Jan A. Boersema
Agustinus, bapak gereja dari abad kelima pernah berkata, ”Aku ingin mengenal Allah, dan jiwa.” Sejak dahulu kala manusia ingin tahu siapa dia, dan seringkali jiwanya yang diutamakan.
Berdasarkan perkembangan penelitian Alkitab, kini diakui bahwa manusia harus dipandang secara holistis: tubuh dan jiwa menyatu. Juga berdasarkan ilmu modern.
Juga secara ilmiah, manusia ingin tahu siapa dia. Ilmu yang mempelajari ”manusia” disebut antropologi. Dahulu ilmu itu termasuk ilmu filsafat, yang membicarakan hubungan antara Allah dan manusia. Sekarang perhatian juga diberikan pada manusia sebagai makhluk yang seksual dan sosial, bahkan perhatian pada manusia dalam lingkup hidupnya (alam).
Dalam dogmatik Kristen kita mempelajari esensi manusia itu bersumber pada Alkitab. Dan pengetahuan yang diperoleh dari Alkitab tidak langsung bersifat ilmu karena Alkitab bukan buku ilmiah, tetapi merupakan penyataan Allah kepada umat perjanjian. Berarti, data-data alkitabiah perlu disusun dan diatur demi memaparkan sebuah keterangan yang memadai, dan dalam hal itu kadang-kadang kita tertolong oleh ilmu antropologi.1
Manusia dan binatang
Kata ”animal” (binatang) dikenal dari beberapa bahasa Barat. Sebenarnya, ”animal” menunjukkan ”jiwa yang hidup” (anima: bhs. Latin: jiwa), dalam hal itu terlihat kesamaan manusia dan binatang. Tetapi, manusia adalah animal rationale (jiwa yang mempunyai akal budi).
Filsafat pada masa dahulu membedakan hal-hal sebagai berikut: tumbuhan mempunyai anima vegetativa, yang terarah pada hidup dan berkembang biak; binatang juga mempunyai anima sensitiva, karena dapat melihat dan bergerak, sedangkan jiwa manusia mempunyai tiga bagian: vegetativa, sensitiva dan intellective (dapat berpikir dan berakal budi).
Seseorang yang percaya kepada Allah Pencipta tidak memandang tumbuhan dan binatang sebagai preformasi manusia, seperti dalam filsafat kuno itu, demikian juga dalam teori evolusi sekarang ini. Kita tahu bahwa setiap makhluk diciptakan Allah sesuai dengan jenisnya, dan dengan tujuan tersendiri.
Kehidupan binatang terikat pada lingkungan hidup yang terbatas, sedangkan manusia hidup terarah pada seluruh dunia. Misalnya monyet tinggal di hutan, rusa di padang. Tetapi, manusia diciptakan dengan tugas untuk memenuhi bumi dan menyelidikinya dan mengolahnya dan memeliharanya. Untuk itu manusia mempunyai akal budi dan daya cipta, sedangkan binatang mengikuti naluri dan tidak merencanakan sesuatu yang baru.
Jika kita memerhatikan kepustakaan teologi dan antropologi masa kini, tersedia banyak buku tentang isu gender (jenis kelamin). Dan memang keadaan manusia sangat ditentukan oleh kenyataan itu. Hal itu sudah tampak dalam sejarah penciptaan yang kita temukan dalam kitab Kejadian: sangat mencolok terciptanya manusia laki-laki dan perempuan. ”Maka Allah menciptakan manusia itu menurut gambar-Nya, menurut gambar Allah diciptakan-Nya dia; laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya mereka” (Kej. 1:27), dan kemudian Kejadian 2:7-22 tentang penciptaan Adam dan Hawa pada waktu yang berbeda.
Penelitian sejarah mengajarkan bahwa perempuan sering kali ditindas dan bahwa tempatnya di tengah masyarakat sering kali berada di baris belakang. Untunglah, mulai permulaan abad ke-20 kedudukan perempuan makin dihargai. Gerakan itu biasa disebut emansipasi perempuan. Di Indonesia, tokoh emansipasi yang terkenal adalah Raden Ajeng Kartini.
Tetapi, bukan karena kehendak Allah perempuan sering disepelekan oleh laki-laki, tetapi itu merupakan akibat dosa (bnd. Kej. 3:16: ”namun engkau akan berahi kepada suamimu dan ia akan berkuasa atasmu”). Perkataan Allah dalam nas tersebut bukan ketentuan penciptaan (ordo) yang diatur oleh Allah melainkan hukuman dan kutuk yang menimpa manusia sesudah manusia berdosa. Sama seperti kutuk yang dialami laki-laki dalam menggarap tanah: semak duri dan belukar akan tumbuh dan membuat ia akan bekerja dengan berkeringat (Kej. 3:17-19).
Penindasan terhadap perempuan makin menghilang, juga di Indonesia, meskipun masih cukup terasa dalam poligami dan juga dalam penganiayaan dan pemerkosaan terhadap perempuan, misalnya terhadap tenaga kerja wanita. Dan bukankah ”bisnis” di pusat pelacuran merupakan perbudakan gaya baru, yang menginjak-injak hak asasi perempuan?
Mengenai penciptaan manusia sebagaimana yang diwahyukan dalam Kejadian 1 dan kemudian dalam Kejadian 2:4 dan seterusnya sering dikatakan bahwa kedua bagian ini merupakan dua cerita yang sumbernya berbeda dan yang tidak seirama. Bagi penafsir alkitabiah, yang yakin bahwa seluruh Alkitab adalah hasil karya Roh Kudus, keduanya tidak bertentangan dan juga tidak berkelebihan. Kejadian 1 menggambarkan seluruh penciptaan Allah, yang memuncak pada penciptaan manusia. Kejadian 2:4 merupakan permulaan dari bagian-bagian kitab Kejadian, yang disebut ”toledot”, yaitu awal dari toledot pertama, ”toledot langit dan bumi”. Di sini dilukiskan apakah yang terjadi dengan bumi yang baru diciptakan itu, dan lukisan itu berkisar pada sejarah perjanjian. ”Toledot” berarti: keturunan, atau silsilah, atau hasil, singkatnya, sesuatu yang dilahirkan oleh sesuatu yang disebut sesudahnya, dalam hal ini apa yang dilahirkan oleh langit dan bumi.
Dalam Kejadian 1 tampak bahwa manusia, laki-laki dan perempuan, diciptakan menurut gambar Allah. Keduanya mempunyai tugas yang berbeda, sesuai dengan karunia yang diberikan Allah, namun di hadapan Allah mereka setara. Nyata juga, si suami disebut kepala istrinya (Ef. 5), keadaan itu tidak meniadakan kesamaan, tetapi menunjuk pada peran yang berbeda. Laki-laki harus memimpin istrinya dengan penuh kasih.
Ungkapan ”penolong yang sepadan dengan dia”, dalam Kejadian 2:18, membuktikan bahwa perempuan tidak kurang penting dibandingkan lakilaki. Bedanya adalah pembagian tugas. Kata ”penolong” tidak menunjuk sebagai bawahan. Malahan, ”penolong” dalam Alkitab dapat menunjuk pada orang yang lebih tinggi daripada yang ditolong (Mzm. 146: Penolong Yakub). Dan ”tunduklah kepada” (Ef. 5:22) tidak berarti bahwa perempuan patut menyadari posisinya yang lebih rendah daripada laki-laki, tetapi menunjukkan bahwa ia perlu patuh pada pimpinan suaminya. Hendaklah Si Suami, sebagai pemimpin yang baik, yakin bahwa pribadi istrinya tidak di bawah pribadinya sendiri. Terbukti dalam Efesus 4:26, yang berkata bahwa mereka harus saling mematuhi.
Laki-laki dan perempuan diciptakan menurut rupa dan gambar Allah. Mereka setara, walaupun tugasnya berbeda.
Topik jabatan perempuan akan dibahas dalam Bab 9 tentang gereja. Kami mencatat bahwa rasul Paulus menolak jabatan perempuan dalam 1 Timotius 2, atas tata penciptaan, ordo yang diletakkan Allah dalam ciptaan-ciptaan-Nya itu, bukan berdasarkan suatu kebiasaan yang ada pada waktu itu.
Tuhan Yesus sungguh dekat dengan perempuan-perempuan, yang bahkan menurut pandangan orang Farisi mencerminkan bahwa Tuhan Yesus tidak mempunyai harga diri. Walaupun akrab dengan pengikut perempuan, Tuhan Yesus tidak mengangkat seorang murid (rasul) perempuan. Rasul perempuan juga tidak ditemukan pada tahun-tahun berikut. Tetapi diaken-diaken perempuan ada (lih. 1Tim. 3), dan dalam pekabaran Injil perempuan juga turut terlibat, seperti Euodia dan Sintikhe yang pernah bekerjasama dengan Paulus, menurut Filipi 4.
Teologi Karl Barth menyingkap suatu keanehan, sebab menurutnya justru dalam kehidupan sebagai laki-laki dan perempuan terbukti bahwa manusia diciptakan sebagai gambar dan rupa Allah. Menjadi gambar Allah menunjukkan suatu relasi, kata Barth, dan bukan suatu sifat yang ada pada manusia. Kami sependapat bahwa menjadi gambar Allah memang menunjukkan suatu relasi, tetapi menurut kami, yang dimaksudkan adalah relasi antara Allah dan manusia, dan bukan relasi suami–istri sebagai relasi antarmanusia. Menurut Barth, perbedaan kelamin (gender) dan ketergantungan seorang kepada yang lain membuktikan bahwa manusia diciptakan untuk hidup bersama. Tetapi pandangannya aneh karena ia mengatakan bahwa keadaan sebagai laki-laki dan perempuan adalah unsur asasi untuk menjadi gambar Allah.
Manusia diciptakan sedemikian rupa, hingga ia dapat menjadi gambar dan rupa Allah. Dalam pandangan kami, ungkapan itu berarti bahwa manusia adalah wakil dari Allah, yang menyerupai Tuhan dalam pekerjaannya. Jadi, gambar Allah menunjukkan sebuah relasi atau hubungan. Kejadian 1:26 menyatakan bahwa Allah berfirman: ”Baiklah Kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa Kita”, dan menyusul dengan: ”supaya mereka berkuasa atas (ciptaan lain)”. Dalam menguasai ciptaan-ciptaan lain, wujud manusia keadaannya sebagai gambar dan rupa Allah.
Tidak semua penafsir Kitab Kejadian memberikan keterangan tentang relasi itu, tetapi sebagian besar memang berpendapat demikian. Begitu juga ahli-ahli dogmatik, antara lain K. Barth, dan di Belanda, K. Schilder. Dalam hal ini Schilder diikuti oleh J. Kamphuis, yang menambahkan bahwa istilah ”gambar Allah” dapat diselingi dengan ’anak Allah’. Menurut teolog Reformed yang lain, seperti J. Douma dan W.H.Velema, ungkapan ”gambar Allah” juga mempunyai unsur lain selain relasi dan panggilan, yaitu bahwa manusia adalah suatu makhluk yang dalam dirinya menyerupai Allah, misalnya manusia adalah tubuh dan jiwa, dan juga dapat dibedakan antara laki-laki dan perempuan. Tetapi menurut kami, alasan yang terakhir ini kurang memuaskan (lih. 4.2).
Terdapat pula teolog Reformed yang dengan terus terang berkata bahwa manusia menyerupai Allah, dan justru karena itu ia disebut gambar Allah (a.l. B. Wentsel). Sebab, seluruh Alkitab antropomorf adanya (Allah digambarkan seperti manusia, perhatikan misalnya ungkapan-ungkapan seperti ”hati Allah”, ”mata Allah”, ”tangan Allah”).
Tetapi, menurut kami, antropomorf itu merupakan bukti kemurahan Allah yang hendak bergaul dengan manusia, dan tidak membuktikan bahwa terdapat sesuatu pada Allah yang mengalir kepada manusia. Justru sebaliknya, Pencipta mengambil contoh dari ciptaan-Nya untuk menyatakan diri-Nya, dengan maksud agar mereka dapat mengerti siapakah Allah.
Di samping Kejadian 1, ada nas lain yang penting untuk menjelaskan kedudukan manusia, yaitu Mazmur 8, yang di dalamnya, perkataan ”hampir sama seperti Allah” menurut Velema berarti bahwa manusia adalah yang tertinggi di antara ciptaan Allah dan karena itu dekat sekali dengan Allah. Dalam hal itu kita harus mengakui bahwa tujuan Mazmur 8 baru tercapai dalam oknum dan pekerjaan Yesus Kristus (Ibr. 2).
Sering dikatakan bahwa kesamaan antara Allah dan manusia secara khusus nyata dalam pengenalan, kebenaran, dan kesucian sehingga manusia disebut gambar Allah, justru karena kebaikan-kebaikan itu. Pandangan itu menurut kami tidak benar. Kesucian Allah berbeda dengan kesucian manusia. Karuniakarunia seperti kebenaran, pengenalan, dan kesucian justru diberikan kepada manusia, supaya manusia dapat mewakili Allah, dan dapat menjadi ”gambar Allah”. Jadi kebaikan-kebaikan tersebut merupakan syarat untuk menjadi gambar Allah, bukan intinya. Kebenaran dan kesucian disebutkan dalam Efesus 4:24, pengenalan dan pengetahuan, dalam Kolose 3:10. ”Gambar” dan ”rupa” tidak menunjukkan kesamaan diri Allah dan manusia, tetapi bahwa manusia harus menunjukkan kesamaan dengan Allah dalam pekerjaannya. Manusia harus memelihara ciptaan-ciptaan lain sesuai dengan kehendak dan keinginan Allah.
