Henk Venema
a. Penciptaan
”Karena iman kita mengerti bahwa alam semesta telah dijadikan oleh firman Allah, sehingga apa yang kelihatan telah jadi dari apa yang tidak kelihatan” (Ibr. 11:3)
Pada masa kini tampaknya hampir semua orang menerima saja ”titik tolak ilmiah” bahwa alam semesta telah berevolusi sendiri selama jutaan tahun. Data-data ilmu, mereka anggap sebagai kebenaran yang terbukti, sambil menganggap bahwa pasal-pasal pertama Alkitab bersifat ”fiksi” dalam gaya bahasa yang puitis (syair). Namun, banyak juga orang yang tetap mempertahankan kebenaran Alkitab dan sifat historis nya. Bagi mereka, kisah tentang penciptaan langit dan bumi dalam Kejadian 1-2 dan ayat-ayat lainnya bersifat sejarah berdasarkan fakta. Atas dasar keyakinan itu mereka memperkirakan usia bumi berkisar belasan ribu tahun.
Apakah dalam silang pendapat ini, kelompok kedua akan dapat bertahan?
Apakah hal ini bukan konflik yang tidak setara antara ilmu (yang dianggap berdasarkan bukti objektif) dan iman (yang dianggap berdasarkan keyakinan subjek tif) dengan akibat yang dapat diduga, yakni bahwa yang kedua akan kalah? Tentu tidak. Pertentangan yang terjadi di sini sebenarnya bukan perbenturan antara iman dan ilmu, melainkan antara iman dan iman, karena pendapat kelompok pertama pun tidak dapat memberikan bukti ilmiah. Teori itu pun bertitik tolak dari asumsi-asumsi tertentu yang bukti objektifnya tidak ada (mis. tentang terjadinya big bang). Sebenarnya keyakinan alkitabiah kelompok kedua jauh lebih kukuh karena berdasarkan kepastian – ”iman adalah dasar dari segala sesuatu yang di harapkan dan bukti dari segala sesuatu yang tidak dilihat” (Ibr. 11:1) – ketimbang hipotesis ilmiah kelompok pertama yang masih banyak diragukan. Misal nya, semua buku yang membicarakan pokok ini dan yang berangkat dari penolakan sifat historis Kejadian 1-2, menunjukkan bahwa agaknya tidak ada satu penulis pun yang mempunyai pendapat yang sama. Alkitab memang bukan buku pegangan ilmiah, bukan ensiklopedi, melain kan buku yang menghitam atasputihkan sejarah perbuatanperbuatan Allah dalam perspektif manusia. Sifat ini tidak mengurangi tapi justru menggaris bawahi kebenarannya.
Pandangan dunia menurut perspektif manusia
Dalam Kitab Suci Tuhan menyesuaikan diri dengan bahasa dan pengertian manusia yang dicipta kan-Nya. Kalau tidak, bagaimana mungkin manusia dapat memahami perbuatan dan perkataan Allah yang Mahatinggi? Demikian, berkaitan dengan Yosua 10:12-14, dari perspektif manusia, matahari yang berputar mengelilingi bumi (sistem geosentris: bumi di pusat universum). Baru pada Abad ke-16-17 Galilei yang membuktikan kebenaran teori Copernicus (Abad ke-15-16) bahwa bukan bumi, melainkan matahari yang berada di pusat universum (sistem heliosentris), dengan akibat, bumi yang berputar mengelilingi mata hari. Pandangan dunia helio sentris ini kemu dian dikembangkan lebih lanjut oleh Johannes Kepler dan Isaac Newton. Walaupun kita – yang hidup sesudah penemuan ilmiah itu – mengetahui bahwa bumi berputar mengelilingi matahari, kita malah masih selalu menggunakan perkataan yang sebenarnya salah: ”matahari terbit” dan ”matahari terbenam.” Jika demikian, mengapa hal itu digunakan untuk mengurangi atau bahkan menyang kal kewibawaan Kitab Suci? Perlu kita sadari bahwa kenyataan Alkitab bukanlah buku ilmu, tidak berarti Alkitab berfantasi atau bahkan berdusta mengenai alam semesta (sama halnya dengan penemuan bumi tidak datar tapi bulat). Seyogianya kita memuliakan Nama Tuhan yang berkenan merendahkan diri sampai ke tingkat kita, manusia, dan sekaligus memberi kan potensi kepada kita untuk, tahap demi tahap, memandang penciptaan-Nya dari dalam.
Seluruh Kitab Suci menyajikan banyak informasi tentang bagaimana langit dan bumi terjadi. Ibrani 11:3, misalnya, menjelaskan apa yang dijadikan, yaitu alam semesta; siapa yang menciptakannya, yaitu Allah; cara Dia menjadikannya, yaitu oleh firman-Nya (dan hikmat-Nya, Ams. 8:22-31). Juga diterangkan arti kata ”menjadikan”, yaitu apa yang kelihatan telah jadi dari apa yang tidak kelihatan. Perkataan ”tidak kelihatan” memang tidak otomatis sama dengan ”tidak ada” (bnd. roh yang tidak kelihatan tetapi benar-benar ada), namun ayat-ayat lain dalam Alkitab menjelaskan secukupnya bahwa, berkaitan dengan penciptaan, perkata an ”tidak kelihatan” itu memang sama artinya dengan ”tidak ada”. Sebelum Tuhan menciptakan langit dan bumi, semuanya kosong semata-mata (nihil). Hal ini memang berdasarkan iman (”Karena iman kita mengerti…”), tetapi keyakinan ini jauh lebih kukuh daripada anggapan para pendukung Teori Evolusi yang berbabil tentang bagaimana keadaan sebelum terjadi big bang mereka.
Berikut ini, kita lebih dahulu menetapkan nama, definisi, dan pembagian pokok ajaran ini. Kemudian kita mempelajari ajaran Kitab Suci dan pemahaman oleh Gereja Kristen (dalam sejarah dan pengakuannya) mengenai penciptaan langit dan bumi (tentang dunia yang tidak kelihatan, lihat bagian C). Kemudian kita membahas berbagai aspeknya. Kita juga menyoroti pandangan-pandangan lain, seperti Teori Evolusi dan Krea sionisme.
1. Nama
Dalam bab ini kita membicarakan ajaran Kitab Suci tentang dua karya besar Allah yang terkait, yaitu (1) penciptaan dan (2) pemeliharaan langit dan bumi dengan segala isinya. Langit dan bumi itu ada lah realitas kita, dasar dan tempat kita hidup (”ruang hidup”). Realitas itu ternyata bukan hal yang telah selalu ada atau yang terjadi secara kebetulan, melainkan ada awalnya (dan juga akan ada akhir nya). Dan ada penyebabnya yang membuat semuanya itu ada dan berada. Calvin dengan tepat mene tapkan bahwa ”penciptaan langit dan bumi adalah fakta awal dan dasar dari segala penyataan Allah, juga dasar segala hidup religius dan etis kita” (Bavinck 2004, 407).
Nama ”penciptaan” merujuk ke kata kerja ”menciptakan” yang adalah terjemahan kata bahasa Ibrani bara’ (Kej. 1:1). Kata ini mempunyai arti yang khas, yaitu ”menjadikan sesuatu dari tidak ada menjadi ada”. Terjemahan bahasa Latin creatio (bnd. kata bhs. Inggris creation) sebenarnya lebih luas artinya, berasal dari kata kerja creare yang berarti ”men jadikan”, ”melahirkan”, ”menyebabkan”. Arti kata bara’ berbeda dengan kata-kata seperti ”mengerjakan”, ”mem buat”, ”mendirikan”, karena mempunyai konotasi ”tanpa mengguna kan bahan yang sudah tersedia” (”dari nihil”; Berkhof 1993, 248249). Apa lagi, setiap kali kata kerja ini dipakai dalam Kitab Suci, subjeknya tidak pernah berupa orang atau bina tang (mereka sendiri ”ciptaan”), melainkan Allah. Hanya Dialah yang berhak disebut Pencipta.
Tidak lain, nama ”penciptaan” menunjukkan suatu karya besar, yakni mukjizat yang tidak terpahami, yang dilakukan oleh ”Subjek” yang unik. Langit dan bumi dengan segala isinya adalah hasil perbuatan Allah yang Mahakuasa yang terwujud melalui kuasa firman-Nya.
2. Definisi
Penciptaan Allah (creatio Dei) saya definisikan sebagai berikut:
Penciptaan adalah perbuatan besar Allah yang Mahakuasa: dengan firman-Nya Dia memanggil segala-galanya, yakni langit dan bumi dengan segala isinya (alam semesta), baik yang kelihatan maupun yang tidak kelihatan, dari tidak ada menjadi ada.
3. Pembagian
Sebenarnya penciptaan langit dan bumi dengan segala isinya hanya merupakan satu pokok ajaran karena mengenai satu proyek Allah yang direalisasikan-Nya dalam satu tindakan yang terpadu, dalam tahap-tahap yang berkesinambungan. Secara praktis pokok ini biasanya dibagi tiga, yaitu
1. Data-data Kitab Suci
Langsung sejak awalnya Alkitab mengisahkan dengan rinci tentang bagaimana Allah menciptakan langit dan bumi dengan segala isinya (alam semesta, kosmos; Kej. 1–2 ). Selanjutnya, banyak sekali ayat-ayat Kitab Suci yang merujuk kembali ke kisah awal itu atau yang menjelaskannya lebih lanjut, misalnya Keluaran 20:11 (memberikan dasar pada perayaan Hari Sabat), Ayub 38–41 ; Mazmur 8; 19; 33; 104; 147; Yesaya 40–41, 44–45; Kisah Para Rasul 14:15; 17:24-28; Ibrani 11:3; Wahyu 4:11. Untuk mengetahui mukjizat-mukjizat Allah dalam menjadikan langit dan bumi, kita mutlak memerlukan Kitab Suci, penyataanNya sendiri. Untuk memahaminya, hendaklah kita menyadari keterbatasan kita, sebagaimana kita sendiri pun ciptaan Allah. Janganlah keter batasan itu membawa kita ke penolakan segala yang tidak sesuai dengan akal budi kita, tetapi sebaliknya, ke penerimaan dengan kerendahan hati (bnd. Ul. 29:29; Ayb. 38:4). Perbuatan-perbuatan besar Allah jauh melampaui pengertian dan daya khayal kita.
Kejadian 1–2Alkitab dimulai dengan cerita secara panjang lebar mengenai asal usul dunia yang kita diami. Kita baca tentang Siapa yang menciptakan langit dan bumi, yakni Allah, dan tentang cara Dia melakukannya, yaitu melalui firman-Nya (bnd. Ibr. 11:3). Diceritakan progres dan kepesatan pekerjaan Allah sampai selesai. Kita juga mendengar evaluasi dari Sang Pencipta sendiri tentang hasilnya, yaitu ”sungguh amat baik” (Kej. 1:31). Yang mencolok ada lah sistematik dan urutan dalam seluruh proses penciptaan. Arsi tektur itu menunjukkan Tuhan bekerja sesuai dengan rencana dan program yang telah dipikirkan-Nya dengan matang (Ayb. 38:4-7). Pekerjaan Tuhan adalah bukti hikmat, potensi, dan inteligensiNya yang tidak terbatas (Ams. 8). Penciptaan adalah mukjizat yang tidak terpahami karena jauh melampaui daya pikir kita sebagai manusia. Satu reaksi yang wajar diberikan oleh semua makhluk, yaitu berseru dengan suara yang nyaring: ”Terpujilah Tuhan!” (bnd. Mzm. 19, 104; Why. 4:11).
Alkitab yang menyatakan bahwa penciptaan alam semesta merupa kan satu peker jaan Allah yang bulat dan saling berkaitan, yang diselesai kan-Nya dalam jangka enam hari atau satu minggu.
Penguraian Kej. 1:1–2:3 menonjol sebagai kisah sejarah yangbenar-benar terjadi demi kian. Untuk mengerti isi dan maksudnya, sebaiknya kita berkonsentrasi pada teks itu sendiri, sambil berusaha mendengarnya dengan telinga-telinga para pendengar pertama, yaitu umat Israel (Kwakkel 2011, Bab 1; Van Bekkum 2010, 318-335). Langit, bumi, dan laut adalah dunia mereka yang konkret. Yang dimak sud dengan langit (bhs. Ibrani syamayim; lihat bagian C, 3.10) bukan surga, tempat tinggal Allah, melainkan ”cakrawala” yang di atas mereka, sedangkan bumi (bhs. Ibrani èrèts) bukanlah planetnya (bola dunia) melainkan ”darat” atau tanah kering, tempat manu sia tinggal dan bekerja. Laut (bhs. Ibrani yammim, ”kum pulan air”) mereka pandang sebagai batas-batas langit dan bumi yang berba haya. Langit-dan-bumi (bersama laut) adalah seluruh realitas yang Allah cip takan sebagai konteks kehidupan bagi manusia (bnd. Kel. 20:11; 31:17). Dalam Kejadian 1:1–2:3, yang pertamatama kita dengar ialah bahwa yang menjadikan semuanya ialah Allah. Selain itu kita menerima infor masi tentang bagaimana Allah menyediakan tempat tinggal yang aman bagi manusia, puncak pencip taan-Nya.
Teks Kejadian 1:1–2:3 itu sendiri memang tidak menjelaskan bagaimana Allah menciptakan segala-gala nya secara mendetail. Meskipun demikian, teks itu tetap menyajikan informasi yang secukupnya bagi kita untuk mendapatkan gambaran yang benar dan realistis.• Kejadian 1:1 & 2:1 ringkasan dan kesimpulan Kisah tentang penciptaan langit dan bumi dibingkai oleh ringkasan (yang berfungsi sebagai judul; Kej. 1:1) dan kesimpulan (2:1). Kalimat-kalimat ”Pada mulanya Allah menciptakan langit dan bumi” dan ”Demikianlah dise lesaikan langit dan bumi dan segala isinya” bersifat ketetapan yang patut diterima sebagai kebenaran yang mutlak.
Kelompok 1 > Hari 1 – 3 | Kelompok 2 > Hari 4 – 6 |
---|---|
1. Terang (siang) yang dipisahkan dari gelap (malam) |
4. Benda-benda penerang untuk memisahkan terang dari gelap |
2. Langit (cakrawala) yang memisahkan air atas dari air bawah (air langit dan air bumi) |
5. Segala jenis makhluk yang hidup - dalam air/lautan - di udara/langit |
3. Daratan yang kering (dipisahkan dari air yang disebut laut) Segala jenis tumbuh-tumbuhan |
6a. Segala jenis makhluk yang hidup - di muka bumi |
LANGIT DAN BUMI SIAP MENJADI TEMPAT TINGGAL UNTUK MANUSIA 6b. Manusia menurut gambar dan rupa Allah |
|
Semuanya “sungguh amat baik!” | |
7. Allah berhenti: Pekerjaan selesai! |
*) Perhatikan progres hari demi hari: terang pemisahan antara gelap dan terang mutlak diperlukan sebagai syarat dasar untuk kehidupan semua makhluk. Begitu juga pemisahan air dari air dan daratan dari air untuk memungkinkan kehidupan segala jenis tumbuh-tumbuhan dan binatangbinatang. Apa yang diciptakan pada hari pertama merupakan persiapan untuk apa yang dijadi kan pada hari berikutnya. Dan semuanya itu sebagai syarat dasar untuk kehidupan manu sia. Dengan demikian langit dan bumi, laut dan segala isinya disediakan tahap demi tahap menjadi ”rumah” atau ”istana” bagi manusia.
**) Terang yang dijadikan Allah pada hari pertama bukan terang matahari karena matahari dan benda-benda penerang lainnya baru diciptakan pada hari keempat. Pencipta yang Maha kuasa tidak bergantung pada apa pun: Dialah Allah yang berdaulat yang tidak memerlukan ”benda penerang” karena Dia sendiri bercahaya (bnd. Kel. 33:18-23). Perhatikan apa yang dilihat oleh Yohanes mengenai langit dan bumi yang baru dan kota Yerusalem yang baru: ”Kota itu tidak memerlukan matahari dan bulan untuk menyinarinya, sebab kemuliaan Allah meneranginya dan Anak Domba itu adalah lampunya” (Why. 21:23; bnd. ayat 11).
• Kejadian 1:26-31 manusia
Klimaks penjadian langit dan bumi ialah penciptaan manusia. Pekerjaan ini berbeda dari yang sebelumnya dan karena itu terjadi atas perundingan dan keputusan spesial: ”Baiklah Kita menjadikan manusia … Maka Allah menciptakan manusia itu …” (Kej. 1:26-27). Segala tumbuhtumbuhan dan makhluk hidup diciptakan-Nya menurut jenisnya masingmasing. Tetapi manusia adalah ciptaan ”menurut gambar dan rupa” Allah sendiri. Manusia tepat disebut ”puncak karya Tuhan”. Manusialah tujuan utama segala penciptaan langit dan bumi. Jelas dari apa yang terjadi sesudah ia dijadikan. Tuhan memberi tugas kepadanya: berkuasa atas nama Pencipta atas seluruh langit dan bumi. Tuhan mengangkat manusia untuk memelihara langit dan bumi dan mengelolanya lebih lanjut. Mazmur 8 dengan tepat memuji: ”… Engkau telah membuatnya hampir sama seperti Allah, dan telah me mahkotainya dengan kemuliaan dan hormat. Engkau membuat dia berkuasa atas buatan tangan-Mu; segalagalanya telah Kauletakkan di bawah kakinya.” (ay 6-7).
• Kejadian 2:1-3 selesai
Segala yang diciptakan Allah selama enam hari itu rupanya sesuai dengan maksud dan kehendak-Nya. Dalam Kejadian 1:29-31 kita baca, Tuhan menginspeksi hasil karya-Nya. Semuanya dinilai-Nya ”sungguh amat baik.” Tidak ada yang lemah atau bahkan salah, tidak ada yang kurang. Semua nya sesuai dengan rencana Allah, sehingga Dia puas dan senang. Pada hari ke-7 Dia berhenti ”dari segala pekerjaan yang telah dibuat-Nya itu” (Kej. 2:2). Karya penciptaan-Nya selesai.
• Kejadian 2:4-7 situasi awal (2)
Dalam Kejadian 2:4-7 kita tidak mendapat cerita baru tentang penciptaan langit dan bumi (dari sumber lain), tetapi ringkasan kisah yang sama dari perspektif yang baru, yaitu dari kesadaran diri dan pengalaman manusia (toledot per tama; Zandbergen 2011, 20): ia mengalami ”bumi dan langit” yang di sekitarnya (urutannya terbalik karena dari empiri manusia). Ayat-ayat ini melukiskan situasi awal (bnd. 1:2), tetapi yang dimaksud di sini ialah situasi pada saat manusia siap untuk memulai tugas nya di langit dan bumi yang baru selesai dijadikan (pada hari pertama minggu ke-2). Dengan demikian sifat ayat-ayat ini sekaligus merupakan ringkasan dari apa yang telah terjadi (rekapitulasi Kej. 1) dan introduksi untuk apa yang akan terjadi selanjutnya (Kej. 2-5). Ini awal sejarah dunia/manusia sesudah semuanya dijadikan (perhatikan juga bahwa manusia belum ada pada saat penciptaan, sehingga ia bergantung pada penyataan Allah; bnd. Ayb. 38:4).
• Kejadian 2:8-25 semuanya berlangsung
Kemudian Kejadian 2:8-25 menginformasikan kepada kita tentang zaman yang menyusul penciptaan Allah. Semuanya mulai berlangsung. Manusia memulai tugasnya, berkuasa atas langit dan bumi. Ia memenuhi nya dari taman Eden sebagai pangkal tolak (”basis keberangkatan”). Pada awalnya manusia (= laki-laki) bekerja sendirian, atas perintah serta janji Tuhan. Dengan sengaja demikian, karena dengan cara itu Tuhan menimbulkan rasa sepi dalam hati manusia, sehingga dia merindukan ”penolong yang sepadan dengan dia” (ay. 18). Kemudian Allah menciptakan perempuan baginya, agar mereka bersama-sama dalam hubungan yang intim dan akrab (perkawinan atas dasar cinta), berkuasa atas langit dan bumi. Penciptaan manusia, laki-laki dan perempuan, menunjukkan bahwa Allah memang sangat berhikmat, juga sangat taktis: manusia adalah ciptaan sosial. Kesatuan laki-laki (bhs. Ibrani isy) dan perempuan (bhs. Ibrani isya) atas dasar kerinduan dan kasih, menjamin hidup bersatu dan kerja sama yang erat dalam pelaksa naan tugas berkuasa atas langit dan bumi. Relasi ini yang merujuk kepada ketritunggalan Allah merupakan model untuk kerja sama setiap persekutuan-antarmanusia.
Kenyataan perempuan dijadikan beberapa waktu sesudah penciptaan manusia (= laki-laki) tidak perlu membuat kita menarik kesimpulan bahwa Kejadian 1 dan 2 saling bertentangan, seakan-akan mau tidak mau hal itu berasal dari tradisi-tradisi yang berbeda-beda. Karena, apa masalahnya jika Kejadian 1:26-28 dianggap sebagai ringkasan dan Kejadian 2:8-25 sebagai perinciannya?
Perjanjian Lama (PL)
Seluruh Kitab Suci mengakui dan memuliakan Allah sebagai Pencipta langit dan bumi. Dia sering disapa dengan nama-nama ”Pencipta langit dan bumi” (Kej. 14:19, 22), ”Tuhan yang menjadikan langit dan bumi” (Mzm. 121:2, 124:8, 134:3; bnd. 136:4-9, 146:6), atau hanya ”Pencipta” (Ayb. 4:17, Ams. 14:31, 17:5, Pkh. 12:1). Sekalipun hanya digunakan sebagai sapaan kehormatan, tetapi nama-nama itu sendiri penuh arti dan merujuk kembali ke per buatan besar Allah yang dilakukan-Nya pada mulanya. Penyebutan nama itu berciri pengakuan iman, yang sama dengan: ”Aku percaya kepada Allah Bapa, yang Mahakuasa, Khalik langit dan bumi” (Pengakuan Iman Rasuli, ps 1).
Selain itu para penulis PL dalam pengisahan sejarah umat pilihan Tuhan, Israel, atau nubuat-nubuat tentang masa depan, selalu mengacu ke peristiwa penciptaan langit dan bumi, khusus nya penciptaan manusia, bahkan penciptaan aku (Ams. 8:22), kita (Mzm. 100:3), dan engkau (Ul. 32:6). Banyak ayat-ayat PL yang mengingatkan pembaca akan kenyataan Tuhan adalah Pencipta langit dan bumi, sehingga wajarlah Dia dimuliakan, ” Tuhan -lah yang empunya bumi serta segala isinya, dan dunia serta yang diam di dalamnya. Sebab Dialah yang mendasarkannya di atas lautan dan menegakkan nya di atas sungai-sungai” (Mzm. 24:1-2; bnd. Mzm. 8:4, 89:12-13, 95:5-6). Menurut kesaksian seluruh PL, penciptaan langit dan bumi oleh Allah adalah fakta yang menentukan bagi keberadaannya, khusus nya bagi hidup manusia. Pekerjaan Allah itu mengawali segala sesuatu dan adalah kondisi mutlaknya (bhs. Latin conditio sine qua non). Tanpa prakarsa dan tindakan Allah, tidak akan ada apa-apa dan tidak ada siapa pun. Dialah sumber satu-satunya dari segala-galanya yang ada.
Kadang para penulis PL juga memberikan perhatian yang lebih panjang lebar pada penciptaan langit dan bumi atau beberapa bagiannya, yaitu misalnya dalam Ayub 38:4-11; Mzm. 104; Ams. 8:22-31; Yes. 44:24-45:25 (Kwakkel 2011, Bab 2). Hal itu mereka lakukan dengan maksud yang istimewa, misalnya:
Hubungan antara penciptaan dan penyelamatan langsung nyata di Taman Eden, setelah manusia jatuh ke dalam dosa. Pemberontakan Adam dan Hawa melawan Penciptanya membuat hidup dan posisi mereka merosot. Mereka tidak lagi mampu untuk atas nama Allah melakukan tugas mereka, yaitu berkuasa atas langit dan bumi. Bukan hanya itu akibat dosa mereka. Kelangsungan dan perkembangan langit dan bumi juga terancam. Seluruh penciptaan Allah rusak karena dosa: ”… terkutuklah tanah karena engkau” (Kej. 3:17-18). Karena itu semuanya membutuhkan pemulihan atau bahkan pembaruan total (penciptaan kembali). Nabi Yesaya yang bernubuat tentang hal itu, misalnya dalam Yesaya 11. Oleh kedatangan Raja Damai, kata Yesaya, ”serigala akan tinggal bersama domba dan macan tutul akan berbaring di samping kambing” dan seterusnya. Akhirnya, ”tidak ada yang akan berbuat jahat atau yang berlaku busuk di seluruh gunung-Ku yang kudus, sebab seluruh bumi penuh dengan pengenalan akan Tuhan” (ay 6-9). Dan pada masa Perjanjian Baru (PB), Paulus menulis bahwa ”seluruh makhluk telah ditaklukkan kepada kesia-siaan, …” dan ”sama-sama mengeluh dan samasama merasa sakit bersalin” (Rm. 8:20-22). Bukan hanya manusia melainkan seluruh alam semesta memerlukan penciptaan kembali, sehingga yang fana diubah menjadi baka.
Selain itu kita melihat hubungan yang erat di antara semua perbuatan Allah ini, ketika melihat alasan Tuhan di belakang penetapan Hari Sabat, dalam rangka pengadaan perjanjian-Nya dengan Israel. Dalam Keluaran 20:11 kita baca Tuhan menetapkan Hari Sabat sebagai peringatan akan penciptaan langit dan bumi, sedangkan dalam Ulangan 5:15 dikatakan Hari Sabat adalah peringatan akan kesela matan Israel dari perbudakan di Mesir. Kedua pekerjaan Allah itu adalah syarat mutlak untuk keber adaan umat perjanjian Tuhan yang tidak boleh mereka lupakan. Perjanjian Tuhan di Gunung Sinai mempunyai dasar, baik dalam penciptaan Allah maupun dalam penyelamatan-Nya. Dan janji-Nya tentang perhentian (”sabat”) di ”tanah pusaka” merujuk kembali ke keadaan semula dan sekaligus menunjuk ke depan, ke langit dan bumi yang baru (”sabat kekal”).
Kitab Mazmur pun menunjukkan hubungan yang erat di antara penciptaan dan penyelamatan Allah. Hanya berdasarkan kesetiaan Tuhan terhadap umat-Nya, bumi masih ada, ”Kesetiaan-Mu dari keturunan ke keturunan; Engkau menegakkan bumi, sehingga tetap ada. Menurut hukum-hukum-Mu semuanya itu ada sekarang, sebab segala sesuatu melayani Engkau” (Mzm. 119:90-91; ”melayani Engkau” terjemahan dari ”adalah hamba-Mu”, artinya takluk kepada Allah). Demi penyelamatan umat-Nya, Allah mempertahankan penciptaan-Nya (bnd. juga Mzm. 146:5-6). Dengan demikian seluruh Kitab Mazmur memuliakan Allah secara bergiliran karena penciptaan-Nya dan penyelamatan-Nya.
Khususnya dalam bagian kedua Kitab Yesaya, yang dikenal dengan nama Deutero-Yesaya, kita melihat hubungan di antara penciptaan, penyelamatan, dan penciptaan baru. Dalam banyak nubuat Yesaya tentang keselamatan yang tersedia untuk ”sisa” yang kembali dari pembuangan ke Babel (Yes. 10:2122), Tuhan mengingatkan Israel akan penciptaan-Nya. Karena mereka menggantikan Allah dengan ilah-ilah bangsa-bangsa lain, Dia protes, ”Dengan siapa hendak kamu samakan Aku?” Maka Dia membuktikan kemaha kuasaan-Nya dengan bukti-bukti yang tidak mungkin disangkal, ”Arahkanlah matamu ke langit dan lihatlah: siapa yang menciptakan semua bintang itu …” Dan lagi, ”Tidakkah kautahu, dan tidakkah kaudengar? Tuhan ialah Allah kekal yang menciptakan bumi dari ujung ke ujung” (Yes. 40:21-28). Dalam setting itu Dia berjanji untuk membangkitkan seorang pembebas, Hamba Tuhan, yang akan mewujudkan keselamatan, ”Beginilah firman Allah, Tuhan, yang menciptakan langit dan membentangkannya, yang menghamparkan bumi dengan segala yang tumbuh di atasnya, yang memberikan nafas kepada umat manusia yang mendudukinya dan nyawa kepada mereka yang hidup di atasnya: ’Aku ini, Tuhan, telah memanggil engkau untuk maksud penyela matan’” (Yes. 42:5-6; bnd. 45:12 dan 18, dan banyak ayat lain dalam Yes. 40-66; juga dalam kitab-kitab para nabi lainnya). Pada akhir kitabnya, Yesaya sekali lagi menyampaikan janji Allah mengenai penyelamatan dan penciptaan yang baru, ”Sebab sesungguhnya, Aku menciptakan langit yang baru dan bumi yang baru; hal-hal yang dahulu tidak akan diingat lagi, dan tidak akan timbul lagi dalam hati” (Yes. 65:17). Di langit dan bumi yang baru itu umat Tuhan akan tinggal dalam damai sejahtera. Karena sesudah hukuman datanglah keselamatan, ”Sebab sama seperti langit yang baru dan bumi yang baru yang akan Kujadikan itu, tinggal tetap di hadapan-Ku, demikianlah firman Tuhan, demikianlah keturunanmu dan namamu akan tinggal tetap” (Yes. 66:22).
Jelas dari seluruh PL bahwa Yang menyelamatkan umat-Nya dari dosa adalah Allah Pencipta langit dan bumi. Kedua perbuatan besar itu adalah karya Allah yang sama.
• untuk memperingatkan manusia akan posisi Allah sebagai atasan mereka
Penciptaan juga berarti Allah memiliki semuanya (Mzm. 24:1). Khususnya manusia yang mewakili Allah dalam hal berkuasa atas langit dan bumi, hidup di bawah pengawasan-Nya. Tuhan bahkan mengadakan perjanjian-Nya dengan manusia/Israel. Nama Allah dan pekerjaan-Nya disebut sebagai per ingatan agar manusia jangan melupakan Tuhan atau memberontak melawan Dia (mis. Am. 4:13). Pada Hari Sabat dan pesta-pesta, Israel mengingat akan ” Tuhan yang menciptakan langit dan bumi” antara lain melalui pembacaan firmanNya. Atau ketika mengalami hukuman karena dosa, Israel diperingatkan untuk bertobat kepada Tuhan. Contoh yang sangat jelas ialah acara pengakuan dosa kaum Israel sesudah kembali dari Pembuangan di Babel (Neh. 9:6).
Perjanjian Baru (PB)Banyak juga acuan PB ke karya awal Allah, penciptaan langit dan bumi, khususnya penciptaan manu sia. Dalam PB pun Allah dinamakan ”Pencipta” (mis. Rm. 1:25; 1 Ptr. 4:19) atau ”Tuhan (yang menjadi kan) langit dan bumi.” Yesus sendiri sebagai Anak Allah sesama Pencipta menyapa BapaNya dengan nama itu, ”Aku bersyukur kepada-Mu, Bapa, Tuhan langit dan bumi, …” (Mat. 11:25; Luk. 10:21). Demikian juga teman-teman Petrus dan Yohanes, yaitu rasul-rasul lainnya atau seluruh jemaat, ”Ya Tuhan, Engkaulah yang menjadi kan langit dan bumi, laut dan segala isinya” (Kis. 4:24).
Selain itu PB mengingatkan pembacanya terhadap karya awal Allah, khususnya:
• untuk menjelaskan posisi Yesus Kristus dan keselamatan yang dikerjakan-Nya.
Yesus Kristus adalah Anak Allah sekaligus Anak Manusia. Nama ”Yesus” dan gelar ”Kristus” (= ”Mesias”) itu baru diberikan kepada-Nya setelah Dia menjadi manusia (Mat. 1:21, 25; Luk. 1:31; Mat. 16:16), sekalipun khususnya gelar itu telah dinubuatkan jauh sebelumnya, misalnya oleh Yesaya. Tetapi sebelum pada saat tertentu Dia menjadi manusia, Dia sejak kekal hidup sebagai Anak Tunggal Bapa, Oknum kedua ketritunggalan Allah. Sebagai Anak Allah, Dia terlibat dalam penciptaan langit dan bumi. Langsung pada awal Injilnya, Yohanes sengaja menekankan posisi abadi Juru Selamat itu. Orang jangan mengang gap Yesus Kristus sebagai manusia biasa. Dia bersatu dengan Bapa di surga (bnd. Yoh. 17). Dialah Firman, yang olehnya Allah menciptakan langit dan bumi (Yoh. 1:1-4) dan yang menjadi manusia (ay. 14). Langsung dari awal, Yohanes menyadarkan para pendengar dan pembacanya akan posisi Yesus Kristus dengan gamblang: Dialah Anak Tunggal Bapa yang bernama Firman. Dan sebagai Firman, Dialah sesama Pencipta. Demikian juga penulis Surat kepada orang-orang Ibrani, ”…, maka pada zaman akhir ini Ia berbicara kepada kita dengan perantaraan Anak-Nya yang telah Ia tetapkan sebagai ahli waris segala sesuatu. Melalui Dia Allah telah menjadikan alam semesta” (Ibr. 1:1-2).
Paulus pun memberikan penjelasan mengenai posisi ilahi Juru Selamat dan pekerjaan-Nya sebagai sesama Pencipta, yakni dalam suratnya kepada jemaat di Filipi: Sebelum menjadi manusia, Kristus Yesus sudah berada ”dalam rupa Allah,” sehingga Dia setara dengan Allah dan patut dimuliakan sebagai ”Tuhan” (Flp. 2:5-11). Juga dalam suratnya kepada jemaat di Kolose, Paulus menekankan bahwa ”Dialah gambar Allah yang tidak kelihatan, yang sulung, lebih utama dari segala yang diciptakan, karena di dalam Dialah telah diciptakan segala sesuatu, yang ada di surga dan yang ada di bumi, yang kelihatan dan yang tidak kelihatan …” (Kol. 1:15-16). Inilah posisi-Nya yang membuat Dia sangat cocok untuk rencana penyelamatan Allah. Paulus mengatakan, ”Karena seluruh kepenuhan Allah berkenan tinggal di dalam Dia, dan melalui Dialah Allah memperdamaikan segala sesuatu dengan diri-Nya, baik yang ada di bumi, maupun yang ada di surga, sesudah Ia mengadakan pen damaian dengan darah salib Kristus” (Kol. 1:19-20).
Mengenai Yesus Kristus, Anak Allah dan Anak Manusia, PB menegaskan bahwa jauh sebelum Dia menjadi manu sia untuk menyelamatkan dunia dari dosa, telah turut menciptakan langit dan bumi, yaitu sebagai Oknum kedua Allah Tritunggal.
• untuk menunjukkan penciptaan sebagai dasar pertama bagi pekabaran Injil
Dalam pemberitaan Injil kepada semua bangsa yang dimulai pada Hari Pentakosta (Kis. 2; bnd. 1:8) para pengabar memproklamasikan Yesus Kristus sebagai Juru Selamat dunia sesuai dengan posisi-Nya yang tadi telah dijelaskan. Dan lebih luas lagi, mereka memperkenal kan Allah yang mengasihi dan menyelamat kan dunia (Yoh. 3:16-18) sebagai Pencipta langit dan bumi yang berarti Dia juga memilikinya melawan bermacam-macam keyakinan orang dan bangsa-bangsa. Tentang mereka, Paulus menulis bahwa ”mereka menggantikan kebenaran Allah dengan dusta dan memuja dan menyembah makhluk dengan melupakan Penciptanya yang harus dipuji selama-lamanya” (Rm. 1:25). Hal itu tampak jelas dalam praktik pekabaran Injil. Melihat mukjizat yang diperbuat Paulus di kota Listra, para penduduk nya mau menyembah Paulus dan Barnabas sebagai dewa-dewa yang datang kepada mereka dalam rupa manusia. Tetapi kedua rasul itu berseru, ”… Kami ada di sini untuk memberitakan Injil kepada kamu, supaya kamu meninggalkan perbuatan sia-sia ini dan berbalik kepada Allah yang hidup, yang telah menjadikan langit dan bumi, laut dan segala isinya” (Kis. 14:15). Sama halnya di kota Atena (Kis. 17:24-28; bnd. Yer. 10:11). Penyampaian kabar baik tentang keselamatan dunia oleh Yesus Kristus tidak mungkin terjadi tanpa berita bahwa Allah adalah Pencipta dan Pemilik langit dan bumi. Pemberitaan Injil sebenarnya terjadi dalam suasana pengadilan: Tuhan berperkara dengan iblis tentang kepemilikan alam semesta. Sambil menuntut hak-Nya atas semuanya, Dia merebutnya kembali dari kuasa si jahat (Kerajaan Allah lawan kuasa kegelapan, Kol. 1:13; bnd. Van den Berg 2011).
• untuk mencirikan hidup baru orang percaya sebagai ciptaan baru
Pada khususnya para penulis Surat-surat PB menghubungkan hidup baru dalam Kristus itu secara eksplisit dengan perbuatan awal Allah, yaitu penciptaan langit dan bumi. Mereka dengan tepat menyama kan perubahan besar itu dengan ”penciptaan kembali”. Dalam Surat 2 Korintus, Paulus membedakan antara hidup lama dan hidup baru, dengan berkata, ”Jadi, siapa yang ada di dalam Kristus, ia adalah ciptaan baru: Yang lama sudah berlalu, sesungguhnya yang baru sudah datang” (2Kor. 5:17). Kepada jemaat di Galatia, Paulus menulis tentang dua cara hidup, yakni hidup menurut daging (hidup lama di luar Kristus) dan hidup menurut Roh (hidup baru dalam kemerdekaan Kristus). Sehubungan dengan itu, pada akhir suratnya dia menggunakan istilah ”sunat” dan ”salib Kristus”, sambil menegaskan, ”Sebab bersunat atau tidak bersunat tidak ada artinya, tetapi menjadi ciptaan baru, itulah yang ada artinya” (Gal. 6:15). Juga kepada jemaat di Efesus, Paulus menekankan bahwa kita yang diselamatkan oleh iman adalah ”buatan Allah, diciptakan dalam Kristus Yesus” (Ef. 2:10; bnd. 2:15, 3:9; istilah ”kelahiran kembali” dalam Tit. 3:5-6). Khusus dalam Efesus 4-5, Paulus memaparkan dengan gamblang perbedaan radikal antara manusia lama dan manusia baru. Semua orang percaya di Efesus dinasihatinya ”supaya kamu dibarui di dalam roh dan pikiranmu, dan mengenakan manusia baru, yang telah dicip takan menurut kehendak Allah di dalam kebenaran dan kekudusan yang sesungguhnya” (Ef. 4:23-24, dalam konteks Ef. 4:17-5:21; bnd. Venema 2006, Bagian I 2.2 dan II 4.2).
Cara hidup yang baru jauh berbeda daripada cara hidup yang lama. Oleh keselamatan Kristus banyak aturan Hukum Musa tidak lagi berlaku, misalnya penyunatan semua laki-laki dan persembahan segala macam kurban (Kis. 15:1, 19). Juga berbagai akibat dosa dihilangkan (Kej. 3:16), misalnya mengenai posisi perempuan yang kembali menjadi ”sepadan” (Kej. 2:18). Keadaan ”perempuan dikuasai oleh laki-laki” kembali menjadi ”laki-laki dan perempuan bersama-sama berkuasa”. Ini tidak berarti laki-laki dan perempuan sama posisinya (itu bukan arti Gal. 3:28, juga bukan arti Kej. 2:18), tetapi aturanaturan penciptaan asli menjadi nyata dalam kehidupan jemaat Kristen (1Kor. 11:9, 1Tim. 2:11-15, 1 Ptr. 3:1-7). Jemaat kembali memperlihatkan rencana Allah semula.
• untuk menghubungkannya dengan kedatangan langit dan bumi yang baru
Di samping itu PB menggambarkan hubungan penciptaan langit dan bumi dengan kedatangan langit dan bumi yang baru. Paulus, dalam suratnya kepada jemaat di Roma, berbicara tentang segala makhluk (= seluruh ciptaan; bhs. Yunani ktisis, bhs. Inggris creation) yang rindu dimerdekakan dari perbudakan kebinasaan kemudian dimuliakan. Paulus mengatakan, ”Sebab kita tahu bahwa sampai sekarang segala makhluk sama-sama mengeluh dan sama-sama merasa sakit bersalin” (Rm. 8:18-25). Dan menentang ejekan orang-orang yang hidup menuruti hawa nafsunya, yang mengatakan tidak ada perubahan ”Di mana janji tentang kedatangan-Nya itu? Sebab sejak bapak-bapak leluhur kita meninggal, segala sesuatu tetap seperti semula, pada waktu dunia diciptakan” Petrus menulis mengenai kedatangan Hari Tuhan, ”Pada hari itu langit akan lenyap dengan gemuruh yang dahsyat dan unsur-unsur dunia akan hangus oleh nyala api, dan bumi dan segala yang ada di atasnya akan hilang lenyap.” Dan, ”Pada hari itu langit akan binasa dalam api dan unsurunsur dunia akan hancur karena nyalanya. Tetapi sesuai dengan janji-Nya, kita menantikan langit yang baru dan bumi yang baru, di mana terdapat kebenaran” (2Ptr. 3:1-13).
Akhirnya, dalam Kitab Wahyu, Yohanes menguraikan segala yang diperlihatkan Kristus yang Maha mulia kepadanya tentang ”apa yang terjadi sekarang, maupun yang akan terjadi sesudah ini” (Why. 1:19). Yohanes menceritakan tentang seorang malaikat yang memberitahukan penghakiman Allah, ”Takutlah akan Allah dan muliakanlah Dia, karena telah tiba saat penghakim an-Nya, dan sembahlah Dia yang telah menjadikan langit dan bumi dan laut dan semua mata air” (14:7). Juga di pasal-pasal lainnya ia berbicara tentang Allah sebagai Pencipta. Yohanes misalnya mengutip nyanyian 24 tua-tua di hadapan takhta Tuhan, ”Ya Tuhan dan Allah kami, Engkau layak menerima puji-pujian dan hormat dan kuasa; sebab Engkau telah menciptakan segala sesuatu; dan karena kehendak-Mu semuanya itu ada dan diciptakan” (ps 4:11; bnd. 10:6). Akhirnya Yohanes melihat Pencipta dan Hakim itu menjadikan langit dan bumi yang baru, yang menggantikan yang lama. Yohanes melihat dan mendengar ”Ia yang duduk di atas takhta itu berkata, ’Lihatlah, Aku menjadikan segala sesuatu baru!’” Apa yang dilihat Yohanes menunjukkan bahwa keindahan langit dan bumi yang baru sebenarnya jauh melampaui keadaan semula: ”Aku juga melihat kota yang kudus, Yerusalem yang baru, turun dari surga, dari Allah …” dan ”Lihatlah, kemah Allah ada di tengahtengah manusia dan Ia akan tinggal bersama-sama dengan mereka” (Why. 21:1-8; bnd. Van Houwelingen dalam Kwakkel 2011, Bab 4).
Kesimpulan
Seluruh Kitab Suci dari awal sampai akhir jelas mengajarkan penciptaan langit dan bumi sebagai karya Allah. Bavinck dengan tepat mengatakan bahwa penciptaan langit dan bumi adalah awal dan titik tolak pelaksanaan seluruh rencana Allah. Karena itu, karya penciptaan itu terus-menerus mengemuka di seluruh sejarah penyataan-Nya, dan terjalin dalam semua bagian Alkitab, dalam semua perbuatan Allah (Bavinck 2008, II 407). Allah sendiri adalah satu-satunya sebab dan mutlak dari segala-galanya yang ada. Dan penciptaanNya sebagai hasil pertama (hasil hulu!) pengerjaan kehendak-Nya adalah dasar segala hidup. Siapa yang menyangkal penciptaan langit dan bumi, menyangkal semuanya. Demikian juga Berkhof, yang mengatakan bahwa ”Bukti Alkitab bagi doktrin penciptaan tidaklah ditemukan dalam satu ayat tunggal yang terbatas dalam Alkitab, tetapi dapat kita temukan dalam setiap bagian firman Tuhan” (Berkhof 1993, Jld 1, 236).
Kitab Suci penuh kesaksian tentang karya besar Allah, yaitu penciptaan langit dan bumi.
2. Surat-surat pengakuan iman gereja dan liturginya
Dari awal gereja perkumpulan umat Tuhan yang diselamatkan oleh Yesus Kristus menerima ajaran Kitab Suci tentang penciptaan langit dan bumi, dan mempertahankan nya menentang ajaran-ajaran yang menye leweng, baik di luar maupun di dalamnya, misalnya mengenai soal-soal ex nihilo, jangka enam hari, dan kedaulatan Allah dalam bertindak bebas. Apa yang sudah dinyatakan dalam Alkitab, kemudian jelas diakui dan diturut oleh gereja Kristen dalam sejarah dan perkembangannya. Khususnya surat-surat pengakuan iman dan liturginya, yang menunjukkan bahwa gereja tetap mengakui kebenaran firman Tuhan (Berkhof 1993, 234; bnd. Groen 2012).
Surat-surat pengakuan iman gereja
Mengenai penciptaan, surat-surat pengakuan iman yang berasal dari gereja abad-abad pertama, khususnya Pengakuan Iman Rasuli dan Pengakuan Iman Nicea-Konstantinopel, memang menyebut kan Allah sebagai Pencipta/Khalik langit dan bumi, tetapi tidak menjelas kannya lebih lanjut. Sebalik nya, suratsurat pengakuan iman yang disusun dan ditetapkan oleh gereja-gereja sejak zaman Reformasi (abad ke-16/17), membahas nya dengan panjang lebar. Demikian juga pengakuan-pengakuan iman yang dirumuskan oleh gerejagereja masa kini, termasuk di Indonesia, membicara kan pokok ini.
• Abad-abad pertama
Di antara Surat-surat Pengakuan Iman Oikumenis Gereja Lama, Pengakuan Iman Rasuli yang mengaku dalam Pasal 1 bahwa Allah, Bapa yang Mahakuasa, adalah ”Khalik langit dan bumi.” Dan Pengakuan Iman Nicea-Konstantinopel, Pasal 1, memberi tambahan, yaitu, ”segala-galanya yang kelihatan dan yang tidak kelihatan.” Dalam naskah Pengakuan Iman Rasuli yang paling tua, kata-kata ”Khalik langit dan bumi” belum ada. Kata-kata itu, dan demikian juga tambahan tersebut dalam Pengakuan Iman Nicea-Konstantinopel, sengaja dimasukkan di kemudian hari, ketika ajaran Kitab Suci perlu dibela menentang dualisme filsafat Plato dan Gnostik yang membedakan antara dunia yang tidak kelihatan (dunia surga/roh) dan dunia yang kelihatan (dunia materi), dan menentang ajaran Marsion yang memisahkan Allah sebagai Bapa Yesus Kristus dari Allah sebagai Pencipta dan Pemberi hukum (lihat 4.1).
Selain dualisme, ada monisme yang berpengaruh di dunia helenisme. Filsafat ini berpendirian bahwa semuanya, baik yang rohani maupun yang materi, berasal dari hanya satu Sumber yang ilahi. Dunia tidak diwujudkan oleh kreasi dari yang tiada, melainkan melalui emanasi dari Yang Ilahi, yaitu dalam tingkat-tingkat tertentu. Tingkat atas, dunia rohani, hampir sama dengan ”Sumber”nya sendiri, sedangkan dunia materi, tingkat bawah, sangat jauh dari Sumber dan karena itu, paling tidak sempurna (bnd. terang lampu yang semakin meredam). Dalam pengakuan iman mengenai Allah Bapa adalah Pencipta, gereja menolak baik dualisme maupun monisme sebagai filsafatfilsafat yang bertentangan dengan kebenaran Kitab Suci.
• Zaman Reformasi
Dalam surat-surat pengakuan iman yang berasal dari zaman Reformasi pun (Van den End 2004), pokok penciptaan langit dan bumi dibahas dengan eksplisit, misalkan dalam Pengakuan Iman Gereja Perancis (Confessio Gallicana), Pasal II dan VII, dan Pengakuan Iman Gereja Belanda (Confessio Belgica), Pasal 2 dan 12. Juga dalam buku-buku katekismus yang khusus ditulis untuk mengajar kan firman Tuhan kepada para pemuda-pemudi Kristen, pokok penciptaan langit dan bumi dibahas dengan eksplisit. Khususnya Calvin, yang berjasa dalam membuka kembali mata umat Kristen untuk alam semesta sebagai sarana untuk mengenal Allah, Penciptanya.
Pengakuan Iman Gereja Perancis, Ps VII, menekankan bahwa penciptaan adalah karya ”Allah, dalam tiga Pribadi yang bekerja sama”, sedangkan Pengakuan Iman Gereja Belanda, Ps 12, menegas kan bahwa Allah ”tidak memerlukan bahan apa pun” dan melaksanakan penciptaan-Nya ”ketika Dia berkenan” dan ”untuk melayani Penciptanya.” Selain itu keduanya mempertahankan ajaran Kitab Suci menentang dualisme yang sudah begitu berpengaruh sejak abadabad pertama, dengan mengatakan bahwa Allah menciptakan ”baik langit dan bumi serta segala isinya maupun roh-roh yang tidak kelihatan.” Terutama Surat Pengakuan Iman Gereja Belanda, yang memberi penjelasan panjang lebar tentang roh-roh yang baik (malaikat) dan roh-roh jahat (setan), dan secara terbuka menolak ajaran sesat orang Saduki dan kaum Manikheis.
Dalam Katekismus Jenewa (1542), Calvin menyebutkan Allah Bapa sebagai ”awal dan asal, atau sebab pertama segala sesuatu” (p/j 19), bukan dalam arti Dia adalah titik awal emanasi, tetapi Dialah pemrakarsa dan perancang kreasi. Selanjutnya dalam p/j 25, Calvin bertanya, ”Mengapa kautambahkan bahwa Dia adalah Khalik langit dan bumi?” dan menjawab, ”Karena Dia telah menampakkan diri kepada kita melalui karya-karya-Nya maka kita perlu mencari Dia di dalamnya.” Akhirnya Calvin menjelaskan bahwa dalam sebutan ”langit dan bumi” semuanya tercakup (bnd. Institusio, Kitab I, Bab XIV-XV).
Pengaruh Calvin juga terasa dalam Katekismus Heidelberg yang disusun oleh Caspar Olevia nus dan Zacharias Ursinus (1563). Buku pelajaran ini juga membicarakan penciptaan langit dan bumi. Dalam p/j 6-11, Katekismus menerangkan bahwa dosa manusia tidak disebab kan oleh penciptaan yang lemah atau bahkan yang kurang baik. Seluruh penciptaan itu baik sematamata. Dan manusia juga baik (”dengan kebenaran dan kesucian yang sejati”). Ia sungguh-sungguh ”dapat mengenal Allah Penciptanya secara benar, mengasihiNya dengan sebulat hati, dan hidup bersama Dia dalam kebahagiaan yang kekal untuk memuji dan memuliakan Dia.” Ini berarti, seluruh karya penciptaan Allah itu lengkap, sempurna. Selanjut nya, dalam rangka penjelasan Pengakuan Iman Rasuli menurut tiga bagiannya:
1. Allah Bapa dan penciptaan kita;
2. Allah Anak dan pene busan kita;
3. Allah Roh Kudus dan pengudusan kita
– Katekismus Heidelberg membicarakan pokok penciptaan dalam p/j 26. Dalam pembahasan itu pun Katekismus menekankan bahwa Allah yang ”menciptakan langit dan bumi serta segala isinya dari yang tiada.” Selain itu Katekismus menunjukkan hubungan yang erat antara penciptaan dan pemeliha raan Allah.
Juga di wilayah-wilayah bahasa Inggris, gereja-gereja asal Reformasi menetapkan ringkasan dan pembelaan ajaran Kitab Suci dalam surat-surat pengakuan iman dan katekis mus, yaitu khususnya dokumen-dokumen Westminster (1647). Pokok penciptaan pun diberi perhatian, misalnya dalam Pengakuan Iman Westminster, Bab IV.1, dan dalam Katekismus Besar Westminster, p/j 14-17 (Reymond 1998, 383). Keterangannya tidak berbeda dengan apa yang kita baca dalam Surat Pengakuan Iman Belanda dan Katekismus Heidelberg. Tepatnya penjelasan yang diberi kannya, dibuktikan dengan daftar panjang ayat-ayat Alkitab.
Dalam surat-surat pengakuan iman gereja-gereja Lutheran, khususnya Katekismus Besar, pokok penciptaan pun dibahas. Luther membicarakannya dengan singkat dalam Bagian ke-2, Peng akuan Iman, pasal pertama. Kalau ditanyakan kepada anak muda, ”seperti apa Allah itu” jawabannya yang tepat ialah, ”Allahku pertama-tama adalah Bapa, yang menjadikan langit dan bumi. Dialah Allah satu-satunya dan tidak ada yang kukenal sebagai Allah selain Dia, karena tidak seorang pun dapat menjadi kan langit dan bumi.” Itu hal pokok. Kepada anak-anak yang lebih tua diajarkan pengetahuan yang lebih luas, khususnya tentang ”aku ini ciptaan Allah” di bidang kemampuan dan pemeliharaan yang Allah berikan kepada setiap orang. Dalam kata ”khalik” terkandung Allah adalah Pencipta yang kemudian juga memelihara apa yang diciptakan-Nya.
Menangkis tuduhan-tuduhan dari gereja-gereja yang mengikuti Reformasi, Gereja Katolik Roma pada Konsili Trente juga menerbitkan katekismus resmi, yaitu Catechismus Romanus (1566). Strukturnya kira-kira sama dengan pembagian Katekismus Heidelberg, demikian juga keterangan yang diberikannya mengenai pencip taan dan pemeliharaan Allah, tidak jauh berbeda. Langsung dalam Pasal 1 katekis mus ini mengaku bahwa penciptaan (dari ketiadaan) adalah awal dan dasar segala karya Allah Bapa yang Mahakuasa. Dan Dia juga yang memelihara dan memerintah segala-galanya.
Penjajahan Indonesia (dan negara-negara lainnya) tidak hanya menghasilkan hal-hal buruk. Rupanya Tuhan berkenan menggunakan ”alat yang bengkok” itu untuk mendirikan gereja-Nya di Indonesia juga. Sayangnya, perpecahan gereja di Eropa juga diterapkan ke mana-mana, sehingga dalam ajaran Alkitab dan pengakuan iman, gereja-gereja muda mengikuti induknya masing-masing. Mengenai per kembangan gereja-gereja Reformed di Indonesia, yang sangat menarik ialah dokumen yang bernama Ringkasan Pengakuan Hulsebos (Jakarta, 1621). Sama seperti semua Pengakuan Iman Reformed, dokumen ini dalam Pasal 1 menyatakan bahwa Allah Tritunggal ”telah menciptakan langit, bumi, laut, dan segala isinya dari yang tiada, dan masih tetap memelihara ciptaan dan segala hal menurut pemeliharaan-Nya dan rencana-Nya yang kekal …” (Groen 2012, 755).
• Masa kini
Sejak abad ke-18, Eropa dengan cepat maju menjadi dunia modern, khususnya karena Renaisans yang diperleng kapi dengan Pen cerahan. Renaisans sebenarnya sudah berlangsung sejak abad ke-15, di samping Reformasi salah satu tokohnya Erasmus dengan mengutamakan perkembangan manusia di bidang-bidang ilmu, kesusas traan, dan kesenian. Filsafat dan pengetahuan yang lama tidak lagi dite rima begitu saja sebagai tradisi yang berwibawa, dipikirkan kembali secara kritis dan mandiri. Dengan membentuk teori-teori baru, orang beralih ke pandangan dunia yang baru. Karena yang diutamakan ialah manusia, timbullah istilah ”humanisme”. Selanjutnya Pencerahan yang mulai pada pertengahan abad ke-17 dan yang memuncak di Revolusi Perancis, memutarbalikkan dunia Eropa dengan memberikan segala otoritas dan otonomi pada akal manusia (rasionalisme, libertinisme, sekularisme). Manusia bebas dan mampu untuk menentukan sendiri norma-norma dan pandangan dunianya, berdasarkan hak-hak asasinya (kesamaan dan kebebasan total; kebebasan agama, demo krasi, toleransi). Manusia dianggap baik dan otonom, tidak bergantung pada siapa pun (berlawanan dengan sistem feodal, kaum bangsawan, klerus gereja, dan akhirnya berlawanan dengan sesamanya; bnd. individualisme).
Berhubung dengan pokok penciptaan, Pencerahan membidani antara lain Ilmu Teologi Kritis (mis. Teori Sumber) dan Teori Evolusi. Modernisme, juga pascamodernisme, menantang gereja untuk tetap membela ajaran Kitab Suci menentang pandangan-pandangan manusia yang tidak sesuai dengan Alkitab. Di dalamnya yang satu mengutamakan akal manusia sebagai norma tertinggi dan absolut (rasio nalisme, objektivisme), yang satu lagi memprioritaskan perasaan kita (subjektivisme, individua lisme). Semua filsafat itu membuat manusia tidak lagi menerima kewibawaan Kitab Suci sebagai kebenaran Ilahi. Khususnya ajaran Kitab Suci tentang penciptaan dan pemeliharaan Allah, dengan mudah ditolak oleh manusia modern, karena bertentangan dengan akal budinya atau perasaannya. Banyak juga orang Kristen yang mereduksi status Kitab Suci dari firman Tuhan, menjadi ”kisah pengalaman manusia tentang Allah” yang tidak benar secara objektif. Semua ini mengakibatkan gereja-gereja terbagi pada umumnya dalam aliran liberal dan aliran ortodoks. Perbedaan itu nyata dalam teologi (Teologi Modern lawan Teologi Alkitabiah), juga dalam dokumen-dokumennya (bnd. Groen, Bab II).
• Indonesia
Gereja selalu ditantang untuk merenungkan seluruh ajaran Kitab Suci dalam konteks sezaman nya, juga dalam konteks kebudayaan setempat. Sekalipun Renaisans dan Pencerahan sangat memengaruhi benua-benua lainnya, situasi sosio-budaya Eropa tentunya sangat berbeda dari konteks Asia. Mengenai Indonesia, kebanyakan warga negara beragama Islam. Di samping Islam dan Kristen terdapat juga agama Hindu dan Buddha. Selain itu di setiap wilayah terdapat berbagai agama daerah (atau agama suku, animisme). Gereja-gereja di Indonesia secara khusus menanggapi konteks-konteks yang beraneka ragam itu dalam perumusan pengakuan-pengakuan iman yang secara khusus menjelaskan arti ajaran Kitab Suci dalam konteks-konteks setempat. Sering terjadi, dokumendokumen itu juga membahas pokok penciptaan langit dan bumi.
Di Indonesia, Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) merupakan gereja pertama yang menetap kan Pengakuan Percaya (1951), dengan maksud ”menyatakan iman kita dan menolak ajaran-ajaran yang sesat” (HKBP, Edisi 1965). Di kemudian hari (1981) Gereja Toraja (GT) pun merumuskan sebuah pengakuan iman, yakni ”untuk memahami dirinya dan untuk menjalankan tugas panggilannya di tengah-tengah dunia” (Edisi III 1994). Dalam kedua pengakuan iman ini, gereja-gereja tersebut secara khusus memberikan jawaban alkitabiah pada masalah-masalah ”Adat dan Kebudayaan dari bangsa kita.” Pokok penciptaan langit dan bumi pun dibahas. Dalam Pasal 3 Pengakuan Percaya, HKBP mengatakan bahwa ”Kita percaya dan menyaksikan: Allah Bapa menjadikan, memelihara, dan memerintah segala sesuatu yang kelihatan dan yang tidak kelihatan.” Dengan catatan, ”Dengan ajaran ini kita tolak ajaran Fatalisme (takdir, nasib, ’bagian’).” Pengakuan GT pertama-tama mengakui bahwa Allah hanya satu (Bab I.1) dan bahwa ”Allah itu adalah satu-satunya sumber kehidupan, berkat dan kebaikan” (Bab I.2; menentang keyakinan orang-orang Toraja tentang adanya banyak dewa, roh, dan arwah). Selanjutnya, dalam Bab I.3 ditetapkan bahwa ”Allah Bapa yang kekal telah menciptakan segala sesuatu yang kelihatan dan yang tidak kelihatan. Allah yang kekal itu memelihara dan menye lamat kan ciptaan-Nya di dalam keadilan dan kebenaran, karena kebaikan dan kasih-Nya.” Sudah tentu, pengakuanpengakuan iman ini mengandung isi yang sama dengan dokumen-dokumen iman dari zaman Reformasi.
Pada umumnya gereja-gereja di Indonesia tidak menyusun pengakuan iman yang menye luruh di samping dokumen-dokumen pengakuan iman yang sudah ada sejak zaman dahulu, tetapi mereka mencukupkan dengan Pelengkap pada surat pengakuan tertentu, Pemahaman Bersama, atau Ketetapan Iman (Statement of Faith) yang singkat.
Misalnya, Gereja Kristen Jawa Tengah Utara (GKJTU) menetapkan Pelengkap Katekismus Heidelberg (2008) yang membahas ajaran GKJTU tentang antara lain budaya, kemajemukan agama, politik, dan ekonomi, serta yang bertitik tolak secara implisit dari kenyataan bahwa Allah adalah Pencipta langit dan bumi (Groen 2012, 193-206). Dan Pengakuan Dasar GBKP (Gereja Batak Karo Protestan; 1979/1984; Groen 2012, 376-378) dimulai dengan ketetapan eksplisit bahwa ”Allah adalah pencipta, pemelihara dan pengatur alam semesta dan isinya.” Dalam pasal berikut, pengakuan ini mengatakan, ”Seluruh alam semesta dan isinya, baik yang tampak maupun yang tidak tampak, adalah ciptaan Allah, sehingga berada di bawah kuasa Allah. Maka tidaklah layak untuk disembah atau diilahkan.” Kemudian ditekan kan bahwa ”Setiap komponen ciptaan berada dalam hukum saling ketergantungan antara sesama ciptaan.” Dengan ini GKJTU dan GBKP merumuskan posisi alkitabiahnya, baik terhadap kebudayaan setempat maupun terhadap dunia modern.
Selain itu Gereja Reformed Injili di Indonesia (GRII) menyusun ringkasan Pengakuan Iman Reformed Injili (1986) yang disarikan dari dokumen-dokumen pengakuan iman Reformed lainnya. Dalam pengakuan singkat ini penciptaan langit dan bumi tidak dilupakan. Dalam pasal tentang Allah, dinyatakan bahwa ”Kami percaya kepada satu-satunya Allah … yang menciptakan alam semesta dari ketiadaan oleh Firman-Nya yang berkuasa” (Groen 2012, 408-409, 782786). Dalam Pengakuan Iman Gereja Jemaat Protestan di Irian Jaya (GJPI, yang kini bernama Gereja Jemaat Reformasi di Papua, GJRP) tahun 1988, gereja ini pun ”percaya bahwa Allah telah menciptakan langit, bumi dan segala isinya dan sampai sekarang Ia tetap memelihara dan mengaturnya, walaupun akan hal ini tidak dapat mengerti dengan pikiran manusia.” Akhirnya, Gereja Protestan Indonesia Barat (GPIB) menetapkan ajarannya antara lain tentang alam dan sumber daya, dalam Pemahaman Iman GPIB (1986/2006). Mengenai penciptaan, GPIB mengaku, ”bahwa Allah menciptakan alam dan sumber daya-nya”. Dan ”bahwa kekuatan-kekuatan alam yang kelihatan dan yang tidak kelihatan, takluk pada kuasa Allah dan karena itu alam tidak boleh disembah.” Kemudian diberikan ketetapan-ketetapan iman tentang pengelolaan alam semesta.
Pada tahun 1984, Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) menetapkan Pemahaman Bersama Iman Kristen (PBIK), dengan maksud untuk menyatakan keesaan gereja dalam Kristus. Dalam Bab I, Tuhan Allah diakui sebagai Pencipta langit dan bumi, yang masih memelihara semuanya ”hingga kesudahan alam.” Kemudian, dalam Bab II (= Pasal 4-6), pokok Penciptaan dan Pemeliharaan dibahas lebih lanjut. Dalam Pasal 4, PBIK menegaskan bahwa hasil penciptaan Allah itu ”sungguh amat baik”, tetapi ”tidak boleh diperilah dan disembah.” Selanjutnya Pasal 5 menjelaskan tentang tugas dan tanggung jawab manusia terhadap ciptaan Allah, sambil menyatakan bahwa ”Pengrusakan terhadap ciptaan Allah, terhadap alam dan lingkungan sekitar, pada dasarnya adalah perlawanan terhadap Allah.” Akhirnya Pasal 6 mengakui bahwa Allah menuntun segala-galanya menuju kesempur naan di langit dan bumi yang baru (Groen 2012, 500-525). Dengan demikian PGI menerapkan ajaran Kitab Suci tentang penciptaan dan pemeliharaan kepada tanggung jawab manusia masa kini.
Sehubungan dengan konteks kebudayaan setempat, gereja-gerejakadang-kadang menetapkan pernyataan iman mengenai isu-isu etik yang konkret, yang berperan di wilayahnya, misalnya ketika mengambil keputusan tentang kebijak an gereja terhadap poligami atau ”suanggi”. Misalnya, Gereja-gereja Reformasi di Indonesia–Papua (GGRI-P), menetapkan kebijakannya mengenai masalah keterlibatan orang-orang Kristen dalam pengadaan dan perayaan upacara suku Pesta Ulat Sagu, ibadat agama suku untuk memuja Dewa Refafu, pencipta dan pemelihara mereka (Venema 2006.b).
