Gerrit Riemer
”Iman adalah dasar dari segala sesuatu yang diharapkan dan bukti dari segala sesuatu yang tidak dilihat” (Ibr. 11:1). Dasar dan bukti ini diberikan dalam bentuk pengetahuan yang diwahyukan kepada manusia. Pengetahuan ini tidak diberikan kepada manusia melalui penelitian empiris atau filosofis, juga tidak melalui penalaran logis. Kata wahyu berarti bahwa sesuatu yang dahulu tersembunyi sekarang disingkapkan hingga dapat dilihat, dan isinya diakui sebagai kenyataan. Wahyu adalah paham atau pengetahuan yang berasal dari luar manusia. Karena itu, wahyu disebut juga prinsipium externum dari religi. Religi adalah pemulihan relasi antara manusia dan Sang Ilahi yang supernatural (transenden). Di ranah religi, wahyu adalah penyataan pengetahuan mengenai yang supernatural itu. Religi berasal dari luar dan dari atas manusia.
Menurut Herman Bavinck (dogmatikus Belanda, 1854–1921), wahyu adalah ”setiap aksi yang ke luar dari Allah untuk membawa dan mempertahankan manusia di dalam relasi istimewa itu dengan Dia” (Bavinck, 1895, I, 217). ”Yang penting di sini adalah untuk menganggap wahyu itu selalu dan di mana-mana sebagai aksi, sebagai tindakan Allah. Allah tidak pernah melakukan sesuatu secara tidak sadar; Dia melakukan segala sesuatu dengan pemikiran dan tujuan yang jelas. Wahyu tidak pernah merupakan emanasi yang tidak disadari oleh Allah, atau suatu pemancaran Allah dari karya yang tidak dikehendaki-Nya; Allah senantiasa mewahyukan diri-Nya dengan penuh kesadaran dan kebebasan. Allah secara aktif menyatakan diri-Nya kepada manusia.”
Dalam hal mewahyukan diri, Allah digerakkan oleh kasih dan kehendak-Nya untuk memulihkan relasi dengan ciptaan-Nya. Relasi itu dirusak oleh dosa manusia. Wahyu itu bukan hanya ditujukan kepada individu manusia, tetapi kepada seluruh ciptaan-Nya. Dengan menyatakan diri-Nya, Allah berkenan membuka hati-Nya bagi manusia dengan tujuan mengumpulkan umat yang terpilih sebagai milik-Nya. Wahyu tidak semata-mata penyataan kebenaran ilahi, pengajaran, norma atau nilai etis bagi kehidupan manusiawi pada waktu tertentu. Wahyu Allah tidak pernah berhenti, dari awal dunia sampai akhir, dari penciptaan sampai bumi baru, dari kekal sampai kekal. Melalui wahyu, orang beriman belajar mengenal Allah dan menyembah-Nya dalam seluruh kehidupannya, dalam segala sesuatu, dalam yang baik dan yang buruk, dalam alam dan anugerah.
Apa yang perlu kita bahas dalam bab ini agar tidak salah memahami wahyu? Bagaimana kita menerangkan arti wahyu sebagai dogma gereja, demi pembinaan persekutuan orang-orang percaya? Apakah ada juga penjelasan dan paham wahyu yang salah, yang merusak kehidupan gereja? Pertanyaanpertanyaan yang muncul dapat kita ungkapkan, dengan maksud untuk membahasnya satu demi satu dalam bab ini sebagai berikut:
Wahyu tidak pernah merupakan emanasi yang tidak disadari Allah.
1. Sumber Pengetahuan Gereja. Mengenai inti dogma wahyu: dari sumber mana gereja menimba pengetahuan mengenai wahyu? Uniknya, pemahaman mengenai wahyu berasal dari wahyu.
2. Sejarah Dogma Penyataan Allah. Apakah yang diajarkan para cendekiawan gereja mengenai wahyu? Penguraian sejarah itu memberi kesan adanya unsur-unsur variabel dan konstan melalui abad-abad sejarahnya.
3. Sejarah Penyataan Allah.Alkitab memperlihatkan suatu sejarah penyataan Allah. Menurut hikmat-Nya, Allah telah melibatkan diri-Nya dalam suatu proses kesejarahan untuk secara bertahap menyatakan Diri dan dengan berbagai sarana yang berbeda-beda.
4. Format Penyataan Allah. Allah selalu memilih cara dan sarana penyataan-Nya yang sesuai. Kepada Adam, Hawa, Henokh, Nuh, Musa, Israel, raja-raja, dan nabi-nabi, Dia menyatakan diri sesuai dengan maksud-Nya pada saat itu. Pada masa kehidupan Kristus, pencurahan Roh Kudus, dan kisah para rasul, Dia memakai sarana-sarana yang dianggap-Nya perlu untuk memenuhi tujuan-Nya. Pada masa kini, Allah memakai format tersendiri, menurut hikmat dan sesuai dengan rencana-Nya.
5. Penyataan Umum dalam Alam, Sejarah, dan Hati Nurani.Para teolog pada umumnya memberi pembedaan antara ”Penyataan Umum” dan ”Penyataan Khusus”. Dari mana pembedaan ini? Apakah pembedaan ini baik dan benar? Apakah paham ini membangun teologi, atau justru mempersulitnya?
6. Penyataan Allah di dalam Kitab-kitab Suci. Pada masa kini Allah menyatakan diri-Nya melalui Alkitab. Apakah dalam format Alkitab, kita telah memperoleh segala pengetahuan tentang Allah secara cukup hingga kedatangan Kristus kembali? Bagaimana dengan teori inspirasi, kewibawaan Alkitab, dan ciri-ciri Alkitab yang lain?
7. Penyataan Allah dan Dogma tentang Gereja. Penelitian Penyataan Allah memberi fondasi bagi ajaran (dogmatik) dan kehidupan (etika) gereja. Bab ini merupakan titik tolak bagi semua bab yang lain. Pada pokoknya adalah dari manakah gereja menimba pengetahuannya mengenai semua pokok-pokok imannya? Apakah gereja mempunyai kewibawaan untuk berkata dengan lantang, tegas, dan jelas? Apakah ada unsur-unsur dogmatis yang tetap laku dan yang tidak dapat dilepaskan (yang absolut, fundamental, atau esensial) di samping unsur-unsur yang relatif, nonfundamental dan nonesensial?
Pertanyaan ”dari mana gereja mengenal Allah?” membawa kita pada dialektika (interaksi hal-hal yang saling berlawanan) dogma tentang wahyu. Karena, bagaimanakah penalaran gereja? Bagaimana gereja memperoleh kebenaran? Bagaimanakah gereja memberikan kewibawaan (otoritas) pada semua keputusannya? Apakah pengetahuan itu berasal dari manusia atau dari Allah? Menentukan sumber pengetahuan gereja adalah soal inti dogma tentang wahyu. Ungkapan ”Allah menyatakan Diri” dalam bayangan kita adalah bahwa hal yang dinyatakan itu berasal dari Allah dan tidak dari manusia.
Jika Musa mendengar suara dan melihat semak duri yang menyala, maka Musa tahu bahwa Allah menyatakan diri-Nya kepadanya. Kita, sebagai orang-orang beriman, membaca kisah itu (yang sebagai kisah Alkitab memiliki otoritas mutlak) mengikuti Musa dalam kesimpulannya itu.
Tetapi, dalam cepatnya pengambilan keputusan itu, kita secara tidak sadar telah mengambil serangkaian keputusan yang justru perlu kita bahas dalam bab ini satu demi satu. Kita tidak dapat mengesampingkan kenyataan bahwa penalaran dan kesimpulan tadi, dibuat di dalam dan dari dalam diri manusia.
Penalaran dari dalam Allah adalah hal yang berbahaya dan sulit sekali bagi manusia. Karena usaha itu akan tetap kandas dalam keterbatasan pikiran manusiawi, dan mudah tersesat karena kecenderungan dasar manusiawi untuk membuat-buat ide (patung) ilahi menurut kemauan manusia sendiri.
Dalam pembahasan bagian ini (mengenai Sejarah Dogma Penyataan Allah), kita menjumpai Karl Barth, yang telah memberi perlawanan gigih yang menentang gagasan bahwa manusia dapat memikirkan atau mengerti sedikit pun mengenai Allah. Bahkan di dalam Kristus, menurut Barth, Allah tetap tinggal Sang Tersembunyi, karena apa yang kita lihat dari Dia kita lihat dalam wujud manusia. Barth berpendapat bahwa apa pun yang coba ditulis mengenai Allah, akan tetap menemui jalan buntu dan hanya menghasilkan beberapa acuan kabur. Setiap gagasan, gambar, atau kata, sebenarnya adalah patung yang dipahat oleh akal budi manusia. Percobaan atau upaya yang dimaksud kandas dalam ilusi. Karena, bagaimanakah seorang manusia, yang terbelenggu dalam kesementaraan dan keterbatasannya, dapat berkata sedikit saja mengenai Allah? Allah adalah Allah yang tidak pernah membiarkan diriNya dijerat dalam gagasan-gagasan manusiawi.
Pada awal buku ini, mengenai doktrin-doktrin gereja, kita dipanggil untuk mengambil keputusan radikal: apakah semua pengetahuan gereja itu berasal dari Allah atau dari manusia? Apakah keputusan yang kita ambil berasal dari penalaran manusia?
Terdapat jawaban yang bersifat dwisegi, yang sebenarnya dwitunggal. Keputusan itu memang ada lah keputusan manusiawi, tetapi sekali gus suatu misteri supernatural. Karena keputusan itu berasal dari iman. Iman itu (dan isinya) dikarunia kan Allah kepada manusia secara ajaib. Sebagai orang percaya kita berkata, ”Iman itu (dan pengetahuan iman) tidak berasal dari kami sendiri, tetapi dikerjakan oleh Roh Kudus di dalam kami.”
Pengakuan ”Musa telah menemukan Allah” atau ”Samuel mendengar suara Allah”, menurut kriteria ilmu sekuler kehilangan instansi yang berdiri sendiri (independen) dan tidak mempunyai bukti yang berdasarkan empiri (pengalaman nyata sebagai sumber pengetahuan). Tetapi, gereja tidak membutuhkan bukti seperti itu karena buktinya adalah iman yang dikerjakan oleh Roh Kudus.
Gereja tidak dapat membuktikan kebenaran Wahyu Allah secara empiris.
Tanpa iman, setiap Penyataan Allah tetap tanpa bukti. Buktinya tidak berdasarkan empiri, rasio atau emosi manusia. Hanya iman sola fide. Bukti iman itu hanya berlaku sebagai bukti bagi kalangan orang yang beriman. Meninjau fenomena yang sama, orang yang beriman dapat berkata, ”Hal ini berasal dari Allah.” Orang yang tidak beriman tidak akan setuju dengan kesimpulan itu. Barangkali ia berpikir secara sinis: ”orang itu sakit jiwa.”
