Jan A. Boersema
Pendahuluan
Mengapa ada satu bab khusus tentang Kristus? Tidak cukupkah pengajaran Bab 2 tentang Tuhan Allah? Bukankah Yesus Kristus adalah Allah yang sejati sehingga seharusnya ajaran tentang Kristus dibahas dalam Bab 2?
Perlu disadari bahwa judul bab ini, yaitu Kristus, berfokus pada Kristologi, yang berarti ”ajaran tentang Kristus”, bukan ”ajaran tentang Anak Allah”. Dan nama Kristus itu menunjukkan jabatan Tuhan Yesus, bahwa Dia adalah raja, imam, dan nabi, untuk menyelamatkan umat-Nya dari dosa mereka (Mat. 1:21, KH p/j 31). Nama jabatan itu (Kristus) diberikan kepada Allah yang telah menjadi manusia. Anak Allah telah ditetapkan dari kekal menjadi Raja, Imam, dan Nabi (IPtr 1:20; KH p/j 31), tetapi pengurapan-Nya dengan Roh Kudus baru terjadi ketika Dia mulai melaksanakan tugas-Nya ketika Dia dibaptis di Sungai Yordan (Mat. 3:16).
Bab 5 ini terutama membahas tentang pekerjaan Allah sesudah Anak Allah menjadi manusia. Pekerjaan itu dilaksanakan dalam sejarah dunia ini, demi keselamatan kita. Dalam Bab 7 (soteriologi, yaitu tentang keselamatan) pokok itu akan dilanjutkan, yang di dalamnya menekankan pekerjaan Yesus Kristus melalui Roh-Nya yang Kudus, sesudah Dia naik ke surga.
Sumber ajaran Kristen adalah penyataan Allah dalam firman-Nya, berdasarkan urutan kenyataan yang dicantumkan dalam firman Tuhan: penciptaan, dosa, dan penyelamatan.
Kita tidak boleh bertitik tolak pada satu teori, misalnya bahwa hakikat Allah ialah menjadi sekutu umat-Nya, seperti diajarkan oleh H. Hadiwijono (1986). Karena, sebelum dunia dijadikan, Allah telah ada. Hakikat-Nya tidak tergantung pada adanya bumi dan manusia. Kita harus bertitik tolak pada penyataan Allah bahwa pada mulanya Dia menciptakan segala sesuatu itu baik adanya. Baru sesudah manusia jatuh ke dalam dosa, Allah menyatakan diriNya kepada kita sebagai Pelepas dalam kedatangan Anak-Nya.
Kristologi ”yang dari atas” dan Kristologi ”yang dari bawah”
Menyangkut Kristologi, sering kali dibedakan antara Kristologi ”yang dari atas”, dan Kristologi ”yang dari bawah”. Kristologi yang dari atas bertitik tolak dari penyembahan kepada Kristus sebagai Allah, dan Kristologi yang dari bawah mulai dari pengalaman berkisar pada Kristus sebagaimana Dia hidup sebagai manusia di bumi. Menurut Kristologi yang dari atas maka ke
Allah-an Kristus menentukan segala sesuatu yang dapat dikatakan tentang Dia, sedangkan menurut Kristologi yang dari bawah kemanusiaan-Nya menentukan segala pembicaraan tentang Kristus (B. Kamphuis, 1999).
Untuk mengenal Kristus, kedua jalan yang ditunjukkan di atas, secara metodis sudah salah. Terbukti dari kenyataan inilah kedua aliran tersebut sering mencampurkan kedua sudut masuk (lih. di bawah). Jalan satu-satunya untuk mengindahkan penyataan Allah adalah keyakinan bahwa Alkitab adalah firman Allah. Bagaimana mungkin seorang manusia berbicara ”dari atas”, bandingkan Yohanes 9:13,31! Memang, melihat isinya seharusnya kita menganut Kristologi dari atas, tetapi secara metodis kita mengikatkan diri pada Alkitab sebagai firman Allah. Dengan demikian kemanusiaan Kristus tentu juga sangat dihargai, karena begitulah berita Injil (bnd. Injil Yohanes dan Surat Ibrani).
Kristologi Reformasi, yang menurut isinya ”dari atas”, akan selalu mengindahkan pactum salutis (perjanjian penyelamatan, bnd. bab 1) sebagai perjanjian antara ketiga Oknum Allah Tritunggal. Kristuslah ”preeksisten”, berarti Dia telah ada sebelum Dia menjadi manusia, sebagai Firman yang kekal. ”Pada waktu itu” Dia telah terarah pada inkarnasi yang akan datang ”Sebab kamu tahu bahwa kamu telah ditebus dari cara hidupmu yang sia-sia yang kamu warisi dari nenek moyangmu itu bukan dengan barang yang fana, bukan pula dengan perak atau emas, melainkan dengan darah yang mahal, yaitu darah Kristus yang sama seperti darah anak domba yang tak bernoda dan tak bercacat. Ia telah dipilih sebelum dunia dijadikan, tetapi karena kamu baru menyatakan diri-Nya pada zaman akhir’’ (1Ptr. 1:18-20).
Hubungan dengan Kristus
Kerinduan utama bagi seorang Kristen adalah: mengenal Kristus, memperoleh persekutuan dengan penderitaan-Nya tetapi juga mengalami kuasa kebangkitan-Nya. Inilah keinginan Paulus (Flp. 3:10,11). Ungkapan itu mendapat arti khusus dalam kehidupan Paulus, karena saat ia berada dalam tahanan Kaisar karena nama Kristus. Ia juga tidak tahu bagaimana jalan perkaranya: apakah ia akan dibebaskan, atau akan dipenjarakan terus, atau pun dihukum mati. Ia ingin bertekun sampai mati, dan kalau seandainya begitu, ia akan mengalami penderitaan bersama Kristus, kematian dengan Kristus dan juga kebangkitan dengan Kristus, yaitu pada hari Tuhan Yesus datang kembali.
Bagi orang Kristen yang tidak begitu hebat penderitaannya, ”hidup dan mati dengan Kristus” tetap mempunyai makna yang dalam. Sebab dengan pertolongan Roh Kudus tabiat mereka yang lama akan meninggalkan mereka dan tabiat yang baru akan timbul. Itulah yang disebut pengudusan, atau dengan perkataan dalam KH p/j 89, 90: ”pertobatan yang sungguh-sungguh”.
Melalui Kristus saja kita mengenal Allah. Siapa yang tidak ingin merasakan kekuatan Allah di dalam dirinya maupun di sekelilingnya, dan siapa yang tidak ingin merasakan kasih Allah dan berkat-Nya? Melalui Kristus semuanya itu akan diterimanya, malahan persekutuan dengan Dia sendiri. Mungkin dalam memikirkan siapakah Kristus bagi kita, kita merasa lebih dekat dengan Allah dibandingkan dengan memikirkan siapakah Allah. Karena Kristus adalah Allah dan sekaligus manusia, Dia dicobai seperti manusia, berpengalaman dengan segala kesulitan yang dapat menimpa terhadap manusia. Walaupun Kristus sekarang tidak kelihatan bagi kita, dari surga Dia mengingat kita dan bekerja bagi kita. Hendaklah kehidupan kita diarahkan kepada Kristus dan hendaklah kita selalu suka bergaul dengan Dia. Bagaimana itu mungkin? Melalui firman Allah dan doa, serta mengetahui siapakah Kristus. Supaya kasih kita kepadaNya bertambah besar. Itulah tujuan dogmatik Kristen.
Iman Kristen berkisar pada hubungan dengan Kristus. Bukan seperti yang sering terdengar bahwa ”kita, yang menyerahkan hati kepada Kristus”, melainkan apakah kita telah mendengar suara Kristus dalam firman-Nya melalui Roh-Nya (A.van de Beek, 1998).
Kristologi adalah ajaran tentang Allah yang menjadi manusia untuk menjadi Juru Selamat dunia.
Sejak Pencerahan (abad ke-18) hubungan antara pengalaman manusia dan penyataan Allah selalu dipertanyakan. Fr. Schleiermacher (abad ke-19) memandang pengalaman sebagai pintu masuk penyataan, Albr. Ritschl (abad ke-19) menganggap kesusilaan sebagai pintu masuk. Sesudah Perang Dunia I (1914-1918) Karl Barth menghapus peran pengalaman. Corak Kristologi yang diajarkan Barth adalah Kristologi yang dari atas. Tetapi, sejak sekitar 1960 unsur pengalaman makin diutumakan olehnya. Karena ternyata jalan yang ditunjukkan Barth dahulu adalah jalan buntu, karena pandangan Barth terhadap penyataan tidak benar. Maunya mengindahkan penyataan yang dari atas, tetapi ia sekaligus menyangkal Alkitab sebagai firman Allah. Alkitab menurutnya sebuah buku yang dari bawah, sedangkan penyataan Allah hanya sewaktu-waktu menggunakan Alkitab untuk menyentuh hati manusia.
Sebetulnya apa yang disebut ”dari atas” diperlengkapi dengan apa yang datang ”dari bawah”, dan karena itu ajaran Barth pada akhirnya tidak berbeda jauh dengan sebuah ajaran yang terang-terangan ”dari bawah”. Pandangan Barth mengalami kebangkrutan.
Di sisi lain, teolog yang menganut Kristologi yang ”dari bawah”, seperti misalnya W. Pannenberg, semakin lama semakin mengambil unsur Kristologi ”dari atas”, tetapi dengan hasil yang tidak dapat menyenangkan juga. Sebab perbedaan antara Pencipta dan ciptaan akhirnya dihilangkan, kemudian ajaran panenteisme yang muncul: Allah hadir dalam setiap ciptaan, dan Kristus adalah teladan unggul bagi setiap orang.
Menurut kami tidak benar kalau dalam karangan Van Niftrik-Boland (2008, 187-189) pengajaran Matius, Markus, dan Lukas dibedakan dari pengajaran Yohanes. Dikatakan bahwa ketiga penginjil yang pertama melukiskan Yesus melalui ”garis dari bawah ke atas” (berarti: bertitik tolak dari kemanusiaan Yesus Kristus) sedangkan Yohanes membuat ”garis dari atas ke bawah” (yaitu mulai dari ke-Allah-an Yesus Kristus. Adanya dua segi itu disebut sebagai suatu ”paradoks”, yaitu suatu perlawanan semu. Dengan pengertian, bahwa kita, manusia, selalu menghadapi berbagai paradoks). Adanya suatu paradoks berarti kita berbicara secara dialektis, yaitu tetap ada dialog antara dua pihak, yang selalu mengemukakan kebenaran masingmasing. Dialektika itu amat berperan dalam filsafat Hegel tetapi juga dalam teologi Karl Barth (bnd. 5.3 tentang filsafat Hegel).
Pada akhir abad XX dan awal abad XXI, telah muncul beberapa buku yang menyangkal kebenaran keempat Kitab Injil kanonik dan mendasarkan pandangan baru pada buku-buku apokrif seperti Injil Yudas, Injil Maria, dan Injil Tomas, atau khayalan sendiri, misalnya Dan Brown, The Da Vinci Code, atau Michael Baigent dalam The Jesus Papers, atau Tom Harper dalam Pagan Christ.
Untuk itu, lihat Craig A.Evans (2007), yang menentang semua kebohongankebohongan itu. Evans sering kali mengritik hasil-hasil dari sebuah seminar tentang Yesus, pada 1993, yang di dalamnya antara lain disimpulkan bahwa dari perkataan Tuhan Yesus dalam Kitab Injil-Kitab Injil, hanya 18 persen yang benar-benar dari-Nya. Evans menunjukkan bahwa hasil seminar itu tidak ada dasarnya.
Secara apologetis Stephen Tong (1992) menguraikan sifat dan karya Kristus.
Daging
Tidak ada ungkapan yang menyatakan dengan sempurna tentang rahasia bahwa Allah menjadi manusia. Kata ”penjelmaan” tidak memuaskan, karena artinya ialah: berubah menjadi sesuatu yang baru atau mengambil bentuk yang lain. Sedangkan Anak Allah tetap tinggal sebagai Allah yang sejati, juga setelah Dia menjadi manusia (KH p./j. 35).
Kata ”penitisan” juga tidak cocok karena keberatan yang sama. Malahan kata ini memberi kesan bahwa terjadi peralihan yang perlahan-lahan dan bertetes-tetes, sama seperti tinta yang diteteskan ke dalam air, dan lama-kelamaan air itu menjadi hitam. Perkataan seperti itu cocok untuk menunjukkan kepercayaan orang Hindu, tetapi ajaran Alkitab berbeda sekali.
Dalam bahasa Latin digunakan kata ”inkarnasi”, yang kata dasarnya ialah ”karo”, yaitu ”daging”. Alkitab berkata bahwa Firman menjadi daging (Yoh. 1:14). Meskipun dalam TB2 tertera ”menjadi manusia”, tetapi itu bukan terjemahan yang sebenarnya.
”Firman itu telah menjadi daging”. Arti kata ”daging” dalam Kitab Suci bermacam-macam.
1. kadang-kadang artinya: manusia sebagai makhluk belaka, misalnya Yesaya 10:6, 1 Petrus 1:24 (terjemahannya: semua yang hidup), bandingkan juga dengan 1 Korintus 15:39.
2. sering kali artinya: tabiat manusia yang berdosa, misalnya Galatia 5:17.
3. dan sering kali juga: manusia sebagai makhluk, yang di bawah kuasa akibat-akibat dosa, seperti sakit-penyakit, ketakutan dan lain-lain. Dalam Yohanes 1:14 yang dimaksudkan adalah arti ketiga ini. Karena, Yohanes 1 melukiskan kedatangan Juru Selamat ke dalam dunia, sama seperti Roma. 8:2-3. Dan ayat terakhir itu menerangkan bahwa, karena adanya dosa, Allah menjatuhkan hukuman atas dosa dalam daging, dengan mengutus Anak-Nya sendiri dalam daging, yang serupa dengan daging yang dikuasai dosa, karena dosa. Bandingkan dengan Yohanes 6:51 yang merupakan perkataan Tuhan Yesus bahwa roti yang diberikan-Nya adalah daging-Nya untuk kehidupan dunia. Yakni, tubuh-Nya yang diberikanNya untuk dipaku di atas kayu salib, sampai Dia mati.
Jadi, isi Yohanes 1:14 lebih tajam daripada terjemahan LAI, bahwa ”Firman itu telah menjadi manusia.”
Firman
Belum terjawab mengapa nama ”Firman” diberikan kepada Anak Allah. Tidak dapat disangkal bahwa dalam filsafat Yunani ”Firman” (Logos) telah memperoleh posisi yang kuat. Dalam pandangan pemikir-pemikir Yunani, terdapat allah yang kedua, yang merupakan pengantara antara Allah tertinggi dan dunia. Pemikiran tentang Logos itu beraneka ragam, tetapi semua bermuara pada anggapan bahwa Allah tertinggi tidak langsung berurusan dengan dunia dan makhluk. Apakah Yohanes terpengaruh oleh filsafat itu? Keterangan yang lebih masuk akal adalah dengan cara mencari alasan nama itu dalam tulisan Yohanes sendiri. Alasan itu dapat dibaca dalam Yohanes 1:18, yang mengatakan bahwa Firman itu telah menyatakan kepada kita siapakah Bapa. Jadi, Anak Allah menyatakan kepada manusia, siapakah Allah. Bukan saja melalui perkataan-Nya tetapi juga oleh pekerjaan-Nya, bahkan keberadaan Nya karena Dia membuktikan kasih Allah kepada dunia dengan kedatanganNya ke dalam dunia (Yoh. 3:16). Bandingkan dengan Ibrani 1:1-4, bahwa Allah berbicara kepada kita, yaitu berfirman kepada kita dengan perantaraan Anak-Nya, yang adalah cahaya kemuliaan Allah dan gambar wujud Allah. Jadi Dia mencerminkan siapakah Allah di depan mata manusia.
Yohanes dalam Injilnya menyamakan Firman itu dengan Allah, tetapi sekaligus juga membedakan, jadi kesimpulannya ialah bahwa dalam Yohanes 1 kita bertemu dengan Allah Tritunggal. ”Firman itu telah menjadi manusia, dan tinggal di antara kita, dan kita telah melihat kemuliaan-Nya, yaitu kemuliaan yang diberikan kepada-Nya sebagai Anak Tunggal Bapa, penuh anugerah dan kebenaran” (Yoh. 1:14). ”Tidak seorang pun yang pernah melihat Allah; tetapi Anak Tunggal Allah, yang ada di pangkuan Bapa, Dialah yang menyatakanNya” (Yoh. 1:18).
Menyangkut ”gambar Allah” dalam Ibrani 1, mungkin dapat disimpulkan bahwa Anak Allah adalah ”gambar Allah” dengan dua cara: sebagai Allah sejati, Dia sebagai Anak mencahayakan kemuliaan Bapa (filiatio). Dan sebagai manusia sejati, Adam akhir, yang menyelesaikan tugas yang ternyata ditinggalkan oleh Adam pertama (bnd. 1Kor. 15).
Mengosongkan diri
Dalam Filipi 2:7 dikatakan bahwa Yesus Kristus telah mengosongkan diri-Nya sendiri dan mengambil rupa seorang hamba. Perkataan itu tidak menunjukkan kemanusiaan Tuhan Yesus begitu saja, tetapi Dia menjadi manusia sama seperti orang yang berdosa. Sekalipun Tuhan Yesus sendiri tidak pernah berbuat dosa, namun Dia menerima tabiat manusia yang dilemahkan oleh dosa. Dikatakan bahwa Dia merendahkan diri (ay. 8) sampai mati, kemudian Dia ditinggikan (ay. 9). ”Menjadi sama dengan manusia” bukan dengan sendirinya merupakan perendahan dan penghinaan. Kerendahan ialah bahwa Dia menjadi daging, yaitu seorang manusia yang dilemahkan oleh akibat-akibat dosa.
”Melainkan telah mengosongkan diri-Nya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia. Dan dalam keadaan sebagai manusia, Ia telah merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib. Itulah sebabnya Allah sangat meninggikan Dia dan mengaruniakan kepada-Nya nama di atas segala nama” (Flp. 2:7-9).
