuatu yang diajarkan Yesus Kristus, terutama kepada keturunan yang akan datang. Inilah juga disebut tradisi gereja. Jemaat pertama sudah memperlihatkan kesetiaannya kepada ajaran para rasul (Kis. 2:42). Yesus sendiri telah memberi perintah yang jelas kepada para murid-Nya untuk mengajar semua bangsa (Mat.28:19). Dengan tugasnya di bidang pengalihan pengajaran, gereja tetap menjaga kebenaran firman Allah, agar terangnya tidak hilang tetapi tetap menyala di dunia ini bagaikan ”pelita bagi kaki dan terang bagi jalan” (lih. Mzm. 119:105). Tanggung jawab untuk mengalihkan iman dan pengajarannya kepada keturunan yang berikut, terutama diberikan kepada orang tua. Kemudian juga kepada persekutuan gereja, untuk saling mengajar dan saling menasihati. Semuanya itu perlu didorong oleh majelis agar diperhatikan. Sebagai dewan gereja, tugas ini lebih luas lagi, khususnya untuk mengatur katekesasi ,tetapi juga untuk mengatur sekolah-sekolah teologi untuk mendidik pemuda-pemudi menjadi pelayanpelayan yang baik di dunia dan di gereja, sebagai bendahara-bendahara pengajaran iman yang benar.
Di atas kita sudah membahas katolisitas gereja. Setiap jemaat, setiap gereja setempat, adalah bagian dari gereja yang universal. Kendati kita dapat menyebut suatu gereja setempat sebagai tubuh Kristus, tetap benar juga bahwa semua gereja di dunia merupakan satu tubuh. Jemaat lokal tidak dapat hidup seakan-akan tidak ada gereja lain di dunia. Ada kewajiban untuk mencari hubungan, untuk mengadakan persekutuan, mulai dari gereja setempat dengan gereja-gereja yang terdekat, kemudian dalam lingkup wilayahnya, negaranya, sampai ke seluruh dunia. Artinya, dari lokal, regional, nasional ke universal. Hal ini dapat disebut dengan kata alkitabiah, koinonia gerejawi. Dalam Perjanjian Baru dapat kita lihat bagaimana terjadinya ikatan di antara jemaat-jemaat yang mengakui Tuhan Yesus Kristus sebagai Juru Selamat. Jemaat-jemaat ini saling membantu di bidang materi (1Kor. 16:2; 2Kor. 8:115) dan untuk mencari kehendak Tuhan dan mengambil keputusan mengenai ajaran gereja (Kis.15, mengenai hal sunat). Berdasarkan petunjuk Alkitab, jemaat-jemaat mengadakan persekutuan gereja dalam lingkup regional dan nasional dengan mengadakan sidang Klasis dan sidang Sinode. Di samping itu ada dewan-dewan gerejawi internasional, serta konferensi-konferensi gereja-gereja dari seluruh dunia. Yang terkenal adalah World Council of Churches WCC (DGD–Dewan Gereja se-Dunia). Badan ini cukup luas dan cenderung ke liberal. Termasuk dalam anggota-anggotanya adalah Gereja Katolik Roma, Gereja Lutheran, Gereja Ortodoks Timur (Rusia), bermacam-macam Gereja Metodis, Gereja Baptis, Gereja Reformed, dan lain-lain. Di samping itu ada organisasi seperti World Alliance of Reformed Churches (WARC) dan Reformed Ecumenical Council (REC). Pada 2006, WARC dan REC dipersatukan dalam World Communion of Reformed Churches (WCRC).
Kita juga menyebut di sini International Conference of Reformed Churches (ICRC). Badan ini terdiri atas Gereja-gereja yang Reformed yang mengakui Pengakuan-pengakuan Reformasi. Alkitab berwibawa mutlak sebagai firman Tuhan dan sumber pengetahuan iman.