Liturgi gereja
Dalam liturginya gereja juga mengungkapkan pengakuannya tentang ajaran Kitab Suci. Pada umum nya ibadah Hari Minggu dibuka dengan keyakinan bersama bahwa ”Pertolongan kita adalah dalam nama Tuhan, yang menjadikan langit dan bumi” (Mzm. 124:8). Dalam doa-doanya, gereja menyapa Tuhan sebagai Pencipta dan Pemeli hara langit dan bumi. Terutama dalam nyanyiannyanyiannya, gereja memuji Allah antara lain sebagai Pencipta langit dan bumi, yaitu dalam mazmur-mazmur yang lang sung berasal dari Alkitab, juga dalam nyanyian-nyanyian rohani yang dikarang oleh orang Kristen atau tim yang dibentuk oleh gereja (mis. KJ 61). Khususnya orang-orang yang baru berpisah dari agama suku, senang memuji Tuhan sebagai Pencipta alam semesta. Demikian, misalnya, umat Kristen Suku Kombai di GGRI-P membuat nyanyian yang didasarkan pada Pasal 1 Pengakuan Iman Rasuli, dengan menggunakan bahasa dan irama lokal, ”Nare ifano rumu, Nare ramofano rumu, gu fina nadi abofone” (Bapa, Pencipta bumi / Bapa, Pencipta langit / Engkau saja yang kita pegang; bnd. Groen 2012, 91).
Kesimpulan
Apa yang Allah sendiri nyatakan dalam Kitab Suci mengenai karya penciptaanNya, diaminkan oleh gereja segala zaman dan tempat, dalam berbagai surat pengakuan iman dan buku pengajaran. Dalam dokumen-dokumen itu gerejagereja mengiakan ajaran Kitab Suci, kemudian mempertahankan kebenaran ajaran itu untuk menentang bermacam-macam ajaran dan pandanganpandangan yang tidak sesuai dengan Kitab Suci, seperti dualisme (pada masa Gereja Lama) dan tradisionalisme (pada zaman Reformasi). Padahal, dokumen-dokumen pengakuan dan pemahaman iman yang dirumuskan oleh gereja-gereja masa kini pada umumnya tidak lebih lanjut membicarakan masalah-masalah teologi modern, seperti teori evolusi. Hanya secara insidental gereja-gereja menetapkan pernyataan iman terhadap isu-isu konkret tertentu, misalnya berkaitan dengan mitologi suku (animisme) atau pandangan dunia modern (rasionalisme, sekularisme).
Baik dalam pengakuan-pengakuan imannya maupun dalam liturginya, gereja Kristus di segala zaman dan tempat mengiakan penciptaan langit dan bumi itu adalah fakta dan perbuatan Allah.
3. Penciptaan: bukan fiksi tetapi fakta
Bagaimana kita harus menginterpretasikan semua data Kitab Suci dan suratsurat pengakuan iman gereja mengenai penciptaan langit dan bumi? Apakah Kejadian 1-2 dan ayat-ayat Alkitab lainnya benar-benar bersifat sejarah yang mengisahkan fakta-fakta historis semata-mata? Apakah semua itu terjadi sama seperti yang tertulis dalam Alkitab dan diakui oleh gereja Kristus dalam pengakuan dan kate kismus? Atau mungkin lebih tepat semuanya dipandang sebagai lukisan profetik, gambar simbolis, atau syair puitis yang tidak perlu dianggap sebagai fakta yang mutlak, melainkan sebagai pola inter pretasi terhadap realitas yang dialaminya?
Di atas telah dikatakan bahwa Kitab Suci tidak menyajikan pandangan dunia yang menyelu ruh dan mendetail. Alkitab bukan buku pegangan yang menerangkan kejadian dan keberadaan langit dan bumi dengan bukti-bukti rasional dan logis. Bahasa Kitab Suci pun tidak ilmiah, melainkan bahasa sehari-hari yang dapat dipahami oleh setiap pembacanya. Alkitab lebih bersifat ”buku bacaan”, bukan ”buku ilmu”, yang ditulis dari perspektif pembacanya (pertama-tama kaum Israel). Brink dengan tepat mengata kan, ”Penulis Kejadian 1 tidak pernah bermaksud untuk memberikan penggambaran yang ilmiah mengenai penciptaan andaikata hal itu mungkin, dengan cara yang begitu singkat tetapi tujuannya untuk meyakinkan manusia terhadap fakta bahwa Allah adalah Pencipta. Soalnya, apakah kita menerima apa yang kita baca dalam awal Kitab Kejadian itu sebagai pengisahan kegiatan penciptaan Allah?” Dengan menggunakan bahasa sehari-hari dan perkataan-perkataan yang lazim dipakai pada zaman nya, penu lis Kejadian mencatat apa yang dilihat orang dengan mata mereka sendiri. Realitas yang dialaminya itu tidak dapat tidak berasal dari Allah sesuai dengan penyataan-Nya dalam Kitab Suci (Brink 2008, 39-40).
Yang menentukan untuk pilihan fakta atau fiksi adalah Kitab Suci sendiri, di segi-segi isi, gaya, dan penulisnya. Dalam mengisahkan penciptaan langit dan bumi, Alkitab menonjol dengan gamblang sebagai buku sejarah yang menghitamatasputihkan fakta-fakta yang benar-benar terjadi (internal evidence). Gaya bahasa (genre) yang digunakan terutama oleh penulis Kitab Keja dian, tetapi juga oleh para penulis kitab-kitab lainnya yang merujuk ke penciptaan langit dan bumi yang semuanya diilhami oleh Roh Kudus sebagai Penulis Pertama (Auctor Primarius) menun jukkan bahwa penciptaan langit dan bumi adalah fakta historis. Pasal-pasal pertama Kitab Kejadian bukanlah nubuat atau syair, melainkan kisah yang bersifat laporan tentang peristiwa yang konkret. Alkitab tidak berfiksi, tetapi menyatakan kebenaran Allah. Demikian juga pendapat Berkhof. Menentang pan dangan-pandangan ilmu pengetahuan dan filsafat yang menyaran kan bahwa pasal-pasal pertama Kejadian harus ditafsirkan sebagai ungkapan alegoris atau mistis, atau yang melihat kesenjangan antara Kejadian 1:1-2 dan ayat-ayat selanjut nya, atau dari pihak ilmu biologi yang berpendirian bahwa hari-hari penciptaan adalah suatu jangka waktu yang lama, Berkhof mempertahankan keterperca yaan Kitab Suci sebagai buku sejarah: penciptaan langit dan bumi adalah fakta historis (Berkhof 1993, 236-237).
Tepatlah Alkitab disebut buku perjanjian karena memang mengutamakan relasi di antara Tuhan dan manusia, yakni umat-Nya yang diciptakan dan diselamatkan-Nya. Tetapi Alkitab juga wajar disebut buku sejarah karena menonjol seperti itu. Keyakinan kita bahwa pen ciptaan langit dan bumi seperti yang diceritakan dalam Kejadian 1–2 adalah fakta historis, memang berdasarkan asumsi iman. Tetapi itu tidak menjadi masalah. Pan dangan modern yang menginterpretasi kan kedua pasal itu sebagai gambar atau mitos yang fiktif, juga bertitik tolak dari prasangka tertentu. Apalagi, pemikiran manusia selalu terbatas. Yang menentukan adalah kesaksian Kitab Suci itu sendiri (Ibr. 11:1). Ini tidak berarti bahwa kita sama sekali tidak menghadapi kesulitan dalam menaf sirkan pasal-pasal ini (mis. tentang masalah apakah lamanya keenam hari penciptaan benar-benar 6 kali 24 jam atau mungkin jangka waktu setiap harinya lebih lama), tetapi semua kesulitan itu jauh lebih mudah diatasi dibanding kesulitan-kesulitan ilmu dan filsafat yang dicari solusinya dengan mengemukakan jawaban-jawaban non-teistik (bnd. Reymond 2001, yang membahas hal ”integritas historis Kej. 1–11” pada hlm 383-398. Pada hlm 116-118 telah di berikannya tujuh bukti mengenai internal evidence bahwa Kej. 1–11 bersifat sejarah).
1. Pencipta: Allah yang berkepribadian
Kalimat pertama Kitab Suci langsung menekankan bahwa Subjek atau Penyebab segala-gala nya adalah Allah (bhs. Ibrani Elohim; bhs. Inggris God; kata ”allah”
sebenarnya bukan nama diri, tetapi sebutan kategori untuk membedakannya dari yang lain, seperti manusia, binatang, dan tumbuh-tumbuhan), yang kemudian disebut dengan nama Tuhan (bhs. Ibrani Yahweh: bhs. Inggris LORD), ”Pada mulanya Allah menciptakan langit dan bumi” (Kej. 1:1). Dia bukan ”Sesuatu” (bhs. Inggris something; yang tidak berkepribadian) yang memenuhi segala-segalanya dengan kuasa kehidupan, bukan juga Pengurus (Gnostik: demiurg; bnd. agama-agama suku) yang mengatur kekacauan awal, melainkan Persona Ilahi, yaitu Allah yang hidup, yang berkepribadian. Kalimat pertama Kitab Suci yang menjelaskan Allah ada lah awal dan penyebab segala sesuatu yang ada. Artinya, Dia yang berprakarsa dan bertindak dari diri-Nya sendiri, sesuai dengan kehendak, kerelaan, dan kedaulatan-Nya (lih. Bab 2). Penciptaan ada lah pelaksa naan kehendak-Nya. Dia yang mengerjakan semuanya. Kenyataan ini adalah titik tolak bagi selu ruh Alkitab, dan bagi seluruh sejarah dunia. Yang berkaitan secara khusus dengan itu adalah, siapa Dia dan apa identitas-Nya?
Allah alam semesta
Kitab Suci tidak dimulai dengan prakata yang di dalamnya Allah memperkenalkan diri dengan menye but nama-Nya. Namun, Allah bukan Sang Anonim yang tidak dikenal. Karena dari perbuatan-Nya yang paling awal, yakni penciptaan alam semesta, langsung jelas siapa Dia. Perbuatan ini adalah ”kartu nama”Nya. Tidak mungkin identi tas-Nya diragukan: Allah adalah ”Pencipta” (Mzm. 121:2; 124:8) atau ”Khalik” (Pengakuan Iman Rasuli, Ps 1) langit dan bumi. Dengan itu Dia mengaitkan diri-Nya sendiri dengan alam semesta untuk selama-lamanya. Siapa yang berbicara tentang langit dan bumi, alam semesta, kosmos, atau dunia, otomatis berbicara tentang Allah. Allah adalah ”Allah alam semesta’ (Mzm. 59:6; 80:15; 89:9; Hos. 12:6; Am. 5:14, 27) dan ”Allah semesta langit” (Ezr. 5:12; 6:10; 7:23; Dan. 2:44).
Kemudian Dia juga disebut dengan nama-nama lain, misalnya ”Allah Yang Maha tinggi” (Kej. 14:18-20; Mzm. 78:35; Luk. 1:32, 35, 76; Ibr. 7:1), ”Allah yang Maha kuasa” (Kej. 17:1; Kel. 6:2; Luk. 22:69; Why. 16:14). Dan, berhubung dengan penebusan umat-Nya, Israel, dari Mesir, Dia menya takan nama-Nya ”Yahwe” (Tuhan; Kel. 3:14). Meskipun penulis Kitab Kejadian dari awal langsung menggunakan nama itu (sering: Tuhan Allah), nama itu pada awalnya mungkin belum dikenal. Bagaimana pun, setiap orang dapat mengetahui bahwa ada hubungan yang tidak terpisahkan antara langit dan bumi dengan Allah sebagai Penciptanya.
Allah Tritunggal
Allah yang menciptakan langit dan bumi dengan segala isinya adalah Allah Tritunggal. Berhubungan dengan penciptaan manusia, Dia berbicara tentang diri-Nya sendiri dalam bentuk jamak kita (Kej. 1:26; bnd. 11:7). Artinya belum jelas terbuka, tetapi seluruh Kejadian 1 menunjukkan bahwa kata ”kita” ini merujuk ke Allah Tritunggal, seperti yang diterangkan dengan nyata di banyak bagian Kitab Suci yang lain:• Allah adalah Bapa (ay. 1, 3, dst; bnd. 1Kor. 8:4-6);• Firman adalah Anak (ay. 3, 6, dst; bnd. Yoh. 1:1-14; Ibr. 1:2; 2 Ptr. 3:5-7);• Roh (ay. 2; bnd. Ayb. 26:13, 33:4; Mzm. 104:30; Yes. 40:12-13).
Walau pun penciptaan dan pemeliharaan alam semesta khususnya dikaitkan dengan Allah Bapa (KH, p/j 24, 26-28), tetapi perlu kita sadari bahwa Pencipta adalah satu Allah yang Tri tunggal. Bavinck dan Berkhof dengan tepat menegaskan bahwa semuanya sekaligus keluar dari Bapa, melalui Anak, dan di dalam Roh Kudus (Bavinck 2004, II 422-423; Berkhof 1993, 240. Berkhof juga mengatakan, ”Secara umum dapat dikatakan bahwa keberadaan keluar dari Bapa, pemikiran atau ide keluar dari Allah Putra, dan hidup keluar dari Roh Kudus”). Dan Van Genderen menambahkan bahwa rumusan ini, yang sebenarnya sudah berasal dari Agustinus dan tokoh-tokoh Gereja Purba lainnya, berdasar kan penggunaan pre posisi dalam PB, ”Semuanya berasal dari Bapa: Dialah sebab, asal usul, dan awal segala-galanya, oleh Anak: karena segala sesuatu menyatu di dalam Dia (Kol. 1:17), dan di dalam Roh Kudus: karena Dia membawa semuanya ke penyelesaian. Allah Bapa yang mengambil inisiatif untuk penciptaan langit dan bumi, tetapi segala sesuatu yang diciptakan adalah karya Bapa, Anak, dan Roh Kudus (Van Genderen & Velema 1992, 236-237). Hal ini juga berarti bahwa posisi istimewa yang kadang-kadang diberikan kepada Anak Allah sebagai ”pengantara pencip taan”, kurang tepat. Dia bukan hanya ”Peng antara”, melainkan ”sesama Pencipta”.
Allah yang hidup
Untuk membedakan Allah Pencipta dari semua allah (dewa-dewi) yang dipuja manusia –misalnya Zeus oleh bangsa Yunani, Tomalüp oleh suku Mandobo (Papua) Dia sering disebut sebagai ”Allah yang hidup” (bnd. Calvin 1985, Kitab I Bab XIV.1), dan berkaitan dengan itu sebagai ”Allah yang berfirman” (Kej. 1) dan ”Allah yang berhikmat” (Ams. 8). Khususnya Nabi Yeremia yang menegaskan bahwa bukan ”para allah” yang menjadikan langit dan bumi, melainkan ” Tuhan -lah yang menjadikan bumi dengan kekuatan-Nya, yang menegak kan dunia dengan kebijaksanaan-Nya, dan yang membentangkan langit dengan akal budi-Nya.” Tuhan ini adalah ”Allah yang benar, Dialah Allah yang hidup dan Raja yang kekal” (Yer. 10:10-12). Dalam PB, Paulus memanggil para pendukuk kota Listra untuk ”meninggalkan perbuat an sia-sia ini dan berbalik kepada Allah yang hidup, yang telah menjadi kan langit dan bumi, laut dan segala isinya” (Kis. 14:15; bnd. 1 Tes. 1:9).
Pencipta langit dan bumi ialah Allah Tritunggal yang hidup, yang berkepribadian, dan yang berdaulat.
2. Ciptaan: langit-dan-bumi
Dari Kejadian 1:26-28 jelas bahwa manusia adalah puncak penciptaan Allah. Tidak ada satu makhluk pun yang lain yang dicipta kan ”menurut gambar dan rupa” Allah, dan yang diberi mandat untuk berkuasa atas semua ciptaan Allah. Kenyataan Allah mengangkat manusia untuk mewakili-Nya sebagai ”bendahara” atau ”pengurus”, membuktikan bahwa manusia adalah ciptaan yang terpenting dan terutama (lih. Bab 4). Se hubungan dengan itu, langit dan bumi dijadikan-Nya lebih dahulu dengan maksud untuk menyediakan tempat tinggal bagi manusia itu. Itulah fungsinya. Langit dan bumi adalah alam atau konteks kehidupan manusia, tempat kediaman dan tugasnya (”beng kel”), juga tempat rezekinya (dusun).
Arti dua kata ”langit” dan ”bumi” dalam Kejadian 1:1 menjadi jelas dalam ayat-ayat berikut: ”Lalu Allah menamai cakrawala itu langit” (ay. 8), dan ”Lalu Allah menamai yang kering itu darat” (ay. 10). Tidak perlu kita berfilsafat tentang bola bumi sebagai hanya satu unsur dalam angkasa yang sangat luas, atau tentang bumi sebagai satu-satunya benda angkasa yang di dalamnya terdapat hidup. Tetapi lihat saja ke atas, yaitu ke langit, dan ke bawah, yakni ke darat atau bumi, untuk mengerti artinya: inilah tempat manusia hidup dan melaksanakan tugasnya sesuai dengan rencana Penciptanya. Setiap hari manusia bernafas dari udara, merasakan sinar matahari dan menikmati terangnya, menerima hujan dari awan-awan. Dan setiap malam manusia melihat bulan dan bintang-bintang. Setiap hari manusia hidup di atas bumi: dia berjalan, bekerja, makan, menanam pohon, merawat hewan, dan mengolahnya. Dua kata ”langit” dan ”bumi” ini merupakan kesatuan, sehingga lebih tepat ditulis ”langit-dan-bumi” dengan arti alam semesta yang diatur seperti semestinya, yang baik dan memadai untuk berfungsi sesuai dengan maksudnya (wellordered universe; Reymond 1998, 391; Douma 2004, 10-11). Sama seperti surga adalah tempat tinggal Allah dan malaikat-malaikat-Nya, demikianlah langit-dan-bumi adalah tempat tinggal manusia. Hal ini berarti bahwa seluruh isi langit-dan-bumi, tanpa kecuali, adalah sarana-sarana (”fasilitas”) untuk memungkinkan manusia hidup dengan aman dan nyaman (tentang perbedaan antara surga dan langit, lih. bagian C).
Sebutan ”langit dan bumi” mencakup semuanya: alam semesta, yakni seluruh angkasa dan juga segala isi bumi, termasuk manusia, yaitu dalam keanekaragaman yang luar biasa, namun merupakan kesatuan yang teratur dan terpadu. Sesuai dengan kehendak Pencipta manusia yang berkuasa atas ”langit dan bumi”. Artinya ia diberi posisi, tugas, dan kemampuan untuk mengelola dan mengembangkan potensi-potensi langit dan bumi yang Pencipta letakkan di dalamnya (Kej. 2:15; Mzm. 8). Apa yang dihasilkan manusia sampai sekarang, antara lain di bidang teknik (mis. penelitian antariksa), kesehatan (mis. pengobatan berbagai sakit penyakit), biologi, dan fisika, semuanya menunjukkan kepandaian manusia dan sekaligus hikmat dan kemuliaan Allah. Manusia mendapatkan apa yang telah disediakan Pencipta.
Sering ditanyakan apakah di luar bumi dapat ditemukan organisme atau jenisjenis hidup yang lain (di sam ping roh-roh ciptaan Allah), misalnya di planetplanet yang mirip dengan bumi atau di tata surya yang lain. Kadang-kadang orang berangan-angan (dan kaget) melihat UFO (Unidentified Flying Objects) yang menurut anggapannya adalah alat-alat transport bagi makhluk-makhluk ruang angkasa tertentu. Dan para astronom ingin menyelidiki apakah terdapat hidup di Mars atau di bulan. Manusia memang mempunyai fantasi yang kaya (bnd. film-film Science Fiction), tetapi tidak mustahil Allah Dia kan berdaulat dan mahakuasa! menciptakan tata surya yang lain dengan makhluk-makhluk hidup yang lain. Hanya, Kitab Suci tidak menceritakan apa pun tentang adanya langit dan bumi yang lain, atau tentang adanya ciptaan-ciptaan dan hidup di planet yang lain di dalam atau di luar kosmos kita. Menurut Kitab Suci langit dan bumi kita adalah pusat segala-galanya. Anak Allah pun datang ke langit dan bumi ini, menjadi manusia seperti kita. Akhirnya, Allah akan tinggal bersamasama dengan manusia pada langit dan bumi ini setelah semuanya diperbaruiNya (Why. 21-22). Tidak ada dasar Alkitab untuk menduga adanya langit dan bumi yang lain.
Segala-galanya yang ada, diciptakan Allah. Hanya Dia sendiri yang hidup dari kekal sampai kekal.
3. Alasan: kerelaan Allah
Kita manusia selalu ingin mendapat keterangan yang gamblang tentang alasan terjadinya yang ini atau yang itu. Begitu juga tentang penciptaan langit dan bumi: ”Apa alasan Allah menjadikan langit dan bumi? Dan mengapa Dia menciptakan semuanya sedemikian rupa? Tetapi Tuhan tidak membuka rahasia itu, kecuali kita membaca dalam Alkitab bahwa Dia menciptakan langit dan bumi karena kehendak-Nya (Why. 4:11) dan ”sesuai dengan kerelaan kehendak-Nya” (Ef. 1:5, 9). Semuanya dijadikan-Nya karena Dia berkenan artinya Dia merasa senang dari diri-Nya sendiri untuk membuat rancangan yang rinci dan menyeluruh, dan kemudian melaksanakan nya menjadi realitas yang konkret.
Bagaimana pun, sedikit informasi yang dinyatakan dalam Kitab Suci tentang alasan Allah untuk menciptakan langit dan bumi bersama segala isinya, sudah cukup bagi kita untuk menyadari bahwa langit dan bumi tidak terjadi secara kebetulan (seperti halnya dengan banyak penemuan manusia) tetapi merupakan hasil karya yang sengaja direncanakan dan dilaksanakan. Allah tidak melakukannya karena Dia memerlu kan manusia atau alam semesta. Allah adalah independen, berdaulat, dan tidak terbatas. Dia menjadikan semua nya menurut intelligent design yang dirancang-Nya sen diri, pada saat dan dengan cara yang ditetapkan-Nya sendiri (Berkhof, 240-241).
Penciptaan adalah tindakan bebas Allah yang dilakukan-Nya karena Ia berkenan melakukannya.
4. Waktu: enam hari dan hari ketujuh
Alkitab (TB) dengan tepat menerjemahkan kata-kata pertama Kejadian 1:1 ”pada mulanya” sebagai ungkapan keterangan waktu pada awal kali mat induk, yang menunjukkan saat awal langit dan bumi, dan bukan sebagai konjungsi subordinatif temporal pada awal anak kalimat (yang diterjemahkan ”pada waktu” atau ”ketika”; bnd. Reymond 1998, 389-390). Hal ini tidak berarti bahwa sebelumnya belum ada apa-apa. Langit dan bumi memang belum ada. Tetapi Allah sendiri tentunya ada: Dia dari kekal sampai kekal (Why. 1:4, 4:8; bnd. Mzm. 90:2), dan tidak mempunyai awal dan akhir. Allah juga tidak dibatasi oleh tempat tertentu karena Dia mahahadir, walaupun sesuai dengan penyataan-Nya, ”surga” adalah tempat tinggal-Nya. Tidak berguna kita berfilsafat tentang apa yang Allah per buat sebelum Dia menciptakan langit dan bumi. Hanya satu hal yang kita ketahui, yaitu bahwa sebelum dunia dijadikan-Nya, Allah menentukan kerelaan kehendak-Nya, baik mengenai pen ciptaan langit dan bumi maupun tentang penyelamatan dunia (Ef. 1:3-14). Semua hal yang lain dirahasiakan-Nya. Dan kita tidak mampu dan tidak berhak mencari tahu apa yang Allah sembunyikan bagi kita manusia (Ul. 29:29; bnd. Ayb. 38-40).
Permulaan waktu
Pada hari pertama penciptaan langit dan bumi, waktu mulai berjalan: ”Jadilah petang dan jadilah pagi, inilah hari pertama” (Kej. 1:5). Perkataan ”pada mulanya” satu arti dengan ”pada permulaan waktu.” Hal waktu terikat pada terjadinya dan berlangsungnya langit dan bumi. Allah yang menen tukannya sebagai struktur untuk pelaksanaan rencana-Nya, tahap demi tahap. Dia sendiri tidak me merlukan waktu, dan juga tidak dipengaruhi olehnya, karena Dia Allah yang kekal. Rasul Petrus yang menjelaskannya, yaitu ”bahwa di hadapan Tuhan satu hari sama seperti seribu tahun, dan seribu tahun sama seperti satu hari” (2Ptr. 3:8; bnd. Mzm. 90:4). Untuk alam semesta, termasuk manusia, Allah menciptakan waktu, musim, dan iklim. Untuk segala-galanya ada waktunya atau lamanya (Pkh. 3; bnd. Kej. 8:22). Penciptaan langit dan bumi terjadi pada saat tertentu (hari-hari awal), demi kian juga penggenapan janji keselamatan Tuhan oleh Kristus (mis. Yoh. 12:23). Dan ada juga saat untuk penyelesaian langit dan bumi (akhir zaman; Kis. 1:7). Untuk semuanya ada waktunya yang ditentukan oleh Tuhan yang berdaulat. Waktu hanyalah penting selama langit dan bumi ini berada. Di bumi baru yang dijanjikan oleh Allah, hal waktu kelak tidak lagi penting, karena orang pilihan-Nya akan memperoleh hidup yang kekal (tetapi perhatikan, kekekalan manusia dan malaikat berbeda artinya dengan kekekalan Allah).
Enam hari
Sesuai dengan Kitab Suci, Allah menciptakan langit dan bumi dan segala isinya dalam jangka enam hari, sedangkan pada hari ke-7 Dia berhenti (Hari Sabat; Kej. 2:2-3). Seluruh karya penciptaan selesai dalam jangka satu minggu (yang adalah minggu pertama sejarah langit dan bumi). Khususnya tentang penyelesaian begitu banyak pekerjaan dalam hanya enam hari dan juga tentang lamanya hari-hari itu (24 jam?), timbul banyak kebingungan. Meskipun karena kemaha kuasaan-Nya Allah juga dapat menciptakan semuanya dalam hanya sekejap mata (kurang dari satu detik), tetapi banyak orang yang meragukan penciptaan langit dan bumi terjadi dalam jangka yang begitu singkat. Menurut mereka, penyebutan enam hari itu adalah bukti jelas bahwa Kej. 1-2 bersifat fiksi (cerita kerangka) atau puisi (syair) yang tidak boleh ditafsirkan secara harfiah. Mereka sama sekali menolak ungkapan ”enam hari” dan menggantikannya dengan kata umum ”masa” yang tanpa awal sudah berlangsung selama jutaan atau bahkan miliaran tahun (teori evolusi). Atau mereka mene rima sebutan ’enam hari’, tetapi menginterpretasikannya sebagai enam periode yang sangat lama, menjadi kompromis antara ajaran Kitab Suci dan teori evolusi (bnd. kreasionisme).
Penciptaan langit dan bumi dengan segala isinya dalam jangka satu minggu, hari demi hari menurut program terperinci, justru membuktikan hikmat Pen cipta yang jauh melampaui akal budi kita! Cara kerja Tuhan luar biasa: sejak awal Dia sendiri langsung menggunakan struktur yang dirancang-Nya waktu untuk selanjutnya memungkinkan dan mengembangkan kehidupan di langit-dan-bumi sesuai dengan struktur waktu itu.
Hari ketujuh
Setelah menyelesaikan karya penciptaan-Nya, Allah melengkapi minggu pertama dengan hari per hentian. Pada hari ketujuh Allah berhenti. Demikian juga wakil-Nya, manusia. Hari ini diberkati dan dikuduskan-Nya. Dengan sengaja Pencipta membedakan hari ketujuh dari hari-hari lainnya, dan menentukan struktur waktu (tarikh) yaitu satuan-satuan enam hari kerja dan satu hari istirahat. Hari ketujuh dikhususkan-Nya untuk mencegah semuanya terbalik: kalau manusia bekerja terus tanpa beristirahat, ia akan berubah dari bendahara yang berkuasa atas langit dan bumi menjadi budak yang dikuasai oleh alam semesta. Justru melalui perhentian setiap minggu Tuhan menetapkan keberlang sungan langit dan bumi sampai mencapai tujuan akhirnya, yakni istirahat yang kekal. Ini berarti bahwa pengelolaan langit dan bumi selama enam hari tidak mungkin dilepaskan dari perhentian pada hari ketujuh, tetapi justru berhasil guna karenanya. Pada hari ketujuh langit dan bumi dengan segala isinya merayakan keberadaannya dan perkembangannya sesuai dengan kehendak dan hikmat Allah. Dia juga yang menjamin kesudahannya (Douma 2004, 27-28).
Lamanya hari-hari penciptaan
Mengenai lamanya tujuh hari yang pertama itu pun tidak ada alasan yang meyakinkan untuk begitu saja menolak interpretasi bahwa hari-hari itu adalah ”hari biasa” (24 jam). Dalam PL kata ”hari” mun cul sekitar 2.200 kali, yang semuanya menunjukkan peredaran hari (lingkaran orbit) yang normal, yakni sesuai struktur yang pada awalnya diciptakan oleh Tuhan. Kejadian 1 yang mendukung struktur ini, melihat perkataan ”jadilah petang dan jadilah pagi, itulah hari pertama” (dst). Konteks Kejadian 1 dan ayat-ayat lain yang membicarakan lamanya penciptaan langit dan bumi (mis. Kej. 20:11), sebenarnya tidak memaksa kita mengembangkan visi lain tentang enam hari penciptaan dan hari ketujuh itu. Apalagi, dalam Alkitab kata ”hari” tidak pernah dipakai sebagai indikasi ”masa” atau ”zaman” yang lebih lama dari 24 jam. Untuk itu ada kata-kata lain (Reymond 1998, 392-394; Berkhof 1993, 289-292. Bnd. Calvin 1985, Kitab I, Bab XIV.2 dan Bavinck, II 473-510).
Memang tidak dapat dipastikan dengan mutlak bahwa hari-hari dalam Kejadian 1 adalah hari-hari biasa (24 jam) dan bukan zaman yang (sangat) lama. Karena itu sudah sejak zaman Gereja Lama pikiran bahwa hari-hari penciptaan adalah lambang untuk menunjukkan jangka waktu yang lama (”periode geologis”) diterima sebagai pendapat yang lazim dalam teologi Kristen Orto doks. Menurut Berkhof, ”banyak orang berpendapat bahwa Alkitab menyatakan bahwa hari-hari pencip taan adalah suatu jangka waktu yang tak tertentu.” Sambil mempertanyakan argumentasi yang mereka kemuka kan, antara lain bahwa matahari baru diciptakan pada hari keempat, bahwa hari-hari penciptaan harus dipandang sebagai ”hari-hari Allah”, dan bahwa hari ketujuh juga tetap berlangsung sehingga harus dianggap sebagai jangka waktu yang lama, Berkhof tetap mendukung interpretasi bahwa harihari penciptaan adalah hari-hari biasa.
Allah yang kekal juga menciptakan waktu pada saat Dia mulai menjadikan langit dan bumi. Dia sendiri tidak terikat pada waktu. Dari enam hari yang lamanya entah 24 jam atau masa jutaan tahun Dia juga dapat menjadikan semuanya dalam sekejap mata.
Usia alam semesta
Mustahil kita menetapkan usia alam semesta dengan tepat. Kita dapat memperkirakannya hanya secara garis besar, yakni dengan cara menghitung kembali data-data Alkitab dan sejarah dunia, dengan kelahiran Yesus Kristus sebagai ”titik tengah” sejarah itu. Hanya, semua data Alkitab itu pun tidak lengkap, apalagi tidak tetap. Tidak mungkin kita menentukan tanggal kelahiran Yesus. Sama halnya, kita tidak dapat menyusun daftar yang rinci mengenai kronologi hakimhakim dan raja-raja berdasarkan masa pelayanan mereka. Silsilah-silsilah dalam Alkitab pun sering tidak lengkap (mis. Kej. 5 dan 11; Mat. 1). Kita tidak mampu menghitung berapa waktunya antara minggu penciptaan dan hari manusia jatuh ke dalam dosa, kemudian dari hari orang berdosa sampai terjadinya air bah. Kita yang terikat pada waktu ingin mengetahui kapan persis semuanya terjadi dan berapa lama berlangsung nya, tetapi Allah yang kekal rupanya tidak mengutamakan kronologi yang akurat (Reymond, 394-396).
Perhitungan usia alam semesta juga dipersulit oleh faktor Allah ternyata mencip takan langit dan bumi yang sudah ”matang” dan ”dewasa” (with an appearance of age). Bumi yang diinjak oleh manusia pertama tidak memberi kesan bahwa semuanya baru diciptakan. Pohon-pohonan yang ia dapati di Taman Eden sudah besar dan berbuah. Manusia sendiri pun tidak diciptakan sebagai embrio atau bayi melainkan sebagai orang dewasa.
Kesimpulannya, kita tidak memiliki data-data lengkap dan tepat untuk dapat menentukan usia langit dan bumi dengan persis. Sarana-sarana yang digunakan ilmu alam untuk perhitungan usia itu mis. Carbon 14 pun tidak begitu tepat karena hasil-hasilnya saling bertentangan. Apalagi, Allah dapat bertindak jauh lebih cepat ketimbang ”tempo alami”. Data-data Kitab Suci membawa kita ke kesimpulan bahwa penciptaan, yakni keenam hari pengolahan langit dan bumi, masih agak muda, sekitar 10.000 tahun (Brink, 38; Kwakkel, Bab 6).
5. Cara: penjadian, pemisahan, dan pembedaan
Menurut kesaksian Kitab Suci, Allah menciptakan alam semesta ”dari tidak ada” dan ”dari yang tidak kelihatan” (creatio ex nihilo; Kej. 1:1-2; Rm. 4:17; Ibr. 11:3; Pengakuan Iman Gereja Belanda, Ps 12; bnd. juga 2 Makabe 7:28). Keadaan sebelumnya nihil: kosong sama sekali. Artinya, langit dan bumi belum ada dalam salah satu bentuk primordial atau prahistoris. Bahan-bahan untuk membangunnya pun tidak ada. Dan juga tidak ada semacam ”kekacauan total” (bhs. Inggris chaos), materi kasar yang belum diolah (bhs. Jerman Urstoff) yang mendahului segala sesuatu. Dengan keadaan bumi yang ”belum berbentuk dan kosong” (bhs. Ibrani tohu wabohu; Kej. 1:2) yang dimaksudkan adalah situasi awal setelah Allah menciptakan langit dan bumi dan bukan sebelumnya (jadi post nihilum sesudah keadaan kosong total). Allah memulai penciptaanNya dengan meletakkan dasar, yakni langit dan bumi yang belum berbentuk dan kosong. Kemudian Dia mengurus dan mengisinya, melalui pemisahan dan pembe daan, sampai selesai. Kesimpulannya, tidak ada apa-apa yang mendahului langit dan bumi, kecuali surga, tempat kediaman Allah. Bukan kekacauan atau kebetulan, melainkan Allah sendiri adalah awal dan sumber seluruh kosmos. Semua nya berasal dari pikiran, rencana, dan kehendak Allah yang berdaulat (Why. 4:11). Dia yang menjadi kan apa yang sebelum nya tidak ada (Brink, 39).
Kata kerja bhs. Ibrani
ברא (bara’, bhs. Yunani ktizein) dalam kalimat pertama Kitab Suci ”Pada mulanya Allah menciptakan langit dan bumi” (Kej. 1:1) berarti ”menjadikan” sesuatu: membuat sesuatu terjadi. Setiap kali kata ini dipakai dalam Alkitab, subjeknya adalah Allah (Jenni & Westermann 1984, Jilid I, 335-339; bnd. Berkhof 1993, 241-242, 246-247). Kata ini mempunyai konotasi bahwa hasilnya adalah sesuatu yang baru yang sebelumnya belum ada, meskipun kata ini kadang-kadang juga dipakai untuk menunjukkan providensi Allah (mis. Yes. 45:7). Selain itu kata bhs. Yunani ktizein menunjukkan kedaulatan subjek untuk menjadikan apa yang dikehen dakinya (bnd. Why. 4:11). Arti kata ini berbeda dengan kata kerja bhs. Ibrani
עשה (’asah, bhs. Yunani poieoo) yang artinya netral ”membuat”/”melakukan” (mis. Pkh. 3:14). Kata kerja itu beberapa kali dipakai sebagai sinonim dengan bara’ dengan subjeknya Allah (mis. Kis. 17:24), tetapi subjeknya biasanya manusia (Jenni & Westermann 1984, Jilid II, 359-370). Demi kian juga kata kerja bhs. Ibrani יצר (yatsar, bhs. Yunani katadeiknumi) yang berarti ”memben tuk” atau juga ”menemukan” (mis. Yer. 19:1, 11). Kata-kata lain yang digunakan adalah
עבד (’abad, mengerjakan, bekerja; misalnya Kej. 2:15) dan
עמל (’amal, bekerja dengan jerih payah; banyak terdapat dalam Pkh.).
Dalam Yesaya 45:18 ketiga kata tadi terdapat dalam hanya satu kalimat,
”Sebab beginilah firman Tuhan, yang menciptakan (bara’) langit, Dialah Allah yang membentuk (yatsar) bumi dan menjadikannya (’asah) dan yang menegakkannya (kun), dan Dia mencipta kannya (bara’) bukan supaya kosong, tetapi Dia membentuknya (yatsar) untuk didiami : ’Akulah Tuhan dan tidak ada yang lain’.”
Allah yang berdaulat tidak memerlukan materi atau perkakas untuk menciptakan langit dan bumi dengan segala isinya. Dia tidak mengkonstruksikan semuanya dari bahan yang sudah tersedia, tahap demi tahap (bnd. pembangunan rumah) dalam jangka waktu yang tertentu (sesuai banyaknya/berat nya pekerjaan). Tetapi Dia ”menampilkannya” dengan berfirman. Firman itu adalah ekspresi kemahakua saan-Nya (dan firman itu sama dengan Anak-Nya, Yoh. 1:1-18; bnd. tadi tentang Allah Tri tunggal). Allah hanya membuka mulut-Nya dan mengucapkan perintah, ”Jadilah …”, ”Hendaklah …”, kemudian terwujudlah apa yang dikehen daki-Nya dan sesuai dengan kehendak-Nya (Kej. 1:3-31). ”Sebab Dia berfirman, maka semuanya jadi; Dia memberi perintah, maka semuanya ada” (Mzm. 33:6, 9). Apa yang disuruh-Nya langsung terjadi: apa yang tidak ada menjadi ada (Rm. 4:17).
Teks asli Kitab Suci, khususnya Kejadian 1:1-2, membawa kita ke kesimpulan bahwa Allah benar-benar menjadikan semuanya dari tidak ada apa-apa (ex nihilo).
Cara kerja Allah ini (creatio ex nihilo) sungguh unik. Dalam mitologi semua suku-bangsa tentang asal mula bumi, penciptaan yang dilakukan oleh dewadewa yang terbatas pada wilayah suku sendiri (wilayah suku disebut ”bumi”, dan hanya warga suku yang disebut ”manusia”) selalu hanya bersifat mengurus apa yang sebelumnya sudah ada, dan mengatur keadaan kacau balau menjadi lingkungan hidup yang nyaman. Misalkan, menurut mitos sukusuku Jair dan Kombai di Papua Selatan, yang masih hidup di hutan rimba, penciptaan yang dilakukan oleh dewa mereka, Refafu, berarti dia menyuruh (berfirman!) semua pohon dan tumbuhan yang sudah tersedia di suatu tempat persemayaman, untuk mengambil lokasinya di bumi yang juga sudah ada tetapi masih dalam keadaan kosong. Karena pohon-pohon sagu terlambat mengambil tempatnya, mereka terpaksa harus berdiri di rawa. Ini berarti bahwa dewa-dewa tersebut tidak melampaui manusia yang ditugaskan Allah yang hidup untuk mengusahakan langit dan bumi (Kej. 2:15-17; bnd. pekebun yang mengatur kebun nya; demi kian Kingo 1996). Douma mengiakan bahwa juga dalam pasal-pasal pertama Kitab Suci pengaturan ini memang sangat berarti, tetapi ”pengaturan ini berdiri di bawah penciptaan langit dan bumi” sebagai perinciannya (Douma 2004, 10-15). Pekerjaan Allah yang hidup tidak ada bandingnya.
Kalimat pertama Alkitab menonjolkan diri sebagai kete tapan ringkas
(summary statement) mengenai penciptaan alam semesta ex nihilo. Hanya, dalam beberapa terjemahan Alkitab, para penerjemah ternyata tidak luput dari bahaya memasukkan prapa hamnya ke dalam teks Kitab Suci (tetapi janganlah proses interpretasi mendahului analisis kata-kata; Reymond 1998, 389; bnd. Venema 2008, bagian I). Lihat misalnya perbedaan besar antara Terje mahan Baru (LAI 1974) yang sama dengan Terjemahan Lama (= Terjemahan Klinkert-Bode, LAI 1988 reprint), dan Terjemahan Kabar Baik. Alkitab dalam Bahasa Indonesia Sehari-hari (LAI 1985, sekarang disebut BIMK [Bahasa Indonesia Masa Kini]):
TB | TL | KB |
---|---|---|
Pada mulanya Allah menciptakan langit dan bumi. Bumi belum berbentuk dan kosong; gelap gulita menutupi samudera raya, dan Roh Allah melayang-layang di atas permukaan air. | Bahwa pada mula pertama dijadikan Allah akan langit dan bumi. Maka bumi itu lagi campur baur adanya, yaitu suatu hal yang ketutupan kelam kabut; maka Roh Allah berlayang-layang di atas muka air itu. | Pada mulanya, waktu Allah mulai menciptakan alam semesta, bumi belum berbentuk, dan masih kacau-balau. Samudra yang bergelora, yang menutupi segala sesuatu, diliputi oleh gelap gulita, tetapi kuasa Allah* bergerak di atas permukaan air. |
*) Keterangan KB: Dalam bahasa Ibrani boleh juga diterjemahkan ”tetapi Roh Allah” atau ”dan angin dari Allah” atau ”dan angin besar.”
Selain memakai kata ”kacau-balau” dari ”kosong”, dan menggantikan ”Roh Allah” dengan ”kuasa Allah” atau bah kan ”angin besar”, KB mengubah kalimat pertama ”Pada mulanya Allah menciptakan langit dan bumi” menjadi anak kalimat temporal yang bergantung pada kalimat berikut, ”Pada mulanya, waktu Allah mulai mencipta kan alam semesta, bumi belum berben tuk …” Dengan berbuat demikian, penerjemah mempertanyakan atau bahkan meniadakan ajaran Kitab Suci mengenai creatio ex nihilo. Keterlibatan Allah dalam terjadinya langit dan bumi diperkecilnya sampai hanya ”kuasa Allah yang bergerak”. Dia hanya mengurus bumi yang sudah ada tapi yang masih dalam keadaan kacau-balau. Dengan prasangka ini pener jemah tidak berbeda dari semua orang yang sejak peristiwa Babel (Kej. 11) menyamakan Allah yang berdaulat dengan dewa-dewa suku-bangsa (misalnya mitos penciptaan Babel, Enuma Elish, dan juga penciptaan oleh dewa Refafu tadi) atau dengan manusia (Kej. 2:15). Padahal teks Kitab Suci sendiri tidak membenarkan perubahan arti kalimat pertama itu (Reymond 1998, 385-392).
Dalam pandangannya tentang cara Allah menciptakan langit dan bumi, Karl Barth dipengaruhi oleh dualisme (atau neo-manikheisme) dan mitologi. Barth mempersatukan penciptaan dan penyelamatan (Yesus Kristus adalah arti dan tujuan penciptaan Allah) dan dari sana ia menarik kesimpulan tentang adanya ”sisi gelap” dan ”sisi terang” dalam pencip taan langit dan bumi:
yang terang (baik) harus mengalahkan yang gelap (jahat). Menurut Barth, kekacauan dalam Kejadian 1:2 ditolak dan ditinggalkan oleh Pencipta, dan sangat berbahaya bagi ciptaan Allah sebagai kejahatan dan pencobaan. Ini yang dimaksud dengan nihil, yang sebenarnya sama dengan ”yang hina”. Oleh pemisahan antara yang gelap dan yang terang, Allah mengalahkan yang hina itu dan melepaskan ciptaan ex nihilo (Van Genderen & Velema 1992, 240241).
Apakah langit dan bumi dan segala isinya, termasuk manusia, langsung komplet dan sempurna? Apa kah itu arti ungkapan ”sungguh amat baik” (Kej. 1:31)? Jika demikian, mengapa Allah memberi kan tugas kepada manusia untuk bertambah banyak dan mengusahakan langit dan bumi (Kej. 2:15)? Allah rupanya tidak menciptakan langit dan bumi yang ”selesai”, tetapi yang ”siap” untuk dikelola. Semua potensi dan kekuatan yang disediakan Tuhan dalam alam semesta masih harus (dan dapat) dikelola sampai semuanya mencapai kesudahannya. Penilaian ”sungguh amat baik” menunjuk bahwa segala yang Tuhan jadikan persis sesuai dengan rancangan-Nya (bnd. 1Tim. 4:4). Kalau kemudian semuanya itu berjalan sebagaimana mestinya, langit dan bumi akan semakin berkembang dan mencapai kesempur naan dan ketidakfanaan. Apa yang Paulus tulis dalam 1 Korintus 15 belum menjadi realitas di Eden. Itu jelas dari dosa manusia serta segala akibatnya untuk seluruh langit dan bumi (Kej. 3; Rm. 1-3).
6. Tujuan: kemuliaan Allah
Menurut Pengakuan Iman Westminster (Bab IV.1), Allah menciptakan dunia ”demi penyataan kemu liaan kekuasaan, hikmat, dan kebaikan-Nya yang kekal” (Van den End, 102). Alam semesta yang dijadikan-Nya adalah pertunjukan kemuliaan-Nya yang tidak ada bandingnya (Reymond, 396). Ketika Tuhan menjadikan semuanya, para penduduk surga yang rupanya sudah ada pada hari keempat memuji nama Pencipta (Ayb. 38:7). Dan setelah penciptaan selesai, seluruh langit dan bumi bersyukur kepada Tuhan dengan semangat besar dan terus-menerus (Mzm. 19:1). Tujuan Allah menciptakan segalagalanya adalah kemuliaan nama-Nya.
Menurut Berkhof (1993, 252), ahli-ahli filsafat zaman dahulu, seperti Plato dan Philo, dan juga zaman kemu dian, seperti Kant dan Schleiermacher, berpendapat bahwa Allah menciptakan langit dan bumi ”demi manusia”. Manusia, khususnya kesejahteraan dan kebahagia annya, adalah tujuan penciptaan Allah. Tuhan memang berkehendak menciptakan manusia dan untuk itu Dia menjadikan langit dan bumi lebih dahulu menjadi tempat tinggalnya. Dalam rangka itu, penciptaan alam semesta tepat disebut persiapan, dan untuk selanjutnya Allah melaksanakan rencana akhir-Nya, yaitu menjadikan manusia yang segambar dengan diri-Nya. Tetapi atas dasar Kitab Suci, lebih tepat seluruh karya penciptaan dianggap sebagai satu paket yang menyeluruh, dan penjadian manusia yang me rupakan puncaknya. Karena jelas dari Kitab Suci bahwa dalam semua perbuatan-Nya Tuhan bekerja karena kerelaanNya (Dia senang melakukannya; bnd. Ef. 1:9) dan demi kemuliaan-Nya (Dia dihormati karena itu; bnd. Mzm. 19; PIGB, ps 12). Segala-galanya takluk pada kemuliaan Allah. Dalam Mazmur 8, bukan manusia yang berdiri di pusat (antroposentris), melainkan kemuliaan Allah (teosentris). Dan penulis Surat Ibrani mengatakan tentang Allah bahwa ”bagi-Nya dan oleh-Nya segala sesuatu dijadi kan” (Ibr. 2:10). Calvin dengan tepat memulai Katekismus Jenewa dengan pengajaran: ”Apa tujuan utama kehidupan manusia?” Jawabannya: ”Tujuannya yang utama ialah mengenal Allah.” Kemudian, ”Mengapa engkau berkata demikian?” Jawabannya: ”Sebab Dia telah menciptakan kita dan menempatkan kita dalam dunia ini dengan maksud supaya Dia dimuliakan di dalam kita. Memang wajarlah kita mengarahkan hidup kita ke kemuliaan-Nya, sebab Dialah awal mulanya” (p/j 1-2; Van den End 2004, 143). Dalam seluruh pencip taan-Nya, juga dalam perbuatan-perbuatan lainnya, Allah memberikan manifestasi kemuliaan-Nya. Manifestasi itu membawa semua ciptaan ke pujian dan penyembahan kepada Pencipta mereka. Sesuai dengan ajaran Kitab Suci (mis. dalam Ayb. 38-41; Yes. 40; Ef. 1), Berkhof dengan tepat menyimpulkan bahwa ”Kemuliaan Allah adalah satu-satunya tujuan akhir yang tetap konsisten dengan kebebasan dan kedaulatan-Nya” (Berkhof 1993, 254).
Barth berpendapat bahwa tujuan Allah menciptakan langit dan bumi ialah untuk dapat melepas kannya dari kejahatan (yang hina) melalui pengutusan Anak-Nya. Jadi, penciptaan langit dan bumi adalah tindakan Allah yang mutlak perlu untuk mengalahkan yang kacau dan gelap (tidak pernah ada manusia yang tidak berdosa). Tetapi dengan menyatu kan penciptaan dan penyelamatan, Barth membalikkan urutan pekerjaan Allah. Bukan lah penyelamatan yang merupakan tujuan penciptaan, tetapi sebaliknya pembaruan penciptaan adalah maksud penyelamatan. Penciptaan langit dan bumi, yang pada awalnya ”sungguh amat baik” (Kej. 1:31), mempunyai tujuan tersendiri. Karena dosa, tujuan itu tidak tercapai. Baru setelah manusia jatuh ke dalam dosa, kedatangan Anak Allah menjadi perlu demi penyelamatan dunia. Karena pendamaian itu, penciptaan mencapai tujuannya lagi, yaitu kemuliaan nama Tuhan (Alserda & Boersema 1991, 41).
”Ya Tuhan dan Allah kami, Engkau layak menerima puji-pujian dan hormat dan kuasa; sebab Engkau telah menciptakan segala sesuatu; dan karena kehendak-Mu semuanya itu ada dan diciptakan” (Why. 4:11).
7. Hubungan antara Pencipta dan ciptaan, khusus manusia
Baik Kitab Suci (Kej. 1:1) maupun surat-surat pengakuan iman gereja, pertama-tama berbicara ten tang Siapa yang menciptakan segalanya (PIR, ps 1; KH, p/j 26), sesudah itu baru tentang apa yang diciptakan-Nya. Pencipta itu adalah ”Allah Bapa” yang berdaulat (lihat Bab 2). Dia sendiri tidak diciptakan tetapi berada dari dan karena diri-Nya sendiri, dari selama-lamanya sampai selama-lamanya (Mzm. 90:2). Dia adalah Alfa dan Omega, awal dan akhir (bnd. Why. 1:8). Artinya, Dia yang mendahului, melam paui, dan karena itu menguasai segala sesuatu. Semuanya ada dan berada hanya atas dasar anugerah-Nya. ”Segala sesuatu adalah dari Dia, dan oleh Dia, dan kepada Dia” (Rm. 11:36).
Karena itu, Dia tidak bergantung pada siapa atau sesuatu apa pun, tetapi bergiat atas prakarsa-Nya sendiri dan bertindak sesuai dengan kerelaan kehendak-Nya (Ef. 1:1-14). Sebalik nya, semua makhluk (hasil penciptaanNya), termasuk manusia, seluruhnya bergantung pada Dia, karena sebagai Pencipta, Dialah yang memiliki segala sesuatu (Mzm. 24:1; Yes. 40). Di seluruh langit dan bumi tidak ada sesuatu apa pun yang otonom, yang berada di luar kedaulatan Tuhan dan yang boleh dihormati (bahkan didewakan) sama dengan Dia. Dengan kata lain, Allah adalah satu-satunya ”atasan”, sedangkan semua ciptaan, tanpa kecuali, adalah ”bawahan”-Nya.
Relasi yang intim
Bila memerhatikan seluruh ciptaan sebagai bawahan Allah, kita dapat membedakan dua tingkat yang khususnya ditentukan oleh cara Allah menciptakan manusia, yaitu menurut gambar dan rupa-Nya, dan oleh tugas yang diberikan-Nya kepada manusia, yaitu untuk berkuasa atas langit dan bumi (lihat Bab 4). Ini berarti bahwa manusia menjadi atasan bagi langit dan bumi, sedangkan langit dan bumi adalah bawahannya. Manusia yang menerima dari Penciptanya posisi yang paling tinggi dibandingkan dengan semua ciptaan lainnya, termasuk para malaikat di surga (Ibr. 1). Allah bahkan ”membuatnya hampir sama seperti Allah, dan telah memahkotainya dengan kemuliaan dan hormat” (Mzm. 8:6). Tuhan tetap nomor satu, tetapi manusia nomor dua. Sebagai ”gambar dan rupa Kita” (Kej. 1:26) manusia mewakili Tuhan. Dia tepat disebut bendahara, wakil, mitra, atau raja muda yang berkuasa atas nama Pencipta. Hubungan Pencipta dengan segala ciptaan-Nya erat, tetapi lebih dari itu, relasi-Nya dengan manusia intim. Pergaulan antara Allah dan manusia menunjukkan bahwa Dia menganggap manusia sebagai mitra yang akrab.
Untuk melakukan panggilannya sebagai bawahan yang posisinya langsung di bawah Tuhan, manusia dihiasi-Nya dengan inteligensi, potensi, dan kesanggupan yang teramat besar (bnd. lagi Mzm. 8:6, ”hampir sama seperti Allah”). Meskipun manusia diangkat Allah untuk menjadi wakil-Nya, tetapi ia tidak mampu untuk melakukan hal yang sama seperti Penciptanya. Namun, Tuhan memberikan kepadanya ”kuasa” untuk ”menjadi kan” dan ”membuat”
hal-hal baru. Kuasa itu memang terbatas: untuk mengerjakan sesuatu ia selalu memerlukan bahan dasar yang tertentu. Namun, kesanggupan-kesanggupannya untuk mengusahakan dan mengembangkan langit dan bumi, dapat dicirikan dengan istilah-istilah yang mengandung pengertian ”kreasi”, dan hasil-hasil yang diperolehnya sering disebut ”ciptaan”, yakni prokreasi dan kreativitas.
Prokreasi/pembiakan
Pada awalnya ”bumi belum berbentuk dan kosong” (Kej. 1:2). Selama enam hari Allah menjadikan semuanya. Pencipta tidak langsung memenuhi langit dan bumi dengan miliaran orang, dan dengan banyak tumbuhan dan binatang sesuai dengan jenisnya masing-masing. Dia menciptakan semuanya dengan potensi dan tugas untuk ”berkembang biak.” Dengan sengaja Allah membuat tanah me numbuhkan ”segala jenis tumbuh-tumbuhan yang berbiji dan segala jenis pohon-pohonan yang menghasilkan buah yang berbiji” (Kej. 1:12). Demikianlah segala jenis binatang laut dan burung udara (Kej. 1:2022), dan binatang-binatang di muka bumi (Kej. 1:24-25). Kepada mereka Pencipta memberikan perintah: ”Berkembangbiaklah dan bertambah banyaklah….” Mereka disuruh untuk memenuhi seluruh bumi. Sama halnya dengan manusia. Untuk memenuhi dan menaklukkan bumi, manusia Dia suruh untuk ”beranak cuculah dan bertambah banyak” (Kej. 1:28). Dengan demikian Pencipta mengurus dalam hikmat-Nya (Kej. 1:31, ”sungguh amat baik”) supaya dalam arti tertentu bumi sendiri yang melanjutkan karya penciptaan-Nya, yaitu dengan ”prokreasi” (atau reproduksi, pembiakan). Di bawah pimpinan dan pemeliharaan Allah, langit dan bumi melangsungkan diri secara aktif.
Khususnya tentang manusia, kita membaca bahwa Allah menciptakan dia laki-laki dan perempuan, hanya satu pasang suami istri (Kej. 2:18, 24). Kepada mereka pun Dia memberikan seksualitas untuk berkembang biak dan melanjutkan diri mereka melalui kelahiran (kejadian). Jika manusia lakilaki dan perempuan bersatu, akan lahir anak, ”ciptaan” mereka yang baru. Anak itu diperanakkannya ”menurut rupa dan gambarnya” (Kej. 5:3). Begitu terus, generasi demi generasi. Pencipta berkenan untuk bekerja melalui jalan keturunan manusia. Dia tidak menjadi kan manusia sama seperti rohroh yang diciptakan-Nya (langsung dalam jumlah yang tidak terbilang, tanpa berkelamin). Dia hanya menjadikan dua orang yang kemudian berkembang biak sendiri atas perintah-Nya. Maksud-Nya agar melalui relasi kasih dan sosial antarmanusia, seluruh langit dan bumi mencapai kesempur naannya. Sama seperti semua makhluk di bum imempunyai relasi dengan Pencipta (vertikal), demikian juga harus ada relasi antarmakhluk, dan khususnya antarmanusia (hori sontal). Hal ini juga berarti bahwa tidak ada sesuatu pun yang boleh dianggap ”tidak diperlukan”. Tidak ada yang berkelebihan atau yang tidak penting. Penolakan atau penghinaan terhadap ciptaan tertentu tidak dapat dibenarkan (mis. dualisme yang menghinakan yang jasmani/material). Paulus dengan tepat menulis: ”Karena semua yang diciptakan Allah itu baik dan suatu pun tidak ada yang haram, jika diterima dengan ucapan syukur, sebab semuanya itu dikuduskan oleh firman Allah dan oleh doa” (1Tim. 4:4-5).
Kreativitas/daya cipta
Untuk mengembangkan langit dan bumi, secara khusus manusia yang diperlengkapi Allah dengan kreati vitas. Artinya ia diberi inteligensi untuk memikirkan dan mendesain hal-hal baru, dan keterampilan untuk mewujudkannya (mis. pada masa kini: mobil, komputer, dan internet). Untuk berkuasa atas langit dan bumi, manusia diperlengkapi dengan hikmat, bakat, inteligensi, dan sebagainya. Ia dapat berpikir, berbicara, berunding, menganalisis, menarik kesimpulan, mengambil keputusan, dan melaksanakannya. Kreativitas atau daya cipta manusia, sudah langsung nyata sesudah penciptaannya, yaitu ketika Allah menyuruh manusia untuk memberi nama pada semua makhluk (Kej. 2:19). Juga dalam banyak pasal lainnya dalam Kitab Suci, kita bertemu dengan orang-orang yang sangat kreatif. Misalnya, para raja seperti Daud, Salomo, dan Hizkia, sangat berhikmat dalam menggubah nyanyian dan amsal (Kitab-kitab Hikmat). Paulus pun orang yang berhikmat dan berpendidikan. Untuk kegiatan-kegiatan manusia di bidang penemuan, pengembangan, dan pewujudan sesuatu yang baru, tanpa ragu-ragu dipakai kata ”menciptakan”: manusia yang menciptakan musik, buku, lukisan, dan lain-lain.
Tanggung jawab
Sebagai wakil Allah, manusia menerima posisi yang sangat tinggi. Pencipta yang memercayai pemerintahan atas langit dan bumi kepadanya (”berkuasa”). Ia juga diberi sarana-sarana, yaitu potensi dan kesanggupan, untuk ia dapat mewujudkan apa yang ditugaskan kepadanya. Sudah tentu, dalam pelaksanaan tugasnya, manusia bertanggung jawab kepada Allah sebagai atasan-Nya. Selama ia melakukan tugas nya dengan baik dan taat, tanggung jawab itu tidak menjadi masalah. Tetapi, karena manu sia tidak lagi mau bekerja sebagai bawahan Allah, relasi nya dengan Pencipta rusak dan tanggung jawab nya gagal. Dari ”terarah pada Allah” (teosentris) manusia berubah menjadi ”terarah pada dirinya sendiri” (egosentris). Tuhan memang langsung memperbaiki relasiNya dengan manusia (Kej. 3:15), kreativitas dan prokreasi tetap menjadi kemampuannya, tetapi dosa mengakibatkan inflasi dan degenerasi yang dahsyat. Dalam berkuasa atas langit dan bumi ia melewati batas-batasnya, karena ia menge sampingkan Allah agar ia sendiri menjadi nomor satu. Segala kesanggupan digunakannya demi kehor matan dirinya sendiri. Manu sia tetap bertanggung jawab, tetapi ia menggunakannya bukan lagi untuk memuliakan nama Penciptanya, tetapi untuk memegahkan diri, untuk kepentingan dirinya sendiri, menurut kesukaan dirinya sendiri. Di sisi yang lain kita melihat kesanggupan manusia untuk berkuasa atas langit dan bumi meleset. Akibat dosa membuat dia lemah dan hidup nya sulit (Kej. 3:16-19). Yang sering terjadi adalah kebalikan dari masa awal: dari berkuasa atas langit dan bumi, manusia sering dikuasai olehnya. Untuk memperbaiki situasi yang buruk dan cemar ini, manusia membutuh kan Adam kedua yang mengganti kannya dan yang mendatangkan langit dan bumi yang baru (lihat di bawah, butir 9).
Manusia diciptakan Allah untuk menemani Dia sebagai mitra yang kreatif dan bertanggung jawab dalam mengelola langit dan bumi dan memerintah semua ciptaan lainnya.
8. Penciptaan dan pemeliharaan
Karena Allah menciptakan semuanya, tentunya Dia juga mempunyai hak miliknya. Dia yang mene tapkan apa yang terjadi dengan seluruh ciptaan-Nya, dan bagaimana terjadinya. Sebagai pemilik, tentunya Dia tidak membiarkan atau bahkan mengabaikan perbuatan tangan-Nya (Mzm. 138:8), tetapi sebaliknya Dia memeliharanya dengan baik, sehingga semuanya berlangsung dan berkem bang (bnd. tukang kebun). Justru dalam pemeliharaan ini, Allah menyatakan diri-Nya sebagai Bapa (Mat. 10:29; bnd. KH, p/j 27). Dalam Katekismus Jenewa (p/j 23), Calvin mengata kan bahwa ”selu ruh ciptaan berada di tangan-Nya dan tunduk pada-Nya; Dia mengatur semua hal melalui pemeliha raan-Nya, memerintah dunia melalui kehendak-Nya, dan mengendalikan segala kejadian sekehendak hati-Nya” (Katekismus Jenewa, p/j 23-29). Kesimpulannya, ada hubungan langsung antara kedua perbuatan Allah, penciptaan langit dan bumi dan pemeliharaannya. Yang kedua adalah tindak lanjut dari yang pertama.
Hubungan erat antara penciptaan dan pemeliharaan ini tidak berarti kita boleh menyamakan kedua-duanya. Dalam beberapa ayat, Kitab Suci memang menggunakan kata ”menciptakan” untuk tindakan Allah yang terkait dengan pemeliharaan-Nya, misalnya Yesaya 48 (tentang Tuhan menciptakan masa depan yang baru). Apalagi, kedua-duanya hanya dapat terlaksana oleh kekuatan Allah yang sama (KH, p/j 27). Tetapi, itu tidak berarti bahwa pemeliharaan Allah dapat didefinisikan sebagai penciptaan yang berkelanjutan (creatio continua) seperti yang dikatakan oleh Bavinck (2004, II 606-607). Meski pun ada kesinambungan antara penciptaan dan pemeliharaan, tetapi ada per bedaan-perbedaan yang menentukan (Van Genderen & Velema 1992, 244-245; Berkhof 1993, 315), yaitu:• Penciptaan adalah karya penjadian segala-galanya dari yang tidak ada, sedangkan pemeliharaan adalah tindakan perawatan terhadap apa yang ada.
Pemeliharaan Allah adalah tindak lanjut dari penciptaan-Nya.
Sebagai pemilik semesta alam, Dia yang menjamin dan mengurus keberlangsungannya, dengan melibatkan manusia sebagai mitra-Nya.
9. Penciptaan dan dosa, penebusan, penciptaan baru
Dari Kitab Suci dan dokumen-dokumen pengakuan iman gereja (mis. PIGB, ps 12-17) kita mengenal urutan yang terkenal, yaitu penciptaan, kejatuhan ke dalam dosa, penyela matan, dan penciptaan baru/kembali. Yang kedua terjadi sesudah yang pertama, dan seterusnya. Keempat hal ini tidak dapat dicampur atau bahkan dipersatukan (seperti yang dilakukan oleh Barth), seakan-akan misalnya dosa dan kelemahan sudah termasuk dalam karya penciptaan Allah, atau penciptaan dan penyelamatan adalah dua sisi dari satu hal. Semua hal itu tentunya ada kaitannya yang satu dengan yang lain, tetapi merupakan faktafakta historis yang sendiri-sendiri. Tuhan memang merencanakan dan menetapkan semuanya sebelum dunia dijadikan (Ef. 1:4), tetapi mewujud kannya satu demi satu.
Banyak teolog masa kini tidak lagi menerima keadaan ”sungguh amat baik” pada awal langit dan bumi. Bersama Barth mereka berpendirian bahwa dosa, kesakitan, kematian, dan lain-lain tidak pernah tidak ada. Di samping ”yang baik” selalu ada ”yang jahat”. Mereka menyangkal adanya ”keadaan firdaus” pada masa awal langit dan bumi, tempat manusia hidup sejahtera dan tanpa susah, sebelum semuanya dicemarkan oleh kejahatan. Sudah sejak awal hidup manusia selalu berada dalam pergumulan untuk mencapai yang baik dan meniadakan yang jahat. Karena itu, para teolog tersebut menganggap pasalpasal pertama Kitab Suci bukan sebagai fakta historis, melainkan sebagai model interpretasi atau sebagai simbol yang menjelaskan keberadaan, struktur, dan unsur-unsur hidup kita sebagai ”mitra Allah”. Dan Kristus adalah Pengantara kita di semua bidangnya.