Untuk menjelaskan arti yang sebenarnya dari apa yang dikatakan dalam Filipi 2:7 bahwa Tuhan Yesus ”telah mengosongkan diri-Nya sendiri”, mari kita perhatikan dua aliran dalam Gereja Lutheran, yang pernah berselisih dalam pengajaran tentang kalimat tersebut (lih. Soedarmo, 2009). Pola berpikir yang satu disebut ”ajaran penyembunyian” (bhs.Yunani: krupsis), dan pola yang lainnya disebut ”ajaran pengosongan” (bhs. Yunani: kenosis). Aliran yang pertama mengajarkan bahwa Tuhan Yesus, selama Dia berada di bumi, menyembunyikan ke-Allah-an-Nya di balik kemanusiaan-Nya, sampai Dia naik ke surga. Ajaran yang kedua mempertahankan bahwa Yesus Kristus dengan sukarela meletakkan ke-Allah-an-Nya pada saat Dia lahir, dan baru menerimanya kembali ketika Dia naik ke surga.
Memikirkan jawaban yang diberikan oleh kedua aliran ini maka kita sendiri tertolong untuk merumuskan ajaran tentang inkarnasi Tuhan Yesus. Kedua aliran ini dapat timbul justru di dalam Gereja Lutheran karena ajaran Gereja Lutheran cenderung bersifat monofisit (monos=satu; fysos=tabiat; ajaran yang telah ditolak di Khalcedon 451, lih. 5.5). Karena ajaran monofisit itu mengajarkan bahwa Tuhan Yesus bertabiat satu, yaitu tabiat yang bersifat campuran, maka dapat timbul ajaran-ajaran seperti mengenai ”penyembunyian” dan mengenai ”pengosongan” karena Gereja Lutheran perlu menerangkan mengapa rupa dan sifat Tuhan Yesus berbeda pada waktu Dia di bumi, dan tidak sama setelah Dia naik ke surga. Tetapi menurut Alkitab, Tuhan Yesus bertabiat dua, yaitu Allah sejati dan manusia sejati. Dan maksud Filipi 2:7 bukan bahwa Tuhan Yesus menanggalkan ke-Allah-an-Nya waktu Dia menjadi manusia. Dia tetap Allah sejati dan sekaligus manusia sejati. Dan sesudah Dia naik ke surga, Dia juga tetap Allah sejati dan manusia sejati. Arti perkataan ”Dia mengosongkan diri-Nya’ ialah bahwa Dia merendahkan diriNya, dengan menerima tabiat manusia yang dilemahkan oleh dosa.
Jadi, kenosis dalam Filipi 2:7 berarti menyembunyikan/meletakkan kemuliaan-Nya, bukan ke-Allah-an-Nya.
Apalagi, Filipi 2:1-11 bukan bersifat pengajaran melainkan nasihat.
Tujuannya ialah bahwa kita tidak boleh memerhatikan kepentingan kita sendiri, tetapi kita, sama seperti Yesus Kristus, harus rela merendahkan diri. Ayat 6, Yesus Kristus tidak menganggap kesetaraan dengan Allah sebagai milik yang harus dipertahankan, berarti Dia tidak mau menggunakan ke-Allah-anNya untuk diri-Nya, dan Dia rela menjadi manusia yang hina dan yang diejek. Satu contoh dari riwayat hidup Tuhan Yesus, pada waktu Dia di kayu salib, Dia tidak membalas dendam ketika diejek, tetapi Dia menderita bagi kita.
Extra-calvinisticum
Apakah tidak boleh dikatakan bahwa Tuhan Yesus menyembunyikan ke-Allahan-Nya selama Dia berada di bumi? Mungkin dalam arti tertentu penggunaan kata ”penyembunyian” itu tepat, karena ke-Allah-an Tuhan Yesus memang tidak selalu tampak bagi mata manusia selama Dia berada di bumi. Namun, Dia tetap Allah sejati. Seperti diajarkan KH p/ji 48: ”Ke-Allah-an (Kristus) itu tidak dapat dikurung oleh apa pun, dan hadir di segala tempat. Karena itu, ke-Allah-an itu memang berada di luar kemanusiaan yang telah dikenakanNya, namun juga berdiam di dalamnya dan tetap bersatu dengannya menjadi satu Pribadi”.
Ajaran dalam KH ini disebut extra-calvinisticum, yang sering diartikan sebagai: ”tambahan yang diajarkan oleh gereja calvinis”, maksudnya: tambahan yang tidak ada dalam ajaran Lutheran. Keterangan ini tidak tepat, sebab bukan saja Calvin yang mengajarkan yang demikian. Kata extra menunjukkan bahwa Kristus adalah oknum Ilahi, juga di luar keberadaan-Nya sebagai manusia (Van de Beek). Dapat dikatakan: Anak Allah turun dari surga tetapi tidak meninggalkan surga. Dan juga: Anak Allah menjadi manusia di kandungan Maria, tetapi juga berada di seluruh dunia pada saat yang sama. Kemanusiaan Tuhan Yesus terikat pada ke-Allah-an-Nya, tetapi bukan sebaliknya.
Dasar ajaran tentang ke-Allah-an Kristus
Ke-Allah-an Kristus dari dahulu dilandaskan atas: 1. Nama ilahi yang diberikan kepada-Nya (mis. Yoh. 20:28, Tit. 2:13, 1 Yoh. 5:20, 2Ptr. 1:1); 2. Tabiat-tabiat ilahi yang dimiliki-Nya (Yoh. 5:26, Flp. 2:6, Ibr.1:2); 3. Pekerjaan-pekerjaan ilahi yang dilakukan-Nya (Mrk. 2:5-7. Yoh. 5:21,22); dan 4. Hormat ilahi yang diterima-Nya (Flp. 2:11, Why. 5:12,13) (Van Genderen).
Inkarnasi adalah bahwa Anak Allah yang tidak berdosa menerima tabiat manusia yang dilemahkan oleh akibat-akibat dosa.
Calvin pernah mengajarkan bahwa Filipi 2 menunjukkan Yesus Kristus sebagai Allah dan manusia, bukan ”pre-eksistensi Kristus”. Tetapi, S. Greijdanus menerangkan bahwa maksud nas ini benar-benar pre-eksistensi Kristus. (B. Kamphuis).
Teologi kenosis dikembangkan untuk menerangkan inkarnasi. Hanya saja, sejak filsafat Pencerahan, Teologi Kenosis itu dianut dengan tujuan yang lebih luas, yaitu untuk menerangkan penciptaan: Allah seakan-akan membuat kekosongan dalam diri-Nya untuk dapat menciptakan. Teori seperti itu adalah di luar penyataan dalam Alkitab dan tidak dapat dipertahankan (Van de Beek).
Gereja Lutheran bercorak monofisit, namun perlu disadari bahwa perbedaan pendapat antara Luther dan Calvin dalam hal ini tidak mengakibatkan jurang pemisah. Malahan, kadang-kadang kita membaca ucapan Calvin yang agaknya bercorak monofisit juga, dan sebaliknya, ucapan Luther yang benarbenar sesuai dengan keputusan Khalcedon 451 (Van de Beek).
Kami berkeberatan terhadap mereka yang mengatakan bahwa firman Allah (Alkitab) adalah salah satu penjelmaan dari Roh Kudus dalam rupa hamba, sama seperti Yesus adalah penjelmaan dari Allah Anak dalam rupa seorang hamba. Keberatan yang utama adalah bahwa kesatuan tabiat ilahi dan tabiat manusiawi dalam diri Yesus Kristus tidak dapat disamakan dengan faktor ilahi dan faktor manusiawi dalam firman Allah. Apalagi, jalan pikiran itu akan menjurus ke penyembahan terhadap Alkitab. Terakhir, tidak dapat dikatakan bahwa menjadi manusia dengan sendirinya berarti juga penghambaan dan penghinaan. Tetapi, bahwa Kristus mau menjadi sama dengan manusia yang berdosa, itulah yang menjadi penghinaan bagi-Nya.
Dalam Van Niftrik-Boland hal. 184-323 yang dikhususkan kepada Yesus Kristus, dengan mengikuti pasal-pasal Pengakuan Iman Rasuli. Bandingkan dengan bab 2 buku ini tentang corak modalisme yang terlihat dalam karangan Van Niftrik. Pandangan Van Niftrik-Boland tentang kedua tabiat Yesus Kristus juga tidak memuaskan. Karena dikatakan bahwa mengenai pribadi Yesus Kristus, Alkitab memperlihatkan kepada kita dua garis atau dua segi, yaitu bahwa Yesus sama sekali tergolong pada kita manusia, tetapi juga sama sekali tergolong pada Allah. Tetapi, perkataan itu berbeda dengan pengakuan gereja bahwa Yesus benar-benar Allah dan benar-benar manusia. Karena ”tergolong pada” dapat berarti: ”terhitung pada” saja, tetapi Yesus bukan terhitung pada Allah dan manusia, melainkan Yesus adalah Allah dan adalah manusia.
Sering kali terdengar bahwa kita tidak perlu mencari tahu siapa Yesus Kristus, asal tahu apa pekerjaan-Nya. Tetapi pandangan itu keliru. Sebab Tuhan Yesus sendiri bertanya kepada murid-murid-Nya, ”Siapakah Aku ini” (Mat. 16:15). Pertanyaan itu dijawab oleh Petrus: ”Engkaulah Mesias, Anak Allah yang hidup!” (Mat. 16:16). Hendaklah dogmatik Kristen bertolak dari jawaban Petrus itu sambil memikirkan artinya.
Sesudah diakui bahwa Yesus adalah Anak Allah yang hidup, dapat dinilai juga arti pekerjaan-Nya. Oknum Tuhan Yesus dan pekerjaan-Nya sangat berpautan, seperti dapat dipahami dari ungkapan-ungkapan Yesus Kristus sendiri: ”Akulah roti kehidupan” (Yoh. 6:35); Akulah pokok anggur yang benar” (Yoh. 15:1); ”Akulah jalan dan kebenaran dan hidup” (Yoh. 14:6).
Perkataan-perkataan itu sangat kuat isinya, lebih daripada misalnya: ”Akulah pemberi roti hidup” (yaitu: daging Kristus, lihat Yoh. 6:51).
Betapa pentingnya pengenalan akan Yesus yang dinyatakan Rasul Yohanes dalam suratnya, antara lain: ”Siapakah yang mengalahkan dunia, selain dia yang percaya bahwa Yesuslah Anak Allah?” (1Yoh. 5:5).
Semua nas, yang dikutip di atas, menunjukkan bahwa Anak Allah menjadi manusia untuk menyelamatkan manusia dari dosa. Bukan demi perkembangan Allah sendiri, tetapi semata-mata untuk melepaskan manusia, yang percaya kepada-Nya (Yoh. 3:16; 1Yoh. 4:9). Dan meskipun kita yakin bahwa Kristus telah ditentukan dari kekal (1Ptr. 1:20; Ef. 1:4), namun pemikiran kita harus bertitik tolak dari kejadian-kejadian di bumi ini: bahwa manusia diciptakan baik adanya, tetapi jatuh ke dalam dosa. Kemudian, sesudah manusia jatuh, Allah menjanjikan kedatangan Anak-Nya (Kej. 3:15).
Ditemukan juga pandangan bahwa inkarnasi harus terjadi, sebagai unsur dari sebuah proses. Pandangan seperti itu dipengaruh oleh filsafat Hegel (17701831). Ajaran Hegel ialah bahwa perkembangan-perkembangan dalam bentuk apa pun akan terjadi jika ada pertentangan. Jika pertentangan itu telah menghasilkan persatuan maka persatuan itu akan menjadi landasan pertentangan yang berikut, yang di dalamnya hasil persatuan tadi ditentang oleh sesuatu yang baru; dan seterusnya. Jadi, segala perkembangan itu terjadi berangsur-angsur, melalui pertentangan-pertentangan yang terus-menerus. Hasil persatuan merupakan langkah yang berikut dalam proses perkembangan dan menjadi lebih tinggi daripada langkah yang mendahuluinya..
Ajaran marxisme misalnya, adalah buah filsafat Hegel. Dan juga teologi yang dipengaruhi olehnya, sehingga dalam abad ke-19 timbul ajaran liberal bahwa sebenarnya dari kekal Allah dan manusia telah bersatu. Kesatuan itu diganggu oleh munculnya dosa, tetapi di dalam Kristus, Allah akan bersatu lagi dengan manusia, dan pada tingkat yang lebih tinggi daripada semula. Tentu cara pemikiran ini jauh dari ajaran Alkitab. Secara tidak langsung Allah dipersalahkan selaku Penyebab dosa, karena diajarkan bahwa dosa merupakan tahap yang perlu dalam proses perkembangan. Dalam abad ke20 seorang ilmuwan Katolik Roma yang terkemuka, P. Teilhard de Chardin, memandang Yesus sebagai tahap yang baru bahkan tahap final dalam proses evolusi. Pandangan ini menyerupai filsafat yang disebut ”process-philosophy”, yang menganggap universum sebagai proses raksasa, yang di dalamnya segala sesuatu yang pernah terjadi pada waktu lampau turut mewujudkan masa depan.
Dalam abad XX timbul filsafat eksistensialisme. Di sini seluruh tekanan terletak pada eksistensi manusia (ex-sisto ’berdiri di luar diri sendiri’: manusia ditentukan oleh relasi dengan orang lain). S. Kierkegaard beranggapan bahwa inti keberadaan manusia adalah ”berada sebagai seorang diri di hadapan Allah”. R. Bultmann dapat disebut sebagai seorang teolog yang dipengaruhi filsafat ini. Bagi Bultmann, tidak penting untuk mengenal siapa sebenarnya Tuhan Yesus. Tetapi yang terutama adalah mengenal kerugma Kristus (berita tentang Kristus yang menggerakkan kita dan yang memanggil kita untuk percaya).
Kedatangan Tuhan Yesus ke dunia tidak terjadi secara mendadak. Sudah lama Dia dinanti-nantikan, mulai dari pemberitahuan Allah yang disebut dalam Kejadian 3:15. Tuhan Yesus datang, setelah genap waktunya (Gal. 4:4), berarti pada saat yang ditentukan Allah Bapa dari semula: ”Tetapi setelah genap waktunya, maka Allah mengutus Anak-Nya yang lahir dari seorang perempuan dan takluk kepada hukum Taurat.” Seluruh sejarah diatur sedemikian rupa sehingga menjurus ke kedatangan Tuhan Yesus.
Tuhan Yesus sendiri menunjukkan bahwa seluruh isi PL merupakan nubuat tentang Dia (Luk. 24:26,27). Dan kalau kita memerhatikan jalannya sejarah bangsa Tuhan, juga tampak sekali bahwa semuanya mempersiapkan kedatangan Yesus Kristus. Abraham seketurunannya harus dipisahkan dari penyembahan berhala di Ur Kasdim, agar bangsa Tuhan dapat berkembang dengan bebas. Di tanah Kanaan mereka hidup sebagai pendatang, supaya terlindung dari suasana kekafiran, sampai mereka dibawa ke tanah Mesir (ingat sejarah Yusuf). Di Mesir (di tanah Gosyen) mereka bertambah banyak. Sesudah bangsa itu berkembang mereka dikeluarkan dan dibawa ke Kanaan.
Hukuman-hukuman seperti pemecahan menjadi dua bangsa (dua suku di bawah Raja Rehabeam dan sepuluh suku di bawah Raja Yerobeam), maupun pembuangan ke Babel, dimaksudkan untuk memurnikan bangsa Tuhan supaya mereka yang dipilih Tuhan akan terpelihara.
Sesudah bangsa itu kembali dari Babel dan dianiaya beberapa abad lamanya dimulai oleh Raja Persia, kemudian oleh Raja Siria, dan akhirnya oleh Kaisar Romawi, akhirnya genaplah waktu yang ditentukan Allah (Gal. 4:4). Pada saat orang-orang Yahudi mengalami kesusahan besar hingga orang-orang Yahudi menemui jalan buntu jika mengharapkan kekuatan penyelamatan dari diri sendiri, maka datanglah Anak Allah untuk menjadi Juru Selamat umatNya. Dan bukan itu saja, sebab umat yang mula-mula terkumpul itu hanya dari bangsa Yahudi, kemudian dikumpulkan dari segala bangsa, sesuai dengan janji Allah kepada Abraham.
Keadaan dalam kekaisaran Romawi sama sekali tidak menguntungkan orang-orang Yahudi untuk menjadi orang yang nasionalis, tetapi keadaan itu benar-benar mendukung perkembangan gereja. Karena seluruh dunia Timur Tengah terbuka, dengan adanya keamanan berkat politik Romawi, satu bahasa pengantara yaitu bahasa Yunani dan hubungan lalu lintas yang lancar, karena jaringan jalan raya Romawi.
Walaupun demikian, Iblis berusaha sedapat mungkin untuk menggagalkan kedatangan Anak Allah. Permusuhan itu telah diberitahukan dalam Kejadian 3:15, bandingkan dengan Wahyu 12. Iblislah, yang bermain, pada waktu Yusuf dijual ke Mesir. Namun, dalam hal itu terjadi kehendak dan rencana Allah (bnd. Kej. 45:5). Begitulah, dalam segala tindakan orang jahat yang ingin membinasakan bangsa Tuhan, misalnya Firaun, Bileam, Saul, Atalia, Haman. Selalu tampaklah rancangan si Iblis tetapi sekaligus juga juga dipenuhi kehendak Allah yang berdaulat. Dan justru karena itulah dapat dikatakan: ”Setelah genap waktunya” (Gal. 4:4), Allah yang memerintah.
Logos asarkos
Allah Tritunggal bekerja sejak kekal. Bukan saja Allah Bapa yang bekerja pada masa PL, tetapi juga Allah Anak dan Allah Roh Kudus. Dogmatik Kristen biasanya menggunakan satu ungkapan bahasa Yunani untuk menunjukkan Anak Allah pada masa Perjanjian Lama, yaitu Logos asarkos, berarti: Firman yang belum menjadi daging. Ada penafsir yang berpendapat bahwa Logos asarkos itu sering menyatakan dirinya sebagai ”Malaikat Tuhan”, lihat misalnya Hakim-hakim 2:1-5; 6:11,12:21, 32; 2 Samuel 24:16; 2 Raja-raja 1:3,15. Dan bahwa Anak Allah sendiri yang melindungi bangsa Israel di padang gurun, dinyatakan oleh Rasul Paulus dalam 1 Korintus 10:1-5. Bahkan di situ Logos asarkos disebut dengan sejelas-jelasnya: Kristus sendiri. Ayat 4: Batu karang, yang mengikuti mereka di padang gurun adalah Kristus. Artinya: Kristus, yang memberi minum kepada mereka dari batu karang, dan Kristus juga yang tetap memelihara mereka di perjalanan. Karena itu dikatakan: ”Batu karang yang mengikuti”. Dikatakan bahwa kepada mereka diberikan makanan dan minuman rohani, dari sebuah batu karang yang rohani. Kata ”rohani” menunjukkan bahwa semuanya itu diberikan kepada mereka demi keselamatan bangsa Tuhan. Sebab seandainya bangsa itu mati di padang gurun, maka sejarah keselamatan hanya sampai di situ saja. Tetapi karena mereka dipelihara, jalan keselamatan tetap terbuka untuk kedatangan Yesus Kristus ke dalam daging. Kristus sendiri, sebagai Logos asarkos mempersiapkan kedatangan-Nya ke dalam dunia. Hal itu dinyatakan pula dalam Yesaya 63:910 (mengikuti TL: ”Malakalhadirat-Nya sudah memeliharakan mereka itu”, yakni Malaikat Tuhan atau Logos asarkos). Nas yang sama itu juga menunjukkan pekerjaan Roh Kudus pada waktu PL.