Ibrani 11:1 menyatakan: ”Iman adalah dasar dari segala sesuatu yang diharapkan dan bukti dari segala sesuatu yang tidak dilihat.” Perkataan Yesus kepada Petrus mengukuhkan kebenaran ungkapan ini. Yesus bertanya, ”... apa katamu, siapakah Aku ini?” Petrus menjawab, ”Engkaulah Mesias, Anak Allah yang hidup!” Reaksi Yesus menyingkapkan sumber pengetahuan dan pengakuan Petrus itu: ”Berbahagialah engkau Simon anak Yunus sebab bukan manusia yang menyatakan itu kepadamu, melainkan Bapa-Ku yang di surga” (Mat. 16:16-17).
Jelaslah, penyataan kebenaran mengenai Yesus berasal dari atas. Hanya berdasarkan penyataan itu Petrus dapat melihat Kristus sebagai Anak Allah. Pengetahuan dan pengakuan gereja tergantung dari iman yang diberikan Allah kepadanya. Orang yang tidak beriman juga tidak melihat Anak Allah pada waktu mereka melihat Kristus – mereka semata-mata melihat seorang manusia. Mudah-mudahan mereka mengakui Dia sebagai nabi besar, tetapi mereka juga dapat menganggap Dia sebagai pembual, atau pembangkang agama, atau, seperti anggapan kaum Farisi, sebagai sebuah alat di tangan Iblis.
Hal ini berarti bahwa iman yang ajaib itu (dan segala keputusan dan kenyataan yang lahir dari iman itu) membalikkan dunia secara total. Iman melahirkan perubahan visi yang radikal terhadap setiap bidang hidup. Pandangan dunia diubah secara total. Visi baru itu adalah pemberian Allah, yang memberikan penerangan itu sampai ke dalam akal budi manusia. Tidak melalui eksperimen filosofi yang bebas, atau melalui penalaran teologis yang arif (seperti dapat ditemui dalam teologi liberal-modern).
Allah juga berprakarsa dalam proses pengambilan keputusan di dalam gereja untuk menerima Alkitab sebagai titik pangkal, fondasi, dan kanon bagi semua keputusan gerejawi. Dengan kasus seperti berikut ini, kita masih coba memperlihatkan dialektika dan ketegangan di bidang keputusan iman gereja: dari Allah atau dari manusia dari atas atau dari bawah.
KASUS: penerimaan Alkitab sebagai kanon bagi pengetahuan iman kita
Mengapa gereja mengaku percaya mengenai Alkitab bahwa ”hanya semua kitab ini saja kita terima sebagai Kitab-kitab suci dan kanonik, agar menjadi patokan, asas, dan penyangga iman kita” (Pengakuan Iman Gereja Belanda [PIGB], pasal 5)? Banyak antropolog berpendapat bahwa Alkitab adalah sebuah buku hasil endapan agama manusiawi. Para ilmuwan liberal berpendapat bahwa Alkitab adalah kumpulan pengalaman orang yang religius. Para ilmuwan yang menganut ide pluralisme agama, menempatkan buku ini segaris dengan bukubuku religius lain di dunia ini (seperti Quran, Bhagawadgita, Dhammapada). Kaum ateis dan humanis berkata bahwa Alkitab adalah buku yang murni manusiawi, dilahirkan dari ketakutan manusia dan (sama dengan buku-buku religius yang lain) hanya berharga sebagai petunjuk nilai-nilai etis. Pada masa kini banyak orang berpendapat bahwa Alkitab menghalangi kemajuan dunia. Menentang semua pendapat itu, gereja yang setia mempertahankan pengakuan, sebagaimana PIGB pasal 5 tadi. Gereja mempunyai keyakinan yang baik dan kokoh mengenai asal Alkitab dan otoritasnya, tetapi gereja tidak dapat menyangkali fakta bahwa keyakinan itu berdasarkan suatu pilihan beriman. Di dalamnya Allah sendiri yang bertindak dan memimpin. Dia menuntun gereja pada pilihan yang menentukan dogmanya. Gereja memandang dunia sebagai tempat yang di dalamnya Allah memerintah secara berdaulat dari surga. Dia masuk ke dalam realitas bumi ini dengan keselamatan dan penghakiman. Siapa yang tidak percaya, juga tidak dapat mengalami hal itu, betapa pun besarnya keinginannya, demikian juga untuk mengalaminya. Ia hanya dapat mengalami suatu perasaan takjub, respek, atau iri hati, sebab ia kehilangan perasaan yang bagus itu. Ia tetap terjerat dalam dunia, di mana bukti-bukti ilmiah, dalil-dalil fisika dan kerangka-kerangka antropologis membelenggu semua penalarannya. Jika manusia memilih percaya (sebuah pilihan yang merupakan karunia Allah) bahwa Allah adalah Raja dunia, maka jalan terbuka bagi penalaran ”dari Allah”, dan untuk menerima Alkitab sebagai firman-Nya, sebagai penyataan-Nya ”dari atas”, dan sebagai kanon yang mutlak berwibawa dalam menentukan pengetahuan iman gereja.
Keputusan untuk mengakui Alkitab sebagai kanon dan kerangka yang mutlak bagi pengetahuan iman (termasuk pengetahuan yang diperlukan untuk membahas dogma tentang wahyu) tidak diambil begitu saja. Keputusan itu merupakan titik akhir penalaran teologis yang masif dan rumit. Titik akhir itu sekaligus menjadi titik tolak bagi penalaran yang sama. Argumentasinya berbentuk lingkaran seperti gelang. Apa yang hendak dikatakan dan dibuktikan, dibuktikan dari apa yang dikatakan itu. Kerangka dari pendapat kita ditentukan oleh kerangka yang sama itu.
Berdasarkan penelitian isi Alkitab, dikatakan dan dibuktikan bahwa Alkitab adalah satu-satunya sumber bagi pengetahuan gereja dan bagi wahyu Allah pada masa kini. Alkitablah yang menuntun pada jawaban atas hal yang inti dari bab ini: dari manakah gereja mengenal Allah dan segala sesuatu yang ilahi itu? Gereja dibimbing oleh Roh Kudus pada jawaban yang jelas dan radikal: Allah memperkenalkan diri-Nya sendiri melalui semua perbuatanNya dan dari firman-Nya yang terdapat dalam Alkitab ”Ketaatan imani dalam seluruh isi Alkitab adalah fondasi satu-satunya bagi seluruh pekerjaan ilmiah Kristen” (Wiskerke, 1978). Alkitab memberikan bukti bagi dirinya sendiri bahwa isinya adalah asas bagi seluruh pengetahuan Kristen.
Meskipun kesimpulan telah disebutkan bahwa ”Alkitab adalah fondasi satusatunya bagi seluruh pekerjaan ilmiah kristen”, sejak dahulu gereja berbicara mengenai dua sarana bagi manusia untuk dapat mengenal Allah. Penelaahan biasanya diberikan dalam urutan tertentu, seperti dalam Pengakuan Iman Gereja Belanda pasal 2: Kita mengenal Allah melalui (1) penciptaan, pemeliharaan, dan pemerintahan seluruh alam, dan (2) oleh firman-Nya yang kudus dan ilahi. Biasanya kedua sarana ini disebutkan langsung dan sekaligus sebagai jawaban atas pertanyaan mengenai asal pengetahuan tentang Allah. Jawaban tradisional ”melalui dua sarana” adalah dwisegi. Kedwisegian jawaban ini menawarkan kesamaan antara dua segi tersebut yang sebenarnya tidak ada. Alangkah baiknya bila jawabannya tetap mengacu pada satu sarana: ”Kita mengenal Allah melalui satu sarana, yaitu melalui firman-Nya yang kudus dan ilahi”. Mengapa?
PIGB pasal 2 memang membedakan bobot antara kedua sarana itu untuk mengenal Allah, tetapi seluruh pasal ini mencerminkan dilema (paradoks) yang sudah kita temukan di atas. Sebenarnya kita mengenal Allah hanya dari firman-Nya saja. Karena itu kita juga mengenal Dia dari alam. Artinya, alam tidak berfungsi sebagai sarana yang berdiri sendiri (karena dijabarkan dari Alkitab).
PIGB pasal 2 berkata secara harfiah:
”Kita mengenal Dia melalui dua sarana. Pertama, melalui penciptaan, pemeliharaan, dan pemerintahan seluruh alam. Sebab di depan mata kita alam itu bagaikan buku yang indah, yang di dalamnya segala ciptaan Allah, yang besar maupun yang kecil, menjadi seperti huruf-huruf yang menyatakan kepada kita apa yang tidak tampak dari Allah, yaitu kekuatan-Nya yang kekal dan keilahian-Nya, menurut perkataan Rasul Paulus dalam Roma 1:20. Semua itu cukup untuk membuktikan kesalahan manusia sehingga mereka tidak dapat berdalih. Kedua, Dia memperkenalkan diri kepada kita dengan lebih jelas dan sempurna lagi oleh firman-Nya yang kudus dan ilahi, yaitu sekadar untuk kebutuhan kita dalam hidup ini, demi kemuliaan-Nya dan demi keselamatan orang-orang milik-Nya.”
Gradasi (perbedaan bobot sarana) diungkapkan dengan kata ”lebih jelas dan sempurna”. Paradoks menjadi nyata dari acuan ke Roma 1:20. Lepas dari pertanyaan apakah acuan ini cocok, PIGB pasal 2 menjelaskan bahwa firman Allah menunjukkan bagaimana kita dapat memahami alam dan sejarah dunia sebagai penciptaan dan sejarah yang dipelihara dan dipimpin Allah.
Yaitu bahwa, asas pengetahuan itu adalah fir man Allah. Urutan kedua sarana dalam PIGB pasal 2 membuat kita bingung, de mikian juga penetapannya seba gai yang ”pertama” dan ”kedua”. Sarana pertama (penciptaan, pemeliharaan, dan pemerintahan seluruh alam) tidak dapat menuntun pengertian kita ke pengenalan nama Allah sebagai Allah Tritunggal: Bapa, Anak, dan Roh Kudus. Mengenai sarana firman Allah, gereja memang dapat mengaku bahwa sarana ini memberikan pengenalan yang benar, cukup, dan jelas. Hal yang sama, kita tidak dapat mengatakan tentang alam sebagai sumber pengenalan Allah.
Pengakuan Iman Westminster (The Westminster Confession) dalam Pasal 1 mengatakan hal yang berbeda sekali, dan menurut kami, lebih tepat:
”Terang alam dan karya-karya penciptaan serta pemeliharaan memperlihatkan kebaikan, hikmat, dan kuasa Allah sedemikian rupa, hingga manusia tidak dapat berdalih. Namun, semua itu tidak cukup untuk memberi pengetahuan mengenai Allah dan kehendak-Nya yang perlu untuk keselamatan. Oleh karena itu, Tuhan berkenan menyatakan diri dan menampakkan kehendakNya itu kepada Gereja-Nya pada berbagai masa serta dengan berbagai cara, dan kemudian menyajikannya seluruhnya secara tertulis, dengan maksud supaya kebenaran dipelihara dan disebarkan dengan lebih baik dan supaya Gereja diteguhkan dan dihibur ketika berhadapan dengan godaan daging, dan dengan kebencian iblis serta dunia. Karena itu, Kitab Suci sangat perlu, sebab cara-cara yang dahulu Allah pakai untuk menyatakan kehendak-Nya kepada umat-Nya kini telah berhenti.”