Sesuai dengan ajaran Kitab Suci, kita membedakan antara penciptaan, penyelamatan, dan penciptaan baru. Langit dan bumi yang pada awalnya ”sungguh amat baik” di kemudian hari dicemarkan oleh dosa manusia sehingga tidak lagi diperkenan Allah. Keadaan langit dan bumi berbalik dari amat baik menjadi rusak total. Untuk memulihkannya Allah mengutus Anak-Nya (firman-Nya yang menjadi daging), agar melalui penebusan-Nya keadaan yang buruk itu kembali menjadi baik. Allah Tritunggal berprakarsa sendiri untuk menyelamatkan dunia dari dosa dan mendatangkan langit dan bumi yang baru dan benar, yang baik dan sempurna.
Apakah dalam mewujudkan semuanya itu, Anak Allah secara khusus bertindak sebagai Pengantara? Artinya, apakah Dia bergiat baik sebagai Pengantara keselamatan maupun sebagai Pengan tara penciptaan, yang menghubungkan Pencipta dengan segala ciptaan-Nya? Dari Kitab Suci kita memang mengenal Anak Allah sebagai Pengantara keselamatan. Tetapi sehubungan dengan pencip taan langit dan bumi, Anak Allah tidak disebut Pengantara melainkan Firman (sesama Pencipta; Yoh. 1:1-18). Dia yang ikut menjadikan manusia. Dan mengenai karya keselamatan-Nya, Anak Allah benar-benar Peng antara yang memulihkan hubungan kasih antara Allah dan manusia. Untuk itu Dia sendiri menjadi manusia. Sebagai Pengantara Dia melepaskan manusia dari dosa, dan juga seluruh langit dan bumi dari akibat dosa (lihat Bab 7; Van Genderen & Velema, 237-238; 247-248).
Penciptaan, penyelamatan, dan penciptaan baru adalah perbuatan-perbuatan besar Allah Tritunggal.
10. Penciptaan dan Hukuman/kutuk Allah
Biasanya penciptaan Allah langsung dikaitkan dengan janji keselamatan-Nya, berdasar kan pikiran bahwa Allah yang hendak mengadakan keselamatan, juga dapat melaku kannya karena kemaha kuasaan yang sudah nyata dalam karya penciptaan-Nya. Tetapi Allah ternyata tidak hanya menyela matkan langit dan bumi yang dicemarkan oleh dosa karena kasih dan anugerah-Nya, tetapi Dia juga mengganjarnya dengan kutuk dan hukuman. Dia bahkan memusnah kan isi langit dan bumi karena murka-Nya dengan mendatangkan air bah (Kej. 6-8; bnd. PAD, I.1).
Selain itu kita mendengar, dalam PL maupun PB, tentang ”Hari Tuhan” yang akan datang. Nabi Maleakhi bernubuat tentang kedatangan ”hari Tuhan yang besar dan dahsyat.” Kata-kata penutup PL adalah ucapan Tuhan yang penuh ancaman, ”… supaya jangan Aku datang memukul bumi sehingga musnah” (Mal. 4). Pada masa PB, yakni setelah Yesus Kristus mengalahkan Iblis dan maut, serta naik takhta di surga, Rasul Petrus yang mengatakan bahwa ”Pada hari itu langit akan lenyap dengan gemuruh yang dahsyat dan unsur-unsur dunia akan hangus oleh nyala api, dan bumi dan segala yang ada di atasnya akan hilang lenyap”. Keselamatan hanya terwujud melalui kedatangan langit dan bumi yang baru yang di dalamnya terdapat kebenaran (2Ptr. 3:10; bnd. ayat 12-13; 1 Tes. 5:2). Kitab Wahyu pun dengan gamblang menjelaskan tentang penyudahan segala sesuatu melalui pembaruan total. Langit dan bumi yang sekarang akan berlalu dan digantikan oleh yang baru.
Tidak wajar manusia mengkritik Pencipta karena Dia menghukum dan menghakimi langit dan bumi dengan segala isinya. Manusia sendiri yang menyebabkannya. Semuanya diciptakan Tuhan dengan sangat baik. Manusia yang merusaknya karena memberontak melawan Pencipta (bnd. KH, p/j 6-8). Akibat-akibat dosa (Kej. 3:14-20) memang sangat dahsyat. Sekarang ini langit dan bumi diancam kebinasaan karena kejahatan manusia yang tampil dalam perang dan perselisihan, dalam masalah-masalah lingkungan hidup dan sampah, dalam kesalahan pengelolaan, seperti deboisasi dan pemanasan bumi. Langit dan bumi ini berada di bawah kutuk dan dosa. Menurut katakata Paulus, segala makhluk sama-sama mengeluh dan ”merasa sakit bersalin” (Rm. 8:22). Hanya pembaruan total yang dapat mengubah situasi yang semakin buruk menjadi baik. Manusia tidak mampu mewujudkan pembaruan itu. Hanya Pencipta yang dapat dan yang akan melakukannya.
Sesudah jatuh ke dalam dosa, manusia mengalami banyak penderitaan, dalam arti yang luas ia mengalami keadaan yang menyedihkan yang harus ia tanggung. Tetapi tidak semua penderitaan dapat disebut sebagai akibat dosa, kesalahan manusia, atau hukuman Allah. Menurut Lewis, sudah ada penderitaan yang tertentu sebelum manusia jatuh ke dalam dosa. Selain itu, para penafsir Kejadian 1–3 tidak sependapat tentang apakah telah terjadi kematian dan pembu nuhan sebelum manusia jatuh ke dalam dosa. Apakah tanaman sesudah berbunga dan berbiji tidak mati menjadi humus? Apakah binatang buas seperti singa dan burung elang tidak membunuh mangsanya? Apakah gempa bumi, angin badai, tsunami, dan sebagainya terjadi akibat dosa atau termasuk ciptaan Allah yang diken dalikan-Nya agar jangan menjadi ancaman bagi manusia? Memang Tuhan juga menciptakan misalnya belalang (Am. 7:1-3; bnd. Kel. 10), buaya (Ayb. 40:27-28), dan kuman sampar (Im. 26:25; Ul. 28:21, dan lain-lain), dengan maksud untuk menghukum manusia, khusus umat-Nya. Tetapi langit dan bumi dengan segala isinya pastinya bukan realitas yang romantis. Menurut Douma, langit dan bumi yang Allah ciptakan adalah ”rumah yang aman” bagi manusia (khususnya Taman Eden) dan sekaligus dunia yang di dalamnya Dia menyatakan kemahakuasaan-Nya melalui lautan yang mengancam, badai yang dahsyat, guntur dan halilintar, monster-monster yang menakutkan (kuda nil, buaya, Leviatan). Kenyataan Adam memberikan nama kepada semua binatang, tidak berarti ia juga dapat membelai kepala mereka. Sudah tentu, juga bagi manusia pertama, langit dan bumi dengan segala isinya mengan dung banyak rahasia. Kenyataan Allah bermain-main dengan ciptaanNya tidak berarti bahwa manusia juga dapat melaku kannya. Berkuasa atas langit dan bumi tidak sama dengan menguasai segala-galanya (Ayb. 38-40; bnd. Douma 2004, 22-24).
Kedatangan langit dan bumi yang baru berarti Tuhan mengaruniakan hidup yang kekal kepada semua orang yang diselamatkan oleh Kristus. Semua yang murtad akan dihakimiNya, kemudian ”disiksa siang malam sampai selama-lamanya” (Why. 20:7-15).
11. Penciptaan dan iman
Pasal-pasal pertama Kitab Suci mempunyai arti yang menentukan bagi manusia, yaitu untuk mema hami asal usul dan keberadaannya (posisi, tugas, dan seterusnya), dan juga untuk menyadari masa depannya. Setiap orang yang mengakui Kitab Suci adalah kebenaran Allah menerima jawaban dalam Kejadian 1–2 pada soal-soal fundamental mengenai asal usul langit dan bumi dan awal sejarah manusia. Dasar keyakinan ini adalah iman (Ibr. 11:3). Alkitab menyajikan kata pertama sekaligus kata terakhir tentang soal bagaimana segalagalanya terjadi. Mutlak penting bagi kita ialah pengetahuan (= pengakuan) bahwa Allah adalah Pencipta kita dan bahwa kita adalah ciptaan-Nya. Oleh iman kita menerima Dia yang berdaulat atas kita dan seluruh langit dan bumi. Kita bersama semua ciptaan lainnya adalah milik-Nya. Oleh iman kita mengabdikan diri kepada Pencipta kita yang juga Penebus kita untuk melayani Dia selama kita hidup. Relasi kita dengan Dia mendahului dan melampaui segala sesuatu. Bersama Bavinck kita mengakui bahwa penciptaan Allah adalah dasar bagi seluruh hidup kita. Dan bersama Calvin kita percaya bahwa kita bukan milik diri kita sendiri melainkan milik Allah yang menciptakan kita. Karena itu, tidak dapat dibenarkan dan tidak masuk akal (!) kalau manusia hidup di luar Tuhan. Manusia, tanpa kecuali, dipanggil untuk melayani Allah. Hubungan dengan Pencipta itu juga menetapkan relasi kita dengan sesama kita dan dengan seluruh alam semesta, sehingga kita juga melayani dunia dengan segala isinya (Van Genderen & Velema 1992, 248-250).
Allah tidak menciptakan langit dan bumi yang sudah lengkap sempurna dari awalnya (Douma 2004, 21). Tetapi, sesuai dengan rancangan-Nya Dia meletakkan potensi-potensi di dalamnya yang akan berkembang dengan sendirinya (mis. variasi di bidang jenis, juga kondisi tanah, iklim, dan cuaca agar tanaman dapat bertumbuh dan berbuah) atau yang harus diusaha kan lebih lanjut oleh manusia (mis. padang dikerjakan menjadi ladang; Kej. 2:15). Bukankah untuk itu Allah sengaja menciptakan manusia segambar dengan Dia menjadi kawan sekerja-Nya yang ”hampir sama seperti Allah” (Mzm. 8:6)? Tuhan khusus menyu ruh manusia untuk ”berkuasa” atas langit dan bumi, tempat ia tinggal dan bertugas. Artinya, manusia diberi tanggung jawab untuk mengelola semuanya. Untuk itu ia diberi bukan hanya kaki dan tangan untuk melaksanakan sesuatu (mis. mendirikan rumah), melainkan juga akal budi untuk merencanakan dan memikir kannya (merancang gambar rumah dan sebagainya). Manusia berpotensi. Manusia adalah satu-satunya ciptaan yang sanggup berpikir, berpandangan, berilmu, berunding, memperluas pengetahuan nya, dan mempraktikkan apa yang didapatnya. Ia bahkan justru perlu berpikir lebih dahulu, baru kemudian mewujudkan hasil pikiran nya (mis. gambar rumah) menjadi realitas (bangunan). Di tengah-tengah berbagai sarana yang Allah berikan kepada manusia agar diguna kan dalam mengelola langit dan bumi, termasuk pengembangan pan dangan (mis. pandangan dunia, world view), pemikiran teori-teori (mis. teori relativitas), penelitian ilmiah (antara lain ilmu alam, informatika), dan penemuan kekuatan-kekuatan bumi. Kemampuan manusia untuk berilmu, berkembang, dan mengerti adalah pemberian Allah yang mencirikan kemanusiaan nya. Manusia bukan budak atau robot yang secara otomatis melaksanakan apa yang Allah perintahkan kepada nya, tetapi sebaliknya, ia petugas yang kreatif dan bertanggung jawab.
Pada prinsipnya pandangan dan ilmu yang dimiliki manusia tidak berlawanan dengan kemahakuasaan Allah, tetapi justru berasal dari Dia dan terarah kepada-Nya, dengan tujuan memuliakan nama-Nya sebagai Pen cipta. Jika langit dan bumi benar-benar diurus manusia dengan cara demikian, hasilnya tetap akan ”sungguh amat baik” (Kej. 1:31). Tetapi, kalau manusia dalam berpandangan dan berilmu me lepaskan diri dari Penciptanya dan mengikuti jalannya sendiri, semua yang dikelolanya mungkin sangat banyak dan juga amat bagus dan kreatif, tetapi akhirnya tidak akan bertahan dan akan lenyap (Mzm. 73). Hendaklah ilmu dan iman tetap komple menter yang satu melengkapi yang lain dan selalu terkait dengan Allah yang menciptakan semuanya sesuai dengan rancangan-Nya dan yang juga menetapkan batasanbatasan pengertian manusia (bnd. Ul. 29:29).
”Ada lebih banyak hal yang tidak saya pahami daripada yang saya pahami, juga dalam ilmu.” Demikian ungkapan Rhoda Hawkins yang menganggap dirinya pengikut realisme yang kritis (Critical Realism). Sebenarnya, banyak teori ilmu yang didasarkan pada asumsi-asumsi yang dianggap benar, tetapi yang kebenarannya tidak mungkin dibuktikan. Mustahillah ilmu dapat menyatakan dan membuktikan segala-galanya. Fakta ini menunjukkan adanya banyak persamaan antara fisikawan dan orang Kristen, yakni dalam menolak modernisme
yang berpendapat bahwa segala-galanya dapat dimengerti dan bahwa keper cayaan kepada Allah yang Mahakuasa (semakin) tidak perlu, dan juga pascamodernisme yang berpan dangan adanya banyak kebenaran (apa yang benar bagi Anda, mungkin saja tidak benar bagi saya). Realisme yang kritis meneliti bumi yang riil dan konkret, tetapi sekaligus menyadari bahwa pengertian manusia paling-paling hanya sebagian saja. Kemampuan manusia terbatas untuk memahami dunia dan Penciptanya secara menyeluruh. Ilmu dan iman tidak bertentangan antara yang satu dengan yang lain. Sebaliknya, tidak mungkin manusia berilmu tanpa beriman (Dekker 2008, 88-99).
Walaupun demikian, sejak manusia jatuh ke dalam dosa, banyak orang yang membebas kan diri dari ketergantungannya pada Allah Pencipta, kemudian menganggap pandangan dan ilmu mereka bertentangan dengan iman kepada Tuhan. Timbullah bermacam-macam pandangan manusia yang semakin jauh dari Allah, seperti mitos, agama, filsafat (semua ”isme”), teori, dan ilmu. Khususnya rasionalisme abad-abad lalu yang membuat orang semakin mengutama kan akal budinya sebagai norma mutlak, sambil menolak iman kepada salah satu ”pencipta ilahi” dan menganggapnya sebagai mitos yang berasal dari imajinasi atau proyeksi orang primitif. Pada zaman dahulu memang dikembangkan banyak agama, yaitu cara-cara berkeyakinan yang sesuai dengan pandangan manusia tertentu. Tetapi khususnya ilmu masa kini, yang menganggap setiap agama sebagai ”dongeng” yang ketinggalan zaman, yang bukti ilmiahnya tidak dapat diberikan, atau sebagai campuran sejarah dan mitologi yang tidak mungkin dipisahkan antara yang satu dengan yang lain. Sikap itu jelas kelihatan dalam ilmu-ilmu yang secara khusus meneliti usia dan struktur alam semesta. Akibatnya, manusia tidak lagi mene rima Kitab Suci sebagai firman Allah yang berwibawa, melainkan menganggapnya sebagai buku literatur dari zaman kuno yang dikomposisi oleh orang-orang yang mungkin pandai di bidang ilmu sastra (atau yang sama sekali tidak berilmu), tetapi yang tidak mempunyai penge tahuan di bidang ilmu-ilmu alam, fisika, biologi, dan sebagainya. Dengan itu manusia yang berilmu telah menolak keber adaan Allah Pencipta. Pendirian itu mereka kemukakan secara agresif.
Pemikiran manusia pada umumnya dan penelitian ilmiah pada khususnya membawa orang ke berbagai interpretasi mengenai asal usul dan keberlangsungan langit dan bumi. Inter pretasi itu dikembangkan menjadi pandangan. Di antaranya terdapatpandangan-pandangan yang bertitik tolak dari kebenaran Kitab Suci, tetapi ada juga yang dikembangkan di samping atau bahkan menentang ajaran Kitab Suci, yang di dalamnya Allah yang hidup semakin berangsur hilang dan digantikan oleh agama atau filsafat tertentu.
1. Keyakinan-keyakinan religius mengenai langit dan bumi
Ajaran Kitab Sucilah yang merupakan dasar bagi pandangan dunia yang Alkitabiah dan Kristen (Bavinck 2004, 406). Di samping keyakinan Kristen, memang terdapat berbagai agama lain yang semua nya mempunyai tradisi religiusnya antara lain mengenai awal alam semesta dan asal usul manusia. Pada umum nya, ilmu agama yang meneliti semua agama itu sebagai fenomena yang netral tidak menilai kebenaran atau ketidakbenaran nya, tetapi menganggap setiap keyakin an religius sebagai ”jalan yang sah menuju keselamatan”. Demikian juga Pancasila, falsafah Negara Kesatuan Republik Indonesia, membiarkan pengisian ajaran, misalnya mengenai pencip taan langit dan bumi, kepada setiap agama masing-masing (tentang arti rumusan ”Ketuhanan yang Maha Esa” dan interpretasi seluruh Pancasila, lihat Darmaputera 1988 dan Schindehütte 2006). Namun, bagi yang mene rima kebenaran Kitab Suci, jelas bahwa semua agama itu berasal dari bayangan atau pikiran manusia, setelah terjadi ia memberontak melawan Allah dan mengikuti kesukaan dirinya sendiri, sehingga harus dinilai sebagai pandangan yang menyimpang dari atau bahkan bertentangan dengan ajaran Kitab Suci (bnd. Rm. 1:18-32).
Keyakinan religius bangsa-bangsa dalam Kitab Suci
Khususnya dalam hukum perjanjian-Nya dengan Israel (Kesepuluh Firman, Hukum 1 dan 2; Kel. 20:3-6; Ul. 5:7-10), Tuhan melarang umat-Nya untuk sujud menyembah allah-allah bangsa-bangsa lain (misalnya Mesir, tempat mereka baru dibebaskan-Nya). Semua agama bangsa-bangsa itu bersifat politeisme. Banyak allah atau dewa-dewi yang mereka puja. ”Dunia ilahi” (panteon) ini tidak lain ”dijadikan” oleh manusia, segambar dan serupa dengan mereka, sehingga merupakan cerminan dunia manusia. Semua bangsa itu masing-masing memiliki mitologi yang rinci yang mengandung tradisi dan aturan hidup para leluhur tentang asal usul dewa-dewi (teogoni), tentang terjadinya langit dan bumi (kosmogoni), dan tentang awal mereka sebagai bangsa. Dengan demikian setiap bangsa menentukan identitas religiusnya masing-masing, dan bahkan memegahkan diri sebagai manusia yang benar (bnd. Kej. 11:1-11).
Salah satu wiracarita kuno yang paling terkenal adalah syair yang berjudul Enuma Elisy
yang mengisah kan penciptaan langit dan bumi oleh Marduk, kepala dewa-dewi bangsa Babel/Sumer (bnd. Epos Gilgamesh). Menurut Berkhof, terdapat beberapa titik kesamaan antara Enuma Elisy dan Kitab Kejadian, misalnya tentang kekacauan yang mula-mula (Kej. 1:2) dan tentang pemisahan air dari air, dan air dari darat (Kej. 1:6-10). Tetapi, perbedaan-perbedaan antara keduanya jauh lebih banyak daripada kesamaannya. Perbedaan yang paling besar terletak dalam konsep religius yang di belakangnya (mitologi lawan sejarah; politeisme lawan monoteisme; bnd. Berkhof 1993, 283284). Demikian halnya dengan semua mitos bangsa-bangsa yang membahas mengenai penciptaan alam semesta oleh allah mereka masing-masing (mis. dunia Yunani diciptakan dewa Zeus dari ”mama bumi” yang telah terjadi dengan sendirinya (autogenesis), bnd. Kis. 14:13; 19:27 (Artemis); Wentsel 2006, 265).
Menentang semua keyakinan itu, Alkitab mempertahankan bahwa hanya ada satu Allah yang hidup yang menciptakan seluruh alam semesta, yaitu Tuhan (antara lain dalam Ul. 6:4). Semua keyakinan religius lainnya tidak benar dan harus ditolak dengan keras (bnd. Yes. 44).
Keyakinan religius agama-agama dunia
Selain iman Kristen, terdapat beberapa agama besar (”agama dunia”, world religion) yang lain, artinya agama-agama yang dipeluk oleh jutaan orang dan yang sangat berpengaruh di dunia, yaitu agama Yahudi, Islam, Hindu, dan Budha. Mengenai penciptaan langit dan bumi, banyak kesamaan di antara ketiga ”agama kitab’, yakni Yahudi, Kristen, dan Islam (urutan kronologis). Ketiganya bersifat mono teisme dan masing-masing mempertahankan keyakinan religius nya bahwa hanya ada satu Allah yang berkepribadian, yang mencipta kan segala-galanya dan yang memerintahnya (Wentsel 2006, 262263, 267-268). Bagi kaum Yahudi dan Kristen, ajaran tentang penciptaan langit dan bumi sebenarnya tidak berbeda karena keduanya menerima PL sebagai penyataan Allah yang benar. Juga dalam Alquran, kitab kudus umat Islam yang berasal dari bangsa Arab, kebenaran pasal-pasal per tama Alkitab diakui, dan Allah dimuliakannya sebagai Pencipta dan Pemelihara langit dan bumi. Alquran tidak begitu memberi kisah tentang bagaimana Allah menciptakan langit dan bumi, tetapi bertitik tolak darinya sebagai fakta dan ”kebenaran aksioma” (Maulana 1989, Bab II.1). Banyak Sura dalam Alquran yang memuliakan Allah sebagai Pencipta, katanya ”Bukankah Dia yang menjadikan langit dan bumi? Ya benar, Dialah Pencipta, Yang Maha tahu. Kalau Dia menghendaki sesuatu, perintah-Nya hanya satu kata: ’Jadilah!’, maka hal itu terjadi” (bnd. Sura 13; 16; 35; 36:81-83; 40:63-67; 41:9-12; 50:37; 87:1-3).
Sama seperti Alkitab, Alquran mengajarkan bahwa Allah menciptakan langit dan bumi yang belum komplet, tetapi yang semakin berkembang sendiri dan yang harus dikembangkan oleh manusia. Dengan menunjuk ke Sura 87:1-3, Ali mengatakan bahwa ”segala sesuatu yang diciptakan oleh Allah membawa kesan ciptaan Ilahi, yang mempunyai ciri khas perkembangan dari tingkat yang paling rendah menuju tingkat yang lebih tinggi lagi, hingga mencapai kesempurnaannya.” Ali tidak ragu-ragu menggunakan kata ”evolusi yang sempurna” untuk perkem bangan alam semesta melalui berbagai tingkat ini (Maulana 1989, 116; 135).
Keyakinan agama Hindu dan Budha tentang asal usul dan berlangsungnya langit dan bumi memang sangat berbeda. Dalam agama Hindu (berasal dari India) Pencipta dan ciptaan pada dasarnya bersatu. Kitab-kitab kudus (Weda, Upanishad) bertitik tolak dari keberadaan segala-galanya, dan hanya mengatur keberlangsungannya. Ada yang dianggap sebagai sumber segala-galanya, yang disebut ”Yang Satu” atau ”Yang Kekal” (Prajapati, sumber penciptaan), tetapi siapa yang mendalaminya akan bersatu dengannya. Pada dasarnya semuanya bersifat kekal dan ilahi, tidak mempunyai awal dan akhir, tetapi bersiklus tanpa berhenti. Dari segala yang ada (bhs. Inggris beings) yang paling esensial ialah bumi, sedangkan yang paling penting dari bumi ialah air, dari air tanaman, dari tanaman manusia, dari manusia kata-katanya (suaranya), dan dari kata-katanya nyanyian Rg-Weda (Van der Leeuw & Bleeker 1955, 246-252).
Sekali pun agama Budha (asalnya juga dari India) mengakui segalagalanya fana, agama ini sebenarnya tidak menerima bahwa dunia mempunyai awal dan akhir, tetapi bertitik tolak dari terjadinya proses kekal pergantian dunia yang satu oleh yang berikut. Proses ini sudah berlangsung sejak kekal dan akan berlanjut tanpa berhenti melalui reinkarnasi. Kitab kudus Tripitaka menjelaskan kon sep agama Budha tentang alam semesta, terbentuknya bumi, dan tujuan manusia. Dalam agama Budha tujuan akhir hidup manusia adalah mencapai kebuddhaan atau pencerahan sejati yang di dalamnya roh manusia tidak perlu lagi mengalami proses reinkarnasi. Untuk mencapai status itu, tidak ada dewa-dewi yang membantu, tetapi manusia hanya dapat mencapainya dengan usahanya sendiri (Van der Leeuw & Bleeker 1955, 278-291).
Keyakinan religius agama-agama lokal
Masih banyak suku bangsa di dunia, juga di Indonesia, yang memuja ilah-ilah lokal atau regio nal, sama seperti yang terjadi pada zaman Alkitab (mis. pada masa PL: Baal di Kanaan, Dagon di Filistin; pada masa PB: Zeus di Grika). Banyak agama lokal, yang sering disebut ”agama alam” atau ”agama suku” (bhs. Inggris tribal religion), berciri animisme. Dewa-dewi yang disembah sering sama dengan para leluhur yang mengawali suku bangsa tertentu dan yang karena itu diperdewa (supernatural being), misalnya Marapu di Sumba (NTT). Tempat tinggal mereka di kampung roh atau di dusun yang khas yang tidak terjangkau oleh orang biasa. Dari situ mereka menetapkan tradisi dan adat istiadat suku dan mengontrol apakah cara hidup keturunan mereka tetap berlangsung sesuai dengan aturan. Pandangan dunia (world view) yang didasarkan atasnya ditentukan oleh batasan-batasan wilayah suku. Ciri khasnya adalah animisme (atau totemis me), yang berarti alam semesta di semua bidangnya berjiwa dan mempunyai model asli (induk atau cetak biru).
Mengenai penciptaan dan keberlangsungan alam semesta, agama suku berkeyakinan bahwa semuanya dikua sai oleh satu allah (supreme being) yang dipuja sebagai pencipta dan pengurus segala-galanya, misalnya Jubata (sukusuku Dayak di Kalimantan) atau Refafu (suku-suku Jair, Kombai, dan Korowai di Papua). Menurut tradisi setempat, dewa Refafu naik dari dunia bawah ke bumi ini (yang ternyata sudah ada), lalu mengisi wilayah suku dengan pohon-pohonan, binatang, burung, dan akhirnya juga manusia, yaitu kaum suku. Secara khusus, induk-induk dari semua makhluk itu masing-masing menentukan bentuk dan sifat jenis yang berasal darinya, dan juga cara dan lamanya hidup (jika seorang pemburu mema nah babi hutan, tetapi tidak mengenai sasarannya, ia akan mengatakan bahwa ”induk babi tidak mau ia mati”). Manusia pun memi liki induknya yang bernama ”suangi” dan yang mengontrol hidupnya dari awal sampai akhir. Demi kian semua suku bangsa masing-masing mempunyai mitologi yang rinci, yang menerangkan asal usul dan keberadaan suku sendiri.
Penciptaan yang terjadi oleh dewa suku berarti pengaturan atau pengurusan. Ungkapan suku Kombai, ”Refafu menjadikan langit dan bumi”, berarti dia sebagai demiurg memerin tahkan semua jenis pohon yang sudah tersedia untuk mengambil tempatnya di ”dunia” suku Kombai. Pengertian ex nihilo tidak mereka ketahui. Selain itu, mitologi suku sebagai tradisi lisan nenek moyang tidak statis, tetapi selalu di aktualkan (di-upgrade) oleh generasi-generasi berikutnya berdasarkan keyakinan-keyakinan religius yang baru (yang biasa nya diterima dari luar). Artinya, kebenaran mitos tidak pernah absolut, tetapi secara dinamis diper lengkapi dengan pengertian-pengertian yang baru. Tidak mengherankan bila para warga suku yang memeluk iman Kristen, kemudian menjelaskan tradisi lama suku mereka dengan menggunakan istilah-istilah Alkitab (bnd. Kingo, 1996, yang bahkan menamai dewa Refafu sebagai Tuhan).
2. Pandangan-pandangan filsafat mengenai langit dan bumi
Selain menganut agama-agama tertentu demi penjelasan fakta-fakta yang melampaui pengertian manusia dan demi pembenaran tradisi dan cara hidupnya manusia juga menggunakan pemikiran nya sendiri. Dia mengobservasi dan menginterpretasi realitas yang ada di sekitarnya serta mengembang kan filsafat-filsafatnya yang menyeluruh tentang keberadaannya, yaitu atas dasar keyakinan religius tertentu (mis. dualisme) atau kesanggupan akal budinya (mis. sekularisme).
Pandangan-pandangan yang bersifat religius Terdapat berbagai pandangan religius mengenai keberadaan alam semesta, yang pengaruhnya kuat dari dahulu sampai sekarang, misalnya:
• Dualisme
Dualisme bertitik tolak dari kenyataan adanya yang baik dan yang jahat/buruk. Karena saling menge cualikan, dua-duanya selalu berada dalam keadaan perang. Yang jahat bukannya baru mema suki dunia yang sebelum itu ”sungguh amat baik” karena munculnya Iblis dan dosa manusia, tetapi sudah lang sung ada sejak awal penciptaan langit dan bumi. Di satu sisi, dualisme membedakan antara allah yang baik dan allah yang jahat (mis. Marcion: Allah PL yang jahat, Allah PB yang baik). Kadang-kadang yang satu lebih kuat, pada kali lain yang kedua yang menang. Dengan menciptakan semuanya dengan baik, allah yang baik meniadakan kekacauan allah yang jahat, tetapi kemudian allah yang jahat kembali merusak karya allah yang baik. Manusia dan seluruh alam semesta tidak pernah memperoleh perhentian. Di sisi lain, dualisme membedakan antara dunia surga/roh (yang tidak kelihatan) dan dunia materi/ benda (yang kelihatan). Dunia roh dikaitkan dengan segala yang baik, sedangkan dunia materi (atau jasmani) dianggap jahat. Akhirnya, kematian adalah pembebasan manusia yang membawanya dari dunia materi ke status hidup sempurna di dunia roh. Menurut pandangan ini, alam semesta adalah penjara bagi manusia yang sebaiknya ditinggalkan secepat-cepatnya (mis. platonisme).
Dualisme sudah sangat tua, berasal dari pandangan-pandangan religius seperti mani kheisme, plato nisme, gnostik, dan tersebar di semua agama, termasuk agama-agama suku. Pada masa kini pun pengaruhnya masih kuat, misalnya di kalangan-kalangan Kristen yang menganggap segala keseng saraan (penyakit, bencana) datangnya dari Iblis dan bukan dari Allah. Ajaran Kitab Suci tentang penciptaan langit dan bumi dan posisi manusia di dalamnya memang sangat berbeda. Menurut Calvin, pasal 1 dalam Pengakuan Iman Rasuli khusus dimaksudkan untuk menolak dualisme itu (Calvin 1985, Kitab I, Bab 14.3; bnd. Van Genderen & Velema 1992, 236 dan 249; lihat di bawah, 3.8).
• Monisme
Sebaliknya monisme yang berpendapat bahwa langit dan bumi serta segala isinya berasal dari Allah melalui emanasi. Artinya, semua yang ilahi mengalir keluar. Proses itu sudah berlangsung dari kekal, dan tidak akan berhenti sampai selama-lamanya. Tetapi kalau ”ciptaan” yang sudah mengalir keluar, semakin jauh dari sumbernya, hal itu akan semakin lemah dan tidak sempurna. Kenyataan nya, langit dan bumi berada dalam proses pelemahan hingga lambat laun akan mati. Agar alam semesta tetap berlang sung ke arah kesempurnaan, yang diperlukan adalah emanasi yang kekal. Menurut pandangan ini, yang misalnya diajarkan oleh Plotinus, Allah bukanlah Pencipta yang berdaulat melainkan Sumber segala-galanya yang tidak dapat dipisahkan dari apa yang keluar dari Dia. Tidak mengherankan, filsafat ini menolak kedaulatan dan kehendak Allah. Sebenarnya, Allah hanya pasif saja, hanya sarana saja. Emanasi terjadi secara otomatis, dan bukan atas perintah atau menurut rancangan yang sengaja.
Monisme atau emanasi dapat menghasilkan dua akibat. Entah Allah ditelanjangi dari keilahian-Nya menjadi sederajat dengan alam semesta yang keluar dari Dia (atau bahkan hilang sama sekali; bnd. sekularisme, materialisme). Atau segala yang keluar dari sumber yang ilahi sendiri juga bersifat ilahi (panteisme, juga animisme). Pada masa kini, dalam usahanya mempersatukan iman Kristen dan teori Evolusi, Teilhard de Chardin agaknya dipengaruhi oleh mistik dan monisme, yaitu dengan mengatakan bahwa Allah sendiri melalui Kristus (Christogenesis) termasuk dalam proses evolusi. Sudah tentu, pandangan ini bertentangan dengan ajaran Kitab Suci, yang diringkas dalam PIGB, ps 1, yang menyatakan bahwa Allah adalah ”sumber serba berlimpah segala hal yang baik” (Van den End 2004, 20; bnd. Berkhof 1993, 257-259, 245-246, 249).
Pandangan-pandangan yang bersifat sekuler
Dengan sengaja pandangan-pandangan sekuler tidak mengindahkan argumentasi yang berkaitan dengan iman Kristen dan agama-agama lainnya, sambil tidak menghargai tradisi, perkembangan, dan pemikiran yang didasarkan atas keyakinan yang bersifat religius. Dengan kata lain, semua pandangan ini menghilangkan kuasa, kedaulatan, dan bahkan kehadiran Allah dari pemikiran nya tentang asal usul dan keberadaan langit dan bumi, dan sebaliknya ”mendewakan” alam semesta, khusus manusia. Menurut idealisme (Hegel), hasil pemikiran manusia menyatakan ia mempunyai roh ilahi dalam diri nya sendiri. Dan materialisme menganggap segala materi berkuasa sendiri. Idealisme, materialisme, dan selanjutnya humanisme, rasionalisme, dan sekularisme semuanya menolak kenyataan langit dan bumi adalah hasil pekerjaan aktif Allah yang hidup. Apa yang dinyatakan dalam Kitab Suci mereka anggap sebagai fantasi primitif dari orang-orang yang belum berkembang, yang belum berfilsa fat. Untuk semua pandangan ini, yang menjadi norma mutlak ialah akal manusia. Dalam riset ilmiah terhadap langit dan bumi, semua ”isme” tersebut sangat berpengaruh (Berkhof 1993, 252).
Semua pandangan religius yang tadi disebut (dan yang lainnya yang sepadan dengannya) berciri kompromi antara unsur-unsur kebenaran Kitab Suci dan interpretasi nya oleh pemikiran manu sia. Data-data religius bermanfaat sebagai titik tolak atau berfungsi sebagai bahan pemikiran yang kemudian dikembangkan manusia secara mandiri. Pandangan-pandangan yang sekuler sebaliknya membingungkan atau menolak segala masukan transenden/supernatural. Akal manusia yang diutamakan sebagai norma mutlak dan tertinggi, sehingga pandangan-pandangan ini lebih bersifat pergantian kesaksian Kitab Suci dari kompromi antara keduanya.
3. Riset ilmiah terhadap langit dan bumi
Orientasi umum
Selama berabad-abad manusia berpikir bahwa bumi itu datar. Menurut observasinya, daratan bumi dikelilingi oleh air (laut) dan dipayungi oleh udara (langit) yang di pinggirnya matahari turun naik. Alkitab pun membahas fenomena langit dan bumi dari perspektif manusia seperti itu. Padahal, di kemudian hari orang khususnya Galileo Galilei menemukan ternyata bumi itu bulat dan berputar mengelilingi matahari. Jadi, bukan bumi yang berada di pusat (geosentris) melainkan matahari (heliosentris). Meskipun hipotesis ini ”masuk akal”, tetapi buktinya sulit diberikan. Baru sejak beberapa dasa warsa akhir abad ke-20, manusia sempat dan sanggup melihat dengan matanya sendiri bahwa bumi benar-benar bulat. Para antariksawan yang diluncurkan ke angkasa, adalah orang-orang pertama yang melihat bumi dari luar. Observasi itu mempunyai akibat yang teramat besar. Orientasi umum manu sia terhadap fakta keberadaan langit dan bumi berubah secara total. Perluasan pemandangannya membawa manusia ke banyak kesimpulan, baik yang benar tepatnya banyak teori dan pemikiran manu sia memang terbukti maupun yang tidak benar, yaitu bahwa tampaknya Alkitab tidak menyajikan fakta-fakta historis, melainkan bersifat pengalaman terbatas atau pengertian primitif semata-mata. Padahal, riset ilmiah itu justru dikehendaki oleh Pencipta untuk membuka mata dan pengertian manusia, sedikit demi sedikit, bagi kebesaran Allah.
Oleh riset ilmiah, pengetahuan akan langit dan bumi semakin bertambah.
Hal itu sama sekali tidak bertentangan dengan tujuan Allah Pencipta, melainkan persis sesuai dengan rencana-Nya. Dia sendiri yang memerintah manusia untuk mengurus langit dan bumi. Semua perkembangan yang masih terjadi sekali pun langit dan bumi cemar oleh dosa tidak lain adalah hasil dari manu sia yang berkuasa atas langit dan bumi (Kej. 1:26-28). Langit dan bumi dijadikan Allah dalam keadaan belum lengkap. Tugas manusia adalah mengelolanya di bawah pimpinan dan berkat Tuhan. Penemuan listrik, mobil, komputer, dan seterusnya, semuanya sudah termasuk rancangan Allah yang Mahakuasa, tetapi baru diwujudkan pada waktu dan dengan cara yang Dia tentukan sebelumnya. Demi kehormatan nama-Nya.
Sangat berbeda halnya, kalau manusia memakai observasi-observasi yang baru dan perkem bangan-perkem bangan ilmu, justru untuk mengesampingkan Allah sebagai Pencipta. Kalau manusia membuat pengertiannya sendiri menjadi ukuran tertinggi bagi segala sesuatu, Allah tentu nya dibatasinya dan dimasukkan dalam kotak pikiran manusia. Namun, betapa bagus pun hasilhasil penelitian ilmu-ilmu alam, hasil-hasil itu tidak akan pernah menjadi sama dengan penyataan Allah. Orang yang tidak melihat Allah di belakang semua per kembangan itu, sebenarnya dari orang yang pandai menjadi semakin bodoh.
Masih banyak orang yang berpikir penyakit TBC disebabkan oleh roh-roh jahat (Iblis) atau perbuatan santet, sehingga mereka yakin penyembuhannya hanya dapat dilakukan oleh dukun dengan menggunakan sihir (magic) agar kuasa-kuasa jahat dinetralkan. Tetapi, hasilnya sangat mengecewakan karena pende rita tetap mati. Akhir nya mereka belajar bahwa penyebab penyakit TBC adalah fisik, yakni penularan dengan bakteri tertentu. Pada awalnya orang masih tetap bingung karena, sama dengan roh jahat, bakteri itu tidak dapat dilihat. Jadi, apa bedanya? Dan apa juga perbedaan antara sihir dan obat yang tidak jelas cara kerjanya? Tetapi ketika melihat bakteri melalui mikroskop dan mendengar tentang komposisi obat dan hasilnya yang positif, mereka menerimanya sebagai perkembangan yang baru (dikutip dari Naast/, nr 33/12, Desember 2008, 3).
Sejarah penciptaan dan ilmu alam
Penciptaan langit dan bumi adalah perbuatan Allah (act of God) yang mengawali sejarah, sehingga bersifat fakta historis. Yang kita baca dalam Kejadian 1–2 adalah kisah sejarah mengenai Allah yang menjadikan langit dan bumi dari tidak ada (ex nihilo), dan yang kemudian mengolah dan mengisinya secara mendetail. Alkitab bukan buku pegangan ilmu alam yang mene rangkan semua datanya secara fenomenologis atau empiris dengan bukti-bukti yang ilmiah, melainkan buku sejarah yang membahasnya secara sederhana dan menyeluruh dari sudut pandang manusia.
Mengenai keandalan historis Kejadian 1 dan 2, terdapat banyak pendirian yang sangat berbeda. Yang satu mene rima apa yang tertulis dalam dua pasal itu secara mutlak dan harfiah, yang lain memandangnya sebagai syair atau nubuat, dan yang lain lagi menganggapnya sebagai pemberitaan yang simbolis. Sambil memuliakan Allah sebagai Pencipta, yang satu menganggap usia alam semesta paling 10.000 tahun, sedangkan yang lain tidak ragu-ragu berbicara tentang jutaan tahun. Yang satu melihat dan menerima ada jurang antara iman dan ilmu yang tidak mungkin dijembatani, sedangkan yang lain bergumul mencari per samaan (kompromi yang baik) yang menyatu kan kedua nya secara komplementer.
• Kisah kerangka
Beberapa teolog yang sungguh-sungguh mempertahankan kebenaran Kitab Suci sebagai penyataan Allah, yang menginterpretasikan Kejadian 1 sebagai apa yang disebut ”kisah kerangka”. Pendapat ini mereka kembangkan berdasarkan struktur ayat-ayat itu sen diri (Doedens 2002, 71-108). Fakta-fakta karya Allah yang besar dan kom pleks yang tidak terpahami, diberitahukan-Nya sesuai dengan pengertian manusia dalam salah satu kerangka yang sederhana. Khususnya kesatuan ayat-ayat Kejadian 1:1–2:3 yang menun jukkan struktur literer yang gamblang (2.1.1; Doedens 2002, 82; bnd. Calvin 1985, Kitab I, Bab 14.3; Van den Brink 1996, 129; Kwakkel & Van Houwelingen 2011, Bab 1 dan 6), yaitu:a. 1:1-2 Pendahuluan – kop, ringkasan, informasi latar belakang.b. 1:3–31 Pelaksanaan – penciptaan dalam dua kali tiga hari (yang berjalan para lel); kesatuannya ditunjukkan oleh berbagai refrein, yaitu pengumuman (”Ber firmanlah Allah”), perintah (”…lah”), pelaksanaan (mis. ”Maka …”), dan penerimaan (”Allah melihat …”).
c. 2:1-3 Penyelesaian (hari ketujuh) – tujuan segala-galanya.
Doedens berpendapat bahwa pengisahan penciptaan dalam Kejadian 1 dan 2 bersifat polemis. Melawan allah-allah yang dijadikan oleh manusia (mis. di Babel dan Mesir), Allah menyatakan diri sebagai Allah yang hidup. Firman-Nya andal karena apa yang dikehendaki-Nya sungguh-sungguh terjadi. Dia yang mendahului dan bahkan mengatasi segala-galanya. Artinya, Dia sendiri tidak sama seperti allah-allah lain termasuk materi, sehingga karya penciptaanNya terbatas pada hanya pengaturannya, tetapi Dia yang menjadikannya dari tiada (Mzm. 33:9). Untuk menjelaskan perbedaan itu, Allah membuat penulis Kejadian (Musa) menggunakan struktur literer yang terkenal, tetapi isinya sangat berbeda dan unik. Doedens yang menunjukkan benang merah dalam struktur teks Kejadian 1. Dari pendahuluan ”bumi belum berbentuk dan kosong” pelaksanaan karya Allah semakin mencapai klimaks nya. Sesudah tiga hari pertama, bumi sudah berbentuk, sesudah tiga hari berikutnya bumi tidak lagi kosong. Lalu sesudah dua kali tiga hari kerja itu, pada hari ketujuh keadaan awal sudah terbalik: bumi telah berbentuk dan berisi. Karya Allah telah mencapai hasil yang di kehendaki-Nya hingga selesai: ”berhentilah Dia.”
Mengenai apa yang terjadi pada awal nya, Kitab Suci cukup jelas: Allah yang supernatural menjadikan langit dan bumi serta segala isinya (tidak ada sesuatu apa pun yang bukan hasil kehendak dan rencana-Nya). Peris tiwanya (fakta historis) tidak didiskusikan, sekali pun kita sendiri tidak menghadirinya. Mengenai cara dan bagaimana semuanya terjadi, memang banyak pertanyaan yang tim bul, justru karena kita sendiri mengalami dan mendalaminya (kenyataan praktis). Interpretasi Kejadian 1 dan 2 sebagai kisah yang mengikuti urutan kronologis, tidak mungkin menjawab semua pertanyaan itu, sehingga tetap ada ”celah’ antara iman dan pengetahuan/ilmu. Tetapi, meskipun konsep kisah kerangka juga tidak akan dapat me nyajikan semua jawaban, para pen dukungnya yakin bahwa Kejadian 1:1–2:3 sendiri mengizinkan ayatayat ini dibaca sebagai penggambaran logis dan tematis, memberikan ruang, baik untuk tetap menghormati Allah sebagai Pencipta segala-galanya maupun untuk meneliti alam semesta melalui observasi dan ilmu. Tidak penting lagi pertanyaan-pertanyaan seperti: Apa yang persis diciptakan pada hari kedua? Berapa lama setiap hari penciptaan berlangsung: 24 jam atau waktu yang panjang? Apakah Kejadian 2 terjadi pada hari keenam?
• Teori evolusi/evolusionisme
Walaupun para pendukung ”kisah kerangka” terbuka terhadap pengertianpengertian teori evolusi, mereka sama sekali tidak setuju dengan filsafat yang ada di belakangnya, yaitu bahwa semuanya berkembang sendiri tanpa campur tangan dari suatu ”kuasa supernatural”. Tentang evolusi pada tingkat mikro misalnya bahwa berbagai jenis tanaman berasal dari satu jenis induk, dan bahwa semua jenis anjing (yang jinak) berkembang dari satu jenis anjing (yang buas) pendapat-pendapat sebenarnya tidak begitu berbeda. Orang yang mempertahankan kebenaran Ilahi Kejadian 1 pun menerima nya tanpa keberatan. Sebaliknya, tentang evolusi pada tingkat makro misalnya bahwa manusia berasal dari kera, dan binatang-binatang darat dari binatang-binatang laut masih banyak terjadi silang pendapat, juga di antara para pendukung teori evolusi sendiri.
Pada masa kini hampir semua orang bertitik tolak dari prasangka bahwa bumi sudah berusia jutaan atau bahkan miliaran tahun. Menurut mereka bumi dengan segala isinya tidak diciptakan pada saat tertentu oleh tindakan Allah atau ”instansi luar” yang lain, tetapi berkembang sendiri secara bertahap dan kebetulan, dalam interaksi berbagai faktor yang acak: yang tinggi dari yang rendah, yang rumit dari yang sederhana, dan yang pandai dari yang bodoh. Melalui proses mutasi dan seleksi, hanya yang paling kuat yang maju dan menang (survival of the fittest). Sekarang ini tingkat evolusi yang tertinggi ialah manusia. Tetapi proses evolusi sudah pasti tidak berhenti di sana, melainkan berkembang terus. Apalagi, pengalaman dan penelitian menunjukkan bahwa kecepatan perkem bangan itu berlangsung semakin cepat.
Brink (2004, Bab 5.1) menjelaskan bahwa penetapan usia alam semesta pada miliaran tahun itu berdasarkan beberapa metode perhitungan, yaitu:
Teori evolusi perintisnya yang paling penting adalah Charles Darwin dalam bukunya The Origin of Species umumnya dipan dang sebagai ilmu yang hasilhasil penelitiannya tidak dapat ditolak oleh seorang pun. Padahal, kebenarannya belum pernah dikukuhkan dengan bukti-bukti yang objek tif. Baik tentang titik awal yang menggerakkan proses evolusi maupun tentang cara dan lamanya per kem bangan semua nya, para ilmuwan selalu bersilang pendapat. Teori ini misalnya tidak dapat membuk tikan apakah ada materi yang asasi, dan kalau materi itu ada, apa itu dan asalnya dari mana, dan apa strukturnya sehingga dapat menyebab kan ”ledakan besar” yang mengawali perkembangan segala-galanya. Sehubungan dengan hal ini, Reymond mengutip perkataan bhs. Latin ex nihilo nihil fit (dari tidak ada apa-apa tidak mung kin terjadi apaapa) sebagai nonnegotiable, absolu tely necessary idea for science. Jika demikian, mana mungkin orang ateis yang akan setuju bahwa pada awalnya tidak ada apaapa, mendasarkan ilmunya pada terjadinya big bang yang malah memerlukan ”sesuatu” yang dapat meletus. Mustahil bahwa sesuatu yang tidak ada, tibatiba muncul secara spontan atau secara kebe tulan menjadi sesuatu yang dapat disebut ”fakta ilmiah” (Reymond 1998, 119-121). Selain itu, banyak ”rangkaian” yang sampai sekarang tidak ditemukan (missing links), khususnya yang mengenai peralihan (”desendensi”) antara kelompok masing-masing, tidak tersedia keterangan yang me madai (pikiran bahwa terjadi lompatanlompatan dalam proses evolusi tentunya menentang ciri-ciri dirinya sendiri).
Kata ”teori” memang tepat karena semua pendirian tentang evolusi akhirnya bersifat hipotesis yang tidak ada buktinya. Teori evolusi sebenarnya tidak berbeda dengan iman Kristen, dalam arti didasarkan atas (pra)ang gapan dan keyakinan yang subjektif. Selama ilmu alam menye lidiki alam semesta sebagai realitas yang tampak dalam keberadaan dan perkembangannya, sambil membuka rahasia-rahasia yang terletak di dalamnya, ilmu itu sangat berman faat demi manusia melaksa nakan tugas pengelolaan langit dan bumi semakin baik. Tetapi ketika ilmu ini berpretensi dapat menjelaskan latar belakang dan asal-usul segala-galanya secara ilmiah, dan bahkan dapat mengkonstruksi realitas dari awalnya, seperti yang terjadi dalam teori evolusi, ilmu itu telah melampaui batas-batasnya, sehingga dari ilmu yang empiris, eksperimental, deskriptif, dan objektif (yang dasarnya: fakta) menjadi filsafat yang berhipotesis, preskriptif, dan subjektif (yang dasarnya: pen dapat, asumsi, penilaian). Karena sifatnya berubah dari ”teori” menjadi ”ajaran” atau ”pandangan” yang dibela sebagai fakta dan kebenaran, teori evolusi lebih tepat disebut evolusionisme (Brink 2008, Bab 5.1 dan 5.4).
Banyak teolog Kristen yang berusaha mencari keseimbangan yang baik antara ajaran Alkitab dan hasil-hasil ilmu alam, khususnya teori evolusi. Di antara mereka ada yang menerima begitu saja teori evolusi sebagai ”ajaran benar”, sambil menarik kesimpulan bahwa kisah penciptaan dalam Kejadian 1 dan 2 rupanya bersifat mitos (agama pun dianggap berevolusi dari panteisme dan politeisme ke arah monoteisme, dan akhirnya ateisme). Tetapi, kebanyakan dari mereka bergumul untuk menjembatani kebenaran Kitab Suci dan hasilhasil ilmu alam agar mencapai sintesis atau kom promi yang memperlakukan kedua-duanya dengan adil. Berkaitan dengan itu, dikembangkan visi-visi yang memikirkan interaksi antara Allah sebagai Pencipta yang adalah sumber segala-galanya dan evolusi sebagai proses penciptaan yang lama yang sebagian besar berlangsung sendiri, antara lain teori konkordisme (yang menafsirkan enam hari penciptaan sebagai enam periode geologis), teori diluvial (yang menekankan dampak air bah pada struktur bumi), teori ideal (yang menginterpretasikan enam hari penciptaan sebagai sudut-sudut pandang pada realitas alam semesta), dan juga Intelligent Design dan ”evolu sionisme yang teistis” (bnd. Van Genderen & Velema 1992, 250-260).
Teori evolusi berkaitan dengan teori emanasi (bnd. neo-platonisme). Ada kesamaan dalam pendirian, bahwa seluruh alam semesta berasal dari hanya satu sumber. Kemudian dua-duanya saling menentang. Menurut teori emanasi, semua kuasa ilahi mengalir keluar. Pada awalnya semua sangat baik karena baru, muda, dan kuat. Tetapi, karena makin jauh dari sumber, semuanya semakin lemah dan semakin perlahan. Kekuatan dan pengaruh sumbernya semakin kecil. Emanasi sering diumpamakan dengan sinar cahaya atau dengan sungai: selama dekat sumurnya, air masih segar dan arusnya kuat, tetapi kalau sudah dekat muara, airnya semakin kotor dan arusnya habis. Teori ini pun jelas bertentangan dengan ajaran Kitab Suci. Tetapi sebagai padanan teori ini, beberapa teolog memandang kejatuhan manusia ke dalam dosa sebagai sebab utama degenerasi dan disintegrasi yang semakin besar: dosa yang menyebabkan alam semesta di segala bidangnya semakin lemah dan cemar, dan akhirnya akan habis lenyap (lihat mis. masalah-masalah sampah dan polusi). Kurva yang naik (teori evolusi) diganti oleh kurva yang turun: alam semesta tidak maju berkembang, tetapi sebaliknya mundur mengaus. Meskipun dosa sangat berdampak pada berlangsungnya langit dan bumi (penting kita menyadarinya, bnd. Kej. 3:15-19; Rm. 8:19-22), tetapi teori ini pun tidak sesuai dengan data-data Kitab Suci maupun fakta-fakta pengalaman. Langit dan bumi dalam kelanjutannya tidak dikuasai oleh proses kemajuan maupun oleh proses degenerasi yang otomatis.
Menurut kreasionisme, Kejadian 1 bersifat laporan yang harfiah mengenai fakta-fakta sejarah. Allah yang menciptakan semuanya dengan ”sungguh amat baik” dalam 6 x 24 jam. Kemudian struktur langit dan bumi sangat berubah oleh malapetaka air bah yang didatangkan Allah sebagai hukuman (Kej. 7–8 ). Yang terjadi bukan evolusi melainkan revolusi. Timbulnya gunung-gunung disebabkan oleh kuasa-kuasa alam, yakni tekanan air. Sama halnya dengan pembentukan lapisan-lapisan bumi dan fosil-fosil yang ada di dalamnya. Menu rut kreasionisme, akibat-akibat air bah menyajikan keterangan yang secukupnya untuk melemahkan semua penalaran teori evolusi (bnd. Rehwinkel 1951; Van den Belt 2010, 345-350).
Meskipun kreasionisme tetap mempertahankan kebenaran Kitab Suci (dan bahkan ineransinya) dan menentang evolusionisme, pandangan ini pun merupakan teori dan hipotesis yang bukti nyatanya tidak dapat diberikan. Justru karena menafsirkan semua data Kitab Suci secara absolut dan menggunakan data-data alam sebagai bukti bagi kebenaran Kitab Suci (dari yang sebaliknya), semuanya dipaksakan ke dalam model kreasionisme (bnd. Van den Belt 2011, 348-349). Kreasionisme kurang memerhatikan bahwa apa yang Allah nyatakan dalam firman-Nya tidak lengkap. Ada banyak yang dirahasiakan-Nya yang tidak (atau belum) kita pahami. Ini berarti, tidak mungkin dan tidak perlu manusia menjawab semua pertanyaan dan mengatasi semua masalah mengenai kejadian dan keberlangsungan langit dan bumi, juga mengenai penyudahannya. Sudah tentu, semuanya berada dalam kuasa Allah yang berdaulat.
4. Kesimpulan
Dengan tegas Kitab Suci menyatakan bahwa Allah menciptakan langit dan bumi dengan segala isinya. Bagaimana persisnya Dia melakukan itu, tidak dinyatakanNya dan juga tidak dapat disimpulkan dari sejarah dan realitas alam semesta. Tuhan memang memberikan potensi-potensi besar kepada manusia (jelas dan nyata dari hasil-hasil yang diperolehnya), namun manusia tetap ciptaan yang terbatas kemampuannya. Yang terutama perlu kita pahami dan sadari ialah bahwa Allah mempunyai tujuan istimewa dengan langit dan bumi yang dijadikan-Nya, khususnya dengan manusia yang Dia percayai dan tugasi untuk mengolahnya lebih lanjut. Maksud Allah ialah supaya manusia melanjutkan apa yang dimulai-Nya sendiri, dalam relasi yang akrab dan yang penuh sukacita. Tidak ada gunanya manusia menonjolkan diri dengan mengembangkan berbagai pandangan yang kurang atau tidak mengindahkan kedaulatan Allah. Selayaknya setiap orang mengabdikan diri kepada Penciptanya, dan melakukan tugasnya dengan sukacita, demi kemuliaan Nama-Nya.
Penulis Kitab Amsal yang mengajarkan kepada kita sikap yang sepatutnya terhadap karya penciptaan Allah yang berdaulat:
”Dengan hikmat Tuhan telah meletakkan dasar bumi, dengan pengertian ditetapkan-Nya langit, dengan pengetahuan-Nya air samudera raya berpencaran dan awan menitikkan embun. Hai anakku, janganlah pertimbangan dan kebijaksanaan itu menjauh dari matamu, peliharalah itu, maka itu akan menjadi kehidupan bagi jiwamu, dan perhiasan bagi lehermu. Maka engkau akan berjalan di jalanmu dengan aman, dan kakimu tidak akan terantuk.” (Ams. 3:19-23)
b. Pemeliharaan
”Baiklah semuanya memuji nama Tuhan, sebab Dia memberi perintah, maka semuanya tercipta. Dia mendirikan semuanya untuk seterusnya dan selamanya, dan memberi ketetapan yang tidak dapat dilanggar.” (Mzm. 148:5-6)
Seluruh Kitab Suci membakar semangat kita untuk membesarkan nama Allah tanpa berhenti, misal nya Mazmur 148 yang merupakan satu dari lima nyanyian penutup Kitab Mazmur. Selain memuji Tuhan, kelima Mazmur ini jelas menyatakan alasannya. Nama Allah wajar dimuliakan karena perbuatan-perbuatan-Nya yang besar, yakni penciptaan, pemeliharaan, dan penebusan-Nya. Khususnya dalam nyanyian-nyanyian, umat Tuhan memuji karya Allah, misalnya penciptaan langit dan bumi dalam Mazmur 33 dan 104, pemeliharaannya dalam Mazmur 65, 67, dan 107, pemerintahan Allah sebagai Raja dalam Mazmur 47 dan 93, penebusan manusia dari keja hatan dalam Mazmur 22, serta 103. Banyak Maz mur, khususnya yang dikarang oleh Daud, berkaitan dengan peristiwa konkret yang dialaminya, misalkan pembebasan dari musuh yang mengancamnya (Mzm. 54) atau pengam punan dosa setelah pelanggarannya yang dahsyat (Mzm. 51). Dengan demikian Tuhan digambarkan sebagai ”Allah yang melakukan keajaiban” (”pembuat mukjizat”, Mzm. 77:15). Artinya, me lakukan mukjizat adalah ciri dan keahlian-Nya. Mazmur 146-150 merupakan final yang membawa semuanya ke puncak, yaitu pujian yang meriah bagi Tuhan. Semua perbuatan Allah membuat manusia mengaku bahwa segala-galanya berada dalam kuasa Allah ”untuk seterus nya dan selama nya” (Mzm. 148:6). Dia yang memerintah atas langit dan bumi dan yang melaksana kan rencana-Nya sampai selesai. Dialah Allah yang sesu dah karya awalnya penciptaan tetap hadir dan aktif. Dialah penjaga yang tidak terlelap dan tertidur, tetapi yang ”menjaga keluar masukmu, dari sekarang sampai selama-lamanya” (Mzm. 121). Semua nya sesuai dengan nama-Nya: Yahwe (Tuhan) yang menunjukkan Dia tetap ada: Aku adalah Aku (Kel. 3:14).
Sebagai Pencipta langit dan bumi (alam semesta, bhs. Inggris universe), Allah juga Pemiliknya. Daud mengaku bahwa ” Tuhanlah yang empunya bumi serta segala isinya dan dunia serta yang diam di dalamnya” (Mzm. 24:1). Yang berhak dan berwibawa atas karya-Nya ialah Allah sendiri. Dialah ”tuan alam semesta” (bnd. ”tuan rumah”). Ini bukan hak dan kuasa yang formal saja, tetapi sama seperti setiap pemilik, Allah memedulikan, memegang, dan mengurus kepunyaan-Nya. Dan sebaliknya, alam semesta bergantung seluruhnya pada kuasa dan pemeliharaan Pemiliknya. Setelah menjadikan langit dan bumi dengan segala isinya, Allah ”bertuan” atasnya, artinya Dia mengontrol, merawat, menyelenggara kan, dan memerin tah semuanya terus-menerus. Itulah pekerjaan-Nya mulai minggu kedua yang menyusul minggu pertama, penciptaan langit dan bumi dan seterusnya sampai sekarang (bnd. Why. 1:8). Berdasar kan prapengetahuan-Nya (bhs. Inggris foreknowledge) dan prakeputusan-Nya (bhs. Inggris decree), tanpa henti Allah memerhatikan dan bahkan mengurus keberlangsungan segala sesuatu, bukan hanya hal-hal yang besar seperti pergantian musim (Kej. 8:22; bnd. Mzm. 74:16-17), tetapi juga hal-hal yang terkecil seperti hidup aman bagi burung pipit atau jatuhnya helaihelai rambut dari kepala manusia (Mat. 10:29-31; bnd. KH, p/j 1).
Setelah mengaktifkan (bhs. Inggris activate) langit dan bumi yang diciptakan-Nya, Allah tidak menjauh kan diri atau membiar kannya berjalan sendiri, sebagai mana diajarkan oleh pandangan-pan dang an tertentu (lihat 3.8, btr 2), tetapi Dia memedulikannya terus-menerus. Seluruh alam semesta berlangsung menurut kehendak Pemiliknya, dan berkem bang sesuai dengan maksud-Nya, tahap demi tahap. Dia memang menetapkan hukum-hukum alam tertentu (Kej. 8:22), dan manusia pun dilibatkan-Nya untuk mengusaha kan langit dan bumi atas Nama-Nya (Kej. 2:15), tetapi Dia sendiri yang tanpa henti (bhs. Inggris non stop) aktif me mimpin segala-galanya. Dia bahkan bersangkut paut dengan penderitaan, kekerasan, dan kejahatan yang terjadi sesudah langit dan bumi dicemarkan oleh dosa. Hal-hal ini khususnya yang membuat banyak orang meragukan kemahakuasaan Allah. Tetapi dengan gamblang dinyatakanNya bahwa tidak terjadi sesuatu apa pun di luar kehendak dan kontrol-Nya. Calvin yang mengumpamakan Allah dengan seorang pengemudi kapal: ”… apa yang disebut ’provi densi’ tidak berarti Allah memandang tanpa daya dari surga apa yang terjadi di atas bumi, tetapi Dia, seakan-akan memegang kemudi, memerintah semua peristiwa” (Calvin1985, I, Bab XVI.4).
Sebagai Pencipta langit dan bumi, Allah juga Pemilik yang memedulikan dan mengurus kepunyaan-Nya dengan terusmenerus. Tidak terjadi sesuatu apa pun di luar kehendak dan kontrol-Nya.
Berikut ini, kita lebih dahulu membicarakan nama, definisi, dan pembagian pokok providensi Allah. Selanjutnya kita membahas data-data Kitab Suci mengenai pokok ajaran ini, serta ringkasan nya dalam pengakuanpengakuan iman gereja. Dibahas berbagai aspek providensi Allah, termasuk muk jizat, penderitaan, kejahatan, doa, dan juga soal-soal seperti hukuman, nasib, dan untung. Dalam semuanya itu kita juga menyoroti pandanganpandangan tertentu di bidang agama dan teologi.
1. Nama
Nama yang menunjukkan ciri khas aktivitas Allah di bidang pemeliharaan dan pemerintahan langit dan bumi, adalah ”providensi”. Kata itu berasal dari kata bahasa Latin providentia (bhs. Yunani pronoia). Arti harfiah kata kerja providere ialah ”melihat ke depan” atau ”melihat sebelum nya” (sedangkan pronoia berarti ”pengetahuan sebelumnya”). Tetapi yang khusus ditonjolkan dalam penggunaan kata itu ialah tanggapan pada apa yang dilihat atau diketahui-Nya sebelumnya, yaitu ”menyediakan” (untuk me menuhi apa yang dibutuhkan) atau ”menentukan” (untuk mencegah terjadi kekurangan, kerugian, atau juga malapetaka). Dengan arti yang demikian kata providere ini dipakai Vulgata (terjemahan Alkitab bhs. Latin) dalam Kejadian 22:8 (bnd. ay 14; Ibr. 11:40). Meskipun Kitab Suci tidak menggunakan kata ini sebagai istilah khas untuk pimpinan, pemeliharaan, dan pemerintahan Allah, tetapi pengertian nya terpancar dalam seluruh Kitab Suci (Berkhof 1993, hlm 311). Allah terlibat secara aktif dan proaktif dalam keberlangsungan penciptaan-Nya. Dia tidak membiarkannya untuk berkembang sendiri, atau menye rahkannya kepada manusia (lepas tangan). Sebaliknya, Dia sendiri mengurusnya dan bertindak di dalamnya (campur tangan, tidak secara insidental tetapi kontinu). Dia yang memerhatikan, mengawasi, memimpin, me lindungi, dan memelihara alam semesta. Dia juga menyela matkan dan membarui nya. Allah selalu aktif, sebelumnya dan sesudah nya, secara langsung atau dengan memakai saranasarana tertentu. Jadi seluruh Kitab Suci memberi kesaksian tentang providensi Allah dalam arti luas yang disebut di atas.