Menurut kami, dapat juga dipertahankan bahwa Hikmat dalam Amsal 8 adalah Logos asarkos itu. Mengingat bahwa nama Logos (Firman) dalam Yohanes 1 menyatakan bahwa Anak menyatakan siapakah Allah, dapat dipahami bahwa Hikmat dalam Amsal 8 melakukan hal yang sama.
Sebagai Logos asarkos Kristus mempersiapkan kedatangan-Nya pada zaman Perjanjian Lama.
Bahkan di bumi baru, Juru Selamat kita adalah Allah dan Manusia: Juru Selamat kita tetap dinamakan: ”Anak Domba”. Berarti: Tuhan Yesus akan selalu dikenal dan dipuji sebagai Anak Domba Allah yang telah menghapus dosa dunia (Why. 21:22-23; 22:3).
Patut dicatat juga bahwa ajaran mengenai Trinitas berakar dalam ajaran mengenai Kristus (Kristologi). Sering kali dikatakan bahwa melihat sejarah, pertikaian mengenai Trinitas berlangsung dahulu sampai dengan tahun 381, dan baru kemudian timbul pertikaian mengenai kedua tabiat Kristus, sampai perumusan pada 451. Sekalipun demikian, pertikaian mengenai Trinitas tidak terjadi begitu saja, tanpa alasan. Latar belakangnya ialah bagaimana pandangan gereja mengenai Kristus (Van de Beek, 57) .
Ada juga penafsir alkitabiah yang menyangkal bahwa Hikmat dalam Amsal 8 adalah Firman, dengan alasan bahwa di sini, dalam bahasa sastra, ditemukan sebuah personifikasi, yakni bahwa hikmat dianggap sebagai oknum (Wentsel 1991, 75, berbeda dengan yang terdapat pada halaman 162).
Meskipun personifikasi adalah bentuk sastra, menurut kami tidak memuaskan untuk mempertahankan bahwa Amsal 8 adalah bahasa sastra. Karena, kalau kita mengerti bahwa segala Hikmat datang dari Kristus maka secara tidak langsung kepada orang percaya dinyatakan bahwa Hikmat dalam Amsal 8 itu adalah Logos asarkos.
Maria, bunda Allah”Setelah genap waktunya” (Gal. 4:4) Allah mengutus Anak-Nya. Sekarang kita memerhatikan bagian yang kedua dari ayat ini, yaitu bahwa Anak Allah ”lahir dari seorang perempuan dan takluk kepada hukum Taurat”. Sebab ”dalam segala hal Ia harus disamakan dengan saudara-saudara-Nya, supaya Ia menjadi Imam Besar yang menaruh belas kasihan dan setia kepada Allah untuk mendamaikan dosa umat” (Ibr. 2:17). Karena itu Ia juga disunat dan segala peraturan hukum Taurat yang lain juga dikenakan kepada-Nya. Bahkan Dia dibaptis oleh Yohanes, menurut kehendak-Nya sendiri untuk memenuhi segala kebenaran. Kata kebenaran di sini dapat diartikan sebagai rencana Allah, yang menuntut bahwa seseorang yang benar-benar manusia akan mengambil tempat mereka dan menjadi Penebus.
Kristus lahir dari seorang perempuan, yaitu anak dara Maria. Peristiwa dikandung-Nya Yesus Kristus itu ajaib sekali (lih. Mat. l:l8,20,25; Luk. 1:35; bnd. KH Mg. Ke-14). Kristus diperanakkan di luar hubungan seksual. Untuk menjauhkan pikiran seakan-akan Roh Kudus sendiri yang menjadi seorang laki-laki yang datang kepada Maria, dapat kita simpulkan bahwa Roh Kudus menciptakan tubuh Kristus di dalam rahim Maria. Kemudian, sesudah masa kehamilan yang biasa, Maria melahirkan anaknya. Dengan itu Maria menjadi theotokos, berarti: ”ia melahirkan Allah”, sebab Yesus Kristus benar-benar Allah.
Istilah theotokos itu dirumuskan pada abad ke-5 dan digunakan untuk menekankan bahwa Allah sendiri benar-benar menjadi manusia. Tetapi, istilah itu ditentang oleh Nestorius, yang mengutamakan keterpisahan ke
Allah-an dan kemanusiaan Yesus Kristus.
Kata theotokos lebih lazim di gereja Katolik Roma daripada digereja-gereja Protestan. Di samping itu, gereja KR itu cenderung untuk mendewakan Maria, dan beranggapan bahwa keselamatan terjadi supaya makhluk diperilahikan. Tetapi, istilah theotokos dapat digunakan dalam arti yang tepat juga. Menyebutkan Maria, dengan demikian berarti kita justru menekankan mukjizat kedua tabiat Yesus Kristus.
Menurut Lukas 1:35, kuasa Allah yang Mahatinggi (=Roh Kudus) akan menaungi Maria, dalam beberapa nas lain kata menaungi juga menunjuk ke mukjizat-mukjizat Allah yang ajaib (Hadiwijono).
Dosa turunan
Dalam segala hal Tuhan Yesus harus disamakan dengan saudara-saudaraNya (Ibr. 2:17), tetapi tidak mungkin Dia lahir sebagai anak kandung dari Yusuf dan Maria. Kalau Tuhan Yesus adalah anak Yusuf dan Maria, maka Dia ditaklukkan ke dosa turunan yang dikenakan kepada seluruh keturunan Adam dan Hawa. Hanya karena karya ajaib Tuhan Allah sendiri, maka anak Maria ini tidak termasuk dalam keturunan Adam dan Hawa yang berdosa.
Apakah dosa diturunkan oleh si laki-laki, sehingga sudah cukup jika Yusuf dikesampingkan? Bukan demikian, dosa turunan tidak disebarkan semata-mata oleh benih laik-laki. Dan cara mewariskannya/menurunkannya bukan seperti cara penyakit yang berjangkit lewat kuman-kuman penyakit. Penyebarannya terjadi karena penentuan Allah yang menetapkan Adam sebagai kepala umat manusia, yang olehnya dosa masuk ke dalam dunia. Atas penentuan Allah sendiri, maka Anak Allah yang tunggal itu, ketika menjadi manusia, tidak termasuk anak-anak yang dicemarkan oleh dosa. Hal itu dibuktikan Allah dengan jelas kepada semua orang yang percaya melalui mukjizat ini, yaitu bahwa Yesus Kristus dikandung dari Roh Kudus dan lahir dari anak dara Maria.
Sesudah Yesus lahir, Yusuf langsung ditugaskan menjadi ”bapak piara”
Tuhan Yesus. Tuhan Yesus didaftarkan sebagai anak Yusuf dan menurut pandangan orang Yahudi, Dia adalah anak Yusuf. Karena itu dalam Matius 1 dicantumkan silsilah Yusuf, anak Daud, supaya kita mengerti bahwa Tuhan Yesus didaftarkan sebagai anak Daud atas nama Yusuf. Tetapi, Tuhan Yesus menjadi keturunan Daud yang sejati melalui ibunya, Maria. Bukan tidak mungkin silsilah yang disebut dalam Lukas 3 adalah silsilah Maria. Dia juga berasal dari keluarga besar Raja Daud. Karena, dari Lukas 1:31-33 jelas, bahwa Maria adalah keturunan Daud. Karena malaikat Gabriel memberitahukan kelahiran seorang anak Daud dari Maria, kemudian jawaban Maria sama sekali tidak menyinggung hubungannya dengan Yusuf sebagai tunangannya tetapi katanya: ”Bagaimana caranya, padahal aku belum bersuami?” (ay. 34). Maria sadar, bahwa ia sendiri keturunan Daud, tetapi, pikirnya, bagaimana dapat dilahirkan seorang keturunan bagi Raja Daud melalui aku, selama aku belum bersuami (bnd. juga Rm. 1:3).
Maria perawan
A. van de Beek mempertimbangkan alasan mereka yang menyangkal kelahiran Kristus dari perawan Maria, dan dengan kuat memperjuangnya. Ia mengatakan bahwa terjadi tiga kemungkinan untuk menerangkan kehamilan Maria: 1. Yesus adalah anak Yusuf dan Maria. 2. Maria pernah berhubungan dengan laki-laki lain. 3. Maria melahirkan sebagai seorang perawan.
Pandangan pertama dianut oleh kelompok orang Kristen asal Yahudi pada abad ke-2, yang disebut Ebionit (=orang miskin, tetapi adil). Mereka menganggap Yusuf dan Maria sebagai orang yang benar, dan Yesus adalah seorang yang tergolong pada mereka. Di luar golongan orang Ebionit ini, pada awalnya tidak ada dukungan untuk pandangan tersebut, tetapi dalam abadabad terakhir memang ada. Mereka yang sekarang ini menganut pandangan tersebut mengatakan bahwa Tuhan Allah tidak bertindak secara langsung melalui mukjizat tetapi melalui proses alamiah yang biasa. Dan juga bahwa sebenarnya bukan kenyataan yang bersejarah yang penting, melainkan berita dan cerita yang berkuasa. Van de Beek menentang pandangan-pandangan itu dengan mengatakan bahwa hanya terdapat satu dari dua kemungkinan: entah apakah Allah memerintah entah tidak. Entah apakah dunia ini adalah satu sistem yang terbuka bagi kenyataan yang luar biasa atau otonom adanya.
Tetapi kalau begitu, lebih baik kita berhenti berbicara tentang Allah. Bila kita berkesimpulan ”tidak mungkin”, pada saat kita menemukan satu kenyataan yang mustahil bagi kita, lebih baik, kita ucapkan yang sama pada setiap kali kita berbicara tentang Allah. ”Karena sebenarnya masalah yang terbesar bagi orang yang dipengaruhi filsafat Pencerahan adalah Allah sendiri,” kata Van de Beek.
Pandangan kedua dianut oleh orang Yahudi selama Tuhan Yesus hidup maupun oleh banyak penulis yang non-Kristen sesudah itu, sejak tahun 200 M. Apakah orang Yahudi bermaksud begitu dalam sindiran mereka yang tercantum dalam Yohanes 8:41: ”Kami tidak dilahirkan dari zina?”
Pandangan ketiga terdapat pada penulis Kristen, antara lain penginjil Matius dan Lukas. Van de Beek berkata bahwa ia tidak dapat memikirkan satu alasan lain bagi Matius dan Lukas untuk menulis tentang kelahiran dari seorang perawan; daripada alasan ini yaitu bahwa memang begitulah terjadinya. Memang ada satu pilihan lain: ketidaksetiaan Maria (zina). Tetapi, para penulis Alkitab tidak pernah menyembunyikan dosa (bnd. silsilah Mat.1 mengenai Tamar dan Rahab). Mengapa mereka akan menyembunyikan dosa Maria, kalau memang Maria berdosa?
Gereja Katolik Roma mengajarkan bahwa Maria tetap perawan, bukan saja sebelum ia melahirkan Tuhan Yesus tetapi juga sesudahnya. Pandangan itu tidak dapat dipertahankan. Maria juga melahirkan anak-anak bagi Yusuf (bnd. Luk. 8:19; Yoh. 2:13; Mat. 13:55; Mrk. 6:3). Gereja KR beranggapan bahwa melahirkan anak merupakan suatu penghinaan bagi Maria, Ibu Allah. Sebab ajaran KR memisahkan hal-hal kodrati dari hal-hal adikodrati, secara dualistis. Maria dianggap oknum yang diliputi suasana adikodrati. Sehubungan dengan itu, maka dalam ajaran gereja KR terjadi perkembangan ini, bahwa Maria sendiri lahir tanpa dicemari dosa (ketetapan 1854) bahkan ditetapkanbahwa Maria juga naik ke surga (1950).
Gereja KR maupun Lutheran membahas perichorese (peresapan) dari tabiat manusiawi oleh tabiat ilahi. Dalam pandangan KR, perichorese tersebut merupakan pendewaan, pemuliaan.
Pandangan mengenai perichorese itu tidak dapat kita ikuti, tetapi satu istilah yang mirip dengan itu, dan datang dari ajaran Lutheran, dapat dipertahankan, yaitu communicatio idiomatum (pertukaran sifat ilahi dan manusiawi, lih 5.6). Ajaran Calvinis menerimanya sama seperti ajaran Lutheran. Menurut Van de Beek, baik extra-calvinisticum maupun communicatio idiomatum adalah milik gereja yang am.
Di lain pihak beberapa aliran yang bercorak gnostis dan anabaptis mengajarkan bahwa Maria hanya digunakan Allah sebagai semacam corong untuk mendatangkan Anak-Nya ke dalam dunia. Menurut pandangan itulah, maka kelahiran Tuhan Yesus sebenarnya bukan kelahiran, melainkan hanya kedatangan. Jadi, Maria bukan ibu dari Tuhan Yesus. Mereka meneruskan ajaran yang dahulu telah disebarkan oleh aliran dosetisme (lih 5.6).
Maria sendiri berdosa, namun ia adalah ”theotokos”, yaitu ”bunda Allah” karena anaknya, Yesus, adalah Allah.
Dalam abad ke-4, Uskup Nestorius (dari Antiokhia), sesudah dilantik di Konstantinopel, ditentang hebat ketika ia mulai mengkritik pokok ajaran bahwa Maria adalah theotokos, sebagaimana sudah lama diajarkan oleh Cyrillus dari Aleksandria, dan disenangi juga di Konstantinopel. Maksud Nestorius ialah mengutamakan suatu ajaran tentang penyelamatan secara moral. Sedangkan Cyrillus mengajarkan ajaran tentang penyelamatan secara fisik. Ujar Cyrillus: ”Apa yang tidak diterima Allah, tidak dapat diselamatkan Allah”. Jadi, Allah sendiri perlu menjadi manusia. Pertikaian antara kedua aliran itu (Nestorius dan Cyrillus) sebenarnya mempunyai makna yang dalam: bukan saja teori mengenai Oknum Kristus, tetapi juga bersangkut paut dengan etika Kristen.
Pandangan Karl Barth ialah kita tidak usah bercekcok tentang benar atau tidaknya kelahiran Tuhan Yesus dari anak dara Maria. Menurut Barth, berita tentang kelahiran Tuhan Yesus harus dilihat sebagai berita yang memberi satu tanda kepada kita. Begitulah pandangannya tentang banyak mukjizat Tuhan. Hanya kebangkitan Tuhan Yesus rupanya yang diterimanya sebagai peristiwa yang benar-benar terjadi. Hal-hal seperti penciptaan, kejatuhan manusia, kenaikan Tuhan Yesus, dianggapnya sebagai tanda semata-mata. Menurut Barth, berita tentang kelahiran Tuhan Yesus dari seorang anak dara, hendak menandai bahwa Yesus Kristus sungguh-sungguh Allah dan sungguh-sungguh manusia, sedangkan kita tidak tahu bagaimana hal itu terjadi. Tetapi teori Karl Barth ini seakan-akan berhenti di tengah jalan: mengapa perkataan ”sungguhsungguh Allah” diterimanya dan mengapa diterima juga perkataan ”sungguhsungguh manusia”, sedangkan berita bahwa Tuhan Yesus ”dikandung dari Roh Kudus dan lahir dari anak dara Maria” tidak diterimanya?
Tentang ”kelahiran Yesus oleh perawan Maria” dikatakan Abineno, bahwa terjadinya atau tidak terjadinya, tidak begitu penting (Abineno 2002,124,125). Berarti, yang tertulis dalam Alkitab tentang hal itu (seperti yang diakui dalam Pengakuan Iman Rasuli) tidak sepenuhnya diterima Abineno. Juga tidak jelas pandangannya tentang arti pekerjaan Yesus. Dikatakannya bahwa Yesus ”bukan saja Juru Selamat dari orang-orang yang percaya kepadanya, tetapi lebih daripada itu: Ia adalah Juru Selamat dunia (121).
Tuhan Yesus tidak mungkin lahir dari pernikahan Yusuf dan Maria (lih 5.6) karena seharusnya Dia adalah manusia yang tidak tercemar oleh dosa turunan. Tetapi, ada satu alasan lain yang membuat tidak mungkin Dia lahir dari Yusuf dan Maria, yaitu Yesus adalah Anak Allah. Untuk menjelaskan tujuan bab ini, sekali lagi kita memerhatikan nas yang terkenal itu, Yohanes 1:14: ”Firman telah menjadi daging.” Jadi: tidak diungkapkan bahwa Firman bersatu dengan suatu oknum lain, yang terdiri atas daging, melainkan: Firman itu sendiri menjadi daging. Oknum Ilahi yang kekal itu, Allah Anak, menjadi daging. Artinya: satu Oknum yang sudah ada, menerima tabiat manusia yang sejati di samping tabiat Ilahi yang sudah ada pada-Nya. Hal itu jelas dari perkataan Tuhan Yesus sendiri: ”Sesungguhnya Aku berkata kepadamu, sebelum Abraham ada, Aku telah ada” (Yoh. 8:58). Kalau Tuhan Yesus adalah anak Yusuf dan Maria maka terdapat dua oknum, yakni satu oknum Ilahi (Firman) dan satu oknum manusiawi (Yesus). Banyak orang mempertahankan pendapat seperti itu.