Keunikan Alkitab dalam Pengakuan Iman Westminster lebih tepat daripada dalam Pengakuan Iman Belanda.
Perumusan yang singkat ini benar-benar unggul karena berhasil mengatakan semua yang perlu dikatakan. Perumusan ini mengikuti sejarah penyelamatan dan sejarah Penyataan Allah, sifat penting paradigma teologis yang alkitabiah. Konfesi Westminster dalam perumusannya menolak secara singkat dan tepat beberapa teori wahyu yang lain.
Pentingnya masalah ini (alam sebagai sarana pengenalan akan Allah) memaksa kita untuk menganjurkan pengenalan ini secara lebih luas. Di depan sudah kita lihat primat Alkitab dibandingkan dengan posisi alam sebagai sarana. Relasi antara Alkitab dan alam dapat dijelaskan dengan mudah. Tanpa penuturan Kejadian 1 (mengenai penciptaan langit dan bumi) dan penuturan seterusnya (mengenai situasi baru setelah kejatuhan ke dalam dosa), manusia berdiri dengan tangan kosong untuk dapat mengerti penciptaan, pemeliharaan, dan pemerintahan dunia sebagai tindakan Allah.
Hal ini jelas terlihat dari pemakaian istilah-istilah itu sendiri. ”Penciptaan, pemeliharaan dan pemerintahan” adalah istilah-istilah yang berisi praanggapan (asumsi) mengenai Allah yang hidup dan yang melakukan semuanya itu. Istilah-istilah itu dijabarkan dari pewahyuan Allah melalui firman-Nya.
Jika manusia mengamati dan meneliti alam tanpa pengetahuan alkitabiah, maka penelitian ini tidak pernah akan bermuara pada kesimpulan adanya suatu wujud ilahi yang ”mencipta” atau ”memelihara” atau ”memerintah”. Melalui proses pengamatan alam, sangat mungkin manusia mengembangkan istilah lain untuk menerangkan dan memahami semua fenomena kehidupan duniawi yang kompleks ini. Manusia cenderung mengembangkan wawasan yang sangat berbeda untuk menerangkan asal-usul kehidupan duniawi.
Contoh-contohnya dapat kita temukan dalam ilmu sekuler (misalnya, dalam teori evolusi dan big bang) atau dalam agama-agama yang lain yang dikembangkan manusia di dunia ini (yang menghasilkan pengetahuan lain mengenai sang transenden, atau supernatural, dengan buku agama lain, atau paham animis, dongeng, dan fantasi).
Artinya, alam tidak dapat menghasilkan pengetahuan yang benar mengenai satu-satunya Allah yang nama-Nya AKU ADALAH AKU(Kel. 3:14). Buku yang pertama (alam, menurut PIGB pasal 2), baru dibukakan setelah Alkitab dibuka dan dibaca oleh manusia. Hal itu pastilah yang dimaksud Guido de Brès, sang perancang PIGB, karena ia merumuskan pengakuan di kalangan orang yang sudah mendapat pencerahan Firman dan Roh. Hal itu jelas dari kata permulaan pengakuan ini, ”KITA”. Yang dimaksudkan adalah ”kita, orang-orang yang percaya; kita, orang-orang yang Reformed; kita, orang-orang yang telah memisahkan diri dari gereja Katolik-Roma”. Dengan kata lain, ”kita percaya...” sudah menentukan skopus dan posisi orang-orang yang mengaku percaya itu. Mereka sudah mengenal Allah dari firman-Nya. Bagi mereka ”penciptaan, pemeliharaan, dan pemerintahan seluruh alam” memang berfungsi ”bagaikan buku yang indah, yang di dalamnya segala ciptaan Allah, besar maupun kecil, menjadi seperti huruf-huruf yang menyatakan kepada kita apa yang tidak tampak dari Allah, yaitu kekuatan-Nya yang kekal dan keilahian-Nya”. Fungsi alam bagi orang yang tidak percaya semata-mata hanya perasaan takjub dan heran. Perasaan itu dapat merangsang mereka untuk masuk ke suatu trayek pencarian ke salah satu ide ilahi atau kuasa supernatural sebagai pemicu dunia alamiah itu. Impuls itu dapat menjadi alasan bagi mereka untuk membuka Alkitab (asalkan Alkitab sudah tersedia bagi mereka). Perasaan takjub dan heran dapat menyalakan kerinduan untuk mengenal Sang Pencipta itu.
PIGB pasal 2 juga menyebutkan kemungkinan untuk mengenal Allah ”dari pemerintahan seluruh alam”. Maksudnya juga untuk mengenal Allah dari pemerintahan seluruh dunia dan dari sejarah dunia. Mengenai hal ini sebagai sumber pengetahuan tentang Allah, dapat kita katakan hal yang sama. Sumber itu hanya berfungsi bagi mereka yang melihat dengan mata yang beriman, artinya yang diterangi oleh Roh dan Firman. Orang hanya dapat mengenal Allah dari sejarah dunia. Tetapi, seyogyanya kita berbicara dengan hati-hati.
Karena justru di sini menjadi sangat jelas bahwa tanpa pengetahuan Alkitab, mustahil manusia mengerti tentang Allah dari sejarah dan pemerintahan seluruh alam. Sebaliknya! Siapa yang dapat bersyukur melihat kekacauan sejarah dunia?
Sejarah dunia sering menjadi alasan untuk murtad, memberontak dan berbalik dari suatu agama yang mengakui bahwa Allah Mahakasih. Bencanabencana alam membingungkan orang akan kepemimpinan dunia oleh Allah. Mengakui suatu ”allah” yang memerintah (”tangan Tuhan”) pada waktu perang dan genosida (misalnya dalam kamp-kamp pembasmian Perang Dunia II) telah mengakibatkan hilangnya iman (sekularisasi) dalam kehidupan banyak orang Barat yang dahulu percaya. Mengamati pembinasaan dan keburukan perang membuat banyak orang murtad. Artinya, sumber yang pertama yang disebutkan dalam PIGB pasal 2 (penciptaan, pemeliharaan, dan pemerintahan) sebagai sumber pengenalan tentang Allah mudah dipersoalkan.
Jelaslah, bahwa manusia membutuhkan suatu ”kacamata” (istilah yang berasal dari Calvin) untuk mengenal Allah dari alam, yaitu pemeliharaan dan pemerintahan. Kita hanya melihat Allah yang mencipta, memelihara, dan memerintah itu berdasarkan Alkitab. Tanpa kacamata itu, manusia tetap buta dan tuli untuk mengenal Allah, yakni Siapakah Dia yang Ada, dan Apakah yang Dia Perbuat.
pengetahuan Allah – norma normans
Sebagai prinsip utama, Gereja Reformasi menetapkan bahwa Alkitab adalah sumber dan norma yang pertama dan yang utama untuk mengenal Allah dan segala pekerjaan-Nya. Relasi antara sarana utama (Alkitab) dengan sarana-sarana lain (penciptaan, pemeliharaan, pemerintahan, hati nurani, dan sebagainya) perlu dirumuskan secara saksama dan secara sensitif terhadap ajaran-ajaran sesat yang mudah lahir di bidang ini. Perumusan kita yang menjadi favorit, disajikan dalam Konfesi Westminster Pasal I, pengakuan bahwa Alkitab merupakan sumber yang pertama dan yang mutlak. Semua sumber lain kita taklukkan di bawah Alkitab. Sekaligus menjadi jelas bahwa kepentingan sumber-sumber lain itu tidak boleh diabaikan. Karena melaluinya Allah memang menyatakan Diri kepada orang-orang yang diterangi firman-Nya. Dengan Alkitab sebagai kaca mata, gereja belajar menghargai dan memakai sumber-sumber yang lain, khususnya alam. Umat Allah belajar memuji Allah dalam alam (Mzm. 8, 19, 29, 93, 104). Para penyair Kristen tahu memuji Allah karena keindahan alam. Sebab mereka melihat dengan mata yang telah dibuka. Alkitab berfungsi sebagai norma normans (norma yang menormakan). Mengerti dan berbicara ”bahasa alam”, tidak mungkin terjadi sebelum orang mengerti dan berbicara bahasa Alkitab. Herman Bavinck dalam dogmatiknya merumuskan ketidakcukupan alam untuk mengenal Allah sebagai berikut:
”... penyataan ini mengajukan kepada kita sebaik-baiknya suatu pengetahuan akan Allah dan akan berbagai segi sifatNya, seperti kebaikan dan keadilan; tetapi melaluinya kita sama sekali tidak belajar mengenal pribadi Kristus, yang merupakan satu-satunya jalan kepada Bapa (Mat. 11:27; Yoh. 14:6, 17:3; Kis. 4:12).”
Gagasan ”penyataan umum” adalah konstruksi teologis yang dapat dengan mudah mengelirukan gereja.
Banyak teolog telah mengungkapkan secara nyata dan tegas ketidakcukupan ”penyataan umum” untuk mengenal Allah. Alangkah baiknya gagasan ”penya taan umum” dikesampingkan sebagai konstruksi teologis yang mengelirukan. Melaluinya gereja dituntun ke kesalahpa haman dan akhirnya ke kesesatan, seperti pluralisme kebenaran. Karena sedemi kian pentingnya, dalam bab ini disajikan pembahasan ”penyataan umum” secara khusus (§5).
Dengan membahas pemikiran sejumlah teolog, kita meninjau bagaimana gereja melalui abad-abad sejarahnya merumuskan Penyataan Allah. Berhubungan dengan tokoh-tokoh itu kita akan menemukan dan melukiskan berbagai aliran dan motif dalam teologi penyataan Allah. Isi paragraf ini sangat memperlihatkan hal-hal yang sudah kita bahas secara singkat di atas, khususnya penyataan umum, dan berdasarkan itu, juga perkembangan beraneka ragam gagasan teologi alamiah.