Untuk providensi Allah itu Kitab Suci menggunakan istilah-istilah yang beraneka ragam, seperti ”berkuasa” (Yes. 63:1; Dan. 4:17, 25, 32; Rm. 4:21; 2Tim. 1:12; tentang Kristus: Mat. 7:29; 9:6; 28:18; Mrk. 2:10; Yoh. 10:18; Rm. 1:4; Why. 1:5), ”menyediakan” (Kej. 22:8; Mzm. 78:20; 132:17; 147:8; Yes. 26:12; Zef. 1:7; Mat. 20:23; 25:34; Luk. 2:31; Yoh. 14:2; 1Kor. 2:7, 9; 2Kor. 5:1; Ibr. 11:40), ”memelihara” (Ul. 11:12; Mzm. 55:23; 97:10; 116:6; 2 Tes. 3:3; 1Ptr. 5:7), ”mengawasi” (Ul. 11:12; 32:10; Ayb. 10:11; Mzm. 66:7; Ams. 5:21; 15:3), ”memerintah” (Kel. 15:18; Hak. 8:23; Mzm. 22:29; 47:9; 59:14; 66:7; 67:5; Yes. 24:23; Yeh. 20:33; dst), dan juga ”membarui” (Mzm. 104:30). Dapat ditambahkan istilah-istilah lain, misalnya apa yang dikatakan dalam Kitab Suci tentang pikiran, mata, dan tangan Allah (bnd. Calvin 1985, I, Bab XVI.4; Van Genderen & Velema 1992, 269).
2. Definisi
Providensi Allah dapat didefinisikan secara sederhana sebagai pimpinan aktif Allah atas seluruh ke beradaan dan keberlangsungan langit dan bumi (Van den Brink 1996, 230) atau secara umum sebagai kegiatan Allah di bidang pemeliharaan dan pemerintahan keseluruhan ciptaan-Nya (Tiessen 2000, 15). Dalam providensi-Nya tampak berbagai sifat Allah, misalnya Dia mahatahu, mahakuasa, dan mahahadir (Berkhof 1993, 314; Erickson 2004, 619). Saya usulkan definisi yang lebih lengkap, sebagai berikut:
Providensi Allah menunjukkan segala kegiatan dan tindakan Bapa, baik perencanaan maupun pelak sanaan, yang telah ditentukanNya sebelum dunia dijadikan (Ef. 1:3-14), untuk membawa langit dan bumi yang diciptakan-Nya dan yang kemudian dicemarkan oleh manusia, oleh keselamatan Anak-Nya dan pimpinan Roh-Nya ke tujuannya yang kekal.
3. Pembagian
Mengenai pembagian providensi Allah, tampaknya dipakai dua cara. Yang satu (I) bertitik tolak dari objek providensi (apa dan siapa yang dipelihara), sedangkan yang satu lagi (II) membedakan bagian-bagian providensi menurut sifat (ciri-cirinya).
Pembagian I (menurut objek providensi Allah)
Pembagian providensi Allah menurut objeknya sebagai berikut:
• Umum • Khusus • Teramat khusus |
• Umum (bhs. Latin providentia generalis): Allah memelihara seluruh ciptaan-Nya tanpa kecuali, yaitu langit dan bumi atau alam semesta, dengan segala isinya, termasuk manusia. Providensi ini menyangkut keseluruhan karya penciptaan Allah (Ayb. 38-39; dll). Manifestasi Allah dalam provi densi yang umum ini lazim disebut ’penyataan umum’ dan ’anugerah umum’.
• Khusus (bhs. Latin providentia specialis): karena manusia diciptakan Allah sesuai dengan gambar dan rupa-Nya, dan karena Dia memberikan tugas dan posisi sebagai ”wakil” atau ”bendahara” kepadanya, manusia merupakan objek pemeliharaan Allah yang istimewa. Semua orang di dunia, tanpa kecuali, adalah ciptaan Allah, juga wakil Allah. Setiap orang, bersama-sama dan secara pribadi, mengalami kebaikan-Nya, dan juga kesabaran-Nya, entah mereka mengetahuinya atau tidak.
• Teramat khusus (bhs. Latin providentia specialissima): dari seluruh manusia, Allah khususnya memelihara semua orang yang memenuhi kehendak-Nya dan yang memuliakan nama-Nya. Atas dasar kasih, pemilihan, dan anugerah Tuhan, mereka diselamat kan-Nya oleh Anak-Nya, sehingga disebut anak-anak Tuhan. Dalam relasi yang akrab (perjanjian), Tuhan bergaul dengan mereka. Dia justru melibatkan mereka, bersamasama dan secara pribadi, dalam pelaksanaan rencana-Nya.
Menurut pembagian ini, seluruh hasil penciptaan Allah adalah objek per hatian dan pemerintahan- Nya, dalam lingkaran-lingkaran yang semakin intensif (dari luar ke dalam). Dalam praktik ini berarti bahwa manusia puncak penciptaan Tuhan mengalami providensi Allah dua kali lipat, padahal semua orang percaya baik secara pribadi maupun bersama-sama sebagai umat Tuhan/jemaat Kristus mengala mi nya tiga kali lipat. Sehubungan dengan ini, Reymond membedakan antara perbuatan-perbuatan Allah yang biasa dan yang khas (ordinary and special works; Reymond 1998, 399; juga Berkhof 1993, 318; bnd. Ul. 32:8-9).
Pembagian di atas lebih meyakinkan daripada pembagian yang diusulkan Helm. Dia pun membedakan ”tiga konteks” tetapi pengisiannya berbeda, yaitu, 1) orang Kristen perorangan (individual Christians), 2) semua orang Kristen atau gereja Kristen (Christian church), dan 3) semesta alam (universe), termasuk semua orang yang tidak percaya kepada Allah (Helm 1993, 18-21).
Pembagian II (menurut sifat providensi Allah)
Pembagian menurut sifatnya sebagai berikut:
• Pemeliharaan • Pemerintahan • Kerja sama |
• Pemeliharaan (bhs. Latin conservatio, sustentatio): dengan perawatan yang konkret Allah Pencipta melindungi dan menjamin keberlangsungan alam semesta, dan bahkan mengurus pengolahan nya. Kepada segala yang ada Tuhan memberikan perhatian yang aktif agar tetap berada, bertahan, berkembang, dan mencapai tujuannya. Contoh sederhana: Allah yang menciptakan padi, juga membuat padi itu bertumbuh dan berbiji, hingga menjadi beras dan akhirnya nasi. Bagian ini khususnya menekankan kenya taan Allah yang menyediakan segala yang dibutuhkan untuk langit dan bumi agar berjalan terus. Khususnya manusia menerima dari tanganNya segala kebutuhan rohani dan jasmani (bnd. KH, p/j 118).
• Pemerintahan (bhs. Latin gubernatio): bagian ini khususnya menekankan pimpinan Allah, yang sebagai Pencipta mempunyai hak milik atas segalagalanya. Karena itu, Dia pun yang berkuasa atasnya dan memimpinnya sesuai dengan kehendak-Nya dan menuju tujuan-Nya. Dialah Raja atas semua raja yang memerintah dengan tangan yang teguh (mis. Mzm. 93; 97; 99). Dalam pemerintahan-Nya, Dia yang mengontrol, mengizinkan, melarang, menentang, dan yang juga membiarkan (Mzm. 2; 7; 68; 72; 93; 145). Dia yang menetapkan hukum-hukum dan mengawasi keadilan, kesejahteraan, dan damai (bnd. Mi. 6:8). Pemerintahan Allah ini digenapkan oleh Anak-Nya yang menerima segala kuasa di surga dan di bumi (Mat. 28:18; bnd. Flp. 2:5-11). Akhirnya, Dia akan mendatangkan Kerajaan Surga di langit dan bumi yang baru. Umat-Nya yang setia, yang diselamatkan oleh Kris tus serta dipimpin oleh Roh Kudus, mempunyai kewargaan di surga, sedangkan musuh-musuh-Nya yang memberon tak melawan Dia, yang dikuasai oleh Iblis, akan dihakimi. Kebenaran Allah memerintah atas langit dan bumi sering dinyatakan-Nya dalam peristiwa-peristiwa yang terjadi, entah itu mukjizat-mukjizat atau bencana dan malapetaka.
Sering ditambah dengan (bnd. Berkhof 1993, 314-315):
• Kerja sama (bhs. Latin concursus, cooperatio): manusia diciptakan Allah sebagai makhluk yang pandai dan sosial, bebas dan bertanggung jawab. Sifat-sifat itu membuatnya sendiri dan lebih lagi bersama-sama mampu berkuasa atas langit dan bumi, dalam pergaulan dan interaksi yang erat dengan Tuhan. Tetapi karena manusia murtad, kerja sama yang indah itu tiba-tiba dibalik kannya menjadi per saingan. Karena dosa, manusia mau mengurus dan melakukan providensi itu sendiri, lepas dari Tuhan dan juga lepas satu dari yang lain. Dengan itu ia merintangi rencana Tuhan. Ketika berhasil, ia malah memegahkan diri sendiri. Tetapi bila gagal dan tidak berhasil, ia lang sung menyalahkan Tuhan. Walaupun ia tidak mau menerima pimpinan Allah, tampak nya ia masih merasa bahwa ”TUHANlah yang menentukan arah langkahnya” (Ams. 16:9).
Untuk keselamatan nya dari kuasa dosa dan Iblis, manusia ternyata tidak dapat berbuat apa pun untuk dirinya sendiri. Untuk itu ia sematamata bergantung dari anugerah Tuhan. Tetapi sesudah ia diselamatkan dan kembali menaati kehendak Allah, Allah kembali berkenan melibatkan manusia secara pribadi dan bersama-sama dalam realisasi rencanaNya yang semula (Kej. 1:26-28). Artinya, manusia kembali bergaul dengan Tuhan dan melayani Dia dengan setia dan mengabdi. Segala tanggung jawab dan perbuatan manusia semakin terjadi dalam rangka realisasi kehendak Tuhan. Mereka kembali berinteraksi dalam berjalan bersama-sama (concursus) dan bertindak bersama-sama (cooperatio).
1. Data-data Kitab Suci
Bavinck dengan tepat menekankan bahwa seluruh Alkitab adalah buku providensi Allah (Van Genderen & Velema 1992, 269). Demikian juga Sproul, yang mengatakan bahwa ”providensi Allah mencakup seluruh skopus teologi” (Hagopian 1996, x). Sama seperti karya penciptaan, providensi Allah yang menyusul nya, adalah all inclusive. Dari awal sampai akhir, Kitab Suci menyatakan dengan gamblang dan konkret bahwa Allah sendiri tetap memerhatikan semua yang diciptakan-Nya dan menjamin keberlangsungannya. Pemeliha raan dan pemerintahan-Nya ialah tindakan aktif Allah yang mengenai segala-galanya tanpa kecuali. Apa saja yang Tuhan lakukan, kecuali pencip taan langit dan bumi (karya awal-Nya), hendaknya dipandang termasuk pemeliha raan dan pemerintahan-Nya (karya lanjutan-Nya). Sesuai dengan Bavinck, ”pen ciptaan yang melahirkan keberadaan, providensi yang mengenai keberlang sungan keberadaan itu” (Bavinck 2004, 591). Keselamatan dunia oleh Anak-Nya, Yesus Kristus pun, hendaknya dianggap sebagai bagian khas providensi Allah. Karya keselamatan Kristus tepat disebut pusat atau inti sejarah. Dengan demikian semuanya yang ada dan yang terjadi – apa saja, di mana saja, dan kapan saja – berada di bawah kontrol Allah yang aktif dan sengaja. Dia yang menggendong, memelihara, dan memim pin segala-galanya, agar akhirnya tercapai tujuan yang telah ditetapkan-Nya jauh sebelum nya (Ef. 1:9-12; bnd. Helm yang dengan tepat menekankan bahwa apa saja yang terjadi dalam hidup kita juga yang menurut anggapan kita jahat dan kosong tidak mungkin tidak berguna, karena provi densi Allah selalu mempunyai maksud, Helm 1993, 18 dan 23).
Seluruh Alkitab adalah buku providensi Allah. Providensi Allah adalah all inclusive.
Yang berwibawa itu Allah
Karena Allah yang menciptakan segala-galanya, Dia pun yang mempunyai hak milik dan berwibawa atasnya. Dan karena Dia ”tuan” alam semesta nama bahasa Ibrani Adonai berarti Tu(h)an (nama bhs. Kupang Bos berasal dari bhs. Inggris boss) Dia pun yang berkuasa atasnya dan mengurusnya sesuai dengan kehendak-Nya dan menuju ke tujuan yang ditentukan-Nya. Dalam Kitab Suci, Allah diakui sebagai ”Tuhan yang empu nya bumi serta segala isinya” (Mzm. 24:1; bnd. 1Kor. 10:26), dengan arti Dia yang berdaulat atas karya tangan-Nya. Yang memiliki sesuatu, juga berhak mengurusnya. Demikian halnya dengan Tuhan yang memiliki semesta alam, termasuk manusia (mis. Mzm. 82:8). Milik khusus-Nya ialah umat per janjian-Nya, Israel (Mzm. 74:2; 94:14; 135:4; Yes. 1:3; 19:25; Za. 2:12), dan tanah pusaka mereka (Kej. 17:8; Im. 25:23). Dan pada masa PB, Anak Allah yang memiliki segala-galanya, khususnya orang percaya dan yang ditebus-Nya (antara lain Mat. 28:18; Yoh. 17:10; Rm. 7:4; 14:8; 1Kor. 3:23; 15:23; Gal. 3:29; Ef. 1:14). Sudah tentu, Allah tidak mengurus milik-Nya dengan semena-mena dan menurut kesukaan-Nya saja, tetapi menurut kebijakan yang berdasarkan hikmat dan rencana-Nya. Karena ”segala sesuatu adalah dari Dia, dan oleh Dia, dan kepada Dia” (Rm. 11:36).
Dalam suatu nubuat Yeremia (Yer. 18–19 ) Allah mengumpamakan diri sendiri dengan seorang tukang periuk (penjunan). Tukang periuk bebas untuk membentuk tanah liat menjadi bejana ”menurut apa yang baik pada peman dangannya” (Yer. 18:4). Apabila bejana yang sedang dibuatnya rusak atau malah tidak sesuai dengan rencana nya, ia mengerjakannya kembali. Kalau nanti bejana itu tidak berguna, ia pun berhak untuk memecahkannya (Yer. 19:10-11). Mengenai hak tukang periuk itu, tidak seorang pun yang akan mengkritiknya. Setiap orang akan mengakui kewibawaan tukang periuk atas bahan yang dipakainya dan hasil yang dicapainya, dan juga haknya untuk menentukan apa yang selanjutnya terjadi dengan bejana itu. Dengan demikian Allah sebagai Pencipta dan Pemilik langit dan bumi berdaulat untuk mengurusnya sesuai dengan kehendak-Nya. Tepat kata-Nya, ”Sungguh, seperti tanah liat di tangan tukang periuk, demikianlah kamu di tangan-Ku, hai kaum Israel” (ay 6). Juga mengenai bangsa dan kerajaan lainnya, Tuhan yang berwibawa untuk ”mencabut, merobohkan, dan membinasakannya,” atau sebaliknya ”membangun dan menanam” mereka.
Yang memelihara dan memerintah itu Allah
Jelas dari seluruh Kitab Suci bahwa Tuhan tidak pernah lepas tangan terhadap seluruh karya pencip taan-Nya. Sete lah Dia selesai menjadikan langit dan bumi dengan segala isinya, Allah tidak mengundur kan diri ke surga, dengan sikap acuh tak acuh dan non-aktif. Dia tidak meninggalkan perbuatan tanganNya (Mzm. 138:8), tetapi sebalik nya Dia selalu memedulikannya. Artinya, Dia tidak membiarkan atau hanya mengamati karya-Nya berlangsung dengan sendirinya atau dengan sewenang-wenang, tetapi Dia membim bing alam semesta dalam keberlangsungannya itu. Dengan demikian Dia berkuasa atas segala-galanya secara aktif, sesuai dengan rencana dan kehendak-Nya yang kekal.
Awal Kitab Suci (Kej. 1) melaporkan tentang Allah menjadikan langit dan bumi, laut, dan segala isinya. Bersama dengan itu diciptakan-Nya waktu, musim, cuaca, sejarah, dan lain-lain. Selain itu, demi kelan jutannya, Dia menetapkan hukum-hukum dan aturan-aturan. Kita juga membaca bahwa Dia memercayakan semuanya kepada manusia sebagai wakil-Nya untuk mengusahakannya. Banyak ayat Alkitab yang mengiakan apa yang dinyata kan dalam pasal-pasal pertamanya. Demi kian halnya dengan keberlang sungan segala ciptaan, langsung berada di bawah pemerintahan dan pengurusan Allah (mis. Mzm. 93; 97; 104:27-30; 147; Mat. 6:25-34; Rm. 8:31-39). Alkitab tidak berhenti menegaskan bahwa Tuhan yang mengawasi dan melin dungi segala ciptaan-Nya secara kontinu. Dia tidak pernah terlelap atau tertidur, tetapi selalu berjaga-jaga dan aktif (Mzm. 121). Sebagai yang berdaulat, Dia merasa bertanggung jawab. Dia yang berprakarsa dan membuat semuanya mencapai tujuannya. Selain arsitek dan pen cipta langit dan bumi, Dia juga pengurus, perawat, dan pemimpin nya. Artinya, Dia yang mencip takan tanaman, juga membuat nya bertumbuh, berbiji, dan bertambah. Dia yang memberikan tugas dan tanggung jawab kepada manu sia untuk memenuhi langit dan bumi dan berkuasa atasnya, juga membuat ia sanggup untuk melaku kannya. Dengan kata lain: Dia yang melaku kan produksi, juga menjamin dan bahkan mengurus reproduksinya.
Allah yang berkuasa atas segala-galanya secara aktif, sesuai dengan rencana dan kehendak-Nya yang kekal. Selain arsitek dan pen cipta langit dan bumi, Dia juga pengurus, perawat, dan pemimpin nya.
• Allah adalah Yang Mahakuasa
Kitab Suci menyebut berbagai nama, sikap, dan sifat Allah yang menunjukkan ciri-ciri provi densi-Nya. Pertama-tama nama-Nya Yahwe – ”Aku adalah Aku” atau ”Aku ada” (Kel. 3:14) berarti Dia selalu hadir, yaitu untuk melakukan apa yang direncanakan atau dijanjikan-Nya. Nama ini menunjukkan bahwa Dia aktif, setia, dan mantap. Ber kaitan dengan itu, Dia tepat disebut sebagai Yang Mahahadir, Yang Mahatahu, dan Yang Mahasetia, karena Dia melihat, mendengar, dan menge tahui segala sesuatu. Allah tidak pernah alpa atau pasif, tidak pernah lemah atau tidak mampu. Dalam semua hal itu tidak ada yang sebanding dengan Dia. Melihat berbagai tindakan Allah yang semuanya sesuai dengan sikap dan sifat-Nya, Dia digambarkan antara lain sebagai
- Raja yang memerintah atas alam semesta (Mzm. 93; 97; 99; kata ”teokrasi” berarti Allah yang memerintah),
Panglima atau Pahlawan yang mengepalai pasukan-pasukan-Nya (antara lain Mzm. 84:1 dan Kel. 15:3; bnd. Ayb. 25:3; nama bhs. Ibrani Yahweh Sebaot, yang dalam TB LAI diterjemahkan ”Tuhan semesta alam”, berarti ” Tuhan, kepala pasukan-pasukan”),
- Suami yang memelihara umat perjanjian-Nya sebagai istri-Nya (mis.
Yeh. 16),
- Bapa yang merawat umat perjanjian-Nya sebagai anak-anak-Nya
(antara lain Mat. 5–6 ),
- Gembala yang memerhatikan umat-Nya sebagai kawanan domba-Nya
(Mzm. 23; Yoh. 10).
Banyaknya nama itu menyatakan bahwa Allah memedulikan alam semesta dengan penuh rasa tanggung jawab.
Di Sumba terdapat peribahasa ”Allah punya telinga besar.” Perkataan ini digunakan lebih dahulu berkaitan dengan agama lokal Marapu, tetapi kemudian ”direbut” oleh gereja untuk menggambar kan salah satu ciri Tuhan. Sebutan ini khususnya dipakai untuk menekankan bahwa Allah mendengar (juga: melihat, mengetahui) segala-segalanya. Tidak ada apa pun, betapa kecilnya, yang melewati telinga-Nya. Selain itu, Dia tidak perlu membagi-bagi perhatian-Nya pada masing-masing hal yang terjadi, dengan kekhawatiran bahwa Dia melupakan atau tidak mengindahkan sesuatu, tetapi sebagai Allah Ia mampu memedulikan semuanya seratus persen! Kalau misalnya 500 orang yang masing-masing menaikkan doa pada saat yang sama, Tuhan mendengar semuanya dengan lengkap, sempurna.
Berkaitan dengan providensi-Nya, nama Allah yang paling menonjol ialah Yang Mahakuasa. Dengan nama itu Dia menyatakan diri kepada Abraham (Kej. 17:1). Keturunan Abraham pun mengenal Dia sebagai Yang Mahakuasa (Kej.; Kel. 6:1-7). Di kemudian hari Naomi mengakui banyaknya malapetaka yang ia alami di Moab, datangnya dari ”Yang Mahakuasa” (Rut 1:20-21). Ayub pun dalam penderi taannya mengiakan kemahakuasaan Allah (banyak terdapat dalam Kitab Ayub). Dalam me nyampaikan pesan-pesan Tuhan, para nabi pun berbicara tentang Allah sebagai Yang Maha kuasa. Dalam PB, nama Yang Mahakuasa sering dipakai dalam Kitab Wahyu, berhubungan dengan kesudahan segala-galanya (mis. Why. 1:8). Kemahakuasaan Allah juga nyata dalam ungkapan Anak-Nya, Yesus Kristus, ”Kepada-Ku telah diberikan segala kuasa di surga dan di bumi” (Mat. 28:18).
Semua nama dan sifat lainnya berpadu dalam sebutan Yang Mahakuasa itu.
Kemahakuasaan Allah berarti bahwa segala yang ada dan yang terjadi, yang besar maupun yang kecil, berposisi di bawah Allah, dan bergan tung padaNya secara total. Alam semesta tidak terjadi atas kuasanya sendiri (”lahir” secara kebetulan, melalui evolusi), tetapi dijadikan Allah (menurut rencana, dengan sengaja, dari tidak ada apa-apa), dan juga tidak dapat berlanjut atas kuasanya sendiri, tetapi dalam keberlangsungannya semata-mata bergan tung pada Allah (KH, p/j 27; bnd. Brink 2008, 63). Segala-galanya berada dan juga berlangsung atas ”nafas suara-Nya” (bnd. Mzm. 29:3-4; 68:34; 104:2730; Kis. 17:28). Dengan demi kian, dalam providensi-Nya, Allah khususnya menyatakan diri sebagai Yang Mahakuasa agar jelas bahwa tidak ada (si)apa pun yang dapat berada dan berkembang di luar Dia dan karena itu di atas Dia.
Sama seperti nama Yahwe, nama Yang Mahakuasa khususnya berarti dalam relasi akrab dan per gaulan erat antara Allah dan umat per janjianNya, dan dalam pelaksanaan rencana Allah untuk mendatangkan langit dan bumi yang baru bagi umat pilihan-Nya. Tidak terjadi suatu apa pun di luar kehendak Allah yang berdaulat sebagai Yang Mahakuasa, entah Dia sendiri yang menghendakinya atau Dia mengizinkannya (bnd. Wright, 102-103).
Nama Yang Mahakuasa berarti bahwa segala yang ada dan terjadi berposisi di bawah Allah, dan bergan tung pada-Nya secara total.
• Allah adalah Yang Mahabaik
Berkaitan dengan providensi Allah, Alkitab juga menegaskan Dialah Allah yang baik. ”Tuhan itu baik” adalah pengakuan yang lazim dalam Kitab Mazmur (mis. Mzm. 25:8; 34:9; 100:5; 119:68; 145:9). Allah dimuliakan karena kebaikanNya (Bil. 10:32; Ul. 28:11; Neh. 9:25; banyak mazmur antara lain Mzm. 25:7; Ef. 2:7; 1 Ptr. 2:3). Segala yang Allah lakukan dalam provi densi-Nya semata-mata baik, sama seperti penciptaan-Nya adalah ”sungguh amat baik” (Kej. 1:31). Kebaikan Tuhan itu sama sekali tidak cocok dengan kejahatan, tetapi justru adalah lawannya. Mustahil kejahatan berasal dari Dia (PIGB, ps. 13; lihat di bawah, 3.7, btr 4). Menurut Kitab Suci, yang baik ialah semua yang sesuai dengan kehendak Allah, sedangkan yang jahat ialah semua yang bertentangan dengan kehendak-Nya (bnd. penilaian terhadap hakim-hakim dan raja-raja Israel; lihat Kitab-kitab Hakim-hakim dan Raja-raja).
Tepat bila Allah disebut Yang Mahabaik (bnd. Mzm. 136:1). Mustahil Dia menjadikan atau melaku kan apa yang tidak baik, yang jahat (bnd. 1Yoh. 1:5). Jika demikian halnya, dari mana segala kejahat an yang ada? Karena ternyata, alam semesta penuh dengan kejahatan (pembunuhan, perang, penganiayaan, korupsi), bencana (gempa bumi, tsunami, kecelakaan, polusi), dan penderitaan (penyakit, cacat, depresi). Keadaan ini menimbulkan pertanyaan, ”Apa sebenarnya urusan Allah dengan semua sengsara itu?” Kitab Suci memang menerangkan bahwa selain memberkati apa yang baik, Tuhan dalam kemarahan-Nya mengutuk dan menghukum (si)apa yang jahat (Im.26; Ul. 28; Why. 17-20). Tetapi, kalau semua kejahatan itu tidak menu rut kehendak Allah, apakah benar semuanya itu menurut rencana-Nya? Kalau Dia mahabaik, mana mung kin Dia membiarkan atau mengizinkan semua kejahatan itu terjadi? (Lihat di bawah, 3.7, btr 4.)
• Allah menetapkan hukum-hukum
Demi kelanjutan langit dan bumi yang diciptakan-Nya, Allah juga menetapkan hukum-hukum tertentu. Alam semesta tidak berlangsung secara kebetulan atau dengan kesewenang-wenangan, juga tidak dengan sendirinya atau secara mekanis, melainkan secara dinamis berdasarkan aturan-aturan yang ditentukan Allah dalam hikmat dan kedaulatan-Nya. Hal itu secara khusus kita alami dalam hidup kita sendiri (pembiakan dengan pembuah an; dari kecil bertumbuh menjadi dewasa) dan dalam alam di sekitar kita (pergantian musim, iklim, cuaca, dan lain-lain). Kitab Suci jelas menyatakan bahwa Allah membuat semuanya berlang sung dengan teratur (antara lain Kej. 8:22; Ayb. 38-42; Kis. 17:26).
Sebagai Pencipta dan Raja yang menentukan semua hukum itu, Allah sendiri tidak terikat padanya, juga tidak dibatasi olehnya (Van den Brink 1996, 235). Dia yang menetapkan semua aturan itu, juga mampu dan berhak untuk menunda, mengubah, atau bahkan meniadakannya. Alkitab menyajikan berbagai contoh yang gamblang yang menjelaskan bahwa Tuhan yang Mahakuasa melebihi semua hukum yang ditetapkan-Nya (mis. Yos. 10:12-14; 2 Raj. 5). Hal itu nyata secara istimewa dalam mukjizat-mukjizat yang Allah laku kan. Kitab Mazmur dengan tepat menggambarkan Tuhan sebagai ”Allah yang melakukan keajaiban” (”pembuat mukjizat”, Mzm. 77:15). Artinya, melakukan mukjizat adalah ciri khas-Nya.
Setiap kali Tuhan menyimpang dari apa yang ditetapkan-Nya (untuk itu Dia pasti mempunyai alasan yang mendasar), kita mengalaminya sebagai hal yang bertentangan dengan pengertian kita. Bagi kita, mukjizat-mukjizat Allah (mis. Yos. 10:12-14; 2Raj. 6:1-6; Yun. 4:6-9) dan tanda-tanda ajaib yang dilakukan oleh Anak-Nya, Yesus Kristus, (mis. Mat. 8-9; Mrk. 6:30-44; Yoh. 11) ”tidak masuk akal”. Karena itu, kita cenderung meragukan kebenaran nya, pada hal kita menyaksi kan hal-hal yang bersifat ”supernatural” itu benar-benar terjadi sehingga tidak mungkin ditolak. Daripada me ragukan kedaulatan Allah, lebih baik kita memuliakan-Nya sambil mengakui bahwa pengertian kita sangat terbatas dan pengetahuan kita hanya fragmentaris (itu biasanya alasan-alasan yang kita kemukakan dalam pergaulan antar manusia). Dari memaksakan Allah ke dalam bagan-bagan pemikiran kita, hendaknya kita menerima bahwa bagi Dia memang tidak ada yang mustahil (lihat di bawah, 3.7, btr 4).
• Allah menggunakan sarana-sarana
Dalam providensi-Nya, Allah bertindak secara langsung dan juga secara tidak langsung. Seperti tadi dijelaskan, Dia menentukan hukum dan aturan. Selain itu Dia berkenan menggunakan berbagai sarana untuk melakukan pemeliharaan-Nya (bnd. PAD, III/IV.17), misalnya hujan dan cahaya mata hari untuk menumbuhkan tanaman, obat-obatan untuk menyembuhkan penyakit, dan guru-guru untuk mengajarkan pengetahuan kepada manusia. Saranasarana yang dipakai Allah itu jangan kita anggap remeh karena pikiran kita yang salah bahwa kuasa Allah baru akan menonjol kalau Dia bertindak secara langsung melalui mukjizat atau tindakan ajaib (Van Genderen & Velema 1992, 274). Dalam tanda-tanda penyembuhan-Nya, Yesus pun sering memakai cara yang tidak langsung. Peris tiwa yang paling menge jutkan agaknya adalah penyembuhan seorang buta di Betsaida. Setelah Yesus meludahi mata orang itu dan meletakkan tangan-Nya atasnya, orang itu belum dapat melihat dengan baik. Baru sete lah Yesus sekali lagi meletakkan tangan-Nya di atas mata orang itu, orang itu sembuh. Dari konteksnya jelas, Yesus bukan kurang mampu melainkan Dia mempunyai maksud istimewa dengan tindakan-Nya itu (Mrk. 8:22-26).
Anekdot yang berikut ini terkenal: karena banjir besar seseorang duduk di atas bubungan atap rumahnya sambil berdoa minta pertolongan Tuhan. Lewat perahu motor yang memang sudah cukup penuh. Orang itu diundang masuk, tetapi ia tidak mau, katanya, ”Kalian terus saja. Tuhan pasti akan menolongku.” Ketika air tambah naik, datanglah kapal brigade penyelamat. Tetapi orang itu berseru: ”Nggak perlu. Tuhan akan membantu saya.” Akhirnya ia berdiri karena lututnya sudah terendam karena air semakin naik. Tibalah helikopter yang menurunkan tali agar ia naik masuk. Tetapi, sekali lagi ia tidak mau dibantu, sambil berseru, ”Tuhan pasti akan meno longku.” Selanjutnya orang itu jatuh ke dalam air dan mati tenggelam. Di hadapan takhta Tuhan di surga, Ia langsung membuka mulutnya dan mengeluh, ”Aduh, Tuhan, saya sangat kecewa. Saya sungguh-sungguh percaya kepa da-Mu. Jadi, mengapa Engkau tidak datang menye lamatkan saya, tetapi malah membiar kan saya mati?” Jawab Tuhan, ”Anak-Ku, sampai tiga kali Aku berusaha menolongmu. Tetapi, kamu sendiri yang tidak mau ditolong.”
Untuk keberlangsungan alam semesta Allah menetapkanhukum-hukum dan memakai sarana-sarana. Tetapi, Dia tidak terikat padanya atau dibatasi olehnya. Dia juga bertindak langsung, antara lain dengan melakukan mukjizat.
• Allah melibatkan manusia
Meskipun Tuhan mengontrol segala sesuatu dan tidak memerlukan pertolongan siapa (apa) pun, Dia berkenan melibatkan manusia dalam pengolahan alam semesta, dan memberikan tanggung jawab penuh kepadanya. Ini bukan kebijakan Allah yang instan, tetapi sebelum alam semesta di jadikan-Nya, Dia telah membuat rencana untuk menjadikan manusia dengan maksud bahwa manusia ”berkuasa atas langit dan bumi” (Kej. 1:26-28). Manusia secara khusus diciptakan-Nya menurut gambar dan rupa-Nya untuk mengatasnama kan-Nya dalam pemeliharaan dan perkembangan alam semesta. Artinya, manusia dilibat kan Allah bukan untuk hanya menolong Dia sebagai seorang karyawan yang melakukan saja apa yang diperintahkan kepadanya (bnd. Mat. 8:9), tetapi juga untuk mewakili Dia sebagai bendahara yang mampu dan bertanggung jawab. Kalau manusia benar-benar melaksanakan mandat nya sebagaimana mestinya, semua perbuatan nya sebenarnya sama dengan perbuatan Allah, karena terjadi dalam pergaulan yang akrab dan kepercayaan yang sungguh-sungguh (tim kerja sama, concursus, berjalannya bersama-sama, interaksi; bnd. Kej. 5:22-24). Tepat kalau manusia disebut sarana Tuhan, tetapi perbedaan dengan sarana-sarana lainnya ialah, manusia bertanggung jawab sendiri sebagai makhluk yang mampu dan mandiri. Ia diperkenankan bekerjasama dengan Allah sebagai orang yang dewasa, dan memerintah bersama-sama dengan Dia sebagai wakil raja. Manusia memang ”hampir sama seperti Allah” (Mzm. 8:6). Sudah tentu, posisi ini menyalakan semangat manusia untuk melakukan tugasnya dengan sebaik-baiknya.
Tetapi oleh karena dosa yang tidak lain bersifat kudeta manusia memandirikan diri untuk senantiasa mengurus dan memerintah sendiri, lepas dari Allah dan bahkan melawan Allah. Kerja sama yang akrab itu putus, dengan akibat, dari raja manusia menjadi budak alam semesta (Kej. 3:1-19; dari berkuasa ia dikuasai). Namun, meskipun manusia tidak lagi berhak dan juga tidak lagi mampu untuk berfungsi sebagai wakil Allah, Allah tidak memecat manusia atas mandatnya, tetapi mempertahankan tanggung jawabnya (Kej. 9:1-3). Atas dasar kasih-Nya, Allah berkenan untuk tetap melibat kan manusia, pada khususnya semua orang yang setia kepada-Nya. Hal itu juga nyata dalam cara pengangkatan dan pemerintahan raja-raja Israel/Yehuda, yaitu sebagai wakil Allah. Kata teokrasi berarti bahwa yang memerintah itu Allah sendiri. Meskipun raja-raja itu sering melakukan ”apa yang jahat dalam mata Tuhan”, tetapi mau tidak mau mereka adalah sarana atau wakil-Nya (Ul. 17:14-20; dan selanjutnya Kitab-kitab Samuel, Raja-raja, dan Tawarikh).
Terlibatnya manusia dalam pelaksanaan providensi Allah memang ”faktor yang tidak pasti” karena pemberontakannya. Tetapi karena Dia sendiri mengontrol segala-galanya, Tuhan ternyata tidak ragu-ragu untuk tetap memperlakukan manusia sesuai dengan posisi awalnya dan juga memberi tugas kepadanya untuk terus-menerus berkuasa dan berkembang: walau pun dari pelayan Allah manusia menjadi pelawan-Nya, dan dari dirinya sendiri tidak mampu berbuat baik sedikit pun (Kej. 6:5; 8:21; Yes. 53:6; Tit. 3:3; bnd. PIGB, ps. 14 dan KH, p/j 7-9), ia tetap dinilai atas dasar tanggung jawab yang diberikan Allah kepadanya (bnd. KH, p/j 9). Baru oleh keselamatan Yesus Kristus, manusia kembali menjadi wakil Allah sesuai dengan apa yang Tuhan maksudkan pada awalnya. Oleh Kristus, manusia kembali berfungsi sebagai gambar dan rupa Allah yang benar dan setia.
Dalam Kitab Suci sering kita baca, Tuhan memakai rencana dan perbuatan manusia dan masih demi kian halnya untuk mencapai tujuan yang Dia kehendaki. Penjualan Yusuf, anak Yakub, menjadi budak di Mesir adalah perbuatan buruk kakak-kakaknya, tetapi hal itu Tuhan pakai Dia bahkan telah meren canakan-Nya sebelumnya untuk nanti pada saatnya memelihara umat-Nya dalam suasana bencana (Kej. 45:5). Allah juga memakai kekuatan bangsa-bangsa di sekitar Israel untuk menghukum umat-Nya agar mereka bertobat dari ketidaktaatan mereka (Hak. 2:13-16; Yes. 5:25-30). Khususnya Ester, yang Dia pakai untuk menyelamatkan umat-Nya dari tangan Haman, orang Amalek. Selain itu, Dia mengguna kan sengsara orang seperti Ayub (Ayb.) dan orang buta (Yoh. 9), untuk menunjukkan kemu liaan-Nya. Dan penganiayaan dan bahkan kematian orang, misalnya Stefanus (Kis. 7), dipakaiNya untuk menyebarluaskan kabar baik tentang keselamatan Anak-Nya, Yesus Kristus (bnd. Flp. 1:29). Jalan-jalan Tuhan sering jauh melebihi pengertian kita, namun semua jalan itu menuju sasaran final rencana Tuhan yang telah ditetapkan-Nya sebelum dunia dijadikan (Ef. 1:4-5).
Dalam melaksanakan providensi-Nya, Allah berkenan melibatkan manusia sebagai bendahara yang mampu dan bertanggung jawab.
Keadaan buruk akibat dosa dipulihkan-Nya melalui Anak-Nya, sehingga oleh Kristus manusia kembali berfungsi sebagai gambar dan rupa Allah yang benar dan setia.
Objek-objek providensi Allah
Kesaksian mengenai objek-objek pemeliharaan dan pemerintahan Allah kita temukan pada setiap halaman Kitab Suci. Antara lain di bidang-bidang berikut:
• Kosmos/alam semesta
Khususnya PL yang menyajikan banyak keterangan tentang Allah yang memelihara alam semesta. Di Taman Eden Dia bergaul dengan manusia (Kej. 3:8) dan mengantarkan binatang-binatang kepadanya, agar memberi nama pada setiap mereka (Kej. 2:19-20). Artinya, Allah dan manusia bersamasama ”berkuasa” atas alam semesta, dan bekerja sama sebagai tim yang sehati sepikir. Tetapi karena jatuh ke dalam dosa, manusia membong kar kerja sama yang akrab itu, sehingga putus. Sebagai akibat pemberontakan manu sia, alam semesta mengalami perubahan total: dari ”sungguh amat baik” (Kej. 1:31) menjadi cemar dan buruk. Selanjutnya suasana langit dan bumi ditentukan oleh konflik yang mendalam. Keadaan itu senantiasa menentukan cara langit dan bumi dipeli hara (bnd. perawatan bengkel terhadap mobil yang baru [”servis”] dan terhadap mobil yang mogok [”reparasi”]).
Walaupun demikian, berdasarkan kasih dan anugerah-Nya, dan sesuai dengan keputusan-Nya yang kekal, Allah melanjut kan providensi-Nya atas langit dan bumi. Ketika kejahatan manusia me muncak (Kej. 6:13), Allah menghukum langit dan bumi dengan air bah: darat kembali ditutupi oleh air (bnd. Kej. 1:10). Tetapi, sesudah itu Dia mengadakan perjanjian dengan Nuh tentang kelanjutan langit dan bumi, ”Selama bumi masih ada, takkan berhentihenti musim menabur dan menuai, dingin dan panas, kemarau dan hujan, siang dan malam” (Kej. 8:21-22). Tuhan mempertahankan hukum-hukum alam yang telah ditetapkan-Nya. Demikian alam semesta tetap berlang sung karena Tuhan sendiri yang aktif mengurusnya. Dalam banyak pasal PL, nama Tuhan dimulia kan karena pemeliharaan-Nya atas alam semesta (mis. Mzm. 8; 19; 29; 65; 104; 107; 145; 147). Dia yang mendatangkan hujan dan angin, guntur dan kilat. Dia yang mengatur pergantian musim dan tahun, dan yang memberikan kesuburan dan pertumbuhan kepada semua ciptaan-Nya. Juga melalui musibah dan hukuman, Dia membuktikan kuasa-Nya atas segala galanya (mis. Kej. 7; Kel. 7-14). Ber kaitan dengan itu, Allah juga dihormati sebagai ”Raja atas segala raja.” Dia yang memerintah atas langit dan bumi karena Dialah ”Raja seluruh bumi” (Mzm. 47:8; 93; 97; 99; 145). Segalagalanya tanpa kecuali berada di bawah kuasa-Nya (Ayb. 37-41; Yes. 40, dan lain lain). Alkitab sering memakai istilah ”Allah mengulurkan tangan-Nya” sebagai tanda kuasa-Nya). Dengan demikian seluruh PL menunjukkan bahwa alam semesta benar-benar dan terus-menerus dirawat dan dipimpin oleh Penciptanya sendiri. Dia tetap peduli dan bertindak, dan tidak mening galkan perbuatan tangan-Nya (Mzm. 138:8).
Apa yang sudah nyata dalam PL, lebih tegas ditekan kan dalam PB, yaitu bahwa Tuhan tidak memeli hara langit dan bumi begitu saja, tetapi ada tujuanNya. Tuhan hendak memberikan keselamatan dan pembaruan kepada dunia. Providensi-Nya berdasarkan keputusan-Nya untuk mendatangkan langit dan bumi yang baru. Yang khusus diutamakan dalam PB ialah puncak providensi Allah itu. Tetapi juga mengenai Allah yang merawat alam semesta, PB menyajikan banyak bukti. Hal-hal kecil pun seperti rumput dan burung pipit diperhatikan-Nya. Tentang pemeliharaan Bapa-Nya itu Yesus memberikan kesaksian yang gamblang dalam Khotbah di Bukit. Dia berbicara tentang Bapa di surga yang mener bitkan matahari dan yang menurunkan hujan (Mat. 5:45), yang memelihara burung-burung di langit dan bunga bakung di ladang (6:2529; 10:29-31). Selain itu Yesus menunjukkan keterlibatan Allah dalam banyak musibah yang terjadi, misalnya penyakit (Yoh. 5 dan 9), kematian (Yoh. 11), dan kece lakaan (Luk. 13:1-5). Tidak ada satu peristiwa pun yang terjadi di luar pengetahuan dan kehendak Allah.
Selain Yesus sendiri, para rasul dan pekabar Injil lainnya menyatakan bahwa Tuhan adalah Pencipta dan Perawat alam semesta. Dalam pemberitaan Injil kepada orang-orang Yunani, Rasul Paulus menentang filsafat mereka dan menegaskan bahwa Allah yang hidup yang menciptakan langit dan bumi, dan yang memelihara alam semesta dengan menurunkan hujan dari langit, memberi kan musim-musim subur, memuaskan hati orang dengan makanan dan kegembiraan. Demikian Paulus berbicara di Listra (Kis. 14:15-17) dan Atena (Kis. 17:24-28). Dan dalam suratnya kepada jemaat di Korin tus, Paulus mengumpamakan pembangunan jemaat dengan tanaman: Tuhan yang membuat nya bertumbuh (bnd. Mrk. 4:26-29). Dalam surat yang sama itu ia mengumpamakan pemakaman jenazah dengan penaburan biji, katanya ”Allah memberikan kepadanya suatu tubuh, seperti yang dikehen daki-Nya: Ia memberikan kepada tiap-tiap biji tubuhnya sendiri (1Kor. 15:38 dan konteksnya).
Dalam Kitab Suci sering kita baca tentang langit dan bumi yang baru, yang akan datang. Yang menda tangkan dan mengurusnya ialah Tuhan. Para nabi PL, misalnya Yesaya, dengan tepat menyebut kan Allah dengan nama ” Tuhan alam semesta”, sambil bernubuat tentang hidup dalam damai sejahtera (Yes. 11:110) dan tentang pesta perjamuan besar yang akan disediakan oleh Allah (Yes. 25:6). Dalam PB, khususnya Rasul Yohanes yang melihat bagaimana Tuhan sendiri yang mengurus segala-galanya untuk bumi yang baru (Why. 21-22). Tetapi Yesus pun berbicara tentang pembaruan yang total, dalam rangka Tuhan mendatangkan Kerajaan Surga (mis. Mat. 24). Bersambung dengan itu, Rasul Petrus menulis tentang ”hari Tuhan” yang akan datang, katanya, ”Pada hari itu langit akan binasa dalam api dan unsur-unsur dunia akan hancur karena nyalanya. Tetapi sesuai dengan janji-Nya, kita menantikan langit yang baru dan bumi yang baru, di mana terdapat kebenaran” (2Ptr. 3:12-13).
Kenyataan Allah memelihara dan memerintah seluruh kosmos dipastikan oleh banyak bukti, khusus nya oleh puncak provi densiNya, yaitu keselamatan dunia oleh Anak-Nya. Tujuan Allah pasti akan tercapai: pembaruan total dalam Kerajaan Allah.
• Manusia
Manusia ialah tujuan utama seluruh penciptaan. Manusia mirip dengan Allah karena dicipta kan menurut gambar dan rupa-Nya, dan diberi mandat untuk mewakili Dia dalam berkuasa atas buatan tangan-Nya. Posisi manusia sangat tinggi (Mzm. 8:6-7). Manusia ditentukan untuk turut memelihara dan memerintah langit dan bumi, langsung di bawah Tuhan, dan bersama-sama dengan Tuhan. Itulah sebab nya manusia artinya setiap orang, laki-laki dan perempuan, tanpa kecuali mengalami pemeliharaan Allah yang spesial, khususnya di bidang pelaksa naan tugasnya (Kej. 1:28, 2:15).
Oleh karena manusia memberontak melawan Allah yang adalah atasannya yang satu-satunya! kerja sama yang indah itu rusak total. Akibatnya, manusia ”sama sekali tidak sanggup berbuat apa pun yang baik” (KH, p/j 8; bnd. Ayb. 14:4; 15:14, 16). Namun, Tuhan tidak memecat manusia dari tugasnya, tetapi tetap menantikan manusia melaksanakannya sebagaimana mestinya. Perin tah-Nya kepada Nuh (sesudah air bah, Kej. 9) tidak berbeda sedikit pun dengan apa yang sebelumnya dikatakan-Nya kepada Adam (sebelum ia jatuh ke dalam dosa, Kej. 1). Allah tetap hendak mewujudkan rencana awal-Nya, dan tetap hendak melibatkan manusia dalam pemenuhannya. Untuk itu Allah yang murah hati memulih kan hubungan-Nya dengan manusia, yakni melalui keselamatan oleh Anak-Nya sendiri (Adam kedua). Oleh pemberitaan firman Tuhan ”semua orang yang ditentukan Allah untuk hidup yang kekal, menjadi percaya” (Kis. 13:48). Mereka diselamatkan oleh Anak Allah dan diubah oleh Roh Kudus menjadi ”manusia baru”. Melalui jalan itu manusia pilihan Tuhan akhirnya kembali mendapat posisi awal di bawah Tuhan, dan juga kembali sanggup untuk melakukan tugas awal nya. Karya keselamatan dan pembaruan manusia ini adalah ”proyek pemeliharaan” Allah yang isti mewa yang akan mencapai penyelesaiannya pada hari Kristus datang untuk kedua kalinya. Semua orang yang kembali kepada Tuhan diperhatikan-Nya dengan pemeliharaan yang teramat spesial.
Umat perjanjian IsraelBukan semua orang bertobat kepada Tuhan. Ada banyak yang tetap tidak mengakui Dia sebagai Allah. Karena mereka hidup jauh dari Dia, dalam murka-Nya, Dia mengeraskan hati mereka dan menyerah kan mereka untuk menu ruti jalan-jalan mereka sendiri (Kis. 14:16; Rm. 1:18-32). Orang-orang yang tidak percaya itu akan mengalami hukuman yang kekal (Why. 20:1115; bnd. Kej. 6:5-7). Tetapi atas prakarsa Tuhan sendiri, ada banyak orang juga yang benar-benar ”takut akan Allah”, yang percaya kepada-Nya, dan yang melayani Dia dengan taat. Dengan satu bangsa Tuhan berkenan mengikrarkan relasi yang sangat istimewa, yaitu dengan Abram serta keturunannya, yang kemudian bernama Israel. Dengan umat ini Allah mengadakan ”perjanjian yang kekal” (Kej. 17:7). Perjanjian ini diperbarui-Nya, setelah Dia melepaskan mereka dari perbudakan di Mesir (Kel. 19-20). Hubungan Israel dengan Tuhan ini bukan otomatisme. Tidak semua orang yang berasal dari Israel memang dapat disebut ”orang Israel” dalam arti orang pilihan Tuhan (Rm. 9; bnd. Mal.). Hubungan itu juga tidak eksklusif, tetapi justru diadakan Tuhan demi penyelamatan seluruh dunia (Kej. 12:3).
Providensi Allah terhadap umat-Nya, Israel, bersifat sangat khusus.
Pertama-tama nama-Nya YHWH (Tuhan) menyatakan Dia selalu hadir dan penuh perhatian. Dia selalu mengingat perjanjian-Nya (Kel. 2:24) dan menyatakan diri ”sebagai Allah yang Mahakuasa yang sanggup memelihara umat-Nya dan sebagai Bapa yang setiawan yang berke hendak melakukannya” (KH, p/j 26). Hal itu juga jelas dari berbagai sebutan dan perbandingan yang menggambarkan relasi intim antara Tuhan dan umat-Nya, misalnya Bapa–anak-anak (Yes. 63:16; seluruh PB), Suami–istri (Yeh. 16; Hos. 1-3), Gembala–kawanan domba (Mzm. 23), dan juga: Induk ayam–anak-anak ayam yang berlin dung di bawah sayap nya (Mat. 23:37; Luk. 13:34). Semua sebutan itu menunjukkan bahwa Tuhan adalah Pelin dung yang setia, yang menjamin dan menyediakan ”semua kebutuh an tubuh dan jiwa” manusia (KH, p/j 26). Artinya, setiap anak Tuhan tanpa kecuali mengalami berkat-Nya dalam kehidupan sehari-hari, khususnya dalam pelayanannya sebagai gambar dan rupa Allah.
Kehadiran Tuhan juga jelas dari kenyataan bahwa Dia menetap di tengah-tengah umat-Nya. Tempat kediaman-Nya pada awalnya, Kemah Suci, kemudian Bait Allah di Yerusalem. Rumah Allah ini menan dai keha diran-Nya, karena Raja Salomo dengan tepat mengaku, ”Sesungguhnya langit, bahkan langit yang mengatasi segala langit pun tidak dapat memuat Engkau, terlebih lagi rumah yang kudirikan ini” (1Raj. 8:27). Kaum Israel sering berziarah ke sana untuk menerima kebaikan Tuhan (mis. Mzm. 27; 84; 120-134). Pada pesta-pesta mereka memperingati perbuatan-perbuatan Allah yang telah lebih dahulu dilakukan-Nya (sejarah kese lamatan). Mereka dibebaskan-Nya dari perbudakan di Mesir dan diantarkan-Nya ke negeri yang ”berlimpah-limpah susu dan madu” (Kel. 3:8; Ul. 26:9, 15). Di tanah pusaka itu Dia memerintah mereka sebagai Raja yang adil dan benar. Dan raja-raja yang diangkatNya untuk memimpin Israel, khususnya dinasti Daud, memerintah di bawah kuasa Tuhan (teokrasi; bnd. Kej. 1:26-28). Mereka juga memuliakan namaNya karena berkat yang mereka terima (panen, kesehatan, kesejah teraan, dan sebagainya). Tanpa berhenti Tuhan memelihara umat perjanjian-Nya dengan berkat-Nya, sehingga mereka tidak ke kurangan apa pun. Doa pemazmur, ”Damai sejahtera atas Israel” (mis. dalam Mzm. 128:6) sudah dikabulkan. Tepat sekali ajakan pemazmur untuk selalu ”Bersyukurlah kepada Tuhan, sebab Ia baik! Bahwasanya untuk selama-lamanya kasih setia-Nya” (Mzm. 107:1; 136).
Akhirnya umat Tuhan mencapai puncak pemeliharaan-Nya, yakni dengan kelahiran, lalu kematian dan kebangkitan Yesus Kristus, Anak Allah yang menjadi manusia untuk menghapus dosa dunia (Yoh. 1:14, 29; 19:2830; 20:26-29 dan lain-lain). Seruan Yesus pada kayu salib ”Sudah selesai” (Yoh. 19:30) adalah klimaks providensi Allah untuk seluruh dunia. Fakta keselamatan yang sedemi kian rupa itu adalah bukti bahwa Dia tidak pernah meninggalkan perbuatan tangan-Nya, tetapi membawanya ke penyelesaiannya (Mzm. 138:7-8). Rencana Tuhan pasti dipenuhi (lihat penutup Mzm. 22)!
Pemilihan Abram/Israel tidak berarti mereka lebih baik atau lebih suci daripada bangsa-bangsa lain. Ternyata banyak orang yang berasal dari Israel, tetapi bukan orang Israel (Rm. 9:6). Mereka sering mening galkan Tuhan dan menggantikan-Nya dengan allah-allah lain. Mereka berulang kali lupa mengakui providensi Tuhan, atau tidak sabar menantikannya. Misalnya mereka berdoa minta hujan atau penyem buhan, tetapi kalau Tuhan tidak cepat memenuhi permohonan mereka, mereka lari kepada Baal dan Asyera, dewadewi Kanaan (1Raj. 17-18; 2Raj. 1). Dalam hal itu kebanyakan raja-raja umat Tuhan memberikan teladan yang buruk. Karena itu, Dia menghukum mereka dengan perang, kelaparan, dan penyakit sampar (Yer. 29:17), dan akhirnya dengan pembuangan ke negara asing. Kemarahan dan hukuman Allah itu pun adalah salah satu faktor pemeliharaan-Nya, yang dilakukan-Nya agar Israel bertobat. Namun, akhirnya hanya ”sisa” umat Israel yang diselamat kan karena kebanyakan mereka tetap tidak percaya kepada Tuhan (Kitab Yes.; Mat. 25; Rm. 9-11).
Allah menetap di tengah-tengah umat perjanjian-Nya, yang merupakan sarana-Nya untuk menyelamat kan semua bangsa di dunia.
Bangsa-bangsa di duniaPemeliharaan Allah yang ”teramat khusus” terhadap umat perjanjian-Nya tidak berarti Dia tidak memedulikan orang-orang lain di dunia. Pada saat tertentu, yaitu sesudah air bah dan peristiwa menara Babel (Kej. 6–11), Tuhan memang menyerahkan bangsa-bangsa kepada diri mereka sendiri. Artinya, Dia mengizinkan mereka mengikuti kesukaan mereka sendiri dan tidak menghindarkan mereka dari perilaku buruk (bnd. Rm. 1:18-32; Ef. 4:17-19). Karena mereka tidak mengenal (= mengakui) Allah, pengertian mereka gelap. Bagi mereka yang hidup jauh dari Tuhan, tidak ada harapan (bnd. Yoh. 3:16-21; 17:3), sekalipun mereka juga berkembang dan menerima banyak untung dan kekayaan. Semua kekayaan yang manusia nikmati di luar Tuhan, akhirnya tidak bermanfaat, tetapi sia-sia semata (Mzm. 73; Kitab Pengkhotbah).
Tetapi semuanya itu hanya satu sisi. Di sisi lainnya Tuhan tetap memerhatikan bangsa-bangsa di dunia. Mereka semuanya ciptaan-Nya yang mengalami kebaikan-Nya di semua bidang kehidupan. Apa yang telah dikatakanNya ketika Dia memilih Abram, yaitu ”olehmu semua kaum di muka bumi akan mendapat berkat” (Kej. 12:1-3), dan yang diulang oleh para nabi dalam nubuat-nubuat mereka tentang keselamatan untuk semua bangsa (mis. Yes. 2:1-5), akhirnya digenap kan-Nya melalui Anak-Nya, Yesus Kristus, sebagai Juru Selamat dunia (Yoh. 4:42; bnd. Gal. 3:6-14). Setelah melakukan tugas-Nya di bumi dan menerima dari Bapa-Nya segala kuasa di surga dan di bumi, Dia memerintah para rasul-Nya untuk menjadikan semua bangsa murid-Nya (Mat. 28:18-20). Sesudah Hari Pentakosta, Injil keselamatan dikabarkan kepada seluruh dunia. Roh Kudus membuka hati banyak orang dari bangsa-bangsa mana pun menjadi percaya dan diterima menjadi umat Allah (termasuk kita yang kini percaya). Dari banyak nubuat PL sudah jelas bahwa program keselamatan Allah bukan hanya untuk Israel, melainkan juga untuk bangsa-bangsa lainnya. Ada masa depan untuk seluruh dunia! Tetapi, memang, melalui cara dan pada waktu yang Tuhan tetapkan.
Juga sebelum Anak Allah menjadi manusia dan melakukan tugas-Nya untuk dunia, Allah memerhatikan semua bangsa. Dan demikian juga sekarang, pada masa kini. Setiap orang di dunia dari awal sampai sekarang jumlahnya sekitar tujuh miliar adalah ciptaan Allah! Karena itu, Dia yang mempunyai hak milik atas semuanya, satu demi satu. Dia yang memberikan hidup kepada setiap orang tanpa kecuali. Kesehatan dan kesejahteraan yang setiap orang alami, rumah yang mereka diami dan tanah yang mereka miliki semuanya mereka terima dari Allah yang hidup. Dari banyak ayat Alkitab jelas bahwa Allah memerhatikan semua bangsa di dunia, sekali pun mereka sendiri tidak percaya kepada-Nya. Kitab Suci menyatakan, Tuhan melihat semua anak manusia dan menilik semua penduduk bumi. Dia ”menggagalkan rencana bangsa-bangsa … tetapi rencana Tuhan tetap selama-lamanya” (Mzm. 33). Dalam berbagai mazmur lain pun bangsa-bangsa diajak untuk memuji Tuhan, mis. Mzm. 67; 96; 117. Secara istimewa Dia mengawasi bangsa-bangsa Mesir (Kel. 1–15 ), Asyur (Kitab Yunus), dan Babel (Kitab Daniel) yang digunakanNya untuk menghukum umat perjanjian-Nya, tetapi yang tidak menghormati Tuhan (bnd. Ul. 32:27-35). Atas dorongan Roh Kudus (2Ptr. 1:21), banyak nabi PL mengungkapkan nubuat-nubuat tentang bangsa-bangsa lain. Tuhan pasti akan menghukum semua bangsa itu karena mereka menolak Dia (kutuk). Tetapi semua nubuat itu juga berbicara tentang masa depan untuk bangsa-bangsa (berkat). Bagi mereka pun ada harapan (Venema 2006, Bab 7). Mengenai kesela matan bagi semua bangsa itu, nubuat Yes. 2:1-5 / Mi. 4:1-3 sangat mencolok: semua bangsa akan berkumpul ke tempat kediaman Tuhan dan mendengar kan firman-Nya.
”Biarlah segenap bumi takut kepada Tuhan, biarlah semua penduduk dunia gentar terhadap Dia” (Mzm. 33:8).
Jemaat KristusPada masa PB, yaitu setelah Anak Allah, Yesus Kristus, menyelesaikan tugasNya dan Roh Kudus dicurahkan-Nya, umat perjanjian Israel diteruskan dalam gereja atau jemaat Kristus sebagai Israel yang baru (Rm. 9–11 ; Gal. 3). Mulai Hari Pentakosta perhatian Allah akan semua bangsa di dunia diintensifkan. Sesuai dengan rencana-Nya Injil dikabarkan kepada semua bangsa. Yesus memang mengatakan Dia datang untuk menyelamatkan ”domba-domba yang hilang dari umat Israel” (Mat. 10:6; 15:24), tetapi itu bukan hal eksklusif, melainkan soal urutan. Karena ditekankan-Nya juga bahwa banyak orang akan datang dari Timur, Barat, Utara, dan Selatan, ”dan duduk makan bersamasama dengan Abra ham, Ishak dan Yakub di dalam Kerajaan Allah” (Mat. 8:11; Luk. 13:29). Yesus benar-benar menyatakan diri sebagai Juru Selamat dunia. Jemaat-Nya dikumpul kan-Nya dari semua bangsa. Dia secara khusus memelihara semua orang yang diserahkan Bapa-Nya kepada-Nya (Yoh. 17:8), yaitu semua orang yang percaya, dari bangsa mana pun.
Setelah tugas-Nya di bumi selesai dan sebelum Dia naik ke surga, Yesus menyatakan bahwa Dia mempunyai ”segala kuasa di surga dan di bumi.” Kenaikan-Nya ke surga berarti Dia naik takhta (di sebelah kanan Allah Bapa) dan senantiasa memerintah sebagai Raja atas semua raja. Tidak ada satu bangsa pun yang berada di luar kawasan-Nya. Hal itu jelas dari perintah yang Dia berikan kepada para rasul-Nya, ”Jadi kanlah semua bangsa murid-Ku” (Mat. 28:18-19). Mereka disuruh merebut kembali seluruh dunia dari kuasa Iblis (bnd. Yoh. 8:44). Bukan Iblis tetapi Kristus yang berhak memiliki semua bangsa di dunia (itu ciri khas Kitab Kisah Para Rasul; bnd. van den Berg 2011). Di kalangan para pekabar Injil, khususnya Rasul Paulus (Kis. 22:21) tidak berhenti menegaskan bahwa ”Allah yang hidup” adalah Pencipta, Raja, dan Penyelamat yang memerintah atas semua kerajaan di bumi. Kebenaran itu disaksikannya di pusat agama nasional Yunani, kota Atena (Kis. 17:26), juga di kota-kota lain (mis. di Listra, Kis. 14:15-17). Akhirnya, melalui wahyu kepada Rasul Yohanes, Raja Kristus sendiri menyatakan bahwa keseluruhan orang percaya dari semua bangsa di dunia bersama-sama mewujudkan ”Israel yang genap” (mis. Why. 7 dan 21). Dengan itu tujuan providensi Allah tercapai sepenuh-penuh nya. Datanglah langit dan bumi yang baru yang akan dihuni umat Tuhan yang lengkap-sempurna.
Jemaat Kristus terdiri dari semua orang percaya di dunia, dari bangsa mana pun mereka berasal.
Kristus adalah pusat providensi Allah
Providensi Allah khususnya nyata dalam berlangsungnya sejarah dan terjadinya semua peristiwa selama sejarah itu, baik pada zaman Alkitab maupun masa kini. Allah yang menciptakan waktu dan menguasai situasi (pada waktu tertentu) dan sejarah (dalam keberlangsungan waktu), dan semua kegiatan dan peristiwanya. Artinya, Dia yang memimpin sejarah yang berpusat pada Kristus ke tujuan yang telah ditentu kan-Nya sebelumnya, yaitu realisasi kerajaan-Nya yang kekal di langit dan bumi yang baru. Sesuai dengan pilihan Allah yang berdaulat, pemenuhannya berjalan melalui keturunan Abraham umat Israel hingga akhirnya melalui Anak Abraham, Yesus Kristus (Mat. 1:1-17), mencapai semua bangsa di dunia. Sebagai Juru Selamat dunia, Yesus Kristus yang membuka jalan kepada Allah Bapa bagi setiap orang yang sungguh-sungguh percaya dari bangsa mana pun (Ibr. 10:19-20). Segala yang terjadi selama sejarah dunia, dari awal sampai akhir, tidak mungkin dilepaskan dari karya Kristus sebagai pusatnya (Reymond 1998, 400-401).
Pertanyaan ”Mengapa sejarah pemberitaan Injil dan pengumpulan para warga Kerajaan Allah, mengikuti rute ini?”, diberi jawabannya dalam Kitab Kisah Para Rasul: karena Roh Kudus yang membuka dan yang menutup pintu. Semuanya terjadi sesuai dengan rencana Allah. Dia sendiri yang memim pin segala-galanya ke kesudahannya. Bagi kita, alasan-alasan dan caracara berlangsungnya sejarah dan terjadinya banyak peristiwa, baru menjadi jelas dari belakang (atau tidak menjadi jelas sama sekali), tetapi Tuhan telah menetapkannya jauh sebelumnya. Itu justru ciri utama providensi-Nya.
Kesimpulan
Segala-galanya di langit dan bumi yakni setiap ciptaan, peristiwa, situasi, keberlangsungan dan perkembangan (atau juga kemunduran) berhubungan dengan Allah dan bergantung pada berkat dan urusan-Nya. Walaupun dalam semua hubungan itu terdapat keragaman besar dan berbagai tingkat (Brink 2008, 234-236), tetapi tidak ada sesuatu apa pun yang bergerak atau terjadi di luar Dia. Semua nya berasal dari Tuhan atau berada di dalam Dia, seperti dikatakan Paulus: ”Allah yang telah menjadi kan bumi dan segala isinya, … memberikan hidup dan napas dan segala sesuatu kepada semua orang. … Sebab di dalam Dia kita hidup, kita bergerak, kita ada …” (Kis. 17:24-28). Dan juga: ”Sebab segala sesuatu adalah dari Dia, dan oleh Dia, dan kepada Dia …” (Rm. 11:36).