Van de Beek meringkaskan sejarah gereja dan kami mengikuti uraian itu dalam bab ini: Inti masalah adalah bahwa Manusia itu, Yesus Kristus, Allah adanya. Bukan Allah yang menjadi masalah, akan tetapi bahwa Allah mempunyai seorang Anak, yang adalah Allah di bumi. Dan dengan beberapa cara, dicari solusi yang dapat diterima oleh akal manusia. Seperti: 1. Yesus sungguh-sungguh manusia adanya, yang mendapat ilham dari Allah, tetapi bukan Allah. 2. Yesus adalah penjelmaan Allah, tetapi Dia tidak berurusan dengan kehidupan di bumi ini 3. Yesus adalah Diri Penengah.
Bentuk yang pertama ditemukan dalam doketisme, bentuk yang kedua dalam adopsianisme, dan yang ketiga pada monofisitisme.
Pola berpikir I: tekanan atas ke-Allah-an
Kristus, doketisme.
Aliran ini, yang mulai dari abad pertama, telah menyebarkan pandangan bahwa Anak Allah sepertinya/seolah-olah saja menjadi manusia, tetapi sebenarnya tidak (dokein, bhs. Yunani=menyerupai). Doketisme itu muncul dalam aliran gnostik (bnd. bab 2). Jadi, di sini ke-Allah-an Kristus ditekankan tanpa menghiraukan kemanusiaan-Nya.
Pola doketistis itu tampak juga dalam ajaran Apollinaris (abad ke-4).
Tentang Apollinaris harus diterangkan dahulu bahwa ia seorang trikhotomis (trikhos=tiga bagian; tomein= memotong). Trikhotomisme itu menunjukkan suatu pemikiran tentang hakikat manusia, yang mengatakan bahwa manusia terdiri dari tubuh, jiwa, dan roh.
Selain dari trikhotomisme dikenal juga aliran dikhotomisme (dikhos=dua bagian) yang membagi manusia hanya menjadi dua, yaitu tubuh dan jiwa. Bnd. bab 4.
Menurut Apollinaris, Anak Allah hanya menerima tubuh dan jiwa manusia, tetapi roh-Nya, bukan roh manusia melainkan Roh Allah yang kekal yang mendiami manusia itu. Berarti, Yesus Kristus bukan sungguh-sungguh manusia, melainkan Allah yang mengenakan tubuh dan jiwa manusia. Konsili Konstantinopel pada 381 meneguhkan keputusan Konsili Nicea (325) dan sekaligus menghakimi Apollinaris. Inti dari pengakuan Nicea-Konstantinopel adalah bahwa Anak Allah itu homo-ousios adanya dengan Bapa-Nya, jadi dari esensi yang sama, bukan homoi-ousios,esensi yang serupa.
Menurut Van de Beek Apollinaris sebenarnya mencari jalan tengah antara adopsianisme dan doketisme.
Pola berpikir II: tekanan atas kemanusiaan
Kristus, adopsianisme
Menurut penganut aliran adopsianisme, Allah baru bersatu dengan oknum Yesus ketika Dia dibaptis di Sungai Yordan dan Roh Kudus turun ke atasNya. Logos Allah pada waktu itu menerima kemanusiaan itu (adopsi berarti pengangkatan). Ada juga yang mengajarkan bahwa bukan sejak saat tertentu, tetapi selalu dalam hal-hal penting Logos mengilhami manusia Yesus. Aliran adopsianisme mengikuti jejak Ebionitisme, kalangan orang-orang Kristen asal Yahudi pada abad yang pertama, yang mengajarkan bahwa Yesus Kristus hanya seorang manusia yang setia. Karena kesetiaan-Nya, Dia dikaruniai dengan sifat-sifat yang menonjol sehingga Dia dapat digelari ”Anak Allah”. Salah seorang tokoh adopsianisme adalah Paulus dari Samosata (abad ke-2) .
Juga Arius, yang menyangkal ke-Allah-an Kristus yang sungguh-sungguh, mengikuti jalan pikiran adopsianisme, sehingga dihakimi di Konsili Nicea 325 (lih. bab 1)
Pola berpikir adopsianisme itu dikembangkan oleh Nestorius (abad ke-5) yang mengajarkan bahwa dalam diri Tuhan Yesus sebenarnya terdapat dua pribadi, yang pertama Ilahi dan yang kedua manusiawi. Kedua pribadi itu telah bersatu, seperti dalam pernikahan, dua orang yang bersatu. Namun, keduanya tetap berdiri sendiri dan terpisah. Justru untuk melawan aliran itu, maka Sinode di Efesus (431) mempertahankan istilah ”theotokos” bagi Maria, untuk menentang cara berpikir Nestorius yang bersifat humanistis. Nestorius, berbeda dengan adopsianisme dan ebionitisme, dan juga tidak sama dengan Arius, yang mengakui bahwa Yesus Kristus sungguh-sungguh Allah dan sungguh-sungguh manusia adanya, namun menurut Nestorius kemanusiaan Yesus Kristus yang mendapat tekanan. Sebab karena Ia berkembang sebagai manusia yang baik, maka Anak Allah mau bersatu dengan Dia sehingga Ia menjadi Pengantara.
Pola berpikir III: monofisitisme
Teolog-teolog yang berasal dari Aleksandria di Mesir menentang Nestorius, yang datang dari Antiokhia di Siria. Yang paling terkenal adalah Cyrillus dan Eutyches. Tetapi dengan menekankan ke-Allah-an Yesus Kristus, mereka (khususnya Eutyches) tidak mengindahkan kemanusiaan-Nya, kemudian mengajarkan bahwa Yesus Kristus adalah Allah-manusia, artinya, tabiat-Nya merupakan tabiat campuran (jenis ketiga), berarti Tuhan Yesus tidak sama dengan saudara-saudara-Nya.
Pengikut-pengikut Eutyches disebut orang monofisit. Ajaran monofisit dalam arti tertentu dianut pula oleh Gereja-gereja Lutheran. Bukan dalam arti ajaran Eutyches, tetapi dalam bentuk Teologia Aleksandria seperti dari Cyrillus, dengan tekanannya bukan pada tabiat, tetapi pada oknum Allah yang menjadi manusia. Ada hubungannya dengan ajaran Lutheran mengenai konsubstantiasi (lih. bab tentang alat-alat anugerah). Gereja Lutheran mengajarkan bahwa tabiat kemanusiaan Tuhan Yesus bercampur baur dengan tabiat Ilahi-Nya. Karena itu tabiat manusiawinya turut mahahadir. Karena itu, tubuh Tuhan Yesus sekarang bukan saja di surga melainkan ada di mana-mana, khususnya dalam roti Perjamuan, di mana saja sakramen itu dirayakan.
Khalcedon 451
Konsili Khalcedon (451) menetapkan keputusan bahwa kedua ajaran itu, baik dari Nestorius maupun dari Eutyches, perlu ditentang dengan keras. Kesimpulan Khalcedon ialah bahwa kedua tabiat Tuhan Yesus:
a. tidak terpisah dan tidak terbagi (menentang Nestorius) b. tidak berubah dan tidak bercampur (menentang Eutyches).
Terjemahan pasal 17 dan 18 Pengakuan Iman Khalcedon dalam J.P.D.Groen (2012, 744) : (dua tabiat) dikenal tanpa percampuran, tanpa perubahan, tanpa pemisahan, dan tanpa pembagian.
Setelah konsili Khalcedon selesai, ajaran Nestorius tetap dipertahankan oleh gereja-gereja tertentu. Gereja-gereja Nestorian benar-benar berkorban dalam pemberitaan Injil sampai India dan Tiongkok. Gereja-gereja monofisit terdapat antara lain di Mesir.
Menurut Van de Beek, Khalcedon adalah Konsili yang kebarat-baratan, dan yang dipengaruhi oleh gereja di Roma. Sejak dahulu gereja di Roma mengambil posisi tengah, antara Antiokhia dan Aleksandria. Kebaratbaratan dari gereja Roma dan Konsili Khalcedon khususnya dilihat pada unsur ”hukum”. Yang di dalamnya aliran Aleksandria bertitik tolak dari kemurnian pribadi Kristus, sedang aliran Roma mengutamakan jabatan-Nya dan status hukum-Nya. Tekanan itu sangat berpengaruh di gereja-gereja Eropa, dan menurut kami, kadang-kadang berharga, untuk mengerti kebesaran Kristus, seperti yang terlihat pada keterangan K. Schilder dan B. Kamphuis, menyangkut jabatan Kristus.
Anhypostatos dan enhypostatos
Terdapat dua istilah bahasa Yunani, yang dahulu kala turut menerangkan rahasia tentang kedua tabiat Tuhan Yesus Kristus. Kata-kata yang kami maksudkan ialah: ”anhypostatos” dan ”enhypostatos”.
Anhypostatos berarti ”tanpa kepribadian”. Dan kata itu ditujukan ke tabiat manusiawi dari Tuhan Yesus. Yaitu, ketika Anak Allah menjadi daging, maka Dia menerima tabiat manusiawi yang sejati tanpa kepribadian manusiawi, sebab dari kekal Dia telah ada, selaku satu Oknum dengan kepribadian Ilahi. Sedangkan enhypostatos berarti: ”di dalam kepribadian”. Kata itu juga menunjukkan tabiat kemanusiaan Tuhan Yesus dan maksudnya adalah bahwa tabiat itulah yang diterima Anak Allah sebagai tabiat (yang kedua) pada kepribadian-Nya yang telah ada dari kekal. Karena itu, dapat dikatakan bahwa Tuhan Yesus berkepribadian satu dan bertabiat dua. Kedua istilah anhypostatos dan enhypostatos tidak boleh dilepaskan satu dari yang lain. Hanya dengan menyebut keduanya sekaligus, kata-kata itu dapat menerangkan keberadaan Tuhan Yesus yang adalah Allah sejati dan manusia sejati. Tidak ada kepribadian tersendiri bagi tabiat kemanusiaan Yesus Kristus, dan tabiat kemanusiaan-Nya itu tidak terlepas dari kepribadian-Nya yang kekal. Jadi, kembali lagi kita mengutip Yohanes 1:14: ”Firman (yang berpribadi) telah menjadi daging.”
Communicatio idiomatum
Dengan melawan ajaran Eutyches, gereja Kristus tidak boleh mengabaikan keterangan lanjutan mengenai kedua tabiat yang rupanya bercampur. Karena: adanya kedua tabiat itu, yang bersatu di dalam satu oknum, yaitu Yesus Kristus, Anak Allah, mengakibatkan beberapa cara komunikasi (hubungan, pergaulan, pertukaran) antara kedua tabiat itu. Biasanya dibedakan empat cara komunikasi:
a. Komunikasi tabiat-tabiat: kadang-kadang sifat tabiat yang satu disebut sebagai sifat Tuhan Yesus (sifat kepribadian-Nya). Lihat misalnya Yohanes 3:13: Tuhan Yesus mengatakan bahwa Anak Manusia telah datang dari surga, padahal kemanusiaan-Nya tidak dibawa dari surga, tetapi diterima dari darah daging Maria. Kisah Para Rasul 20:28 (TL): Jemaat Allah ditebus dengan darah Allah sendiri; padahal darah itu bukan darah Allah melainkan darah Allah yang menjadi manusia. Markus 13:32: Anak Allah tidak tahu tentang hari terakhir, hanya Bapa yang tahu. Padahal, Allah Anak tentu tahu juga. Tetapi, yang berbicara di sini adalah Pengantara kita, yaitu Anak Allah yang menjadi manusia. Bandingkan juga dengan Yohanes 14:28.
b. Komunikasi karunia-karunia Roh: kadang-kadang tabiat kemanusiaan Tuhan Yesus dikaruniai Roh dengan tidak terbatas, seakan-akan Dia hanya Allah. Namun, Tuhan Yesus adalah manusia sejati (Yoh. 3:34).
c. Komunikasi hasil kerja: kadang-kadang hasil pekerjaan Pengantara disebut sebagai hasil kerja Anak Allah. Dalam Roma 5:10 dikatakan bahwa kita diperdamaikan dengan Allah melalui kematian Anak-Nya, padahal: bukan Allah Anak yang mati.
d. Komunikasi penyembahan: kadang-kadang Yesus Kristus selaku Pengantara disembah (Mat 28:17; Why 5:12), walaupun seorang manusia tidak boleh disembah dengan penghormatan yang hanya patut dipersembahkan kepada Allah. Namun, Pengantara kita menerima kehormatan demikian sebab Dia Allah dan manusia yang berpribadi satu.
Tentang Yesus Kristus, gereja mengaku: satu pribadi dengan dua tabiat dan keduanya itu tidak terbagi dan tidak terpisah, tidak bercampur, dan tidak berubah.
Dalam pasal ini perhatian khusus diberikan pada sejarah gereja. Uraian-uraian yang lebih jelas terdapat dalam karangan Hadiwijono ( 309, dst.), karangan Van Niftrik-Boland (bab 12) dan karangan J.P.D Groen (98, dst). Secara global dapat dikatakan bahwa perumusan tentang pokok ”ke-Tritunggal-an Allah” mendahului perumusan tentang kedua tabiat Yesus Kristus. Mengenai pokok yang pertama telah diambil satu keputusan pada Konsili di Nicea (325) sedangkan tentang pokok yang kedua, kesepakatan baru tercapai pada Konsili di Efesus (431) dan Khalcedon (451). Namun, kedua pokok pengajaran tersebut sangat erat kaitannya dan perlu kita ingat kutipan dari karangan Van de Beek, bahwa secara inti, ”ajaran mengenai Trinitas berakar dalam Kristologi.”
Mengenai adopsianisme, tidak dapat disangkal bahwa dalam pembicaraan sehari-hari digunakan istilah-istilah yang sangat mirip dengan itu. Menurut Van de Beek, tokoh-tokoh gereja seperti Agustinus dan Hippolytus kadangkadang mengatakan bahwa Anak Allah menerima manusia. Padahal, mereka bukan penganut adopsianisme .
Begitu juga mengenai anhypostatis dan enhypostatis: dalam konteks tertentu salah satu dari kedua istilah ini lebih diperhatikan. Van de Beek cenderung menekankan anhypostatos, untuk membela bahwa Kristus tanpa dosa. B. Kamphuis rupanya mengedepankan enhypostatos, agar aliran doketisme tidak diikuti. Kamphuis, sesuai dengan ajaran K. Schilder, mempertahankan bahwa tabiat manusiawi yang diterima Kristus tidak boleh disebut sebagai tabiat yang bersifat umum, atau netral, tetapi tabiat yang berkepribadian .
Amat terkenal keempat ungkapan Konsili Khalcedon mengenai kedua tabiat Yesus Kristus (”tidak terbagi, tidak terpisah, tidak berubah, tidak bercampur”). Tetapi, di samping itu Konsili Khalcedon juga merumuskan suatu pengakuan yang lengkap, yang hampir sama dengan pengakuan yang kita kenal sebagai Pengakuan Iman dari Athanasius, dengan bagian kedua yang khusus. (Pengakuan itu sebenarnya bukan dari Athanasius dan bukan juga dari Konsili Khalcedon; tetapi ajarannya sama dengan ajaran Athanasius dan ajaran Konsili tersebut.)
Menyangkut pandangan tentang tabiat Kristus, Eutyches yang berasal dari Aleksandria mengambil posisi yang berbeda dari pelopornya, Cyrillus, maupun guru-guru dari Aleksandria yang lain, dan justru itulah yang menyebabkan perpecahan. Karena meskipun Eutyches dan Nestorius berbeda pendapat tentang kedua tabiat Kristus, dalam mengartikan ”tabiat”, mereka berpendirian sama. Jadi, Eutyches menganggap tabiat seperti di Antiokhia: secara mujarrad (abstrak)– (ke-Allah-an, kemanusiaan), sedangkan di Aleksandria pada umumnya mereka bertitik tolak dari oknum dan kepribadian konkret, yaitu pribadi Yesus Kristus. Mereka pada umumnya menganggap bahwa Kristus bertabiat satu, yaitu Allah yang menjadi manusia, tetapi kata ”tabiat” tidak diartikan mujarrad sebagai jenis ketiga. Hanya saja, karena besarnya pengaruh Eutyches, maka Konsili Khalcedon menolak, baik rumusan yang biasa digunakan di Antiokhia maupun yang dari Aleksandria, sehingga terjadi perpecahan. ”Dengan terpecahnya Gereja Timur itu, gereja mudah dilemahkan dan mudah menjadi sasaran orang Islam pada abad-abad berikutnya,” demikian menurut Van de Beek .
Menurut Wentsel, Kristologi tidak dipertentangkan lagi sejak Konsili besar, baru dipermasalahkan lagi sejak adanya Pencerahan. Tetapi justru hal-hal seperti itu membuat B. Kamphuis mengatakan bahwa perjuangan mengenai Kristologi belum selesai sejak abad pertama, apalagi terjadi perubahan pemikiran yang besar pada tahun 60-an abad ke-20, ”dari atas” menjadi ”dari bawah” .
Barth
Akibat filsafat Pencerahan, pada abad ke-18-20, Tuhan Yesus sering dipandang sebagai manusia saja, dan memang dianggap manusia yang terbaik. Menurut teologi tersebut, cara hidup Tuhan Yesus harus kita ikuti.
Karl Barth tidak demikian. Kristologinya telah kami coraki sebagai Kristologi ”yang dari atas”, dan ia menentang teologi yang berdasarkan pengalaman dan perasaan manusia, seperti dari F. Schleiermacher dalam abad ke-19. Tetapi, telah kita lihat juga bahwa dalam hal itu Barth tidak taat asas.
Berhubungan dengan Kristologi, patut dicatat juga bahwa Karl Barth tidak membedakan dengan teliti antara Allah Bapa, Allah Anak, dan Allah Roh Kudus. Karena itu teologinya bercorak theopaschitisme (Allah yang menderita), bahkan patripassianisme (Allah Bapa yang menderita).
Bultmann
Rudolf Bultmann bertitik tolak dari berita tentang manusia Yesus dari Nazaret. Menurut cerita murid-murid-Nya, Yesus mati di kayu salib. Untuk menggambarkan betapa besarnya pengaruh guru mereka, maka para murid itu membesar-besarkankan cerita tentang kehidupan dan kematian-Nya dengan berita tentang kekekalan-Nya, kelahiran-Nya dari seorang perawan, dan kebangkitan-Nya. Itu tidak lain dari mitos (dongeng). Tugas teologi sekarang ialah mengupas berita Alkitab sampai berita-berita tambahan itu dipisahkan dari sejarah yang sebenarnya. Teologinya dinamakan ’Entmythologisierung’, (bhs. Jerman) yang artinya: pembebasan dari mitos-mitos.