Tugas gereja setempat untuk bersekutu dengan gereja lain juga mencakup tugasnya untuk bersatu dengan gereja-gereja lain. Pendirian WCC (1948), walaupun didasarkan prinsip-prinsip liberal, juga muncul dari keinginan kuat untuk bersatu dan untuk taat kepada perintah Tuhan untuk bersatu. Setiap gereja setempat terpanggil untuk tetap mencoba memulihkan kesatuan dan melawan segala perpecahan. Jangan lupa, bahwa suatu perpecahan pada saat terjadi, sering diiringi dengan perselisihan dan emosi yang tinggi. Setelah perpecahan, ada dua gereja yang berbeda. Kemudian, dua gereja itu berkembang. Angkatan yang terlibat dalam perselisihan pasti tidak mudah bersekutu kembali. Tetapi setelah beberapa waktu, tentu ada perubahan, baik emosional, tetapi juga doktrinal. Artinya, perlu ada perbincangan antara gereja-gereja yang dahulu berpisah itu. Untuk menelisik kemungkinan untuk kembali menjadi satu gereja. Suasana perbincangan itu harus sebaik-baiknya, berdasarkan keinginan kuat untuk bersatu kembali, sebagai saudara-bersaudara dalam satu Tuhan dan di bawah satu Kepala. Juga dengan tidak menyangkal perbedaan-perbedaan yang ada. Tetapi, mungkin perbedaan yang dahulu menyebabkan perpecahan, sekarang sudah berubah berdasarkan perkembangan pemahaman Alkitab, atau berdasarkan anggapan atau perasaan yang sudah berbeda (jangan lupa pada apa yang ditekankan di atas: Gereja adalah sesuatu yang dinamis, tidak statis). Segala upaya di bidang karya ini juga diistilahkan dengan kata oikumenis. Sama dengan kata katolik, kata ini oleh sejarahnya sulit dipakai sesuai dengan asal kata oikumene. Tetapi, maknanya pada dasarnya sangat baik dan alkitabiah (lih. mis. Kis. 17:6; Mat. 24:14). Yang diacu adalah seluruh penghuni dunia. Dalam Keterkaitannya dengan gereja, oikumene adalah gerakan untuk mempersatukan seluruh Kristen yang ada di atas dunia ini. Seruan Kristus sendiri ”supaya mereka menjadi satu sama seperti Kita” (Yoh. 17:11) dan ”supaya mereka semua menjadi satu, sama seperti Engkau, ya Bapa, di dalam Aku dan Aku di dalam Engkau, agar mereka juga di dalam Kita, supaya dunia percaya, bahwa Engkaulah yang telah mengutus Aku. Dan Aku telah memberikan kepada mereka kemuliaan, yang Engkau berikan kepada-Ku, supaya mereka menjadi satu, sama seperti Kita adalah satu: Aku di dalam mereka dan Engkau di dalam Aku supaya mereka sempurna menjadi satu, agar dunia tahu, bahwa Engkau yang telah mengutus Aku dan bahwa Engkau mengasihi mereka, sama seperti Engkau mengasihi Aku”(Yoh. 17:21-23 ITB), harus selalu bergema di dalam hati gereja setempat. Kepentingannya sangat jelas, satu dalam Kristus ”agar dunia tahu” dan ”supaya dunia percaya bahwa Engkaulah yang telah mengutus Aku”.
Gerakan Oikumene mudah-mudahan mencoba memforsir kesatuan itu dengan meletakkan dasar yang membengkok kebenaran Alkitab. ”Oikumene” dalam suasana liberal ini mulai diterobos ke semua agama dan kepercayaan yang ada di bumi ini, dan merupakan kata kunci dialog antar-agama. Tetapi jangan hendaknya teologi berkembang ke arah itu. ”Dialog antar-Agama” tidak sama dengan mencari oikumene. ”Dialog” ingin menjamin keadaan damai antarumat beragama, dan cenderung ke penerimaan perbedaan-perbedaan agamawi sebagai hal yang tidak boleh menyebabkan ketegangan dan konflik dalam masyarakat negara. Dilihat dari segi politik dan filsafat negara, hal itu memang sangat penting. Seperti di Indonesia, di mana keamanan dan respek antar-agama terjamin dalam Pancasila. Tetapi, dilihat dari segi agama dan teologinya, perbedaan-perbedaan itu tidak dapat dihapus, karena merupakan inti sifat agama-agama yang terlibat.