Berdasarkan data-data Kitab Suci, kita menyimpulkan bahwa tidak seorang pun, entah dia percaya atau tidak, dapat melakukan apa saja di luar Allah. Kenyataan itu khususnya ditegaskan dalam Kitab Amsal, dalam banyak peribahasa yang ringkas dan padat, misalnya ”Manusia dapat menimbangnimbang dalam hati, tetapi jawaban lidah berasal dari Tuhan” (16:1), ”Hati manusia memikir-mikir kan jalannya, tetapi Tuhanlah yang menentukan arah langkahnya” (16:9), dan ”Banyaklah rancangan di hati manusia, tetapi keputusan Tuhanlah yang terlaksana” (19:21). Meskipun manusia bertanggung jawab sendiri atas segala pikiran dan kelakuannya, yang memerintah itu Tuhan (Mzm. 93). Itulah fakta bagi setiap orang tanpa kecuali.
Dalam providensi-Nya Tuhan membawa alam semesta ke kesudahannya, melalui pusat segala-galanya, Yesus Kristus yang mati dan bangkit, dan yang memiliki segala kuasa di langit dan bumi.
2. Surat-surat pengakuan iman gereja dan liturginya
Jelas dari sejarahnya bahwa gereja Kristus selalu mengakui ajaran Kitab Suci tentang providensi Allah sebagai perbuatan kontinu yang dilakukan-Nya demi keberlangsungan, perkembangan, dan juga penyelesaian langit dan bumi yang diciptakan-Nya. Gereja menyatakannya dalam dokumen-dokumen resmi, yaitu surat-surat pengakuan iman dan buku-buku katekismus, yang secara khusus dirumuskan untuk membela kebenaran Kitab Suci melawan berbagai pandangan dan filsafat manusia yang menyimpang darinya (lihat juga bagian 3.2, btr 2).
Surat-surat pengakuan iman gereja
Dalam pengakuan-pengakuan iman gereja lama (abad-abad pertama), providensi Allah tidak disebut secara eksplisit. Sebaliknya, dokumen-dokumen iman yang disusun dan diterima oleh gereja-gereja pada zaman Reformasi (abad ke-16/17), membahasnya dengan panjang lebar. Juga pengakuanpengakuan iman yang dirumus kan oleh gereja masa kini, khusus di Indonesia, membicarakan pokok providensi.
• Abad-abad pertama
Pada masa gereja lama, tampaknya tidak perlu ajaran Kitab Suci tentang providensi Allah di bicarakan. Pengakuan Iman Rasuli dan Pengakuan Iman Nicea-Konstantinopel tidak membahasnya secara eksplisit. Kenyataan Allah adalah ”Khalik langit dan bumi” sekaligus berarti Dialah Pemeliharanya. Di dunia helenisme pasti terdapat berbagai pandangan tentang cara dewa yang dipuja sebagai pencipta (mis. Zeus), senantiasa berhu bungan dengan alam semesta yang diciptakannya (antara lain stoa dan platonisme). Mungkin pandangan-pandangan seperti itu juga memengaruhi ajaran Kitab Suci. Tetapi tampaknya gereja sependapat tentang pokok providensi itu. Menurut Berkhof, tidak ada satu konsili pun yang membahas pokok ini. Di antara tokohtokoh gereja lama, Agus tinus yang terutama membela ajaran Kitab Suci tentang pemeliharaan Allah melawan determi nisme, dualisme, dan monisme.
Menurut Agustinus, Tuhan yang mengatur segala yang baik dan yang jahat di dunia sesuai dengan kehendak-Nya. Sekaligus ia juga me nekankan tanggung jawab manusia. Di kemudian hari Thomas Aquinas mengikuti pendirian Agustinus (Berkhof 1993, 312-313).
• Zaman Reformasi
Berbeda dengan gereja lama, banyak dokumen-dokumen pengakuan iman gereja-gereja yang berasal dari Reformasi khususnya Gereja-gereja Reformed (Calvinis) yang membicarakan providensi Allah dengan panjang lebar, yaitu antara lain Pengakuan Iman Gereja Perancis (PIGP, Confessio Gallicana, 1559) dalam Pasal VIII; Pengakuan Iman Gereja Belanda (PIGB, Confessio Belgica, 1561) dalam Pasal 12 dan 13; Pengakuan Iman Westminster (PIW, 1647) dalam Bab V; dan Katekismus Heidelberg (KH, 1563) dalam p/j 1, 26-28, 54 (lihat Van den End 2004).
PIGP, Pasal VIII, menyatakan bahwa ”Allah tidak hanya telah mencipta kan segala sesuatu, tetapi juga yang memerintah dan mengendalikannya, sambil mengatur dan mene tapkan sekehendak-Nya segala sesuatu yang terjadi dalam dunia ini” dengan menyebut berbagai ayat-ayat Alkitab sebagai bukti. Dan PIGB, Pasal 13, mengatakan bahwa ”Allah yang baik itu, setelah mencip takan segala sesuatu, tidak membiarkannya, dan tidak menyerah kannya kepada peruntungan atau kepada nasib”, tetapi ”mengendalikan dan memerintah segala sesuatu menurut kehendak-Nya yang kudus.” Dengan demikian kedua pengakuan iman ini mempertahankan bahwa tidak terjadi sesuatu apa pun di dunia ini di luar kehendak dan izin Allah. Namun, fakta itu tidak berarti bahwa Dia menjadikan dosa. Selain itu PIGB mengawasi kita untuk jangan melewati batas-batas kemampuan kita dengan mengusik apa yang melampaui pikiran manusia. Dan kita didorong untuk menerima ajaran Kitab Suci sebagai ”hiburan yang tidak terkatakan” karena ”apa saja yang menimpa kita tidak terjadi secara kebetulan, tetapi semata-mata oleh ketentuan Bapa surgawi kita yang baik.” Semuanya berada di bawah kuasa-Nya. Akhirnya pengakuan ini menolak ”ajaran sesat dan terkutuk” epikurisme.
Katekismus Jenewa pun (karya Calvin, 1542) membahas pokok pemeliharaan Allah, yakni ketika menjelas kan sebutan ”Mahakuasa” (p/j 23), katanya: ”Seluruh ciptaan berada di tangan-Nya dan tunduk kepada-Nya; Dia mengatur semua hal melalui pemeliharaan-Nya, memerintah dunia melalui kehendak-Nya, dan mengen dalikan segala kejadian sekehendak hati-Nya.” Penting juga apa yang dikatakan Calvin dalam p/j 24, yaitu bahwa ”kuasa Allah bukannya menganggur, melain kan berdampak; artinya, tangan-Nya senantiasa bekerja dan tidak terjadi apa pun kecuali oleh Dia atau dengan izin dan putusan-Nya.” Dan dalam p/j 27, Calvin bertanya tentang perbuatan Allah mana yang lebih besar: ”Bukankah memelihara ciptaan dan menjaga supaya ciptaan itu tetap utuh jauh lebih besar daripada satu kali menciptakannya?” Dalam jawaban ditekankannya hubungan akrab antara dua perbuatan besar Allah ini: ”sebagaimana dunia telah dijadikan oleh-Nya pada mulanya, begitu pula sekarang Dia menjaga supaya dunia itu tetap utuh, begitu rupa, sehingga langit, bumi, dan semua makhluk hanya dapat ada terus karena kekuatanNya.” Sebagai Tuhannya Dia mengendalikan seluruh tatanan alam. ”Dialah yang mengirim hujan dan kemarau, hujan es, angin badai dan cuaca cerah, kesuburan dan kemandulan, kesehatan dan penyakit.” Pendeknya, Tuhan memegang pimpinan segala sesuatu (Calvin 1985, I, Bab XVI-XVIII).
Sama seperti PIGB, KH dalam p/j 26 (bnd. p/j 1) menunjukkan bahwa Allah dalam pemeliharaan-Nya bersikap sebagai ”Bapa yang baik”, yaitu ”Sebagai Allah yang mahakuasa Dia memang sanggup berbuat demikian, dan sebagai Bapa yang setiawan, Dia berkehendak pula melakukannya.” Tuhan bukan Allah yang jauh, meski pun Dia mahatinggi dan mahamulia, tetapi Dia sangat dekat dan ”memeliharaku dalam semua kebutuhan tubuh dan jiwaku, dan juga mengubah segala bencana yang ditimpakan-Nya atasku di dunia yang penuh sengsara ini, menjadi kebaikan untukku.” Selanjutnya dalam p/j 27 KH menjelaskan apa yang Kitab Suci maksudkan dengan pemeliharaan Allah itu, yaitu ”kekuatan Allah yang mahakuasa dan yang hadir di segala tempat.” Artinya, kapan dan di mana saja Allah yang memelihara dan memerintah langit dan bumi, ”sehingga daun dan rumput, hujan dan kemarau, masa kelimpahan dan kekurangan, makanan dan minuman, sehat dan sakit, kekayaan dan kemis kinan, dan segala hal tidak menimpa kita secara kebetulan, tetapi datang dari tangan Bapa saja.” Sudah tentu, segala yang terjadi di langit dan bumi terjadi sesuai dengan rencana dan kehendak Allah, dan di bawah kuasa-Nya. Dalam p/j 1 telah dinyatakan bahwa kita adalah milik Yesus Kristus, dan bahwa segala sesuatu yang terjadi berguna untuk keselamatan kita, selanjutnya dalam p/j 54 dikatakan bahwa Yesus Kristus bukan hanya mengumpulkan jemaat-Nya di bumi, melainkan Dia juga melindungi dan memeliharanya. KH menyata kan dengan tegas bahwa ajaran ini merupakan satu-satunya penghiburan kita, baik pada masa hidup maupun pada waktu mati, sehingga ”kita dapat bersabar di tengah segala kesusahan dan bersyukur dalam kelimpahan” (p/j 28). Semua makhluk, termasuk kita, berada di tangan Tuhan (bnd. Den Hartogh 1999, tentang teologi Ursinus).
Di antara semua surat pengakuan iman reformed, PIW yang memberikan perhatian yang paling banyak pada pokok pemeliharaan Allah, yaitu dalam Bab V.1-7 (lihat Reymond 1998, 398-399). Dalam hanya satu kalimat, Pasal V.1 menyajikan banyak informasi, ”Allah, Pencipta Agung segala sesuatu, menopang, mengen dalikan, mengatur, dan memerintah semua makhluk, kejadian, dan hal, dari yang paling besar hingga yang paling kecil, melalui pemeliharaan-Nya yang berhikmat sempurna dan mahakudus, menurut prapengetahuan-Nya yang tidak dapat keliru, dan menurut rencana kehendakNya sendiri, yang bebas dan tak dapat berubah-ubah, agar kemulia an hikmat, kuasa, keadilan, kebaikan, dan kemurahan-Nya dipuji-puji.” Dekrit Allah itu tidak dapat diubah atau digagalkan. Namun, menurut Pasal V.2, ”ditetapkanNya agar semua hal itu terjadi secara mutlak perlu, bebas, atau kebetulan, sesuai dengan sifat sebab-sebab sekunder.” Maksud kalimat ini jelas dari ayatayat Alkitab yang disebut sebagai bukti, yaitu Kejadian 8:22 dan Yeremia 31:35 (mutlak perlu); Keluaran 21:13 dan Ulangan 19:5 (bebas, tidak disengaja); 1 Raja-raja 22:28, 34 (mutlak perlu dan kebetulan); Yesaya 10:6-7 (sifatsifat sekunder). Pasal V.3 menjelaskan bahwa dalam pemeliharaan-Nya, Allah bebas untuk menggunakan sarana-sarana tertentu (mis. Yes. 55:10-11) atau berkarya di luar (Ayb. 34:20), di atas (Rm. 4:19-21), atau bertentangan dengannya (2Raj. 6:6). Selanjutnya, menurut Pasal V.4, ”tidak mungkin
(Allah) menyebab kan atau membenar kan dosa.” Namun, peme liharaan Allah ”juga meliputi kejatuhan pertama dan semua dosa lainnya malaikat serta manusia” dalam arti Dia membiarkan dosa-dosa itu sekaligus membatasinya dan mengendalikannya. Hati orang-orang jahat dibutakan oleh Tuhan, selaku Hakim yang adil. Dia menahan anugerah-Nya dari mereka (V.6). Dalam hikmat-Nya Tuhan juga ”sering membiarkan anak-anak-Nya untuk sementara waktu menghadapi berbagai godaan.” Dia juga menghukum mereka atas dosadosa mereka. Dengan itu dibuka-Nya mata mereka, membuat mereka rendah hati, dan membuat mereka ”semakin erat dan terus-menerus tergantung pada sokongan dari diri-Nya” (V.5). Justru penjelasan tentang bagaimana hubungan antara peme liharaan Allah dan dosa manusia menunjukkan tanggung jawab manusia di samping anugerah Allah. Ternyata ada kaitannya dengan keputusankeputusan Allah lainnya, seperti pemilihan kekal (bnd. PAD). Akhirnya, Pasal V.7 menyatakan bahwa ”sebagaimana pemeliharaan Allah secara umum menjangkau semua makhluk, begitu juga dengan cara yang sangat istimewa pemeliharaan itu mengasuh Gereja-Nya dan mengatur segala hal untuk mendatangkan kebaikan bagi Gereja itu.” Juga dalam Katekismus Besar Westminster, p/j 18-20, pokok pemeliharaan Allah dibahas. P/j 20 khususnya memberi jawaban pada pertanyaan bagai mana pemeliharaan Allah terjadi sebelum manusia jatuh ke dalam dosa (ringkasan Kej. 2).
Berbeda dengan Calvin, Luther membatasi pandangannya mengenai providensi Allah pada segi soteriologis nya, yaitu pelaksanaan keselamatan dunia sesuai dengan rencana Allah. Ia memang tidak menolak providensi umum, tetapi tidak mengutamakannya.
• Masa kini
Juga mengenai ketergantungan alam semesta dan manusia pada pemeliharaan dan pimpinan Allah yang aktif, Renaisans dan Pencerahan (abad ke-19 dan ke-20) sangat memengaruhi pandangan orang. Paling sedikit, orang yang memutlakkan akal budinya sebagai norma tertinggi bagi segala-galanya, masih akan mene rima adanya kerja sama tertentu antara manusia dan Tuhan (dalam urutan itu: manusia yang menentukan). Tetapi kemung kinan besar orang itu akan berkesimpulan bahwa ia tidak lagi memerlukan bantuan dari Allah (atau ”kuasa ilahi”), karena ia merasa mampu untuk mengurus hidupnya sendiri. Apa yang sudah nyata dalam Kejadian 3, kini telah menjadi realitas umum: karena manusia mandiri, Allah dikesampingkan, atau bahkan dianggap tidak ada. Oleh proses sekularisasi yang sudah pasti juga memengaruhi gereja (contohnya teologi liberal yang mengutamakan akal manusia daripada inspi rasi Roh Kudus) Allah semakin dihilangkan dari world view dunia modern. Manusia hidup tanpa Allah (ateisme) atau bahkan menentang Allah (antiteisme). Dengan menggunakan kata ”netral” banyak negara telah membuat pemisahan mutlak antara ”gereja” dan ”negara”. Hidup bernegara (masyarakat, pemerintah, politik) jangan lagi didikte oleh normanorma religius yang asalnya ”dari atas”. Agama adalah hal pribadi orang dan bukan kepentingan umum.
Dalam pascamodernisme (abad ke-21), yang diutamakan sebagai norma bukan lagi akal budi manusia melainkan perasaan dan intuisinya. Bukan pengetahuan akan Allah dan penafsiran Alkitab yang objektif yang diutamakan, melainkan kesan dan perasaannya yang subjektif (”menurut hemat saya” yang menentukan). Menurut perasaan orang masa kini, Allah yang membiarkan terjadi perang, bencana, kecela kaan, dan sebagainya, tidak layak dimuliakan. Terjadinya hal-hal seperti itu adalah bukti Allah tidak kuat, atau bahkan tidak ada (bnd. Ngelow 2006; lihat 3.7, btr 4).
• Indonesia
Dokumen-dokumen pengakuan iman yang dirumuskan oleh berbagai gereja di Indonesia (lihat di atas, 3.2, btr 2) tidak jauh berbeda dengan semua pengakuan iman Zaman Reformasi. Setelah menyata kan bahwa Allah Tritunggal ”telah menciptakan langit, bumi, laut, dan segala isinya dari yang tiada,” Ring kasan Pengaku an Hulsebos (Jakarta, 1621), Pasal 1, melanjutkan bahwa Dia ”masih tetap memeli hara ciptaan dan segala hal menurut pemeliharaan-Nya dan rencana-Nya yang kekal …” Sama dengan itu, baik Pengakuan Percaya HKBP (1951) dan Pengakuan GT (1981), maupun Pemahaman Bersama Iman Kris ten (PBIK) dari PGI (1984) memang menyebutkan pemeliharaan langit dan bumi sebagai karya Allah, namun tidak membicarakannya lebih lanjut. Demikian juga Peng akuan Iman Reformed Injili dari GRII (1986). Hanya Pengakuan Percaya HKBP yang menambah sedikit informasi: ”Dengan ajaran ini kita tolak ajaran Fatalisme (takdir, nasib, ’bagian’).” Kenyataannya semua dokumen ini menegaskan keterikatan absolut antara penciptaan dan pemeli haraan memang baik, tetapi sayangnya ajaran ini tidak dibela melawan berbagai pandangan manusiawi yang cukup berpengaruh di Indonesia, seperti fatalisme dan juga pikiran bahwa Tuhan bukan Allah yang mahakuasa (Ngelow 2006).
Malah, beberapa Pemahaman Iman merumuskan ajaran gereja tentang pemeliharaan Allah secara eksplisit, yaitu terhadap kebudayaan setempat (adat istiadat, agama suku) dan dunia modern (politik, teknologi, ekonomi). Misalnya, GPIB dalam Pemahaman Imannya (1986/2006) dengan tegas mengaku bahwa
1. Allah menciptakan alam dan sumber dayanya. Allah memercayakan pengelolaannya kepada negara dengan penuh tanggung jawab demi kesejahteraan manusia dan kelangsungan hidup sesama ciptaan Nya.
2. Kekuatan-kekuatan alam yang kelihatan dan yang tidak kelihatan, takluk pada kuasa Allah dan karena itu alam tidak boleh disembah.
3. Alam dan sumber dayanya telah dipulihkan oleh Yesus Kristus. Karena itu manusia yang telah didamaikan dan dipulihkan, wajib memelihara alam dan sumber dayanya dengan penuh perhatian dan rasa tanggung jawab.
4. Dengan ilmu pengetahuan dan teknologi, manusia boleh meneliti dan mengelola alam beserta sumber dayanya, secara tepat guna sehingga alam memiliki kesempatan untuk memperbarui dirinya dan berdaur ulang.
5. Oleh karena kuasa dosa, manusia cenderung untuk menguasai alam bagi kepentingan dan keuntungan pribadi, sehingga terjadi benturan kepentingan yang mengakibatkan dampak kerusakan alam. Hanya oleh pendamaian antara Allah dan manusia yang dilaksanakan dengan perantaraan Tuhan Yesus Kristus, maka manusia sebagai ciptaan baru dapat melihat kembali pentingnya alam sebagai rumah dan sarana kehidupan bagi segala mahluk.
6. Karena pembaruan Roh Kudus, Gereja memiliki kewajiban moral untuk bersama-sama pemerintah dan bangsa-bangsa berusaha menata ekologi dan mencegah pengrusakan alam.
GKJTU pun dalam Pelengkap Katekismus Heidelberg (PKH, 2008; bnd. Groen 2012, 193-206) menjelaskan keyakinannya ”tentang Budaya, Kemajemukan Agama dan Kepelbagaian Gereja, Politik, Ekonomi, serta Ilmu Pengetahuan dan Teknologi” dengan panjang lebar . Pem bahasan itu berpangkal tolak dari pengakuan implisit bahwa Allah adalah Pencipta langit dan bumi serta segala isinya. Dia pun yang memelihara langit dan bumi dan memberikan tugas kepada manusia untuk mengelolanya sesuai dengan kehendak Allah. Pelengkap tersebut menyaji kan penerapan konkret untuk menolong umat Kristen mengambil tanggung jawabnya, baik di bidang kebudayaan setempat (adat dan agama suku), maupun di bidang hidup modern (sekularisasi dan ateisme, ilmu pengetahuan, teknologi, dan ekonomi). GKJTU adalah satu-satunya gereja yang dalam PKH membicarakan pokokpokok yang menyangkut tanggung jawab manusia di dunia modern (misalnya di bidang lingkungan hidup), dan yang dengan terus terang menunjukkan kesalahan dan keber dosaan manu sia dalam melaksanakan tanggung jawab itu (lihat khususnya PKH, p/j 56-69).
Tidak semua gereja di Indonesia merumuskan dokumen-dokumen pengajaran yang khusus menjelaskan kebenaran Kitab Suci dalam konteks aktual mereka. Tetapi banyak di antara mereka yang tidak ragu-ragu mengakui iman nya, khususnya mengenai providensi Allah, dalam keputusan-keputusan yang mereka ambil secara insidental mengenai kasus-kasus tertentu. Contoh nya, Gereja-gereja Reformasi di Indonesia Wilayah Papua (GGRIP) membahas kasus kehadiran orang Kristen di Pesta Ulat Sagu yang merupakan ibadat agama suku untuk meminta kesuburan dan perlindungan (”providensi”) dari dewa setempat, Refafu. Dalam kepu tusannya, GGRIP dengan terus terang mengakui bahwa kesuburan tanah, pertumbuhan, kesehatan, damai, dan sebagainya jangan diharapkan dari dewa suku, melainkan hanya dari Allah yang hidup yang memelihara manusia dan seluruh alam semesta dengan segala kebutuhannya (lihat Venema 2006b, 339-346).
Liturgi gereja
Seperti banyak syair Mazmur dalam Alkitab (mis Mzm. 146), banyak juga nyanyian gubahan orang Kristen setempat yang berisi mengenai providensi Allah. Dalam nyanyian-nyanyian itu providensi Allah diakui atau didoakan (mis. KJ 76). Khususnya orang yang baru bertobat menjadi percaya, sering memuliakan nama Tuhan sebagai Raja dan Pemelihara alam semesta. Demikian misalnya, kelompok-kelompok Kristen Suku Citak dalam lingkungan GGRIP membuat nyanyian-nyanyian rohani yang menarik, dengan menggunakan bahasa dan lagu lokal (Farunak Puku; bnd. Groen 2012, 90-93). Pada umumnya orang Kristen senang mengungkapkan imannya mengenai pemeliharaan Tuhan dalam bentuk syair dan nyanyian, khususnya untuk mendapat atau memberikan penghiburan dalam keadaan yang sulit.
Kesimpulan
Dalam berbagai dokumen pengakuan iman dan buku pengajaran, gerejagereja Kristen mengakui kebenaran ajaran Kitab Suci mengenai pemeliharaan dan pemerintahan Allah, serta mempertahan kannya me lawan bermacammacam pandangan yang tidak sesuai dengan Kitab Suci, seperti fatalisme, deisme, dan sekularisme. Surat-surat pengakuan dan pemahaman iman yang kini dirumus kan, lebih menanggapi cara hidup yang lama dan kebudayaan setempat daripada membica rakan masalah-masalah teologi masa kini, seperti sekularisme dan pascamodernisme. Dalam nyanyian-nyanyian rohaninya pun, orang Kristen mengekspresikan pengabdiannya kepada pemeliharaan Tuhan, sambil memberi kan kesaksian yang jelas menentang pendirian orang yang merasa mampu dan berkuasa.
Baik dalam pengakuan-pengakuan imannya maupun dalam liturginya, gereja Kristus di segala zaman dan tempat mengiakan bahwa providensi Allah adalah fakta dan perbuatan Allah yang kontinu.
3. Providensi: bukan fiksi tetapi fakta
Kitab Suci, juga ringkasannya dalam berbagai Pengakuan Iman, jelas sekali berbicara tentang providensi Allah atas segala yang diciptakan-Nya. Providensi Allah adalah reali tas konkret yang kelihatan di mana-mana dan yang (dapat) dialami oleh setiap orang. Providensi bukanlah salah satu khayalan (fiksi) yang dikembangkan oleh manusia dengan maksud mencari keterangan yang supernatural bagi semua peristiwa dan feno mena yang melebihi pengertiannya, melainkan kebenaran Alkitab (fakta) yang membuat setiap orang percaya menjadi teduh dan tidak khawatir tentang hidup nya. Tuhan benar-benar tidak menyerahkan langit dan bumi, termasuk kita, kepada nasib atau per untungan, melainkan mengontrol dan memerintah segala sesuatu sambil membawa ke tujuan nya, hidup yang kekal bersama Tuhan dan AnakNya, Yesus Kristus, di langit dan bumi yang baru. Sekaligus jelas bahwa tugas manusia untuk memberlang sungkan dan mengelola semesta alam adalah kewajiban dan tanggung jawab utamanya sebagai gambar Allah.
1. Yang memelihara langit dan bumi: Allah Bapa
Di atas telah diberikan banyak bukti Alkitab bahwa Allah, yang menciptakan langit dan bumi, juga memeliharanya. Dia bukan karyawan, yang tidak mempunyai relasi dengan karya tangannya, tetapi sebagai pemilik Dia mengasihi dan karena itu memeduli kan apa yang dikerja kan-Nya. Dia bahkan mengurus sendiri keberlangsungannya, sesuai dengan rencana-Nya. Sambil menjadi kan semuanya, Allah memang menetapkan hukum-hukum untuk mengaturnya, dan juga meletakkan potensi dan energi di dalam nya untuk berkembang sendiri atau diolah oleh manusia, tetapi Dia sendiri yang bertindak agar semuanya berjalan sesuai dengan kehendak-Nya. Dalam providensiNya, Allah bukanlah kuasa atau sebab yang netral (seperti generator listrik yang membuat lampu-lampu di rumah menyala), tetapi Dialah Allah yang berkepribadian (bhs. Inggris the personal God). Tanpa perintah atau izin dari Allah yang berdaulat, tidak akan dapat terjadi sesuatu apa pun. Alam semesta tidak berlangsung secara otomatis, tetapi atas pimpinan Allah yang kontinu dan mendetail (bnd. Ayb. 38:12; Mat. 6:25-34), secara langsung atau tidak langsung (melalui manusia), melalui hukum-hukum alam (Kej. 8:22) atau sarana-sarana yang lain. Bagaimana pun, Allah yang tetap mengontrol.
• Allah Tritunggal
Sekalipun penciptaan langit dan bumi adalah karya Allah Tritunggal, karya itu biasanya dikait kan dengan Oknum pertama, Allah Bapa (Kej. 1; KH, p/j 24; lihat di atas, 3.3, btr 1). Demikian halnya dengan providensi (KH, p/j 2628). Namun, ini tidak berarti Anak dan Roh Kudus tidak terlibat di dalamnya. Khususnya PB yang mengajarkan dengan gamblang tentang kerja sama dan bahkan kesatuan ketiga Oknum Allah Tritunggal dalam membawa langit dan bumi ke tujuan akhirnya. Dalam Efesus 1:1-14 dinyatakan Paulus bahwa Allah Bapa yang meren canakan dan melaku kan segala-galanya, baik di bidang penciptaan maupun di bidang providensi, termasuk penye lamatan dunia dan penyelesaian semuanya, di dalam Kristus (bnd. Yoh. 14:10-11) dan oleh Roh Kudus (bnd. Yoh. 14:26; 16:8-11). Setelah Anak Allah melak sanakan tugasNya di bumi, Dia menerima segala kuasa di surga dan di bumi (Mat. 28:18) dan nama di atas segala nama (Flp. 2:9-11). Dia duduk di sebelah kanan Allah Bapa sambil memerintah atas segala-galanya. Dan Allah Roh Kudus yang khusus nya memelihara komunikasi antara Allah Tritunggal dan dunia untuk memeteraikan semua orang percaya (Ef. 4:30).
• Sifat-sifat Allah
Dalam Kitab Suci disebut banyak nama dan sifat Allah (lihat Bab 2; bnd. PIGB, ps. 1), yang semuanya mudah dikaitkan dengan providensi Allah, sambil menunjukkan bagai mana posisi dan sikap-Nya dalam pemeliharaan dan pemerintahan langit dan bumi. Cara-cara Allah melakukan providensiNya me nyatakan bahwa Dialah Allah yang berdaulat dan berwibawa penuh atas segala-galanya (Kelly 1995, I.3). Dalam cara Dia memelihara langit dan bumi, semua sifat-Nya jelas kelihatan. Mustahil Dia hanya dianggap sebagai kausalitas, seolah-olah Dia hanya sebab akibat segala-galanya yang ada dan yang terjadi, sehingga hubungan-Nya dengan semuanya itu hanya bersifat meka nis. Padahal Dia ada lah Allah yang berkepribadian, yang mempunyai relasi yang hidup dengan segala-gala nya. Semua perbuatan-Nya menyatakan kemahakuasaan, hikmat, kebaikan, keadilan, kemu rahan, dan kebenaran-Nya (demikian tepatnya KH, p/j 122; bnd. Van den Brink, 234).
• Pelaksanaan kehendak Allah
Dalam providensi-Nya, Allah mengikuti kehendak-Nya dalam melaksanakan rencana dan keputusan-Nya. Sebagian kehendak Allah itu kita ketahui karena dinyatakan-Nya dalam Kitab Suci, misalnya mengenai penciptaan (Why. 4:11), hukum-hukum yang Dia tetapkan (Kitab-kitab Musa), keselamatan dan hidup kekal bagi orang-orang percaya (Rm. 9:15; Ef. 1:9), dan juga tentang providensi (mis. Dan. 4:35). Baik PL maupun PB sering memberi tahu tentang apa kehendak Allah mengenai hal-hal yang tertentu. Rahasia kehendak-Nya dibuka-Nya secara langsung (mis. Kel. 20) atau secara bertahap (tentang Mesias, Ef. 2-3). Sebagian kehendak Allah yang lain masih atau tetap disembunyi kan-Nya (Ul. 29:29), sehingga kita tidak atau belum mengenalnya, misalnya tentang siapa-siapa persisnya orang pilihan-Nya, tentang usia yang akan kita capai, dan tentang kapan kesudahan segala sesuatu akan datang. Juga tentang kejadian-kejadian alam semesta atau tentang kehidupan kita sendiri, banyak hal yang bagi kita tidak jelas karena dirahasiakan oleh Tuhan. Kita sering berdoa ”Jadilah kehendak-Mu!”, ”Nyatakan kehendak-Mu!”, atau ”Hanya jika engkau menghendakinya.”; itu berarti kita menyetujui kehendak Allah, sekalipun kita tidak mengetahuinya dengan persis. Kita sering bingung tentang hubungan antara kejadian-kejadian yang mengerikan (mis. Holocaust, karamnya kapal ferry, atau penyakit parah) dan kehendak Tuhan. Bagaimana pun, kita tetap mengakui kehendak Allah yang baik semata-mata merupakan dasar yang kukuh untuk semua pekerjaan dan perbuatan-Nya.
Sama seperti penciptaan langit dan bumi, pemeliharaan dan pemerintahannya merupakan pelaksanaan ke hendak, rencana, dan keputusan Allah. Pokok providensi kadang-kadang di bahas bersamaan dengan pokok-pokok tersebut, berdasarkan pikiran bahwa Allah: 1) telah melihat dan mengetahui semuanya dari kekal, kemudian 2) menghendaki, merencanakan, dan mengambil keputusan tentang realisasinya, dan akhirnya 3) melak sana kan semuanya, seakan-akan kehendak, rencana, dan keputusan Allah itu adalah suatu segi providensiNya. Jika demikian, penciptaan adalah juga sebagian dari providensi Allah. Meskipun hubungan provi densi dengan kehendak dan keputusan Allah itu memang sangat erat, tetapi menurut data-data Kitab Suci, providensi sama seperti penciptaan harus dianggap sebagai pelaksanaan rencana dan keputusan yang telah mendahuluinya. Allah tentunya telah meren canakan dan menetapkan keberlangsungan langit dan bumi jauh sebelumnya (dari kekal) dan secara mendetail, tetapi jelas dari definisi dan pembagian nya bahwa apa yang dimak sudkan dengan providensi adalah perbuatan-perbuatan Allah yang praktis, yakni realisasi keputusan-Nya (bnd. Yes. 46:10, ”Keputusan-Ku akan sampai, dan segala kehendak-Ku akan Kulaksanakan”).
Allah Tritunggal, yang menciptakan langit dan bumi, memeliharanya sesuai dengan kehendak-Nya, secara langsung dan tidak langsung. Dengan demikian Dia mengurus keberlangsungannya dan menjamin kesudahannya.
2. Yang turut memelihara langit dan bumi: manusia
Allah sendiri yang berdaulat dan berwibawa atas semua yang diciptakan-Nya. Namun, Dia berkenan (”sesuai dengan kerelaan kehendak-Nya,” Ef. 1:5, 9) melibatkan manusia dalam pelaksa naan providensi-Nya. Khusus untuk itulah manusia dijadikan-Nya. Penciptaan menurut gambar dan rupa Allah berarti manusia diberi tang gung jawab penuh untuk turut berkuasa atas langit dan bumi, mengatas namakan Allah dalam keberlangsungan alam semesta, sebagai pengurus atau bendahara-Nya. Status yang terhormat itu membuat manusia berbeda dari malaikat. Para malaikat hanya pegawai Allah yang taat melaksanakan perintah-Nya (Ibr. 1:14; sekalipun ada yang berstatus tinggi; lihat 3.10). Sebaliknya, manusia diper lakukan sebagai anak Allah yang hidup dan bergaul akrab dengan Bapa dan yang berhak mewakili-Nya. Allah bahkan mengizinkan nya untuk sebagai makhluk yang dewasa dan bertanggung jawab mem punyai kedaulatan dan kehendak sendiri, daya cipta dan potensi mengembang kan rencana, mengambil keputusan, dan bertindak sesuai dengan kepandaian dan hikmatnya. Dengan itu Tuhan bermaksud supaya manusia dengan sepenuh hati, dengan senang dan sukarela (muncul dari dirinya sendiri) ”berjalan bersama-sama dengan Dia” (ini arti harfiah kata bhs. Latin concursus), bergaul dan bekerja sama dengan Dia sebagai anak kekasih yang mengabdikan diri kepada Pencipta nya (bnd. Ams. 14:26-27). Sama seperti semua hal lainnya, relasi dan komunikasi antara Tuhan dan manusia ”sungguh amat baik” (Kej. 1:31). Dengan demikian semua orang yang lama-kelamaan akan memenuhi langit dan bumi, akan mengolah alam semesta bersama-sama dan akhirnya mencapai sasaran Tuhan dengan sempurna, yaitu kesudahan segala sesuatu. Demikianlah tujuan Tuhan.
Ternyata manusia tidak puas dengan statusnya yang tinggi itu. Lebih dari itu, ia mau mengikuti kehendaknya sendiri (”berjalan sendiri”). Karena memberontak me lawan Pencipta nya, ia berbalik dari wakil Allah menjadi pemain lawan-Nya. Kerja sama (con cursus) diputarbalikkan nya menjadi persengketaan, bukan hanya terhadap Allah, tetapi juga terhadap sesamanya (antarmanusia). Dengan itu seluruh karya Tuhan rusak dan cemar, dengan akibat terjadi banyak kesulitan dan kejahatan. Bukan Allah yang menyebab kannya, tetapi manu sia yang membelakangi Dia. Meskipun Allah telah mengetahui nya sebelumnya dan bahkan mengizinkan kudeta manusia itu terjadi, tetapi jangan Dia yang dipersalahkan karena itu (bnd. KH, p/j 6-7). Yang berubah oleh dosa itu manusia, bukan Allah. Yang memutuskan concursus bukan Allah, tetapi manusia. Itu bukan nasib yang terjadi padanya secara kebetulan (pasif), tetapi pilihan yang benar-benar disadarinya (aktif). Karena itu, adil bila Tuhan mempertahan kan perintah awal-Nya kepada manusia dan membuat ia tetap bertanggung jawab atas segala pelaksanaannya (bnd. Kej. 9:1-2; KH, p/j 9). Di samping itu, Allah adil bila menghukum ketidaktaatan manusia dengan hukuman yang setimpal (KH, p/j 10-11).
Ketika kemudian hari manusia kembali menjadi sanggup dan bersedia melayani Tuhan, hal itu sepenuhnya adalah karya Allah sendiri, yaitu oleh Anak-Nya Yesus Kristus. Pengampunan dosa dan pemu lihan akibat dosa (keadaan cemar, kerusakan total) juga diurus oleh Allah yang penuh kasih dan anugerah. Roh Allah yang menyanggupkan orang yang diselamatkan oleh Kristus untuk concursus yang baru dalam memperebutkan dunia dari kuasa Iblis dan pembaruan segala-galanya. Berkat kesetiaan Allah Tritunggal, kerja sama antara Bapa dan anak-anak-Nya di bumi kembali menjadi baik, sehing ga akhirnya rencana Tuhan benar-benar terjadi sampai tuntas.
• Peran orang berdosa dalam pengolahan langit dan bumi
Dampak dosa pada pengolahan alam semesta teramat besar. Dosa berarti manusia kehi langan kemuliaan Allah (Rm. 3:23). Karena ia melepaskan diri dari Tuhan, semuanya menjadi terbalik. Manusia berubah dari teo sentris menjadi egosentris. Dalam segala usaha dan perbuatannya ia tidak lagi memperlihatkan Allah sebagai atasan-Nya, tetapi ia menonjolkan diri sebagai tuan yang tertinggi. Walaupun dalam pikirannya ia dapat menentukan sendiri mana yang baik dan yang jahat (itulah arti Kej. 3:22), manusia tidak lagi sanggup berbuat apa pun yang baik. Kehendak bebasnya diikat oleh dosa (bnd. Hagopian 1996, bagian I). Dari mengasihi ia ”cende rung membenci Allah dan sesama manusia,” dan dari berbuat yang baik ia ”cenderung hanya pada yang jahat” (KH, p/j 5 dan 8; lihat Bab 4). Keadaan awal sudah berubah total. Hal itu terasa dalam seluruh semesta alam (Kej. 3:14-19), dan khususnya dalam cara manusia mengolahnya.
Meskipun manusia kehilangan kemuliaan Allah dan dikuasai oleh dosa, tetapi itu tidak berarti ia juga kehilangan akal dan potensi. Ia masih pandai dan sanggup, dan tetap diper lengkapi untuk mengusahakan alam semesta. Tetapi, seperti yang Paulus katakan, pengertian manusia ”gelap”, dan perasaannya ”tumpul” (Ef. 4:17-19). Ia tidak lagi melakukan tugasnya untuk menghormati Tuhan, melainkan untuk kepentingan dirinya sendiri. Apa saja yang dilakukannya lemah (karena manusiawi) dan akhirnya tidak bertahan dan tidak berguna (bnd. Mzm. 73). Juga setelah diselamatkan oleh Kristus, hasil yang dicapai oleh orang-orang percaya masih lemah, biarpun diberkati oleh Tuhan. Orang-orang yang tidak mengenal Allah Tritunggal pun masih sanggup mencapai banyak hasil, tetapi karya mereka sebenarnya percuma dan sia-sia karena tidak diberkati oleh Tuhan (bnd. Mzm. 127; Pkh.).
Oleh kebaikan dan kesabaran Allah, banyak perkembangan langit dan bumi yang tercapai. Kenyataan bahwa bumi menghasilkan bahan-bahan dasar, makanan, dan lain-lain yang secukupnya untuk miliaran penghuni dunia adalah bukti pemeliharaan Allah yang kontinu (kesalahan manusia nyata dalam pembagiannya yang tidak adil; sebenarnya ini yang merupakan masalah yang paling besar di dunia). Juga perkembangan yang semakin cepat di bidang teknik dan digital pada abad ke-21 ini jelas menunjukkan bahwa Tuhan aktif. Tetapi, semuanya dibayangi oleh berbagai kejahatan seperti perang dan kompetisi, persengketaan, sistem kasta dan rasisme, pemborosan dan pengrusakan, pengotoran dan problematik lingkungan (mis. masalah sampah kimia dan nuklir), penyalahgunaan dan ketidak adilan (pembagian yang tidak seimbang), korupsi, serta egoisme. Betapa banyaknya ”kemajuan” yang dikerjakan manusia, semuanya terletak di bawah kutuk dosa.
Semua orang percaya memang mengakui kesalahan dan ketidaksanggupannya, dan dalam mencapai hasil atau menggumuli kelemahannya ia menyerahkan diri kepada Allah. Tetapi, orang-orang yang tetap menolak Tuhan pada masa kini melalui sekularisme dan ateisme tetap berpikir bahwa mereka mampu untuk mewujud kan sendiri dunia yang baik dan adil (”firdaus”) atas dasar kemampuan mereka sendiri. Meskipun mereka melihat ”tanggal kedaluwarsa” cepat lewat bagi semua karya tangannya, tetapi mereka tidak menganggapnya sebagai panggilan untuk bertobat kepada Allah Pencipta.
Orang-orang yang sungguh-sungguh bertobat dan percaya kepada Tuhan, tidak akan bersikap acuh tak acuh karena merasa tidak sanggup, atau lagi memusatkan kepentingan dirinya sendiri, tetapi sebaliknya, mereka akan kembali menerima dan mempraktikkan tanggung jawabnya untuk turut memelihara langit dan bumi dengan aktif dan kreatif, sesuai dengan maksud Allah yang semula, baik terhadap sesama manusianya (kasih, damai, keadilan) maupun terhadap seluruh semesta alam (ekologi, iptek, ekono mi). Orangorang percaya dengan yakin akan menentang segala yang membahayakan atau bahkan merusak kan ciptaan Tuhan, dan akan mengusahakan dengan rajin pemulihan dan per kembangannya, di segala bidangnya.
Allah berkenan melibatkan manusia sebagai bendahara-Nya yang bertanggung jawab dalam melaksanakan providensi-Nya.
Tetapi, manusia dari mengabdikan diri memberontak melawan Tuhan, sehingga segala hasil yang dicapainya akhirnya sia-sia.
Oleh keselamatan Anak Allah, semua orang yang bertobat diperbarui-Nya sehingga kembali bekerja sama dengan Allah dengan aktif dan bertanggung jawab.
3. Ciri-ciri providensi Allah
Pada umumnya providensi Allah adalah tindakan-Nya yang aktif dan kontinu dan yang penuh kasih-setia dan kesabaran terhadap seluruh alam semesta yang diciptakan-Nya. Cara Dia melakukannya dapat dicirikan dengan banyak istilah, khususnya kata-kata kerja yang masing-masing menunjukkan segi-segi providensi Allah yang tertentu, antara lain:
- Allah memedulikan
(mis. Mzm. 65:10)
Sesudah menciptakan langit dan bumi serta segala isinya, termasuk manusia, Pencipta tidak lepas tangan, tetapi terusmenerus memedulikannya. Artinya Dia tetap berhubungan akrab dengan segala yang dijadikan-Nya. Dia tidak pernah melepaskan diri dari hasil karya-Nya (berbeda dengan deisme). Dia secara khusus bergaul dan mengikrarkan perjanjian kasih dengan manusia. Kenyataan banyak sekali ”orang sombong” tidak memedulikan Allah
(Mzm. 86:14), tidak dibalas-Nya dengan perbuatan yang sama. Dalam kebaikan-Nya Dia memberikan kepandaian, kesehatan, dan sebagainya kepada orang-orang ateis sekalipun. Dan Dia bahkan berbelas kasihan ketika mereka mengalami kesulitan. Tuhan selalu menyertai karya tangan-Nya.
- Allah memerhatikan
(mis. Kej. 6:5; Kel. 2:23-25; Luk. 1:48-49)
Karena Allah Mahakuasa, tidak sesuatu apa pun yang terjadi di luar kehendak dan kontrol-Nya. Dia tetap memerhatikan segala sesuatu, dalam arti Dia mengetahui nya, melihatnya, dan mengontrolnya, yaitu untuk bertindak dengan semestinya (sesuai dengan kehendak-Nya). Kata ”memerhatikan” juga berarti bahwa Allah aktif memberi tanggapanNya (follow up), misalnya menghukum atau menyelamat kan orang.
- Allah melindungi
Allah mempertahankan
(mis. Kej. 28:15; 1Sam. 2:9; Yes. 31:5; Yoh. 17:15)
Allah tentunya tidak menjadikan alam semesta dengan maksud semuanya cepat merosot sehingga habis, rusak, dan binasa.
Dia sebaliknya menghendaki langit dan bumi berlangsung sambil bertahan dan maju sampai lengkap sempurna. Untuk itu Dia melindungi segala-galanya agar tetap baik dan aman. Dia menyediakan syarat-syarat yang dibutuhkan untuk alam semesta agar semakin berkembang. Tuhan khususnya melindungi umat pilihan-Nya melawan pengaruh dan ancaman yang berbahaya, agar situasi mereka aman dan tenteram.
- Allah memelihara
Allah merawat
(mis. Mzm. 107; 146)
Tuhan menjamin dan bahkan mengurus semesta alam agar berlangsung dengan semestinya, misalnya kesuburan tanah, pergantian musim, keamanan manusia. Dia yang membuat tanaman bertumbuh (1Kor. 3:7; Mzm. 147), merawat manusia dengan makanan dan minuman, kesehatan danobat-obatan, pakaian dan kemakmuran, sehingga mereka tidak perlu khawatir tentang hidup mereka (Mat. 6:25-34).
- Allah memerintah
(mis. Mzm. 29; 47; 93; 97)
Karena Dia Pencipta, Allah berwibawa dan berkuasa atas karya penciptaan-Nya (sesuai dengan hak cipta-Nya). Tidak sesuatu apa pun yang berada di luar kontrol dan pemerintahan-Nya. Segala-galanya takluk kepadaNya. Ditetapkan-Nya hukum dan aturan, digunakan-Nya sarana-sarana, tetapi Dia juga bertindak secara langsung. Sebagai Raja, Dia berfirman (Kitab Suci), kemudian melaksanakan apa yang difirman kan-Nya sebagai Raja yang adil. Dengan demikian Dia mengatasi semua bangsa. Iblis pun berada di bawah kuasa-Nya.
- Allah mengizinkan
Allah membiarkan
(mis. Ayb.; Rm. 1:24-32; Yak. 4:13-17 tentang ”jika Tuhan menghendakinya”)
Izin Allah yang mendahului segala yang terjadi, baik apa yang sesuai dengan kehendak-Nya, maupun apa yang melawan kehendak-Nya, seperti dosa. Dalam hikmatNya, Dia mengizinkan Iblis dan manusia melakukan kejahatan, dan Dia membiar kan terjadi malapetaka, celaka, perang, penyakit, dan sebagainya (tidak berarti Dia setuju).
Mustahil sesuatu apa pun terjadi di luar kehendak-Nya.
- Allah memberkati
(mis. Bil. 6:24-26; Ul. 28:1-14; Mzm. 128; 2Kor. 13:13)
Berkat Allah adalah syarat yang harus ada demi keberlangsungan seluruh semesta alam. Dengan berkat-Nya, Allah membuat semuanya yang diusahakan berhasil dan berguna, dan mencapai tujuannya. Berkat Allah yang khususnya membawa kebaikan, keselamatan, dan kebahagiaan dalam hidup manusia.
- Allah menghukum
Allah memperbaiki
(mis. Ul. 28:15-46; Hak. 2:14)
Sebagai Allah yang adil dan setia, Dia menghukum semua ketidak taatan dan kejahatan (sesuai dengan janji-Nya). Dasar kemarahan Allah bukanlah rasa dendam, tetapi kasih-Nya. Maksud-Nya supaya terjadi pemulihan dan pertobatan. Walaupun Dia menyerahkan orang yang murtad kepada dirinya sendiri (Rm. 1:18-32), dan kadang-kadang juga mengundurkan diri dari umat perjanjian-Nya (Yeh.), tetapi dengan memberikan hukuman, Allah ingin meniadakan dosa dan memperbaiki hidup manusia. Pembaruan segala-galanya adalah tujuan akhir-Nya.
- Allah menyelamatkan
(mis. Kel. 2:23-25; Mzm. 103; PB)
Berdasarkan kasih dan anugerah-Nya, Allah menyelamatkan dunia dari kuasa dosa dan Iblis, yaitu oleh Anak-Nya Yesus Kristus. Pada masa PL, Dia mengikrarkan perjanjian-Nya dengan satu orang (Abraham) dan satu bangsa
(Israel). Melalui mereka Dia memberkati semua bangsa. Setelah Yesus Kristus melakukan tugas keselamatan-Nya, kabar tentang itu disebarluaskan ke seluruh dunia, dengan pesan ”Percayalah dan bertobatlah!”
Keselamatan semua orang per caya dari semua bangsa, merupakan puncak providensi Allah.
Dia bukan hanya Pencipta langit dan bumi, melainkan juga Penebusnya.
- Allah membarui
Allah memenuhi
(mis. Kitab-kitab Para Nabi; Mat. 24; Rm. 12; Ef. 4:20-24; Why.)
Oleh keselamatan Kristus, orang percaya memperoleh hidup baru. Roh Kudus yang memimpin dan membarui mereka, sehingga mereka semakin kudus di segala bidang hidupnya. Dengan itu mereka kembali menjadi wakil Allah di bumi ini. Akhirnya, pada hari kedatangan Raja Kristus, Allah akan me menuhi segala-galanya dengan penciptaan bumi yang baru dan sempurna. Dengan demikian semua janji-Nya akan tergenapi dengan tuntas. Langit dan bumi yang baru itu akan lebih baik daripada yang sekarang, karena dosa dan kejahatan, kesulitan dan kematian, tidak mungkin terjadi lagi.
Semua ciri providensi Allah tersebut tidak lain mengukuhkan arti namaNya, YHWH, ”Aku adalah Aku” atau ”Aku ada” (Kel. 3:14). Artinya, Dia selalu hadir dan aktif. Banyak bukti yang tersedia dalam semua perbuatanperbuatan-Nya yang besar (yang sepatutnya kita ingat dan kabarkan, Mzm. 77:12-14; Kis. 2:11), yang dilakukan-Nya baik untuk alam semesta, maupun untuk umat-Nya dan pribadi anak-anak-Nya masing-masing.
4. Beberapa pokok khas providensi Allah
Berikut ini pembahasan ringkas beberapa pokok yang langsung berkaitan dengan providensi Allah:
Providensi dan berkat Allah
Sudah tentu, provi densi Allah tidak dapat berlangsung tanpa Dia memberkatinya. Sebaliknya Dia mengutuk apa dan siapa yang menghindari nya. Keduanya menjamin kelanjutan dan keberhasilan providensi Allah.
Berkat Allah
Providensi dan berkat Allah merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Keduanya sering tampil sebagai dwitunggal, yang di dalamnya providensi Allah mengenai pengurusan dan fakta-fakta keberlangsungan alam semesta (pemeliharaan, pemerintah an), sedang kan berkat-Nya yang menjamin dan memastikannya di segala bidangnya. Karena berkat Allah, provi densi-Nya berhasil. Sudah sejak Allah menjadikan langit dan bumi dengan segala isinya, kita membaca bahwa Dia memberkati semua nya itu (Kej. 1:22). BerkatNya itu terus-menerus diberikan-Nya, sehingga seluruh alam semesta mengeluarkan hasilnya, makanan dan minuman (antara lain Mzm. 67:7-8), juga kedamaian, kemakmuran, perkembangan ilmu, dan sebagainya. Secara istimewa Dia memberkati manusia, seperti Nuh (Kej. 9:1), Abram (Kej. 12:2; 22:17), umat-Nya Israel (khusus Bil. 6:24), Ayub (Ayb. 42:12), dan semua orang yang benar (Mzm. dan Ams.). Tetapi bangsa-bangsa lain juga (manusia secara umum) menerima berkat-Nya (Kej. 12:3; 39:5; Kitab-kitab para nabi, mis. Yes. 19:15; Kis. 3:25; Gal. 3:8).
Selain memberikan berkat-Nya secara langsung, Allah membuat orang atau bangsa menjadi berkat bagi orang lain dan bahkan bagi seluruh dunia, khususnya berkaitan dengan realisasi kesela matan yang direncanakan-Nya, yaitu melalui Abram dan Israel, Anak Manusia (bnd. Mat. 1:1-17), dan akhirnya gereja-Nya yang semakin tersebar di seluruh dunia. Berkat Allah yang ternyata sangat luas, mendasar pada rencana, kebaikan, kasih, dan anugerah-Nya. Dengan berkat-Nya Dia menjamin dampak dan keberhasilan segala-galanya.
Jadi, yang dimaksudkan dengan berkat Allah ialah khususnya tindakan Allah yang aktif dan proaktif, yang langsung dan tidak langsung untuk menjamin penciptaan dan providensi-Nya mencapai hasil yang direncanakanNya. Jaminan itu sering ditandai dengan penumpangan tangan (Im. 9:22; Bil. 6:27, sebagai visualisasi ”meletakkan nama-Ku atas orang Israel”; Luk. 24:5051). Sering juga hasil itu sendiri diang gap sama dengan berkat Tuhan. Tepatlah apa yang Mazmur 133:3 katakan, ”Tuhan me merintahkan berkat, kehidupan untuk selama-lamanya.”
• Kutuk Allah
Selain memberikan berkat-Nya, dapat terjadi Allah menjatuhkan kutuk-Nya. Mengenai kutuk itu pun banyak terdapat contoh dalam Kitab Suci. Di satu sisi, kutuk yang menunjukkan situasi langit dan bumi, setelah manusia jatuh ke dalam dosa, dalam arti semuanya rusak dan fana. Sebagai hasil dosa, ular yang terkutuk di antara semua binatang, dan tanah terkutuk karena Adam berdosa (Kej. 3:14, 17). Banyak juga perbuatan manusia yang terkutuk. Ini berarti, semuanya berlangsung ke arah pembina saan (kebalikan dari rencana Allah). Di sisi yang lain, kutuk merupakan tindakan Allah, yang langsung atau tidak langsung, untuk menghindari, atau untuk me mulihkan apa yang mengancam kehendak, rencana, dan providensi-Nya terlaksana. Dengan memberikan kutuk-Nya, Allah menghakimi dan menghukum, memperbaiki atau meniadakan segala yang tidak sesuai dengan providensi-Nya (bnd. Kej. 8:1), agar semuanya kembali berlangsung ke arah kemuliaan. Berkat dan kutuk yang merupa kan pasangan yang bertentangan yang satu dengan yang lain (Im. 26; Ul. 27-28; Yos. 8:30-35), tetapi tujuannya sama, yaitu rencana Allah tetap terjadi. Penerimaan berkat atau kutuk itu langsung (dan sangat konkret) berhubungan dengan ”men dengarkan suara Tuhan, Allahmu, dan melakukan dengan setia segala perintah-Nya” atau tidak.
Jadi, yang dimaksudkan dengan kutuk ialah tindakan Allah untuk mengamankan pelaksanaan provi densi-Nya. Yang mengancamnya digagalkanNya, atau hasilnya dipulihkan-Nya. Kutuk Allah tidak berarti Dia hendak memusnahkan semesta alam, termasuk manusia. Sebaliknya, tujuannya positif. Dengan tindakan yang mantap terhadap segala yang menyeleweng, Allah mengurus provi densi-Nya berlangsung dengan semestinya, sehingga hasilnya tetap terjamin. Artinya, kutuk digantikan berkat (Ul. 30; bnd. 2Raj. 2:19-25). Kalau seseorang (atau bangsa) malahan tetap tidak mau menaati kehendak Allah, kutuk Allah akan mendapat hasil yang negatif baginya, yakni pembinasaan yang kekal (bnd. Hak. 5:23; Mal. 2:2; Why. 20:11-15).
Berkat Allah yang membuat providensi-Nya berhasil guna sebagaimana mestinya. Melalui kutuk-Nya pun Allah menjamin providensi-Nya berhasil.
Teologi kemakmuran dan kemenangan
Banyak orang di dunia yang menurut agama-agamanya masing-masing, termasuk juga iman Kristen memandang penerimaan berkat atau kutuk sebagai otomatisme. Mereka pikir, siapa yang menaati semua aturan Ilahi (atau nenek moyang) dengan sempurna, sudah pasti akan mendapat berkat yang setimpal dalam kehidupan sehari-harinya, sedangkan sebaliknya orang yang melanggarnya, akan mengalami hukuman dan kutuk yang seimbang dengan dosanya (Ayb.; lihat di bawah tentang providensi dan sengsara). Berkaitan dengan ini, di kalangan Kristen dikembangkan pandangan yang dikenal dengan beberapa nama, yaitu ”teologi kemakmuran” (prosperty theology), ”teologi sukses”, dan ”teologi kemenangan” (victory theology). Latar belakangnya ialah keyakinan bahwa orang yang berusaha dengan kuat untuk hidup atas dasar dan sesuai dengan firman Tuhan, akan berhasil secara otomatis, karena berkat Allah terjamin bagi setiap orang yang benar dan tulus hati (besarnya sukses dan kemenangan memang tergantung dari tingkat usahanya). Yang menjadi landasan filsafat ini adalah doa Yabes dalam 1 Tawarikh 4:10. Yabes itu adalah orang yang ”berseru kepada Allah Israel.” Ia berdoa untuk boleh menerima kemakmuran yang berlimpah-limpah, yakni di bidang kekayaan, tanah (daerah), dan perlindungan dari malapetaka dan kesakitan. Doanya itu kemudian dikabulkan Allah: Yabes memperoleh apa yang didoakannya. Terdapat contoh-contoh lain lagi, yang menunjukkan Allah menolong orang-orang yang takut akan Dia dengan berkat yang berlimpah-limpah, entah dalam bentuk kemakmuran (antara lain 2Raj. 4:1-7), kesehatan (banyak mukjizat Yesus), dan kemenangan (mis. 2Taw. 32). Berdasarkan kejadian-kejadian yang sebenarnya hanya bersifat insi dental ini, orang menarik kesimpulan yang menyeluruh bahwa setiap orang yang setia dan rajin dalam imannya kepada Tuhan, akan mengalami sukses yang sedemikian. Tetapi kalau orang Kristen tidak sukses, tetapi sebaliknya menderita sengsara … apakah itu berarti kepercayaannya kurang? Dalam Kitab Suci, teologi kemak muran dan kemenangan tidak melulu didukung (mengenai pandangan ini lihat Wilkinson 2000).
Providensi dan doa
Manusia diciptakan Allah sebagai makhluk yang sosial dan komunikatif. Dari awal Allah dan manu sia bergaul bersama-sama, demikian juga Adam dan Hawa, dua orang pertama. Justru komunikasi antara Allah dan manusia yang membuat mereka merupakan tim yang erat dan kooperatif (Kej. 1–2 ). Karena dosa, hubungan antara Allah dan manusia, juga antarmanusia, memang sangat berubah sifatnya, tetapi tidak putus. Berdasarkan tindakan dan janji Allah dalam Kejadian 3:15, mereka senantiasa tetap bergaul (on speaking terms). Allah yang berbicara melalui firman-Nya, secara lang sung (mis. kepada Abraham dan Paulus) maupun secara tidak langsung (melalui para nabi dan rasul). Dan manusia yang bergaul dengan Allah melalui doa. Walau pun dua kata ”firman” dan ”doa” merupakan istilah-istilah yang istimewa, tetapi pada dasarnya dua kata itu menunjukkan cara komunikasi antara Allah dan manusia (khususnya semua orang yang percaya kepada-Nya) terjadi. Melalui firman-Nya, Allah menyatakan kehendak-Nya dan menyampaikan rencana dan janji-janji-Nya. Dan melalui doa, manu sia menghampiri Tuhan untuk memberikan reaksi, mengucapkan syukur, menyata kan pengabdian nya, menyampaikan berita, dan juga mengajukan permohonannya (dalam KH pokok firman/hukum Allah dibicarakan dalam p/j 92-115, dan pokok doa manusia dalam p/j 116-129;
Van den End 2004, 224-234). Berkat komunikasi melalui firman dan doa ini, pengelolaan alam semesta dapat berlangsung.
Berkaitan dengan itu, khususnya hal mengajukan permohonan kepada Tuhan doa syafaat (petitionary prayer) yang maksudnya adalah Allah bertindak atas permintaan manusia yang menjadi pokok diskusi. Sehubungan dengan Allah berprovidensi sesuai dengan kehendak dan rencana-Nya yang abadi, timbul pertanyaan, apakah manusia dapat memengaruhi Allah dengan doanya? Menurut Kelly, ”berdoa mengubahkan dunia” (Kelly 1995, 9). Dengan tepat ditekankannya bahwa melalui doa kita langsung berkomunikasi dengan Allah. Tetapi, apa sebenarnya peran dan manfaat doa sya faat kita, misalnya mengenai pe nyembuhan (Paulus, 2Kor. 12:7-10) atau pemberian kelimpahan (Yabes, 1Taw. 4:9-10), jika Allah telah menentukan semuanya jauh sebelumnya? Apakah Allah yang berdaulat akan bersedia memenuhi permohonan kita dan mengubah pelaksanaan rencana-Nya?
Dari Alkitab jelas, kesediaan Allah itu benar-benar ada, melihat kenyataan bahwa Dia mengajak kita untuk meminta (mis. Mat. 7:7-11), apalagi Dia mengabulkan doa-doa yang dipanjatkan kepada-Nya (bnd. KH, p/j 117). Dalam Kitab Suci disebutkan berbagai contoh. Mis., Allah menunda hukum alam yang di tetapkan-Nya, yaitu atas doa Yosua (Yos. 10:12-14; sambil penulis menekankan bahwa belum pernah Tuhan mendengarkan seorang manusia dengan cara demikian). Atas doa Raja Hizkia yang sakit minta penyembuhan, Tuhan berkenan memperpanjang hidupnya 15 tahun lagi. Dan sebagai tandanya Dia membuat bayang-bayang mundur ke belakang 10 tapak pada penunjuk matahari (2Raj. 20:1-11). Beberapa mukjizat kebangkitan orang mati pun, baik dalam PL maupun PB, menun jukkan bahwa Allah menga bulkan doa kita (mis. Mrk. 5:23, 35-42).
Doa Aku mohon Allah memberikan kekuatan, tetapi yang kudapati itu banyak kesulitan, yaitu untuk memenangkannya.
Aku mohon Allah memberikan hikmat, tetapi yang kudapati itu banyak masalah, yaitu untuk memperoleh pengertian.
Aku mohon Allah memberikan kasih, tetapi yang kudapati itu banyak orang yang menentangku, yaitu untuk mengasihi mereka.
Aku tidak mendapati sedikit pun dari apa yang kuinginkan, tetapi aku menerima semuanya yang kubutuhkan.
Kenyataan, doa kita kadang-kadang tidak langsung dipenuhi (mis. Kej. 2:2325) atau sama sekali tidak di dengarkan (mis. 2Kor. 12:7-10), atau dika bulkan dengan cara yang berbeda dengan apa yang kita mohon (lihat contoh tadi), menjelaskan bahwa tepatlah kita mengakhiri doa kita dengan kata-kata, ”jika Engkau menghendakinya” (Yak. 4:15; bnd. doa ketiga dalam doa ”Bapa kami”). Tuhan mengabulkan doa kita bukan berarti Dia mengubah rencanaNya. Sebaliknya, dalam providensi-Nya Dia telah memperhitungkan doa kita sebelumnya, sehingga kita sungguh-sungguh menerima apa yang telah Allah tetapkan bagi kita, pada waktu dan dengan cara yang berkenan kepadaNya (Calvin 1985, 41; juga Kelly 1995, kh Bab 3; Tiessen 2000, kh Bab 11, 13, 14; Westerink 2011). Dengan demikian Allah justru menggunakan permohonan-permohonan kita untuk menggenap kan rencana-Nya. Doa-doa kita merupakan bagian yang aktif dalam seluruh proses Allah mewujudkan rencana-Nya. Dengan sengaja manusia dilibatkan-Nya dan diberi tanggung jawab dalam keberlangsungan langit dan bumi. Dalam rangka itu, wajar bila manusia berdoa untuk boleh mene rima apa yang dibutuhkan bagi dirinya sendiri dan bagi sesamanya (selain iman dan pimpinan Roh, keperluankeperluan seperti kesehatan, makanan, dan dana). Dengan demikian Allah yang berdaulat melaksanakan kehendak dan rencana-Nya yang abadi dalam realitas konkret, yaitu sambil memperhitungkan masukan dan permohonan manusia. Dalam hal itu manusia yang benar-benar menya dari posisinya, tentunya akan mengarah kan dirinya agar sekehendak dengan Allah dan menyangkal kemauannya sendiri (seperti doa Yesus, Mat. 26:39, 42; juga Yoh. 17; bnd. KH, p/j 124). Khususnya dalam doa ”Bapa kami” Kristus mengajar kita mendoa kan apa yang telah direncanakan dan dijanjikan Allah sebelumnya, baik mengenai diri-Nya sendiri maupun mengenai keperluan manusia untuk hidup sebagai anak-anak-Nya (Mat. 6:33).
Doa kita merupakan bagian yang aktif dalam seluruh proses Allah mewujudkan rencana-Nya.
Dalam setiap agama orang memakai berbagai cara untuk memengaruhi Allah atau dewa-dewi mereka. Selain doa, yang sering merupakan formula-formula yang tetap yang harus diucapkan dengan lengkap dan sempurna, digunakan cara-cara untuk menaati aturan-aturan (mis. Islam: puasa pada Bulan Ramadan) atau adat istiadat, mempersem bahkan kurban-kurban binatang atau ukupan (Hindu), melakukan amalan, membayar denda untuk menutupi kesalahan atau memberikan sumbangan wajib/sukarela (Islam: zakat; Kristen: derma), mengakui kesalahan sambil mohon ampun dan mengucapkan janji tobat, meditasi (Budha), melakukan jampi atau mantra (agama suku: sihir, mau-mau). Tujuan semua cara itu ialah untuk memanipulasikan Allah atau dewa, berdasarkan prin sip do ut des (aku berikan agar engkau berikan). Dengan demikian banyak permohon an yang diajukan kepada Allah atau dewa, bersifat paksaan atau tuntutan. Ketaatan dan amalannya dipakai orang untuk selan jutnya mengklaim permohonannya dikabulkan (jika mis. warga suku Kombai di Papua mengadakan Pesta Ulat Sagu yang melimpah ruah untuk Refafu, dewa mereka, tidak dapat tidak ia memberkati mereka dengan untung dan kesuburan). Karena telah memenuhi segala macam syarat-syarat, mereka berpikir berhak menerima berkat Allah. Artinya, Allah atau dewa yang harus menye suaikan rencananya dengan kehendak manusia.