Allah adalah raja, manusia raja muda
Pandangan ini berhubungan dengan topik apakah manusia yang jatuh ke dalam dosa tetap dapat disebut ”gambar Allah”. Menurut kami tidak. Sebab, apa yang dibuat oleh manusia yang tidak mengenal Allah, dilakukannya bagi dirinya sendiri. Tidak mungkin ia mewakili Allah. Hanya jika manusia percaya, ia kembali menjadi gambar Allah, yaitu sejauh mana ia menjadi manusia yang baru (lih. KH Mg 33). Dengan pandangan ini kami mengikuti K.Schilder dan J.Kamphuis.
Berbeda dengan itu adalah jawaban Douma atas pertanyaan apakah manusia pada umumnya kehilangan gambar Allah. Ia menuturkan bahwa sejarah dogma mengajarkan bahwa siapa yang menjawab dengan ”ya” menambahkan sesuatu, demikian juga yang menjawab dengan ”tidak”. Pilihan ”ya” biasanya ditambah dengan misalnya: ”tetapi tidak sepenuhnya”. Pilihan ”tidak” ditambah dengan misalnya: ”tetapi manusia tetap mempunyai kemampuan-kemampuan yang diberikan Allah kepadanya.”
Douma sendiri menjawab dengan ”ya, tetapi”, sebab:
1. Alkitab tidak mengatakan bahwa gambar Allah telah hilang. Bandingkan dengan Kejadian 9:6: ”Siapa yang menumpahkan darah manusia, darahnya akan tertumpah oleh manusia, sebab Allah membuat manusia itu menurut gambar-Nya sendiri”. Menurut Douma, nas itu tidak menunjukkan fakta penciptaan manusia pada waktu lampau, seperti yang dikatakan penafsir lain, tetapi keadaan manusia pada zaman Nuh. Jelas sekali, demikian kata Douma, Yakobus 3:9 ”Dengan lidah kita memuji Tuhan dan Bapa kita; dan dengan lidah kita mengutuk manusia yang diciptakan menurut rupa Allah”.
2. Gambar Allah merupakan pintu masuk bagi kuasa Allah di dunia ini, kata Douma. Sebab dalam pengaturan-Nya Allah juga melibatkan manusia yang tidak percaya. Begitu juga pendapat Calvin.
3. Oleh karena manusia tetap bertanggung jawab atas pengelolaan dan pemeliharaan bumi, sesuai tugas yang diberikan dalam taman Eden, maka dapat dikatakan bahwa manusia tetap dapat disebut ”gambar Allah”.
Kesimpulan Douma: manusia tetap merupakan gambar Allah, jika diperhatikan bahwa Allah yang membesarkan nama-Nya juga melalui orang yang tidak mengenal-Nya. Tetapi, sekaligus manusia itu juga yang menghinakan gambar Allah, sebab tidak mempunyai relasi dengan Allah. Ia adalah pemberontak.
Kejadian 9:6 mengatakan bahwa setiap manusia adalah gambar Allah, tetapi menurut pendapat kami, arti yang sebenarnya ialah bahwa manusia diciptakan untuk menjadi gambar Allah, berarti asal mulanya tinggi sekali. Tuhan tetap berhak atas semua manusia. Karena itu, manusia tidak boleh merampas hak Allah dengan membunuh sesamanya. Tentang manusia yang tidak percaya dapat dikatakan bahwa padanya tetap terlihat bekas-bekas kemuliaan manusia yang pertama. Tetap tampak padanya, apa tujuan manusia diciptakan, yakni untuk mengepalai makhluk yang lain. Hanya saja, ”bekas” itu berbeda dengan ”sisa”: bekas-bekas kemuliaan yang semula tetap kelihatan, tetapi tiada sisa yang ditinggalkan. Sebab manusia pertama memuliakan Allah, sebagai wakil-Nya, sedangkan manusia yang jatuh ke dalam dosa bermusuhan dengan Allah. Mungkin itu juga yang dimaksudkan Velema ketika ia berbicara tentang gambar Allah secara negatif.
Menurut kami, Yakobus 3:9 sejalan dengan Kejadian 9:6.
Gambar dan rupa Allah dapat ditafsirkan sebagai sebuah esensi. Tetapi lebih masuk akal untuk menafsirkannya sebagai fungsi: Raja Muda yang mewakili Raja (Allah).
Adam pertama dan Adam akhir
Kejadian 2:7 dibandingkan dengan 1 Korintus 15:45 menunjukkan kelebihan Kristus atas Adam. Katanya: ”Seperti ada tertulis: ’Manusia pertama, Adam, menjadi makhluk yang hidup’, tetapi Adam yang terakhir menjadi roh yang menghidupkan.” Menurut kami, ayat 45 ini harus dikaitkan juga dengan ayat - ayat yang sebelumnya, antara lain ayat 28: ”Tetapi kalau segala sesuatu telah ditaklukkan di bawah Kristus, maka Ia sendiri sebagai Anak akan menaklukkan diri-Nya di bawah Dia, yang telah menaklukkan segala sesuatu di bawah-Nya, supaya Allah menjadi semua di dalam semua.” Karena itu, kita melihat bahwa dalam menjadi manusia, Kristus juga menjadi gambar Allah seperti Adam dahulu. Berarti: Kristus bukan saja Anak Allah yang sejati, dan dalam hal itu gambar Allah, tetapi juga sebagai manusia sejati. Dia juga adalah gambar Allah, untuk memerintah ciptaan lain. Ketika Kristus dicobai di padang gurun (Mat. 4), terbukti bahwa Kristus dapat menang atas bujukan iblis, yang dalam hal yang sama, Adam dan Hawa jatuh.
Pada akhir zaman, Kristus akan menyerahkan pemerintahan-Nya kepada Allah (1Kor. 15:28), jadi tugas manusia di bumi ini sudah selesai!
Selain dari ahli dogmatik seperti Barth, Schilder dan Kamphuis, penafsirpenafsir seperti J. de Fraine dan H. Wildberger, juga telah mempertahankan pandangan tentang manusia sebagai wakil Allah.
Menurut kamus, arti kata ”gambar” (tselem) dan ”rupa” (demut) hampir sama, dan menurut kami hal itu menunjukkan keseluruhan manusia, baik tubuh maupun jiwa.
Ada yang mengatakan bahwa tselem (imago,gambar) adalah yang kontinu, dan demut (similitudo, rupa) adalah lebih dalam, dan menunjukkan kemiripan dengan Allah. Tetapi sekarang diakui bahwa kedua ungkapan tersebut sinonim, dan tidak membenarkan sebuah pembedaan dogmatis.
Banyak teolog, a.l. Wentsel, mengatakan bahwa dalam arti luas semua manusia adalah gambar Allah, tetapi secara konkret hanya mereka yang percaya saja. Wentsel mengatakan bahwa Anak Allah dapat menjadi manusia justru karena Dia adalah gambar Allah yang sejati dan kekal. Karena itu, dan selanjutnya, Dia dapat menjadi gambar Allah secara ciptaan.
Menurut 2 Korintus 4:4 Kristuslah gambar Allah; bandingkan juga dengan Kolose 1:15, dan Roma 8:29. ”Kristus adalah titik orientasi untuk pembaruan manusia, mulai dari sekarang,” kata Wentsel.
Menurut Velema, sesudah jatuh ke dalam dosa manusia menjadi gambar Allah secara negatif (dalam modus negatif), hanya tidak jelas, apa yang dimaksudkan dengan itu.
Yang menarik adalah kesimpulan Velema, bahwa dalam dunia Timur Tengah pada umumnya apa yang disebut ”gambar dan rupa” itu adalah sebuah gambar Allah, yang dibuat oleh manusia (lukisan, patung). Tetapi ”gambar dan rupa” dalam Alkitab menunjukkan manusia, yang dibuat oleh Allah.
Dalam ajaran Katolik Roma selalu dibedakan antara yang kodrati dan yang adikodrati. ”Gambar Allah” dalam pandangan itu adalah sesuatu yang bersifat adikodrati, yang tidak dengan sendirinya ada pada manusia, tetapi akan diperlengkapi melalui sakramen, yang di dalamnya ”gambar Allah” diberikan sebagai suatu donum superadditum ’pemberian tambahan’, yang tidak ada pada manusia secara kodrati.
Dalam ajaran Lutheran, khususnya sebagaimana disebarkan oleh A.
Oseander, gambar Allah berarti manusia mempunyai bagian dalam tabiat ilahi Allah, melalui tabiat Kristus yang manusiawi. Menurut Oseander, Kristus telah menjadi manusia juga, seandainya manusia tidak pernah jatuh kedalam dosa. Menurut kami, pandangan itu merupakan khayalan belaka.
Van Niftrik/Boland mengikuti Barth, yang berpendapat bahwa untuk mengenal manusia, kita harus memandang kepada Yesus Kristus, manusia yang sebenarnya. Ia tidak mengindahkan bahwa Yesus adalah Pengantara: Allah, yang menjadi sama dengan kita, orang berdosa. Bagi kaum Barthian, Yesus bukan Pengantara melainkan manusia yang unggul, yang dapat diikuti, dan yang di dalamnya semua manusia dipersatukan dan dilepaskan.
Menarik keterangan Abineno (hal. 49-56): manusia diciptakan dengan ”sangat baik”, berarti: ”manusia yang Allah ciptakan itu, adalah manusia yang Allah kasihi dan yang karena itu hanya yang baik yang dikehendakiNya bagi Dia” (55). Jadi, ”baik” tidak berarti ”tidak berdosa” (bnd. 57/58). Bahwa manusia diciptakan menurut ”gambar Allah” cukup dihargai Abineno. ”Gambar Allah” ia tafsirkan sebagai ”pengertian-relasi” . Manusia menerima tugas dari Allah dan menjadi wakil-Nya (53). Manusia diciptakan laki-laki dan perempuan: Supaya mereka saling membantu, saling mengasihi dan saling melengkapi (52). Perempuan disebut ”penolong”, yang tidak berarti pembantu tetapi seorang teman hidup. Bandingkan juga monografi-monografi Abineno di sekitar topik-topik penggembalaan.
Yang menarik adalah monografi Stephen Tong, 1990, yang membahas siapakah manusia dari segi filsafat maupun Alkitab.
Berdasarkan pola yang disajikan oleh ilmu antropologi, teolog-teolog Reformed seperti J. Douma dan W.H. Velema menggambarkan, bahwa manusia dalam tugasnya sebagai wakil atau bendahara Allah, harus memelihara empat atau lima relasi: dengan Allah, dengan dirinya sendiri, dengan sesamanya dan dengan alam atau lingkungan. Bahkan menurut Douma dapat dikatakan bahwa ada lagi relasi yang kelima: dengan struktur-struktur.
Manusia dilukiskan sebagai makhluk yang seksual, sosial, yang beragama, dan yang mempunyai tugas untuk memelihara alam (Velema).
Ilmu antropologi itu tentu bertolak dari manusia seperti dalam kehidupannya sekarang ini. Dan dari Alkitab kita tahu bahwa kehidupan ini dicemarkan oleh dosa, dan berbeda dengan yang semula. Namun, sesudah berdosa, manusia menunjukkan kemampuan sekadarnya untuk memelihara relasi-relasi itu. Allah yang Mahamurah itu sering mencegah dosa dan membuat manusia hidup, walaupun dalam kesusahan.
Calvin telah berbicara tentang sensus divinitatis, atau perasaan bahwa Allah ada (bnd. Bab 2).
Sedangkan pada pertengahan abad ke-20, misiolog J.H. Bavinck berkata tentang keberagamaan manusia: Manusia pada umumnya menyadari 1. keseluruhan dan harmoni alam2. adanya kaidah-kaidah tertentu3. adanya kuasa yang tinggi4. perlunya keselamatan5. bahwa hidupnya terpimpin.
Tetapi menurut teolog yang sama, Roma 1:18-20 telah memperlihatkan bahwa manusia selalu berusaha untuk menindas kesadaran itu dan menukarnya dengan pandangan yang menurut kemauannya sendiri: ”Sebab murka Allah dinyatakan dari surga atas segala kefasikan dan kelaliman manusia, yang menindas kebenaran dengan kelaliman. Karena apa yang dapat mereka ketahui tentang Allah nyata bagi mereka, sebab Allah telah menyatakannya kepada mereka. Sebab sifat-sifat-Nya yang tidak tampak, yaitu kekuatan-Nya yang kekal dan keilahian-Nya, dapat tampak dan dipahami dari karya-Nya sejak dunia diciptakan, sehingga mereka tidak dapat berdalih” (bnd. Bab 2).
Di dunia Barat, situasi rohani pada akhir abad ke-20 berubah.
Keberagamaan, seperti yang dilihat oleh Bavinck tidak merata lagi dan diganti oleh sekularisasi. Kata itu sulit diberi definisi. Ahli filsafat, Charles Taylor mengatakan bahwa ciri yang terpenting adalah bahwa ”pengakuan positif yang begitu saja terhadap yang ilahi itu” telah menghilang. Menurut Taylor, sekarang terbentuk ”suatu masyarakat yang untuk pertama kalinya dapat memiliki humanisme yang mutlak independen” (humanisme adalah aliran pikiran yang bertolak dari manusia).
Relasi dengan Allah
Dalam bagian awal bukunya Institutio, Calvin berkata bahwa seluruh isi hikmat terdiri atas dua bagian, yaitu pengenalan akan Allah dan akan dirinya (bnd. pandangan Agustinus, lih. 4.1, yang hampir sama). Tidak ada seorang pun yang dapat mengamati dirinya tanpa mengarahkan pandangnya kepada Allah yang didalam-Nya kita hidup dan bergerak (Kis. 17:18).