Dilihat dari segi teologi gereja yang berasas Alkitab (=Reformasi), oikumene semata-mata mencari kesatuan berdasarkan kesatuan pemahaman ajaran Alkitab. Segala konflik fisik harus dihindari sekuat-kuatnya. Harus ada respek terhadap keyakinan sesama manusia. Respek itu tidak membuat kita berdiam diri, melainkan menciptakan suasana yang positif untuk saling mendengar, untuk saling meyakinkan, untuk saling mengasihi. Sesuai perintah pertama dan utama yang Kristus berikan kepada gereja-Nya:
”Kasihilah sesamamu manusia.” Firman Tuhan sangat jelas bahwa hanya ada satu kebenaran, satu jalan, satu nama, satu baptisan, satu meja. Kebenaran itu harus terjaga dan disimpan gereja sebagai harta yang sangat berharga, justru dalam segala dialog, justru dalam segala perbincangan antargereja, justru di bidang karya gereja untuk bersekutu dan bersatu.
Tentu saja, gereja mempunyai tugas penting terhadap pemerintah dan negara. Rasul Paulus menekankan bahwa gereja bertugas untuk mendoakan pemerintah sehingga Tuhan akan memberikan berkat-Nya (1Tim.2:1,2). Gereja sebagai umat Tuhan di dunia dan di masyarakat, juga dipanggil (lihat di atas, mengenai bidang kerja ”pekabaran Injil”) untuk bernubuat dan untuk berfungsi sebagai garam dunia (melawan segala kemerosotan) dan terang dunia (mendorong ke keadilan sosial-ekonomi, politik, kesinambungan ekologi, dan sebagainya). Bagaimana tugas itu dapat diatur secara baik? Justru di bidang ini, gereja harus mendorong para anggotanya untuk bergerak dan hidup baik sebagai warga negara dan dunia. Pendeta bertugas untuk mendorong ke arah yang baik dan bijak, sesuai dengan pemahaman Alkitab mengenai dunia ini, dosa, dan kerajaan Allah yang akan datang. Itulah tugasnya di bidang ini, yang dipenuhinya secara khusus pada hari Minggu, di mimbar gereja. Alangkah baiknya bila seorang pendeta tidak bergiat sebagai pendeta di bidang politik. Tugasnya adalah untuk melayani jemaat. Tugas itu harus dilindungi gereja (dan majelis) dengan baik. Melalui tugasnya sebagai pelayan Firman di dalam jemaat, seorang pendeta menghadapkan semua masalah, filsafat, ancaman, dan sebagainya yang menimpa jemaatnya. Juga yang berhubungan dengan sistem-sistem politik, dan lain-lain. Itulah posisi utamanya. Seorang hamba tidak dapat mengabdi kepada dua tuan (Luk. 16:13).
sekaligus intermeso
Pekerjaan Allah untuk mencari kembali dan menyelamatkan dunia dan manusia bukan baru mulai dengan bangsa Israel. Sejak awal dunia, Allah peduli terhadap Adam dan Hawa serta keturunan mereka, dan terhadap seluruh dunia. Sesudah mereka jatuh ke dalam dosa, Allah mengadakan perjanjian dengan mereka (Kej.3:15). Isi dan pokok perjanjian itu adalah bahwa salah seorang dari keturunan Hawa akan mengalahkan Iblis. Sejak saat itu, kedatangan orang yang dijanjikan ini (”Mesias”) dijelang semua bangsa dan orang yang mengenal dan mengakui penyataan Allah yang hidup itu.