Orang yang bingung tentang keberadaan Allah, kadang-kadang memakai cara paksaan ini untuk mendapatkan buktinya (katanya, ”aku hanya akan percaya kepada Allah, kalau Dia lebih dahulu memenuhi keperluanku”). Selain itu, banyak orang Kristen, khususnya di kalangan karismatik, yang mengklaim bahwa Allah mengabulkan doanya, karena mereka berpikir Allah selalu akan memenuhi kesukaan orang yang sungguh-sungguh percaya.
Perbedaan besar iman Kristen dengan semua agama lainnya ialah bahwa hanya iman Kristen yang mengenal pergaulan akrab antara Allah dan manusia, yang berdasarkan kasih dan anugerah. Semua agama lainnya berdasarkan keharusan manusia menaati aturan-aturan dan selanjutnya keharusan Allah atau dewa menanggapi itu dengan mengabulkan permohonan (syarat dan akibat). Padahal, Alkitab dengan jelas menegaskan bahwa Allah yang hidup tidak dapat dipaksa dengan cara apa pun. Dia benar-benar ingin kita berdoa, dan senang menga bulkannya, jika sesuai dengan kehendak-Nya. Dia bukan Allah yang bertindak sewenang-wenang atau secara otomatis (Mzm. 40:7-9; bnd. Ibr. 10:5-10).
Doa adalah sarana manusia untuk berkomunikasi dengan Allah. Dengan doanya, orang Kristen tidak bermaksud berkuasa atas Pencipta dan Bapanya atau memanipulasikan rencana-Nya, tetapi sebalik nya ia bergaul dengan Dia yang berdaulat atas semesta alam-Nya dan yang berprovidensi dengan adil dan benar. Doa yang membuat manusia kembali menjadi makhluk yang sosial dan kooperatif, dalam keyakinan bahwa jawaban Allah selalu baik belaka. Gumble (penulis Alpha Course) mengatakan: ”Kalau Tuhan menjawab ’Iya’, Dia melakukannya untuk me nambahkan iman kita. Jika Dia menjawab ’Tunggu’, Dia melakukannya untuk menguatkan kesabaran kita. Kalau Dia menjawab ’Tidak’, Dia me lakukannya karena mempunyai rencana yang lebih baik bagi kita” (tweet yang dikutip dari harian Nederlands Dagblad, 19 April 2012).
Providensi dan sengsara
Kenyataan, bumi penuh sengsara (KH, p/j 26). Tidak seorang pun dan juga ciptaan-ciptaan lainnya yang tidak mengalami kesulitan. Melihat segala penderi taan itu atau bahkan mengalaminya sendiri mis. yang disebabkan kelaparan atau kemiskinan, pe nyakit yang parah (tbc, kanker, aids), kematian karena kecelakaan, bencana alam yang olehnya ribuan orang tewas (tsunami, gempa bumi, badai), atau kejahatan (perang, kekerasan, penganiayaan) yang olehnya banyak orang ditindas membawa orang ke reaksi yang beraneka ragam. Sudah tentu, setiap kesulitan besar maupun kecil membuat orang merasa tidak nyaman, sehingga ia langsung cenderung mengartikannya sebagai hal yang tidak baik, yang harus ditiadakan secepat-cepatnya. Apa sebenarnya urusan Allah dengan semua penderitaan itu? Apa hubungan antara providensi-Nya dan sengsara?
• Berbagai tanggapan pada penderitaan
Reaksi orang terhadap penderitaan sangat berbeda-beda. Terjadinya penderitaan membuat kelompok yang satu meragu kan kuasa dan kebaikan Allah, juga providensi dan keadilan-Nya. Mereka berkesim pulan bahwa tampaknya Allah tidak berkuasa, tidak peduli, atau bah kan Dia sama sekali tidak ada. Meskipun mereka mengiakan bahwa banyak kesulitan memang disebabkan oleh manu sia sendiri karena dosa dan kejahatan nya, atau karena akibat dosa (kelemahan, ketidaksanggupan), mereka tidak mengerti dan karena itu mereka tidak menerima bahwa Allah tidak menghindarkan terjadinya penderitaan atau, kalau memang terjadi, langsung memulihkan nya. Dapat terjadi, mereka marah kepada Tuhan dan menuntut pertanggungjawaban-Nya (Yancey 2008, 14). Kalau Dia memang baik adanya, apa sebenarnya urusanNya dengan penderitaan? Kalau malah Dia yang menye babkannya atau mengizinkannya terjadi, mereka menyimpulkan bahwa Allah tidak konsisten dan tidak adil. Banyak juga orang yang kehilangan iman karena itu.
Kelompok yang lain berpendirian bahwa penderi taan adalah sama dengan kejahatan, sehingga tidak mungkin datang dari Allah, tetapi berasal dari Iblis (bnd. dualisme). Menurut pikiran ini, Allah yang mahabaik pasti tidak mau orang per caya menderita, sehingga Dia siap sedia untuk memperbaiki setiap keadaan sulit yang mereka alami (asal saja mereka memenuhi syarat beriman dan berdoa dengan sungguh-sungguh). Allah tampaknya dikejutkan oleh penderitaan, yang terjadinya mungkin telah dilihat-Nya sebelumnya, tetapi yang tidak mungkin dihindarinya. Jika demikian, Allah sekaligus tidak berkuasa terhadap terjadinya kesulitan, namun berkuasa untuk meniadakannya. Sebagai konsekuensinya, Allah dianggap terbatas dalam kedaulatan dan providensi-Nya.
Selain orang yang berpendapat bahwa Allah tidak berurusan dengan penderitaan, ada yang khusus menekankan peran aktif Allah dalam terjadinya penderitaan. Dia yang memperbolehkannya terjadi (mis. penderitaan Ayub dan Paulus), atau bahkan Dia sendiri yang membuatnya terjadi (mis. Bil. 12; Am. 3:6; Flp. 1:29; juga Kristus, Yes. 53:1-12), dengan alasan atau tujuan tertentu.
Di antaranya ada kelompok yang menganggap bahwa setiap penderitaan tanpa kecuali adalah hukuman Allah atas dosa tertentu. Jika orang mengalami sengsara, langsung ditanyakan apa pelanggaran yang di lakukannya (bnd. Ayb.; Yoh. 9:2; pandangan ini sebenarnya kuat dalam semua agama, bahkan dalam ateisme). Artinya, Allah sengaja mendatangkan penderitaan untuk menghukum pelanggaran (mis. Hak. 2:6-23). Maksud hukuman ialah supaya orang bertobat dan kembali menjadi taat pada undang-undang-Nya, dan mengintensif kan iman dan amalannya. Jika tidak, mereka akhirnya akan mengalami penghakiman Allah yang kekal kemudian menderita dalam neraka. Yang ditegaskan ialah kedaulatan Allah yang mutlak dipertahankan-Nya tanpa kemurahan sedikit pun. Pandangan ini juga yang mengartikan segala kesulitan sebagai pengalaman negatif.
Selain berbagai interpretasi tersebut, yang meman dang penderitaan dari sudut negatif, ada yang dengan tepat menekankan arti positifnya, yaitu sebagai sarana yang Allah pakai, khususnya untuk menguji dan memperkuat iman orang percaya, sedang kan untuk orang yang belum per caya, penderitaan bersifat panggilan atau peringatan untuk bertobat kepada Tuhan. Boleh jadi, Tuhan menghukum (bnd. PL, mis. Hak.), tetapi jangan begitu saja penderitaan dianggap sinonim dengan hukuman atau keja hatan. Terjadinya bencana alam dan penderitaan besar sebagai dampaknya (mis. tsunami; bnd. Ngelow 2006), atau penya kit parah dan kematian sebagai akibatnya (mis. leukemia; bnd. Kushner 1981), janganlah ditafsirkan secara otomatis sebagai hukuman Allah atau bahkan sebagai bukti Allah tidak berkuasa. Bukankah baik orang yang setia percaya kepada-Nya maupun orang yang tidak percaya, tertimpa olehnya? Hendaklah sengsara itu dipandang sebagai nasihat atau peringatan Allah (Lewis 2008: ”megafon Allah”) untuk menyadarkan manusia akan kenyataan bahwa Dia yang mempunyai segala kuasa di surga dan di bumi.
Selama Hari Kiamat-Nya belum datang, masih ada kesempatan untuk manusia berbalik kepada Tuhan (Mat. 24).
• Kesulitan, penderitaan, kejahatan, dan penyebab-penyebabnya
Tampaknya ada banyak salah pengertian mengenai berbagai sengsara yang manusia alami. Penting kita melihat kesamaan dan perbedaan arti antara ketiga pengertian, yakni kesulitan, penderitaan, dan kejahatan.
- Kesulitan – Yang dimaksud dengan kesulitan ialah sesuatu yang sukar, pengalaman atau keadaan yang sulit, misal kan buku studi yang sulit dipelajari, jalan yang curam yang sukar ditempuh, pekerjaan yang tidak mudah diselesaikan (atau justru tidak adanya pekerjaan karena menganggur), atau kehidupan yang susah karena resesi ekonomi, perasaan lapar dan haus. Kata kesulitan menunjukkan perasaan atau pengalaman yang luas dan umum. Kesulitan yang membuat orang merasa tidak nyaman. Untuk mengatasinya orang harus berjuang keras. Karena itu dia capai, lelah, lamban, dan hasilnya kurang sempurna. Kadang-kadang rasa sakit karena kesulitan yang di alaminya, hanya sebentar. Namun, jelas dari Kejadian 3 bahwa justru kesulitan adalah ciri utama suasana hidup di bumi, bukan sebagai hukuman melainkan sebagai akibat dosa (Kej. 3:16-19). Tidak seorang pun di bumi yang hidupnya tanpa mengalami sengsara. Tuhan bahkan tidak pernah menjanjikan hidup tanpa kesulitan kepada kita. Meskipun demikian, orang masih dapat berfungsi dan berhasil baik (bnd. petani yang mengalami kesulitan dengan ladangnya karena hujan atau hama belalang, namun panennya mencukupi).
- Penderitaan – Perbedaan arti antara penderitaan dan kesulitan khususnya terletak dalam intensitasnya (sehingga dua-duanya dapat disebut sengsara). Kesulitan yang semakin parah dan hebat, dan yang berlangsung semakin lama, berkembang menjadi pen deritaan (kesakitan/ rasa sakit yang berubah menjadi penyakit; kesulitan yang semakin besar di ladang petani yang menyebabkan panen gagal total). Oleh kesulitan, orang terganggu atau terhambat dalam keberlangsungan hidupnya, namun ia masih dapat melanjutkannya secara optimal. Padahal oleh penderitaan, keberlangsungan hidupnya sangat terbatas atau bahkan terhenti, sehingga ia tidak lagi mampu melanjutkannya sendiri, tetapi memerlukan pertolongan. Penderitaan membuat orang tidak lagi dapat bertahan.
- Kejahatan – Walaupun ada kaitannya, tetapi besar perbedaannya antara kejahatan di satu sisi dan kesu litan serta penderitaan di sisi lainnya. Semuanya memang berhubungan yang satu dengan yang lain, karena kejahatan biasanya mengakibatkan kesulitan dan penderitaan yang besar (mis. dukacita karena pembunuh an, kerusakan besar karena perang atau serangan teroris). Dan sebaliknya, boleh jadi orang yang mende rita karena kemiskinan atau kelaparan, melakukan kejahatan (mis. perampokan, pencurian) dengan akibat yang lebih parah lagi. Tetapi signifikan perbedaannya. Dengan kejahatan, khusus yang dimak sudkan adalah kejadian atau perbuatan yang tidak baik, entah disengaja atau tidak. Manusia melakukan kejahatan berarti ia ber dosa melawan Allah, sesama manusia, dan alam semesta, melanggar norma-norma dan hukum-hukum (hukum Allah, hukum negara), merugikan orang (peng hinaan, kekerasan, korupsi, pencurian, penjajahan), merusak atau bahkan menghancurkan alam semesta (pemusnahan jenis-jenis bina tang dan tanaman, bencanabencana ling kungan yang mondial). Berbeda dengan kesulitan dan penderitaan, kejahatan selalu dan langsung berhubungan dengan Iblis (si jahat), dosa, benci, dan maut. Meskipun Tuhan mengizinkan keja hatan terjadi, Dia sama sekali tidak menye tujuinya, dan tidak berurusan dengannya. Sebaliknya Dia membenci segala kejahatan dan ketidakadilan. Mustahil Dia melakukan kejahatan atau mencobai manusia untuk melakukannya (Yak. 1:12-18, 21). Kejahatan tidak pernah terjadi sesuai dengan kehendak Allah (lihat di bawah).
Mengenai berbagai penyebab penderitaan (dan kejahatan), biasanya dibedakan sebagai berikut:
- penyebab alami: penderitaan yang disebabkan oleh realitas alam semesta: batu yang keras, api yang panas, angin ribut, gempa bumi, tsunami, dan sebagainya. Banyak kesulitan juga disebabkan oleh kelemahan, penyusutan dan penuaan alam semesta (termasuk manusia sendiri). Allah tidak menciptakan langit dan bumi yang langsung lengkap dan sempur na, karena atas perintah-Nya masih perlu diusahakan dan dikembangkan oleh manusia, tetapi dosa khususnya yang mengakibatkan semua perkembangan itu kandas atau bahkan dibalikkan menjadi kemerosotan (cacat, keguguran bayi, pe nyakit kanker, depresi, dan lain-lain). Setelah jatuh ke dalam dosa, manusia tidak lagi mampu berkuasa atas alam semesta, juga atas dampak-dampak dari hasil yang dikembangkannya (mis. pabrik nuklir, masalah-masalah lingkungan). Sering manusia tidak siap dan tidak (lagi) mampu menghindari atau mengendalikan bencanabencana yang terjadi.
- penyebab sosial: banyak penderitaan yang merupakan akibat (langsung atau tidak langsung) kesalahan dan korupsi manusia, misalnya kecelakaan, kelaparan, konstruksi gedung yang tidak memenuhi syarat, tanah longsor karena penebangan pohon, kriminalitas, dan pembunuhan. Banyak kesulitan yang disebabkan oleh fakta kalau manusia menomorsatukan dirinya sendiri dan membenci sesamanya, padahal mengutamakan dan mengasihi sesama manusia adalah tujuan penciptaan.
- penyebab supernatural: penderitaan yang didatangkan oleh Allah untuk menguji atau bahkan menghukum manusia agar bertobat dan kembali kepada Tuhan, atau yang disebabkan oleh Iblis dan roh-roh jahatnya (dengan izin Allah), yaitu untuk mencobai manusia dan membuat ia jatuh. Iblis dan para pengikutnya memang telah dikalahkan oleh Anak Allah, Yesus Kristus, tetapi kuasanya masih cukup besar (D-day sudah terjadi, yaitu hari Kristus menang atas dosa dan Iblis ketika Dia mati di kayu salib, tetapi V-day masih ditunggu, yakni hari Kristus datang kembali untuk final dan kiamat).
• Maksud Allah dengan penderitaan
Karena Kitab Suci menekankan bahwa Allah adalah Yang Mahakuasa yang memerintah segala-galanya tanpa kecuali, kesulitan apa pun tidak pernah terjadi di luar kontrol dan keputusan-Nya. Setiap penderitaan (juga kejahatan) tidak kebetulan terjadi pada Tuhan, di luar (pra)pengeta huan dan kontrolNya, seakan-akan tidak dapat tidak harus diterima-Nya. Cukuplah riwayat Ayub untuk membuktikan bahwa Allah berkuasa atas segala sengsara dan juga kejahatan. Dia yang paling sedikit mengizinkan terjadinya (Ayb. 1:12; 2:6, bnd. Ayb. 2:10). Izin itu diberikan-Nya bukan secara pasif atau terpaksa, tetapi Dia menyetujuinya secara sadar dan aktif, dengan tujuan yang baik dan benar. Artinya, dalam mendatangkan penderitaan dan mengizinkan kejahatan, Allah selalu memerhatikan semua sengsara yang kita alami menjadi kebaikan untuk kita (Rm. 8:28; bnd. lagi riwayat Ayub, Ayb 42:10-17). Rencana dan perbuatan-perbuatan Tuhan tidak pernah tidak baik.
Karena manusia jatuh ke dalam dosa, situasi langit dan bumi berubah total: seluruh dunia senantiasa penuh dengan sengsara (KH, p/j 26; bnd. Kej. 3:16-19). Secara fakta, kebanyakan kesengsaraan di dunia itu disebabkan oleh manusia sendiri, bukan saja sebagai dampak dosa sendiri (penderitaan karena murtad dan kejahatan), tetapi khususnya sebagai dampak akibat dosa (kesulitan karena ketidakmampuan, kecapaian, penger tian yang terbatas, kelemahan, pengabaian). Me nurut Lewis, 80 persen penderi taan adalah akibat kelemahan dan kebodohan manusia dan keadaan buruk dunia (Lewis 2008, Bab 6). Pihak yang dapat dipersalahkan karena itu, bukanlah Allah, walaupun Dia memperbolehkan semua sengsara itu terjadi, tetapi manusia yang menyebabkannya, secara langsung atau tidak langsung (bnd. Ayb. 39:36-38; Wright 2008, Bab I.1). Tetapi Kitab Suci jelas menyatakan bahwa selain itu ada juga pen deritaan yang didatangkan oleh Tuhan atas prakarsa-Nya sen diri. Kadangkadang Dia sendiri yang membuat orang mengalami pende ritaan, yaitu untuk menguji kesetiaannya (Ayb.; Yak. 1:12-15) atau demi kemuliaan nama-Nya (Yoh. 9:3-4; Flp. 1:29). Sudah jelas, penderitaan tidak otomatis berkaitan dengan dosa atau akibat dosa manusia. Sebenarnya, kesulitan telah dialami manusia di Firdaus sebelum terjadi satu kejahatan pun, yaitu ketika Allah menciptakan Adam, orang pertama di bumi, merasa diri berkekurang an.
Itu pun penderitaan! Dengan cara yang sangat strategis Tuhan menimbulkan kebutuhan (felt need) dalam hati manusia untuk sama seperti makhlukmakhluk lainnya mendapat ”penolong yang sepadan dengan dia” (Kej. 2:1820). Setelah Tuhan memenuhi kesulit an itu, manusia kembali merasa nyaman dan gembira. Ia sangat menghargai kebaikan Allah, ketika menyambut Hawa, istrinya.
Kesulitan, juga kejahatan, tidak pernah terjadi di luar kontrol dan kehendak Allah. Segala sengsara yang terjadi, jangan disamakan dengan kejahatan. Ada kesulitan yang datang dari Allah. Tetapi kejahatan, yang terjadinya memang diizinkan-Nya, tidak pernah dilakukan-Nya sendiri. Jawaban Allah atas segala penderi taan dan keja hatan ialah salib Kristus.
Kesimpulannya, kesulitan dan penderitaan bukanlah hal yang negatif dengan sendirinya, sehingga jangan begitu saja di samakan dengan kejahatan. Terdapat banyak kesakitan positif yang secara khusus dijadikan Allah sendiri sebagai peringatan atau pelindung. Tetapi juga penderitaan akibat kejahatan manusia, betapa parah nya (mis. cacat berat karena perampokan, kerusakan mental karena inses), janganlah ditafsirkan negatif semata-mata, karena justru digunakan Tuhan menjadi kebaikan (Kej. 50:20; Rm. 8:28). Sengsara khususnya adalah sarana yang dipakai Allah entah Dia sendiri yang menyebab kannya terjadi atau Dia hanya mengizin kannya untuk membuat kita menyerahkan diri kita secara total kepada-Nya. Dengan demikian, penderitaan, kesulitan, rasa sakit, dan rasa kurang nyaman yang mempunyai fungsi dalam providensi Allah, boleh diatasi dalam nama-Nya. Yancey bahkan menyebutnya salah satu karunia yang Allah berikan kepada manusia, yaitu sebagai ”sinyal alarm” (Yancey 2008, Bab I/2; bnd. Lewis 2008, Bab 6, yang menyebutnya ”megafon Allah”). Dengan itu manusia diingatkan untuk tetap tinggal dekat pada Allah yang Mahabaik dan Mahabenar.
Seluruh tubuh manusia penuh dengan indra perasa sakit (juga rasa gatal).
Bukan rasa enak, melainkan rasa sulit yang akan membuat orang bertindak (padahal rasa enak akan dinikmatinya). Bayangkan, siapa yang bersedia memasukkan tangannya ke dalam api? Justru rasa sakit yang mencegah tangannya hangus. Kalau, seperti mesti nya, kesakitan dianggap sebagai ”alat komunikasi” yang penting untuk tubuh, orang akan menerima nya dengan bersyukur kepada Pencipta yang berhikmat sebagai unsur penciptaan yang tidak dapat tidak harus ada (bnd. penderita lepra yang rasa sakitnya hilang, sehingga ia mudah terluka oleh air panas atau pisau yang tajam).
• Sikap kita terhadap penderitaan
Bila mengalami kesulitan (rasa sakit, sedih, kecewa) atau penderitaan (penyakit, dampak bencana atau kejahatan), orang sering fokus pada pertanyaan: ”Ini karena apa?” Dengan mencari sebab nya, orang berpikir bisa mengontrol situasinya dan membuat sengsara itu cepat hilang. Reaksi ini memang masuk akal: jika orang sakit mengetahui penyakitnya disebabkan oleh infeksi tertentu, ia dapat minum obat yang efektif. Namun wajar juga kalau mengemukakan pertanyaan yang lain, yaitu ”Ini untuk apa?” atau ”Apa maksud Allah dengan ini?” Kalau memandang sengsara dari per spektif tujuannya, pengertian dan sikap manusia terhadap penderitaan pasti akan berubah. Sama seperti Ayub, orang akan menerima yang baik maupun yang buruk dari Allah (Ayb. 2:10).
Janganlah penderitaan yang kita alami, dianggap remeh. Tetapi bagaimana pun, menurut kata-kata Paulus, ”penderitaan zaman sekarang ini tidak dapat dibandingkan dengan kemuliaan yang akan dinyatakan kepada kita” (Rm. 8:18). Karena jawaban Allah atas segala penderi taan dan keja hatan ialah salib Kristus. Dengan mengutus Anak-Nya ke bumi, menjadi manusia sama dengan kita (kecuali dosa), Allah sendiri yang mengurus jalan keluar dari segala kesengsaraan. Yesus Kristus bukanlah ”korban yang kesekian” yang menderita melawan kesukaan-Nya sendiri, dan yang justru berusaha untuk menghabiskannya dengan secepat-cepatnya (itulah sikap kita). Tetapi, Dia justru menjalani penderi taan yang tidak ada bandingnya (tidak ada satu orang pun yang mengalami penderitaan yang begitu parah) untuk melepaskan langit dan bumi (termasuk kita yang percaya) dari dosa, kejahatan, pende ritaan, dan Iblis. Anak Allah yang ganti kita! memikul kutuk dan hukuman dosa sampai tuntas, itulah cara Allah menghabiskan segala penderitaan dan kejahatan. Dengan kebangkitan-Nya, yang berarti maut telah dikalahkan, Dia memulai pemulihan segala-galanya: langit dan bumi yang baru semakin dekat. Apa pun yang kini kita alami, khususnya di bidang penderitaan dan kejahatan, hendak lah dipandang dalam terang rencana keselamatan Allah yang telah dipenuhi-Nya dalam Kristus. Penderitaan, misal nya pengania yaan karena nama Kristus, adalah salah satu cara Allah membentuk kita sesuai dengan gam bar Anak-Nya (bnd. Flp. 1:29; Kol. 1:24). Akhirnya semuanya menjadi baik (bnd. Tiessen 2000, Bab 13).
Kekejaman alam sebagai peringatan dan penyadaran
Walaupun manusia menyadari banyak bencana yang berakibat kerugian yang besar atau kematian banyak orang di sebabkan oleh ketidakmampuan, kesalahan, atau bahkan kejahatan orang, masih sering dipertanya kan asal dan alasan semua bencana itu, katanya, ”Apa kah bencana ini sesuai dengan kehendak Allah (dan karena itu sebenarnya berasal dari Dia)? Mengapa Allah tidak menghindari bencana itu? Apakah Dia marah, atau tidak peduli, atau mungkin tidak mampu? Apa sebabnya Dia mengizinkan orang-orang yang tidak bersalah menjadi korban kecelakaan atau bencana?” Sekalipun manusia mengakui bahwa sebagian besar malapetaka ini disebabkan oleh manusia sendiri, ia malah cenderung memberi peran tertentu kepada Tuhan. Terlebih lagi, kalau bencana-bencana itu terjadi di luar kontrol dan keterlibatan manusia, seperti bencana-bencana alam yang besar (mis. gempa bumi, tsunami, siklon). Khususnya kekejaman alam yang membuat banyak orang sangat mencurigai kuasa dan peran Allah. Karena biasanya bencana alam terjadi dengan tibatiba dan tanpa pemberi tahuan sebelumnya, dan sering kali akibatnya begitu dahsyat (korbannya dapat mencapai ratusan ribu orang yang tewas dan alam yang rusak total), manusia digeluti ketakutan dan kepasrahan karena ia tidak dapat berbuat apa pun melawan alam yang begitu kuat. Ia memandangnya sebagai suatu ke jahatan yang terjadi pada nya. Tetapi asalnya dari mana, kalau bukan dari manusia itu sendiri? Dari Allah? Tetapi kalau Dia Pencipta yang Mahabaik dan Penguasa yang tertinggi, mana mungkin ben cana-bencana yang ngeri itu terjadi?
Ada memang yang langsung melemparkan tanggung jawab bencana alam kepada Tuhan. Menurut yang satu, Allah rupanya tidak menciptakan semuanya dengan ”sungguh amat baik” (sehingga apa yang dikatakan dalam Kej. 1:31 lebih bagus daripada yang sebenarnya). Akibatnya, masih banyak kekacauan di alam semesta (Kej. 1:2) yang kadang-kadang dapat meledak. Mungkin saja Allah tidak maha kuasa dan kemam puan-Nya terbatas, Dia kadang-kadang lemah, salah, capai, tertidur (sama dengan manusia; bnd. Refafu, dewa Suku Kombai, Papua). Lebih parah, me nurut yang lain, Allah memang mahakuasa, namun Dia tidak menghindari terjadinya bencana alam dengan alasan Dia tidak peduli atau Dia bertindak semena-mena (deisme). Menurut yang lain lagi, Dia justru melakukannya sendiri dengan aktif dan sengaja, karena marah dan rusak hati. Melihat dosa-dosa manusia, boleh jadi, Dia kehilangan kontrol atas diriNya sendiri sehingga dibalas-Nya kejahatan dengan kejahatan. Jika demikian, apa yang dapat diperbuat selain menerima saja? Selain takdir (fatalisme) yang alasannya tidak pernah jelas, banyak orang beranggapan bencana-bencana alam adalah hukuman Allah (atau dewa) karena pelanggaran tertentu (yang dikenal sehingga disebut adil atau yang tidak dikenal sehingga dianggap tidak adil).
Pendirian-pen dirian tersebut terdapat dalam semua agama. Banyak orang Kristen pun yang menyetujui pendapat yang satu atau yang lain. Mereka menerimanya terpaksa atau dalam iman sebagai pukulan tangan Tuhan karena dosa-dosa manusia yang dahsyat. Atau mereka menolaknya dengan kesimpulan bahwa Allah tidak adil (sampai iman mereka hilang). Selain itu ada yang berusaha memberikan penjelasan yang masuk akal, yang memuaskan orang, misalnya tentang Allah yang harus berjuang sendiri melawan kuasakuasa alam (bnd. Ngelow 2006, a.l. 113-122; bnd. Singgih 2005).
Apakah benar, bencana alam dan akibat-akibatnya yang ngeri sama dengan kejahatan? Jelas dari Kitab Suci bahwa yang membiarkan atau yang bahkan membuat bencana alam terjadi adalah Tuhan. Itu sudah cukup untuk menyim pulkan bahwa bencana alam bukanlah kejahatan. Selain itu, terjadinya bencana alam selalu berkaitan dengan pelaksanaan rencana Allah. Misalnya, kematian Yesus di kayu salib didampingi dengan terjadi gempa bumi. Dan Yesus sendiri yang memberi tahu kepada para murid-Nya bahwa kedatangan Kerajaan Allah akan didahului oleh bencana-bencana alam. Lewis dengan tepat menyebutkannya sebagai ”megafon Allah”. Dengan bencana alam Dia memberi sinyal bahwa Dialah yang berkuasa, yang akan tetap berhasil melakukan rencana-Nya sampai tuntas. Demikianlah agar manusia jangan lagi percaya diri serta memegahkan diri, tetapi bertobat dan percaya, dan kembali mengambil posisinya di bawah Allah. Apakah Allah telah memasukkan kemungkinan terjadinya bencana-bencana alam pada saat langit dan bumi diciptakan-Nya, atau Dia mendatangkannya pada saat-saat tertentu (seperti tsunami yang pas terjadi pada Natal 2004), tetapi setiap bencana alam adalah peringatan bagi manusia, untuk menyadarkannya akan keterbatasannya dan memberikan kesempatan kepadanya untuk bertobat kepada Tuhan sebelum terlambat. Sama dengan semua penderitaan lainnya, bencana-bencana alam bukanlah kejahatan, melainkan sarana yang Allah gunakan untuk mengajar manusia mengabdikan diri kepada-Nya.
Pelajaran yang arif
Akhir Oktober 2012 tiga badai besar menghantam bumi pada saat yang sama, yaitu Sandy di Pantai Timur Amerika Serikat, Son Tinh di Asia Tenggara, dan Nilam di India, dengan akibat banyak orang tewas dan kerusakan yang tidak terbilang besarnya.
Mengenai Sandy, Rabi Benjamin Blech menyatakan bahwa manusia kembali disadarkan akan keterbatasannya. Katanya, ”kita kembali melihat kebenaran di belakang ungkapan ’Hati manusia memikir-mikirkan jalannya, tetapi Tuhanlah yang menentukan arah langkahnya’ (Ams. 16:9). Ilmu kita telah meyakinkan kita bahwa hukum-hukum alam tidak mungkin berubah, selalu konstan, dan kita mam pu meramalkannya. Kita tahu persis kapan matahari akan terbit, bukan hanya untuk hari ini dan hari esok, melainkan juga untuk tahun-tahun mendatang. Rupanya Allah berkehendak kita mampu mengatur hidup kita sendiri, dan Dia memberikan akal budi kepada kita untuk membuatperhitungan-perhitungan yang perlu. Tetapi tiga hal yang tetap dirahasiakanNya, yaitu kunci pada hujan, kunci pada konsepsi, dan kunci pada kebangkitan orang mati. Dengan kunci-kunci itu Dia bermaksud mengingatkan kita akan batasan-batasan kuasa kita.” Pelajaran
Sandy (juga Son Tinh dan Nilam) ialah bahwa Allah yang tetap memerintah. Harapan Blech agar manusia belajar dari dampak yang berlarut-larut dari berbagai badai (dan bencana-bencana alam yang lain) yang mendadak, untuk mensyukuri Allah yang selalu menjamin begitu banyak berkat kepada kita justru melalui keteraturan alam semesta (dari Nederlands Dagblad, harian bhs.
Belanda, 31 Oktober 2012; bnd. Kompas, harian bhs. Indonesia).
• Sikap Allah terhadap kejahatan
Berkaitan dengan kenyataan pokok kejahatan selalu merupakan ”isu yang kritis” dalam pembahasan provi densi Allah (Tiessen 2000, 53; Helm 1993, Bab 8), sekali lagi saya tegaskan perbedaan antara penderitaan dan kejahatan. Sengsara, penderitaan, dan juga bencana alam memang dapat didatangkan oleh Allah sendiri, yaitu sebagai sarana untuk mencapai sasaran yang positif. Tetapi kejahatan yang mana pun, besar maupun kecil, tidak pernah sesuai dengan kehendak-Nya. Meskipun Dia mengizinkan kejahatan itu terjadi oleh Iblis, manusia, atau pun alam semesta tetapi Dia sama sekali tidak menyetujuinya dan tidak berurusan dengannya. Sebaliknya, Dia membenci dan mengutu kinya.
Melihat semua kesengsaraan, khususnya akibat kejahatan dan kekerasan yang besar-besaran seperti genosida (pembunuh an yang sistematis terhadap bangsa, suku, ras) dan ekosida (perusakan sengaja terhadap lingkungan), kadang-kadang orang mengatakan mereka tidak dapat beriman kepada ”Allah yang sedemikian.” Alasannya, otomatis mereka menganggap Allah sebagai yang bertanggung jawab atas semua kesulitan itu. Demikian antara lain Hans Jansen dalam membicarakan ”teologi Kristen sesudah Auschwitz” (Holocaust, Perang Dunia II; bnd. Eckart Rein, dalam Ngelow 2006, 271-284. Bencanabencana alam yang baru terjadi di Indonesia ia bandingkan dengan Holocaust itu, sambil menyebutkannya ”sebuah pembelajaran”). Kata orang, mereka tidak dapat percaya kepada Allah yang menamakan diri-Nya mahakuasa dan mahabaik, padahal Dia membiar kan begitu banyak orang yang tidak bersalah sedikit pun binasa. Apa dosa yang mereka lakukan, yang dapat membenarkan penderi taan yang begitu parah?
Berkaitan dengan ini dipakai kata teodice pengertiannya sudah lama dikenal, tetapi istilah ini muncul sejak Pencerahan (Gottfried Leibniz; lihat Van Genderen & Velema 1992, 284-287; Ngelow 2006, Bagian III) dengan arti Allah sebagai Hakim yang Mahaadil menghakimi semua orang karena dosa nya. Allah yang dianggap sebagai pihak yang tidak pandang ampun dan yang tidak kenal belas kasihan. Jika orang membuat pelanggaran tertentu, walaupun pelanggaran itu hanya kecil saja, Allah membalasnya secara konsekuen dan sejajar. Jika Allah juga disebut Makakasih, kasih itu ditentukan oleh keadilanNya. Menurut Kitab Suci, Allah memang menghukum dosa manusia (Kitabkitab Musa, Surat-surat Paulus), tetapi dalam kasih dan anugerah-Nya, Dia justru mengurus penyelesaiannya sendiri, yaitu melalui pendamaian AnakNya. Dalam pemikiran teodice, Allah sering disamakan dengan dewa-dewi bangsa-bangsa yang memang membalas dendam dan yang menghukum di luar proporsi. Bahkan Allah disangka juga melakukan genosida, misalnya dengan menyuruh Israel memus nahkan semua suku Kanaan (Yos. dan Hak.; tentang arti yang sebenarnya dari perintah Allah ini, lihat Wright 2008, Bagian 2). Tidak mengherankan, kalau data-data Alkitab mengenai ”Hari Tuhan”, kiamat, neraka, dan kematian kekal, juga diinterpretasikan sedemikian rupa. Sebenarnya pemikiran teodice seperti ini berat sebelah, karena baik parahnya dosa maupun karya keselamatan Allah diabaikan.
Allah bukanlah sebab kejahatan. Tetapi, kejahatan selalu berkaitan dengan dosa manusia (= pembe rontakan melawan Allah) dan kuasa Iblis yang menggodainya untuk berbuat jahat. Dengan tepat Iblis dinamakan Si jahat (lihat bagian C, 3.10). Karena dosa, semua orang tanpa kecuali baik yang takut akan Allah maupun yang tidak sudah kehilangan kemuliaan Allah, menjadi jahat (Rm. 3:9-26). Dapat disebutkan banyak contoh kejahatan, baik di zaman Kitab Suci (hanya Kitab pertama, Kejadian, sudah mencukupi, tetapi bnd. juga misalnya Kitab-kitab para nabi) maupun zaman seka rang (di lingkungan kita sendiri; bnd. Ngelow 2006, 121, catatan kaki), antara lain pembunuhan masal, perang dan perkelahian, pemerkosaan, serangan terorisme, penganiayaan (karena ras dan agama), korupsi, dan pemusnahan lingkungan. Yang di tunjukkannya ialah bahwa semua kasus kejahatan itu bukan hal-hal yang insiden tal, bukan hanya beberapa noda yang busuk pada alam semesta yang pada umumnya baik, melain kan membuat seluruh alam semes ta, khususnya manusia, dikuasai olehnya. Kejahatan tidak lain merupakan situasi dan kondisi yang mencirikan manusia.
Yang melakukan kejahatan di bumi ialah manusia, sehingga wajar bila manusia mengakui kesalahan nya dan bertobat kepada Tuhan daripada mempersalahkan-Nya. Tuhan memang mengizinkan kejahatan terjadi (Ayub), dan juga menggunakannya (mis. riwayat Yusuf, Kej. 50:20), yaitu untuk berbuat yang baik (bnd. sekitar penghukuman dan pembuangan umat-Nya pada masa PL). Tetapi, seperti yang ditulis Paulus, Tuhan yang setia menguatkan hati semua orang yang beriman kepada-Nya, sambil memelihara mereka terhadap yang jahat (2Tes. 3:3). Akhirnya, kejahatan akan dimusnahkan-Nya, dan semua pengacau dan orang jahat, khususnya Iblis, akan dihukum-Nya. Sukar sekali bagi manusia untuk memahami kejahatan, apalagi menerima terjadinya. Tetapi, mungkin lebih sulit lagi baginya mengerti kasih dan anugerah Allah yang tidak terbilang besarnya. Itu baru bukti bahwa Dia sungguhsungguh mahakuasa (bnd. Ngelow 2006, 285-286). Anak-Nya sendiri rela mengurbankan nyawa-Nya demi keselamatan seluruh dunia (Mrk 16:16; Yoh. 3:16-21). Allah sendiri yang mewujud kan pemulihan dan pembaruan total (2Ptr. 3:13; Why. 21:5; bnd. Van Genderen & Velema, 269-270, 287-291). Keadaan awal yang ”sungguh amat baik” akan kembali dengan sempurna. Manusia patut berterima kasih kepada Allah. Manusia tidak dapat dan tidak perlu menyelesaikan soal kejahatan. Allah sendiri yang telah melakukannya (melalui kematian dan kebangkitan Anak-Nya, Kristus: ”Sudah selesai!”), dan yang akan melakukan nya (dengan kedatangan langit dan bumi yang baru yang tanpa dosa dan kejahatan).
Mengenai kejahatan, Alkitab memang tidak persis menjelaskan mengapa dan bagaimananya, tetapi selalu menekankan kepastian bahwa tujuan akhir rencana Allah akan tercapai, yakni keme nangan final dan hidup yang kekal (1Kor. 15:28; Why. 21:4). Itu juga berarti Dia mengubah ”segala bencana yang ditimpakan-Nya atasku di dunia yang penuh sengsara ini, menjadi kebaikan untukku” (KH, p/j 26; bnd. Rm. 8:28). Allah memang mengizinkan kejahatan dan kesulitan terjadi, tetapi Dia membalikkannya menjadi kebaikan (Ayb.; Yoh. 9). Alasan Tuhan membiarkan kejahatan itu terjadi (dan banyak kedahsyatan yang lain) tidak dinyatakan-Nya, tetapi maksud-Nya kita ketahui, yaitu agar kita mengabdikan diri dengan total kepada Allah yang Mahabaik.
Yang melakukan kejahatan bukan Allah, melainkan manusia dan Iblis. Allah memang mengizinkan kejahatan itu terjadi, dan menggunakannya untuk berbuat baik. Akhirnya segala kejahatan, termasuk Si jahat, akan dimusnahkan-Nya dengan definitif.
Providensi dan mukjizat
Terjadi banyak hal yang melampaui pemahaman manusia. Tetapi hal-hal yang tidak kita pahami itu tidak otomatis dapat disebut muk jizat. Mukjizat berarti kejadian yang ajaib, yang melebihi hukum-hukum dan aturan-aturan yang berlaku, dan yang karena itu tidak dipahami oleh akal budi manusia. Dalam seluruh Kitab Suci, baik PL maupun PB, contoh-contohnya sangat banyak dan aneka ragam, dari kapak besi yang mengapung (2Raj. 6:1-7) sampai matahari yang terbenamnya ditunda (Yos. 10:12-14), dari orang buta yang disembuhkan (Mrk. 10:46-52) sampai orang mati yang dibangkitkan (Yoh. 11:37-44). Bukan hanya pada masa Alkitab, tetapi juga pada masa kita, terjadi mukjizat-mukjizat. Kadang-kadang kita mengalaminya sendiri, misalnya kesem buhan yang tiba-tiba dari penyakit yang parah, yang membuat semua orang, termasuk para ahli kesehatan, terkejut.
Menurut Berkhof, setiap mukjizat merupakan bukti khas providensi Allah. Mukjizat adalah tindakan Allah yang ”luar biasa,” yang dilakukanNya secara insidental, yaitu di luar aturan-aturan alam semesta yang biasa (Berkhof 1993, 334-337). Dalam providensi-Nya yang biasa, kata Berkhof, Allah bekerja secara tidak langsung melalui ”kausa kedua”, misalnya hukumhukum alam yang ditetapkan-Nya sendiri (”walaupun bisa saja Dia menjadikan hasilnya berbeda-beda melalui kombinasi yang berbeda”), sedangkan dalam providensi-Nya yang luar biasa, Dia bekerja secara langsung tanpa memakai sarana atau perantara. Dengan kata lain, mukjizat adalah tindakan Allah yang supernatural, yang mengatasi (bukan: menentang) aturan-aturan yang berlaku. Hanya Allah saja yang melakukan nya, kadang-kadang dengan perantaraan orang (mis. nabi atau rasul). Dia sendiri yang berwenang mengambil keputusan tentang terjadinya mukjizat, tentang bagaimana, kapan, dan di mananya. Artinya, manusia boleh berdoa agar Allah melakukan mukjizat, tetapi ia tidak dapat menuntutnya karena berpikir ia mempunyai hak sebagai orang percaya, atau karena ia mencari bukti kemahakuasaan Allah. Terjadinya mukjizat adalah semata-mata hak Allah.
Berkat perkembangan-perkembangan masa kini, misalnya di bidang medis, banyak kejadian yang dahulu dipandang sebagai mukjizat, kini mendapat penjelasannya, sehingga bila dilihat ke belakang menjadi jelas bahwa yang terjadi itu sebenarnya bukan mukjizat. Bahayanya bahwa semua kejadian yang sungguh-sungguh ajaib, dan yang tetap melampaui akal manusia, dibantah kenyataannya. Contohnya, mustahil orang mati kembali menjadi hidup, maka kisah-kisah Alkitab tentang kebangkitan orang mati, juga kebangkitan Yesus Kristus, dicirikan sebagai dongeng. Pada masa kini, banyak orang Kristen pun yang semakin cenderung untuk mempertidakkan segala yang supernatural. Mukjizat-mukjizat mereka tafsirkan sebagai bukti bahwa Alkitab adalah usaha manusia ”memberikan tempat” pada semua hal yang tidak dipahaminya (bnd. mitologi bangsa-bangsa).
Sebaliknya, bagi banyak orang Kristen yang lain, hampir semuanya bersifat mukjizat. Kenyataan ketika mereka bangun pagi hari dengan sehat, tersedianya makanan, tibanya di tujuan tanpa terjadi kecelakaan, terjadinya kelahiran bayi, semua fenomena itu dianggapnya sebagai mukjizat. Memang benar, penciptaan dan providensi Allah jauh melampaui akal manusia, sehingga tetap disebut karya ajaib Tuhan. Sama halnya dengan kasih dan anugerah-Nya terhadap dunia yang berdosa (Yoh. 3:16), dengan keselamatan yang diurusNya sendiri melalui Anak-Nya. Meskipun kita patut bersyukur kepada Allah untuk apa saja yang kita alami, tetapi kita tidak perlu menyebutkan semuanya sebagai mukjizat. Tuhan justru menetapkan hukum-hukum agar alam semesta berlang sung ”secara biasa”. Menurut Berkhof, ”merupakan kesukaan Allah untuk bekerja dalam cara yang teratur dan melalui kausa yang kedua.” Berbeda dengan itu, Dia kadang-kadang ”memberikan hasil yang di luar kebiasaan, …, melalui suatu kejadian tunggal, kalau Dia menghendakinya dalam pemandangan-Nya” (Berkhof 1993, 336). Luar biasanya mukjizat adalah salah satu cirinya.
Sama seperti bencana alam (lihat di atas), mukjizat adalah tanda khas yang menunjukkan bahwa yang memerintah atas seluruh alam semesta ialah Allah yang Mahakuasa. Dalam Kitab Suci, mukjizat-mukjizat hampir selalu mempunyai fungsi yang memperkuat kebenaran janji dan firman Allah. Khususnya tanda-tanda ajaib yang dilakukan Yesus, terjadi demi mengukuhkan atau mendukung pengajaran-Nya tentang kedatangan Kerajaan Allah. Dalam providensi -Nya, Allah menggunakan mukjizat sebagai sarana untuk memberikan kepastian kepada kita bahwa segala-galanya berada dalam kuasaNya.
Mukjizat berarti tindakan Allah yang ”luar biasa,” yang merupakan bukti khas providensi-Nya. Kita mengalaminya sebagai hal yang ajaib karena terjadi di luar aturan-aturan yang tetap.
5. Kesimpulan
Semua aspek providensi Allah yang dibahas di atas, satu demi satu menunjukkan kemuliaan dan hikmat Allah. Tidak ada apa pun yang tidak dikuasai-Nya. Sekalipun ada banyak hal yang tidak kita mengerti, yang bahkan tidak pernah akan kita mengerti, misalnya tentang kemahakuasaan Allah dan terjadinya sengsara dan kejahatan, tentang pengurusan Allah dan tanggung jawab manusia, kita yakin Allah akan memenuhi rencana-Nya, kesudahan segala-galanya.
Manusia diberi tugas, potensi, dan tanggung jawab untuk mengelola alam semesta atas nama Pen cipta nya (”berkuasa” Kej. 1:26-28; ”mengusahakan” Kej. 2:15). Manusia ditugaskan-Nya untuk turut memelihara dan memerintah langit dan bumi, dalam kerja sama (concursus) yang erat dengan Allah sendiri. Manusia tidak hanya disuruh untuk melaksanakan perintah-perintah tertentu (bnd. pegawai kantor atau dosen), tetapi ia diperlengkapi Allah dengan akal dan daya cipta untuk merancang dan berpikir sen diri (bnd. kepala kantor atau puket). Artinya ia sanggup untuk bertugas dengan tanggung jawab yang penuh. Jadi, sejak awal ia diperkenan kan memikir kan dan merencanakan pelaksanaan tugasnya sendiri. Dikembangkannya pandangan, ilmu, dan kebijakan untuk mengusahakan langit dan bumi, dan dengan demikian mengurus keberlangsungannya.
Pada prinsipnya ”providensi” manusia itu baik di bidang pandangan maupun di bidang pelaksanaan sama sekali tidak bertentangan dengan pemeliharaan dan pemerintahan Allah, tetapi justru berdasarkannya dan berpadu dengannya. Tuhan dan manusia sebagai wakil atau bendahara-Nya merupakan satu tim ideal yang terjamin kesuksesannya. Betapa dahsyatnya akibat untuk alam semesta, setelah kerja sama yang erat itu putus baik antara Tuhan dan manusia, maupun antara semua orang masing-masing karena manusia mau berdikari. Dampak pemberontakan manusia itu teramat besar untuk keberlangsungan langit dan bumi. Sejak saat itu, manu sia bekerja untuk kepentingan dirinya sendiri dan menurut pengertiannya sendiri. Untuk tetap ”berkuasa atas langit dan bumi” dikembangkannya pandangan, filsafat, dan ilmu yang sering menyimpang dari provi densi Allah dan bahkan menentangnya. Manusia membuat programnya sendiri.
Kejatuhannya ke dalam dosa berarti manusia ”tidak mungkin tidak berdosa” (Agustinus). Segala yang dipikirkan dan dilakukannya dicemarkan oleh dosa. Namun, hal itu tidak berarti manu sia kehilangan akal dan potensi. Kenyataannya, ia masih mencapai banyak hasil dalam semua usahanya. Hasilnya kadang-kadang baik, kadang-kadang buruk. Dalam pemeliharaan dan pemerintahannya, manusia memang mencapai sukses. Buktibukti kepandaian manusia sangat banyak (mis. pesawat terbang, komputer, pengobatan). Tetapi sering juga terjadi kegagalan, sehingga usaha-usahanya bukanlah perkembangan, melainkan bersifat perjuangan untuk bertahan (survival), atau kemajuan terbalik menjadi kemunduran atau kemacetan. Banyak faktor negatif misalnya kepicikan, korupsi, kelobaan, iri hati, egoisme, kemalasan, sikap acuh tak acuh, dan ketidaksanggup an (bnd. Ams. dan Pkh) yang membuat manusia semakin mengotori dan merusak alam semesta. Akibat-akibat dosa (Kej. 3:14-20) yang membuat tugas pengelolaan sangat berat, dan kadang-kadang berubah menjadi keba likannya, sehingga yang ”berkuasa” bukanlah manu sia melainkan alam semesta. Seringkali manusia tidak lagi tahu apa yang dapat dilakukannya. Mana mungkin ia dapat memulihkan efek-efek, akibat pengelolaan yang salah, misalnya polusi udara, pen cemaran karena sampah dan minyak, punahnya tanaman dan binatang, dan perlombaan persenjataan (bnd. PKH GKJTU, p/j 60).
Sejak awal manusia diperkenan kan Allah memikir kan dan merencanakan pelaksanaan tugasnya sendiri, yaitu dalam satu tim bersama Allah. Soalnya, manusia melepaskan diri dari Allah, hingga mengembangkan pandangan-pandangannya sendiri serta membuat programnya sendiri.
Berkaitan dengan tugas ”providensi”nya, manusia mengembangkan berbagai filsafat dan pandangan. Di antaranya, ada yang menghormati kewibawaan Allah, atau bahkan memutlakkannya; ada juga yang sama sekali tidak mengakui hak dan kuasa Allah. Terdapat pandangan-pan dangan yang religius dan yang sekular, juga agama-agama yang berpusat pada soal keberlangsungan dan keseimbangan alam semesta, apalagi ilmu-ilmu yang bertitik tolak dari kedaulatan dan potensi manusia sendiri.
1. Keyakinan-keyakinan religius mengenai
berlangsungnya alam semesta
Sama halnya dengan penciptaan, berbagai agama me miliki ajarannya masingmasing menge nai keberlangsungan dan perkem bangan alam semesta, dan mengenai peran manusia dalam semua nya itu. Menurut kebenaran Kitab Suci, semua agama itu ciptaan manu sia, sehingga wajar dinilai sebagai pandangan manusia yang boleh jadi mirip dengan ajaran Kitab Suci, tetapi yang dapat juga menyimpang darinya atau bahkan berten tangan dengannya (bnd. Ef. 4:17-19).
Keyakinan bangsa-bangsa dalam Kitab Suci
Meskipun Tuhan melarang umat perjanjian-Nya untuk menyembah allahallah bangsa-bangsa lain (mis. Kel. 20:3), dan Israel pun berjanji untuk tetap beribadat hanya kepada Tuhan (Yos. 24:16-24), tetapi mereka sering menaruh harapannya kepada dewa-dewi itu. Kenyataannya, mereka sendiri sering malas menaati firman Tuhan, tetapi jika Tuhan tidak cepat memenuhi kebutuhan-kebutuhan mereka dan memelihara mereka, mereka langsung memohon pertolongan dari para dewa bangsa-bangsa tetangga (mis. Hak. 2:13; 3:7; 2Raj. 21:3). Hujan mereka minta dari Baal (1Raj. 16-17), kesuburan dari Asyera (PB: Artemis, yang dipuja sebagai ibunda bumi; Kis. 19:27), penyem buhan dari Baal-Zebub (2Raj. 1), makanan dan kebahagiaan dari ”ratu surga” (Yer. 44:17-18). Meskipun terjadi juga bahwa Israel kembali kepada Allah, tetapi mereka tidak konsisten dalam mengakui Tuhan adalah benar-benar adil dan setia dalam providensi-Nya, khususnya terhadap mereka sebagai umat pilihan-Nya. Dengan banyak ketidaktaatan, Israel menunjukkan bahwa mereka melak sanakan tugas mengelola langit dan bumi menurut kesukaan mereka sendiri. Tuhan hanya bermanfaat kalau Dia menaati kehendak mereka. Jelas dari Alkitab, PL dan PB, bahwa itulah sikap bangsa-bangsa yang tidak mengenal Allah yang hidup. Kenyataannya, manusia dinomorsatukan, sedangkan dewa-dewi adalah bawahan mereka yang dibujuk atau bahkan dipaksa untuk memenuhi semua tuntutan mereka. Jadi, pada akhirnya berlangsungnya alam semesta berada dalam tangan manusia. Dalam keyakinannya mengenai providensi, bangsa-bangsa dalam Kitab Suci tidak berbeda dengan bangsa-bangsa lokal di seluruh dunia (lihat di bawah).
Keyakinan agama-agama dunia, khususnya Islam
Di antara agama-agama besar di dunia, agama Islam pun mengakui providensi Allah dan mengajarkan bahwa Allah memedulikan semua yang dicipta kanNya. Alam semesta diurus-Nya dari atas takhta-Nya, menurut rencana dan aturan-Nya (sunnah). Selain Pencipta, Dialah Pemelihara, Raja semua raja (Almalik), dan Hakim (bnd. Sura 10:3-6; 39:62). Berbeda dengan ajaran Kristen, Islam berpan dangan bahwa pemeliharaan Allah terwujud melalui penciptaan yang berkesinambungan (creatio continua; lihat 3.3, btr 8). Sebagai Yang Mahakuasa, Dia bertindak sesuai dengan kehendak-Nya yang mutlak, tanpa dipengaruhi oleh (si)apa pun. Karena itu, pemerintahan-Nya konsisten, kukuh, dan adil.
Bertitik tolak dari keyakinan Islam mengenai keesaan Allah, segala-galanya berasal dari Allah, juga mala petaka, penyakit, cacat, kecelakaan, dan kesulitan lainnya (kebanyakan orang Kristen sependapat dengan itu). Kejahatan pun tidak dapat tidak dijadikan Allah karena tidak ada pencipta selain Allah. Dengan kejahatan itu, Dia bermaksud menguji manusia agar ia menolak yang jahat dan memilih yang baik, dan dengan itu menonjolkan diri sebagai orang Islam yang murni (kebanyakan orang Kristen tidak sependapat dengan itu: Tuhan yang memang mengizinkan kejahatan terjadi, tetapi Dia bukan penyebabnya. Dia menggunakan kejahatan yang tidak dike hendaki-Nya untuk mewujudkan rencana keselamatan-Nya; bnd. Segers & De Vries 2012, 85-88).
Islam tidak mengenal per gaulan yang akrab antara Allah dan manusia, dan sama sekali tidak mengakui relasi Bapa-anak yang penuh kasih dan anugerah (yang memang rusak oleh dosa, tetapi yang dipulihkan oleh Yesus Kris tus; bnd. De Graaff 2011, 41-42; 98-99; 112-113). Sebalik nya, Allah adalah Raja dan Hakim yang Maha tinggi (Allahu Akbar), sedangkan manusia adalah ciptaan yang rendah. Dialah hamba yang harus takluk pada hukumhukum Allah, yang tidak diperkenankan protes atau bah kan mengritik kehendak Allah. Orang yang tidak menaati kehendak Allah, dihukum dengan keras (Wentsel 2006, 308-309). Menurut Maulana, Allah yang memang menjadikan manusia dan suasana hidupnya, tidak menciptakan perbuatan manusia. Sekalipun Allah mengetahui setiap perbuatan manusia sebelumnya (prapengetahuan, arti harfiah kata ”provi densi”), tetapi manusia mempunyai kebebasan penuh untuk berbuat sesuatu (atau tidak), dan ia bertanggung jawab penuh atas perbuatannya, sambil menanggung segala akibatnya sendiri. Manusia tidak pernah dapat memaaf kan diri sendiri dengan mengata kan ia berbuat jahat karena Allah menghendakinya. Allah tidak berurusan dengan perilaku manusia, dan Dia juga tidak menyesat kannya untuk berbuat jahat, tetapi Dia memang membiarkan manusia memilih sendiri, dan mengadilinya dari belakang. Dalam perbuatan-perbuatannya manusia mandiri. Tergan tung dari dirinya sendiri apakah ia diberkati atau dikutuk (Maulana 1989, Bab VII).
Sebenarnya, agama Islam hanya mengenal providensi Allah yang umum. Perhatian-Nya yang khusus terhadap manusia terbatas pada keberadaan dan keadaannya. Segala usaha dan per buatan manusia terjadi di luar perhatian Allah (bnd. deisme). Manusia tidak diberi peran dan tang gung jawab untuk mengusahakan langit dan bumi sebagai bendahara Allah, dalam ”kerja sama” (concursus) yang erat. Kalau terjadi per buatan manusia sesuai dengan rencana Allah, hal itu memang diharapkan darinya dari pihak Allah, tetapi karena manusia bebas untuk memilih sendiri, hal itu selalu bersifat kebetulan. Mungkin ini yang menjelaskan perbedaan sikap antara orang Kristen (juga mantan Kristen) dan orang Islam dalam menomorsatukan kemajuan dan modernisasi, dan juga perbedaan sikap dalam menanggapi musi bah yang dialami manusia. Pada umumnya reaksi orang Islam terhadap kesulitan hanya pasrah dan takdir. Mereka menyerahkan diri sepenuhnya dan menerima setiap malapetaka sebagai nasib, sebagai ketetapan mutlak Allah yang tidak mungkin dicegah (fatalisme). Misalnya, tsunami yang mengakibatkan banyak korban di Sumatra Utara (Aceh) pada akhir 2004, tidak membuat kaum Islam protes atau bahkan kehilangan iman, tetapi sebaliknya mereka meneri manya tanpa protes ”begitu kan keadaannya” dan sebagai peringatan untuk mengintensifkan iman mereka kepada Allah.
Mengenai providensi Allah, terdapat banyak kesamaan antara iman Kristen dan agama Islam. Tetapi perbedaannya jauh lebih besar. Orang Kristen dapat belajar banyak dari orang Islam, khususnya di bidang penyerahan diri kepada Allah dan menaati kehendak-Nya. Meskipun manusia diberi kebebasan untuk memilih sendiri perbuatannya, ia tentu akan berupaya untuk hidup sesuai dengan kehendak Allah, agar ia nanti jangan dihakimi. Tetapi, menurut Alkitab semua itu justru terjadi dalam keseluruhan rencana Allah untuk membawa alam semesta ke kesudahannya. Dalam program itu Dia berkenan melibatkan manusia sebagai gambar-Nya, yang diselamatkan-Nya dari dosa, kejahatan, dan hukuman. Itulah kekayaan iman Kristen.
Keyakinan agama-agama lokal
Di Indonesia masih banyak agama lokal (agama alam) yang dicirikan oleh ani misme, totemisme, dan sukuisme. Para leluhur nenek moyang yang didewakan, misalnya Marapu di Sumba yang telah menentukan tradisi dan adat istiadat suku pada awal keberadaannya. Mereka juga yang terus-menerus mengawasi apakah perilaku keturunan mereka tetap berlangsung sesuai dengan aturan-aturan atau tidak. Khususnya dewa pencipta yang mengontrol cara hidup suku (mis. Refafu, dewa suku Kombai di Papua-Selatan), dan yang turun tangan kalau terjadi pelanggaran. Pemeliharaan dan pemerintahan wilayah suku adalah hak mutlaknya. Dewa itulah yang menyediakan makanan, kesehatan, dan damai. Kelakuan warga suku yang menentukan bagaimana pemeli haraan itu berjalan. Selama mereka menaati semua aturan dengan baik, hidup mereka sejahtera. Kalau mereka melanggar hukum-hukum adat, mereka akan dihukum dengan penyakit, kematian, atau malapetaka yang lain. Manusia sendiri tidak terlibat dalam pemeliharaan bumi, tetapi menerima saja apa yang terjadi. Namun, mereka dapat memengaruhi dan memanipulasinya dengan menaati adat istiadat atau, kalau mereka telah melanggarnya, dengan menyenangkan dewa serta para leluhur. Misalnya dengan ritus jamuan pesta, dewa dapat dipaksa untuk kembali memberkati mereka. Karena ciri khas ani misme ialah seluruh alam semesta di semua bidangnya berjiwa dan mempunyai model asli, induk setiap makhluk yang menentukan cara dan lamanya hidupnya. Makhluk itu sendiri, termasuk manusia, tidak dapat melakukan apa pun kecuali menerima apa yang terjadi padanya (fatalisme, determinisme).
Berbagai agama me miliki ajarannya masing-masing menge nai keberlangsungan dan perkem bangan alam semesta. Meskipun ada yang mirip dengan ajaran Alkitab, tetapi kebanyakan berdasarkan keyakinan-keyakinan manusia, sama seperti agama-agama itu sendiri juga ”ciptaan”nya.
2. Pandangan-pandangan filsafat mengenai
berlangsungnya alam semesta
Dengan berjalannya waktu, manusia mengembangkan berbagai pandangan tentang berlangsungnya alam semesta, baik yang religius maupun yang sekular. Yang menentukan bagi semua pandangan itu ialah pengertian, prasangka, dan juga iman orang yang mengembangkannya. Jika orang berprasangka bahwa mukjizat mustahil terjadi karena bertentangan dengan akal budinya, hal itu tentu nya akan berdam pak pada visinya mengenai providensi Allah. Dan kalau orang tidak dapat membayangkan Allah tetap peduli akan kelanjutan alam semesta, hal itu pun akan memiliki efek pada pendiriannya menge nai misalnya manfaat doa syafaat (bnd. Helm 1993, 69).
Pandangan-pandangan yang bersifat religius• Dualisme
Dualisme yang berasal dari pandangan-pandangan religius yang lama seperti manikheisme, plato nisme, dan gnostik, yang membedakan antara dua dunia yang saling bertentangan, yaitu dunia yang jahat yang dikuasai oleh allah/kuasa yang jahat (kadang-kadang disamakan dengan dunia materi) dan dunia yang baik yang diurus oleh allah/kuasa yang baik (kadang-kadang dianggap sama dengan dunia roh). Sudah langsung dari awalnya dan kemudian dalam keberlang sungannya, alam semesta dikuasai oleh pertentangan yang tajam itu. Menurut dualisme, konfrontasi yang abadi itu juga menonjol dalam Alkitab. Yang menentu kan bagi cara semesta alam berlangsung ialah soal siapa yang berkuasa, allah yang baik atau allah yang jahat. Dalam PL, yang paling berkuasa itu allah yang jahat, sedangkan dalam PB, allah yang jahat itu dikalahkan oleh allah yang baik. Seluruh sejarah dan juga pengalaman orang-orang masa kini yang memperlihatkan kedua kuasa itu dianggap berada dalam keseimbangan yang goyah, yang mudah diganggu. Para pen dukung dualisme yakin bahwa pada akhirnya yang baik akan menang secara definitif. Tetapi, kenyataan bahwa masih terjadi banyak kejahatan dan kesulitan menjelaskan bahwa agaknya masa depan yang baik dan sempurna itu masih lama datangnya.
Filsafat dualisme, dalam berbagai bentuknya, sangat berperan baik dalam agama-agama, juga iman Kristen, maupun dalam pandangan-pandangan nonreligius (sekularisme). Khususnya terhadap visi dan praktik provi densi Allah pengaruhnya besar, yaitu:
Pertama
, jika dua lisme itu berarti semua hal yang disebut ”baik” (damai, kesehatan, kemakmuran, dan lain-lain) dianggap datang dari Allah, dan semua hal yang dinilai jahat (kematian, penderitaan, dan kesulitan) diang gap disebabkan oleh Iblis; maka seluruh alam semesta dibagi dalam dua bagian yang terpisah. Jika demikian, bukan hanya Allah yang memerintah, tetapi Iblis pun yang berkuasa besar sebagai ”penguasa dunia”. Dalam praktik, banyak orang Kristen yang berpikir bahwa penyakit dan semua kesulitan lainnya tidak berasal dari Allah, melainkan dari Iblis, sehingga perlu ”diusir” dan ditiadakan melalui doa kepada Allah. Konsekuensinya providensi Allah tidak mengenai semuanya. Sebagian alam semesta tampaknya tidak dikontrol-Nya. Ada banyak yang terjadi di luar kehendak-Nya.
Kedua, kalau dualisme itu mempunyai arti istimewa sebagai pertentangan antara dunia materi yang dianggap jahat dan dunia roh yang disebut baik (bnd. platonisme); sebagai akibatnya, pengelolaan alam semesta yang fisik akan dianggap tidak perlu dan tidak berguna, sehingga tidak diperhatikan.
Sebaliknya, Allah yang baik yang menjadikan dunia rohani, justru tidak akan setuju dengan perkembangan alam semesta yang materi. Kerinduan manusia satu-satunya ialah untuk membebaskan dirinya dari ”penjara” dunia fisik itu (bnd. platonisme). Yang penting bukanlah tubuh bersama hidup jasmaninya, melainkan jiwa dan hidup rohani nya. Ada kaitan pandangan ini dengan misalnya agama Budha yang mementingkan pelepasan diri dari dunia (meditasi transenden) dan reinkarnasi. Tetapi gereja Kristen pun tidak luput dari pengaruh filsafat ini, yaitu kalau mengutamakan hidup spiritual, menghinakan hidup jasmani, dan membedakan antara ”alam” dan ”anugerah”. Mungkin dunia materi itu tidak begitu dianggapnya jahat, namun untuk menjadi berharga, dunia itu perlu ditingkatkan atau diperlengkapi oleh anugerah. Agustinus yang pada awalnya dipengaruhi oleh dualisme, kemudian mengakui bahwa hanya Tuhan yang memerintah atas seluruh alam semesta, baik yang jasmani maupun yang rohani. Dia yang berkuasa atas semuanya, atas segala yang baik dan juga segala yang jahat (Berkhof 1993, 312).