Pada era gereja kuno sudah diadakan perbedaan antara penyataan khusus dan penyataan umum. Penelitian yang dilakukan para teolog dirangsang oleh masalah kesamaan dan perbedaan antara agama kristen dan agama-agama lainnya. Mereka tidak dapat menyangkal kenyataan bahwa ada aspek yang sama, demikian juga antara teologi kristen dan filsafat dunia. Kesamaan ini memicu munculnya pertanyaan, apakah mungkin seluruh umat manusia memiliki sumber pengetahuan akan kebenaran dan hikmat yang tersedia bagi semua orang dan untuk segala hal. Tentu saja, di pihak teologi kristen, dalam penelitiannya selalu ditekankan bahwa gereja adalah pemilik kebenaran penuh. Berdasarkan apa gereja menjelaskan kesamaan itu dalam hubungan dengan klaim posisinya sebagai pemilik kebenaran penuh? Kedua garis itu menuntun gereja untuk membedakan ”wahyu alamiah” (revelatio naturalis) dan ”wahyu supernatural” (revelatio supranaturalis). Pada awal teologi gereja, juga timbul istilah-istilah lain, yang sejajar atau sinonim dengan kedua istilah tadi. Misalnya ”teologi alamiah” dan ”religi alamiah” dibandingkan dengan yang supernatural itu.
Yustinus Martir (salah seorang teolog dari golongan apologet, sekitar 100–165) perlu kita tonjolkan dalam hubungan dengan pokok ini. Karena pendekatannya akan memainkan peran penting sepanjang abad ke-2 hingga kini. Yustinus, dalam perjalanannya untuk mencari Allah yang benar, melangkahi berbagai aliran filsafat yang penting pada waktu itu, antara lain aliran Stoa dan Plato. Ia sangat tertarik kepada ide-ide Plato, tetapi ia tidak mendapat apa yang dicarinya. Seorang teman memberi saran kepadanya untuk membaca kisah tentang nabi-nabi Israel. Di samping itu, keberanian orang Kristen yang mati syahid sangat berkesan baginya. Pada umur 30 tahun Yustinus menyerah kepada Kristus dan memeluk agama Kristen; ia banyak mendapat pengajaran iman dari murid-murid para rasul.
”Logos spermatikos”
Setelah bertobat, Yustinus mengabdikan hidupnya kepada Kristus. Ia membela gereja dan hak gereja untuk menampilkan diri sebagai pemikul kebenaran satu-satunya. Sekaligus ia ingin mendekati agama lain dan filsafat dunia secara jujur. Menurutnya, segala hal baik yang terdapat dalam agama dan filsafat itu perlu dihargai secara tepat. Untuk itu ia memilih istilah-istilah teologis yang tepat. Ia berbicara mengenai ”benih Logos yang ditanamkan di dalam seluruh manusia di dunia”. Menurut Yustinus, setiap manusia memiliki ”sebagian dari Logos yang dibenihkan” itu (logos spermatikos). Dengan kedatangan Kristus situasi itu sudah berubah. Karena orang Kristen menerima lebih banyak daripada hanya sebagian Logos itu. Mereka hidup ”sesuai dengan pengetahuan dan pemandangan Logos yang sempurna, yaitu Kristus” (Yustinus, Apologi II, 8). Di sini kita menemukan konsep yang dicetuskan oleh Yustinus dan yang disebut logos spermatikos yang adalah logos yang diberikan kepada semua orang. Sebagai contoh logos spermatikos itu, ia menunjuk pada filsuf-filsuf sezamannya, khususnya mereka yang melawan politeisme, imoralitas, dan kemerosotan agama Yunani. Pasti, menurut penalaran Yustinus, filsuf-filsuf itu telah menerima separuh logos sehingga mereka dapat mengembangkan pandangan-pandangan yang baik dan benar itu.
Di dalam permulaan sejarah gereja baru setelah Kristus, Yustinus sudah menempatkan gereja di tengah masalah penyataan Allah dengan pertanyaan yang merangsang itu: bagaimana kita orang Kristen harus menghargai kebaikan dan kebenaran yang ada di kalangan orang yang agamanya atau keyakinannya berbeda? Apakah adanya kebaikan dan kebenaran dalam agama-agama lain (bukan saja kebaikan etis, melainkan juga estetis dan intelektual dalam seni dan ilmu) yang membuktikan bahwa Allah peduli terhadap semua orang dan menyatakan diri-Nya ”sedikit” kepada mereka serta menganugerahkan karunia-karunia tertentu kepada mereka? Jika itu benar, apa arti kenyataan itu (dipandang dari perspektif Injil Kristus) bagi penghargaan terhadap agamaagama lain atau kebijakan filosofi, ilmu, dan hasil seni manusia?
Yustinus mengidentifikasikan ”logos” dengan Kristus. Ia memakai bahasa sezamannya dan bahasa aliran-aliran filosofi, khususnya Plato. Ia melihat kesempurnaan logos itu diwujudkan dalam Kristus. Menurut dia, logos merealisasikan dirinya dalam penciptaan dan sejarah. Itulah manifestasi Allah dalam realitas kehidupan kita manusia. Kepenuhan manifestasi itu dapat kita alami di dalam Yesus Kristus:
”Lebih unggul dari setiap ajaran manusiawi adalah agama kita, sebab Kristus, yang telah dinyatakan karena kita, adalah Logos yang utuh: Tubuh, Logos, dan Jiwa. Sebab apa saja telah dikemukakan atau dikatakan para filsuf atau pemimpin, disimpulkan mereka dengan berjerih payah berdasarkan hanya sebagian Logos melalui jalan pengalaman dan pengamatan. Dan karena mereka belum mengenal kepenuhan Logos yang adalah Kristus, mereka sering menyimpulkan dan merumuskan hal-hal yang saling bertentangan” (Apologi II, 10).
Konsep Yustinus mengenai ”logos spermatikos” memberi dasar pada ide palsu bahwa setiap tradisi kafir adalah jalan legal kepada Kristus.
Kenyataan ide itu dilihat Yustinus dalam misalnya, Sokrates, yang hidup sebelum Kristus. Sokrates memproklamasikan pandangannya (dan oleh karena itu ia mati dibunuh) bahwa manusia harus bertobat dari politeisme dan bahwa mereka harus tertuju pada pencarian akan Allah yang dikenal melalui penelitian dan rasio. Yustinus mengutip katakata Sokrates: ”Tidak mudah untuk mencari dan mene mukan Bapa dan Pencipta alam semesta; berbahaya juga, jika telah menemukan, dan memberitahukan nya kepada semua orang.” Justru hal itu, menurut Yustinus, direalisasikan oleh Kristus. Di tempat mana Sokrates harus berhenti karena keter batasannya (sebab ia hanya diberitahu sebagian dari Logos = Kristus), Kristus sendiri berhasil seratus persen karena ”Dia telah ada dan masih ada Logos yang berdiam di dalam semua....”
Pandangan Yustinus mengenai ”logos spermatikos” masih sering dipakai dalam beraneka ragam teori mengenai penghargaan kebaikan dan kebenaran dalam agama-agama lain. Atau untuk menunjuk makna universal kehidupan dan karya Kristus. Juga untuk membuktikan bahwa pengaruhnya yang universal itu tidak hanya mulai pada waktu kehidupan-Nya atau setelah kebangkitanNya. Jika ide ”logos spermatikos” dielaborasikan sebesar-besarnya maka hasilnya adalah bahwa semua filsafat sekuler muncul dari sumber yang sama. Atau bahwa dalam banyak hal dapat dilihat segala macam penyataan Allah, tanpa membuka dan membaca Alkitab. Melalui jalan itu orang dapat menghargai secara positif segala macam ”primal religions” (agama-agama autentik) di Afrika sebagai persiapan kedatangan Injil dan penerimaan Kristus. Dengan demikian keunikan dan eksklusivitas kepercayaan Kristen mudah disangkal. Menurut pandangan itu, Allah juga menyatakan diri dalam buku-buku pewahyuan dari agama lain, dan dalam tradisi-tradisi lisan yang terdapat dalam segala mite suku-suku animistis.
Pandangan Yustinus dipakai (atau disalahgunakan) orang untuk menganjurkan pendapat bahwa segala macam sumber di luar Alkitab mengedepankan Kristus. Padahal (jelas dari tulisan-tulisannya) Yustinus justru menyatakan ketidakmungkinan mengenal Kristus dari sumber-sumber lain. Sumber satusatunya yang menuntun kepada Kristus menurut Yustinus adalah Perjanjian Lama. Dengan kata lain, dalam segala penghargaan yang positif mengenai filsuf-filsuf dan penyair-penyair, Yustinus tidak pernah mengabaikan kebenaran Sola Scriptura yang kemudian akan dikembangkan oleh para reformator pada abad ke-16. Kwame Bediako, seorang teolog Afrika, menggunakan pandangan Yustinus untuk membuktikan bahwa sejak Gereja Kuno, sudah ada teologi yang melihat garis lurus dari tradisi Yahudi maupun dari tradisi Yunani (helenistis) menuju Kristus. Dengan demikian Bediako hendak membuka jalan bagi teori bahwa tradisi-tradisi religius Afrika adalah jalanjalan yang legal menuju Yesus Kristus. Dalam bukunya ”Christianity in Africa” ia memasukkan banyak tokoh dari nenek-moyang Afrika yang baik (yang belum sempat mengenal Kristus) ke dalam kalangan mereka yang bersaksi mengenai Kristus. Pandangan ini sekaligus membuka jalan bagi sebuah tradisi Kristiani yang berwarna-warni dan yang beraneka ragam. Dengan demikian kesatuan asasi dalam Kristus (yang tetap sama, dahulu, kini, dan sampai kekal) akan merosot, bahkan hilang, dan digantikan dengan banyak interpretasi Kristus menurut selera manusia. Tentang Bediako, juga dapat dijumpai pada ekskursi dalam § 5 mengenai penyataan umum.
Sesudah Yustinus, tampil berbagai teolog lain yang menulis mengenai hal yang sama. Tertulianus(sekitar 160–230) dalam risalahnya menulis De Testimonio Animae (Mengenai Kesaksian Jiwa) bahwa manusia mampu mengerti sesuatu mengenai ”sebuah wujud” (suatu eksistensi pribadi) yang telah menciptakan dunia sebagai tempat kehidupan manusia. Tertulianus sekaligus menunjukkan keterbatasan sumber pengetahuan itu.
Agustinus(sekitar 354–430) mengakui bahwa Allah menyatakan diri melalui alam, tetapi ia juga menekankan bahwa manusia hanya dapat dibimbing ke pengetahuan ilahi yang benar melalui iman. Allah menyatakan diri-Nya dalam segala hal yang dapat dilihat, tetapi jalan ke kebenaran yang kekal terutama terdapat dalam pengetahuan diri dan kesadaran diri.
Pada abad-abad yang pertama dalam teologi gerejawi, ada perkembangan kedwisegian dalam pembahasan mengenai wahyu Allah, yaitu pengembangan suatu teologi alamiah di samping teologi alkitabiah. Teologi alamiah hendak membuktikan dogma-dogma Kristen tanpa menggunakan isi Alkitab.