Anak-anak Adam dan Hawa menjadi bangsa besar dan makin murtad, sampai orang-orang di bumi ini tidak lagi mengenal Allah. Hanya Nuh serta keluarganya yang masih setia terhadap Allah. Melalui Air Bah, Allah menghapus seluruh bangsa yang makin jahat dan murtad itu. Dia memulai fase sejarah yang baru dengan Nuh dan anak-anaknya. Tetapi sejarah terulang lagi: Keturunan Nuh makin menolak Allah dan meremehkan segala penyataanNya, sampai semua pengetahuan tentang penyataan itu hilang. Setelah itu, Allah membiarkan umat manusia beberapa abad lamanya, sampai pada saat Dia memanggil Abraham. Dengan demikian Allah mempersempit perhatianNya dan memulai satu fase yang dapat disebut ”intermeso”. Untuk sementara waktu Dia fokus ke satu bangsa saja, yaitu Israel. Dengan maksud bahwa dari bangsa itu akan lahir Mesias yang telah dijanjikan-Nya kepada Adam dan Hawa. Janji induk itu adalah seorang Juru Selamat bagi seluruh kaum manusia, kelepasan dunia dari si Jahat. Tujuan itu tidak dilupakan-Nya selama Perjanjian Lama, selama Dia fokus kepada Israel. Dengan kedatangan Kristus, Dia kembali ke tujuan makro itu, yaitu seluruh dunia, semua bangsa. Itu sebabnya, fase sejarah Israel dapat disebut ”intermeso”. Sudah sejak kelahiranNya di Betlehem, menjadi jelas bahwa Kristus sudah datang sebagai Penebus dosa seluruh dunia, bukan hanya bagi Israel. Mesias ini bukan hanya Mesias Israel. Sudah sejak Perjanjian Lama jelas bahwa Allah mengikat perjanjianNya dengan Adam sebagai bapa leluhur pertama dari semua orang yang lahir di bumi ini. Yesus sebagai Adam yang kedua adalah Mesias dunia. Yohanes berkata bahwa Allah telah mengirim Anak-Nya karena kasih-Nya terhadap dunia (=keseluruhan ciptaan, dan bukan hanya Israel) dan keselamatan diberikan kepada orang percaya dan tidak hanya kepada orang Yahudi (Yoh. 3:16). Hal ini dibenarkan dan dinyatakan pada saat pencurahan Roh Kudus pada Hari Pentakosta. Ternyata berita yang baik mengenai Yesus Kristus harus melampaui batas negara dan bangsa Israel, untuk menyelamatkan orang-orang sampai di ujung bumi, ”kamu akan menjadi saksi-saksi-Ku di Yerusalem dan di seluruh Yudea dan Samaria dan sampai ke ujung bumi.” (Kis.1:8; lih. Mat.28:19).
Perjanjian Baru memang dengan sangat jelas menyatakan mengenai ekspansi perhatian Allah mulai dari Yerusalem sampai ke ujung bumi. Dia kembali ke tujuan-Nya utama, yaitu menebus seluruh dunia. Apa akibatnya bagi Israel, bangsa yang dikasihi-Nya, yang begitu lama sebagai bangsa perjanjian, bangsa yang satu-satunya itu? Memang, tidak berarti bahwa Tuhan membuang bangsa Israel begitu saja (setelah tugasnya selesai untuk melahirkan Juru Selamat dunia) atau melupakan perjanjian yang pernah Dia ikat dengan bangsa itu. Tetapi, juga jelas bahwa setelah penyelesaian karya Kristus di Golgota, terjadi perubahan yang sangat besar dan dalam serta yang bersifat rohani. Karena, sejak saat itu, yang disebut Allah sebagai anak-anak-Nya, bukan menurut daging (orang-orang Yahudi) melainkan menurut iman. Setiap orang yang mengakui Yesus Kristus sebagai Juru Selamat akan disebut ”keturunan Abraham” dan mengambil bagian dalam anugerah Allah. Hal ini meletakkan dasar yang lain bagi apa yang disebut bangsa Tuhan. Melalui penalaran ini (yang disokong Alkitab) semua orang sama di hadapan Allah, baik orang-orang Yahudi, maupun Yunani, dan seterusnya. Siapa yang percaya kepada Yesus adalah anak Abraham, dan menjadi warga negara kerajaan Allah di dunia ini. Semua orang yang tidak percaya kepada Tuhan Yesus Kristus sebagai Penebus (baik orang Yahudi maupun Yunani dan seterusnya) akan binasa. Tuhan Yesus menyatakan bahwa hidup yang kekal hanya diberikan kepada orang-orang yang mengenal Allah serta Anak-Nya, Yesus Kristus (Yoh.17:3). Apakah Israel (dan negaranya di tanah Kanaan) masih mempunyai posisi yang khusus di dalam rencana Tuhan? Untuk mengerti hubungan antara Israel dan bangsabangsa lain (gereja), baiklah untuk mengingat bahwa Tuhan sendirilah yang ”telah mempersatukan kedua pihak dan merubuhkan tembok pemisah, yaitu perseteruan” (Ef. 2:14). Juga perlu kita ingat, bahwa orang-orang Yunani yang percaya telah dicangkokkan sebagai tunas liar atas pohon zaitun kudus. Bangsa Abraham (Israel, akar pohon zaitun) menopang gereja dan tidak sebaliknya (Rm. 11:17-18). Itu adalah suatu kenyataan historis, sesuai dengan rencana Tuhan. Siapa yang pada waktu ini disebut bangsa Tuhan? Orang-orang percaya, yang dahulunya kafir termasuk bangsa Tuhan (Fil.3:3). Janji-janji Tuhan diteruskan kepada gereja Perjanjian Baru. Gereja itu memberi tumpangan kepada semua orang Yahudi yang percaya kepada Yesus sebagai Mesias. Yakobus menyebut gereja Perjanjian Baru ”kedua belas suku di perantauan” (Yak.1:1). Petrus menjelaskan bahwa berbagai perjanjian dalam Perjanjian Baru diberikan kepada gereja Perjanjian Baru (1Ptr. 2:4-10).