Ketiga, jika berkat penggabungan dualisme dan sekularisme
diwujudkan pembedaan yang semakin mutlak antara kepentingan umum dan urusan pribadi, seperti pemisahan gereja dan negara; para pendukung dualisme ini memandang kenegaraan orang kehidupan masyarakat, politik, ekonomi, hidup jasmani sebagai hal netral dan bebas, sedangkan keyakinan religiusnya iman, hidup rohani mereka cirikan sebagai hal pribadi dan subjektif. Berbeda dengan dualisme yang lama, yang mengutamakan dunia roh, dualisme sekuler ini mengutamakan dunia jasmani. Pandangan ini sangat berpengaruh di dunia modern abad ke-21. Banyak juga orang Kristen yang dalam kehidupan pribadinya hidup beriman kepada Tuhan, tetapi dalam kehidupan umum berperilaku netral, seakan-akan itu di luar kawasan Tuhan. Secara spiritual orang menerima adanya Allah yang mengurus, tetapi Dia dianggap tidak berurusan dengan kehidup an umum dan perkembangan alam semesta. Dengan ini kewibawaan dan kuasa Allah atas seluruh langit dan bumi sangat dibatasi. Pemisahan ini khususnya dipeluk oleh liberalisme, melawan orang percaya yang menekankan kesatuan segala-galanya (Wentsel 2006, 305).
• Panteisme
Panteisme yang menganggap Allah dan alam semesta manunggal atau identik. Allah hadir dan aktif dalam semua bagian alam semesta, yang masing-masing bersifat unsur ilahi dari keseluruhannya. Ini berarti, manusia pun tidak mempunyai identitas sendiri. Setiap perbuatannya, baik atau jahat, ada lah perbuatan Allah, dan sebaliknya. Mustahil terjadi inter aksi dan kerja sama, atau bahkan silang pen dapat antara Allah dan manusia, atau antarmanusia. Konsekuensi filsafat panteisme ialah bahwa providensi Allah bersamaan dengan keberlangsungan alam semesta, termasuk perbuatan manusia (pengelolaan langit dan bumi bukan tanggung jawabnya). Providensi berarti Allah mempertahankan dan mengembang kan diri-Nya sendiri dalam kelanjutan alam semesta. Kalau semuanya bernapaskan Allah yang sempurna, alam semesta pun sempurna dan tidak perlu dikembangkan.
Pandangan panteisme, yang khususnya berperan dalam agama Hindu, berten tangan dengan Kitab Suci yang menegaskan adanya perpisahan mutlak antara Pencipta dan ciptaan-Nya, juga antara semua ciptaan masing-masing. Selain itu, perbedaan-perbedaan mutlak itu keli hatan dan terasa dalam situasi konkret. Ternyata, dalam alam semesta terdapat harmoni dan kerja sama, tetapi juga per tentangan dan permusuhan. Mengenai manusia, ada orang yang percaya kepada Tuhan dan yang memelihara semesta alam sesuai kehendakNya, tetapi ada juga yang menolak Allah dan yang merusak alam semesta. Mana mungkin keduanya bernapaskan Allah, jika mereka mau membunuh yang satu yang lain?
Berbeda dengan panteisme, panenteisme (juga: agama Hindu) yang berpendirian bahwa Allah dan alam semesta memang berhubungan akrab, namun keduanya tidak identik. Alam semesta tidak sama dengan Allah, tetapi merupakan emanasi-Nya. Allah melebihi semuanya (transendensi-Nya), sekaligus Dia berada di dalamnya (imanensi-Nya). Jadi, walaupun Allah dan manusia tidak bersamaan, mereka berpadu. Di sini pun manusia tidak mandiri dan bertanggung jawab sendiri.
• Fatalisme dan determinisme
Menurut dua pandangan fatalisme dan determinisme, manusia tidak menguasai nasibnya (bhs. Latin fatum) sendiri. Tidak mungkin ia memengaruhi atau bahkan menetapkan jalan hidupnya sendiri. Situasinya, lamanya hidupnya, hasil usahanya, semua nya terjadi di luar penguasaan manusia, karena: a) telah ditentukan baginya jauh sebelumnya (determinisme, otomatisme) atau, b) ”terjadi begitu saja” padanya (fatalisme; kebetulan). Menurut determinisme berlangsungnya alam semesta, termasuk program hidup setiap orang, terjadi melalui jalur yang tetap, berdasarkan aturan-aturan yang tidak mungkin diubah. Menurut fatalisme, alam semesta tidak berlangsung secara statis saja, tetapi sering secara dinamis dan kebetulan. Misalnya, ketika seseorang tewas karena malapetaka tertentu (kecelakaan, penyakit, bencana alam), ia sendiri tidak dapat menghindari terjadinya, karena menurut determinisme peristiwa itu telah ditentukan sebelumnya, atau menurut fata lisme peristiwa itu terjadi secara kebetulan. Bagaimana pun, kedua pandangan itu membuat manusia menjadi pasrah, merupakan takdir, dan tidak merasa bertanggung jawab atas perbuatan-perbuatannya. Sikap ”apa boleh buat?” dan ”terima saja!” yang membuat dia tidak bermotivasi untuk mengelola alam semesta. Kalau semuanya telah ditetapkan atau terjadi dengan semena-mena, apa gunanya ia aktif dan berjuang?
Sama seperti dualisme, dua pandangan fatalisme dan determinisme (yang berasal antara lain dari Stoa) sangat memengaruhi keyakinan semua agama mengenai tugas manusia mengelola alam semesta. Agama-agama lokal (animisme) yang berpendapat bahwa hidup semua makhluk dikuasai oleh induknya masing-masing. Juga dalam agama Islam dan agama Hindu, kedua pandangan ini yang menen tukan bagi seluruh hidup dan usaha-usaha manusia (meskipun caranya berbeda). Banyak orang Kristen yang juga berpikir hidup mereka berlangsung begitu saja sesuai dengan keputusan-keputusan Allah yang telah diambil-Nya sebelum dunia dijadikan. Itulah sebabnya mereka merasa dirinya sebagai boneka, robot, atau otomat yang tidak mempunyai kehendak dan tanggung jawab sendiri karena mustahil mereka mengelola alam semesta dengan bebas, sebagai wakil Allah yang bertanggung jawab sendiri.
Namun demikian, Kitab Suci sama sekali tidak membenarkan pendapat seperti itu (Calvin 1985, 41; bnd. PAD, dalam Van den End 2004, 57-94; Berkhof 1993, 312). Kenyataan bahwa Allah menetapkan hukum-hukum untuk alam semesta berlang sung dengan teratur, tidak berarti bahwa Dia tidak menghiraukan tugas dan tanggung jawab yang Dia berikan kepada manusia untuk mengusahakan langit dan bumi atas Nama-Nya. Dan fakta bahwa Dia melampaui hukum-hukum itu dengan melakukan mukjizat-mukjizat sebagai inter vensi yang sekali-sekali (occasional interventions; Helm 1993, 77), tidak berarti Dia bertindak dengan semena-mena atau turun tangan secara kebetulan. Predestinasi dan providensi Allah tentunya berarti sesuatu apa pun tidak terjadi di luar rencana dan kehendak-Nya. Tetapi sekali gus diberikanNya tanggung jawab penuh kepada manusia.
• Epikurisme/deisme
Ada kaitan antara kedua pandangan determinisme dan fatalisme dan filsafat yang lain lagi, yaitu deisme, yaitu dalam hal akibatnya bagi peran Allah dalam keberlangsungan dan per kembangan alam semesta. Dari determinisme, yang berpendirian Allah telah mengatur segala-gala nya secara lengkap dan mendetail, kita simpulkan bahwa Dia tidak lagi perlu memedulikan alam semesta. Dan fatalisme, yang menekankan Allah membiarkan semuanya berlangsung begitu saja, membawa kita ke kesim pulan, bahwa Dia tidak suka merepotkan diri dengan hal-hal duniawi dan manusiawi. Justru itulah pandangan deisme, yaitu Allah tidak menyibukkan diri dengan berjalannya alam semesta.
Sudah sejak abad ke-4 SM, filsuf Yunani yang bernama Epikuros (342-270 SM) berpengaruh dengan pendapatnya bahwa Sang Pencipta tidak peduli akan berlangsungnya alam semesta yang dijadikan nya (bnd. Kis. 17:18). Atau Dia hanya memerhatikannya secara umum, dari jarak yang jauh (Berkhof 1993, 316). Di kemudian hari di gereja Kristen pun pandangan epi kurisme ini sangat besar pengaruh nya, dengan nama yang sama, atau dengan nama deisme. Setelah menyelesaikan pen ciptaan-Nya, Allah tidak berbuat lain dari ”menggerakkan mesin’ yang kemudian di biarkannya berjalan sendiri menurut hukum-hukum alam tertentu. Ada juga yang berpendirian bahwa alam semesta berjalan sendiri secara otomatis atau kebetulan saja, tanpa pengaruh dari luar. Menurut filsafat yang satu, manusia bebas dan mandiri dalam mengelola alam semesta, tanpa bertanggung jawab atas perbuatan-perbuatannya. Menurut pandangan yang satu lagi, manusia tidak dapat berbuat apa-apa. Apakah semua usahanya berhasil, tidak dapat dipastikan.
Dalam Kitab Suci sendiri kita telah membaca, umat Allah kadang-kadang bingung terhadap kehadiran dan tindakan Allah. Tetapi, alasannya bukan pandangan bahwa Allah tidak berhubungan dengan karya penciptaanNya, melainkan mereka kurang percaya kepada-Nya dan, jika kebutuhankebutuhan mereka (felt needs) tidak cepat dikabulkan, mereka lang sung menarik kesimpulan bahwa Allah tidak peduli (atau bahkan tidak ada), dengan akibat mereka berpindah kepada allah-allah yang lain. Artinya, mereka memang menyadari bahwa Sang Pencipta aktif bergaul dengan ciptaan-Nya, dan mereka juga mengiakan ketergantungan mereka pada tindakan-Nya sebagai Pemelihara, tetapi mereka tidak menerima nya. Data-data Alkitab yang membuktikan sikap mereka, tidak terhitung jumlahnya. Soalnya, mereka mau mengklaim Allah yang berdaulat itu untuk kepentingan mereka sendiri. Contoh yang terkenal adalah peristiwa ”pertandingan” yang terjadi di Gunung Kar mel antara nabi Tuhan, Elia, dan 450 nabi-nabi Baal (1Raj. 18): karena umat Israel mendoakan dewa Baal memberi hujan dan kesuburan kepada mereka, Tuhan dalam murka-Nya tidak memberikannya selama tiga setengah tahun. Sudah jelas, Allah memang peduli pada alam semesta, tetapi hal itu ditolak oleh umat-Nya sendiri.
Dengan sengaja deisme memutuskan hubungan antara Allah Pencipta dan keberlangsungan karya pencip taan-Nya, karena menen tang ajaran Kitab Suci mempertahankan pendirian bahwa alam semesta berjalan sendiri. Allah diumpamakan sebagai tukang arloji yang menjual hasil usahanya, kemudian tidak lagi berhubungan dengannya. Pada masa Reformasi (abad ke-16), Calvin dan para refor mator lainnya menentang pandangan deisme ini dengan keras, katanya, ”… kita menolak ajaran sesat dan terkutuk kaum Epikureis, yang mengatakan, Allah tidak peduli, dan membiarkan semua hal terjadi dengan cara kebetulan” (PIGB,ps. 13, dalam Van den End 2004, 30). Meskipun demikian, pandangan itu kembali berpengaruh sejak abad ke-17, antara lain dalam ajaran arminianisme. Mulai abad ke-18, deisme berkembang berkat timbulnya pandangan-pan dangan yang sekuler (pencerahan, evolusionisme) yang semakin mengurangi peran Allah dalam penciptaan maupun providensiNya.
• Teisme
Menurut pandangan teisme, Allah tidak identik dengan alam semesta (menentang panteisme), dan Dia juga tidak jauh darinya (melawan deisme). Teisme yang menegaskan ada Allah yang hidup, yang berkepribadian, dan berdaulat (menentang animisme dan ateisme). Sebagai Pencipta Dia terpisah dari alam semesta yang diciptakan-Nya (transendensi Allah). Dia memang mempunyai relasi dengan semua makhluk, bersama-sama dan satu demi satu (imanensi Allah), tetapi Dia sendiri yang mengatasi semuanya. Alam semesta semata-mata bergantung pada Allah untuk seluruh keber adaannya dan keberlangsungan nya (depen densi). Tetapi, sebaliknya Allah tidak bergantung pada alam semesta (independensi). Mustahil pengelolaan alam semesta terjadi begitu saja tanpa campur tangan Allah. Namun, tanpa adanya alam semesta itu, Allah tetap ada. Dia mempertahankan kedaulatan-Nya untuk mengontrol dan kalau dianggap-Nya perlu mengubah jalannya dunia dan sejarahnya. Dengan demikian Allah yang imanen selalu mempertahankan transendensiNya. Seperti Plato dan Aristoteles pada masa kuno, demikian juga pada zaman Pencerahan Descartes, Kant, dan Schleiermacher, dipengaruhi oleh filsafat teisme ini. Meskipun teisme tampak agak mirip dengan ajaran Kitab Suci (bnd. pidato Paulus di Atena, Kis. 17:24-28; bnd. Kol. 1:17), tetapi dasarnya ialah pemikiran manusia mengenai cara alam semesta berlangsung.
Mengenai relasi antara Allah dan alam semesta, teisme membedakan antara dimensi vertikal dan horisontal. Berkaitan dengan penciptaan dan pemeliharaan langit dan bumi, dibicarakan adanya ”sebab pertama” (utama/dasar; primary cause), yaitu Allah di luar alam semesta, dan ”sebab-sebab kedua” (secondary causes) di dalam alam semesta. Allah yang menciptakan alam semesta dan membuatnya bertahan dan berlangsung. Dia melakukannya sendiri secara langsung (sebab eksternal), tetapi Dia juga yang meletak kan daya yang bersifat sebab-musabab dalam semua makhluk masing-masing (sebab-sebab internal), misal nya dalam biji-biji untuk berkecambah, dalam hal orangtua untuk mendidik anak-anaknya. Kedua jenis sebab ini tidak bersaingan yang satu dengan yang lain. Selain Thomas Aquinas, yang mengatakan bahwa providensi Allah berhasil melalui penggunaan sebab-sebab kedua, Calvin yang menekankan semua sebab itu merupakan sarana-sarana dalam tangan Tuhan (dikutip dari Helm 1993, 87; bnd. Konfesi Westminster, III.1, dalam Van den End 2004, 100; lihat di atas, 3.6, btr 1).
Pandangan-pandangan yang bersifat sekuler
Selain itu terdapat berbagai pandangan yang sekular, yang jauh lebih radikal dari deisme mem bantah adanya hubungan antara Allah dan keberlangsungan langit dan bumi. Bahkan ada yang sama sekali menolak adanya Allah Pencipta dan Pengurus. Sebaliknya, mereka menegaskan keman dirian manusia secara mutlak.
• Rasionalisme
Rasionalisme yang mengutamakan ”akal sehat” (common sense) sebagai norma yang tertinggi. Akal budi (bhs. Latin ratio) manusia sendiri sanggup mengenal kebenaran yang objektif, tanpa bantuan eksternal (”dari atas”). Mengenai pengelolaan alam semesta, filsafat ini tidak memperhitung kan ”pengaruh supernatural” yang melampaui akal budi manusia, tetapi bertitik tolak dari potensi manusia sendiri. Urusan-urusan Allah melalui pimpinan, turun tangan, atau bahkan mukjizat tidak diakui, atau hanya diterima sejauh ”masuk akal”. Rasiona lisme tidak menyangkal adanya Allah atau kuasa yang supernatural, juga tidak membantah Allah atau kuasa itu aktif, tetapi pengertian manusia yang menentukan batas-batas ruang bermainnya (bnd. teologi yang menerapkan teori evolusi pada terbentuknya Kitab Suci dan perkem bangan iman, dan yang menginterpretasikan peristiwa-peristiwa yang ajaib, misalnya kebangkitan Yesus, sebagai dongeng dan bukan fakta sejarah). Pandangan ini tidak menyadari kenyataan bahwa akal budi dicemarkan oleh dosa yang menyebabkan pikiran manusia bukan hanya terbatas, melainkan juga tidak sehat dan tidak murni. Rasionalisme sebaliknya memuliakannya sebagai sumber daya manusia. Manusia memang berdaya, tetapi sesuai dengan Kitab Suci, akal budinya bukan sumber atau norma, melainkan sarana untuk melakukan tugasnya dengan baik.
Sebenarnya sikap menolak terhadap data-data Alkitab yang tidak sesuai dengan akal budi itu mengherankan karena banyak sekali pengalaman orang dalam hidup sehari-hari yang tidak dipahaminya, tetapi yang diterimanya tanpa raguragu. Sehubungan dengan itu, terdapat anekdot berikut: Ketika mendengar jawaban ”tidak” pada dua pertanyaan, ”Apakah kalian dapat melihat Allah?” dan ”Apakah kalian dapat menyentuh Allah?”, orang yang rasionalis berke simpulan, ”Kalau begitu, Allah tidak ada.” Bila kemudian ditanya kepadanya, ”Apakah kalian dapat melihat akal budimu?” dan ”Apakah kalian dapat menyen tuhnya?”, ia pun memberikan jawaban ”tidak”. Maka jawabannya pun ditanggapi: ”Kalau begitu, kalian tidak punya akal budi?”
• Sekularisme, juga humanisme dan ateisme
Pandangan-pandangan yang paling ekstrem adalah sekularisme, humanisme, dan ateisme. Berbeda dengan rasionalisme, pandangan-pandangan ini masingmasing menolak tindakan dan bahkan ada nya Allah yang mencip takan dan mengurus alam semesta, sambil menegaskan kemandirian mutlak manusia. Pandangan-pandangan ini dihasilkan oleh ”perkawinan” antara deisme dan rasionalisme (bnd. Helm 1993, 79). Deisme memang mengakui Allah yang menciptakan langit dan bumi, tetapi me nyangkal bahwa Dia peduli akan keberlangsungannya. Itulah urusan yang semata-mata dibiarkan-Nya kepada manusia. Justru untuk itu Dia memperlengkapinya dengan akal budi dan potensi yang secukup nya. Akal manusia itu kemudian semakin diutamakan, antara lain oleh rasionalisme. Jika demikian, dengan mudah terjadi Allah dikesampingkan dan dilupakan secara total, dan akhirnya dinyatakan ”sudah mati” (antara lain Nietzsche), atau ditarik kesimpulan bahwa Dia tidak pernah ada (nihilisme, ateisme, dan bahkan antiteisme).
Yang dimaksud dengan sekularisme ialah pendirian bahwa keberlangsungan alam semesta pengurusannya, perkembangannya, juga pengaturan cara hidup manusia di dunia (adat, moral) tidak (lagi) perlu didasarkan atas ajaran agama/iman dari luar (eksternal), melainkan ditetapkan dari dalam (internal, intrinsik), yaitu oleh alam dan dunia itu sendiri. Dalam kerangka sekularisme itu, ateisme menegaskan tidak ada Allah, sedangkan humanisme menekankan kesanggupan dan kedewasaan manusia, dengan menyatakan sebagai pengakuan imannya, ”aku percaya kepada manusia yang berkuasa”. Dengan demikian semua pandangan ini menin daklanjuti dan memuncaki dosa Adam dan Hawa dalam Kejadian 3.
Dalam Alkitab dan kepustakaan gereja, kata bahasa Latin seculum (kata dasar untuk sekulari sasi dan sekularisme) selalu bermakna negatif, yaitu ”dunia yang sekarang” dengan arti dunia yang berdosa, yang tidak mengenal Allah, yang tidak menaati kehendak-Nya, tetapi yang dikuasai oleh Iblis (bnd. Ef. 4:17-20). Sekularisasi adalah proses melepaskan semua bidang kehidupan, satu demi satu, dari kontrol dan providensi Allah (ilmu, kebudayaan, perdagangan, kesenian, pendidikan, politik, moral, dan seterusnya), sampai akhirnya Allah sendiri dielimi nasi (”dimatikan”). Dunia sekarang adalah dunia yang tanpa Allah. Khususnya di Dunia Barat, pandangan-pandangan ini sudah besar pengaruhnya.
• Hedonisme
Salah satu akibat sekularisme yang berpengaruh, khususnya di negara-negara yang sudah sejahtera, ialah pandangan yang disebut hedonisme. Pendiriannya adalah bahwa tujuan manusia yang utama ialah menikmati sebanyak-banyaknya, berdasarkan semboyan ”kita hanya hidup sekali saja” (bnd. Luk. 12:1619; 15:11-32; 17:26-27; 2Tim. 3:1-5). Artinya, manusia diajak untuk mengatasi semua kegagalan dan kesengsaraan yang mengganggu hidupnya (bnd. buddhisme), dan membudidayakan apa yang menarik, yang menyenangkan dan memuaskan (termasuk seks, narkoba, dan sebagainya). Manusia tidak lahir untuk bekerja keras dan melasahkan diri, tetapi sebaliknya untuk hidup santai, berpesta, berlibur, dan bersukaria. Yang penting ialah kemakmuran (uang, rumah, mobil) dan kesehatan (tubuh yang langsing, kemudaan abadi), kehidupan luks dalam kemewahan dan materialisme (sesuai dengan mode terkini). Di satu sisi manusia mau bertanggung jawab sendiri atas berlangsungnya semesta alam, tetapi di sisi lainnya ia tidak mau repot hingga melepaskan diri dari tanggung jawabnya, juga dari semua hukum dan aturan yang menge kangnya untuk mencurahkan diri dalam kesukaan yang tidak terkendali. Banyak orang (pasca)modern yang merasa malas dan bosan, dan tidak lagi melihat pekerjaannya sebagai tantangan untuk mengelola langit dan bumi, dengan alasan, ”Untuk apa saya repot? Asal saya senang.” Egosentrisme itu tidak menyadari bahwa banyak orang yang ”tidak beruntung” sedemikian rupa, menjadi korban. Pandangan dan sikap ini memang sangat jauh dari ajaran Kitab Suci (bnd. 1Tim. 6:9-10). Semua pandangan yang sekuler itu menunjukkan bahwa manusia semakin terjerat dalam keterbatasan akal budinya.
Banyak sekali ”isme” jelas menunjukkan bahwa manusia selalu cenderung mengutamakan daya pikirnya sendiri daripada mendengarkan dan menaati firman Allah yang hidup, dengan penuh rasa tanggung jawab.
3. Ilmu dan teknologi
Sudah tentu, penelitian ilmiah terhadap keberadaan dan keberlangsungan alam semesta menolong manusia untuk memahami dan mengembangkan semuanya menjadi semakin baik. Sebenarnya, kesanggupan berilmu merupakan salah satu potensi istimewa, yang dihadiahkan Allah khusus kepada manusia sebagai sarana untuk dapat melakukan tugasnya ”berkuasa atas langit dan bumi” (bnd. GKJTU 2008, p/j 56). Asalkan ilmu dan pengetahuan itu dipakai sesuai dengan maksud providensi Allah, demi kemuliaan nama-Nya, dan bukan untuk manusia mencari nama bagi dirinya sendiri dan mengurangi kedaulatan Allah. Secara fakta, setelah jatuh ke dalam dosa manusia menyalahgunakan ilmu untuk menyaingi Allah. Manusia sering menggunakan ilmu untuk menyatakan keberadaan fenomena-fenomena yang tampil dan berbagai peristiwa yang terjadi, khususnya untuk membuktikan tidak ada Allah yang berprovidensi. Banyak ilmuwan mempunyai sikap: ”jika kita mampu menyatakan asal usul semesta alam, kita tidak perlu lagi percaya kepada Allah yang supernatural dan transenden.” Dengan itu ia berusaha menyatakan bahwa iman kepada Allah adalah primitif dan keting galan zaman. Padahal, gagalnya banyak hasil ilmu dan teknologi harus menyadarkan orang bahwa dalam berilmu pun ia sangat terbatas dan tidak mampu (contoh-contohnya disebutkan dalam GKJTU 2008, p/j 60, 63-64).
Allah justru memberikan kemampuan berilmu kepada manusia agar karya-Nya dikagumi dan dibawa manusia ke sasaran dan kesudahannya. Pelengkap KH GKTJU dengan tepat mengata kan bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek) ”justru mengembangkan dan membangun hidup manusia menjadi semakin baik dan bermakna jika digunakan secara bertanggung jawab” (GKJTU 2008, p/j 58). Hanya melalui karya keselamatan Anak Allah, Yesus Kristus, orang kembali menjadi sadar, juga sanggup untuk berilmu dengan semestinya. Dengan pertolongan Roh Kudus, ilmu pun diubah menjadi baru sehingga kembali sesuai dengan providensi Allah, seperti yang dikatakan Pelengkap KH, ”Dengan sikap takut akan Tuhan dan pertolongan Roh Kudus, orang percaya dapat memiliki akal budi yang semakin jernih sehingga dapat berbuat baik dan memanfaatkan ilmu pengetahuan dan teknologi secara bertanggung jawab” (GKJTU 2008, p/j 66).
Ilmu dan teknologi diberikan Allah kepada manusia khususnya sebagai sarana untuk mengelola langit dan bumi dengan segala isi dan potensinya demi kemuliaan Nama-Nya.
4. Kesimpulan
Semua keyakinan dan pandangan, filsafat dan ilmu, menunjukkan bahwa manusia memang sangat aktif dan sibuk mengelola semesta alam, baik secara teoritis maupun secara praktis. Manusia melakukannya, penuh kepercayaan dan takluk pada Allah, dalam kesadaran bahwa Allah mengangkatnya sebagai wakil yang bertanggung jawab. Atau ia melakukannya secara mandiri, atas dasar pendapat dan pandangan yang dikembangkannya sendiri, yang mungkin masih ada kaitannya dengan Kitab Suci atau sebaliknya yang menentang Kitab Suci. Dari perbuatan-perbuatannya jelas, potensi manusia luar biasa, meskipun ia orang yang berdosa. Manusia benar-benar mencapai hasil-hasil pengelolaan yang luar biasa. Namun tujuan yang final tidak pernah akan dicapainya, selama ia tidak menyesuaikan segala pemikiran dan usahanya dengan maksud awal Sang Pencipta.
Penciptaan dan providensi Allah merupakan dua perbuatan Allah yang akrab hubungan nya. Provi densi-Nya menunjukkan bahwa Allah tetap dan kontinu peduli terhadap realitas semesta alam ”langit dan bumi, laut dan segala isinya” (Kel. 20:11) yang telah Dia ciptakan sendiri. Dia yang menjadikan keberadaannya, juga menjamin dan mengurus keberlangsungannya. Dan Dia membawanya ke tujuan akhirnya, biar pun melalui banyak rintangan, kesulitan, murtad, dan kejahatan. Akhirnya rencana Allah akan genap total. Berdasarkan kebenaran Kitab Suci, kita menunggu kedatangan langit dan bumi yang baru, yang sempurna (Why. 21).
Sudah tentu, penciptaan alam semesta adalah karya Allah Tritunggal sendiri (bnd. Ayb. 38:4). Begitu juga penciptaan yang baru, yang akan diwujudkan-Nya pada kesudahan segala-galanya. Itu pun perbuatan Allah semata-mata, tanpa bantuan dari luar (Why. 21:5). Tetapi mengenai providensiNya, walaupun Allah dapat melaksa nakannya sendiri, tetapi Dia berkenan melibatkan manusia juga kita! yang diciptakan-Nya menurut gambar dan rupa-Nya. Bahkan setelah manusia murtad, Dia tetap memberi kan tanggung jawab kepadanya untuk mengelola alam semesta. Kenyataan bahwa semua perbuatan dan kelakuan manusia dicemarkan oleh dosa (sehingga dengan sendirinya tidak pernah dapat dinilai ”baik”), tidak membuat Allah memecat manusia dari jabatannya. Malah, oleh anugerah keselamatan melalui AnakNya Yesus Kristus, manusia kembali bertugas di segala bidang providensi Allah (yang umum, yang khusus, dan yang sangat khusus). Selama kita melakukannya sesuai dengan maksud dan kehendak Allah, demi kemuliaanNya, kita akan benar-benar berhasil. Tetapi, jika kita mengikuti pandangan pandangan kita sendiri, bertitik tolak dari agama, ilmu, atau filsafat kita, kita semakin terjerat dalam keterbatasan akal budi dan potensi kita.
Tidak ada pokok ajaran Kitab Suci yang menimbulkan begitu banyak kebingungan, pergumulan, dan ketidakpercayaan seperti halnya providensi Allah ini (bnd. Van den Brink 1996, 229; Van den Brink & Van der Kooi 2012, 218-219). Tetapi justru dalam pelaksanaan providensi-Nya itu, Allah menunjukkan kasih dan kebaikan-Nya. Arti harfiah kata ”providensi” yang menjelaskannya: Allah yang menyedia kan (Kej. 22:8). Itulah akhirnya pengakuan yang terbukti kebenarannya dalam seluruh sejarah langit dan bumi yang sudah lalu, juga dalam masa depan yang akan datang kelak. Terpujilah Allah yang Mahakuasa, yang mengantarkan alam semesta yang diciptakanNya ke kesudahannya.
”… karena di dalam Dialah telah diciptakan segala sesuatu, yang ada di surga dan yang ada di bumi, yang kelihatan dan yang tidak kelihatan, ….” (Kol. 1:16)
Ternyata, penciptaan dan pemeliharaan Allah tidak terbatas pada realitas yang kita kenal dan amati. Jelas dari Kitab Suci (mis. Ayb. 38-41) bahwa di luar ”langit dan bumi, laut dan segala isinya” (Kel. 20:11) masih ada ciptaanciptaan Allah yang lain, yang melampaui empiri dan observasi kita. Boleh jadi, kita mengalami fenomena-fenomena yang ”luar biasa”, tetapi karena melebihi pengamatan kita, realitas itu sulit dibukti kan keberadaannya, sehingga disebut aneh, ajaib, atau gaib. Sama dengan Alkitab, kurang lebih semua agama dan pandangan dunia sependapat tentang adanya realitas di luar bumi/dunia kita. Di antaranya ada yang mengembangkan ”pandangan dunia luar” yang lengkap genap (yang sering berbentuk cerminan dunia kita), sambil orang-orang tertentu mengata kan mereka berkontak dengannya, yang mengklaim mereka sanggup memengaruhi dan menguasai dunia luar itu (mis. imam, dukun, ahli sihir). Namun pada umumnya orang bingung tentang apa dan bagaimana yang disebut dunia luar itu. Karena tidak tahu, mereka menjadi entah takut dan cemas atau acuh tak acuh. Banyak juga orang yang menyangkal keberadaan realitas luar itu, dengan alasan semua hal yang melampaui pengertian dan akal manusia adalah dongeng yang tidak realistis. Khususnya pada masa kini, banyak orang Kristen yang juga tidak lagi menghisab keberadaan dunia luar. Secara teoritis mereka masih mengakuinya, tetapi secara rasional dan praktis perannya dalam hidup sehari-hari mereka sangat kecil.
Kita konon tidak memahami realitas dunia kita sendiri, sekalipun dunia itu kelihatan, apalagi realitas yang di luar jangkauan kita. Tidak mengherankan, jika orang bingung dan terjadi silang pendapat tentang artinya. Namun, Kitab Suci yang menyedia kan berbagai bukti yang menginformasikan kita tentang keberadaan ”yang tidak kelihatan” di samping ”yang kelihatan” (Kol. 1:16). Semesta alam (Kej. 1–2 ) berisi variasi dan jumlah ciptaan- yang tidak terbilang, yang satu demi satu unik adanya, termasuk kita sebagai manusia (tidak seorang pun di antara miliaran orang yang identik dengan yang lain). Semua ciptaan itu biasanya disebut ”dunia materi” atau ”yang kelihatan”. Selain itu, ternyata ada realitas yang disebut ”dunia non-materi” atau ”yang tidak kelihatan”. Realitas itu pun kita kenal dari Alkitab, entah di dalam kosmos kita (Iblis serta para roh jahatnya; Why. 12:7-9) atau di luarnya (surga, tempat kediaman Allah dan para malaikat-Nya; antara lain Kej. 28:17; Mzm. 2:4; 11:4; Luk. 2:13; 1Kor. 15:48). Sangat mungkin masih ada ciptaan-ciptaan yang materi, yang belum kita kenal atau lihat, di bumi (mis. makhluk-makhluk di dasar laut atau di hutan rimba) atau di angkasa (peradaban atau bentuk-bentuk hidup di planet lain, atau bimasakti lain). Tetapi, khusus yang menjadi pokok pembicaraan di bawah ini ialah realitas nonmateri dan fenomena-fenomena yang tidak kelihatan.
Gereja Mormon berkeyakinan bahwa selain dunia kita, Kristus mendirikan banyak dunia yang lain, tempat kediaman bagi berbagai umat Tuhan yang lain, yang terdiri atas makhluk-makhluk yang menyerupai manusia. Orang yang tidak beragama pun, walaupun mempertahan kan pendapat yang tidak menerima dunia roh atau dunia luar, sering berbicara tentang adanya bentukbentuk hidup lain di angkasa, atau pun di luar ang kasa dalam gugusan bintang lain yang tidak kita kenal. Orang kadang-kadang mengatakan mereka melihat penam pilan yang aneh, misalnya UFO (Unidentified Flying Object, sejenis benda angkasa yang tidak dikenal). Mereka menduga itu kendaraan makhlukmakhluk (aliens) yang datang dari angkasa untuk mengunjungi dunia kita. Pikiran-pikiran yang sedemikian ini diperkuat oleh buku-buku atau film-film Science Fiction. Mencolok, dalam media itu, makhluk-makhluk dunia luar itu selalu dianggap agresif dan bengis (sebenarnya hal itu tidak mengherankan: bukankah kita semua cenderung menganggap warga suku dan bangsa lain sebagai musuh?). Manusia memang mempunyai daya khayal yang tidak pernah kering, tetapi apakah tidak ada kebenaran tertentu dalam fenomena-fenomena aneh yang terkadang orang alami? Bukankah firman Tuhan pun berkisah tentang nabi dan rasul yang mendapat penglihatan-peng lihatan yang sangat aneh dan mengerikan (mis. Yehezkiel, Daniel, Yohanes), bahwa ”beberapa orang tanpa diketahuinya telah menjamu malaikat-malaikat” (Ibr. 13:2)?
1. Nama
Berbagai sebutan dipakai untuk mencirikan realitas yang non-materi dan yang tidak kelihatan itu. Ternyata, semua sebutan itu memperlihatkan kebingungan dan ketidak mampuan orang untuk mendefinisikannya secara gamblang, dan sekaligus kecende rungan untuk memandangnya secara negatif. Karena penge tahuannya kurang, orang rupanya dengan otomatis berpikir dunia luar merupakan ancaman dan gangguan baginya. Men colok, sebutan-sebutan yang dipakai untuk menamai apa yang melam paui pengamatan kita, menyatakan bahwa realitas itu tidak diinterpretasikan sebagai tambahan atau peleng kap pada dunia kita, yang pada dasarnya berarti positif, tetapi sebagai polaritasnya, misalnya dunia luar (
↔ dunia ini), dunia yang tidak kelihatan (↔ dunia yang ke lihatan), dunia supernatural (
↔ dunia natural/alami), dunia non-materi (
↔ dunia materi), dan – secara khusus – dunia spiri tual/rohani/
halus (
↔ dunia jasmani/alami/lahiriah) dan dunia roh (↔ dunia manusia).
Di bawah ini, pada umumnya saya gunakan sebutan terakhir, dunia roh, karena paling sesuai dengan data-data Kitab Suci tentang realitas yang di luar alam semesta kita. Realitas itu khusus nya tampil melalui keberadaan dan tindakan roh-roh yang melayani Allah (Ibr. 1:14).
2. Definisi
Jadi, selain dunia kita yang biasanya disebut dunia materi (material realm), ada dunia non-materi (nonmaterial realm; bnd. Bavinck 2004, 444; Van Genderen & Velema 1992, 261). Meskipun kita tidak melihat nya, tetapi berdasarkan data-data Kitab Suci dan juga pengalaman kita sendiri, kita yakin semua ciptaan itu feno mena-fenomena yang benar dan riil, dan bukan ”dongengdongeng isapan jempol manusia” (bnd. 2 Ptr. 1:16). Kitab Suci memang tidak bercerita jelas tentang karya pen cip taan Allah di luar langit dan bumi, tetapi mengasum sikannya dari awal sampai akhir (Berkhof 1993, 269). Mengenai keber adaan langit dan bumi yang lain atau peradaban manusia yang lain, kita memang tidak mendengar apa pun. Tetapi dalam banyak pasal Kitab Suci kita benar-benar membaca tentang adanya dan bergiatnya roh-roh yang disebut malai kat, tentang tugas dan posisi mereka sebagai pelayan-pelayan Allah, dan tentang tempat mereka tinggal, yaitu bersama Allah di surga. Mereka pun diutus-Nya untuk menyer tai manu sia (misalnya 2 Raj. 6:15-17) atau mengantar berita dari Allah (Ibr. 2:2). Kita juga mendengar tentang rohroh jahat yang sangat aktif, yang memusuhi Allah dan berusaha menghindari rencana-Nya dan meniadakan karya-Nya. Pada khususnya mereka menyerang dan menggodai manusia dengan maksud menjatuhkannya dan menceraikannya dari Allah (bnd. Ayb.). Kebenaran Kitab Suci ten tang dunia roh itu, juga kita alami dalam hidup kita masing-masing, pada khususnya dalam terjadinya halhal yang luar biasa (seperti mukjizat), misalnya per lindungan ajaib terhadap kecela kaan atau penyerangan roh jahat dalam hal kerasukan. Dunia roh itu benar-benar ada. Benar apa yang kita iakan dengan Pengkuan Iman Nicea,ps. 1, ”Kita percaya kepada satu Allah Bapa yang Mahakuasa, Khalik langit dan bumi, segala yang kelihatan dan yang tidak kelihatan.”
Realitas dunia roh itu menyadarkan kita akan beberapa hal, yaitu terhadap
Semua itu membawa kita ke definisi yang berikut ini:
Dunia roh adalah bagian penciptaan Allah yang tetap non-materi dan yang pada umumnya tidak kelihatan, yang namun merupakan bagian realitas kita.
1. Data-data Kitab Suci
Perlu kita sadari bahwa dunia roh, walaupun tidak kelihatan, tidak terpisahkan dari dunia kita yang kelihatan, dan juga tidak tepat kalau dicirikan sebagai polaritasnya, apalagi dengan arti yang negatif. Dengan kete rangannya dalam Kolose 1:16, Paulus tidak bermaksud memisahkan semua ciptaan Allah ke dalam dua kesatuan yang tersendiri dan yang bertentangan antara yang satu dengan yang lain, yaitu: 1) segala yang ada di langit-dan-bumi dunia kita yang materi dan kelihatan, dan 2) segala yang ada di luarnya dunia luar yang nonmateri dan tidak ke lihatan, dengan akibat kita menarik berbagai kesimpulan yang tidak benar tentang dualisme antara dunia kita yang baik dan dunia luar yang jahat. Sebalik nya, yang Paulus maksudkan ialah keterpaduan seluruh karya Allah di segala bidang nya. Khusus untuk menekankan kesatuannya ia memakai gaya pasangan kata, bumi dan surga, kelihatan dan tidak kelihatan (bnd. langit-dan-bumi; di atas, 3.2, btr. 2). Segala sesuatu, entah kelihatan atau tidak kelihatan, tanpa kecuali, adalah hasil pencip taan Allah, dan berada dalam kuasa Kristus (bnd. Van Eck 2007, 84-87; Grudem 2000, 397; para malaikat ”are part of the universe that God created”).
Dari Alkitab jelas bahwa baik para malaikat maupun roh-roh jahat khususnya beroperasi di dunia kita, di tengah-tengah kita. Domisili para malaikat memang di surga. Mereka tinggal bersama Allah, tetapi sering diutus Allah ke bumi untuk melakukan tugas tertentu (mis. Hak. 13:3; 2Raj. 6:16-17; Luk. 1:11, 26-27). Pada awalnya juga Iblis dan para roh jahatnya mereka, malaikat-malaikat yang telah memberon tak me lawan Pencipta nya berada di surga (atau sekurang-kurangnya diper bolehkan memasuki surga; bnd. Ayb. 1:6). Tetapi setelah Iblis dikalah kan Anak Allah dalam rang ka penyela matan dunia, ia bersama roh-roh jahatnya diusir dari surga dan dilemparkan ke bumi (Why. 12:9). Mereka berada di udara (langit; Ef. 6:12), tetapi ada juga yang disimpan dalam tahanan (yang lokasinya tidak disebutkan; 1Ptr. 3:1920; Why. 20:7). Bagaimanapun, hubungan mereka dengan dunia kita sudah nyata. Dunia roh tidak searti dengan ”dunia luar’ karena roh-roh itu sering beroperasi di dunia kita.
Seluruh penciptaan Allah merupakan kesatuan. Untuk menegaskannya Alkitab memakai gaya pasangan kata, yaitu langit dan bumi, surga dan bumi, yang kelihatan dan yang tidak kelihatan. Artinya, tidak ada berbagai realitas yang satu di luar yang lain, tetapi semuanya merupakan realitas kita satu-satunya.
Untuk mengembangkan pandangan yang benar tentang dunia yang tidak kelihatan, kita tidak dapat tidak harus membatasi diri pada keterangan yang diberikan Kitab Suci. Karena berasal dari Tuhan sendiri, Kitab Suci adalah sumber pengetahuan tepercaya, sekalipun pengetahuan itu sedikit dan sulit dipahami. Lebih baik kita puas dengan itu daripada kita mencari sebuah ”sistem lengkap dunia roh” dan ”peta surga”, dan jangan dikelirukan oleh berbagai filsafat (manikheisme, rasionalisme, dan sebagainya), tradisi (mitos, dongeng) yang memutarbalikkan kebenaran (justru di sanalah tampak pengaruh Iblis), dan daya khayal manusia. Justru di sini penting, ujar Calvin dalam Institusionya (I.14,5), ”Mari kita memerhatikan satu aturan kerendahan hati dan pengendalian diri ini, yaitu bahwa tentang hal-hal yang tidak jelas kita tidak berbicara atau mempunyai perasaan, atau ingin mengetahui sesuatu yang lain dari apa yang diberitahukan kepada kita dalam firman Allah” (mis. tentang tabiat, aturan, dan jumlah malaikat). Dengan fokus pada Kitab Suci sebagai sumber kebenaran Allah, kita tidak akan berfilsafat atau bahkan berfantasi tentang fenomena-fenomena yang sama sekali tidak ada informasinya. Di mana Tuhan diam, kita pun tidak akan bicara (bnd. Ul. 29:29).
Surga dan neraka
Pada umumnya sebutan ”dunia yang tidak kelihatan” dianggap sama artinya dengan penger tian ”dunia roh”. Alasannya jelas: informasi yang diberikan Kitab Suci tentang dunia yang tidak kelihatan itu, agaknya hanya mengenai makhluk-makhluknya, yaitu roh-roh yang baik (malaikat) dan yang jahat. Walaupun demikian, dunia roh itu tentu lebih luas daripada para makhluknya. Ada surga, tempat kediam an Allah Tritunggal. Di sana Dia bertakhta (antara lain Ul. 26:15; Mzm. 2:4; 11:4, Pkh. 5:1; Mat. 6:9; Why. 4). Ada juga neraka, tempat kebinasaan bagi Iblis dan para pengikutnya, entah roh-roh atau manusia (antara lain Mat. 5:22, 29; 10:28; Yak. 3:6; 2Ptr. 2:4), yang juga disebut ”lautan api” (Why. 20:10, 14). Tetapi benar, Kitab Suci tidak menyatakan apa pun tentang bagaimana Allah menciptakan surga dan (api) neraka, atau tentang lokasi nya di mana, dan hanya sedikit tentang isinya. Banyak pertanyaan yang timbul dalam hati kita: Apakah Tuhan benar-benar menciptakan surga? Karena Dia Allah yang kekal, apakah tempat kediaman-Nya tidak kekal? Berkaitan dengan itu, apa persisnya arti kata ”surga” dalam Kejadian 1:1 dan 2:1? Dan karena pada awalnya belum ada dosa, baik di surga maupun di bumi, apakah neraka tidak dijadikan-Nya sesudahnya? Allah sendiri mahahadir. Sebagai Roh, Dia tidak terbatas pada surga atau lokasi apa saja (1Raj 8:27). Padahal, para malai kat yang juga roh dan yang juga menghuni surga, memang tidak mahahadir. Bagaimana persisnya, kita tidak tahu, sehingga mustahil kita menarik kesimpulan-kesimpulan yang pasti dan mutlak.
Allah tidak menyajikan gambar dunia yang komplet dalam firmanNya, tetapi tam pak nya Dia berkenan mengaitkan pada pandangan dunia (worldview) yang manusia kembangkan mengenai realitas dunia yang diamati dan dialaminya sendiri pada masa dan dalam konteks ia hidup (Hiebert 2008). Berdasarkan pengamatan dan pengalaman (empiri) itu, pada umumnya orang membedakan tiga zona dalam penggambaran dunianya, yaitu
Pandangan ini, yang dikenal sebagai pandangan dunia antik, adalah juga worldview umat Israel/Yahudi (lihat mis. Keluaran 20:4 dan 11).
Mengenai dunia atas itu, banyak bahasa, juga bahasa Indonesia, yang membedakan antara ”surga” dan ”langit”. Selain itu, terdapat kata ”udara”. Pada umumnya, yang dimaksud dengan surga ialah tempat kediaman Allah dan para malaikat-Nya. Juga jiwa/roh orang percaya yang sudah mati yang berada di sana. Dan langit berarti ruang yang terbentang di atas bumi, tempat beradanya benda-benda penerang, juga burung-burung (Kej. 1:14, 20). Jadi, kata langit agaknya sama artinya dengan kata ”cakrawala”. Kedua kata, surga dan langit, juga kita temui dalam terjemahan Alkitab. Soalnya, dua-duanya merupakan terjemahan dari hanya satu kata bahasa Ibrani syamayim (selalu bentuk jamak) dan bahasa Yunani ouranos/ouranoi (sering berbentuk jamak), sedangkan kata cakrawala adalah terjemahan dari kata bahasa Ibrani raqiya dan bahasa Yunani stereoma (bnd. Kej. 1:20 reqiya hasyamayim). Ini berarti, bahasabahasa asli Kitab Suci tidak membedakan antara surga dan langit.
Sebaiknya, kita menginter pretasikan data-data Kitab Suci mengenai dunia atas begini: tingkat yang pertama, yang paling dekat pada kita agaknya sama dengan cakra wala (udara, atmosfer, tempat burung-burung terbang), yang kedua yang lebih jauh adalah langit (angkasa, tempat benda-benda penerang), dan yang ketiga yang paling jauh adalah surga (tempat kediaman Allah) yang juga disebut Firdaus (ke mana juga roh-roh orang percaya pergi ketika meninggal; bnd. 2Kor. 12:2-4; juga Ul. 10:14; Neh. 9:6; Ibr. 4:14).
Langit, bumi, dan laut/air merupakan unsur-unsur dasar yang bersamasama merupakan konteks hidup manu sia yang konkret (Kel. 20:11). Dalam pandangan dunianya itu ia berusaha memahami dan menangani segala-galanya, dan mempersatu kan semua unsur kehidupan nya yang beraneka ragam dalam satu gambar yang menyeluruh. Karena manusia tidak mampu mengirangira seluruh realitasnya, baik yang kelihatan maupun yang tidak kelihatan (juga banyak yang dapat dilihatnya, tidak atau belum kelihatan), pandangan dunianya selalu terbatas dan tidak tepat, sehingga kemudian diperluas lagi atau dikoreksi (mis. pandangan yang geo sentris diganti oleh yang heliosentris). Baru beberapa dasawarsa yang lalu, ketika manusia dengan roket yang diluncurkan ke angkasa, ia untuk per tama kalinya melihat dengan mata kepalanya sendiri bahwa bumi tidak berbentuk piring yang rata melainkan bola yang bulat. Dengan teori Galelio Galilei dan lain-lain akhirnya yang tidak kelihatan menjadi kelihatan bagi manusia.
Apakah koreksi-koreksi pandangan manusia tentang dunia berarti keberadaan surga dan neraka harus diper timbangkan kembali? Tentu tidak. Yang harus diperbaiki bukan kebenaran Kitab Suci ten tang realitas surga dan neraka, melainkan salah pengertian manusia. Dalam mitologi agama-agama, Sang Pencipta selalu dianggap berkediaman ”di seberang ufuk” (beyond the horizon), artinya di salah satu lokasi bumi yang tidak terjangkau (dengan demikian tempat kediaman dewa Refafu Suku Kombai, Papua-Selatan, yang namanya ”Arimborü” [= ”Dusun Bapaku”], terletak di atas salah satu bukit di seberang batasan wilayah suku). Kebiasaan orang Kristen menunjuk ke langit di atas, jika ditanya Allah ada di mana, tentunya berkaitan dengan relasi antara kata surga dan langit, dan agaknya juga berdasarkan worldview yang tadi digambar kan. Bagaimana pun, kediaman Allah di luar jelajah manusia, tetapi di mana tempatnya, tidak seorang pun tahu.
Pertama-tama surga adalah tempat kediaman Allah Tritunggal. Allah Bapa yang bertakhta di surga (antara lain Kej. 28:17; Mzm. 2:4; 11:4; Pkh. 5:1; Mat. 6:9; bnd. Why. 4), dan Anak-Nya, Anak Domba yang Mulia, duduk di sebelah kanan-Nya. Tetapi, bukan hanya Allah yang tinggal di sana. Surga penuh dengan banyak makhluk, yaitu jiwa-jiwa orang mati (Luk. 23:43; Why. 6:9-10), dan juga roh-roh yang melayani Dia, yang kita kenal sebagai malaikat (antara lain Neh. 9:6; Mrk. 13:32). Selain itu ada makhluk-makhluk dan benda-benda, juga model Kemah/Bait Suci dan Kota Yerusalem yang baru (Ez. 1:5-14; Why. 4:6-8; 21; bnd. Grudem, 398).
Surga adalah tempat kemuliaan Allah. Di sana Dia berdiam dan bertakhta. Juga banyak makhluk yang tinggal di surga, antara lain para malaikat dan jiwa-jiwa orang percaya yang telah meninggal dunia. Kota Yerusalem yang baru siap di sana untuk diturunkan ke bumi yang baru.
Sama seperti surga berkaitan dengan terang, udara, dan langit yang di atas bumi, demikian neraka berhubungan dengan air dan kegelapan yang di bawah bumi. Neraka juga disebut lautan api. Api dapat datang dari atas (petir dan guntur adalah tanda-tanda kemahakuasaan Allah, Kel. 19:18 dan 20:18; Mzm. 29:3, tetapi juga dari dalam atau dari bawah bumi (gunung api, mata air panas, dan lain-lain).
Kata ”neraka” adalah terjemahan kata bahasa Ibrani/Yunani gehenna.
Dalam PL, pada awalnya belum dibedakan antara tempat tinggal orang mati yang saleh dan yang murtad. Karena kematian adalah hukuman atas dosa manusia (Kej. 2:17), tempat itu dianggap sebagai ”tempat kebina saan” (Ayb. 26:5-6). Pada saat meninggal dunia, semua orang turun ke ”kerajaan maut” atau ”dunia orang mati” (kata bhs. Ibrani syeool, bhs. Yunani hades; Ayb. 7:9; 26:6; Yes. 38:10-14; Kis. 2:27, 31), dan ”dikumpul kan ke kaum leluhurnya” (mis. Kej. 25:8). Tidak mungkin ada seorang pun yang kembali dari sana ke dunia orang hidup: ”manusia pergi ke rumahnya yang kekal” (Pkh. 12:5; bnd.
Ayb. 16:22). Di kemudian hari dipakai kata yang khusus menunjukkan tempat penghukuman, yakni ge Henna atau Lembah (anak-anak) Hinnom. Sebutan itu berasal dari nama jurang di sebelah Selatan Kota Yerusalem yang terkenal sebagai tem pat sampah (yang biasanya dibakar), juga tempat persembahan kurban-kurban anak kepada Dewa Molokh (bnd. Yer. 7:31-32; 19:2, 6; 32:35). Dunia orang mati dibagi dalam dua bagian yang dipisahkan oleh jurang yang tidak terseberangi, yakni bagian yang satu bagi orang benar, dan bagian yang satu lagi bagi orang berdosa (Luk. 16:19-31). Akhirnya kita mengerti bahwa jiwa-jiwa orang mati yang taat dan saleh diangkat Allah ke Firdaus (Luk. 23:43), yakni surga (2Kor. 5:1, 8; bnd. Yoh. 14:2-3; Why. 7:9), sedangkan yang lain dicampakkan ke neraka menunggu hukuman yang definitif (Mat. 5:29; 18:9; Luk. 12:5; 16:23; 1Ptr. 3:19; Why. 20:11-15). Dengan demikian neraka adalah tempat penderitaan dan penghukuman bagi para malaikat dan manusia yang memberontak melawan Allah, yang tidak bertobat tetapi yang hidup jauh dari Allah dan yang mengajak yang lain untuk mengikuti mereka dalam kemurtadannya.
Neraka adalah tempat penghukuman kekal bagi semua makhluk yang memberontak melawan Allah dan yang tidak mau bertobat kepada-Nya.
Para malaikatSelain tempat kediaman Allah, surga adalah domisili banyak roh, yakni para malaikat. Sama seperti manusia dan alam semesta, mereka ciptaan-ciptaan Allah. Mereka khusus dijadikan-Nya untuk melayani Dia sebagai petugaspetugas-Nya. Menurut Alkitab, para malaikat itu roh-roh yang baik dan setia, yang taat melakukan apa yang diperintah kan Allah kepada mereka. Di samping mereka, kita membaca tentang roh-roh yang pada awalnya juga baik dan taat, tetapi yang kemudian mengikuti satu di antara mereka, Iblis, yang memberontak melawan Penciptanya, sehingga mereka semua dari baik berubah menjadi jahat. Mereka tidak lagi tinggal di surga, karena pada saat tertentu mereka diusir dari sana ke bumi (Why. 12:9). Dari Kitab Suci kita menerima keterangan tentang nama-nama, sifat-sifat, posisi, tugas, dan kegiatan kedua kelom pok roh-roh itu. Hanya, mengenai bagaimana dan kapan mereka dicipta kan Allah, kita tidak mendapat informasi sedikit pun. Sama halnya mengenai kapan, bagaimana, dan alasan sebagian malaikat memberontak melawan Allah.
• Penciptaan dan penampilan
Kitab Suci tidak berkisah secara eksplisit tentang penciptaan para malaikat. Apakah Kejadian 1:1 dan 2:1 menyebutkannya secara implisit? Tergantung dari interpretasi kata bahasa Ibrani syamayim (surga atau langit; kadang-kadang ayat-ayat Alkitab, bnd. Neh. 9:6 dan Mzm. 148:1-6, memberi kesan keduaduanya dianggap sama saja, sehingga perkataan ”bala tentara surga” ditafsirkan sebagai para malaikat di surga atau sebagai benda-benda penerang pada cakrawala). Tetapi kalau para malaikat pun termasuk ”segala isi” (Kej. 2:1), kita belum mengetahui kapan dan bagaimana para roh surgawi itu diciptakan. Dari Ayub 38:7 agaknya dapat disimpulkan bahwa roh-roh surga wi itu telah ada pada saat Allah mulai menjadikan isi langit dan bumi, hari demi hari. Rupanya mereka hadir menyaksikannya sebagai penonton. Menyambut hasil pekerjaan Allah, mereka kagum dan bersorak-sorai. Tanpa henti mereka memuliakan nama Allah karena perbuatan-perbuatan-Nya yang masyhur (bnd. Yes. 6:3).
Dalam kisah penciptaan langit dan bumi itu sendiri, dan juga pada masa pertama keberlang sungannya, para malaikat tidak disebut. Baru dalam Kejadian 3, yaitu ketika manu sia jatuh ke dalam dosa, ”dunia roh” muncul untuk pertama kalinya. Iblis, yang tampil dalam bentuk ular, yang membujuk rayu Hawa untuk tidak menaati perintah Penciptanya (ay. 1-6). Selanjutnya, setelah manusia diusir dari taman Eden, kita baca tentang ”beberapa kerub dengan pedang yang bernyala-nyala dan menyam bar-nyambar” yang menjaga jalan ke pohon kehi dupan, untuk menghindarkan manusia yang berdosa kembali ke Taman Eden (ay. 24). Di sini, pada awal sejarah langit dan bumi, kita menyimpulkan adanya roh-roh (”dunia roh”), yaitu:
- roh-roh yang jahat, yang menolak perintah Allah, yang bahkan suka membinasakan karya Allah, khususnya memutuskan relasi Pencipta dengan manusia sebagai gambar dan pengurus-Nya. Dari keterangan Alkitab selanjutnya jelas bahwa ”ular” itu sama dengan Iblis.
- roh-roh yang melaksanakan perintah Allah dengan taat, sebagai pelayan dan prajurit-Nya menjagai seluruh karya-Nya.
Kedua orang pertama, Adam dan Hawa, telah mengalami realitas kedua macam roh itu.
Karena mereka roh, para malaikat tidak kelihatan. Tetapi kadang-kadang mereka tampak dalam rupa manusia (mis. Kej. 18; Hak. 13:6, 10, ”seorang abdi Allah, yang rupanya sebagai rupa malaikat Allah, amat menakutkan”; Luk. 1). Dalam penglihatan dan penggambarannya, mereka sering mempunyai dua atau bahkan enam sayap (Kel. 25:20; Yes. 6:1-3). Tampaknya mereka dapat tampil dalam banyak rupa.
Dari tindakan-tindakan para malaikat itu jelas bahwa sebagai makhluk mereka mirip dengan manusia. Dalam definisinya tentang malaikat, Grudem mencantumkan bahwa mereka adalah oknum-oknum spiritual, yang mampu melakukan pertimbangan moral dan yang berinteligensi tinggi, tetapi mereka tidak mempunyai tubuh (Grudem 2000, hlm 397). Dan KBBI memerikan malaikat sebagai ”makhluk halus” yang dianggap ”hidup di alam gaib, di luar alam fisik,” dan roh sebagai ”sesuatu yang hidup yang tidak berbadan, yang berakal budi dan berperasaan.” Definisi-definisi ini memberi kesan, malaikat sedapat mungkin dibandingkan dengan manusia. Masuk akal, karena justru antara kedua makhluk ini memang terdapat banyak kesamaan. Tetapi, perbedaannya juga sangat signifikan. Terutama, mereka roh yang berbeda dengan manusia dan makhluk-makhluk lainnya tidak mempunyai penampilan fisik atau materi. Karena itu, pada umumnya mereka tidak dapat dilihat (mis. 2Raj. 6:17), tetapi kadang-kadang mereka tampil dalam tubuh atau bentuk tertentu. Alkitab sendiri yang mendefinisikan malaikat secara singkat dan seder hana sebagai ”roh-roh yang melayani” (Ibr. 1:14). Kesa maan dan perbedaannya dengan manusia dan makhluk-makhluk lainnya muncul di seluruh Alkitab.
Para malaikat adalah roh-roh yang diciptakan Allah untuk melayani Dia sebagai petugas. Untuk melakukan tugasnya, mereka kadang-kadang menampilkan diri dalam bentuk atau tubuh yang kelihatan.
Jika kedua makhluk malaikat dan manusia dibandingkan yang satu dengan yang lain, kita melihat bahwa perbedaannya lebih besar daripada kesamaannya (bnd. Haak 1983/1990, 4):
Malaikat | Manusia |
---|---|
- roh (Ibr. 1:14) - dapat tampil dalam tubuh makhluk lain, terutama manusia (Kej. 18), tetapi juga dalam bentuk binatang (Kej. 3:1) |
- roh dan tubuh (Kej. 2:7) - terikat pada tubuhnya |
- bukan gambar Allah, tidak berkuasa - relasi dengan Pencipta: Tuhan-pelayan - posisi: pesuruh/utusan - tugas: terbatas (tidak berprakarsa sendiri), antara lain menyanyi, mengantar berita, menjaga - tidak mandiri, namun bertanggung jawab |
- gambar Allah, berkuasa atas semesta alam - relasi dengan Pencipta: Bapak-anak - posisi: pengurus/wakil/raja - tugas: luas (berprakarsa sendiri), antara lain menyanyi, bekerja/mengelola semesta alam - mandiri dan bertanggung jawab |
- tempat kediaman: surga - dapat pergi ke mana-mana, khusus langit dan bumi (bangun, tidak tidur) = tidak dibatasi oleh tubuh, waktu, usia, ruang, jarak, dan bahasa (namun tidak mahahadir) |
- tempat kediaman: bumi - terikat pada tempatnya di bumi (juga ketika tidur dan bermimpi) - dibatasi oleh tubuh, waktu, usia, ruang, jarak, dan bahasa |
- berkepribadian, berkesadaran diri, inteligensi tinggi, berakal, berkehendak, - mampu berpikir, mendengar, berbicara, berunding, mengambil keputusan - tetapi tidak: mengasihi, berbudaya, mengelola, berkembang |
- berkepribadian, berkesadaran diri, inteligensi tinggi, berakal, berkehendak - mampu berpikir, mendengar, berbicara, berunding, mengambil keputusan - dan juga: mengasihi, berbudaya, mengelola, berkembang |
- tidak berkelamin, tidak menikah, tidak berkeluarga, tidak berketurunan, tidak berbangsa (Mat. 22:30; Luk. 20:36) - semua malaikat diciptakan satu kali, menurut kategori dan pangkatnya |
- berkelamin laki-laki dan perempuan, menikah, berkeluarga, berketurunan, berbangsa (bnd. banyak silsilah dalam Alkitab) - manusia hanya diciptakan satu pasang yang kemudian memenuhi bumi melalui kelahiran |
- mampu membedakan antara baik dan jahat - dapat berdosa/murtad (bukan dosa turunan; bukan semuanya berdosa, kalau hanya satu yang murtad) |
- mampu membedakan antara baik dan jahat - dapat berdosa/murtad (dosa turunan; semuanya berdosa, sesudah yang pertama murtad) |
- tidak (dapat) diselamatkan dan diampuni dosanya - tidak mengenal kematian sementara - yang taat hidup selama-lamanya, dan juga berbagi-bagi dalam pendamaian segala-galanya (Ef. 1:10) - yang murtad hanya mengenal kematian kekal |
- (dapat) diselamatkan dan diampuni dosanya - semuanya mengenal kematian sementara - yang percaya bangkit dan memperoleh hidup yang kekal - yang murtad juga mengenal kematian kekal |
- tetap pelayan/pesuruh | - puncak seluruh penciptaan Allah - tetap anak, dan akan memerintah bersama Kristus di bumi baru, sebagai nabi, imam, dan raja (KH 12) |
• Jumlah dan struktur
Mengenai jumlah para malaikat, Kitab Suci hanya memberikan informasi global, yaitu bahwa jumlahnya tidak terbilang banyaknya. Allah sendiri sering disapa dengan nama ”Tuhan Sebaot” (mis. Mzm. 46:8; 84:2), artinya Dia dihormati sebagai Kepala bala tentara surgawi-Nya (mis. Kej. 32:2; bnd. Luk. 2:13). Dalam Ulangan 33:2 kita membaca tentang ”puluhan ribu orang yang kudus” dan dalam Mazmur 68:18 tentang ”kereta-kereta Allah puluhan ribu, bahkan beribu-beribu banyaknya.” Dalam PB pun disebut ”beribu-ribu malaikat” (Ibr. 12:22). Sebutan ”puluhan ribu” dan ”beribu-ribu” ternyata menunjuk kan jumlah yang tidak terkira banyaknya (itulah arti kata bhs. Yunani myrios; dengan demikian perkataan bhs. Inggris myriads of myriads berarti innumerable; Grudem 2000, 399). Perhatikan Rasul Yohanes yang dalam penglihatannya ”melihat dan mendengar suara banyak malaikat di sekeliling takhta (…); jumlah mereka beratus-ratus ribu dan berjuta-juta” (Why. 5:11).
Semua malaikat yang berdomisili di surga itu (”penghuni surgawi”, Mzm. 29:1), dan yang melayani Allah sebagai pesuruh-pesuruh-Nya, bukanlah khalayak yang tidak teratur atau yang tidak berstruktur. Dan fakta bahwa mereka pelayan tidak berarti mereka semua ciptaan-ciptaan yang paling bawah atau hina. Sebaliknya, mereka berposisi tinggi dan berkuasa. Dari Kitab Suci jelas bahwa mereka digolongkan Allah menurut pangkat-pangkat dan berbagai kategori. Di antara para malaikat itu ada yang berjabatan sebagai pemimpin, kepala, atau panglima (Gabriel dan Mikhael, lihat di bawah), yang berwibawa atas malaikat-malaikat yang lain yang agaknya dibagi-bagi dalam kesatuan-kesatuan tertentu. Selain itu kita baca tentang adanya beberapa macam atau kategori berdasarkan tugas yang mereka lakukan, yaitu:Kerub atau Kerubim yang khususnya melayani Allah sebagai penjaga (Kej. 3:24) dan prajurit. Dalam Kemah Suci dan kemudian Bait Suci terdapat gambargambar kerubim, misalnya lukisan pada kain-kain penutup dan pada tabir di tengah Ruang Suci dan Ruang Mahasuci (Kel. 26:1, 31; 36:8, 35; 2Taw. 3:14) dan – lebih penting lagi – pada kedua ujung tutup pendamaian di atas tabut Tuhan (Kel. 25:18-20; 37:6-9; 1 Sam. 4:4; 2 Sam. 6:2; 1 Raj. 6:23; 8:6; Mzm. 80:2; 99:1; Ibr. 9:5). Dalam syairnya, Daud mengatakan, Tuhan yang mengendarai kerub (2 Sam. 22:11; Mzm. 18:11). Demikian juga dalam penglihatan yang diterima Yehezkiel (Yeh. 10:1-22; 41:18-20; bnd. Yeh. 1, juga 2 Raj. 2:11).