Anselmus (sekitar 1033–1109) adalah teolog yang mencoba membuktikan Allah berdasarkan bukti-bukti ontologis berdasarkan ilmu logika. Dalam bukunya Cur Deus Homo (Mengapa Allah menjadi Manusia?), ia mencoba membuktikan terjadinya Allah sebagai manusia. Dalam sejarah gereja, beberapa teolog telanjur menghargai penyataan umum. Semakin positif penghargaan itu, semakin luas ruang bagi suatu teologi alamiah. Misalnya, Raymund van Sabunde(sekitar 1390–1432), yang mencoba menjabarkan seluruh ajaran iman dari alam manusiawi secara independen, yaitu tanpa pertolongan dari Alkitab atau tradisi gerejawi. Yang terjadi dalam hal seperti ini sebenarnya adalah pembalikan kenyataan. Sebab dalam daya upaya ini, semua dogma sudah dikenal dan berfungsi sebagai praanggapan. Dogma-dogma itu dijabarkan dari penyataan khusus (Alkitab) dan tidak muncul dari penyataan umum (alam). Walaupun demikian, semua percobaan itu telah merintis jalan bagi suatu pendekatan kebenaran Kristen yang rasionalistis. Pembedaan antara ”teologi naturalis” dan ”teologi supernaturalis” (dasar penyataan umum dan khusus) mengakibatkan terjadinya dua aliran teologi yang saling berlawanan. Relasi antara ratio dan fides (akal dan iman) bertambah tegang. Dalam teologi Katolik
Roma, pembedaan antara pengetahuan dan kepercayaan, antara penyataan alamiah dan penyataan supernatural, menuntun ke suatu dualisme yang tidak sehat. Mereka membedakan dua wilayah (alam dan anugerah, kenyataan alam dan misteri iman) sebagai dua dunia yang terpisah, dan masing-masing mempunyai kaidahnya sendiri.
Para teolog reformasi telah mengambil alih prinsip perbedaan antara ”revelasio naturalis” dan ”revelasio supernaturalis”. Tetapi, mereka mengubah isi ajaran ini secara radikal. Mereka memang mengakui adanya penyataan Allah di dalam alam. Tetapi manusia, yang akalnya gelap, tidak mampu memahami penyataan itu secara baik dan benar. Untuk memahami penyataan Allah di dalam alam, harus ada penyataan khusus untuk memahami apa yang hendak Allah nyatakan melalui alam itu. Itu adalah hal pertama. Kemudian, Allah harus menyiapkan manusia agar manusia dapat memahami penyataan Allah dalam alam. Untuk itu, manusia perlu diterangi oleh Roh Kudus. Untuk memahami penyataan Allah dalam alam, harus ada penyataan khusus sebelumnya. Penyataan khusus itu dapat ditemukan ”hanya di dalam Alkitab”, Sola Scriptura. Di bawah ini kita menyoroti Luther secara singkat dan Calvin secara luas. Karena dalam Institutio, Calvin secara sangat dalam membahas masalah penyataan umum dan penyataan khusus.
Luther
Menurut Luther, jika manusia berdasarkan alam mencoba mengerti Allah dan karya-Nya untuk menyelamatkan manusia, maka terang alamiah tetap menyatakan diri sebagai kegelapan. Luther sangat keras menentang segala upaya penelusuran Allah di luar penyataan-Nya yang khusus. Ia menyifatkan setiap upaya teologi alamiah sebagai pekerjaan Iblis. Bagi Luther korelasi yang sehat antara penyataan umum dan penyataan khusus hampir tidak mungkin lagi. Pandangannya bermuara pada suatu visi yang ekstrem: Luther mendefinisikan dua bidang kehidupan yang terpisah, yakni hukum dan Injil atau alam dan karunia.
Tetapi Luther juga tidak dapat menyangkal bahwa rasio melahirkan kebijaksanaan dan hikmat. Dipaksa oleh kenyataan itu, Luther mengonstruksikan suatu pemisahan antara hal rohani dan jasmani, antara hal surgawi dan duniawi, antara yang kekal dan yang fana. Murid-murid Luther membedakan dua ”hemisfer”, dua ”regimen”. Di dalam regimen yang duniawi, rasio masih agak bebas dan berguna, agak otonom, dan independen dari iman. Tetapi dalam ”regimen kekal” (kerajaan Allah) yang berwewenang penuh adalah firman Allah sebagai penyataan yang satu-satunya.
Calvin
Calvin telah mengembangkan visi yang berbeda dari Luther. Dia bertitik tolak dari ide gratia communis: anugerah umum. Calvin juga tidak dapat mengabaikan perbedaan dualistis antara revelasio naturalis dan supernaturalis. Bagi Calvin, rasio memainkan peran penting di samping iman. Di dalam Institutio, Calvin mengutip pendapat Cicero (seorang negarawan Roma, 106–43 SM): ”tidak ada satu bangsa yang begitu barbar, tidak ada satu suku umat manusia yang begitu jalang, sehingga tidak memiliki keyakinan adanya suatu allah”. Calvin mengembangkan konsep semen religionis (benih keagamaan, Institutio I,3,1) yang berakar dalam lubuk jiwa manusia. Hal ini, menurut Calvin, dibuktikan secara nyata oleh para filsuf. Karena, kalau tidak, bagaimana Plato dapat mengajarkan bahwa ”kebaikan yang tertinggi yang dapat dinikmati manusia adalah kesamaan dengan Allah?” Kebaikan agama ditunjukkan dan dipuji banyak filsuf.
Calvin: ”Mau kita katakan bahwa para filsuf buta, ketika mereka mengamati dan menggambarkan alam dengan cara yang begitu teliti serta ahli?”
Ternyata, menurut Calvin, di dalam hati manusia, Allah telah meletakkan benih keagamaan. Dan bukan itu saja. ”Dia tidak hanya membenamkan benih keagamaan dalam hati manusia, tetapi Dia juga telah menyatakan diri-Nya dalam seluruh ciptaan di dunia ini, dan setiap hari memperlihatkan dan menyatakan diri-Nya di dalamnya, sehingga orang tidak dapat membuka mata tanpa terpaksa melihat Dia” (Institutio I,5,1).
Ciptaan, menurut Calvin, berkata-kata dalam suatu bahasa yang dapat dimengerti semua bangsa dunia. Ia mengacu kepada Mazmur 19:1. Tetapi tentu juga Paulus, yang menerangkan secara jelas dalam Roma 1 ”pada semua karya-Nya telah diterangkan-Nya tanda-tanda yang pasti dari kebesaranNya, begitu jelas dan begitu terang kelihatannya, sehingga yang paling kasar dan yang paling dungu sekalipun tidak dapat mengajukan dalih bahwa ia tidak tahu”(Institutio I,5,1). Dan mengenai rasio, Calvin berkata: ”...usahausaha akal manusia tidak selalu begitu hampa sehingga sama sekali tidak ada hasilnya. Manusia menurut kodratnya adalah makhluk sosial; naluri alamiah mendorongnya untuk mengasuh dan memelihara persekutuan” (Institutio II,2,13).
Sekali lagi Calvin menyebut para filsuf: mereka yang diperkenankan oleh Allah untuk mengecap sebagian kecil dari keilahan-Nya (Institutio II, 2,18). Calvin mengamati efek-efek anugerah umum itu dalam tingkah laku orang non-Kristen, dalam pemerintahan kota, politik, ekonomi, seni dan ilmu. Juga dalam karya-karya keadilan. ”Kekuatan kecerdasan manusia tampak pula dalam ilmu pengetahuan, kerajinan tangan, dan pertukangan” (Institutio II,2,14).
Ternyata manusia mempunyai suatu pengertian umum yang ditanamkan Allah di dalamnya. Tidak ada seorang manusia pun yang kesepian akan terang akal.
Calvin mendorong para pembacanya untuk membaca tentang Demostenes atau Cicero, Plato, Aristoteles... ”Maukah kita menyangkal bahwa kebenaran menyinari ahli-ahli hukum zaman dahulu kala, yang menegakkan tata tertib masyarakat dengan kepekaan yang sangat besar terhadap keadilan? Mau kita katakan bahwa para filsuf buta, ketika mereka mengamati dan menggambarkan alam dengan cara yang begitu teliti serta ahli? (...) Mau kita menganggap hal itu sebagai igauan orang-orang gila?” ”Bilamana kita menemukan hal-hal ini dalam penulis-penulis nonreligius, maka cahaya kebenaran yang bersinar di dalam mereka yang sangat mengagumkan itu boleh menjadi pelajaran bagi kita. Akal manusia memang telah jatuh dan keutuhannya telah dirusak. Tetapi akal itu diperlengkapi dan dihiasi karunia-karunia Allah yang gemilang. Kalau kita memandang Roh Allah sebagai satu-satunya sumber kebenaran, maka kita tidak akan menolak kebenaran itu sendiri, dan tidak juga meremehkannya, di mana pun kebenaran itu menampakkan diri, sebab kita tidak mau menghina Roh Allah” (Institutio II,2,15).
Karena itu, menurut Calvin, kita tidak dapat katakan bahwa mereka yang tidak mempunyai penyataan Allah yang khusus, sama sekali buta. ”Mereka secara alamiah mempunyai keadilan hukum yang ditulis dalam hati mereka” (Institutio II,2,15). Calvin memang sangat jelas dalam hal ini: ”Tetapi hal-hal ini, yang harus kita ambil dari kedua loh Hukum Taurat, ditegaskan pula kepada kita oleh hukum batin, seperti yang telah kami katakan dahulu, tersurat dan seakan-akan tertera di dalam hati semua orang. Sebab suara hati kita tidak membiarkan kita tertidur terus tanpa menyadari sesuatu. Tetapi dalam batin diberinya kesaksian dan diingatkannya kita pada apa yang sepatutnya kita berikan kepada Allah, diajukannya kepada kita perbedaan antara yang baik dan yang buruk...” (Institutio II,8,1).
Anugerah Umum ( Semen religionis)
Calvin berbicara di sini mengenai anugerah umum. Hal itu tidak sama dengan penyataan umum. Apa bedanya? Anugerah umum dianugerahkan Allah sebagai karunia dalam rangka perjanjian alam. Setelah air bah Dia telah berjanji untuk tidak lagi memusnahkan dunia: ”Aku takkan mengutuk bumi ini lagi karena manusia (…) Selama bumi masih ada, takkan berhenti-henti musim menabur dan menuai, dingin dan panas, kemarau dan hujan, siang dan malam” (Kej. 8:21-22). Allah setia pada perjanjian itu dengan memelihara bumi dan seluruh umat manusia sehingga semua dapat hidup dan menikmati kebaikan (dalam bentuk kesuburan, buah-buahan, sayur-sayuran, hujan, matahari, dan seterusnya). Itu tidak berarti bahwa di dalam anugerah umum itu terdapat juga penyataan umum.