Hal yang sangat hakiki bagi manusia adalah memuji Allah (Mzm. 8) dan mengasihi Allah (hukum yang pertama). Relasi dengan Allah dicorakkan oleh kasih yang dengan senang menaati, yaitu seperti antara anak dan ayah (bnd. 1Yoh. 4:18).
Relasi dengan sesama
Menurut Tuhan Yesus, mengasihi sesama manusia adalah hukum yang kedua, yang sama dengan kasih kepada Allah (Mat. 22:37-40) dan hukum tersebut juga telah ditemukan dalam Kitab Perjanjian Lama, yaitu Im. 19:18.
Filsafat abad ke-20 memberikan pula perhatian sedalam-dalamnya pada hubungan dengan sesama, khususnya aliran yang disebut eksistensialisme. Di dalamnya ditemukan dua kutub: pandangan yang positif terhadap manusia, dan pandangan yang negatif.
Ahli filsafat E. Levinas memberikan arti religius pada manusia dalam kebersamaannya. Di dalam kebersamaan itu kita bertemu dengan unsur ilahi. ”Wajah dari yang lain sangat unik,” katanya. Maksudnya: wajah sesama kita. Ia juga berkata, ”sekarang agama-agama telah kehilangan wibawa, juga dialog antara Allah dan manusia kurang dipedulikan, sehingga unsur yang mutlak sekarang ditemukan dalam sesama, dan dalam berkommunikasi dengannya.”
Eksistensialisme ini lebih simpatik daripada eksistensialisme yang sebelum itu, dari ahli filsafat Sartre, yang menganggap bahwa wajah orang lain selalu mencerminkan rasa bermusuhan.
Perlu disadari bahwa kedua kutub dari eksistensialisme itu tidak bercorak Kristen.
S. Kierkegaard, mengajarkan eksistensialisme secara Kristiani.
Relasi dengan alam
Dahulu alam dan lingkungan diartikan sebagai yang mempunyai kuasa, yang harus disegani bahkan disembah. Dalam masyarakat kuno dan di dalam agama suku perasaan seperti itu tetap ada. Tetapi dalam dunia maju sekarang ini, umum diakui bahwa manusia bertanggung jawab untuk mengolah sekaligus memelihara alam. Berdasarkan Kejadian 1:28 hal itu sangat tepat, dan orang yang bukan Kristen juga menyadarinya.
Relasi dengan struktur-struktur (tambahan
dari J. Douma)
Sesama manusia ditemukan dalam struktur-struktur. Struktur adalah setiap keterikatan dan hubungan yang kontinu. Jadi terlepas dari manusia di dalamnya. Pada umumnya tentu dapat dikatakan bahwa struktur ekonomi, sosial, dan politik, dibentuk oleh manusia. Tetapi untuk seseorang secara pribadi, yang berlaku adalah bukan dia yang membentuk struktur, tetapi struktur itu sudah ada sebelum ia ada dan bahwa ia harus menerima kenyataan ekonomi, sosial, dan politik itu. Sayangnya struktur-struktur dunia yang ada sebenarnya harus mendukung perkembangan hidup manusia, tetapi pada kenyataannya sering mengancam. Seolah-olah struktur menjadi yang berkuasa (contoh: ekonomi).
Meskipun demikian, bagi kita orang Kristen, jelas bahwa kejahatan bukan berasal dari struktur (perkawinan, keluarga, atau pemerintah) tetapi dari manusia yang jatuh ke dalam dosa sehingga bumi ini berada di bawah kutuk.
Douma mengikuti O’ Donovan, Resurrection and Moral Order. ”If the Creator is not known, then the creation is not known as creation.” Atau dengan kata lain: Hanya jika kita mengakui Allah Pencipta, maka struktur-struktur yang ada dalam ciptaan itu tidak akan menakutkan kita dan kita akan meyakini bahwa Allah berkuasa di atasnya.
Relasi dengan dirinya
Manusia tidak bertindak instinktif seperti binatang, tetapi melakukan refleksi dan introspeksi, ia menilai dan mempertimbangkan. Justru agar manusia dapat bergerak dengan bebas dan baik dalam relasi-relasi tersebut, maka seharusnya ia memikirkan dan mempertimbangkan.
Mengenai relasi manusia terhadap dirinya sendiri, pada umumnya disadari bahwa introspeksi sangat perlu. Manusia seharusnya tahu siapakah dia, dan di dalam hal itu ia harus menyadari dosanya. Pengenalan akan dosa sangat penting untuk mengenal dirinya. Dalam formulir Perjamuan Malam Kudus ( gereja Reformasi dikatakan bahwa karena dosanya, manusia harus membenci dirinya.
Jadi: karena dosanya, tetapi bukan sebagai manusia. Alangkah baiknya manusia mengasihi dirinya, sebab seseorang yang membenci dirinya tidak akan berfungsi dalam masyarakat dan tidak akan mengasihi orang lain juga. Menyangkut nas yang terkenal dari Matius 22 mengenai kedua hukum yang utama, oleh Agustinus telah dikatakan bahwa kasih terhadap sesama tidak dapat terlepas dari kasih terhadap dirinya (amor sui) lebih dahulu. Bukankah firman Tuhan berbunyi: Kasihilah sesamamu seperti dirimu sendiri? Pandangan yang sama juga dipertahankan oleh S. Kierkegaard, pada abad ke-20. Tetapi Luther, Calvin, dan kemudian Barth, sangat menentang pendapat itu dan menganggap mengasihi diri sendiri itu berbahaya (keterangan C. G. Berkouwer).
Keduanya benar. Harus disadari bahwa pandangan Agustinus tidak semudah itu: walaupun menurut Agustinus amor sui adalah persyaratan dan pengukur kasih kepada sesama, dan sekaligus, amor sui adalah akar kejahatan (aku-isme).
Mengasihi diri sendiri boleh, berdasarkan kenyataan bahwa Allah menciptakan kita dan mengasihi ciptaan-Nya. Tetapi bukan itu saja: Allah juga mengirim Anak-Nya untuk melepaskan kita dari dosa dan di dalam itu juga terbukti bahwa kita berharga di mata Tuhan.
Manusia mempunyai suara hati
Bahasa Ibrani tidak mengenal kata untuk ”suara hati”. Mungkin leb ’hati’, dapat dianggap sebagai ”suara hati”. Bahasa Yunani dalam Kitab Perjanjian Baru mengenal kata suneidesis. Suara hati yang baik merasa bebas di depan Allah. Tetapi juga suara hati tidak dapat terungkap di luar anugerah Allah, sebab suara hati dapat menyesatkan manusia.
Orang yang bukan Kristen juga mempunyai sedikit pengenalan akan Allah bahkan suara hati: ”Apabila bangsa-bangsa lain yang tidak memiliki hukum Taurat oleh dorongan diri sendiri melakukan apa yang dituntut hukum Taurat, maka mereka menjadi hukum Taurat bagi diri mereka sendiri, walaupun mereka tidak memiliki hukum Taurat. Dengan itu mereka menunjukkan bahwa isi hukum Taurat ada tertulis di dalam hati mereka dan suara hati mereka turut bersaksi dan pikiran mereka saling menuduh atau saling membela” (Rm. 2:14-15).
Pada Abad Pertengahan sering dipikirkan bahwa suara hati pada dasarnya tidak dapat keliru. Tetapi pandangan itu salah. Tetapi, mereka membedakan antara synterese (± pemeliharaan) dan conscientia (suneidesis, ± mengetahui bersama). Synterese adalah kapasitas natural untuk melakukan apa yang baik dan untuk mempertahankannya terhadap yang jahat. Di samping itu adalah conscientia yang dapat keliru. Dalam pandangan Gereja Katolik Roma pada waktu itu, gereja harus membantu orang Kristen, karena itu seorang rohaniwan, seorang imam, akan menyatakan apa yang baik dan apa yang salah dalam sesi pengakuan dosa. Dengan demikian, dalam kasus conscientiae (kasus suara hati) kita dapat menunjukkan sikap yang pasti dengan pertolongan gereja.
Para reformator melihat suara hati sebagai penuduh. Memang, para reformator tetap menganggap adanya terang kodrati, tetapi itu ditindas oleh kelaliman. Calvin menggambarkan conscientia sebagai ”mengetahui bersama dengan Allah”. Menurut Calvin suara hati berada di tengah antara Allah dan manusia.
Menurut Douma, suara hati adalah lembaga dalam diri manusia yang mengkonfrontasikannya dengan setiap keputusannya, dan akan memastikannya, artinya, apakah akan menolak atau menyetujuinya.
Barth memilih relasi yang berbeda: 1). relasi dengan Allah, 2). relasi dengan sesama, 3). relasi antara jiwa dan tubuh, 4). relasi dengan waktu (yang terbatas adanya bagi manusia).
Keberadaan sebagai gambar Allah tidak bergantung pada memelihara lima relasi ini. Karena jika demikian, seseorang yang cacat mungkin tidak dapat dikatakan manusiawi. Padahal, manusia adalah gambar Allah, juga jika ia sendiri tidak menyadarinya atau tidak dapat menyadarinya.
Keberadaan sebagai manusia, yaitu gambar Allah, juga jangan dianggap terdiri dari jaringan relasi, seperti yang diajarkan oleh filsafat modern, yang menekankan bahwa manusia adalah eksistensi (ex sisto-bhs. Latin)=datang keluar, bandingkan dengan ekstasis (bhs. Yunani)= keberadaan di luar dirinya sendiri, atau kesurupan. Filsuf P. Sartre: Eksistensi (maju keluar) mendahului esensi (keberadaan): manusia tidak berada, tetapi menjadi. Jadi, kebersamaan dengan manusia lain ikut menentukan kemanusiaannya, bandingkan dengan M. Buber, ”Ich und Du” (”Aku dan engkau”)
Pada abad ke-19 dan ke-20, F. Nietsche dan S. Freud, menggugurkan suara hati, karena ada fenomena yang menyakiti manusia. Menurut Freud, esensi manusia tidak personal: Es ’libido’. Tetapi Ich ’ego’, harus menyesuaikan diri. Emanasi libido dikekang oleh perintah dan larangan, khususnya dari orang tua. Kemudian terjadi identifikasi antara Ich dan instansi dari luar, khususnya ayah, sehingga terbentuk Uber-Ich dan dengan itu moral. Jadi Ich diserang oleh Es dan oleh Uber-Ich.
Menurut Nietsche, orang yang terbaik adalah ia yang berani berlagak egoistis: itulah kebebasan mutlak. Karena kalau tidak ego-istis maka kita mengikatkan diri pada orang lain. Dan suara hati tidak boleh menghalangi manusia dalam kemauannya yang keras itu.
J.I. Packer: suara hati agak otonom, tetapi kita dapat menindasnya. Jika suara hati dibentuk oleh Firman dan jika ditaati maka ia menjadi ”Gods deputy and viceregent within us, Gods spy in our bosoms, Gods sergeant, which He employs to arrest the sinner”.
Sama seperti laki-laki maupun perempuan, keduanya adalah gambar Allah (lih. 4.2), demikianlah semua manusia, dari bangsa dan suku mana pun, diciptakan menurut gambar Allah. Berdasarkan kenyataan Alkitabiah, segala diskriminasi etnis, perbudakan, dan sukuisme harus dilawan. Cita-cita sukuisme tampil jika suatu suku menganggap dirinya lebih baik daripada yang lain: kalau perbedaan-perbedaan sengaja diperbesar, kalau dalam kasus kejahatan selalu ada orang dari suku tertentu yang dicurigai, kalau mereka selalu dikambinghitamkan, kalau suku yang satu berkuasa atas yang lain.
Sukuisme dapat menjadi sebuah ideologi, misalnya tentang ras Arya sebagai ras yang unggul oleh penganut rezim nazi-Jerman, yang disertai dengan antisemitisme: rasa benci terhadap bangsa Yahudi. Di Indonesia, ada masa yang di dalamnya orang dari etnis China sering menjadi sasaran kalau ada huru-hara.
Seluruh umat manusia berasal dari orang pertama: ”Dari satu orang saja Ia telah menjadikan semua bangsa dan umat manusia untuk mendiami seluruh muka bumi dan Ia telah menentukan musim-musim bagi mereka dan batasbatas kediaman mereka, supaya mereka mencari Allah dan mudah-mudahan mencari-cari dan menemukan Dia, walaupun Ia tidak jauh dari kita masingmasing” (bnd. Kis. 17:26-27). Asal mula yang sama merupakan alasan untuk tidak membedakan antara bangsa yang satu dan bangsa lainnya. Alasan lain adalah bahwa Kristus telah datang untuk melepaskan manusia, dengan tidak membedakan ras. Malahan Kristus sendiri selalu memberi contoh kerendahan hati dan keadilan.
Di gereja di Afrika Selatan pada 1986 dibuat satu pengakuan iman yang khusus tentang hal ini, yakni Pengakuan Belhar yang menentang ideologi apartheid yang pada waktu itu sangat dominan.
Dalam Kejadian 2:7 dikatakan bahwa Allah menciptakan tubuh manusia, sesudah itu baru menghembuskan nafas hidup ke dalam hidungnya, demikianlah manusia itu menjadi jiwa (makhluk) yang hidup. Kata dalam bahasa Ibrani nefesj, yang diterjemahkan sebagai Tubuh dan jiwa bersatu.
Sebaiknya tidak mengajar ’kekekalan jiwa’.
Sebab memberi kesan bahwa jiwa sudah ada sebelum tubuh lalu dipersatukan.