Bonhoeffer
Pada abad ke-20 muncul seorang teolog terkenal, D. Bonhoeffer, yang sangat dikagumi karena ia melawan resim nazi dalam Perang Dunia II, sampai ia dihukum mati. Sebagai seorang yang berasal dari gereja liberal, ia tidak menerima Alkitab sebagai yang benar-benar penyataan Allah di dunia ini. Dia sering menulis tentang inkarnasi, tetapi yang dimaksudkan bukan kejadian satu-satunya bahwa Anak Allah menjadi manusia, melainkan suatu keterikatan Allah pada kenyataan-kenyataan di dunia ini (Kamphuis). Sama seperti Barth, ia makin lama juga makin lebih mengganti pemikiran ”yang dari atas” dengan ”yang dari bawah”, dan memelopori teologi pascabarthianisme (sesudah Barth) yang kembali mendasarkan pikiran pada pengalaman manusia (seperti pada waktu Schleiermacher).
Berkhof
H. Berkhof menolak istilah-istilah: ”oknum”, ”pribadi”, dan ”tabiat”. ”Kita tidak dapat membedakan dua tabiat dalam diri Tuhan Yesus,” katanya. Menurut Berkhof, dalam diri Tuhan Yesus terjadi pertemuan antara Allah dan manusia. Jadi, perjanjian Allah dengan manusia benar-benar terwujud dalam diri Yesus dari Nazaret. Kita diajak untuk dan agar mengikuti ajaran Yesus itu supaya dalam diri kita pun terjadi pertemuan antara Allah dan manusia. Hanya dengan demikian kita menjadi sekutu Allah dan Allah menjadi sekutu kita. Pertemuan itu memang dipersiapkan oleh Allah. Allah yang mengambil prakarsa, seperti nyata dalam diri Yesus dari Nazaret. Sejak semula Allah menghendaki dan mempersiapkan pertemuan yang terjadi di dalam Yesus. Hendaklah pertemuan itu terjadi berulang-ulang dalam kehidupan semua orang Kristen. Yesus dari Nazaret diberi gelar ”Anak Allah” karena dalam dirinya terjadi pertemuan perjanjian yang dikehendaki Allah (dalam hal ini Berkhof mengikuti aliran adopsianisme). Yesus dari Nazaret itu benar-benar dipenuhi dengan karunia Roh Allah, dan semua orang percaya dapat memperoleh pemenuhan demikian itu, sehingga akhirnya dapat terjadi persatuan antara Allah dan manusia, sama seperti persatuan yang diajarkan Eutyches mengenai Yesus Kristus (dalam hal ini Berkhof mengikuti monofisitisme Eutyches, dan teologi Berkhof menjadi panteistis).
Pandangan Berkhof juga menyerupai ajaran F. Schleiermacher (abad ke-19) yang berbicara tentang Kristus sebagai Urbild (wujud asasi). Yang penting bukan Oknum Kristus tetapi apa yang Ilahi di dalam diri Kristus. Dikhawatirkan, Hadiwijono kurang waspada terhadap ancaman teori seperti yang diajarkan Berkhof, melihat ungkapannya bahwa hakikat Allah ialah menjadi sekutu umatnya dan hakikat umatnya menjadi sekutu Allah.
Abineno
J.L.Ch. Abineno dalam bukunya Pokok-pokok penting dari Iman Kristen dengan panjang lebar menerangkan siapakah Kristus. Tetapi, ditekankannya bahwa Yesus hanyalah manusia saja. Dalam buku tersebut juga terus-menerus dinyatakan bahwa Perjanjian Baru dianggap sebagai kesaksian dari manusia, yaitu dari ”Jemaat Purba”. Menurut Abineno, para penginjil berbeda-beda dalam penulisannya dan juga bertentangan (89,90). Metode ”historis-kritis” terus-menerus digunakan (92,93), supaya diadakan rekonstruksi. Abineno mempertahankan, bahwa Yesus memang betul-betul bangkit dari antara orang mati, yaitu hidup kembali. Tetapi, dasarnya tidak begitu kuat karena ia mengakui bahwa banyak pertanyaan tentang hal ini ”tidak dapat kita jawab dengan pasti” (107), walaupun jawabannya tertulis dengan jelas dalam Alkitab. Dengan benar dikatakannya, bahwa kebangkitan Yesus menyatakan bahwa Allah menyetujui segala sesuatu yang telah dikerjakan Yesus dalam hidupnya (110) dan bahwa kebangkitannya adalah jaminan masa depan kita (111, bnd. KH Mg. Ke-17).
Kenaikan Kristus ke surga disangkal Abineno. Ungkapan ”naik ke surga” artinya tidak lain menurut Abineno bahwa Yesus diberikan kemuliaan (112). Kami juga berkeberatan, bahwa Abineno menggantikan istilah ”Yesus: Allah dan manusia” menjadi ”Yesus: Allah di dalam manusia” (115-120). Pengakuan Khalcedon dikritik dan ditolaknya berdasarkan satu pertanyaan yang tidak dapat ia jawab: di pihak manakah terdapat Oknum Yesus? Di pihak sifatnya yang Ilahi atau di pihak yang insani? Padahal pertanyaan itu sudah menyatakan bahwa Abineno tidak menyadari adanya dua tabiat Yesus yang dipersatukan di dalam satu Oknum. Di sini nyata bahwa Abineno hanya mau menerima ajaran berdasarkan apa yang dapat dipahami (116-117).
Dalam membahas nama-nama Tuhan Yesus perlu dibedakan antara nama-nama yang melukiskan pangkat atau jabatan-Nya, seperti: Anak Allah, Pengantara, Anak Domba Allah, Anak Manusia, dan juga nama Kristus, dengan nama diri Yesus: Yesus Kristus, dan juga sapaan: Tuhan.
Anak Allah
Menurut kami lebih baik nama ”Anak Allah” tidak dicantumkan sebagai nama panggilan atau sapaan. Karena Dia tidak pernah dipanggil dengan nama itu dan nama itu tidak pernah menjadi nama diri. Sebab, Dia adalah Anak Allah; bukan hanya bahwa Dia disebut Anak Allah.
Yohanes Pembaptis menantikan seseorang yang lebih besar dibandingkan dengannya, yang akan membaptiskan dengan Roh Kudus (Mat. 3:11, dll.). Yohanes itu menyebut Yesaya 40 menurut Van Bruggen seperti paspor bagi dirinya, dan ternyata Yesaya membicarakan kedatangan Allah sendiri. Kalau Yohanes mengatakan bahwa ia tidak layak untuk membawa alas kakinya (sandalnya) timbul pertanyaan, apakah Allah memakai sandal? Apakah Allah datang seperti seorang manusia? Siapa yang menjawab pertanyaan-pertanyaan itu positif, agaknya mengakui paspor ”Kristus” itu sebagai sah dan mengakui Yesus sebagai Allah.
Seluruh konflik antara orang Yahudi dan Tuhan Yesus adalah menyangkut ke-Allah-an Yesus, bukan mengenai perbedaan pengharapan politik atau masalah sosial.
Pengantara
Kristus adalah Pengantara kita (lih. KH p/j 12-18). Nama pengantara ini berhubungan dengan perjanjian anugerah. Tidak tepat kalau nama itu juga dihubungkan dengan penciptaan, seakan-akan Kristus adalah pengantara yang menghubungkan ciptaan-ciptaan dengan Tuhan Pencipta. Allah memang telah menciptakan segala-galanya dengan Firman-Nya, yaitu melalui AnakNya (Ibr. 1.2; Kol. 1:16; Yoh. 1:1,2). Tetapi dalam karya penciptaan itu, Allah Anak bukan pengantara melainkan Pencipta: Dia menciptakan bersama dengan Allah Bapa dan Allah Roh Kudus. Kata pengantara hanya berlaku jika terdapat dua pihak yang bertentangan, dan yang perlu diperdamaikan. Tetapi, ciptaan-ciptaan Tuhan tidak berlawanan dengan Allah. Ajaran sedemikian adalah gnostis dan dualistis, bukan ajaran Alkitab.
Peringatan untuk membedakan antara penciptaan dan penyelamatan selalu diberikan oleh K.Schilder. Dalam membicarakan oknum dan pekerjaan Kristus, ia selalu mengutamakan jabatan yang diemban Kristus, yaitu menjadi Raja, Imam, dan Nabi. B. Kamphuis mengikuti Schilder.
Baru sesudah manusia jatuh ke dalam dosa dan memberontak terhadap Allah, dibutuhkan seorang pengantara. Bukan saja untuk membimbingnya dan menjadi teladan baginya, melainkan untuk menghadapi Allah, ganti kita sambil membayar utang dosa kita dan mendoakan kita (bnd. KH p/j 49, 60).
Anak Domba Allah
Yohanes Pembaptis menyebut Yesus sebagai Anak domba Allah (Yoh. 1:29, 36). Sebutan itu merupakan lambang, yang jelas sekali, kalau diperhatikan latar belakangnya yaitu upacara-upacara Perjanjian Lama demi penebusan dosa, khususnya anak domba Paskah (Kel. 12) dan kurban penghapus dosa pada Hari Pendamaian Besar (Im. 16). Sebagaimana diterangkan oleh Yohanes Pembaptis sendiri dengan perkataannya: ”Lihatlah Anak Domba Allah, yang menghapus dosa dunia.”
Anak Manusia
Kadang-kadang nama ini dibahas sekaligus dengan ”Anak Allah”, dengan pengertian bahwa nama yang satu menyatakan kemanusiaan Yesus Kristus dan yang lain ke-Allah-an-Nya. Tetapi nama ”Anak Manusia” bukan suatu ungkapan dogmatis untuk menyatakan kemanusiaan Yesus Kristus melainkan nama diri yang hanya digunakan oleh Tuhan Yesus sendiri untuk memperkenalkan diri.
Sebenarnya, dalam bahasa populer yang dipakai pada waktu Tuhan Yesus berada di bumi, yakni bahasa Aram (tidak berbeda jauh dengan bahasa Ibrani), sebutan ”Anak Manusia” tidak mempunyai arti khusus. Artinya tidak lain dari: seorang manusia. Jadi, dengan menyebut dirinya sendiri ”Anak Manusia” saja, Tuhan Yesus memang menyatakan dirinya sebagai seorang manusia biasa. Dengan menyebut nama itu, Tuhan Yesus malah menyembunyikan diri. Dia tidak mau menonjolkan diri. Hanya bagi mereka yang mulai percaya dan yang berpikir lebih jauh sesuai dengan penyataan Allah dalam firman Perjanjian Lama, sudah tampak bahwa Tuhan Yesus menyatakan dirinya sebagai Dia yang kedatangan-Nya yang mulia sebagai seorang Raja telah dinubuatkan oleh Daniel. Karena dalam penglihatannya, Daniel melihat seseorang seperti anak manusia yang datang kepada Allah dan yang kepada-Nya diberi kuasa dan kemuliaan (Dan. 7:13).
J. van Bruggen beranggapan bahwa hubungan dengan Daniel 7 tidak perlu ditekankan, sebab pasal itu tidak mengutamakan kedatangan seorang manusia ke bumi ini, melainkan kepergian seorang manusia kepada Allah (Van Bruggen, 1996).Tekanan yang diberikan Van Bruggen adalah: dengan menyebut diri-Nya seorang Anak Manusia, Tuhan Yesus mengutamakan bahwa Dia, yang sebagai manusia, adalah Anak Allah (bukan anak Yusuf), tetapi juga benar-benar anak seorang manusia (Maria). Orang Yahudi menyindir bahwa Dia hanya seorang manusia, yang mereka kenal sebagai anak seorang tukang kayu. Tuhan Yesus tidak menyangkali keadaan-Nya seperti itu, malahan Dia mau agar diakui bahwa Dia yang adalah Anak Allah juga sungguh-sungguh menjadi manusia. Jadi, dengan nada ironis Dia memang mengakui ungkapan mereka.
Kristus
Arti nama ini: yang diurapi. Dalam bahasa Ibrani: Messias. Perlu kita tinjau dahulu arti upacara pengurapan/perminyakan. Di seluruh wilayah Timur Tengah upacara seperti itu menunjukkan pengangkatan seseorang dalam salah satu tugas. Di daerah itu yang umumnya gersang, kering, karena kekurangan air, para penduduknya sering menggosok tubuhnya dengan minyak untuk disegarkan. Karena itu perminyakan itu dapat dijadikan lambang yang menunjukkan sebuah penguatan. Pada suatu acara pelantikan seorang pejabat tinggi, upacara itu menandakan bahwa orang itu diperlengkapi dengan kemampuan untuk melaksanakan tugas yang baru. Pejabat itu seakan-akan dikukuhkan dalam jabatannya. Pada pelantikan raja-raja dan iman-imam pun juga dilakukan upacara yang sama.
Bagi orang percaya di Israel, pelantikan semacam itu mempunyai arti yang sangat dalam, yaitu bahwa Tuhanlah yang memberi kekuatan dan ketrampilan lewat Roh-Nya yang kudus.
Untuk menunjukkan anak Daud yang dijanjikan sebagai Raja seluruh dunia (2Sam. 7 dan lain-lain) lazim digunakan nama Mesias, yaitu: orang tertentu yang dinanti-nantikan itu yang akan diurapi menjadi Raja damai. Dan juga: bukan saja dinantikan kedatangan seorang Raja damai melainkan juga kedatangan seorang Nabi (Ul. 18:15). Bahkan seorang Nabi yang melebihi Musa dan nabi lain, sebab Nabi ini akan datang untuk menghakimi secara final (tekanan ini ditunjukkan oleh Van Bruggen 1996).
Selanjutnya: segala upacara imamat melambangkan pekerjaan seorang Imam besar yang akan datang untuk mengurbankan dirinya sendiri. Dalam Mazmur 110 dinyanyikan kedatangan Anak Raja Daud yang mulia itu dan tentang Dia dikatakan bahwa Dia sekaligus Imam. Ketika Tuhan Yesus datang, Dia menjabat tugas sebagai seorang Raja, seorang Imam dan seorang Nabi. Dan ketiga jabatan Kristus itu tidak boleh dipisahkan satu dari yang lain. Tidak mungkin dikatakan: pada saat inilah Tuhan Yesus bertindak sebagai Raja atau pada ketika itu hanya sebagai Imam. Tuhan Yesus harus memenuhi ketiga jabatan itu.
Padahal, bagi orang Israel pada masa Perjanjian Lama, justru dilarang untuk merangkap dua atau tiga tugas tersebut (bnd. 2Taw. 26:16-29). Larangan itu barangkali untuk menjaga agar raja-raja tidak menjadi sombong atau akan didewakan, seperti yang terjadi di Babel dan Ur. Namun, Tuhan Yesus harus melaksanakan ketiga tugas sekaligus, seperti Adam di dalam Taman Eden. Hanya Raja Melkisedek (Kej. 14) yang terkenal sebagai raja dan imam. Nama Raja Melkisedek itu tetap termasyhur di Israel dan dengan amat sangat dinantikan, ”menurut peraturan Melkisedek”, yaitu ia yang adalah rajaimam dan langsung ditetapkan oleh Tuhan Allah. Pada waktu Mesias/Kristus, yang sudah begitu lama dinantikan itu, datang kepada umatnya, maka Dia berkata: ”Pada hari ini genaplah nas ini Roh Tuhan ada pada-Ku sewaktu kamu mendengarnya” (Luk. 4:18, 21). Van Bruggen mengatakan, dari Kitabkitab Injil dapat dilihat bahwa secara umum orang Yahudi menantikan Sang Mesias (yang diurapi) dari Allah, anak Daud yang tertentu itu, dan nabi yang tertentu itu. Di samping itu mereka menantikan seorang seperti Elia yang akan datang sebelum Dia. Menurut Van Bruggen, penantian itu tidak pernah dikaitkan dengan rencana dan pengharapan politik. Jadi bukan seorang ratu adil yang dinantikan.
Menurut Van Bruggen, nama ”anak Daud” dan ”Kristus” hampir sama artinya, dan makin lama makin jelas juga bahwa ”Mesias” adalah sama dengan ”nabi itu” yang dinantikan.
Tuhan Yesus diurapi, bukan dengan minyak sebagai lambang Roh Kudus, melainkan dengan Roh Kudus sendiri (Mat. 3:16,17, bnd. KH Mg. Ke-12).
Yesus
Arti nama ini sebenarnya bukan saja ”Juru Selamat” (KH Mg 13), melainkan: Yahwe (Tuhan) yang menyelamatkan. Dan arti kata kerja menyelamatkan dalam Alkitab bukan saja: melepaskan dari salah seorang musuh, atau: membawa ke surga, melainkan: melepaskan segala aspek hidup dari ikatan dosa dan kematian. Kebangkitan daging termasuk keselamatan itu. Nama ini amat indah, karena dalam oknum dan pekerjaan Yesus Kristus, Tuhan Allah sendiri yang benar-benar menyelamatkan manusia.
Nama Yesus itu merupakan singkatan dalam bahasa Yunani dari nama Ibrani, yaitu Yosua. Banyak orang telah diberikan nama Yesus, sementara Tuhan kita berada di bumi. Nama itu umum dipakai. Jadi, dengan menerima suatu nama panggilan yang tidak luar biasa, Tuhan Yesus dijadikan sama dengan saudara-saudara-Nya. Tetapi, arti nama Yesus itu amat dalam dan mereka yang memerhatikan itu, sungguh merasa terhibur. Nama Yesus itu di kemudian hari tidak lagi sering dipakai. Orang-orang Kristen tidak mau menggunakannya, karena mereka mau melindungi nama Juru Selamat mereka. Orang-orang Yahudi juga menolaknya karena mereka membenci nama Yesus.
Tuhan
Dalam Septuaginta, nama Kurios (Tuhan) adalah terjemahan dari nama Yahwe. Dalam Perjanjian Baru, nama itu juga digunakan sebagai nama panggilan dan nama diri Tuhan Yesus. Dalam nama itu tercakup, selain unsur penghormatan, juga bahwa Dia berhak sepenuhnya atas kita karena kita dijadikan milik-Nya karena Kristus telah menebus dosa kita dan telah melepaskan kita dari kuasa Iblis.