Kata-kata Calvin mengenai anugerah umum direlatifkan oleh Calvin sendiri. Segala kebaikan yang disebut tadi oleh Calvin diiringi dengan berbagai restriksi yang jelas: ”Sejauh mungkin, dunia berusaha menghabiskan segala pengetahuan akan Allah dan memusnahkan segala ibadat kepadaNya” (Institutio I,3,3). Calvin berkata: ”... lampu-lampu yang menyala dengan indahnya pada bangunan dunia ini dengan sia-sia menerangi kita untuk memperlihatkan kebesaran Pembuatnya. Memang lampu-lampu itu mengelilingi kita, tetapi tidak dengan sedemikian rupa hingga hanya dengan cahayanya saja dapat membawa kita ke jalan yang lurus” (Institutio I,5,14).
Mengenai akal budi, Calvin berkata: ”Rasio yang memampukan manusia untuk membedakan yang baik dan yang buruk, adalah cahaya yang masih tetap bersinar di dalam kegelapan (Yoh. 1:5), akan tetapi ... cahaya ini dipadamkan oleh kerapatan kejahilan” (Institutio I,2,12). Menurut Calvin, semen religionis yang diberikan kepada semua orang, tidak ada seorang pun yang merawatnya, sehingga benih itu tidak pernah bertumbuh. Buah yang perlu diperlihatkan tidak kelihatan atau tetap buruk: ”Orang-orang kafir seperti Plato memang sangat pintar dalam penalaran mereka, tetapi alam membuat kita semua, dan mereka juga, mengalami kerontokan sampai pada kegilaan dan pada pikiranpikiran jelek yang dari daging. Kita mendeformasikan kebenaran Allah yang murni oleh pikiran kita yang sia-sia. (...) Kita semua sangat sama, sehingga kita semua tanpa kecuali menolak Allah satu-satunya yang benar dan berpaling ke kesia-siaan kita yang tidak wajar. (...) Betapa limpahlah seluruh kaum filsuf sudah membuktikan kebebalannya dan kekecilannya dalam hal ini!” (Institutio I,5,11). Calvin membabat segala kecongkakan dan prestasi manusiawi, yang semuanya di mata Tuhan adalah hal-hal fana seperti angin lalu ”selama hal itu tidak difondasikan pada kebenaran ilahi” (Institutio II,2,16).
Jadi, Calvin mengakui bahwa Allah, dengan mengaruniakan anugerah umum kepada semua orang, juga menyatakan diri-Nya secara umum. Allah memelihara manusia sedemikian rupa sehingga manusia dapat melawan kodratnya sendiri dengan membedakan yang baik dan yang buruk, yang sopan dan keji. Calvin sangat memerlukan penentuan ini untuk memperkuat pendakwaannya terhadap manusia melalui penalaran ini: Allah menyatakan diri-Nya begitu jelas, sehingga manusia tidak dapat berdalih, dengan cara apa pun juga. Menurut Calvin, dalam Roma 1, Paulus tidak bermaksud menyatakan bahwa Allah dapat diketahui atau dimengerti dari alam. Penyataan yang dapat diketahui dari alam hanya bermaksud untuk menentukan bahwa orang-orang yang tidak percaya tidak dapat berdalih. Penyataan itu tidak mempunyai maksud lain atau kuasa yang lebih. Penyataan umum itu mencukupi agar orang tidak dapat berdalih, dan sama sekali tidak mencukupi untuk mengenal Allah yang benar.
”Kacamata iman” dan ”tikus mondok”
”Maka tidaklah dengan sia-sia ditambahkan-Nya pula terang Firman-Nya, supaya mulai ada pengetahuan tentang Dia yang membawa keselamatan. Hal itu adalah suatu anugerah istimewa yang dikaruniakan-Nya kepada mereka yang ingin diterima-Nya lebih dekat dan lebih akrab kepada diriNya” (Institutio I,6,1). Setelah itu Calvin mulai berkata mengenai kacamata iman: ”Orang-orang tua, atau yang matanya suka berair atau sudah kabur, sukar sekali dapat membaca dua kata berturut-turut apabila disodori buku yang paling indah pun, meskipun mereka melihat tulisannya; tetapi dengan kacamata segera mereka tertolong dan mulailah mereka membaca dengan jelas. Demikian pula Alkitab di dalam hati kita mengumpulkan pengetahuan akan Allah, yang tanpa Alkitab itu akan membaur dan tercecer, menghapuskan kegelapan dan memperlihatkan dengan jelas kepada kita Allah yang benar” (Institutio I,6,1).
Menurut Calvin, tanpa kacamata ini, tidak heran ”bahwa pada banyak orang dapat dilihat kebebalan dan kebodohan yang besar” (Institutio I,7,5). Di tempat lain ia mengungkapkan hal itu dengan lebih tajam: ”... kalau halnya adalah mengenai pengetahuan akan Allah, dan pengetahuan akan anugerah kebapaan-Nya terhadap kita, yang merupakan keselamatan kita maka orang-orang jenius yang paling besar pun lebih buta daripada tikus mondok” (Institutio II,2,18 - ”tikus mondok” adalah binatang kecil yang hidup di bawah tanah dan tidak mempunyai daya penglihatan). Untuk mengenal Allah dengan benar-benar kita memerlukan Roh Kudus: ”Hanya orang yang mendapat ajaran batiniah dari Roh Kudus itulah yang sungguh-sungguh bertumpu pada Alkitab” (Institutio I,7,8) dan ”Itu bukan Roh yang melalui suatu kuasa umum bekerja di dalam seluruh kaum manusia dan di dalam setiap makhluk manusiawi, tetapi Roh yang berada di dalam kita sebagai akar dan benih kehidupan surgawi” (Institutio III,1,2). Bahkan jika manusia mengamati sesuatu dari Allah, ia tidak akan mengerti dan membengkokkan hal itu sampai seperti sebuah karikatur. Bagi Calvin penyataan Allah yang umum dalam alam tidak dan tidak pernah akan menuntun manusia pada pengetahuan yang murni akan Allah.
Status manusia: total depravity – sola gratia
Alasan Calvin untuk menekankan ketidakmungkinan radikal itu terdapat dalam ajarannya mengenai kerusakan total kodrat manusia (total depravity korupsitotal). Fakta yang tidak terelakkan itu menghalangi manusia secara tetap untuk memikirkan sesuatu yang baik dan untuk mengenal Allah melalui jalan pengamatan manusiawi. Calvin sama sekali tidak melihat kemungkinan bagi suatu teologi alamiah yang dapat dikembangkan berdasarkan suatu penyataan umum. Dari diri nya sendiri manusia sama sekali tidak dapat mengembangkan sesuatu yang baik. Daya manusia yang alamiah, khususnya kemampuannya untuk bernalar dan berpikir, sudah sangat dirusakkan sehingga manusia dilukai dan dikerat dari kesempurnaan supernatural.
Ajaran yang radikal ini dapat kita mengerti mengingat latar belakang zaman Calvin itu. Latar belakang itu diwarnai oleh Renaissance dan Humanisme. Renaissance adalah zaman pembaruan dengan membangkitkan perdagangan, penjelajahan, seni ukir, lukisan, musik, dan sains. Sedangkan Humanisme sebagai filosofi menekankan kemampuan manusia untuk berbuat baik. Zaman ini merupakan perubahan budaya dan ilmu yang menuntun kehidupan intelek Eropa ke modernisme dan sekularisme. Yang dipusatkan adalah individu manusia dan kemerdekaan rasio manusiawi. Kaum elite masa itu membebaskan diri dari supremasi gereja dan klerusnya, suatu perkembangan yang diselesaikan kemudian dalam Zaman Pencerahan (Enlightenment) ketika manusia mengklaim otonominya untuk berpikir bebas.
Calvin sangat melawan pikiran Skolastik (yang sudah dikembangkan sejak abad ke-13) bahwa manusia tanpa pertolongan sesuatu yang super natural mampu untuk berbuat sesuatu yang baik. Meskipun manusia telah jatuh dalam dosa (hal itu tetap diakui Skolastik), manusia masih mampu memperkirakan kebenaran. Ketika benih ini dalam Renaissance dan Humanis me mulai bertumbuh ke ”modernisme” dan ide rasio yang bebas, Calvinlah yang menyerang kecong kakan manusiawi ini dengan ajarannya mengenai keru sakan total manusia (total depravity).
Tanpa iman dan tanpa penyataan khusus (pemberian sola gratia) manusia tidak mampu untuk mengenal Allah.
Menentang pretensi kemampuan manusia ini, Calvin menekankan ajarannya mengenai Sola Gratia (hanya karena anugerah). Dalam hal menentang kecongkakan, ia menekankan kerendahan manusia. Karena sekalipun kita melihat kemampuan manusia dalam beranekaragam titik terang, khususnya dalam kemampuannya untuk berpikir, titik terang-titik terang itu tidak disebabkan oleh manusia sendiri; tetapi, bersyukurlah kepada Allah, yang telah menghiasi manusia dengan karunia-karunia yang istimewa. Semua kebaikan itu ”janganlah dipuji orang sebagai prestasi alam manusiawi, melainkan sebagai karunia Roh Allah” (Institutio II,3,4). Tanpa iman dan tanpa penyataan khusus (yang diberikan Allah kepada manusia hanya karena anugerah (Sola Gratia) manusia tidak mampu mengenal Allah dan kerajaanNya melalui dirinya sendiri. Manusia tetap ”lebih buta dari tikus mondok”.
Di atas kita sudah melihat bahwa sejak zaman Skolastik dan seterusnya dalam Renaissance dan Humanisme, roh rasionalisme mulai bergerak bebas. Yang di dalamnya dengan sekuat-kuatnya Calvin membuang ide teologi alamiah, sedangkan banyak teolog lain yang merasa tertarik untuk mengolah ide itu. Mereka berpendapat bahwa teologi alamiah dapat menuntun manusia ke kebenaran yang sempurna. Di kalangan ”deisme” Inggris dan ”rasionalisme” Jerman, dapat dilihat hasil pendapat ini. Pengaruh teologi alamiah dan rasionalistis makin bertambah kuat. Akhirnya peran theologia revelata (teologi yang berdasarkan wahyu) dibuang sebagai hal yang tidak dibutuhkan lagi. Misalnya, seorang Inggris, Herbert van Cherbury (tahun 1581-1648) mengajukan satu teologi yang berisi lima pasal: (1) Adanya suatu Wujud yang paling tinggi, (2) Wujud itu lalu kita persembahkan (3) khususnya melalui kebaikan dan kesalehan (4) kita patut bertobat karena dosa-dosa kita (5) setelah kehidupan ini keadilan Allah akan memberi keselamatan atau hukuman. Deisme adalah aliran teologi yang sangat berpengaruh. Agama yang rasionalistis ini memahami Allah sebagai wujud transenden yang tetap jauh dari dunia yang telah diciptakan-Nya. Dia sendiri tidak lagi berada atau bertindak lagi di dalam alam dunia (Dia tidak imanen lagi, tetapi hanya transenden). Dengan demikian deisme mencoba membebaskan dunia dari belenggu kuasa-kuasa supernatural. Dengan kuasa pemikiran, manusia dapat menyimpulkan adanya sesuatu seperti ”allah”, yang patut dipuji dan yang mewajibkan manusia untuk hidup baik dan saleh dan mengakui norma dan nilai yang rasional. Paham ini dikembangkan, dan pada masa kini kita kenal sebagai intelligent design. Banyak ilmuwan dalam penelitian alam mengakui adanya suatu wujud inteligen yang telah mendesain segala sesuatu.