Padahal: jiwa adalah sebagian dari manusia sejak ia dikandung dalam rahim ibunya.
”jiwa”, sering berarti: ”nyawa”, atau ”hidup” atau ”manusia seanteronya” atau ”makhluk”. ”Jiwa” di sini menunjukkan manusia seluruhnya, sebagai manusia yang hidup. Jangan dikatakan bahwa tubuh dan jiwa adalah bagian-bagian yang pada hakikatnya terpisah satu dari yang lain.
Benar bahwa kita harus membedakan tubuh dan jiwa, tetapi kita jangan memisahkannya. Dapat disimpulkan bahwa ”tubuh” ialah manusia, sebagaimana tampak pada manusia yang lain, sedangkan ”jiwa” ialah manusia sebagaimana yang dikenal oleh Allah. Atau, bahwa tubuh adalah manusia bagian luar, dan jiwa adalah manusia bagian dalam.
Lebih baik kita tidak berbicara tentang kekekalan jiwa, atau ketidakfanaan jiwa. Ungkapan itu mengesankan bahwa jiwa mempunyai keberadaan tersendiri, dari kekal dan sampai kekal. Dan bahwa jiwa yang sudah lengkap dimasukkan ke dalam manusia yang juga sudah lengkap. Dengan demikian pintu terbuka bagi ajaran reinkarnasi, yaitu bahwa jiwa dapat berpindah dari oknum ke oknum.
Benar bahwa jiwa orang yang percaya kepada Tuhan, tidak akan mati. Di hadapan Allah manusia itu tetap hidup jika ia sudah mengenal Tuhan, walaupun is sudah mati. Karena: mengenal Allah, itulah ”hidup” yang sebenarnya (Yoh. 17:3). Jika orang percaya meninggal, ia tetap hidup di surga. Pada hari terakhir, jiwanya akan dipersatukan dengan tubuhnya yang diperbarui, tetapi sebelum hari itu, manusia itu juga hidup (bnd. KH Mg. Ke-22), yaitu, jiwanya ada bersama dengan Kristus di surga.
Kata jiwa dalam Perjanjian Baru adalah psyche. Tetapi arti kata psyche itu tidak selalu sama. Bandingkan 1 Korintus 2:14, yang membedakan antara manusia yang duniawi dengan yang rohani. Duniawi adalah terjemahan dari psychikos sedangkan rohani dari pneumatikos. Tetapi 1 Korintus 3:1 membedakan yang sama, dan di sana kata duniawi adalah terjemahan dari sarkinos, sedangkan rohani tetap dari pneumatikos. Berarti dalam konteks ini psyche hampir sama dengan sarx (daging), dalam arti kehidupan yang telah jauh dari Allah.
Bahkan kata pneuma (roh), kadang-kadang hampir sama dengan sarx: terjemahan dari 2 Korintus 2:13 berkata bahwa hati Paulus tidak tenang (karena tidak menjumpai Titus). Kata asli adalah pneuma, yang di sini tidak diterjemahkan dengan roh tetapi dengan hati. Sedangkan dalam 2 Korintus 7:5 dikatakan bahwa para rasul tidak beroleh ketenangan bagi tubuh (sarx) mereka.
Jadi: kata-kata Alkitab seperti nefesj, atau psyche, atau pneuma tidak memberi peluang untuk mengikuti ajaran bahwa jiwa, dan mungkin juga roh, adalah bagian yang tersendiri, dan yang selalu beroperasi terlepas dari tubuh. Keduanya, tubuh dan jiwa, bersatu. Berarti, Alkitab tidak memungkinkan untuk menentukan ajaran dikotomisme (bahwa manusia dibagi dua: tubuh dan jiwa) berdasarkan ungkapan-ungkapan tertentu. Ungkapan-ungkapan Alkitabiah bukan ungkapan teknis.
Dan yang sama seperti itu, ajaran trikotomisme (bahwa manusia dapat dibagi tiga: tubuh, jiwa, dan roh) juga tidak dapat dibenarkan. Ajaran itu biasanya didasarkan pada 1 Tesalonika 5:23: ”Semoga Allah damai sejahtera menguduskan kamu seluruhnya dan semoga roh, jiwa dan tubuhmu terpelihara sempurna tanpa cacat pada kedatangan Yesus Kristus, Tuhan kita” (kata tubuh di sini terjemahan dari kata sooma). Tetapi, nas ini tidak bermaksud untuk merumuskan ajaran.
Dalam Perjanjian Baru juga terdapat kata nous yang kadang-kadang berarti:
”pemikiran”, ”pertimbangan” (Flp.4:7), kadang-kadang ”kebijaksanaan” (2Tes.2:2). Sedangkan kata kardia, hati (leb, bhs. Ibrani) menunjukkan batin manusia, dengan kemampuannya untuk berpikir, merasakan, dan berkemauan.
Pemisahan tubuh dan jiwa sering disebabkan oleh pengaruh filsafat Yunani, yaitu dualisme (bnd. bab 10, tentang dualisme).
Menyangkut asal usul jiwa, sejak dahulu terdapat dua aliran: tradusianisme (bahwa jiwa diwarisi dari orangtua seperti misalnya ciri-ciri rambut, perawakan, dan kepandaian) dan kreationisme (bahwa Allah setiap kali menciptakan satu jiwa yang baru). Kedua aliran itu harus ditolak, sebab keduanya sama-sama mengakui pemisahan tubuh dan jiwa, padahal justru kesatuannya yang diajarkan Alkitab. Berarti, permulaan seorang manusia, baik tubuh maupun jiwa, adalah dalam rahim ibunya.
Jiwa dan tubuh dapat dipandang sebagai dua aspek dari keadaan manusia, tetapi bukan dua substansi yang berbeda. Substansi berarti: sesuatu yang ada dari dirinya sendiri. Descartes, secara dikotomistis membagi manusia menjadi: jiwa dan tubuh; sedangkan bagi Descartes, jiwa adalah semata-mata pemikiran, jadi binatang tidak berjiwa. Tetapi, bagi Plato dan Aristoteles daya pikir manusia adalah bagian tertinggi dari jiwanya yang berlapis-lapis (binatang juga mempunyai jiwa, tetapi sederhana, yaitu vegetativa dan sensitiva, bukan intellektiva, bnd. 4.1).
Pada masyarakat Indonesia pada umumnya, kesadaran terhadap dosa cukup tinggi. Jarang kita bertemu dengan seseorang yang berkata bahwa dia sungguhsungguh baik. Pengaruh agama suku dan juga dari agama Hindu dan Islam terlihat. Sebab dalam agama-agama tersebut terdapat kesadaran terhadap pelanggaran. Agama-agama tersebut masing-masing mempunyai kaidah.
Karena itu, keadaan tersebut berbeda dengan pola kehidupan dunia modern di Barat. Pada awal abad ke-20 ada ucapan M. Scheler, yang mengatakan bahwa musuh yang terbesar baginya ialah ”kompleks merasa dosa”, ”penyadaran dosa”, dan ia sangat berharap untuk dilepaskan dari itu. (W.H. Velema). Tetapi, dengan hilangnya penyesalan, dosa juga hilang, demikian juga tekad untuk memperbaiki apa yang telah rusak. Justru penyesalan dan pengampunan sangat penting untuk ketenteraman jiwa.
Tidak berarti bahwa manusia modern itu tidak tahu tentangpelanggaran-pelanggaran, tetapi itu dilihat di bidang sosial dan politik, bukan terhadap Allah, karena keberadaan Allah telah disangkal oleh manusia itu. Sedangkan Alkitab mengajarkan bahwa perlu kesadaran tentang pelanggaran di hadapan Tuhan, demi kenyamanan hidup (Mzm. 32 dan 51).
Menurut Alkitab hakikat dosa adalah tidak mengasihi Allah dan sesamanya (bnd. Mat. 22:34-40 tentang hukum yang terutama). Jadi, tidak dapat disangkal bahwa setiap pelanggaran juga mempunyai unsur sosial.
Penyesalan yang sebenarnya bukan hanya dukacita. Menurut 2 Korintus 7:10 harus kita bedakan antara kedukaan yang menurut kehendak Allah dan kedukaan duniawi: ”Sebab dukacita menurut kehendak Allah menghasilkan pertobatan yang membawa keselamatan dan tidak akan disesalkan, tetapi dukacita yang dari dunia ini menghasilkan kematian”. Penyesalan yang sebenarnya harus disertai pelatihan dalam kesalehan: mengalahkan yang jahat oleh yang baik (Rm. 12:21).
Dalam formulir Perjamuan Malam Kudus dikatakan bahwa setiap orang harus menguji diri. Dalam hal itu kita perlu menggunakan: 1). Firman Allah sebagai pedoman, 2). Iman sebagai pendorong, 3). Hormat Allah sebagai tujuan, (K. Schilder, dikutip oleh W. van ’t Spijker). Tanpa itu pengujian diri tidak akan membawa untung, sebab semua manusia sendiri pembohong adanya (bnd. PIGB pasal 7).
Martin Luther mengalami perjuangan yang amat berat, untuk melawan dosa. Ia sangat peka dan sensitif terhadap dosanya. Calvin pernah berkata tentang beliau bahwa itu mungkin disebabkan karena Tuhan hendak memberikan peran yang begitu penting kepada Luther, untuk menjadi perintis Reformasi (Van ’t Spijker).
Mereka yang berpikir modern mungkin berkesimpulan bahwa dosa adalah keputusasaan, yang berakibat bahwa manusia menyerah dan menyesuaikan diri dengan yang jahat itu (H. Wiersinga).
Luther pernah berkata bahwa seseorang yang sama sekali tidak mengalami ketakutan terhadap penghakiman Allah, tidak hidup dengan sungguh-sungguh (F. van der Pol). Murka Allah adalah suatu kenyataan Alkitabiah. Sebuah khotbah yang tidak pernah menyinggung murka itu, bukan kotbah yang sebenarnya. (Maris, mengutip Kremer).
Selain dari ”murka”, Alkitab bahkan menyinggung tentang ”kegeraman” Allah (Rm. 2:8). Dalam murka-Nya Allah sangat tergerak, sama seperti dalam kasih-Nya (Yoh. 3:16). Tanpa iman kepada Kristus murka Allah tetap tinggal atas kita (Yoh.3:36).
R. Otto, seorang teolog Jerman pada permulaan abad ke-20, meminta perhatian khusus untuk murka Allah. Ia melihat di tengah-tengah jemaat, manusia terbiasa dengan dosa. Karena itu ia berkata bahwa manusia perlu tunduk pada sesuatu yang menakutkan (tremendum) yaitu kekudusan Allah. Kekudusan itu akan menumbuhkan murka Allah kalau dirongrong.
Dalam pandangan itu Allah hampir seperti seorang diktator yang kejam.
Berkouwer bereaksi: Murka Allah bukan sesuatu yang kurang pasti dan tidak tentu. Murka itu selalu adil adanya, dan sebuah jawaban atas kelakuan manusia. (Ul. 29:5, Am. 3:2).
Bahkan menurut Wahyu 6:16, Anak Domba, Yesus Kristus, juga memurkai dosa!
Tetapi, Allah dapat berbalik juga dari murka-Nya, karena Diasungguh-sungguh Allah, bukan manusia (Hos.11:9).
Kami tidak dapat mendukung pandangan bahwa dalam setiap kelakuan yang jahat telah tampak juga suatu hukum tertentu, seperti mengenai menabur dan memanen. Seakan-akan terdapat suatu dinamika intern yang membutuhkan kejahatan dan kemudian pemberesan untuk mencapai tujuannya. Kalau begitu, murka juga tidak serius.
Ada juga yang mengatakan: ”Allah mengizinkan murka, Dia tidak mendatangkannya.” Pendapat ini berat sebelah, dan mengarah ke pandangan yang disebarkan oleh misalnya A. Ritschl (abad ke-19), yang menekankan bahwa Allah semata-mata kasih adanya.
Asal-mula dosa tidak dapat diterangkan. Kalau dikatakan bahwa iblis yang memasukkan dosa ke dalam ciptaan-ciptaan Allah, pendapat kita tidak berimbang.
Sebab dengan demikian diabaikan bahwa:
1. Iblis mula-mula diciptakan sebagai makhluk yang baik (lih. Bab 3, bagian C);
2. Manusia sendiri memilih hal yang tidak baik. Berarti: dosa timbul dari dalam hatinya sendiri. Ia berbuat dosa, bukan karena dipaksa, tetapi karena ia sendiri tidak menaruh percaya kepada firman Allah, yaitu ”titah pencobaan” (lih. 4.10).
Untuk dosa tidak ada alasan, tiada motif yang bermakna. G.C. Berkouwer bersama H. Bavinck mengajarkan bahwa dosa sebenarnya tidak mempunyai asal mula, hanya titik permulaan saja.
Alkitab menjelaskan bahwa Allah bukan sebab atau pembuat dosa. Allah itu terang adanya: ”Setiap pemberian yang baik dan setiap anugerah yang sempurna, datangnya dari atas, diturunkan dari Bapa segala terang; pada-Nya tidak ada perubahan atau bayangan karena pertukaran” (Yak. 1:17) . Dan: ”Tetapi jika kita hidup di dalam terang sama seperti Dia ada di dalam terang, maka kita beroleh persekutuan seorang dengan yang lain, dan darah Yesus, Anak-Nya itu, menyucikan kita dari segala dosa” (1Yoh. 1:7).