Van Genderen mengutamakan bahwa melalui panggilan ”Kurios” gereja mengakui ke-Allah-an Kristus. Elisabet, ibu Yohanes Pembaptis, mengalami pergerakan janin dalam kandungannya ketika Maria, ibu Yesus, masuk ke dalam rumahnya. Dan Elisabet menyambut Maria sebagai ibu dari Tuhannya (Luk.1:41-44)! (Van Bruggen 1993). Zakharia dan Elisabeth merasa bahwa Allah sendiri yang sedang datang (bnd. Luk. 1:66).
Teolog-teolog seperti Van Genderen dan Wentsel menekankan dengan benar bahwa setiap jabatan membutuhkan pengangkatan dan pelantikan. Berarti dengan tepat KH 12 membicarakan pengangkatan oleh Allah sendiri dan pelantikan melalui urapan dengan Roh Kudus. Calvin adalah teolog pertama yang mengutamakan jabatan Kristus yang berjenis tiga itu. Dalam abad ke-3, Eusebius telah merintis tentang hal itu (Van Genderen).
Jabatan Kristus itu berhubungan dengan pelepasan manusia. Dasarnya bukan antropologis (Van Genderen), seakan-akan manusia bekerja dengan akal budi (untuk mengenal Sang Pencipta), batin (untuk menyerahkan diri kepada Pencipta), dan tangan (untuk bekerja dan memerintah untuk menghormati Pencipta).
Yang sangat berpengaruh adalah pandangan W. Bousset, yang mengajarkan bahwa gelar ”Kurios” datang dari mistik Yunani dan baru digunakan dalam jemaat Antiokhia. Tetapi menurut Alkitab, pandangan itu tidak dapat dipertahankan (lih. mis. Mazmur 110). Barangkali pandangan Bousset datang dari praanggapan bahwa terjadi pertentangan antara jemaat Yahudi dan jemaat Yunani (bnd. Wentsel, 298).
J. van Bruggen (Van Bruggen 1996) menekankan bahwa Yohanes 1:14 mengatakan bahwa Firman telah menjadi daging, bukan Anak Allah yang menjadi daging. Menurut dia, nama ”Anak Allah” tidak pernah diberikan kepada Oknum kedua sebelum inkarnasi, tetapi menunjukkan bahwa anak dari Maria itu adalah Allah sendiri. KH 14 berbicara secara dogmatis, dan mengatakan ”bahwa Anak Allah yang kekal itu, yang tetap tinggal Allah sejati dan kekal, telah mengenakan tabiat manusia sejati dari daging dan darah anak dara Maria…”. Menurut kami, lebih tepat kalau pengalimatan KH itu tetap digunakan. Mungkin dapat dikatakan bahwa dalam kebanyakan nas Alkitab yang menyebutkan Anak Allah, yang dimaksudkan memang Yesus Kristus, yaitu firman yang telah menjadi daging. Tetapi dengan melepaskan nama Allah dari Oknum Allah yang kedua maka kita meninggalkan beberapa unsur dogmatis yang sudah lama diakui gereja dan yang juga membantu untuk mengerti kebesaran pekerjaan Tuhan Allah. Antara lain pokok mengenai komunikasi sifat, yang baru dibahas, dan juga ajaran bahwa sifat terpenting Oknum yang kedua adalah filiatio (keberadaan sebagai Anak, yaitu yang memperlihatkan kemuliaan Bapa-Nya dan menjadi gambar Bapa-Nya), sama seperti yang juga diajarkan bahwa sifat utama Roh Kudus adalah Spiratio (keberadaan sebagai Spiritus, yaitu Roh, yang menghembuskan manusia bahkan makhluk lain seperti angin yang bertiup). B. Kamphuis bertanya, ”Mengapa menurut Van Bruggen ke-Allah-an Kristus yang kekal memang dapat dilihat sebagai implikasi dari keberadaan Yesus sebagai anak Maria, dan mengapa tidak demikian dengan keberadaan-Nya sebagai Anak Allah yang kekal?” Lebih baik ke-Anak-an-Nya yang kekal itu juga dilihat sebagai implikasi dari keberadaan Yesus sebagai anak Maria (491).
Taraf kerendahan dan taraf kemuliaan
Telah diuraikan bahwa ”menjadi manusia” tidak dengan sendirinya merupakan penghinaan bagi Yesus Kristus. Sebab sekarang Tuhan Yesus juga adalah manusia dan Dia sekarang berada dalam kemuliaan. Apa yang menjadi penghinaan bagi Yesus adalah bahwa Dia menjadi daging: Dia menerima tabiat kita yang berdosa. Tabiat-Nya, selama Dia berada di bumi, dilemahkan oleh akibat-akibat dosa, sekalipun Dia sendiri tidak pernah berbuat dosa. ”Penyakit kitalah yang ditanggung-Nya, dan kesengsaraan kita yang dipikul-Nya” (Yes. 53:4). ”Ganjaran yang mendatangkan keselamatan bagi kita ditimpakan kepada-Nya” (Yes. 53:5) Dia datang, mengganti kita (Yoh. 10:11,15). Bandingkan juga dengan kata-kata dalam formulir Perjamuan Malam Kudus. Arti penderitaan Yesus Kristus adalah bahwa Dia menanggung murka Allah atas dosa kita (KH Mg. Ke-15). Untuk itu Dia menjadi sama dengan saudarasaudaranya, terkecuali dalam hal dosa. Jadi, untuk itu Dia menerima tabiat manusia yang dicemarkan oleh dosa dan menanggung segala akibat dosa, baik perasaan sakit maupun ketakutan terhadap neraka (Mat. 27:46). Dengan benar KH mengajarkan bahwa Dia menderita, selama Dia berada di bumi, tetapi terutama pada akhir hidup-Nya.
Tatkala Kristus di bumi, kadang-kadang kemuliaan-Nya juga tampak (Mat.3: baptisan; Mat. 17: kemuliaan dinyatakan di atas gunung; juga Yoh. 12:28). Jadi, tidak dapat dikatakan secara mutlak bahwa Tuhan Yesus sampai ke kematian-Nya berada dalam keadaan hina, dan bahwa Dia baru dimuliakan sesudah kebangkitan-Nya.
Kata kerja ”harus”, yang sering dibaca dalam kitab Injil, menunjukkan bahwa penderitaan Kristus datang atas kehendak Allah (Mat. 26:54, Luk. 24:25-27).
Dalam buku-buku dogmatik, sering dibedakan antara taraf kerendahan dan taraf kemuliaan itu (mis. Soedarmo, 147). Pembedaan itu datangnya dari teologi Lutheran, yang cenderung ke monofisitisme. Dalam aliran itu dikatakan bahwa tabiat Yesus Kristus yang bersifat Ilahi-manusiawi makin lama bersifat Ilahi dan kemanusiaannya makin berkurang, khususnya sesudah Dia bangkit.
Memang benar, bahwa sesudah Tuhan Yesus bangkit, segala akibat dosa dijauhkan dari-Nya. Dalam hal itu terdapat perbedaan dengan waktu sebelumnya. Seperti dikatakan dalam Filipi 2:8-11: ”Ia telah merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati.... Itulah sebabnya Allah sangat meninggikan Dia dan mengaruniakan kepada-Nya nama di atas segala nama.” Tetapi pikiran kita terlalu manusiawi, kalau kita berbicara tentang dua taraf. Pekerjaan Kristus dalam kerendahan sama pentingnya dengan pekerjaan-Nya dalam kemuliaan. Justru untuk menderita, Dia datang di dunia (Luk. 24:26). Dan sampai selama-lamanya Dia akan dinamai: Anak Domba. Bukankah nama itu selalu mengingatkan pengurbanan-Nya bagi kita?
Semakin besar, semakin menderita
Setelah Tuhan Yesus bertumbuh semakin dewasa Dia lebih menderita, pada waktu mulai mengerti dan melihat dosa serta akibat-akibat dosa. Ingat pada sejarah Tuhan Yesus di Bait Suci pada usia 12 tahun. Dia kecewa terhadap Yusuf dan Maria: ”Tidakkah kamu tahu bahwa Aku harus berada di dalam rumah Bapa-Ku?” (Luk. 2:49).
Dapat kita katakan bahwa Dia ”mulai mengerti”, seakan-akan ada perkembangan seperti pada anak-anak lain? Memang, kita dapat mengatakan demikian. Beberapa kali Alkitab kemukakan bahwa ”Ia bertambah besar dan penuh hikmat” (Luk. 2:40, 52). Jadi, ada perkembangan pada-Nya, sama seperti pada semua anak. Juga dalam hal itu Dia menjadi sama dengan saudarasaudara-Nya, kecuali dalam hal dosa.
Apakah Roh Kudus tidak selalu memberikan hikmat dan pengertian sepenuhnya kepada-Nya, karena Yesus Kristus Allah sejati? Roh Kudus, yang mengerjakan mukjizat bahwa Anak Allah menjadi manusia di dalam kandungan Maria, juga mengerjakan hal-hal yang mustahil pada hari-hari kemudian: pada waktu masih kecil, Dia berkembang dan bertambah besar sama seperti anak-anak lain, meskipun Dia adalah Anak Allah. Kehamilan Maria dan kelahiran Tuhan Yesus terjadi seperti biasa, begitu juga perkembangan-Nya: dan semuanya itu harus kita anggap sebagai hal-hal yang mustahil. Justru keadaan Tuhan Yesus sebagai Allah sejati dan sekaligus manusia sejati, itu yang merupakan mukjizat yang amat besar. Betapa mulia segala pekerjaan Allah dalam kehidupan Yesus Kristus. Walaupun Dia benar-benar menderita, Dia tidak pernah menanggalkan ke-Allah-an-Nya. Pekerjaan Allah Tritunggal dalam kehidupan Tuhan Yesus amat mulia. Semua itu demi kelepasan kita.
Untuk tujuan itu juga Roh Kudus bukan roh jahat membawa Tuhan Yesus ke padang gurun untuk dicobai Iblis (Luk. 4:2). Mengenai pencobaan dalam padang gurun, P. Yancey berkata: Dalam Eden diperkarakan apakah manusia dapat menjadi setara dengan Allah. Dalam padang gurun Iblis menanyakan apakah Anak Allah benar-benar sama dengan seorang manusia. Iblis menawarkan kepada Tuhan Yesus untuk menerima segala keuntungan yang timbul dari kemanusiaan-Nya, tetapi tidak kerugiannya (Yancey 1995). Nyatalah penderitaan Tuhan Yesus, bertambah payah pada akhir hidupNya: Dia dikhianati Yudas, disangkali Petrus, diadili dengan tidak jujur oleh Mahkamah Agung, oleh Herodes dan oleh Pilatus. Dia disiksa dengan amat mengerikan: disesah, dipaku di atas kayu salib dibiarkan tergantung di bawah terik matahari sampai mati. Tetapi, yang paling berat ialah bahwa Dia ditinggalkan Allah. Penderitaan bukan saja dari pihak manusia, tetapi juga dari pihak Allah. Dan meskipun manusia yang membuat kejahatan terhadap Yesus itu bertanggung jawab penuh, namun dalam penderitaan Yesus Kristus, terjadilah kehendak Allah (Kis. 2:23; 4:28).
Mengapa Tuhan Yesus sering melarang para murid-Nya untuk memberitahukan siapakah Dia? Keterangan yang umum ialah bahwa Tuhan Yesus hendak menjaga agar orang banyak yang berbondong-bondong mengikuti-Nya datang dengan alasan yang tidak benar. Tuhan Yesus ingin supaya mereka yang mengikuti-Nya percaya dan bukan melihat Dia sebagai pembuat mukjizat atau penghulu perang melawan orang Romawi. Wentsel mengatakan bahwa larangan itu sesuai dengan program Tuhan Yesus untuk menderita. Sama seperti hamba Allah dalam Yesaya 53, Dia datang dengan kerendahan hati dan bukan untuk menyerukan nama-Nya. Van Bruggen menekankan bahwa sebenarnya Yesus tidak menyembunyikan diri, dan terus terang mengatakan bahwa Dia adalah Mesias, hanya saja Dia tidak membesarbesarkan nama-Nya, malahan Dia meminta supaya orang mencari Dia dan ingin tahu siapakah Dia (Van Bruggen 1996). Larangan seperti dalam Matius 16 :20 dapat diterangkan, karena waktunya sama sekali tidak cocok untuk keluar memproklamasikan Kristus. Pertama-tama, mereka sendiri harus diajar mengenai penderitaan Kristus. Sedangkan pada kesempatan lain, Tuhan Yesus tidak mau bahwa orang yang dikuasai roh-roh jahat memproklamasikan Dia dengan cara takut dan gentar. Dia berkehendak supaya orang Israel menerima-Nya dengan pengakuan yang penuh kepercayaan (Mrk. 1:24, 5:7).
Menderita di bawah pemerintahan Pontius
Pilatus
Mengapa Tuhan Yesus menderita di bawah pemerintahan Pontius Pilatus? Mengapa hal itu dicantumkan secara khusus dalam Pengakuan Iman Rasuli? Apakah Mahkamah Agung tidak dapat menjatuhkan vonis hukuman mati? Dalam peristiwa Stefanus jelaslah, orang-orang Yahudi sebenarnya dapat melakukan. Tetapi, penghukuman mati seperti yang dilaksanakan oleh orang Yahudi ialah melempari terhukum dengan batu. Dan mengenai Yesus Kristus, para pemimpin Yahudi ingin agar Dia akan dihukum sebagai seorang penjahat yang amat berbahaya. Mereka ingin agar Dia disalibkan dan untuk itulah mereka membutuhkan tangan orang Romawi. Bangsa penjajah itu melaksanakan hukuman yang mengerikan itu hanya kepada orang-orang dari bangsa jajahan, bukan kepada warga negara Romawi. Dan melalui rancangan jahat serta permainan busuk orang-orang Yahudi, maka genaplah rencana Allah bahwa Yesus akan digantung sebagai seorang yang terkutuk (lih. Ul. 21:23; Gal. 3:13).
Disalibkan
Penyaliban bukan pelaksanaan hukuman cara Yahudi. Mereka itu hanya menggantung mayat penjahat yang telah dilempari dengan batu, untuk menunjukkan bahwa ia adalah orang yang terkutuk. Penggantungan itu berarti: ”kami manusia telah melaksanakan hukuman sedapat mungkin, kiranya Tuhan akan menghukum orang ini dengan hukuman kekal.” Karena itu, mayat digantung antara bumi dan langit. Tetapi, Tuhan Yesus telah menjadi tontonan kutuk Allah waktu Dia masih hidup, di atas kayu salib. Sesuai dengan kehendak Allah, Dia mengalami kematian kekal, kutuk dan murka Allah pada waktu Dia ditinggalkan Allah. Sekalipun Pilatus menyatakan bahwa tidak ada kesalahan pada Yesus (Yoh. 19:4), namun Dia diserahkannya untuk disalibkan. Jadi, nama Pontius Pilatus selalu mengingatkan kita bahwa Tuhan Yesus secara resmi dihukum, walaupun tidak bersalah.
Kenyataan itulah yang menjelaskan kepada kita bahwa Dia menderita bagi kita, agar kita luput dari hukuman kekal, yang pasti dan resmi akan dikenakan kepada semua orang yang tidak menerima Yesus Kristus sebagai Pengantara dan Juru Selamat.
Van Genderen memang membedakan antara pekerjaan Kristus di dalam kerendahan dan di dalam kemuliaan, tetapi ia juga menegaskan bahwa Kristus adalah Raja, Imam, dan Nabi dalam kedua taraf itu. Kedua keadaan itu, menurut Van Genderen, menunjukkan status hukum.Van Genderen juga mengakui bahwa asalnya adalah ajaran Lutheran. Ilmuwan seperti Barth dan Bultmann menyangkal kedua taraf itu.
Kematian Yesus
Kematian Tuhan Yesus bukan nasib yang tidak dapat dihindarkan. Tuhan Yesus sendiri yang menyerahkan nyawa-Nya (Luk. 23:46) dan dengan penuh kesadaran Dia taat sampai mati (Flp. 2:8). Kematian orang lain berbeda dengan itu karena mereka tidak dapat mengelakkan diri dari maut. Tuhan Yesus sebenarnya bisa, tetapi Dia menolak meluputkan diri, dan justru karena itu Dia menang. Dengan penuh kerelaan hati Dia mati untuk menanggung hukuman kita (Kej. 2:17; lih. Yoh. 10:17, 18).
Sebelum Tuhan Yesus wafat, yaitu sebelum Dia mengalami apa yang disebut ”kematian pertama”, Dia telah mengalami ”kematian kedua” (Why. 20:6). Yang dimaksud dengan kematian pertama adalah kematian badani, yaitu meninggal dunia, sedangkan kematian yang kedua adalah hukuman kekal di neraka, tempat di mana orang ditinggalkan Allah sama sekali untuk selama-lamanya.
Mengapa Tuhan Yesus mengalami urutan seperti itu, yang terbalik dari hukuman yang biasanya dikenakan kepada manusia yang berdosa? Seharusnya Dia menanggung hukuman yang terberat itu (hukuman neraka) dengan sepenuh-penuhnya, seperti yang akan diderita oleh orang durhaka setelah hari kiamat, waktu mereka akan dibuang ke dalam neraka, baik tubuh maupun jiwa. Kristus pun mengalami hukuman neraka itu, baik atas tubuh-Nya maupun atas jiwa-Nya, karena selama Dia masih hidup, Dia ditinggalkan Allah, selama tiga jam kegelapan, dan pada waktu itulah Dia mengalami penderitaan hukuman neraka. Sesudah itu Dia mati, yaitu juga terkena ”kematian pertama”, dan kematian itu juga termasuk hukuman yang ditentukan Allah bagi manusia berdosa (Kej. 2:17; Rm. 6:23: ”Sebab upah dosa ialah maut; tetapi karunia Allah ialah hidup yang kekal dalam Kristus Yesus, Tuhan kita”). Sesaat sebelum Dia mati, Tuhan Yesus berseru: ”Sudah selesai”. Berarti bahwa Dia sudah taat sampai mati. Kematian yang menyusul kemudian termasuk hukuman yang ditentukan Allah.
KH Mg. Ke-16 menerangkan hal kematian Yesus Kristus. Yang amat menghibur adalah bagian yang tertera dalam p/j 42: ”Mengapa kita juga harus mati ?” (bnd. Flp. 1:21, 23). Oleh kematian Kristus, manusia lama kita juga mati, seperti yang ditandai dalam baptisan (Rm. 6:3-4). Dan oleh kematian yang diperoleh-Nya, merupakan Roh yang menghidupkan bagi kita (bnd. Tata cara Perjamuan, dalam Van den End 2004, 471).