Argumentasinya sebenarnya sangat simpel: Bayangkanlah Anda berjalan di tepi pantai dan Anda menemukan satu jam tangan di situ. Kompleksitasnya membuat Anda menarik kesimpulan bahwa arloji itu tidak dapat terwujud secara spontan. Kesimpulan: harus ada seseorang yang telah membuat arloji yang sangat bagus dan kompleks itu. Demikianlah, sama dengan alam yang sistemnya sangat kompleks dan rumit. Misalnya, mata manusia. Mata itu begitu terinci dan hebat sistemnya, sehingga harus ada pembuatnya, ilahi yang telah merencanakannya.
Pada abad ke-18, Imanuel Kant (1724–1804) membuang ide deisme secara radikal. Karangan yang paling terkenal filsuf ini adalah Kritik atas Rasio Murni. Kant tidak melihat kemungkinan bagi rasio untuk memahami halhal metafisik (supraalam) melalui penelitian alam. Semua teologi alamiah dibuangnya sebagai sampah. Hasil teologi alamiah tidak lebih dari spekulasi. Setiap bentuk religi direduksinya sebagai etika yang memang sangat penting bagi umat manusia. Kant meletakkan asas teologi yang rasional, yang di kemudian hari dikembangkan dan dikenal sebagai teologi etis. Menurut Kant, sejarah segala agama dunia memperlihatkan secara jelas bahwa tidak ada satu agama pun yang dapat hidup berdasarkan revelasio alamiah saja. Setiap agama menyatakan kekuatannya dalam mengajukan kaidah-kaidah etis bagi kehidupan masyarakat secara bersama-sama.
Pada era yang sama juga diakibatkan oleh pengaruh rasionalisme kritik teks Alkitab makin meruntuhkan wewenang penyataan khusus yang datang kepada kita dalam jubah Kitab-kitab Suci. Menurut paham ini Kitabkitab Suci bersifat endapan pengalaman-pengalaman manusia dengan sang Ilahi. Perbedaan antara penyataan umum dan khusus makin dihapus. Pada akhirnya, menurut paham ini, semua agama lahir dari manusia dan tidak dari suatu ilah yang transenden.
Kegagalan teologi alamiah untuk mengenal Allah yang benar atau agama yang benar di luar Alkitab dan di luar Kristus makin jelas. Teologi alamiah dibongkar sebagai prakarsa intelektual yang ternyata memasuki jalan buntu. Dengan ajarannya mengenai wahyu Allah, Karl Barth (1886–1968) secara kuat sekali melawan ide revelasio umum dan teologi alamiah. Teolog Swiss ini sangat dipesonakan oleh Deus absconditus (ketersembunyian Allah). Allah sebenarnya tidak dapat dikenali. Bahkan di dalam penyataan Yesus Kristus, Allah tetap tersembunyi dan tidak dapat dikenali. Kristus adalah Deus Inkognito.
Allah menyembunyikan diri-Nya dalam pemanusiaan Anak-Nya, yaitu pemanusiaan Firman-Nya. Kemanusiaan Yesus adalah penyelubungan Allah bagi kita. Dia sendiri tidak memperlihatkan diri. Menurut Barth, ”Tidak ada pewahyuan selain dari pewahyuan misteri sebagai misteri”. Allah tetap adalah misteri. Seluruh karya Barth penuh dengan ide ini. Misalnya, Barth memulai pembahasan Roma 1:18-21 dengan berkata: ”Allah! Kita tidak tahu apakah itu yang kita maksudkan. Seorang yang percaya tahu bahwa ia tidak tahu” (Römerbrief, hal. 18). Serentak dengan itu, Barth memandang Kristus sebagai pusat segala sesuatu, sebagai titik fokus bagi seluruh teologi. Itulah yang merupakan garis besar yang kedua dalam teologi Barth.
Dalam teologi Barth, hal ini disebut Konsentrasi Kristologis. Ajaran Barth mengenai Penyataan Allah ditentukan oleh Konsentrasi Kristologis ini. Seluruh karya teologinya (ribuan halaman) menempatkan Kristus sebagai inti, pusat yang satu-satunya. Kita hanya dapat berbicara sedikit mengenai Allah di dalam dan oleh Yesus Kristus. Kristologinya adalah pelajaran Penyataan Allah, karena, menurut Barth, di dalam Kristus saja terjadi pewahyuan Allah. Penderitaan Kristus dan pendamaian-Nya adalah perbuatan Allah untuk menyatakan diri-Nya. Pada waktu itu, Allah, di dalam sejarah, berpenampang vertikal dari atas sebagai kilat kenyataan kita yang horisontal.
Cara pemikiran teologis ini mempunyai akibat-akibat yang amat sangat besar. Pada Barth, penyataan Allah datang kepada manusia hanya dari atas, secara vertikal, tetapi penyataan itu tidak mengantar manusia secara horisontal. Tidak ada kelangsungan, tidak ada pelataran, tidak ada sejarah, tidak ada agama.
Pada satu sisi Barth melawan rasionalisme dan modernisme sebagai hibris
(keangkuhan murni)yang membuat semua teologi bersandar pada antropologi dan yang pada akhirnya hanya mengkhayalkan pengetahuan. Pada sisi lain ia menentang subjektivisme dari teologi kesalehan (pietisme) dan penghayatan mistik (gnostik) abad ke-19.
Dengan demikian Barth membimbing gereja kembali ke suatu Allah yang secara berdaulat menyatakan diri-Nya sendiri dari atas kepada kenyataan kita yang di bawah. Barth sama sekali tidak mengakui adanya sesuatu di dalam kenyataan alam yang memungkinkan manusia untuk percaya. Atau yang memberikan kemampuan beragama atau untuk melihat sedikit saja dari Allah yang benar. Barth melawan secara radikal ide logos spermatikos dan setiap ide religi alamiah. Ia menentang setiap sistem yang dibuat manusia di bawah ini dan yang disebutnya agama atau hikmah. Semua bentuk dan ekspresi religi adalah hasil keangkuhan dan kesia-siaan manusia.
Hanya di dalam Kristus, Allah telah menyatakan diri-Nya satu kali dan cukup: perbuatan wahyu Allah=Yesus Kristus=anugerah=perdamaian. Tetapi, sebagaimana yang sudah disebut di atas, di dalam wujud manusia (Kristus), Allah sebenarnya tidak menyatakan Diri tetapi Dia menyelubungkan Dirinya sendiri. Di dalam penyembunyian itu Dia menghadirkan kasih-Nya di dalam kenyataan hidup manusia.
Kristus adalah inti pusat dan titik fokus historis penyataan Allah. Hal itu mempunyai akibat yang dahsyat bagi ajaran Barth mengenai Alkitab. Di dalam seluruh Perjanjian Lama tidak terdapat penyataan Allah, hanya momenmomen dan kesaksian-kesaksian yang mengacu pada kedatangan Kristus yang akan datang. Seluruh Perjanjian Baru adalah juga bukan wahyu yang sebenarnya, melainkan hanya ”refleksi” Kristus. Kitab-kitab Injil dan katakata Kristus yang dituturkan adalah kesaksian-kesaksian mengenai saat ketika Allah di dalam Kristus masuk ke dalam kenyataan manusia. Sakramen, gereja, khotbah semua itu adalah semata-mata refleksi dari atau acuan kembali ke momen-momen historis itu. Kristus adalah penyataan Allah, dan semua hal lain adalah penjabaran dari Dia yang mengacu kepada Dia. Penjabaran dan acuan itu sendiri bukanlah penyataan Allah, karena Dia sendiri tidak aktif di dalamnya.
Jadi, untuk menilai kadar kebenaran dan penyesatan agama-agama dunia, hanya terdapat satu tolok ukur (kriteria): nama Yesus Kristus. Dengan menekankan bahwa wahyu sebagai perbuatan Allah saja, Barth berpendapat bahwa setiap pembentukan dan pengolahan manusiawi akan wahyu itu sedikit pun tidak mempunyai wewenang atau otoritas. Itu semua adalah bentuk dan fenomena manusiawi. Bukan dari atas, dari Allah.
Baik perbuatan wahyu dan penerimaannya serta pengolahannya (secara religius, liturgis, teologis) berasal dari Allah, dari atas. Manusia tidak mampu untuk membuahkan kebenaran. Dari seluruh sejarah kemanusiaan, sejarah filsafat, dan agama (termasuk agama Kristen), nyata ketidakmampuan imanen untuk membuahkan atau membuat kebenaran sendiri.
Karl Barth membuang setiap ide penyataan umum, yang menurutnya hanya menuntun ke universalisme penyataan.
Di dalam dogmatiknya, Kirchliche Dogmatik I,2, Barth menulis satu bagian yang berjudul: ”Penyataan Allah meniadakan agama”. Konsentrasinya pada Kristologis (yang dapat dinilai sebagai keterlaluan Kristologis), membasmi setiap spekulasi falsafah, setiap konstruksi teologis mengenai suatu penyataan umum atau agama alamiah. Setiap percobaan manusia untuk naik kepada Allah dan untuk mengetahui Allah secara benar (sebagaimana diusahakan dalam agama alamiah dan juga dalam mistik Pietisme) bertabrakan dengan Sola Gratia, yang merupakan satu-satunya ciri khas karya Allah. Bertabrakan juga dengan ide kedaulatan Allah.
Berdasarkan hal ini, kita juga dapat memahami mengapa Barth secara fanatik menentang ”pelajaran dua sumber” (sebagaimana terdapat misalnya dalam PIGB pasal 2). Di dalamnya Barth melihat pengaruh bahaya rasionalisme dengan teologinya yang alamiah. Barth membuang jauh setiap ide penyataan umum, yang, menurutnya, hanya menuntun ke universalisme penyataan.
Pengajaran Barth ini telah mendapatkan banyak tepuk tangan, tetapi juga mendapat banyak kritikan. Kita hanya menyebut satu contoh kritik. K. Schilder, (tokoh teolog Belanda) menentang ajaran Barth mengenai penyataan: ”Allah tidak saja bersinar cemerlang dari atas secara vertikal ke dalam kenyataan kita yang horisontal; Dia juga berjalan di depan kita dalam tiang awan dan dalam tiang api melalui jalan-jalan berputar kita yang secara horisontal melintasi padang gurun-padang gurun dunia”.