Yohanes berkata mengenai Mesias: ”Ia datang kepada milik-Nya, tetapi orang-orang milik-Nya itu tidak menerima-Nya.” (Yoh. 1:11). Rasul Paulus bertanya, ”Mungkinkah Allah telah membuang umat-Nya?” Dengan ”umat”, Paulus bermaksud menunjuk ke orang-orang Yahudi. Jawabannya jelas sekali: ”Sekali-kali tidak!” (Rm.11:1). Tuhan tidak menolak bangsa yang telah membuang Dia. Artinya, bukan bagi orang-orang dari bangsa-bangsa kafir saja ada keselamatan, tetapi bagi orang-orang Yahudi juga. Bagi semua orang Yahudi? Bagi seluruh bangsa Yunani? Bagi seluruh bangsa Indonesia? Tidak. Bagi mereka, dari bangsa-bangsa itu yang mengakui Yesus sebagai Mesias dan Juruselamat.
Paulus berkata lagi, ”Justru karena aku adalah rasul untuk bangsa-bangsa bukan Yahudi, aku menganggap hal itu kemuliaan pelayananku, yaitu kalaukalau aku dapat membangkitkan kecemburuan di dalam hati kaum sebangsaku dan dapat menyelamatkan beberapa orang dari mereka” (Rm. 11:13-14). Kemudian Paulus memakai gambaran pohon zaitun. Ada cabang-cabang asli yang dipotong. ”Tetapi mereka pun akan dicangkokkan, jika mereka tidak tetap dalam ketidakpercayaan mereka, sebab Allah berkuasa untuk mencangkokkan mereka kembali” (Rm. 11:23).
Paulus berkata, ”Sebab, ’siapa saja yang berseru kepada nama Tuhan, akan diselamatkan.’ Tetapi bagaimana orang dapat berseru kepada Dia yang belum mereka percayai? Bagaimana orang dapat percaya kepada Dia yang belum pernah mereka dengar? Bagaimana orang mendengar tentang Dia, jika tidak ada yang memberitakan-Nya?” (Rm.10:13-14).
Kesimpulannya jelas: Dalam karya pekabaran Injil, gereja tidak boleh lupa bahwa bangsa Israel sebagai bangsa, juga berhak menerima kabar baik. Gereja-gereja di seluruh dunia harus mengingat posisi khusus yang dahulu diberikan Tuhan, dalam rencana penyelamatan-Nya. Berdoalah bagi semua pekabaran Injil yang terjadi di negeri Israel, supaya banyak orang-orang Yahudi dapat mendengar Injil mengenai Yesus Kristus dan bertobat. Yesus berkata, ”Aku berkata kepadamu: Demikian juga akan ada sukacita di surga karena satu orang berdosa yang bertobat, lebih daripada sukacita karena sembilan puluh sembilan orang benar yang tidak memerlukan pertobatan” (Luk. 15:7). Gereja Kristus yang di bumi, yang sejati itu, selalu mempunyai hubungan yang erat dengan gereja yang sudah ada di surga, dan dengan Tuhannya, yang Kepada-Nya telah diberikan segala kuasa di sorga dan di bumi, dan yang telah berjanji: ”Aku menyertai kamu senantiasa sampai akhir zaman” (Mat.28:1819).