Tuhan Yesus dikuburkan
Sama seperti Tuhan Yesus yang dipertontonkan selaku orang yang terkutuk ketika Dia disalibkan, begitu juga Dia ditunjukkan sebagai orang yang sungguhsungguh mati pada waktu Dia dikuburkan. Penguburannya merupakan pembuktian bahwa Dia telah mati. Dan juga: penguburan termasuk hukuman yang ditanggung-Nya bagi kita, yaitu bahwa ”kita debu dan kembali menjadi debu” (bnd. Kej. 3:19). Dalam segala hal Dia disamakan dengan saudarasaudaranya, kecuali dalam hal dosa. Karena Yesus Kristus telah dikuburkan, maka kengerian kubur telah dihilangkan bagi kita yang percaya. Kubur telah menjadi tempat persemaian bibit, menantikan hari kebangkitan daging (I Kor. 15:35-44).
Turun ke dalam kerajaan maut (descensus ad inferos)
Terakhir, perlu dibahas pasal Pengakuan Iman Rasuli bahwa Kristus turun ke dalam kerajaan maut. Dalam edaran-edaran Pengakuan Iman Rasuli yang pertama, pasal ini belum dimuat (Groen, 66). Kemudian pasal ini dimasukkan, barangkali dengan maksud untuk memperkuat berita tentang penguburan Tuhan Yesus. Dia sungguh-sungguh masuk ke dunia orang mati, tempat kebinasaan, seperti semua orang yang dikuburkan. Tetapi pada abad-abad berikut, gereja Katolik Roma mengajarkan bahwa jiwa-jiwa orang percaya dari masa PL tidak langsung diangkat ke surga, tetapi dimasukkan dahulu ke dalam suatu ruang tunggu, sampai hari Tuhan Yesus mati. Dan pada hari kematianNya, menurut KR, pada waktu tubuh Tuhan Yesus dikuburkan, jiwa-Nya turun ke ruang tunggu itu dan di sana Dia mengumumkan kemenangan-Nya atas maut, baru sesudah itu Dia membawa jiwa orang-orang PL itu ke surga. Dalam banyak buku dogmatik yang diedarkan di Indonesia sekarang, ruang tunggu itu disebut ”syeool” sesuai dengan satu kata dalam bahasa Ibrani, atau ”hades”, bahasa Yunani. Tetapi syeool tidak lain dari dunia orang mati, dalam arti: kubur, begitu juga hades (bnd. Bab 10).
Calvin dan Katekismus Heidelberg menerangkan pasal Pengakuan Iman Rasuli ini secara berbeda. Luther mendekati tafsiran KR, tetapi penafsiran Calvin tidak seperti itu, dan juga tidak kembali ke pandangan dan maksud yang semula, yaitu bahwa ”turun ke dalam kerajaan maut” merupakan tambahan pada pasal: ”dikuburkan”. Ajaran Calvin dan KH adalah bahwa Kristus menderita siksaan neraka, khususnya ketika Dia disalibkan dan ditinggalkan Allah (KH p/j. 44). Timbul pertanyaan, mengapa pasal ini baru disebut sesudah pasal mengenai penguburan. Kalau ada hubungannya dengan penderitaan Kristus, mengapa tidak disambung dengan pasal itu, sesuai dengan urutan kejadiannya (kronologi)? Jawaban Calvin ialah bahwa diucapkan dahulu apa yang terjadi pada tubuh Kristus (sampai dengan penguburan-Nya), baru sesudah itu dinyatakan penderitaan jiwa-Nya (dalam pasal tentang ”turun ke dalam kerajaan maut”).
Tafsiran Calvin dan KH menurut kami sesuai dengan ajaran Alkitab, berbeda dengan tafsiran KR. Tetapi maksud para penyusun Pengakuan Iman Rasuli barangkali berbeda dengan keterangan Calvin, karena mereka bermaksud untuk melukiskan kubur.
Dalam Alkitab tidak dikatakan bahwa Tuhan Yesus pernah turun ke neraka. Apa yang dimaksudkan dalam 1 Petrus 3:19 (kata ”pergi”) adalah kenaikan-Nya ke surga (lih. ay. 22). Kenyataan bahwa Tuhan Yesus naik ke surga merupakan berita bagi orang-orang durhaka di neraka. Suatu berita buruk, sebab kenaikan Tuhan Yesus berarti bahwa Dia telah naik takhta dari mana Dia akan datang untuk menghakimi orang yang hidup dan yang mati. Secara khusus disebutkan orang-orang durhaka dari masa Nuh, sebab kedurhakaan orang-orang itu sangat terkenal. Dan sama seperti air bah datang untuk menghukumkan orang durhaka itu, begitu juga pada hari kiamat, orang-orang itu akan dihukum tanpa kecuali.
Apalagi, air bah juga melambangkan baptisan dan justru pokok itulah yang dibahas dalam Surat Petrus itu (bnd. Bab 10).
Van de Beek membahas ”descensus ad inferos” dalam bagian yang sama dengan kebangkitan (160). Karena dalam neraka, Kristus memberitakan Injil. Apalagi, Kristus sendiri yang memikul kebinasaan itu dan berkuasa atasnya. Sesudah semua selesai, Kristus dapat memasuki wilayah raja kegelapan dan memberitakan pelepasan kepada mereka yang terikat. Pandangan Van de Beek dalam hal ini mirip dengan ajaran KR dan ajaran Gereja Lutheran. Hanya saja, dengan demikian Van de Beek mengatakan bahwa mereka yang telah mati dapat dilepaskan. Dan mungkin keyakinan ini juga bersangkut paut dengan pandangan Van de Beek mengenai pendamaian umum.
Satu keterangan yang bagus tentang pokok ini terdapat dalam buku Hadiwijono, antara lain pembahasan 1 Petrus 3:19.
Alkitab mengatakan bahwa Tuhan Yesus bangkit (lih. mis. Yoh. 20:9), tetapi juga bahwa Dia dibangkitkan oleh Bapa-Nya (lih. mis. Rm. 4:24, 1 Kor. 15:20). Gereja yang mengakui ke-Tritunggal-an Allah tidak menganggap sulit untuk menerangkan ini: Allah Bapa membangkitkan Anak-Nya, tetapi Anak itu sendiri juga adalah Allah sejati dan dapat bangkit. Betapa pentingnya kebangkitan Yesus Kristus untuk menguatkan iman kita, dijelaskan oleh Paulus dalam 1 Korintus 15:17: ”Jika Kristus tidak dibangkitkan, maka siasialah kepercayaan kamu”.
Pada hari kebangkitan Tuhan, Maria Magdalena melihat kubur yang terbuka, dan ia menyangka bahwa jenazah Kristus dicuri orang. Yohanes datang memeriksa dan menyangka bahwa mayat itu masih ada, sebab kain kafan terletak di tanah, berarti: mayat yang dibungkus dalam kain itu, bersama minyak dan rempah-rempah, pasti masih ada. Karena kalau orang datang mencuri jenazah, tentu jenazah itu dibawa dengan kain yang kafan yang membungkusnya. Baru setelah Petrus masuk ke dalam kubur dan melihat kain peluh yang menutupi kepala agak di samping dan sudah tergulung. Kemudian Yohanes juga masuk dan percaya: Tuhan bangkit, dengan kuatkuasa dan secara mulia. Kain kafan itu tidak terbuang, tetapi masih seperti membungkus jenazah Tuhan Yesus. Betapa besar kemuliaan-Nya (Yoh. 20:110, sesuai dengan Van Bruggen 1987).
Murid-murid lain baru kemudian menjadi percaya, dan selama 40 hari setelah Dia bangkit, Yesus selalu membuktikan bahwa Dia hidup, supaya para murid dapat mengabarkan berita tentang hal itu kepada segala bangsa. Para murid menjadi saksi mata.
Penyangkalan kebangkitan yang serius terlihat di jemaat Korintus.
Mereka beranggapan bahwa kebangkitan rohani adalah yang terpenting, yaitu perubahan dari manusia yang lama menjadi manusia yang baru. Tetapi Paulus menegaskan bahwa ia menunjukkan kebangkitan badani (1Kor. 15:14-20), bahkan kata ”tubuh rohani” benar-benar dimaksudkan untuk menunjukkan satu tubuh, bukan satu arwah.
Menurut KH Mg. Ke-17, kebangkitan Tuhan Yesus pertama merupakan tanda kemenangan atas maut. Dia memperoleh hidup selaku berkat perjanjian, sesudah Dia melunasi utang dosa kita. Sebab kematian adalah hukuman perjanjian (bnd. Rm. 4:24).
Kedua, kebangkitan Tuhan Yesus juga merupakan taruhan dan jaminan kebangkitan kita dan pembaruan seluruh alam, yang sampai sekarang ditimpa oleh akibat-akibat dosa, seperti kesia-siaan, penyakit, dan kematian (Rm. 8:19; 1Kor. 15:14, 20,21).
Ketiga, kebangkitan Kristus mengerjakan kebangkitan manusia baru dalam diri kita oleh kuasa Roh yang diperoleh Kristus bagi kita (Rm. 6:4; Ef. 2:6).
Pandangan penafsir modern seperti R.Bultmann tentang kebangkitan Tuhan Yesus telah disebutkan dalam 5.8. Melalui pandangan-pandangan seperti itu, jemaat Kristen mati perlahan-lahan: jadi sia-sialah iman kita kalau Kristus tidak benar-benar bangkit.
Sejajar dengan pengajaran tentang kebangkitan, maka tentang kenaikan Kristus juga dapat dikatakan: Yesus naik ke surga, dan: bahwa Dia dinaikkan... oleh Bapa-Nya, atau terangkat (Kis. 1:9). Kenaikan-Nya merupakan perpisahan, namun perpisahan yang menggembirakan. Kesan terakhir yang diperoleh para murid ialah bahwa Dia naik seperti seorang Imam Besar yang mengangkat tangan untuk memberkati umat Tuhan (Luk. 24:51). Kita sekarang tetap berada di bawah perlindungan dan berkat Yesus Kristus: ”Ketahuilah, Aku menyertai kamu senantiasa sampai akhir zaman” (Mat. 28:20).
Kenaikan Kristus mengawali suatu masa baru: Kristus pergi untuk menyediakan tempat bagi kita (Yoh. 14:2). Mulai dari saat kenaikan-Nya, di bumi ini telah berlangsung masa pemerintahan selama seribu tahun, seperti yang akan diuraikan dalam Bab 10, berdasarkan Wahyu 12 dan 20.
Kenaikan Kristus membuka jalan bagi kedatangan Roh Kudus (Yoh. 16:7). Roh itu memimpin Gereja Kristus pada masa seribu tahun itu. Masa itu dapat disebut juga: masa pekabaran Injil. Kita disertai Kristus (Mat. 28:20) karena kita dipimpin oleh Roh Kristus. Bukan karena kita disertai oleh kemanusiaan Yesus Kristus yang diper-Allah-kan dan mahahadir, seperti yang diajarkan oleh Gereja Lutheran.
Sebelum Anak Allah menjadi manusia, Dia adalah logos asarkos. Sesudah itu Kristus adalah logos ensarkos untuk selama-lamanya. Logos ensarkos berarti Firman yang telah menjadi daging. Setelah kebangkitan, daging Kristus dipermuliakan dan tidak lagi di bawah kuasa akibat-akibat dosa. Namun, Dia tetap manusia sejati, di surga dan juga nanti di bumi baru. Jadi, sekarang di surga telah ada seorang manusia lengkap, bukan saja jiwa tetapi juga tubuh. Manusia itu adalah Yesus Kristus, sebagai petaruh bahwa nanti semua tubuh orang-orang percaya akan dibangkitkan/diperbarui untuk hidup di bumi baru.
Jiwa orang-orang percaya segera diangkat ke surga, pada waktu mereka meninggal. Tubuh mereka masih di dalam kubur, sampai kedatangan Yesus Kristus. Tetapi, tubuh Tuhan Yesus telah berada di tempat yang termulia!
Sebagaimana Dia sudah pergi, yaitu sebagai manusia yang telah dimuliakan, begitu juga Dia akan datang kembali (Kis. 1:11).
Di surga Kristus mendoakan kita, sebagai seorang Imam Besar yang turut merasakan kelemahan-kelemahan kita, karena ”sama seperti kita, Ia telah dicobai, hanya saja Ia tidak berbuat dosa” (Ibr. 4:15). Hari kenaikan adalah hari kemenangan bagi Tuhan Yesus, karena Dia naik ke takhta-Nya. Dia naik sebagai Raja-Imam, dan menggenapi Mazmur 110, satu nubuat langsung tentang Yesus Kristus. Dia duduk di sebelah kanan Allah Bapa, di tempat yang tertinggi (Mat. 28:18: segala kuasa di bumi dan di surga telah diberikan kepada Yesus Kristus, Pengantara kita).
Saat Tuhan Yesus naik, ada awan yang menutupi-Nya dari pandangan murid-murid (Kis. 1). Awan itu adalah tanda kemuliaan Tuhan Allah yang datang menyambut Anak-Nya (Luk. 9:34-35; bnd. juga Kel. 13:21; 40:3438; 1Raj. 8:10-11).
Mazmur 47 dan 68, mengenai pengangkutan tabut ke Yerusalem, adalah nubuat tentang kenaikan Yesus Kristus, tetapi bukan secara langsung seperti dalam Mazmur 110 (bnd. Ef. 4:8; lbr. 1:13). Tabut perjanjian adalah takhta Allah di tengah-tengah Israel, dan ketika dibawa ke Yerusalem melalui jalan yang mendaki, dikatakan bahwa Allah yang naik.
Di Yerusalem juga ada takhta Raja Daud. Tetapi Tuhan Yesus sebagai keturunan Daud, akan menduduki takhta itu bukan di Yerusalem tetapi di surga. Sebagai Raja, Tuhan Yesus akan duduk di atas takhta Daud untuk memerintah seluruh dunia dan khususnya gereja-Nya. Dahulu Allah bersemayam di atas tabut perjanjian. Sekarang takhta-Nya didirikan di surga, yang di dalamnya Tuhan Yesus duduk, di sebelah kanan Bapa-Nya. Begitulah tergenapi nubuat bahwa Kerajaan Daud tidak akan berkesudahan (Luk. 1:33).
Kedatangan Tuhan Yesus untuk menghakimi orang yang hidup dan yang mati. Pokok ini akan dibicarakan dalam Bab 10. Keterangan singkat diberikan dalam KH Mg 19.
Sangat sulit memahami nas 1 Korintus 15 bahwa Kristus akan menyerahkan kerajaan-Nya kepada Bapa. Ada penafsir yang mengatakan bahwa pada hari itu tugas Kristus sebagai Pengantara selesai. Kami sependapat dengan itu, juga bila dilihat bahwa Kristus dalam 1 Korintus 15 tergambar sebagai Adam akhir. Tetapi, kami juga mengikuti penafsir yang berkata bahwa memang pendamaian telah tercapai, tetapi bahwa Kristus sebagai Pengantara tetap membagi-bagikan keselamatan yang memberi corak persekutuan orang kudus di bumi baru (bnd. Van Genderen, 467,468).
Doa gereja Kristus adalah: ”Marilah!” (Why. 22:17). ”Maranata!”: Tuhan, datanglah! (1Kor. 16:22).
Dalam bab 19, Van Niftrik-Boland mengatakan bahwa perkataan ”kenaikan ke surga” mengandung satu tanda, yaitu bahwa Yesus beralih dari hidup di bumi ini ke hidup-Nya di sisi Allah. Yang dibicarakan dalam pengakuan tentang kenaikan ialah cara hidup yang baru (293/4). Tetapi, bukan itu yang dimaksud. Sebab ”surga” adalah tempat tertentu, bukan suatu keadaan saja. Walaupun surga itu tidak dapat dijangkau oleh kendaraan manusia apa pun, dan tidak dapat diukur atau diperkirakan tempatnya dengan alat pengukur kita, namun surga itu benar-benar suatu tempat. Tuhan Allah tidak terikat pada ukuranukuran seperti yang biasa di bumi.
Pekerjaan Yesus Kristus bersama Roh-Nya untuk menyelamatkan manusia akan dibahas lebih lengkap dalam Bab 7 tentang soteriologi. Berikut ini kami hanya membahas beberapa unsur dari pekerjaan itu yang langsung terkait dengan kedatangan Anak Allah ke dalam dunia ini.
Cur deus homo?
Mengapa Anak Allah menjadi manusia (Cur deus homo)? Pertanyaan itu dijawab dengan jelas dalam KH p/j 15,16,17, yang menyatakan: ”Perlu sekali Pengantara kita yang adalah Allah sejati dan manusia sejati.” Dalam hal ini pengajaran KH sering dikritik. Dikatakan bahwa oleh pengajaran tersebut gereja merumuskan suatu persyaratan untuk Allah dan untuk logika manusia, karena dikatakan bahwa Anak Allah harus menjadi manusia. Tetapi kata ”harus”
itu bukan berdasarkan pertimbangan logis, melainkan berdasarkan penyataan Allah dalam firman-Nya.
Pada Abad Pertengahan, pokok pendamaian mendapat tekanan sepenuhnya dalam gereja di Eropa Barat. Hanya saja dalam pengajaran itu, sepertinya gereja membandingkan Allah dengan seorang hakim di dunia. Padahal: pertimbangan dan pikiran Allah maupun tindakan-Nya tidak sama dengan pikiran dan tindakan manusia. Murka Allah tidak boleh disamakan dengan amarah seorang manusia yang merasa dirugikan dan menuntut pembalasan atau tebusan. Anselmus dari Canterbury, seorang pengajar dari Abad Pertengahan yang sangat terkenal, mengarang buku berjudul Cur deus homo ’Mengapa Allah menjadi manusia?’ Anselmus hendak membuktikan bahwa inkarnasi perlu. Tetapi, bahwa Allah harus menjadi manusia, hal itu hanya dapat diketahui dari Alkitab (lih. Ibr. 2:17: ”Ia harus disamakan dengan saudara-saudara-Nya, supaya Ia menjadi Imam Besar....” dan Ibr. 7:26: ”Sebab Imam Besar yang demikianlah yang kita perlukan...”).
Jika ayat-ayat dalam Surat Ibrani itu diteliti, maka tampak bahwa penulisnya mengemukakan alasan-alasan tertentu. Bukan saja untuk membuktikan bahwa Allah harus menjadi manusia, tetapi lebih dari itu, untuk menjelaskan bahwa kita membutuhkan seorang Imam Besar Agung seperti Kristus. Ungkapan itulah yang melampaui perkataan ”menjadi manusia”.