Yakobus 1 juga mengatakan bahwa segala pencobaan datang dari hawa nafsu kita yang tidak baik. Orang yang mengaitkan dosa dengan Allah, sebenarnya mencerminkan kegelapan dari hatinya sendiri. Siapa yang menyebut Allah sebagai pembuat dosa mendukakan Roh Kudus (Yes. 63:10). Menurut Bavinck, suatu kuasa sebesar dosa, tidak mungkin terjadi di luar kehendak Allah. Dalam arti tertentu, Allah menghendaki agar ada dosa. Jangan bicara tentang sebab dosa, tetapi tentang tujuannya.
Tentang kejatuhan Setan (pemberontakan Setan) tidak banyak yang dapat ditemukan dalam Alkitab. Hanya saja surat Yudas (Yud. 6, tentang malaikatmalaikat yang tidak taat pada batas-batas kekuasaan mereka) dan surat 2 Petrus 2:4 (tentang malaikat-malaikat yang berbuat dosa). Tetapi berdasarkan kenyataan bahwa Allah menciptakan semuanya dalam keadaan baik, sedangkan sesudah manusia diciptakan ternyata Iblis juga ada, dapat disimpulkan bahwa Iblis jatuh tidak lama sesudah hari pertama.
Penciptaan ex nihilo (penciptaan dari yang tidak ada) sebenarnya adalah penciptaan post nihilum (penciptaan sesudah yang tidak ada): jangan dianggap bahwa nihilum itu dapat dilihat sebagai suatu kuasa yang kekal.
Mengapa iblis memberontak? Apakah ia sombong? Atau ia iri hati kepada manusia yang boleh menjadi gambar Allah? Ada juga yang mengatakan bahwa ia iri hati kepada Anak Allah, oleh sebab ia sendiri sebenarnya ingin menjadi manusia.
Sesudah Pencerahan,orang Barat tidak lagi begitu percaya adanya setan.
Tetapi di Indonesia, kepercayaan itu masih kuat dan itu merupakan suatu kekuatan bagi gereja di Indonesia. Sebab Iblis justru ketawa ketika ia berhasil menghilangkan kesadaran tentang keberadaannya. Dalam kenaifan manusia, iblis dapat bekerja dengan seenaknya sendiri.
G.C. Berkouwer memperingatkan untuk tidak berbicara tentang ”rahasia dosa”, karena kata ”rahasia” dalam Alkitab menunjukkan sesuatu, yang pada saat yang ditentukan, Allah hendak dinyatakan dan diungkapkan (bnd. ”Rahasia Kristus” dalam Ef. 3). Dosa adalah sesuatu yang makin tampak sebagai kuasa yang merusak, dan bahayanya akan terlihat dalam semakin bertumbuhnya iman.
Istilah ”rahasia kedurhakaan” dalam 2 Tesalonika 2, menunjukkan sesuatu yang khusus: bukan dosa melainkan salah satu rancangan dari seorang penjahat yang akan memusnahkan rumah Allah.
B. Wentsel menguraikan peran setan dan roh-roh jahat. Tepat, katanya, bahwa dalam Perjanjian Lama kita mendengar hanya sedikit tentang roh-roh jahat. Mungkin karena perkataan seperti itu akan mudah ditafsirkan secara politeistis (J. Ridderbos). Dakwaan-dakwaan iblis terhadap Ayub dan Yosua (dalam Kitab Nabi Zakharia) menunjukkan bahwa Iblis suka merusak secara halus, dengan memutarbalikkan kata (begitu arti nama iblis sebenarnya). Juga ketika iblis mencobai Tuhan Yesus di padang gurun, ia membuktikan bahwa ia mengenal isi Alkitab tetapi pandai memalsukannya.
Kritik terhadap kebenaran Alkitab yang kita temukan dalamtafsiran-tafsiran modern, sungguh dipelopori Iblis dan tentu dibisikkan oleh Iblis juga.
Dari tingkah laku orang yang kerasukan setan, seperti dapat dibaca dalam Kitab Injil-Kitab Injil, dapat kita lihat perbuatan Iblis yang menjadi gara-gara: ia membuat seseorang menjauh dari dirinya sendiri (menganggap bahwa ia orang lain, atau Setan), ia membuat orang senang merusak, agresif, berkerumun; setan-setan itu mengenal Yesus sekaligus membenci-Nya.
4.10 titah Pencobaan
Kejadian 2:16-17 sering disebut ”titah pencobaan”: ”Lalu Tuhan Allah memberi perintah ini kepada manusia: ’Semua pohon dalam taman ini boleh kaumakan buahnya dengan bebas, tetapi pohon pengetahuan tentang yang baik dan yang jahat itu, janganlah kaumakan buahnya, sebab pada hari engkau memakannya, pastilah engkau mati.’” Manusia yang diciptakan sebagai gambar Allah, harus mewakili Allah, sebagai raja muda Allah di dunia ini. Supaya akan menjadi jelas bahwa manusia rela melaksanakan tugas itu dan tidak ingin menjadi raja, maka Tuhan memberikan titah itu. Kalau manusia memakan buah pohon pengetahuan tentang yang baik dan yang jahat, pasti ia akan mati.
Nama pohon tersebut menunjukkan bahwa manusia, setelah makan buah dari pohon yang dilarang itu, akan merasai dan mengalami bahwa ada hal yang baik dan hal yang jahat. Tidak berarti bahwa buah itu sendiri yang mempunyai kuasa untuk merusak, tetapi Tuhan akan menghukum manusia yang memakannya dengan pengetahuan tersebut. Dan pengetahuan itu bukan suatu pengetahuan yang menyenangkan. ”Mengetahui yang baik dan yang jahat” ialah mengalami dukacita dan kesakitan, bahkan mengalami maut.
Nama ”pohon kehidupan” (Kej. 2:9) menunjukkan bahwa pohon itu memberi kehidupan yang kekal. Juga bukan karena kuasa ajaib yang ada dalam buahnya, melainkan karena Tuhan memberi hidup yang kekal kepada manusia yang setia, untuk hidup beserta dengan Tuhan sampai selama-lamanya. Pohon kehidupan itu merupakan suatu tanda dari pemberian Tuhan yang indah itu. Seandainya titah itu tidak pernah disampaikan maka manusia bukan gambar Allah, sebagai orang yang bertanggung jawab, melainkan seperti benda yang mati, yang bergerak dengan sendirinya, seperti misalnya mesin.
Menurut kami boleh saja dikatakan bahwa manusia bersama iblis yang bertanggung jawab mendatangkan dosa ke dalam dunia. Yang pasti, Tuhan Allah tidak bersalah. Semuanya, yang diciptakan Allah, sungguh amat baik (Kej. 1:31).
Manusia pertama diikat pada firman Tuhan, sama seperti manusia sekarang. Tetapi, manusia pertama jatuh ketika ia mulai meragukan kebenaran firman Tuhan. Bujukan dan godaan dari pihak iblis kepada kita, mirip dengan cara yang dilakukan pada waktu itu. Iblis pun tetap berkata kepada kita, ”Tentulah Allah berfirman begini, bukan?” Dan selalu tujuan firman Tuhan diubah oleh iblis. Dan kemudian iblis berkata, ”Sekali-kali tidak akan terjadi, apa yang dikatakan Allah’ (bnd. Kej 3:1-4).
Tuhan menghendaki supaya manusia hidup, kita yakini itu sesuai dengan Yeh 18:23: ”Apakah Aku berkenan kepada kematian orang fasik? demikianlah firman Tuhan ALLAH. Bukankah kepada pertobatannya supaya ia hidup?”
Kalau kita berbicara tentang kehendak Allah, kita perlu membedakan antara kehendak Allah sebagai keputusan dan kehendak Allah sebagai perintah. Kehendak Allah yang bersifat keputusan atau rencana-Nya, tersembunyi bagi manusia, tetapi kehendak Tuhan sebagai perintah, itu nyata bagi kita. Dosa tidak terjadi di luar kehendak Allah, yaitu di luar keputusan dan rencana Allah. Tetapi, dosa sangat berlawanan dengan kehendak Allah, yang dinyatakan kepada kita dalam firman-Nya. Dalam PIGB 14, titah percobaan dengan bagus diberi julukan ”perintah yang membawa pada kehidupan”.
Dosa sangat berkuasa dalam diri manusia, dan karena itu bukan saja manusia yang menderita, tetapi bumi juga. Hubungan manusia dengan Allah akan diperbarui hanya oleh Yesus Kristus, oleh penderitaan-Nya dan kematian-Nya.
G.W. Leibniz pernah membedakan tiga macam kejahatan: metafisis, yaitu kefanaan; fisis, yaitu penderitaan; dan moral, yaitu dosa (Douma).
Abineno agaknya menekankan tanggung jawab manusia: manusia yang berbuat dosa. Tetapi, dengan sangat kuat Abineno mengatakan bahwa dosa itu datang dari manusia, dan tidak dari luar manusia. Bahwa manusia juga digodai Iblis, tidak dihargainya. Malahan ia menyangkal bahwa malaikat-malaikat yang jatuh ke dalam dosa berubah menjadi Iblis (62). Hal itu menyebabkan, bahwa Abineno kurang jelas mengenai ular dalam Kejadian 3 (63). Bahkan disangkalnya bahwa manusia dahulu berada dalam statusnya yang sempurna (Kej. 2) dan bahwa setelah itu status itu telah musnah (Kej. 3). Karena, katanya, Kejadian 2 dan 3 pada hakikatnya berkata-kata tentang manusia yang sama, yaitu manusia yang berdosa (57/58). Jadi dari permulaan, manusia telah berdosa. Hanya dalam Kejadian 2 manusia belum bertindak, sehingga dosanya belum tampak. Dapat ditariknya kesimpulan, bahwa Tuhan menciptakan manusia yang berdosa. Syukurlah, Abineno masih tetap mempertahankan, bahwa dosa tidak berasal dari Allah, tetapi dasarnya sudah kurang. Karena ia tidak menghargai Kejadian 2 sebagai status manusia yang sempurna. Kalau kita membaca Kejadian 2, langsung jelas bahwa Adam memang sudah mulai melaksanakan tugasnya: memberi nama kepada binatang-binatang. Jadi sudah bertindak, tetapi belum berbuat dosa. Sebenarnya Abineno tidak menghargai Kejadian 3 sebagai sejarah (59). ”Untuk mengetahui hakikat dosa, kita harus melihat Yesus Kristus,” kata Abineno. Itu benar. Tetapi juga Hukum Taurat diberikan untuk mengetahui dosa kita (bnd. KH Mg 2)
Alkitab berisi banyak ungkapan untuk menunjukkan dosa. Menurut Alkitab, dosa adalah pelanggaran, ketidaktaatan, pemberontakan, kesombongan, dan permusuhan dengan Allah.
Bapak-bapak gereja seperti Agustinus berkata, dosa adalah privatio boni; untuk lebih tepatnya: actuosa privatio boni. Dosa berarti bahwa yang baik (bonum) telah dicuri (privatio). Dan menyangkut actuosa: dosa adalah kekuatan yang aktif bekerja, justru karena yang baik telah hilang. Dosa itu seperti benalu, yang mengisap daya hidup dari tumbuhan lain tetapi ia sendiri tidak punya akar di tanah.
Kita harus mengindahkan firman Tuhan bahwa Si lblis dari semula juga makhluk yang baik, supaya kita tidak disesatkan oleh pandangan bahwa Allah dan Iblis berlawanan dari kekal (ajaran Manikheisme). Dosa tidak merupakan kuasa dari kekal, dan tidak mempunyai dasar dan daya dari dirinya sendiri. Dosa justru menyerupai parasit atau benalu.
Tidak benar juga kalau diajarkan bahwa ”dosa” sama dengan ”kekurangan”.
Sebab kekurangan berarti bahwa hal-hal tertentu tidak ada. Tetapi bukan karena kekurangan sesuatu yang menentukan sifat dosa. Dosa bersifat ”membinasakan”.
Dosa juga sering datang dengan menyamar, bahkan sebagai malaikat terang. Syukurlah, kata Paulus, bahwa pikiran Iblis tidak tersembunyi bagi kita (bnd. 2Kor. 2:11).
Untuk mengenal dosa, manusia harus mempunyai pengetahuan baik hukum maupun Injil. Dalam Roma 5:13, Paulus berkata: ”Sebab sebelum hukum Taurat ada, dosa telah ada di dunia. Tetapi dosa itu tidak diperhitungkan kalau tidak ada hukum Taurat.” Dan selanjutnya dalam ayat 20: ”Hukum Taurat masuk, dan akibatnya pelanggaran menjadi semakin banyak; tetapi di mana dosa bertambah banyak, di sana anugerah menjadi berlimpah-limpah”. Perkataan tentang penambahan dosa, maksudnya hendak mengatakan bahwa sesudah hukum Taurat diberikan, dosa justru bertambah banyak karena hukum itu, yang dengan percuma digunakan sebagai jalan keselamatan (G.C. Berkouwer). Kalau hukum berfungsi sebagai cermin, untuk menunjukkan dosa dan mendorong mencari Kristus, barulah hukum itu mencapai sasaran. Penggunaan hukum yang baik membawa kita pada Injil Kristus. Penggunaan hukum yang salah, seakan-akan hukum adalah jalan keselamatan, justru menambah dosa.
Betapa sulitnya untuk memberi suatu ketentuan yang tepat dan sesuai tentang arti dosa, terlihat dari ungkapan-ungkapan Alkitab yang berbedabeda.
”permusuhan”, dan ”ketidakpercayaan”. Juga kata-kata yang menekankan bahwa manusia bersifat akuistis (egoistis) atau ”selalu mengkhianati”.