- Serafim yang khususnya melayani dalam liturgi surgawi, sebagai paduan suara yang memuji Nama Tuhan. Mereka tetap berada di sekeliling takhta Allah (Yes. 6:1-3).
• Nama-nama dan tugas
Banyak nama yang Kitab Suci berikan kepada para malaikat, langsung mengacu ke tugas dan status mereka. Nama bhs. Ibrani malakh menunjukkan bahwa mereka adalah utusan yang beroperasi atas nama Penyu ruh mereka (antara lain Kel. 23:20; bnd. Luk. 1:19), sedangkan nama bahasa Yunani anggelos mempunyai arti harfiah ”pemberita” (misalnya Luk. 2:10). Walaupun namanama itu tidak eksklusif dipakai untuk para malaikat, karena juga digunakan untuk orang-orang yang diutus Allah untuk memberitakan firman-Nya kepada umat-Nya sebagai nabi atau rasul (Mal.; Why. 1-3; bnd. 1Sam. 11:3), tetapi nama-nama ini dengan tepat menentukan tugas dan status mereka. Kenyataan bahwa status mereka dalam pelaksanaan tugas itu sangat tinggi menjadi jelas dari nama-nama lain, seperti ”pemerintah-pemerintah dan penguasa-penguasa di surga” (Ef. 3:10; bnd. 1:21; Kol. 1:16 dan 2:10). Kadang-kadang mereka disebut ”orang-orang kudus” (Mzm. 89:6-8; Dan. 8:13; mereka memang tidak dicemar kan oleh dosa, sehingga karena itu mereka juga lebih tinggi dari manu sia yang berdosa, Ibr. 2:7), atau bahkan ”anak-anak Allah” (Ayb. 1:6; 2:1). Kata ”anak” itu menunjukkan hubungan antara Allah Pencipta dan malaikat itu akrab (mereka dapat diumpamakan sebagai ”anak buah” seorang guru atau majikan). Tetapi, meskipun mereka sangat berkuasa, mereka tetap pela yan, bukan anak (bnd. Ibr. 1:5-2:18). Alam semesta tidak takluk kepada mereka (Ibr. 2:5), tetapi mereka yang selalu dan tetap menaklukkan diri kepada Allah dan Anak-Nya, dan siap sedia untuk melaksanakan tugas mereka (1Ptr. 3:22).
Apakah para malaikat masing-masing mempunyai nama diri? Hanya dua malaikat diberi tahu namanya, yakni Gabriel (Dan. 8:16; 9:21; Luk. 1:19, 2627) dan Mikhael (Dan. 10:13, 21; 12:1; Yud. ay 9; Why. 12:7-8; bnd. 1Tes. 4:16). Ternyata kedua malaikat ini berpangkat tinggi sebagai ”pemimpin besar” (bnd. ’direktur jendral’; tentang Iblis, lihat di bawah). Yang pertama, Gabriel, adalah kepala para pemberita surgawi yang khususnya berperan dalam hubungan dengan realisasi keselamatan (Anak Allah menjadi Anak Manusia), yang lain, Mikhael, adalah kepala bala tentara surgawi yang khususnya bertindak sehubungan dengan pengalahan Iblis dan musuh-musuh Allah lainnya.
Selain itu, masih ada satu malaikat yang khas, yang disebut Malaikat Tuhan. Melihat perannya dalam peris tiwa-peristiwa yang semuanya berkaitan dengan pemenuhan rencana keselamatan Allah melalui Abraham dan keturunannya (Kej. 16:7, 9; 22:11, 15; 31:11; Kel. 3:2; Hak. 2:1, 4; 2 Sam. 24:16; Za. 3:1-2; bnd. nama Panglima Balatentara Tuhan dalam Yos. 5:1315), dia selayaknya dianggap sama dengan Anak Allah (pada masa PL, sebelum Dia menjadi manusia).
Mengenai tugas para malaikat, dalam seluruh Kitab Suci mereka tampil sebagai pelayan Allah di banyak bidang. Mereka berfungsi sebagai penyanyi dalam liturgi surgawi (Yes. 6:1-3; Luk. 2:13-14; Why. 4:11; 5:11) atau sebagai penjaga dan prajurit di bumi (Kej. 3:24; 2Raj. 6:17; Mzm. 91:11; Mat. 26:53). Dalam ayat-ayat lain kita mendengar tentang malaikat-malaikat yang bertugas sebagai pembawa pesan (Hak. 13:3-5) atau berita (mis. Luk. 1:2638; 2:9-12). Walaupun mereka kadang-kadang membuka rahasia-rahasia Allah (Dan. 8:16, 19), tetapi mereka tidak mengetahui segala-galanya (1Ptr. 1:12), dan tidak berprakarsa sendiri atau mengembangkan mandat mereka sendiri. Mereka semua nya ciptaan yang taat melaksanakan keputusan-keputusan Allah. Jadi, para malaikat adalah pelayan-pelayan (pesuruh, karyawan) yang sengaja dijadikan Allah untuk melak sanakan tugas-tugas yang diperintahkan-Nya.
- Pada umumnya tugas-tugas para malaikat itu berkaitan dengan keberlangsungan langit dan bumi menuju ke kesu dahannya mereka kontinu memuliakan nama Tuhan karena itu (Mzm. 103:20; 148:2) dan perlindungan anak-anak Allah dan seluruh umat-Nya (Kej. 48:16; Kel. 23:20; Hak. 13:3; 2Raj. 6:16-17; Mzm. 91:11; Dan. 3:28; Luk. 16:22).
- Secara khusus para malaikat dilibatkan Allah dalam penyampaian firmanNya (PL: Kis. 7:53; Gal. 3:19; Ibr. 2:2; PB: Kis. 8:26; 10:3; bnd. Gal. 1:8). Dan mereka bertugas di bidang realisasi kesela matan dunia dari kuasa Iblis dan dosa. Mereka mendampingi kedatangan dan pelaksanaan tugas Anak Allah, Yesus Kristus, tahap demi tahap (Mat. 1-2; Luk. 1-2; Mat. 4:11; 28:1-7; Kis. 1:10-11). Walaupun mereka tetap dekat padaNya, tetapi Dia sering tidak menggunakan pelayanan mereka. Satu kata sudah cukup bagi Bapa-Nya untuk membuat mereka bertindak (Mat. 26:53-54; bnd. Mat. 4:6), tetapi justru dalam penye lesaian tugas-Nya sebagai Juru Selamat, hendaknya para malaikat itu tidak aktif. Sebaliknya kelak, pada hari Dia datang untuk kedua kalinya, para malaikat akan menyertai Dia, sambil melaksanakan semua perintah-Nya (Mat. 16:27; 24:30-31; 1Tes. 4:16-17; 2 Tes. 1:7; Why.). Sudah tentu, dalam seluruh sejarah keselamatan, para malaikat berperan.
- Selain itu para malaikat terus-menerus aktif dalam melindungi dan menjaga para pemberita Injil (mis. Kis. 5:19; 12:6-10), dan bahkan semua orang percaya untuk bertahan dalam iman dan ”mewarisi keselamatan” (Ibr. 1:14). Ini berarti, mereka juga mendampingi Roh Kudus dalam pelaksanaan tugas-Nya. Apakah Alkitab membenarkan pandangan bahwa semua orang percaya mempunyai malaikat pelindungnya masingmasing (atas dasar Mzm. 91:11-12; Mat. 18:10; Kis. 12:15; bnd. Haak 1983/1990, 11-12) kurang jelas, tetapi malaikat-malaikat memang selalu dekat dan tanpa henti berjaga-jaga (bnd. 1Tim. 5:21). Mereka bersukacita, ketika ada orang berdosa yang bertobat kepada Tuhan (Luk. 15:10). Mereka disuruh, bukan untuk memisahkan orang percaya dari Kristus (Rm. 8:38), melainkan untuk memisah kan orang yang jahat dari orang yang benar (Mat. 13:49), untuk mengum pulkan tuaian bagi Kerajaan Surga dan mengeksekusi vonis Allah atas segala kejahatan (Kej. 18-19; Mat. 13:39-41; Mat. 24-25; Why.).
Dengan demikian Allah melibatkan para malaikat sebagai penatausaha dalam pelaksanaan providensi-Nya di segala bidangnya. Karena mereka makhluk yang hidup, nama ”robot” dan juga nama ”budak” tidak tepat. Mereka bukan ”otomat” (juga jelas dari ketidaktaatan Iblis dan para pengikutnya). Walau pun demikian, ketika menerima perintah apa pun, mereka langsung melaksanakannya dan dengan demikian menaati kehendak Allah sematamata. Dalam Mazmur 103:21 mereka disebut ”pahlawan-pahla wan perkasa yang melaksanakan firman-Nya dengan mendengarkan suara firman-Nya” dan ”pejabat-pejabat-Nya yang melakukan kehendak-Nya.” Dalam pengabdian (commitment) mereka yang total itu, mereka menjadi teladan bagi ”segala buatan-Nya” yang lain (Mzm. 103:22; bnd. doa ”Jadilah kehendak-Mu, di bumi seperti di surga”). Kehadiran dan tindakan para malaikat itu membuat gereja Kristus dan para warganya masing-masing merasa aman dan terlindung. Melalui para ”penghuni surga” ini, Allah menunjukkan kemahakuasaan-Nya kepada seluruh dunia.
Iblis dan roh-roh jahat
Selain malaikat-malaikat (yang baik) ada roh-roh jahat yang dipimpin oleh Iblis. Banyak hal yang telah disebutkan tentang para malaikat, juga berlaku untuk roh-roh jahat ini, karena bukankah mereka juga malai kat, ciptaan Allah? Pada saat tertentu terjadilah sebagian pelayan-pelayan surgawi dari mengabdikan diri kepada Pencipta dan Penyuruh nya beralih mengikuti Iblis dalam memberontak melawan Allah. Selain di surga, Iblis mendapat penganutpenganutnya di bumi. Dengan mencobai manusia yang sesungguhnya mampu menolak pencobaan Iblis itu (Kej. 3:1-7) Iblis berhasil membongkar karya Allah. Dari manusia yang berkuasa atas semesta alam dalam nama Allah, Iblis yang menjadi penguasa dunia. Mengenai manusia, ”segala kecenderungan hatinya selalu membuahkan keja hatan semata-mata” (Kej. 6:5). Walaupun Allah mengizinkan semuanya itu terjadi (alasan tidak dinyatakan-Nya; lihat di atas, 3.7, btr. 4), tetapi Dia tidak membiarkan Iblis bersama para pengikutnya di surga dan di bumi menguasai segala-galanya. Semua roh jahat disimpanNya sampai hari penghakiman (2Ptr. 2:4). Dan berdasarkan kasih dan kemurahan-Nya, Dia memulai pemulihan manusia dan segala-galanya, sesuai dengan rencana kesela matan-Nya. Anak-Nya yang Tunggal, Yesus Kristus, kini telah mengalahkan Iblis dan para pengikut nya oleh kematian dan kebangkitanNya. Sekarang Iblis memang masih sangat berkuasa sambil melakukan banyak kejahatan, tetapi pembinasaannya yang definitif dan kekal semakin dekat. Pada hari Kristus datang kedua kalinya, Iblis bersama para pengikutnya akan divonis Allah dengan hukuman yang kekal. Tidak ada ampun bagi mereka.
• Identitas dan penampilannya
Dalam Kejadian 3, Kitab Suci bercerita tentang ”ular” yang menggodai manusia untuk sama seperti dia sendiri murtad melawan Allah. Dari keterangan Kitab Suci yang kemudian (khususnya Why. 12:9), kita mengerti bahwa ular atau naga itu sama dengan Iblis, pelayan Allah yang berubah menjadi pelawanNya yang paling dahsyat. Maksudnya hanya satu, yaitu menghancurkan seluruh karya Allah dan meniadakan Allah sendiri. Khususnya ciptaan Allah yang paling tinggi, yaitu manusia yang berposisi sebagai anak dan bendahara-Nya, yang menjadi sasaran Iblis. Kalau ia berhasil membuat manusia mengikuti dia daripada tetap menaati Allah, semuanya akan berada dalam kuasanya. Dan memang, kita juga membaca tentang hasil yang ular capai itu: manusia takluk padanya.
Dalam Kejadian 3:1 Iblis tiba-tiba muncul, dalam rupa ular. Tetapi siapa sebenarnya pelawan Allah ini? Semua manusia memang mengakui adanya yang jahat (hal) atau Si Jahat (oknum), yaitu berdasarkan pengalaman mereka. Mereka menganggap dia yang melatarbelakangi segala kejahatan yang terjadi. Namun, kebanyakan mereka tidak berpikir tentang asal usulnya. Mereka menerimanya sebagai fakta atau keadaan yang dapat ditentang, tetapi yang tidak mungkin ditiadakan. Banyak agama dan filsafat yang berpendirian bahwa Si Jahat adalah allah yang jahat, yang hidup di samping dan setingkat dengan Allah yang baik. Sejak kekal, keduanya berperang secara kontinu tentang siapa yang berkuasa. Kadang-kadang Allah yang baik yang menang, adakalanya allah yang jahat yang lebih kuat. Perang ini akan berlangsung sampai selamalamanya, dengan hasil-hasil yang berbeda-beda. Manusia tidak dapat berbuat apa-apa (dualisme, manikheisme, fatalisme). Selain itu, ada yang berpendapat bahwa Iblis dan para pengikutnya memang dicip takan Allah, dalam arti mereka langsung dijadikan-Nya sebagai roh-roh yang jahat, di samping malaikat-malaikat yang baik. Dengan demikian Allah sengaja membuat seluruh hidup menjadi pertandingan yang menegangkan antara yang baik dan yang jahat (bnd. catur).
Menurut kebenaran Kitab Suci, pada awalnya keadaan surga dan dunia/
bumi dengan segala isinya baik semata-mata (Kej. 1:31). Pada saat tertentu, setelah semuanya mulai berlangsung, yaitu antara Kejadian 1:31 dan 3:1, terjadilah sekelompok malaikat di surga murtad melawan Penciptanya, dan sesudah itu manusia di bumi pun berdosa. Informasi yang Alkitab berikan tentang pemberon takan roh-roh surgawi itu sangat sedikit. Rupanya Allah tidak menganggap bahwa kita perlu mengetahuinya (sehingga tidak dapat kita gunakan untuk menyangkal kejahatan kita sendiri).
Iblis dan roh-roh jahatnya adalah sekelompok malaikat yang diciptakan Allah dengan ”sungguh amat baik”, tetapi yang murtad dan berusaha membongkar seluruh karya Allah. Dengan izin aktif Allah, mereka cukup berkuasa di dunia yang berdosa. Oleh Kristus, Anak Allah, mereka telah dikalahkan dan kini menunggu pembinasaannya.
Tentang alasan Iblis menjadi murtad kita tidak tahu. Banyak orang yang menganggap kata-kata Iblis kepada Hawa ten tang ”menjadi seperti Allah” (Kej. 3:5) memperlihatkan keinginannya sendiri. Karena angkuh, sombong, atau iri hati, Iblis rupanya tidak setuju dengan posisinya sebagai pelayan Allah yang berdaulat. Dari pesuruh ia mau menjadi penyuruh. Penyair Belanda, Joost van den Vondel (1587-1679), dalam lakonnya Lucifer, mengandaikan Iblis murtad karena cemburu dan dendam hati terhadap manusia. Mungkin ia masih senang ketika menyaksikan Allah menjadikan manusia sebagai makhluk yang kurang lebih sama dengan malaikat. Tetapi, ia tidak menerima bila melihat Tuhan memberikan posisi yang lebih tinggi kepada manusia daripada kepada dia. Walaupun dia malaikat yang berstatus tinggi, tetapi dia hanya pelayan, sedangkan manusia diberi status anak dan wakil Allah yang diperbolehkan berkuasa atas langit dan bumi. Itulah sebabnya, menurut Vondel, Iblis murtad melawan Allah, dan ia melepaskan dendamnya pada manusia. Dengan tindakannya yang buruk itu, Iblis berhasil memperoleh banyak pengikut di surga mau pun di bumi, kemudian menonjolkan diri sebagai ”penguasa dunia” (dengan akibat menjadi lebih tinggi daripada manusia). Pada masanya, lakon Vondel ini ditolak sekuat-kuatnya sebagai kesesatan dan hujat kepada Allah. Kita memang tidak mengenal fakta-fakta nya, sehingga tidak dapat mengiakan pikiran Vondel tersebut. Namun, hipotesisnya menarik dan ”masuk akal”.
Sebaliknya, pikiran yang menghubungkan dosa Iblis dengan nafsu seksual, berdasarkan Kejadian 6:2, tidak ”masuk akal” sama sekali. Ternyata, para malaikat tidak berkelamin dan tidak menikah (Mat. 22:30). Apalagi, Iblis sudah murtad melawan Allah sebelum ia mencobai manusia untuk berbuat dosa yang sama. Dosa manusia pun makan dari buah yang dilarang jangan dianggap sebagai alegori yang sebenarnya berarti mereka mengikuti hawa nafsunya dengan berasyik-masyuk. Tampaknya, banyak penafsir menganggap larangan untuk makan buah terlalu sederhana, sehingga mencari arti yang dalam. Padahal larangan yang sederhana itu menentukan posisi manusia. (Mengenai Kej. 6:2, yang dimak sud dengan ”anak-anak Allah” bukanlah roh atau malaikat, melainkan keturunan Set, sedangkan ”anak-anak perempuan manusia” adalah keturunan Kain).
Walaupun keterangannya sedikit, tetapi terdapat beberapa ayat Kitab Suci yang mengacu ke pemberontakan Iblis dan roh-roh jahatnya. Dalam PL, Yesaya 14:12-15 yang agaknya berbicara tentang Iblis melakukan kudeta melawan Allah. Dalam nubuatnya mengenai penghakiman Allah atas raja Babel, Yesaya memakai kata-kata yang jauh melebihi batasan-batasan pemikiran manu sia. Tampaknya di belakang raja Babel berdiri Iblis yang memang ”hendak mendirikan takhtanya mengatasi bintang-bintang Allah.” Ayat-ayat ini sekaligus menunjukkan posisi dan kuasa Iblis besar sekali ia malah disebut ”Bintang Timur” dan ”putera Fajar” (kata bhs. Latin Lucifer) dan keinginannya untuk menyamai Yang Maha tinggi sangat ambisius (demikian Grudem 2000, 413; penafsir-penafsir yang lain saling bersilang pendapat, katanya ayat-ayat ini benar-benar tentang raja Babel dengan merujuk ke mito logi Babel; bnd. Yeh. 28 tentang Raja Tirus; ambisi manusia untuk mengesampingkan Allah memang juga sangat tinggi).
Baru dalam PB kita mendapat beberapa data yang eksplisit mengenai Iblis dan para roh jahat nya, yaitu dalam 2 Petrus 2:4 dan Yudas ayat 6. Dari ayat-ayat itu kita ketahui bahwa mereka itu ”malaikat-malaikat yang tidak taat pada batas-batas kekuasaan mereka, melainkan meninggalkan tempat kediaman mereka.” Mereka benar-benar malaikat-malaikat yang diciptakan Allah dengan ”sungguh amat baik,” tetapi yang berbalik menjadi jahat karena melanggar posisi mereka. Selanjutnya kita mengerti bahwa tidak ada belas kasihan bagi mereka. Mustahil mereka kembali diterima oleh Allah (kata ”memberitakan Injil” dalam 1Ptr. 3:19 berarti mereka diberi tahu bahwa dunia telah dibebaskan dari kuasa mereka, sehingga untuk mereka tidak lagi ada harapan untuk menang dan luput dari penghakiman). Sebaliknya, mereka dilem parkan Allah ke dalam neraka. Di sana mereka ditahan, sambil dirantai dengan belenggu abadi dalam kegelapan (Petrus; bnd. Why. 20) atau dunia kekelaman (Yudas). Dengan demikian mereka disimpan sampai hari penghakiman. Apa yang Petrus dan Yudas katakan tidak berarti Iblis dan roh-roh jahat lainnya tidak lagi aktif. Sebaliknya, kata Petrus, ”Lawanmu, si Iblis, berjalan keliling sama seperti singa yang mengaum-aum dan mencari orang yang dapat ditelannya” (1Ptr. 5:8). Tetapi dalam segala tindakannya yang jahat yang bermaksud membawa sebanyak mungkin orang ke dalam pembinasaannya ia dikontrol oleh Allah. Tidak mungkin ia berbuat apa pun di luar izin Allah (bnd. Ayb. 1).
Berdasarkan informasi tersebut, kita juga memahamiperingatan-peringatan yang diberikan oleh Yesus dan para rasul agar kita waspada terhadap Si Jahat. Yesus Anak Allah! tidak per nah mengabaikan kuasa Iblis. Disadari-Nya bahwa tugas-Nya untuk menentang Iblis memerlukan daya upaya dan konsentrasi-Nya yang penuh (mis. Mat. 4:1-11; Mrk. 9:2529). Dengan serius Iblis disebut-Nya ”pembunuh manusia sejak semula” dan ”bapak pendusta” yang tidak hidup dalam kebenaran, sebab di dalamnya tidak ada kebenaran (Yoh. 8:44). Perang-Nya sebagai Juru Selamat dunia (Yoh. 4:42) melawan Iblis, penguasa dunia (Yoh. 12:31; 14:30; 16:11), benar-benar terjadi antara hidup dan mati. Kenyataan perang itu hebat, juga tampak dalam Yesus yang sering mengusir roh-roh jahat dari orang-orang yang kerasukan (antara lain Mrk. 5:1-20). Kemudian, misalnya Paulus yang mengajak semua orang percaya mengenakan ”seluruh perlengkapan senjata Allah” agar kita dapat bertahan melawan tipu muslihat Iblis, katanya, ”perjuangan kita … melawan pemerintah-pemerintah, melawan pengua sa-penguasa, melawan kuasa-kuasa dunia yang gelap ini, melawan roh-roh jahat di udara” (Ef. 6:1112). Ternyata, semua roh jahat itu sangat berkuasa dan berpengaruh. Seluruh Kitab Kisah Para Rasul jelas menunjukkan bahwa pemberitaan Injil kepada semua bangsa di bumi yang diperintah kan Kristus dan yang dipimpin oleh Roh Kudus adalah perang melawan Iblis, demi mere but kembali semesta alam dan manusia dari kuasanya. Perang itu tidak hanya terjadi di bumi dan di udara atau angkasa, tetapi juga di surga (Why. 12:7-9; bnd. Yud. ay 9).
Iblis bersama roh-roh jahatnya tidak sama dengan arwah atau hantu
Roh-roh yang kita kenal dari Alkitab, khususnya yang jahat, tidak sama dengan arwah-arwah yang mengganggu kehi dupan manusia, menurut pandangan banyak orang di dunia, juga di Indonesia. Yang dimaksud dengan arwah itu ialah roh orang mati yang terlepas dari tubuh pada saat orang meninggal dunia (walaupun kata-kata ”setan” dan ”hantu” berbeda arti, kata-kata ini biasanya dipakai sebagai sinonim kata ”arwah”). Padahal roh yang disebut dalam Alkitab adalah makhluk yang tersendiri yang sejak awal diciptakan Allah di surga, yaitu di samping manusia yang hidup di bumi. Menurut keya kinan banyak orang, roh-roh orang mati itu melayang-layang di udara, khususnya pada waktu malam, sambil mengganggu kehidupan orang yang masih hidup. Boleh jadi, arwah-arwah itu melakukan perbuatan-perbuatan yang baik, misalnya melindungi keluarga yang hidup melawan mala petaka, tetapi pada umumnya hal-hal yang mereka perbuat bersifat jahat dan merugikan. Biasanya orang merasa ketakutan, dan akan berusaha untuk sedapat mungkin menenangkan arwah-arwah itu, yakni dengan menghidangkan makanan dan minuman kepadanya, misalnya di tempat khusus dalam bagian pusat rumah adat (Sumba), dalam periuk di halaman rumah atau tempayan di gerbang desa (Kaliman tan) atau dengan melakukan sihir (Bali, Papua). Tetapi atas dasar Kitab Suci, perlu ditekankan bahwa mustahil roh orang mati berbuat sesuatu apa pun, karena pada saat orang meninggal, rohnya langsung kembali kepada Penciptanya (KH, p/j 57). Dengan kata lain, arwah atau roh orang mati sama sekali tidak berkeliling di tengah-tengah orang-orang yang hidup, dan rasa takut mereka sebenar nya percuma. Tidak ada guna orang yang hidup menghidangkan makanan kepada arwah atau mengunjungi kuburnya untuk menenangkannya. Yang benar-benar ada, dan yang memang menyerang setiap kita, ialah Iblis bersama roh-roh jahatnya. Tetapi, setiap orang yang menggunakan perlengkapan senjata Allah (Ef. 6:11-18), tidak perlu takut karena sanggup bertahan melawan setiap serangan mereka. Orang percaya lebih kuat daripada Iblis dan roh-roh jahatnya. Raja Kristus telah mengalahkan mereka.
• Jumlah dan domisilinya
Kitab Suci tidak menyajikan data-data yang eksplisit tentang jumlah roh-roh jahat yang memihak kepada Iblis ketika ia murtad melawan Allah. Tetapi sudah pasti, jumlah mereka sangat banyak. Ter nyata mereka hadir di seluruh dunia. Dalam Markus 5:1-20 kita baca tentang Yesus mengusir banyak roh jahat dari seorang yang bernama Legion. Nama itu mengingatkan pada pasukan Romawi yang terdiri dari ribuan orang tentara. Orang Gadara yang mempunyai nama ini berarti dikuasai oleh roh-roh jahat yang tidak terbilang jumlahnya. Dan dalam Wahyu 20:8 kita baca bahwa ”jumlah mereka sama dengan banyaknya pasir di laut.”
Jumlah roh-roh jahat sangat banyak. Mereka diatur dalampasukan-pasukan masing-masing (bnd. Ef. 6:12). Itu saja yang kita ketahui. Apakah setiap negara atau bahkan kota dan desa di dunia dikuasai oleh roh-roh jahatnya sendiri (seperti dibayang kan dalam kalangan Karismatik)? Kita tidak tahu.
Mengenai domisilinya, pada masa PL, Iblis dan para pembantunya masih Allah perbolehkan memasuki tempat kediaman-Nya, di surga (Ayb. 1:6; 2:1), tetapi setelah Anak Allah mengalahkan Iblis dan kembali ke surga, naik takhta di sebelah kanan Allah Bapa, ia bersama para roh jahatnya dilemparkan ke bumi (Why. 12:8-9). Mereka sekarang tinggal di bumi dan berkeliling di udara (Ef. 6:12; udara sering dianggap sebagai ruang di antara bumi dan surga). Dalam ayat-ayat Kitab Suci yang lain, kita baca roh-roh jahat ditahan dalam penjara, sambil menunggu hukuman yang terakhir pada hari penghakiman Tuhan (1Ptr. 3:19; Why. 20:10). Rupanya mereka belum dipenjarakan secara definitif, karena sedang dilepaskan untuk boleh menyesatkan semua bangsa di seluruh dataran bumi. Mereka juga sempat mengepung ”perkemahan tentara orang-orang kudus,” tetapi mereka tidak dapat merebutnya. Akhirnya mereka dilemparkan ke dalam ”lautan api dan belerang” tempat mereka disiksa sampai selama-lamanya (Why. 20:9-10; bnd. Mat. 24:1-14; 2 Tes. 2:1-12; 1 Yoh. 4:16; lihat Brink 2008, Bab 25).
• Nama-nama dan perilakunya
Iblis adalah roh, ciptaan Allah nonmateri. Artinya, ia makhluk yang hidup dan oknum yang berkepribadian. Di samping nama diri, ia dan juga para pengikutnya mempunyai berbagai nama yang khusus nya menjelaskan ciri-ciri dan perilaku mereka. Pertama kali Iblis muncul di bumi, ia tampil dalam rupa ular (Kej. 3:1). Begitu juga dalam kitab yang terakhir Wahyu (Why. 12:9, 14-17; 20:2). Itu lah yang menjadi nama dan lambangnya yang mengena. Ular adalah binatang yang licik dan cerdik, yang sangat berbahaya, khususnya karena ia bergerak dengan gesit, tetapi sulit dilihat. Ia menyerang dengan tiba-tiba, tanpa diduga. Ia mencekik mangsanya, atau dengan racunnya ia membunuhnya dalam sekejap mata (selain Alkitab, banyak suku bangsa di dunia yang menggambarkan ”Si Jahat” sebagai ular atau naga, mis. Jawa, China).
Karena roh-roh jahat adalah malaikat-malaikat yang berdosa, sebagian nama para malaikat juga berlaku bagi mereka (lihat di atas). Nama-nama lain yang lazim dipakai untuk Iblis menun jukkan identitas dan sifatnya sebagai pelawan Allah, manusia, dan malaikat-malaikat yang taat. Namanya yang paling dikenal dan yang dipakai sebagai nama dirinya ialah Satan. Dalam Alkitab TB, nama ini hanya disebut dalam Why. 12:9 dan 20:2. Nama yang biasanya digunakan (demikian dalam bhs. Indonesia secara umum; bnd. Islam) adalah kata bahasa Arab Iblis (Alkitab TL: syaitan), sedangkan kata setan atau demon (mis. 1Kor. 10:20; Yak. 2:19) dipakai sama artinya dengan roh jahat (mis. kerasukan setan atau demon; kata-kata ini mudah disalahpahami karena sering digunakan sama artinya dengan roh orang mati). Kata bahasa Ibrani satan, yang dalam bahasa Yunani menjadi satanas, berarti ”penen tang” (mis. dalam PL: Ayb. 1:6 dan lain-lain; 1Taw. 21:1; Za. 3:1; sedangkan dalam PB: Mat. 4:10; Luk. 10:18; Why. 20:7), adapun nama Iblis berkaitan dengan kata bahasa Yunani diabolos (bhs. Inggris devil, bhs. Belanda duivel), yang berarti ”pengadu” atau ”pendakwa” (Why. 12:10; bnd. Ayb. 1). Menurut KBBI nama ”Iblis” adalah nama diri ”makhluk halus yang selalu berupaya menyesatkan manusia dari petunjuk Tuhan.” Nama Satan menunjukkan bahwa ia bersikap anti (menolak, memusuhi), dan nama Iblis menjelaskan ia suka mencampurkan fakta dan tipuan, agar orang keliru dan salah, dan dapat didakwa dan dibinasakannya.
Dari penampakannya yang paling awal (Kej. 3) cara beroperasinya langsung jelas: kebenaran firman dan janji Allah diputarbalikkannya secara licik. Dengan demikian ia berusaha menjatuhkan baik Allah maupun manusia (dan semua ciptaan Allah lainnya), sehingga semuanya binasa. Syukurlah, oleh tindakan Allah dalam Yesus Kristus, yang terjadi adalah kebalikannya: yang binasa itu Iblis sendiri dengan para pengikutnya (Kol. 2:14-15; bnd. Ams. 28:10).
Nama-nama Iblis lain yang kita temui dalam Kitab Suci jelas menunjukkan ciri-ciri dan sifatnya sebagai provokator, misalnya ”pendusta”, bahkan ”bapak pendusta, dan ”pembunuh manusia” (Yoh. 8:44), ’si penggoda’ (Mat. 4:3; bnd. Yak. 1:13-15). Ia benar-benar penentang (= Satan) dan pendakwa (= Iblis, diabolos) yang bertujuan memperoleh kuasa yang mahatinggi atas segala-galanya dengan menggunakan cara-cara yang menjijikkan.
Selain itu terdapat nama-nama yang menunjukkan kuasa dan pengaruhnya yang besar di dunia, misalnya ”penguasa dunia” (Yoh. 12:31; 14:30; 16:11;), ”penguasa kerajaan angkasa” (Ef. 2:2), ”pemerintah” dan ”kuasa dunia yang gelap” (Ef. 6:12). Iblis yang memerintah sebagai raja atas semua pengikutnya, baik di dunia maupun di udara atau angkasa. Kerajaannya teratur dan terpadu (Mat. 12:26). Ia yang memimpin bala tentaranya sendiri (bnd. Yud. ay 9). Semua roh jahat nya setia dan taat melayaninya demi perluasan kuasanya di dunia. Strateginya matang dan pintar, berdasarkan pengetahuan yang mendetail. Ia mengetahui siapa Allah dan pasti telah menghafal seluruh firman-Nya dari awal sampai akhir (Mat. 4:1-11). Manusia pun dikenalnya, ia mengetahui kelemahannya. Nama-namanya menjelaskan maksudnya, yaitu menggagalkan maksud Allah dalam realisasi rencana kesela matan-Nya, dan membongkar gereja Kristus. Walaupun ia telah dikalahkan oleh Anak Allah, Yesus Kristus, dan menyadari rencananya tidak akan jadi, tetapi ia masih sangat aktif dan berhasil (1Ptr. 5:8). Iblis dengan tepat disebut ”raja kegelapan” (bnd. 1Yoh. 2:8-11; sebagai ”terang dunia” Kristus adalah lawannya yang tidak sepadan).
Kepada Iblis sering juga diberikan nama-nama dewa atau berhala, seperti Beelzebul dan Belial, berdasarkan keyakinan bahwa agama-agama yang dikembangkan manusia langsung berasal dari Iblis. Sering terjadi ilah-ilah dianggap sama dengan roh-roh jahat (antara lain Ul. 32:16-17; Mzm. 106:3537; 1Kor. 10:20-21). Mengenai nama Belial, Paulus menulis: ”Persamaan apa yang terdapat antara Kristus dan Belial?” (2Kor. 6:15). Belial agaknya disembah sebagai dewa yang berkediaman di tempat orang mati. Nama ini berkaitan dengan kelakuan-kelakuan yang dursila (anak-anak Eli, 1Sam. 2:12). Nama Beelzebul (=Baal-Zebub) merupakan nama julukan bagi Baal, kepala panteon kaum Filistin dan Kanaan, yang juga disembah oleh banyak orang Israel (2Raj. 1:2). Pimpinan Yahudi menya makan Yesus dengan Beelzebul (ketika Dia mengusir roh jahat, Mat. 12:22-30; Mrk. 3:22-27; Luk. 11:1-23; bnd. Mat. 10:25). Maksud mereka ialah Iblis, karena Beelzebul itu adalah ”pemimpin setan”. Jelas juga ketika Yesus menggunakan nama Iblis, sambil menyebutkan Roh Allah sebagai lawan Beel zebul (bnd. Haak 1983/1990, 18-19).
Sebutan ”anak-anak Allah” khususnya dipakai bagi manusia, yaitu semua orang yang menaati Tuhan (jarang disebut dalam PL, antara lain Kej. 6:2, tetapi sering disebut dalam PB). Hanya beberapa kali saja para malaikat disebut demikian, yaitu dalam Ayub. 1:6; 2:1; 38:7; Mazmur 29:1; 89:7. Istilah tersebut tidak berarti status para malaikat itu sama dengan Anak Allah atau dengan manusia, tetapi sama artinya dengan istilah ”para penghuni surgawi” yang sebagai para anak buah Allah berada di hadapan-Nya (bnd. 1Raj. 22:19 ”segenap tentara surga”; Mzm. 82:1, ”sidang ilahi”). Ketika dalam awal Kitab Ayub dikatakan mereka berkumpul menghadap Tuhan, ternyata Iblis pun hadir, katanya, ”di antara mereka datanglah juga Iblis.” Sekalipun Iblis murtad, ia pun termasuk golongan ”anak-anak buah Allah’. Pada masa PL itu, ia rupanya masih terlibat dalam ”sidang ilahi”, yaitu sebagai pendakwa.
Semua nama Iblis jelas memperlihatkan bahwa apa pun yang diperbuatnya sendiri atau oleh para pengikutnya adalah jahat semata. Iblis adalah penjelmaan segala yang jahat, sehingga ia tepat dinamai ”Si Jahat” (Mat. 6:13; 13:19; 1 Yoh. 2:13). Nama yang umum itu sudah cukup untuk memperingatkan kita pada semua perbuatannya.
Mengenai kuasa dan perilaku Iblis dan para pengikutnya, banyak contoh Alkitab yang menjelaskan bahwa mereka amat berkuasa. Kenyataan Iblis disebut penguasa dunia, bukanlah fiksi (dengan arti ia pura-pura saja), melainkan fakta yang mengerikan. Keadaan dunia yang menunjukkan nya dengan jelas, dari dahulu sampai sekarang. Setelah dalam pertengahan sejarah dunia, ia dikalahkan oleh Yesus Kristus (lihat di bawah), Iblis malah lebih aktif lagi dalam berusaha mempertahankan posisinya sebagai penguasa. Tetapi fakta kedua dalam segala kuasa dan perilaku nya itu, ia dibatasi oleh kontrol Allah. Mustahil Iblis memperbuat apa pun tanpa izin Allah yang Mahakuasa (1 Sam. 16:18; Ayb. 1:12; 2:6; Yud. ay 6). Selain itu, semua orang yang percaya kepada Tuhan, diperlengkapi-Nya untuk dapat bertahan melawan perbuatanperbuatan Iblis dan roh-roh jahatnya (Ef. 6:10-18). Setiap orang yang tunduk kepada Allah dan melawan Iblis, akan membuat Iblis lari dari hadapannya (Yak. 4:7).
Bertitik tolak dari murtadnya melawan Allah, apa saja yang dipikirkan dan dilakukan Iblis adalah jahat semata. Sejak semula ia terus-menerus berbuat dosa (1 Yoh. 3:8), dan ia membiakkan dosanya dengan membuat malaikat dan manusia pun berdosa. Sikapnya yang anti dan destruktif dialihkannya kepada para pengikutnya. Dalam menerangkan sifat Iblis, Grudem dengan tepat mengatakan bahwa ia yang memulai dosa (originator of sin) dan yang men cobai yang lain untuk mengikuti nya dalam berbuat dosa (Grudem 2000, 415). Untuk mencapai tujuannya itu, ia menggunakan taktik dan strategi yang amat pintar. Dengan itu ia menyalahgunakan potensi-potensi yang diberikan Allah Pencipta, sambil menyebarluaskan kejahatannya ke mana-mana untuk membinasakan segala-galanya (bnd. penyakit kanker yang semakin menyebar).
Selain membutakan bangsa-bangsa, sehingga mereka menyerahkan diri kepada ilah-ilah yang bukan Allah (Kej. 18-19; Rm. 1:18-32; 2Kor. 4:4; Gal. 4:8) atau kepada cara hidup yang jauh dari Allah (Ef. 2; ateisme masa kini), Iblis suka memisah-misahkan para korbannya, yaitu dengan menyerang mereka secara individual, misalnya dengan kerasukan setan. Banyak kasus yang diuraikan dalam Kitab Suci. Contoh-contoh yang paling menonjol dalam PL, selain Adam dan Hawa yang jatuh ke dalam dosa oleh bisikan Iblis, adalah Ayub (Ayb. 1–2 ; Iblis diperbolehkan mencobai Ayub, tetapi Tuhan tetap melindunginya) dan Raja Saul (1Sam. 16:14; roh jahat yang semakin mengganggunya malah diurus oleh Tuhan sendiri, karena Saul telah mengabdikan diri kepada Iblis). Dalam PB kita baca banyak kasus kerasukan setan, khususnya dalam Kitab-kitab Injil, misalnya Legion (Mrk. 5:1-20) dan seorang anak muda (Mrk. 9:14-29).
Walaupun, atas izin Allah, Iblis dapat menyebabkan penyakit atau bencana alam (lihat lagi Ayub; juga berbagai kasus kerasukan dalam Injil-injil), tetapi pada umumnya pandangan dualisme yang diterima oleh banyak orang Kris ten pun (mis. aliran Karismatik), tidak benar, yaitu bahwa penderitaan, penyakit, dan mala petaka berasal dari Iblis. Kitab Suci jelas menegaskan bahwa sengsara pun bisa datang dari Allah (bnd. Am. 3:6; lihat di atas, 3.7, btr. 4), sehingga jangan langsung dikategorikan sebagai kejahatan.
Perbuatan-perbuatan Iblis adalah: menyesatkan seluruh dunia
(Why. 12:9); mendatang kan kerugian fisik dan harta (Ayb. 1:11-
22; 2:4-7); mendakwa siang dan malam (Why. 12:10); mencuri, membunuh, dan membinasakan (Yoh. 10:10); membutakan pikiran (2Kor. 4:3-4); menyamar sebagai malaikat terang dan menyusupkan roh-rohnya ke dalam umat Allah, dengan menyamar sebagai pelayan kebenaran (2Kor. 11:13-15).
• Pengalahan dan penghukumannya
Dalam Kitab Suci kita jarang mendengar tentang pengusiran Iblis dan rohroh jahat, kecuali dalam Kitab-kitab Injil-injil. Khususnya Injil Markus yang menunjukkan tujuan Anak Allah menjadi manusia, yaitu untuk mengalahkan dan membinasakan Iblis bersama kuasa dan perbuatan-perbuatannya (Venema, 2012). Kese lamatan dunia bersifat perang atas hidup dan mati antara Yesus Kristus sebagai Terang dunia dan Iblis sebagai penguasa dunia (bnd. Why. 12). Setelah Iblis berhasil menjatuh kan manusia, Adam per tama, dengan akibat ia menggantikannya sebagai penguasa dunia, ia kini fokus pada Anak manusia, Adam kedua, agar ia tetap penguasa dunia (dan lebih dari itu, agar ia menggantikan dan meniadakan Allah untuk selama-lamanya). Itulah sebabnya, khususnya dalam Kitab Markus dan Injil-injil lainnya kita dibanjiri dengan banyak kasus kerasukan setan. Sebelum memulai pelayan an-Nya, Yesus mengalami kon frontasi langsung dari Iblis (Mat. 4:1-11). Karena tidak berhasil, Iblis terpaksa mundur. Tetapi kemudian ia dengan kontinu mengobstruksikan pelayanan Yesus melalui roh-roh jahatnya (kerasukan setan; kenyataan roh-roh jahat itu mengakui Yesus sebagai ”Anak Allah yang Maha tinggi” juga trik Iblis: bukankah roh jahat dikenal sebagai pembohong dan penipu?), dan juga melalui manusia (mis. pimpinan Yahudi yang menolak Yesus sebagai Terang dunia, yang menginsinuasikan Dia adalah ”Beelzebul,” dan yang akhirnya memberangsang seluruh rakyat melawan Dia, dan bahkan mencobai Dia untuk turun dari salib). Tanpa henti Iblis menyerang Yesus, karena masa depannya bergantung pada hasil konfrontasi itu.
Iblis dan roh-roh jahatnya tidak mungkin disela matkan. Mereka tidak akan mengalami anugerah Allah, tetapi sebaliknya kepenuhan murka-Nya, dan akan dihukum dan dibinasakan semuanya. Ini juga mereka ketahui (Luk. 4:34), membuat mereka gemetar dan langsung takluk (Mrk. 5:10; Yak. 2:19; bnd. Why. 20:10). Karena itu juga, mereka sangat ganas setelah dikalahkan Yesus Kristus (bnd. seekor binatang yang terdesak yang akan membela diri sekuat-kuatnya).
Selama melayani di bumi, Anak Allah mengalahkan Iblis dan tahap demi tahap membinasakan semua perbuatannya (1Yoh. 3:8). Akhirnya, di kayu salib Dia memerangi dan menga lah kan Iblis secara definitif. Saat Dia berseru ”Sudah selesai!” dan menyerahkan nyawa-Nya (Yoh. 19:30), itulah titik pusat sejarah dunia yang sekaligus titik baliknya (Why. 12). Mulai saat itu, dan setelah kebangkitan dan kenaikan-Nya ke surga, seluruh dunia direbut-Nya kembali dari kuasa Iblis (Kis.; bnd. Van den Berg 2011). Para roh jahat ditahan menunggu penghukumannya untuk selama-lamanya (1Ptr. 3:22; 2Ptr. 2:4; Yud. ay 6.; Why. 20:7-10). Iblis memang kembali dilepaskan Allah untuk sementara waktu. Ia diberi kesem patan untuk lagi menggodai para pengikut manusia nya di dunia, dan untuk mengumpulkan mereka, tetapi pas pada saat ia mau menyerang orang-orang kudus, kesudahan sudah tiba (Why. 20:9). Akhirnya kepala Iblis diremukkan, sehingga janji induk Allah menjadi genap (Kej. 3:15).
Setelah Yesus Kristus bertahan melawan Iblis dan bahkan mengalahkannya, semua orang percaya pun sanggup menen tang Iblis bersama roh-roh jahatnya, dan membuatnya undur (bnd. Mat. 4:11). Artinya, kita pun dapat mengalahkannya, bukan dengan cara-cara yang gaib (yang malah dilakukan oleh banyak orang yang masih ketakutan terhadap setan-setan), melainkan dengan senjata-senjata yang Tuhan sendiri sediakan, yaitu perleng kapan senjata Allah (Ef. 6:10-18).
Mengenai sikap kita terhadap Iblis dan roh-roh jahatnya, Rasul Paulus menasihati semua orang percaya manusia baru! untuk membuang dusta dan kemarahan, katanya ”… janganlah kamu berbuat dosa … dan janganlah beri kesempatan kepada Iblis” (Ef. 4:27). Juga dalam surat-surat PB yang lain, kita sebagai pengikut-pengikut Kristus diajak untuk bertahan dalam iman ketika mengalami pencobaan Iblis. Janganlah kita melakukan perbuatanperbuatan Iblis, agar jangan terjadi kita tidak mendapat bagian dalam Kerajaan Allah. Tidak perlu kita ketakutan terhadap Iblis karena kita telah dikuduskan dan dibenarkan dalam nama Tuhan Yesus Kristus dan dalam Roh Allah. Sebagai orang-orang percaya kita bahkan akan turut menghakimi dunia dan juga malaikat-malaikat, yaitu Iblis dan roh-roh jahatnya (1Kor. 6:2-3; 9-11). Allah justru berkenan melibatkan kita dalam pekerjaan final Raja Kristus, yakni merebut dunia dari kuasa Iblis agar kembali menjadi milik Tuhan. Ini berarti kita bertentangan dengan dunia yang berdosa, dan hidup di dalamnya sebagai ”pendatang dan perantau” (1Ptr. 2:11, yang menyusul ay 9-10). Karena dipimpin oleh Roh Kudus, kita tidak lagi dikuasai oleh Iblis, tetapi sebaliknya melawannya dalam iman kepada Kristus.
Apakah mungkin orang percaya masih dikuasai oleh roh jahat?
Apakah orang percaya, milik Kristus, masih dapat dirasuki oleh roh jahat? Jika demikian, apakah roh jahat itu dapat di usir, mis. melalui ”pastoral pelepasan” atau ”upacara pengusiran”? Banyak orang Kristen, khususnya aliran-aliran Pentakostal dan Karismatik, yang takut dikuasai oleh Iblis atau roh jahatnya. Untuk menghindari mereka dirasuki roh jahat, atau untuk mengusirnya, mereka mengucapkan doa-doa istimewa atau mengadakan acara-acara pengusiran (Nannen 2010; bnd. Herlianto, yang berpendapat bahwa cara-cara Karismatik bercampur dengan cara-cara perdukunan).
Sudah tentu, Iblis sangat aktif di dunia. Semua orang percaya diserangnya
(orang yang menolak Allah telah menjadi pengikutnya). Digunakannya pencobaan-pen cobaan yang beraneka ragam, khususnya terhadap orang-orang yang imannya lemah, atau terhadap orang-orang yang mengalami pergumulan berat (mis. penya kit, kematian, kecelakaan), yang sedang melalui proses peralihan (mis. orang yang baru menjadi percaya dan yang sedang menjauhkan diri dari cara hidup yang lama). Kadang-kadang Iblis berhasil menjatuhkan orang. Tetapi, apakah itu berarti, Iblis atau roh jahatnya dapat merasuki orang-orang percaya secara tiba-tiba dan total? Kitab Suci justru mengajarkan kepada kita bahwa setiap orang yang sungguh-sungguh mengikut Yesus Kristus sebagai Juru Selamat nya, sendiri-sendiri dan lebih baik lagi bersamasama, mampu bertahan mela wan Iblis, yaitu dengan iman, firman, dan doa. Siapa yang hidup di bawah pemerintahan Kristus yang mempunyai segala kuasa di langit dan di bumi, mustahil dikuasai oleh Iblis. Dan siapa yang penuh dengan Roh Kudus, tidak mungkin dirasuki roh jahat. Ia memang masih dapat berdosa, tetapi ia pasti tidak akan dapat dirasuki Iblis.
Perlu kita berhati-hati dengan ”pasto ral pelepasan”. Jika artinya terbatas pada penginstruksian kaum Kristen dalam menggunakan perlengkapan senjata Allah, agaknya dapat diterima. Tetapi sama sekali tidak sesuai dengan ajaran Kitab Suci, kalau pastoral itu menjadi suatu acara pengusiran yang khas, yang dilaksanakan oleh seorang pejabat yang istimewa, yang bertindak seakanakan ia ”dukun Kristen”. Kuasa Yesus untuk mengusir roh-roh jahat, yang diberikan-Nya kepada para rasul-Nya pun (Mrk. 16:17), tidak berarti orang-orang lain juga menerima ”jabatan” itu di kemudian hari. Apalagi, secara fakta setiap orang percaya tanpa kecuali bersenjata secukupnya untuk menentang Iblis dan roh-roh jahatnya.
Kadang-kadang ada juga orang-orang Kristen yang membahayakan diri sendiri dengan melakukan sihir, okultisme, eksorsisme, dan mencari kontak dengan roh-roh jahat. Dengan itu mereka membuka diri bagi penggodaan Iblis. Banyak juga orang Kristen yang tanpa sadar menye suaikan dirinya dengan cara hidup dunia yang jauh dari Tuhan, memilih kegelapan daripada terang. Kadang-kadang Kristus mengambil kaki dian-Nya hingga tempat tertentu kem bali menjadi gelap. Kemenangan Kristus atas Iblis memang sudah merupakan fakta, tetapi proses implementasinya penyudahan segala-galanya sedang berlangsung, dan menuntut konsentrasi penuh dan pengerahan total dari setiap pasukan orang-orang percaya. Sampai hari ini dunia adalah medan perang antara Anak Allah dan Iblis itu. Dalam Kitab Kisah Para Rasul dan kemudian dalam sejarah gereja kita mendapat laporan tentang pertem puran final di akhir zaman. Hasilnya tidak mungkin diragukan: perang atas kepemilikan dunia akan berakhir dengan kemenangan final Anak Allah. Iblis akan diremuk kan kepalanya hingga mati. Bersama Raja Kristus dan dengan kuasa Roh Kudus, semua orang percaya pasti akan menang (bnd. Grudem 2000, 423-425).
2. Surat-surat pengakuan iman gereja
Sejak awalnya Gereja Kristen mengakui keberadaan dunia roh. Di antara semua pengakuan iman gereja masa kuno, hanya Pengakuan Iman Nicea
Konstantino pel yang eksplisit dengan kutipan Kol. 1:16 mengakui Allah sebagai Pencipta yang kelihatan dan yang tidak kelihatan. Beberapa pengakuan iman gereja masa Reformasi juga menyebutkan dunia yang tidak kelihatan dan keberadaan serta perbuatan-perbuatan para malaikat dan roh-roh jahat, misalnya Pengakuan Iman Gereja Belanda (ps. 12), Katekismus Heidel berg (p/j 124, 127 dalam pembahasan Doa Bapa Kami), dan Pengakuan Iman Westminster (Bab IV).
Dalam berbagai pengakuan iman gereja-gereja di Indonesia pun, dunia roh diperhatikan. Mengenai keberadaan malaikat, Konfesi HKBP mencukupkan dengan kutipan Ibr. 1:14 (ps. 17). Dan tentang roh-roh orang-orang mati dengan tegas dikatakan bahwa tidak mungkin mereka masih dapat bergaul dengan manusia (ps. 16). Dalam Bab I tentang Tuhan Allah, Pengakuan Gereja Toraja mengakui bahwa Allah ”telah menciptakan segala sesuatu yang kelihatan dan yang tidak kelihatan,” tetapi para malaikat dan Iblis serta roh-roh jahat malah tidak disebut. Sebaliknya, dalam Pelengkap Katekismus Heidelberg (p/j 21), GKJTU menyebutkan hadirnya, ancaman, dan pembinasaan Iblis secara eksplisit.
3. Kesimpulan
Baik data-data Kitab Suci maupun sedikit keterangan yang diberikan oleh dokumen-dokumen pengakuan iman gereja, cukup untuk meyakinkan kita pada keberadaan dunia roh. Para malaikat dan roh-roh jahat jangan kita anggap sebagai hal yang tidak berperan, atau bahkan sebagai hasil daya khayal manusia, melainkan sebagai realitas sehari-hari (yaitu dalam realitas kita). Kesadaran bahwa bala tentara surgawi Allah siap sedia melindungi kita, membuat kita tenteram dan bertahan dalam iman. Kenyataan ada Iblis dan roh-roh jahatnya yang menyerang kita, tidak perlu membuat kita takut dan panik, tetapi justru membuat kita bertahan dan bertindak melawan segala kejahatan. Kita adalah pengikut-pengikut Kristus yang sudah menang, yang kini bertakhta di surga. Roh Kudus yang memimpin kita setiap. Bala tentara surgawi siap bertindak. Dan Allah yang Mahakuasa adalah Penjaga kita yang selalu waspada (Mzm. 121).
Orang yang sungguh-sungguh percaya kepada Tuhan tidak perlu takut dan panik terhadap ancaman Iblis dan roh-roh jahatnya. Semua orang percaya tentu mengalami serangannya.
Tetapi, mereka terus-menerus ditolong oleh Roh Kudus. Selain mengguna kan perlengkapan rohani yang disediakan Kristus, mereka terus-menerus dilindungi oleh bala tentara surgawi Allah, sehingga pasti akan dapat bertahan dan menang melawan musuh yang telah dikalahkan Kristus.
Sudah sejak awal langit dan bumi orang bersilang pendapat tentang keberadaan, sifat, dan pekerjaan malaikat dan roh, atau bahkan menolak keberadaannya. Filsafat mengenai dunia roh itu banyak (Berkhof 1993, 268-269). Selain mereka yang menerima ajaran Kitab Suci tentang dunia roh sebagai bagian istimewa seluruh pen ciptaan Allah, ada yang berpendirian lain. Di satu sisi ada yang kurang lebih menyamakan malaikat dengan Allah sendiri (keduaduanya roh). Di antara mereka, yang satu menafsirkan penam pakan malaikat pada saat tertentu sebagai penampakan insidental Allah sendiri (teofani; bnd. Kej. 18) atau sebagai pancaran sementara dari Yang Ilahi (emanasi). Yang satu lagi memandangnya sebagai penyataan Allah melalui saran yang istimewa (”oknum khas” di samping firman, mukjizat, mimpi, dan lain-lain). Di sisi lain ada yang mengaitkan malaikat dengan manusia. Di antara mereka, yang satu berpikir makhluk-makhluk yang kita kenal sebagai malaikat dan roh adalah sejenis manu sia, yakni ”orang halus”, artinya orang biasa yang menonjol karena melakukan hal ajaib/gaib (mis. dukun, tukang suangi), atau orang asing yang menonjol karena penampilan atau perbuatan yang tidak di kenal (mis. orang yang berkulit putih di suku terasing Papua dianggap datang dari dunia luar), yang satu lagi menduga para malaikat adalah setingkat dengan manusia dalam arti mereka penghuni planet-planet yang lain di angkasa. Semua pandangan ini berasal dari pikiran bahwa Alkitab dalam informasi yang diberikan-Nya, menye suaikan diri dengan situasi setempat dan daya khayal yang kontemporer. Sama dengan itu, orang sekuler pada masa kini yang menganggap dunia spiritual sebagai dongeng manusia primitif yang tidak benar (Bavinck 2004, 444-445, 450). Berkhof dengan tepat menarik kesimpulan bahwa, ”tidak seorang pun yang tunduk di bawah otoritas Alkitab dapat meragukan eksistensi malaikat” (Berkhof 1993, 269).
Dapat disebutkan filsafat-filsafat dan kelompok-kelompok yang berikut:
• Aliran Saduki
Dalam Kisah Para Rasul 23:6-9, kita mendengar tentang perceraiberaian yang tajam dalam pimpinan umat Yahudi (ahli-ahli Taurat), yaitu antara aliran Farisi dan aliran Saduki. Mereka saling bersilang pendapat mengenai berbagai hal, antara lain kebang kitan orang mati dan keberadaan malaikat dan roh. Aliran Saduki menolak dua-duanya, sehingga menurut mereka tidak mungkin roh atau malaikat berbicara kepada Paulus. Sebelum itu Yesus juga telah bertengkar dengan kaum Saduki mengenai kebangkitan orang mati (Mat. 22:23-32). Apakah mereka menolak keber adaan malaikat atau hanya dunianya yang teratur, kurang jelas. Bagaimana pun, keberadaan dan kegiatan kegiatan baik malaikat maupun Iblis bersama roh-roh jahatnya mengemuka dalam seluruh Kitab Suci.
• Dualisme
Dualisme (dan manikheisme) yang membedakan antara dua prinsip awal, yaitu Tuhan yang adalah sumber segala-galanya yang baik, dan Iblis yang melakukan kejahatan (Calvin 1985, I.14,3). Artinya, bukan hanya Tuhan, melainkan juga Iblis adalah allah yang berkuasa di bidangnya masing-masing (artinya, Tuhan tidak Mahakuasa). Menurut filsafat ini tidak mungkin Allah yang baik menciptakan kejahatan atau pun mengizinkan hal-hal jahat terjadi. Semua kejahatan dan penderitaan berasal dari Iblis. Aliran-aliran Karismatik dipengaruhi oleh dualisme ini (lihat di atas, 3.8, btr. 4).
• Agama-agama lain, khususnya politeisme
Semua agama mengakui keberadaan dunia roh. Selain menyembah banyak dewa (panteon), politeisme berpandangan adanya berbagai ”makhluk halus,” seperti semidewa (yang separuh dewa dan separuh manusia atau binatang), roh, jin, setan, dan hantu (roh orang mati), pahlawan dan raksasa (orang yang diper anakkan oleh roh), dan sebagainya (Berkhof 1993, 268). Alam semesta penuh dengan semua makhluk yang tidak kelihatan itu. Pada umumnya mereka dianggap jahat, mengganggu atau bahkan membunuh manu sia. Karena batasbatas antara dunia manusia dan dunia dewa/roh kabur, yang dipuja sebagai dewa-dewi adalah para leluhur suku (nenek moyang), sedangkan kebanyakan setan-setan itu dianggap sama dengan roh-roh manusia yang sudah mati (arwah, hantu).
Berdasarkan cara berpikir itu, semua orang yang ”abnormal”, artinya orang-orang yang rupa atau perilakunya menyimpang dari yang standard, baik yang raksasa dan genius maupun yang cacat, dianggap diperanakkan oleh setan. Orang-orang seperti itu pun sering digugat melakukan suangi, santet, dan sebagainya. Tidak mengherankan bila ayat-ayat Alkitab juga ditafsirkan sesuai dengan cara berpikir itu, sehingga misalnya, Simson dianggap diperanakkan oleh malaikat Tuhan yang menampakkan diri kepada ibunya, istri Manoah
(Hak. 13:3). Demikian juga Yesus, Anak Allah, dipandang sebagai anak malaikat Gabriel dan gadis Maria. Jawaban Maria (Luk. 1:38) ditafsirkan sebagai persetujuannya untuk bersetubuh dengan malaikat itu (bnd. ay 35).
• Agama Islam
Juga agama-agama monoteisme mengakui adanya dunia yang tidak kelihatan. Khususnya bagi agama Islam, keberadaan dan pelayanan malaikat merupakan pokok iman yang teramat penting, yang lang sung menyusul iman kepada Allah sendiri. Menurut keyakinan Islam, Allah menyampaikan selu ruh penyataanNya melalui malaikat (berbeda dengan ajaran Kristen yang memang juga mengakui keterlibatan malaikat dalam mengantar firman Allah; Ibr. 2:2). Mereka khususnya berfungsi sebagai perantara, bukan hanya dalam mengemban wahyu, melainkan juga dalam meneguhkan hati para nabi dan semua orang beriman, dan dalam melaksanakan hukuman Allah terhadap semua orang jahat. Mereka juga membantu manusia dalam kehidupan rohaninya dan berdoa syafaat bagi mereka. Dan mereka melaporkan semua perbuatan manusia kepada Allah. Agaknya mereka dapat dibanding kan dengan kepolisian yang berfungsi melaksanakan kehendak Allah. Mengenai asal-usul malaikat, Alquran tidak memberikan informasi, namun menurut tradisi mereka, malaikat Allah jadikan dari cahaya. Bagaimanapun, mereka ternyata memegang peranan penting dalam memelihara hubungan antara Allah dan manusia, yaitu sebagai perantara. Yang ditegaskan dalam Alquran adalah ketaatan mereka.
Tentang Iblis dan roh jahat, mereka katakan bahwa merekalah ”jin” yang dicipta kan Allah dari api. Mungkin karena itu, mereka merasa diri lebih unggul daripada manusia yang dijadikan dari tanah, sehingga tidak mau bersujud kepada manusia (sesuai dengan perintah Allah). Fungsi jin yang juga disebut makhluk halus dan setan, ialah menyesatkan manusia dengan membangkitkan nafsu rendah (yang jasmani) dalam hati nya (manusia tidak perlu menaatinya, tetapi hendaklah ia menunjukkan keunggulannya dengan menolak bisikanbisikan jin). Karena Iblis adalah makhluk yang langsung diciptakan sebagai roh jahat yang tidak mau taat pada Allah, malaikat dan jin tentunya merupakan dua golongan makhluk yang terpisah (dualisme).
Walaupun kesamaan antara agama Islam dan iman Kristen mengenai pokok malaikat dan roh jahat cukup besar, perbedaannya sangat signifikan (untuk keterangan yang panjang lebar, baca Maulana 1989, Bab III; bnd. Segers/De Vries 2012, Bab I.2).
• Sekularisme
Sekularisme memeluk rasionalisme. Orang hanya menerima apa yang ”masuk akal”. Ini membuat banyak orang meragukan atau bahkan menyangkal keberadaan dunia roh yang tidak kelihatan. Banyak orang Kristen modern yang juga tidak lagi memedulikan keberadaan dan tindakan malaikat-malaikat maupun roh-roh jahat, walaupun mereka masih tetap percaya kepada Allah. Berkaitan dengan itu, Hiebert dengan tepat berbicara tentang the excluded middle (bagian tengah yang dikeluarkan; Hiebert 1994, 189-201). Oleh demitologisasi (istilah Bultmann, bhs. Jerman Entmytho logisierung) dunia masa kini sudah lolos dari roh-roh dan segala keajaiban lainnya yang tidak sesuai dengan akal manusia (mitos, pesona, magi, ritus, mukjizat). Pencerahan dan rasionalisme yang menganggap perbuatan-perbuatan sihir dan pesona termasuk kuno yang primitif. Dalam dunia yang dikuasai oleh ilmu dan teknologi, tidak ada lagi tempat bagi dunia roh (dan mukjizat-mukjizat) seperti yang di uraikan dalam Alkitab. Mengenai realitas dunia yang sebenarnya, orang modern hanya menerima argumentasi yang rasional. Petunjuk-petunjuk kuasa ajaib/gaib langsung ditolak, dan dianggap sebagai dongeng atau fantasi. Dimensi yang rohani sudah hilang total dari pandangan dunia orang masa kini.
Secara fakta, banyak orang Kristen yang benar-benar mengakui kebenaran Kitab Suci, malah tidak hidup dalam kesadaran bahwa mereka diserang oleh Iblis dan roh-roh jahatnya, dan dilindungi oleh malaikat-malaikat Allah. Walaupun pada Abad-abad Pertengahan ajaran gereja tentang dunia roh memang sangat luas dan jauh berlebihan dibandingkan dengan Kitab Suci (ada juga orang Kristen yang kini masih memberi peran yang berlebihan kepada dunia roh), tidak tepat bila orang Kristen masa kini sama sekali tidak memerhatikan aktivitas malaikat dan roh. Hiebert dengan tepat mengajak kita untuk kembali memerhatikan realitas dunia roh sesuai dengan ajaran Kitab Suci.
Meskipun tidak kelihatan, tetapi dunia roh adalah realitas yang tidak mungkin disangkal. Seyogianya kita memerhatikan keberadaannya, juga perannya dalam keseluruhan rencana dan karya Allah, khusus nya dalam hidup semua orang percaya. Malaikat-malaikat Allah dengan giat melayani kita yang akan mewarisi keselamatan (Ibr. 1:14). Sebaliknya, Iblis dan roh-roh jahatnya aktif menyerang kita dengan maksud agar kita memberontak melawan Allah hingga ikut dibinasakan bersama-sama dengan mereka. Janganlah kita ketakutan terhadap roh-roh jahat itu! Jangan juga kita sujud menyembah para malaikat! Mereka semuanya ciptaan Allah, sama seperti kita. Yang berkuasa atas segalagalanya adalah Allah yang hidup, yang akan menyelesaikan segala-galanya dengan penciptaan langit dan bumi yang baru.