Apalagi, penulis surat itu tidak memandang dunia sebagaimana dari sudut pandang Tuhan Allah. Cara berpikir penulis itu ialah berdasarkan kenyataan bahwa manusia jatuh ke dalam dosa dan membutuhkan seorang Imam Besar Agung yang menebus kita dengan darah-Nya dan selalu mendoakan kita. Kadang-kadang terdengar tuduhan seakan-akan KH Mg. Ke-6 itu mengikuti cara berpikir Anselmus. Namun menurut kami, KH tidak menyimpang dari berita Alkitab karena tidak hendak mengemukakan alasan- alasan secara manusia, tetapi hendak mengikuti ajaran Alkitab.
Selain itu, pada Abad Pertengahan juga terdengar adanya pandangan tentang pendamaian yang berbeda sekali dengan ajaran Anselmus. Malahan, pandangan yang dimaksud itu berpengaruh sampai sekarang dalam teologi humanistis dan modern. Isi singkatnya adalah Allah tidak berkenan pada penderitaan Anak-Nya dan tidak menuntut itu sebagai tebusan untuk dosa manusia. Pekerjaan Kristus menurut pandangan itu tidak lain dan tidak bukan adalah menyatakan betapa besar kasih Allah. Dan penderitaan Kristus itu semata-mata karena kejahatan manusia, dan tidak ada sangkutpautnya dengan rencana dan kehendak Allah (bertentangan dengan mis. Kis. 3:18; 4:28). Pengajaran seperti itu, pada Abad Pertengahan disebarkan oleh Abelardus.
Pekerjaan Kristus yang aktif dan pasif?
Sering dibedakan antara pekerjaan Kristus ”yang pasif’” dan ”yang aktif ”. Yang dimaksudkan dengan pekerjaan-Nya yang pasif adalah penderitaan dan kematian-Nya, sedangkan maksud dari pekerjaan aktif adalah segala hal yang dilakukan Kristus dalam menaati hukum Taurat, termasuk membantu orang sakit dan lemah, mukjizat-mukjizat dan perkataan-perkataan-Nya. Menurut kami, untuk menunjukkan kedua aspek itu, lebih baik kalau kita berbicara tentang ”ketaatan Tuhan Yesus”, yaitu baik yang disebut pekerjaan pasif maupun pekerjaan aktif. Keduanya tercakup dalam ungkapan ”ketaatan” (lih. Flp. 2:8: ”taat sampai mati”). Dan keduanya itu tidak boleh dipisahkan. Karena, dalam hal-hal yang bagaimana Tuhan Yesus harus taat? Pertama, bahwa Dia, sama seperti semua manusia, harus mentaati segala perintah Allah. Andaikata Tuhan Yesus tidak taat, tidak mungkin Dia menjadi pengantara yang sempurna. Kedua: bahwa Dia mati untuk kita.
Kalau di atas dikatakan bahwa Kristus sebagai seorang manusia harus taat pada segala perintah Allah, kita teringat akan perkataan Tuhan Yesus sendiri dalam khotbah di bukit, ”Janganlah kamu menyangka bahwa Aku datang untuk meniadakan hukum Taurat atau kitab para nabi. Aku datang bukan untuk meniadakannya, melainkan untuk menggenapinya” (Mat. 5:17).
Ungkapan ”menggenapi hukum Taurat” mengandung dua unsur:
1. Segala lambang hukum Taurat telah mencapai tujuannya dalam pekerjaan Tuhan Yesus.
2. Tuhan Yesus memenuhi tuntutan Taurat itu dengan sempurna.
Sebagai pengganti kita, Tuhan Yesus harus dihukum dengan hukuman mati, dan Dia tidak boleh menghindar dari sengsara itu. Bandingkan perkataan Tuhan Yesus di Getsemani ketika melarang murid-murid-Nya menghunus pedang: ”Jika begitu, bagaimanakah akan digenapi yang tertulis dalam Kitab Suci, yang mengatakan bahwa harus terjadi demikian?” (Mat. 26:54). Dan firman Tuhan sendiri, sesudah Dia bangkit: ”Bukankah Mesias harus menderita semuanya itu untuk masuk ke dalam kemuliaan-Nya?” (Luk. 24:26).
Teolog Reformed seperti Van Bruggen dan Kamphuis tidak berkeberatan terhadap pandangan Anselmus, dan mereka mencoba mengertinya dalam konteks abad pertengahan. Tetapi, Van de Beek melihat bahwa dalam teologi Anselmus, cara berpikir Romawi terlalu menonjol, yaitu yang berdasarkan kepentingan hukum. ”Praanggapan Anselmus tidak berlaku lagi dalam dunia modern saat ini,” demikian menurut Van de Beek. Dalam abad pertengahan, umum diterima bahwa: 1. Allah adalah Pencipta. 2. Allah adil adanya. 3. Manusia diciptakan demi hormat Allah. 4. Manusia dan malaikat telah jatuh. 5. Terdapat pengampunan. Pendirian-pendirian seperti itu, sekarang (sekurang-kurangnya di dunia Barat) tidak diterima lagi. Itu berarti cara perpikir Anselmus tidak cocok untuk manusia modern.
Dalam abad ke-20, sering diutamakan bahwa pekerjaan Yesus adalah mendatangkan kerajaan Allah. Dan hal itu dilihat sebagai tugas yang ”holistis”, jadi yang tidak hanya berhubungan dengan pengampunan dosa, tetapi juga dengan perubahan struktur masyarakat, pemulihan keadaan orang miskin. Van Bruggen memperlihatkan bahwa kerajaan Allah bukan satu hal yang sangat inti dalam pengharapan orang Yahudi. Setiap kali Yesus dan juga Yohanes Pembaptis berbicara tentang kerajaan Allah, maksud-Nya ialah untuk berbicara tentang Dia sendiri. Kalau Yesus menyembuhkan orang sakit, maksud-Nya adalah memperpanjang hidup mereka supaya mereka menjadi percaya. KedatanganNya bukan untuk menjadi pekerja sosial atau hakim biasa. Keterlibatan dalam masalah-masalah seperti itu ditolak-Nya (Van Bruggen 1996).
Yancey mengutip seorang Yahudi terkenal, ahli filsafat M. Buber, (yang tidak pernah menjadi Kristen), yang mengatakan: ”Kami sebagai orang Yahudi dapat mengenal Yesus lebih dalam daripada orang yang bukan Yahudi. Misalnya ucapan-Nya ’Allah-Ku, Allah-Ku, mengapa Kautinggalkan Aku?’” (Yancey, 48). Tetapi, seorang Yahudi lainnya, Rabi Neusner, pernah mengatakan bahwa ia sendiri juga akan meninggalkan Yesus, seandainya ia hidup pada waktu itu, sebab Yesus tidak pernah menekankan ”kita”, sebagai bangsa Yahudi, tetapi selalu ”Aku”, sebagai Anak Allah (Yancey, 94).
Pendamaian menurut beberapa gagasan
Pokok pendamaian Allah dengan manusia merupakan inti dari seluruh isi Alkitab. Dan di balik pekerjaan Yesus Kristus sebagai Pengantara, terdapat Perjanjian Keselamatan, atau Ketentuan Allah yang kekal (bnd. Bab 2 tentang pemilihan). Untuk menerangkan pokok itu, bukan hanya satu gagasan yang diberikan dalam Alkitab, melainkan banyak.
1. Tuhan Yesus menyebut diri-Nya ”Gembala yang baik”, yang memberikan nyawa-Nya bagi domba-Nya (Yoh. 10), suatu gambaran yang diambil dari lingkungan pedesaan.
2. Tetapi, Tuhan Yesus juga berkata bahwa Dia memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang (Mrk. 10:45; bnd. 1Ptr. 1:18), suatu gambaran dari dunia perdagangan dan pemasaran budak belian. Gambaran itu berakar dalam Perjanjian Lama. Sebab pada waktu itu ada peraturan mengenai seorang go’el yang harus menebus anggota keluarganya yang miskin dan diperbudak (Im. 25:47-55).
3. Berbeda lagi gambaran mengenai hubungan suami-istri, yang diperdamaikan kembali sesudah perbuatan zina (Kitab Hosea, dll.).
4. Juga penggambaran dari dunia politik: kita dilepaskan dari kuasa kegelapan dan dipindahkan ke dalam kerajaan Yesus Kristus (Kol. 1:13).
5. Terakhir, kami sebutkan gagasan yang paling jelas, yaitu bahwa utang dan hukuman kita ditanggung oleh Yesus Kristus sehingga kita dibebaskan dari hukuman dan dibenarkan di hadapan Allah (Rm. 4:23, 25; 2Kor. 5:19). Gagasan itu sangat mencolok karena ungkapan dogmatis ”pembenaran” berasal dari-Nya dan ungkapan itu adalah suatu ungkapan inti dalam Alkitab dan ajaran gereja.
Salah satu dari gagasan-gagasan tersebut tidak boleh dianggap sebagai keterangan mutlak. Semuanya bertujuan untuk menjelaskan satu hal yang terlalu besar dan yang tidak dapat diringkaskan dalam satu dua kata. Kalau kita berpegang pada satu kata saja, kita mudah keliru. Suatu contoh dalam hal itu ialah bahwa dengan adanya ungkapan ”penebusan”, mungkin kita berkesimpulan bahwa Tuhan Yesus membayar uang tebusan kepada Iblis untuk melepaskan kita dari perbudakan Iblis. Dan kesimpulan itu tidak benar. Walaupun memang benar bahwa kita dilepaskan dari kuasa Iblis (lih. KH Mg. Ke-1), tetapi tidak benar kalau diajarkan bahwa uang tebusan diberikan kepada Iblis. Walaupun manusia yang berdosa menghambakan diri kepada Iblis, namun hak Iblis atasnya bukan hak mutlak. Tuhan Allah yang menyerahkan manusia kepadanya untuk sementara waktu, tetapi bukan berarti bahwa hak milik Allah dialihkan kepada iblis. Hukuman yang diberikan kepada manusia adalah hukuman yang ditentukan Allah sesuai dengan firman-Nya kepada manusia di dalam Taman Eden (Kej. 2:17). Penderitaan dan kematian Kristus bertujuan untuk melepaskan kita dari hukuman itu. Hal pendamaian tidak mudah dipahami. Seandainya Allah ”membayar kepada Iblis”, memang mudah dipahami, tetapi kesimpulan seperti itu berbeda jauh dengan ajaran Alkitab. Sebab Allah dan Iblis tidak setara. Yang paling berat bagi kita ialah bahwa Allah sendiri yang memurkai kita. Dan pendamaian ialah bahwa Allah memperdamaikan kita dengan diri-Nya sendiri (2Kor. 5:19). Jadi, dapat dikatakan bahwa Allah adalah, baik subjek (pelaku) maupun objek (penerima) pendamaian.
Pendamaian itu terlaksana melalui Anak Allah sendiri, Yesus Kristus (2Kor. 5:19). Yesus Kristus adalah Allah yang benar dan kekal, bersama dengan Bapa dan Roh Kudus. Berarti bahwa hal ”pendamaian” tidak mungkin dapat dibicarakan terlepas dari ajaran ”ke-Tritunggal-an Allah’ (bnd. Bab 2).
Untuk ”pendamaian kosmos”, sesuai dengan Kolose 1:20, bandingkan dengan Bab 10 tentang ”dua jalan”.
Hilasmos dan katallage
Perlu dikemukakan dua kata dari bahasa Yunani, yaitu ”hilasmos”dan”katallage”. Hilasmos berarti penebusan (lih. Rm. 3:25; Ibr. 2:17; 9:5; 1Yoh. 2:2; 4:10). Katallage berarti pendamaian (lih. Rm. 5:10,11; 2Kor. 5:l8,19; Ef. 2:16; Kol. 1:20). Kata hilasmos sering berhubungan dengan upacara-upacara Perjanjian Lama, sedangkan kata katallage diambil dari lingkungan kehidupan bermasyarakat dan menunjukkan perbaikan hubungan. Secara dogmatis harus dikatakan bahwa hilasmos mendahului katallage, karena Kristus sendiri menjadi tebusan, terbukalah jalan bagi manusia untuk diperdamaikan dengan Allah.
Kepenuhan pendamaian tidak dapat dilukiskan dengan satu gagasan saja tetapi dengan seluruh firman Allah.
Dalam buku A.Yewangoe, Pendamaian, dibedakan tiga segi pendamaian, yaitu: 1. Antara manusia dan Tuhan Allah 2. Antara manusia dan sesamanya 3. Antara manusia dan alam.
Inti agama suku serta adat-istiadatnya diterangkan sedalam-dalamnya dan secara kritis. Agama suku berkisar pada pendamaian. Tetapi, kata Yewangoe, ”pendamaian itu mempunyai isi yang sangat berlainan dengan apa yang diberitakan Alkitab” (41). Sejarah gereja ditinjaunya dengan cermat, misalnya ajaran Anselmus dari Canterbury maupun ajaran Abelardus. Yewangoe bersikap kritis terhadap keduanya (21, 26).
Dengan mengikuti teolog lain, Yewangoe membedakan tiga tipe pendamaian.
a. Tipe klasik (jalan pikiran bapak-bapak gereja dari abad-abad yang pertama), yang tekanannya pada: Allah memperdamaikan dunia ini atas kuasa kejahatan dan kematian oleh kemenangan Kristus (13). Menurut Yewangoe, Luther mengikuti sistem ini (133).
b. Tipe Latin (mis. dari Anselmus): Allah sendiri yang harus didamaikan oleh perbuatan pengurbanan Kristus (13).
c. Tipe humanis (13). Allah sendiri tampil sebagai yang mendamaikan dan yang mengasihi, dan karena kasihnya terhadap manusia, Dia mendamaikan diri-Nya. Tipe itu telah dipelopori oleh Abelardus (24).
Ajaran Calvin dihargai Yewangoe. Rupanya Calvin dapat digolongkan pada tipe b, tetapi kata Yewangoe ”Calvin mengambil jalan sendiri.” Menurut Calvin, pendamaian dengan Allah telah tercapai bukan melalui pembayaran denda, yaitu pahala-pahala Kristus, yang diperoleh-Nya melalui kematian, (seperti yang diajarkan Anselmus), tetapi sebagai konsekuensi yang perlu dari dekrit pemilihan yang kekal (35)
Menurut Yewangoe, ajaran Calvin mengenai pendamaian dikuasai oleh pandangan mengenai Kristus sebagai Imam Agung yang mengambil alih tempat kita (35). Dan pahala-pahala yang dihasilkan Kristus, tidak dapat dilepaskan dari anugerah Allah. Yewangoe mengritik KH Mg. Ke-5/6 (37). Walaupun ia mengakui bahwa bagian itu tidak boleh dilepaskan dari seluruh struktur KH yang bersifat menghibur (lih. Mg. Ke-1), namun ia takut bahwa muridmurid yang dibekali KH akan menjadi pengikut Anselmus. Khususnya gerejagereja di Indonesia, menurut Yewangoe sangat digodai untuk mengikuti cara berpikir Anselmus.
Menurut kami, Yewangoe takut terhadap bayang-bayang. Perhatikanlah misalnya dalam Mg. Ke-3 telah dikatakan bahwa seharusnya kita dilahirkan kembali oleh Roh: pendamaian bukan saja bahwa dosa ditebus, tetapi juga bahwa Allah menjadikan kita manusia baru. Dan dalam Mg. Ke-6 dikatakan bahwa Kristus telah menjadi Hikmat bagi kita, kebenaran, kesucian dan penebusan yang sempurna, berarti bukan hanya penebusan. Dalam penjelasan mengenai kurban-kurban dalam PL rupanya Yewangoe lupa bahwa semua upacara PL melambangkan Yesus Kristus.
Keberatan terhadap KH Mg. Ke-6 dan khususnya terhadap ajaran Anselmus, ditemukan dalam buku H. Wiersinga mengenai pendamaian, yang menghebohkan gereja-gereja di Belanda pada 1970-an. Wiersinga mengembangkan teori mengenai pendamaian yang berkisar pada pertanyaan: Apa akibat pembunuhan Yesus? Menurut teori ini, manusia sangat menyesal, sesudah ia sadar tentang kelakukannya dalam hal menyerahkan Yesus dari Nazaret untuk dibunuh. Dan semua manusia yang mendengar atau membaca tentang kematian Yesus akan terkejut juga dan menyadari bahwa mereka sebenarnya tidak lain dari manusia yang jahat. Manusia akan menyadari kejahatannya, kalau ia melihat apa akibat dari sifat iri hati dan benci. Dan manusia akan bertobat. Itulah pendamaian, manusia menjadi sadar dan bertobat, demikian menurut Wiersinga. Jadi, dalam ajaran itu, pekerjaan Allah sendiri tidak dihiraukan dan pendamaian hanya bergantung pada manusia. Singkatnya: menurut teori itu, pendamaian sama dengan perubahan. Sedangkan menurut Alkitab pendamaian terjadi karena penebusan. Pandangan Wiersinga ini menyerupai ajaran Abelardus.
Van Niftrik-Boland
Van Niftrik-Boland (256) mengutip pandangan orang Islam yang berkata bahwa ajaran Kristus tidak dapat diterima oleh akal sehat. Mengapa orang yang tidak bersalah harus mati, ganti orang yang salah? Jawab V. Nifrik/Boland: Andaikata Allah bertindak logis, yaitu sesuai dengan apa yang kita manusia sebutkan ”akal sehat”, dan andaikata Allah menjalankan hukum, seperti seorang hakim di dunia harus melakukannya, celakalah kita.
Tetapi v N/B menambahkan satu alasan yang tidak dapat dipertahankan.
Menurutnya, arti kata ”katallage” sebenarnya ”pertukaran”: kita ditukar dengan Kristus. Di sini v
N/B memaksakan satu pandangan dogmatik ke dalam kata Alkitab. Padahal, arti kata tersebut tidak lain dari pendamaian. Tentu tidak boleh disangkal bahwa pendamaian itu hanya dapat terjadi karena penebusan Yesus Kristus. Tetapi jangan dikatakan bahwa semuanya itu sudah tercakup dalam arti kata ”katallage”. Kristus mati ganti kita, tetapi pekerjaan-Nya juga lebih luas artinya daripada ”pertukaran”.