Dosa selalu bersifat pengingkaran perjanjian: sebab dalam Taman Eden sudah ada perjanjian (perjanjian kerja, lih. Bab 9). Dan sama seperti Iblis yang mendekati Hawa melalui seekor ular, begitu juga sekarang, Iblis selalu datang dengan bersembunyi. Dan sama seperti ular adalah makhluk, yang sebenarnya harus diawasi dan dipimpin oleh manusia, begitu juga sekarang, Iblis mendekati kita melalui makhluk-makhluk hidup yang dekat dengan kita.
Iblis selalu bermaksud untuk membalikkan dan menghancurkan apa yang dilakukan dan diatur oleh Tuhan. Kerajaan Allah dan kerajaan kegelapan bertentangan secara total. Tuhan menghendaki damai sejahtera, Iblis menghendaki kekacauan. Tuhan menginginkan kasih, Iblis menghendaki permusuhan. Tuhan menghendaki manusia hidup, Iblis menghendaki manusia mati.
Nama diri, yang diberikan kepada penghulu roh-roh jahat, memang menerangkan sifatnya:
Apakah ada tingkatan dalam dosa? Menurut Alkitab memang ada (”Dia, yang menyerahkan Aku kepadamu, lebih besar dosanya” [Yoh. 19:11]; tentang Sodom dan Gomora,yang bahkan lebih ringan tanggungannya pada hari penghakiman daripada kota yang menolak Injil yang dibawa oleh para rasul [bnd. Mat. 10:15]).
Dalam Perjanjian Lama dibedakan antara dosa yang sengaja dilakukan dan yang tidak sengaja (Bil. 15), lihat ”hukum mengenai kota perlindungan” (Bil. 35), yang melindungi mereka yang melakukan dosa dengan tidak sengaja dan membutuhkan perlindungan terhadap penuntut darah.
Dan syukurlah, menurut Ibrani 5, seorang imam agung dapat lemah lembut dan penuh pengertian dalam hal dosa yang tidak diketahui. Terlebih Imam Besar Agung, Tuhan
Yesus.
Dalam Perjanjian Baru juga ada dosa, yang disebut ”dosa melawan Roh”, atau mendukakan Roh Kudus (Mat. 12:31-32 ; Ibr. 10:26-31 ; 1Yoh. 5 :1617). Nas-nas terakhir itu merupakan nasihat dan peringatan yang amat tajam: Kalau kita sengaja terus berbuat dosa sekalipun telah diperingatkan berulang kali, akan datang saatnya tidak ada lagi peluang untuk berbalik kembali. Kalau kita mengenal isi Alkitab, dan mengetahui siapakah Allah dan Kristus, namun sengaja menghujat-Nya maka kita melawan Roh Kudus yang berkehendak memberi iman. Itu tidak berarti bahwa kita dapat menuding-tuding orang-orang yang telah sengaja berbuat dosa; jangan sampai kita menjadi penyebab orang yang bermental lemah menjadi ketakutan karena merasa bahwa ia telah mendukakan Roh Kudus, dan tidak mempunyai kesempatan untuk bertobat. Setiap orang harus diajak untuk bertobat. Tetapi, Alkitab menasihati bahkan mengancam kita untuk tidak dengan sengaja meneruskan berbuat dosa, agar tidak terjadi bahwa kita nanti sama sekali tidak dapat berbalik lagi. Rupanya mereka yang memaki Tuhan Yesus karena Dia melakukan mukjizat karena Beelzebul, masih dapat diampuni (Mat.12). Tetapi sesudah Roh Kudus turun, tidak ada pengampunan bagi sejumlah orang yang tahu tentang Roh Kudus, tetapi menghujat-Nya.
Dosa tidak mempunyai esensi sendiri.
Dosa adalah seperti benalu (parasit).
Agustinus:
Actuoso privatio boni: yang baik (bonum) telah diambil (privatio).
Sekaligus dosa adalah kuasa yang efektif (actuoso).
Tingkatan dosa ditentukan oleh kekerasan hati dan berkanjangnya dalam kejahatan. Gereja Katolik Roma membedakan antara dosa yang dapat diampuni dan yang tidak. Ajaran Reformasi menentang hal itu karena ajaran itu mengganggugugat kedalaman dan besarnya dosa. Menurut gereja Katolik Roma, dosa harian tidak membuat orang menjadi anak murka Allah (Berkouwer, 78). Tetapi, berdasarkan perkataan Tuhan Yesus dalam Khotbah di bukit (Mat. 5–7) perbedaan tingkat tidak dapat dibenarkan, walaupun dalam pelaksanaan siasat, tentu harus ada pembandingan dan pembedaan. Yakobus mengatakan bahwa yang melanggar satu perintah, telah melanggar semua (bnd. Yak. 2:10).
Dosa pertama diperhitungkan kepada semua manusia, dan dosa itu kita sebut ”dosa warisan” atau ”dosa turunan”. Hal itu dapat dijelaskan dengan dua argumentasi yang saling memperlengkapi:
1. Kalau dilihat dari segi perjanjian, dapat dikatakan bahwa Adam diangkat oleh Allah sebagai kepala umat manusia. Allah sendiri yang telah menentukan bahwa Adam sebagai kepala dan sebagai raja, akan mewakili seluruh umat manusia yang akan lahir kelak. Dan bila seorang raja menyerang negeri yang dianggapnya musuh, maka semua warga negara turut terlibat. Begitu pula semua manusia terlibat dalam perlawanan terhadap Tuhan, yang dimulai oleh Adam.
2. Kalau dilihat dari segi keturunan, dapat dikatakan bahwa semua orang sebagai keturunan Adam, telah berada dalam tubuh Adam waktu ia berbuat dosa. Karena itu dapat dikatakan bahwa orang berbuat dosa di dalam Adam. Bandingkan dengan Ibrani 7:9-10, yang menyatakan bahwa Lewi, cicit Abraham, telah membawa persembahan kepada raja Melkisedek, ketika Abraham memberi persembahan itu kepadanya, sebab Lewi dianggap berada dalam tubuh Abraham, kakeknya.
Perhatikan bahwa hubungan antara Adam dan kita, berbeda dengan hubungan antara para ayah dan anak-anak mereka pada umumnya. Karena menurut Yehezkiel 18, anak-anak tidak akan dihukum karena dosa ayahnya. Hubungan antara Adam dan kita ditetapkan sebagai suatu hubungan yang khusus. Allah sendiri yang meletakkan hubungan itu. Kalau manusia beranggapan bahwa dalam hal itu Tuhan tidak adil, tidak boleh dilupakan bahwa Allah yang berhikmat itu tidak boleh dikritik oleh kita, manusia, dan juga bahwa Allah telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal demi penebusan dosa, termasuk penebusan dosa turunan. Jadi, kita tidak berhak mengajukan keberatan. Apalagi, kita sendiri telah menambah dosa kita tiap hari, karena itu kita harus berdiam diri. Semua orang turut melanggar perjanjian Allah bersama Adam dan di dalam Adam. Karena itu kita semua berutang, dan tabiat kita juga dirusakkan, sehingga semua manusia lahir dalam dosa.
Kedua cara berpikir tersebut di atas dinamakan foederalisme dan realisme.
Foederalisme, dari foedus=perjanjian. Keuntungan realisme adalah bahwa dosa sungguh-sungguh diperhitungkan sebagai dosa sendiri (penganutnya antara lain adalah S. Greijdanus, K. Schilder). Kalau pokok ajaran itu ditiadakan, maka Yehezkiel 18 ternyata tidak benar, yang mengatakan bahwa anak-anak tidak akan mati karena dosa orang tua.
Kristus telah datang untuk menebus semua dosa dari mereka yang percaya kepada-Nya: baik peccatum alienum (dosa dari luar), maupun peccatum proprium (dosa sendiri). Artinya, baik dosa turunan maupun dosa perbuatan.
Kalau kita berbicara tentang dosa warisan, kita harus membedakan dua unsur di dalamnya. Dosa warisan terdiri atas:
PIGB dan KH tidak membedakan utang warisan dan cemar warisan. Calvin juga tidak, karena ia hanya berbicara tentang kebaikan Allah kepada Adam, yang dibuangnya sehingga keturunannya juga cemar (Berkouwer). Namun, pembedaan antara utang dan cela tetap penting, sebagaimana kita dapat mengerti kalau kita mengingat bahwa pada abad ke-17 telah muncul ajaran dari Saumur (sebuah akademi di Perancis), yang mengutamakan cela, dan mengatakan bahwa melalui cemar itu, kita telah menjadi orang yang berutang. Menurut jalan pikiran itu, dosa Adam bukan dosa kita, dan hanya Adam saja agaknya yang dipersalahkan. Setiap orang bertanggung jawab sendiri, seperti tertera dalam 1 Raja-raja 8:46, Ayub 14:4, Mazmur 53:3, Mazmur 130:3, Mazmur 143:2, dan Pengkhotbah 7:20.
Adam dan Kristus
Pandangan Paulus mengenai Adam sebagai bapak semua orang beriman (Rm. 5), tidak berbeda dengan pandangan ahli-ahli Taurat Yahudi pada waktu itu (B. Wentsel).
Kalau kita membaca Roma 5 dengan teliti, kita mengerti bahwa dosa Adam diperhitungkan kepada kita dengan cara yang berbeda dengan penghitungan kebenaran Kristus kepada kita. Di atas telah dikatakan, bahwa semua manusia dianggap manusia yang berbuat dosa bersama Adam. Adam adalah kepala semua manusia. Apakah dengan cara itu Kristus dapat disebut kepala yang kedua? Tidak! Tidak dengan sendirinya setiap orang akan dilepaskan oleh Kristus. Dialah Pengantara bagi mereka yang percaya kepada-Nya.
Kita memang berbuat dosa bersama dengan Adam, tetapi kebenaran diperhitungkan hanya kepada orang yang percaya. Bagi mereka yang percaya, berlaku bahwa mereka sendiri seolah-olah telah melakukan, apa yang pada hakikatnya dikerjakan Kristus di atas kayu salib.
Wentsel mengatakan: Kesejajaran Adam-Kristus hanya dapat dipahami oleh iman; tanggung jawab pribadi tidak dapat mengurangi tanggung jawab bersama atau sebaliknya.
Roma 5:12: ”Sebab itu, sama seperti dosa telah masuk ke dalam dunia melalui satu orang, dan melalui dosa itu juga maut, demikianlah maut itu telah menjalar kepada semua orang, karena semua orang telah berbuat dosa.” Roma 5:15: ”Tetapi karunia Allah tidaklah sama dengan pelanggaran Adam. Sebab, jika karena pelanggaran satu orang banyak orang telah jatuh di dalam kuasa maut, jauh lebih besar lagi anugerah Allah dan karunia-Nya, yang dilimpahkan-Nya atas banyak orang karena satu orang, yaitu Yesus Kristus.” Roma 5:18-19: ”Jadi, sama seperti melalui satu pelanggaran banyak orang beroleh penghukuman, demikian pula melalui satu perbuatan kebenaran banyak orang beroleh pembenaran untuk hidup. Sebab, sama seperti melalui ketidaktaatan satu orang banyak orang telah menjadi orang berdosa, demikian pula oleh ketaatan satu orang banyak orang menjadi orang benar”
Tetapi semuanya ini didahului oleh Roma 5:1: ”Sebab itu, kita yang dibenarkan berdasarkan iman, kita hidup dalam damai sejahtera dengan Allah melalui Tuhan kita, Yesus Kristus”, dan disusul dengan Roma 6:1: ”Jika demikian, apa yang hendak kita katakan? Bolehkah kita bertekun dalam dosa, supaya semakin bertambah anugerah itu? Sekali-kali tidak!”
Dosa turunan dapat dilihat dari segi perjanjian (Adam sebagai kepala) maupun dari segi turunan (Adam sebagai bapak)
Keduanya saling memperlengkapi.
Juga harus dibedakan antara utang warisan (kesalahan asal) dan cemar warisan (kekotoran asal). Kesalahan itu mendahului kekotoran itu.
Agustinus menyatakan bahkan kebajikan manusia yang terbaik adalah splendida vitia ’dosa yang gemilang’. Kejahatan harus dicari dalam hati manusia yang berdosa, bukan dalam hubungan-hubungan sosial (Marx), dan bukan juga dalam pertentangan antara hawa nafsu dan kenyataan (Freud) atau dalam agresi manusia yang belum dikendalikan (Lorenz).
Dalam Roma 5:12 terdapat satu kesulitan dalam penerjemahan: apakah ”ef hooi” berarti: ”di dalam Adam” semua orang telah berdosa, ataukah ”ef hooi” berarti: ”karena itu”. Barangkali terjemahan yang kedua lebih tepat, hanya sebenarnya kedua kemungkinan itu menghasilkan hal yang sama, kalau dikatakan: dan ”karena itu” semua orang telah berbuat dosa, yang dimaksudkan tidak lain adalah karena hubungannya dengan Adam.
Wentsel dengan benar mengutamakan bahwa dosa dan penebusan harus dikaitkan dengan perjanjian. Sebagai akibat dari terputusnya perjanjian, Wentsel menyebut:1. Dosa manusia pertama diperhitungkan kepada setiap orang.2. Manusia ditempatkan di bawah kuasa Setan dan roh-roh jahat. 3. Manusia tidak dapat lagi berkuasa dengan baik atas dirinya dan atas makhluk lain.
4. Hukuman yang telah ditetapkan mulai dilaksanakan.Douma mengatakan bahwa sekalipun manusia telah menjadi hamba dosa, ia tetap bertanggung jawab atas dosanya. Sekarang keadaannya: non posse non peccare (Agustinus: tidak bisa hidup tanpa membuat dosa). Terdapat peccatum originale, dosa turunan, yang menyatakan:1. Dosa sudah ada sebelum kita ada.2. Dosa Adam karena ketentuan Allah telah menjadi sumber segala dosa.3. Dosa total adanya, bukan saja mengenai hawa nafsu dan seksualitas4. Dosa universal adanya, kena seluruh umat manusia telah berkembang menjadi bermacam-macam kuasa jahat, yang menundukkan berjutajuta orang.
5. Dosa membangkitkan segala macam keinginan.Karl Barth selalu menghubungkan penebusan dan pelepasan dengan penciptaan: sebagai makhluk belaka, manusia telah mempunyai bagian dalam keselamatan. Berarti: ia menyangkal dosa sebagai kenyataan historis.
Uraian Hadiwijono sangat menarik. Hal dosa dibicarakan bukan secara ilmiah, tetapi secara penggembalaan: betapa besarnya kuasa dosa.
Dalam karangan Van Niftrik/Boland, tidak ada satu bab khusus yang membahas tentang dosa. Ada penjelasan dalam Bab 30, tentang pengampunan dosa. Istilah-istilah dogmatik ditolak. Malahan Kejadian 3 ditolak sebagai cerita yang bersejarah, dan sebuah gereja, yang dalam pekabaran Injil mencoba untuk menjelaskan tentang asal mula dosa, diolokkan. Bukan berarti bahwa dosa disangkal atau manusia dianggap baik. Justru ditekankan bahwa kuasa dosa itu hebat sekali, bukan penyakit atau pembawaan. Tetapi, karena sejarah Alkitab disangkal, menurut kami, Van Niftrik/Boland tidak mempunyai dasar untuk mempertahankan bahwa manusia yang berdosa perlu diselamatkan oleh Kristus. Tentang Adam telah dikatakan, bahwa ia bukan bapak kita. Kata ”adam” menunjukkan kesatuan semua orang dalam hal dosa, kata mereka. Sebab, nama Adam berarti manusia. Itu memang benar. Tetapi menurut Alkitab, Adam bukan suatu gelar bagi semua manusia tetapi benar-benar manusia yang pertama, bapak kita.
Berkouwer menerangkan dosa turunan dari segi corporate personality: umat manusia seakan-akan mempunyai kepribadian bersama.
Orang yang percaya bahwa ia telah dilepaskan oleh Kristus masih harus menunggu anugerah keselamatan yang sempurna sampai hari Kristus datang kembali. Dalam hal itu kelakuan manusia mirip dengan tingkah laku mereka yang bertahun-tahun lamanya ditindas, kemudian baru dimerdekakan. Mereka tidak tahu bagaimana mereka harus hidup dalam kebebasan itu (misalnya di Eropa Timur sesudah kekuasaan tirai besi runtuh, sering terjadi kerusuhan, dan korupsi maupun mafia kejahatan sangat kuat). Demikian juga kita orang Kristen. Meskipun kita sudah dibebaskan oleh Kristus, kita tetap mempunyai sifat orang yang diperbudak oleh dosa (contoh: C. Trimp).
Kata ”dosa” tidak selalu sama artinya. Dalam keterangan tentang Mazmur 25, J. Kamphuis membedakan:
1. Mereka yang telah memilih dosa sebagai suasana dan lingkungan di mana mereka ingin hidup. Mereka adalah para pendosa menurut pilihan mereka sendiri.
2. Mereka yang sungguh-sungguh berdoa agar dilepaskan dari dosa, tetapi menyadari bahwa dosa tetap ada dalam diri mereka. Karena mereka dapat tersandung dan jatuh.
Daud adalah orang yang dikasihi Allah sejak kecil, namun ia sering tergelincir.
Paulus berseru dalam Roma 7:21-25: ”Demikianlah aku dapati hukum ini: Jika aku ingin melakukan apa yang baik, yang jahat itu ada padaku. Sebab di dalam batinku aku suka akan hukum Allah, tetapi di dalam anggota-anggota tubuhku aku melihat hukum lain yang berjuang melawan hukum akal budiku dan membuat aku menjadi tawanan hukum dosa yang ada di dalam anggotaanggota tubuhku. Aku, manusia celaka! Siapa yang akan melepaskan aku dari tubuh maut ini? Syukur kepada Allah melalui Yesus Kristus, Tuhan kita. Jadi, aku sendiri melayani hukum Allah hanya dengan akal budiku, sedangkan sebagai manusia yang bersifat daging aku melayani hukum dosa”
Luther berkesimpulan: simul peccator dan justus (orang berdosa dan sekaligus orang benar). Yang dimaksudkan dengan dosa di sini adalah dalam arti yang kedua, yang disebutkan di atas.
Mengingat keadaan ini, maka kita harus benar-benar waspada terhadap perfeksionisme, yakni kecenderungan untuk mencapai kesempurnaan sekarang ini. Cita-cita itu membuat orang menjadi putus harapan, menghilangkan ketenteraman, karena selalu terdorong untuk melakukan sesuatu yang terlalu tinggi baginya.
Mengenai Mazmur 25, yang amat menarik adalah ayat 7: ”Dosa-dosaku pada waktu muda dan pelanggaran-pelanggaranku janganlah Kauingat, tetapi ingatlah kepadaku sesuai dengan kasih setia-Mu, oleh karena kebaikan-Mu, ya Tuhan.” Jadi, jangan ingat akan dosaku, tetapi ingat akan kemurahan-Mu.
Luther pernah menganjurkan: ”Berusahalah bahwa Saudara jangan mencita-citakan kesucian yang terlalu tinggi sehingga Saudara tidak lagi mau menghadap Tuhan Allah sebagai orang yang berdosa” (F. van der Pol).
Sebuah nas yang selalu dikutip adalah 1 Yohanes 3:9 (”tidak dapat terusmenerus berbuat dosa”). Untuk menghindar dari kesalahpahaman, sebaiknya nas itu dikaitkan dengan 1 Yohanes 1:10-2:1. Rasul Yohanes tentu tidak akan bertentangan dengan dirinya sendiri.
Jika kita berkata, bahwa kita tidak ada berbuat dosa, maka kita membuat Dia menjadi pendusta dan firman-Nya tidak ada di dalam kita. ”Anak-anakku, hal-hal ini kutuliskan kepada kamu, supaya kamu jangan berbuat dosa. Namun jika seorang berbuat dosa, kita mempunyai seorang pengantara pada Bapa, yaitu Yesus Kristus yang adil” (1Yoh 2:1). ”Setiap orang yang lahir dari Allah, tidak terus-menerus berbuat dosa; sebab benih ilahi tetap ada di dalam dia dan ia tidak dapat terus-menerus berbuat dosa, karena ia lahir dari Allah” (1Yoh. 3:9).
Nas 1 Yohanes 3:9 tidak menunjukkan kesempurnaan etis, tetapi harus dilihat dalam pertentangan dengan orang gnostik yang mengatakan bahwa mereka yang mengenal Allah tidak lagi melakukan dosa. Menurut mereka, dosa yang ada tidak mengena pada diri mereka, hanya tubuh saja. Karena itu, Yohanes mengatakan bahwa tidak mungkin mereka benar-benar mengenal Allah, atau lahir dari Allah, sebab kalau begitu benih Allah ada di dalam mereka, dan juga Kristus sendiri yang hadir (4:4). ”Tidak dapat terusmenerus berbuat dosa” bukan kenyataan, tetapi norma yang jelas dan logis: orang Kristen tidak dapat hidup dalam dosa.
Seandainya sudah sempurna, mengapa doa ”Bapa kami” mengatakan ”jangan membawa kami ke dalam pencobaan”? Perlu disadari juga bahwa Paulus mengatakan: ”Bukan seolah-olah aku telah memperoleh hal ini atau telah sempurna, melainkan aku mengejarnya, kalau-kalau aku dapat juga menangkapnya, karena aku pun telah ditangkap oleh Kristus Yesus” (Flp. 3:12, Douma).
Kita harus membedakan antara utang dan kutuk yang menimpa manusia karena dosa, dan di lain pihak kuasa dosa. Kristus telah menanggung utang dan kutuk itu. Tetapi seorang perfeksionis menyangka bahwa manusia yang beriman bukan saja bebas dari utang dan kutuk, tetapi juga dari kuasa dosa. John Wesley, seorang pelopor Gereja-gereja Injili dalam abad ke-18, berpikir bahwa sesudah pembenaran oleh iman, manusia juga dapat menerima ”berkat kedua” (second blessing) melalui tindakan Allah yang khusus. Dengan demikian manusia dapat memenangkan dosa secara nyata.
Tetapi pada masa yang sama, pandangan Wesley sudah ditentang, misalnya oleh Ludwig von Zinzendorf, pelopor gerakan Pietisme dari Jerman. Mereka berdua sangat berpengaruh dalam munculnya Gereja-gereja Injili di Eropa, namun dalam hal ini mereka berbeda pendapat. Zinzendorf yang benar, karena dalam Alkitab kata ”sempurna” tidak menunjukkan kesempurnaan etis, tetapi hidup yang betul-betul ditujukan kepada Allah (Douma). ”Tamim” (Ibrani) dan ”teleios” (Yunani) menunjukkan keutuhan, sifat konsisten, tekun menuju ke target.
Dan itu juga yang dimaksudkan Kristus dalam khotbah di bukit: ”Karena itu, haruslah kamu sempurna, sama seperti Bapamu yang di surga adalah sempurna” (Mat. 5:48). Kristus menolak semua kemunafikan.
Upah dosa ialah maut, tetapi karunia Allah adalah hidup yang kekal dalam Kristus
Yesus, Tuhan kita (Rm. 6:23). Kenyataan itu benar-benar sesuai dengan firman Allah yang dikatakan kepada manusia di Taman Eden: ”Pada hari engkau memakannya, pastilah engkau mati” (Kej. 2:17). Tetapi sesudah mereka makan dari buah pohon yang terlarang itu, manusia tetap bergerak di bumi itu. Apakah Allah keliru? Tidak, dan juga bukan begitu, melainkan Allah menunda hukuman-Nya, setelah manusia jatuh. Karena pada hari dosa itu terjadi, manusia benar-benar mati: ketika Allah mencari, manusia itu bersembunyi, sebab ia takut kepada Allah. Ketakutan itu disebabkan oleh hubungan akrab antara Tuhan Allah dan manusia telah terputus. Dan hal itu sebenarnya, yang terkandung dalam kata ”mati”.
Kematian yang seperti itu sering kali disebut sebagai ”kematian rohani”.
Kalau manusia tidak bertobat, maka kematian itu diteruskan menjadi kematian kekal, baik untuk tubuh maupun untuk jiwa, yaitu di neraka. Dalam Wahyu 20:6 kematian itu disebut: ”kematian kedua”. Sedangkan yang dimaksud dengan kematian pertama adalah saat kita meninggal dunia.
Kematian itu, meninggal dunia, adalah hukuman Allah: ”Engkau debu dan akan kembali menjadi debu” (Kej. 3:19). Tetapi, bagi orang yang percaya, kematian ragawi itu sekalipun mengerikan tidak lagi bersifat hukuman, tetapi jembatan menuju kehidupan yang kekal (bnd. KH Mg 16).
Arti ”hidup” yang selengkapnya ialah berada dalam persekutuan dengan Allah, kini dan selama-lamanya. ”Sesungguhnya Aku berkata kepadamu: Siapa saja mendengar perkataan-Ku dan percaya kepada Dia yang mengutus Aku, ia mempunyai hidup yang kekal dan tidak turut dihukum, sebab ia sudah pindah dari dalam maut ke dalam hidup” (Yoh. 5:24). Arti kata ”mati” adalah berada jauh dan terpisah dari Tuhan Allah. ”Kamu dahulu sudah mati karena pelanggaran-pelanggaran dan dosa-dosamu” (Ef. 2:1). Kematian kekal merupakan hukuman perjanjian (Wentsel, Schilder). Ketentuan itu telah terkandung dalam perjanjian kerja (sebelum dosa) dan tetap berlaku dalam perjanjian anugerah.
Demikian juga segala bentuk kesusahan, yang dialami manusia dalam dunia ini, adalah akibat-akibat dosa. Bukan akibat dosa pribadi, dan bukan berarti bahwa setiap perbuatan jahat manusia langsung dihukum dengan kesengsaraan tertentu. Tetapi, karena dosa manusia bersama, maka maut telah masuk ke dalam dunia ini, dan dengan maut itu hukuman yang berbeda-beda itu terlaksana.
Bandingkan kata-kata Tuhan kepada Adam dan Hawa, dalam Kejadian 3, mengenai penderitaan bersalin dan bekerja dengan berkeringat. Juga sakit penyakit, perang, dan kelaparan itu semua termasuk akibat-akibat dosa. Tetapi, mengenai hal-hal itu harus dikatakan pula sama seperti mengenai kematian bahwa bagi orang Kristen hal-hal itu tidak lagi bersifat hukuman. Hukuman mereka telah ditanggung oleh Yesus Kristus. Bagi mereka hal-hal semacam itu merupakan pengujian dan tanda maupun peringatan bahwa dunia ini akan berkesudahan dan bahwa Tuhan akan menciptakan langit dan bumi yang baru.
Menyangkut kematian kekal, Wentsel menarik beberapa kesimpulan:
1. Tiada jiwa yang praeksisten dan berdosa, berarti dosa tidak datang dari luar dunia.
2. Jangan ikuti pandangan Pelagius, yang mengatakan bahwa kematian bukan akibat dosa, karena pada dasarnya manusia itu baik, dan kematian termasuk penciptaan yang normal (lih. 4.15).
3. Jangan ikuti pandangan Pencerahan (J.J. Rousseau: jikalau membuka sekolah,akhirnya penjara dapat ditutup, artinya: dosa terjadi karena kebodohan).
4. Jangan menyerah pada dogma evolusi, yang mengatakan bahwa kematian merupakan unsur asasi pada setiap proses pertumbuhan.
Pandangan bahwa kematian secara biologis perlu, menurut Wentsel, itu berupa prasangka belaka. Pertanyaannya: Mengapa sekarang 70/80 tahun dianggap usia biasa, padahal dahulu manusia lebih lanjut usianya?
Gereja Katolik Roma menganut ajaran tentang api penyucian (lih.
Berkouwer, Bab 10).
Agustinus, bahkan H. Bavinck, melihat sesuatu yang baik dalam ajaran tentang api penyucian: penyucian yang telah dimulai sekarang perlu diselesaikan. Karena, kata Tuhan Yesus, mereka yang suci akan melihat Allah. Hanya, pada akhirnya Bavinck juga tidak menyetujui ajaran tersebut.
Karena sekalipun ajaran Katolik Roma tidak mau menyangkal kepentingan karya Kristus, dan api penyucian menurut mereka bukan ancaman, melainkan penyucian, ajaran Reformasi menolaknya. Bavinck berkesimpulan bahwa yang menganut ajaran itu menolak ajaran tentang pembenaran orang yang berdosa. Karena kesempurnaan menjadi syarat bagi keselamatan. Dengan itu, urutan Alkitab dibalik.
Pada abad ke-4 seorang yang bernama Pelagius mengritik ajaran tentang dosa warisan. Ia seorang rohaniwan yang ingin hidup suci dan menentang segala ketidaksucian yang ditemuinya. Ia menyangkal bahwa manusia lahir dalam dosa. Hanya satu dosa Adam yang diakuinya, yaitu bahwa Adam memberi contoh yang tidak baik. Menurut Pelagius, semua manusia tetap mempunyai kehendak yang baik dan mereka bebas untuk memilih apa yang baik. Sedangkan ajaran Alkitab, sebagaimana yang pada waktu itu dipertahankan oleh Agustinus, menekankan bahwa manusia sudah tidak baik lagi dan karena dosa, sudah mati secara rohani.
Menurut Agustinus, ”Tuhan Yesus sama sekali tidak mengatakan bahwa di luar Dia kita harus berupaya untuk melakukan sesuatu; tetapi: ”di luar Aku kamu tidak dapat berbuat apa-apa’” (Yoh. 15:5). Namun, Agustinus tetap mempertahankan tanggung jawab manusia. Seperti nyata dalam ucapannya: ”Dia yang menciptakan engkau tanpa engkau, tidak akan membenarkan engkau tanpa engkau”.
Bagi manusia tetap berlaku pilihan yang bebas (tanggung jawab untuk memilih), tetapi yang tidak ada pada manusia sesudah ia berdosa adalah kehendak yang bebas (kemampuan untuk memilih yang baik). Pelagius dihukum pada Konsili Karthago pada 418.
Gereja-gereja di Eropa Timur tidak begitu menentang Pelagius, yang menentang khususnya gereja-gereja di Eropa Barat. Gereja-gereja di Timur lebih mengutamakan kehidupan saleh dari orang Kristen, sedangkan di Barat yang diutamakan adalah status hukum sebagai seorang Kristen. Di Timur, mereka mengutamakan kelakuan manusia yang mengikuti contoh buruk dari Adam. Di Barat diutamakan status manusia bersama Adam yang telah jatuh.
Ada juga penganut-penganut Pelagius, yang tidak menyangkal bahwa manusia dicemari oleh dosa, tetapi menurutnya, keburukan manusia tidak sampai ke akar. Manusia telah menjadi ”sakit”, secara rohani, jadi: bukan ”sehat”, seperti menurut ajaran Pelagius, dan bukan ”mati”, seperti menurut ajaran Agustinus. Manusia bisa hidup, asal diberi obat yang baik.
Khususnya gereja Katolik Roma yang mempertahankan ajaran ini.
Nama yang diberikan pada ajaran itu ialah semipelagianisme (semi berarti: setengah). Menurut gereja Katolik Roma, obat yang harus diberikan kepada manusia ialah sakramen-sakramen. Karena, konon, setelah manusia jatuh ke dalam dosa, ia tetap baik. Hanya, yang diambil darinya ialah suatu ”pemberian tambahan”, satu ”bonus” yang melebihi pembawaannya sebagai ciptaan. Kelebihan itu ialah bahwa manusia dikaruniai dengan penghargaan sebagai gambar Allah. Dan pada waktu manusia jatuh, ia kehilangan penghargaan itu. Tetapi, jika manusia dibantu oleh sakramen-sakramen gereja, maka bonus itu diterimanya kembali dan ia kembali menjadi gambar dan rupa Allah.
Orang Remonstran pada abad ke-17, juga menganut semipelagianisme.
Ajaran mereka ditolak oleh sinode Dordrecht pada 1618/1619. Ajaran Dordrecht dikenal dari PAD.
Di atas telah kami nyatakan bahwa sebenarnya Pelagius didorong oleh keinginan mencita-citakan hidup yang saleh. Apalagi, Agustinus sendiri pada mulanya tidak berbeda jauh dengan pandangan itu (W. Janse). Pada waktu ia masih muda, ia mengarang sebuah buku yang berjudul: Tentang kehendak yang bebas. Pada zaman Reformasi, seorang penentang Luther, yaitu Erasmus, menulis buku dengan judul yang sama. Pelagius sendiri pernah mengutip buku Agustinus itu dengan persetujuannya. Agustinus menulis karangan tersebut ketika ia menentang ajaran Manikheisme (yang pernah ia anut) yang mengatakan bahwa dari kekal terdapat dua kuasa (allah) yang bertentangan, yaitu allah yang menciptakan yang baik dan allah yang menciptakan yang jahat. Dalam dualisme itu terjadi semacam determinisme, yaitu bahwa semuanya telah diatur dari semula. Justru untuk melawan itu, Agustinus menulis tentang kehendak yang bebas, sebab ia menyadari bahwa manusia harus memutuskan untuk memilih yang baik dan tidak boleh menyerah pada keadaan yang jahat.
Tetapi sesudah itu, Agustinus makin meneliti surat-surat Paulus, tentang dalamnya dosa, dan juga, ia telah mengalami bahwa Pelagius terlalu optimis terhadap kemungkinan yang ada pada manusia untuk berbuat yang baik. Dan ketika itu ia menulis Tentang Roh dan huruf, yang di dalamnya ia menekankan bahwa kita harus dilahirkan oleh Roh dan bahwa kita semata-mata bergantung pada anugerah Allah.
–Kehendak bebas
Manusia mempunyai kehendak bebas, dalam arti bahwa ia sendiri bertanggung jawab atas dosanya. Tetapi ”bebas” bukan dalam arti bahwa manusia sendiri dapat meluputkannya dari perhambaan dosa.
Secara antropologis manusia memang mempunyai kehendak bebas, jadi bebas dari paksaan. Tetapi secara religius tidak, karena tidak mungkin manusia sendiri dapat memilih untuk mengikut Tuhan. Manusia baru bebas dalam arti religius jika ia dibebaskan oleh Kristus dan diperbarui oleh Roh.
Sama seperti Agustinus, begitu juga Luther pada masa mudanya, telah mengalami betapa kuatnya dosa dalam dirinya. Justru itu membuat ia makin lebih mengerti isi Alkitab, khususnya surat-surat Paulus, bahwa kita diperbudak oleh dosa (Rm. 7).
Agustinus pernah memberi ringkasan sebagai berikut: Sebelum manusia jatuh ke dalam dosa, ia mampu untuk tidak berdosa (bhs. Latin: posse non peccare). Berarti: ia berkehendak bebas. Setelah ia jatuh, ia tidak lagi mampu untuk tidak berdosa (non posse non peccare). Berarti: kehendaknya tidak bebas lagi, tetapi diperbudak oleh dosa. Sedangkan nanti di bumi yang baru, manusia tidak mungkin lagi akan berdosa (non posse peccare). Tidak ada ”titah pencobaan” lagi.
Luther yang meneruskan ajaran Agustinus itu. Bahkan Luther lebih tajam daripada Agustinus. Luther menyangkal bahwa manusia, sebelum jatuh, dapat berbuat yang baik. Pada waktu itu manusia belum mempunyai kehendak yang bebas, menurut Luther karena manusia terikat pada kedaulatan Allah (Janse).
Dalam hal itu para reformator lain tidak mengikuti Luter. Pada umumnya Gereja Reformasi mengajarkan bahwa manusia sebelum jatuh ke dalam dosa mempunyai kehendak yang bebas. Baru setelah manusia jatuh, maka yang dipunyai hanya kehendak bebas untuk memilih yang tidak baik. Untuk memilih yang baik, ia tidak mampu. Kecuali, kalau ia dilahirkan kembali oleh Roh Kudus. Dalam PAD III/IV pokok ini diterangkan.
Mengapa Luther begitu menekankan ketidaksanggupan manusia, dan ketergantungan manusia dari kehendak Allah, bahkan di dalam Taman Eden? Itu disebabkan oleh keinginannya untuk mengamankan keyakinan manusia tentang keselamatan. Kalau keyakinan itu bergantung pada sesuatu yang dibuat manusia, celakalah ia. Keyakinan itu semata-mata tergantung dari janji Allah. Seandainya manusia sendiri tetap (sedikit) baik, salib Kristus tidak begitu perlu. Karena itu Luther menentang sekuat-kuatnya kehendak yang bebas. Luther berdebat hebat dengan Erasmus, seorang pelopor humanisme.
Luther pun tidak menolak tanggung jawab manusia, tetapi ia membedakan antara pilihan manusia dalam hal-hal yang biasa, dan pilihan manusia terhadap hal-hal yang kekal. Menyangkut hal yang terakhir, dengan tegas ia mengatakan: manusia tidak dapat memutuskan sesuatu tentang keselamatannya. Ia membandingkan manusia dengan seekor kuda, yang ditunggangi Allah, sehingga ia memilih jalan yang baik, atau ditunggangi oleh Iblis, sehingga ia memilih jalan yang sesat.
Jadi, kalau berbicara tentang ”kehendak bebas”, konteks pembicaraan sangat menentukan. (Bnd. bab 7, soteriologi).
Luther menulis satu karangan yang berjudul ”Tentang kehendak yang terikat”. Judul itu sengaja dirumuskan demikian untuk mempertentangkan dengan judul buku Erasmus, Tentang kehendak yang bebas, judul yang telah dikenal dari Pelagius, bahkan dari Agustinus.
Erasmus menulis buku itu untuk membedakan pandangannya dengan ajaran Luther, karena ia khawatir bahwa ia akan digolongkan pada kaum Lutheran, yang akan membahayakannya.
Sebelum buku-buku itu terbit, Erasmus dan Luther saling menghargai dan belajar seorang dari yang lain. Erasmus, tokoh humanisme itu, telah menunjukkan banyak kesalahan dalam gereja Katolik Roma. Tetapi ia tidak berani memilih aliran Reformasi, dan ia rela dipakai oleh gereja Katolik Roma untuk menentang Luther.
Pada dasarnya Erasmus, sesuai dengan aliran yang disebut agustinianisme dalam gereja Katolik Roma (yang sebenarnya adalah semipelagianisme) mengajarkan bahwa manusia sesudah ia jatuh mempunyai kemampuan yang hanya sedikit untuk melawan dosa dan mengikuti jalan Allah. Luther pernah menjadi rohaniwan dalam mazhab itu. Erasmus memerhatikan isi seluruh Alkitab, yaitu bahwa manusia harus memilih, harus berkehendak; karena sering dikatakan ”Jika engkau...”, jadi ada persyaratan yang harus dipenuhi. Erasmus tidak seperti Pelagius, yang terlalu menekankan kemampuan kehendak bebas yang ada pada manusia, tetapi menurutnya, karena pertengkaran Agustinus dengan Pelagius, makin lebih membelakangi kehendak yang bebas. Dan menurutnya Luther juga keterlaluan, karena justru untuk membela ajaran Agustinus, Luther sama sekali meniadakan kehendak yang bebas.
Mengenai perdebatan Erasmus dengan Luther, harus disadari bahwa Luther merasa dikhianati oleh Erasmus, yang pada dasarnya memihak pada gereja Katolik Roma. Tetapi tidak dapat disangkal juga bahwa pangkal masuk mereka berbeda-beda. Karena Erasmus mau mendukung etika Kristen, sedangkan Luter berfokus pada soteriologi (ajaran tentang keselamatan). Erasmus tahu bahwa manusia tidak mampu memikirkan yang baik. Hal itu harus datang dari Allah, yang menerangi akal budinya. Pada mulanya Luther berpendapat sama, tetapi seperti Agustinus, Luther juga melalui studi surat-surat Paulus dan pengalaman krisis imannya, makin mengerti bahwa manusia semata-mata hidup dari anugerah Allah. Perlu dicatat juga bahwa Luther membedakan antara kehendak Allah yang tersembunyi dan kehendak Allah yang dinyatakan (bnd. Yeh. 18). ”Hal-hal yang tidak dinyatakan bukan urusan kita,” katanya. Pergumulan mengenai keputusan kehendak Allah (dapatkah aku diselamatkan atau tidak, adakah saya orang pilihan atau tidak) menurut Luther dalam hidup orang Kristen itu wajar, tetapi tidak boleh berlangsung terus-menerus: kita harus berpegang pada firman Tuhan untuk memperoleh penghiburan dan keyakinan.