Sejarah dogma penyataan selalu memperlihatkan dua kutub yaitu dari manusia atau dari Allah, dari atas atau dari bawah:
Allah sebagai titik tolak: Allah Sang Berdaulat, Sang Transenden, menampang dari atas kenyataan manusia yang di bawah. Dia sendiri yang menentukan saat dan cara penyataan itu. Manusia dengan seluruh kemampuan dan pengetahuannya tidak mampu untuk mengenal Allah secara benar, selama Allah sendiri tidak menerangkan kepada manusia, apa yang dilihat dan diketahui manusia. Manusia hanya dapat mengetahui secara benar jika ia dibimbing oleh Roh Allah. Semua hal yang di luar bimbingan itu, betapa pun bagusnya (seni, musik), betapa tinggi pun harapannya (agama), betapa pun cerdiknya (teologi, filsafat, ilmu) merupakan pengetahuan yang tidak sempurna, tidak benar, dan semu. Anggapan ini membuang setiap ide teologi alamiah sebagai instrumen tersendiri untuk mengenal Allah.
Manusia sebagai titik tolak: manusia tentu mampu mengenal Allah dari alam melalui penalaran rasional dan emosional. Melalui jalan itu ia dapat memikirkan suatu Allah. Bahkan ada teolog yang menunjuk teologi alamiah sebagai jalan satu-satunya untuk mengenal Allah. Titik tolak ini juga membuka kemungkinan untuk memperlihatkan unsur-unsur kebenaran dalam agamaagama lain yang bukan Kristen dan mengakui unsur-unsur itu sebagai penyataan Allah yang benar. Jalan ini menuntun untuk mengesampingkan segala penyataan khusus dan dogma-dogma tradisional Kristen yang berasas pada penyataan khusus itu, seperti kepercayaan kepada ketritunggalan Allah dan eksklusivitas penyelamatan di dalam Yesus Kristus.
Dua kutub ini (secara singkat, teosentris atau antroposentris) membuahkan dua cara percaya. Yang pertama, mengharapkan segala sesuatu dari Allah yang transenden dan yang seluruhnya bersandar pada penyataan-Nya. Yang kedua, mengharapkan semuanya dari akal manusia dan dari segala pengalaman manusia tentang yang ilahi dalam alam dan sejarah dunia.
Di antara dua kutub ini kita melihat bergeraknya teologi dan filsafat Kristen. Pada satu saat (zaman Reformasi, dan secara ekstrem pada Barth) orientasi terarah kepada Allah dan kedaulatan-Nya, di saat lain (Renaisans, Penerangan, Gnostik, Mistik, Pietisme) kepada manusia yang mengklaim otonomi rasio atau emosinya untuk mengenal Allah.
Seorang teolog alkitabiah, yang menentang bentuk-bentuk teologi alamiah yang keterlaluan, masih sering cenderung untuk berpikir ke arah itu. Karena ia hendak membela Allah atau ”membuktikan Allah” dan juga untuk menghubungkan iman Kristen dengan ilmu sekuler. Teologi alamiah seperti itu dapat dinilai sebagai strategi apologetik. Tetap dapat dipertanyakan, apakah kita harus berharap banyak dari apologetik seperti itu. Apakah jalan apologetik itu bukan jalan buntu? Kita kembali ke tema ini dalam § 5 mengenai penyataan umum dan khusus.
Pemaparan historis di atas sudah memperlihatkan garis-garis besar dogma Penyataan Allah. Yang sangat jelas dari garis-garis itu adalah bobot kepentingan dogma ini. Ringkasan teologi penyataan Barth yang meliputi ribuan halaman menjadi hanya dua halaman, hanya dikemukakan di sini untuk menunjukkan kompleksitas pikiran di sini, dan untuk menggarisbawahi kepentingan keputusan-keputusan di bidang ini bagi seluruh bidang teologisdogmatis kita. Efeknya menjangkau ke semua dogma lain.
Di dalamnya kita menemukan pertanyaan-pertanyaan yang sangat mendasar bagi kehidupan manusiawi, dan bagi agama dan teologi. Kita berada pada inti pusat Injil dan menemukan segala pembengkokan yang dibuat manusia dari inti pusat Injil itu. Pertanyaan-pertanyaan mengenai perbedaan antara pernyataan umum dan khusus, tetap memainkan peran yang krusial. Jawabannya sangat berdampak pada kehidupan gereja, pada penilaian segala sesuatu yang dapat kita nikmati di dunia ini, dan pada motivasi gereja untuk melakukan kegiatan misioner di dunia. Jawabannya secara radikal menentukan pengetahuan pribadi kita akan Allah, dan cara mengolah bumi dan menilai sejarah kemanusiaan.
Dalam ajaran mengenai Penyataan Allah kita mengutamakan penggunaan sarana yang tersedia bagi kita pada masa kini, yaitu Alkitab. Sebagai fakta, hal itu sangat penting. Ada banyak masa yang lain sebelum masa kita di kala Alkitab belum ada, atau hanya baru setengahnya saja.
Selama berabad-abad Allah menyatakan Diri melalui tradisi lisan. Mulai dari Adam dan Hawa, terus kepada Kain dengan kata-kata penghakiman, kepada Nuh, Abraham, Ishak, dan Yakub; dan kemudian kepada Musa. Baru pada era Musa, dimulailah proses menulis kitab suci-kitab suci. Kita melihat Allah yang memproseskan sejarah penyelamatan dan yang menjamin penuturan proses itu secara baik. Sejarah itu dan penuturannya merupakan dua cara (sarana) bagi Allah dalam menyatakan diri-Nya kepada manusia. Dan juga memperlihatkan tujuan penyataan-Nya itu: Dia ingin menyelamatkan manusia dan memulihkan segala sesuatu.
Secara otonom Allah sudah memilih sarana-sarana-Nya. Manusia tidak dapat mempertanyakan pemilihan ilahi itu. Seperti yang dilakukan oleh Ayub. Ayub adalah contoh seorang manusia yang secara keras hati menghadap Allah dengan memperbantahkan perbuatan-perbuatan Allah. Karena itu, Allah membimbing Ayub ke pengakuan posisinya yang sangat rendah dihadapan Allah (lih. Ayb. 40:2; 39:35; 42:3; 40:4-5). Allah memperlihatkan kepada Ayub kebesaran dan kedaulatan-Nya sebagai Pencipta. Pengakuan kedaulatan Allah(suverenitas Allah) sangat menunjukkan sifat pandangan reformasi akan Penyataan Allah. Secara berdaulat Allah telah menentukan Alkitab sebagai sarana dan sumber yang istimewa bagi kita pada masa kini untuk mempelajari dogma Penyataan Allah dan melukiskan Sejarah Penyataan.
Jelaslah, dalam pandangan orang yang membantah posisi ini, hal itu adalah penalaran berputar yang menentang hukum-hukum logika. Meskipun demikian, kita mengambil posisi ini sebagai aksioma teologis. Allah datang kepada kita dalam jubah Kitab-kitab Suci, yaitu Alkitab. Bertitik tolak dari itu, jalan terbuka untuk membahas semua dogma gerejawi. Hal itu juga benar untuk dogma pertama mengenai Penyataan Allah. Semua dogma takluk kepada pengertian Alkitab sebagai buku yang mengandung riwayat besar tentang Allah dan dunia ini.
Jika kita secara beriman membaca riwayat-riwayat Alkitab, kita menemukan Allah yang di dalam sejarah dunia tidak menyatakan diri-Nya pada satu saat secara sempurna. Kita menemukan Allah yang sedikit demi sedikit (parsial) dan tahap demi tahap (berangsur-angsur) menyatakan Diri.
Secara berdaulat Dia berjalan melalui sejarah. Di dalam sejarah, Dia memperlihatkan diri-Nya makin lama semakin lebih. Karena itu kita berbicara mengenai Historia Revelationis (Sejarah Penyataan Allah). Penulis surat kepada Orang Ibrani menulis: ”Setelah pada zaman dahulu Allah berulang kali dan dengan berbagai cara berbicara kepada nenek moyang kita dengan perantaraan para nabi, maka pada zaman akhir ini Ia berbicara kepada kita dengan perantaraan Anak-Nya...” (Ibr. 1:1-2).
Jadi, Allah memakai sejarah sebagai sarana untuk menyatakan Diri secara berangsur-angsur. Dan dalam kelahiran, kehidupan, kematian, dan kebangkitan Anak-Nya itu Allah sampai pada klimaks penyataan diri-Nya di bumi tua ini. Penyataan Allah memang sampai pada klimaksnya di dalam Yesus, tetapi tidak berarti sudah selesai. Bumi lama dengan segala strukturnya akan dimusnahkan dan diganti dengan bumi baru (Why.21:5) dan Allah akan memanifestasikan diri-Nya dalam Yerusalem Baru, sebagai Bait Allah, sebagai sinar terang, sebagai Raja yang membimbing segala sesuatu ke kesempurnaannya.
Allah memakai sejarah sebagai sarana untuk menyatakan Diri secara berangsur-angsur.
Saat itu belum datang! Sekarang gereja hidup dekat ke penyataan Allah dalam Anak-Nya, yang disebut dalam surat Ibrani: ”...cahaya kemuliaan Allah dan gambar keberadaan Allah yang sesungguhnya dan menopang segala yang ada dengan firmanNya yang penuh kekuasaan...” (Ibr. 1:3). Semua masa sebelum kedatangan Anak-Nya di bumi, Allah mempersiapkan kelahiran dan kedatangan itu secara saksama. Dan masa kini masih tetap memusatkan pengharapannya kepada Kristus. Karena itu, Sejarah Penyataan Allah bersifat Kristosentris.
Allah berjalan melalui garis-garis kesejarahan dunia untuk mempersiapkan kedatangan Mesias, sang Juru Selamat. Melalui proses itu Dia akan mencapai tujuan-Nya yang terakhir. Dia berjalan melalui Kristus ke pemulihan segala sesuatu, kepada bumi baru, kepada pengumpulan semua bangsa dunia di Yerusalem yang baru. Kepercayaan perkembangan historis ini sangat tergantung dari iman kita. Paulus menyebut penerimaan Kristus itu suatu misteri, suatu rahasia, sesuatu yang tersembunyi, yang hanya dapat diketahui melalui iman. Kepercayaan manusia kepada Yesus Kristus tidak berasal dari manusia. Siapa yang mengetahui hal itu lebih baik dari Paulus sendiri? Kedatangan Anak Allah adalah suatu misteri besar, ”yang tersembunyi berabad-abad lamanya, tetapi yang sekarang telah dinyatakan dan yang menurut perintah Allah yang abadi, telah diberitakan oleh kitab-kitab para nabi kepada segala bangsa untuk membimbing mereka kepada ketaatan iman...” (Rm. 16:25-26).
Di dalam Kristus sejarah penyataan Allah menerima titik sendinya. Sebelum itu nabi-nabi memang mengatakan tentang Dia, tetapi misterinya belum dibuka dan diketahui secara benar. Sekarang, menurut kata Paulus dan pada waktu Paulus, hal itu sudah terjadi, yakni di dalam Kristus. Melalui Kristus, Allah berjalan ke semua bangsa dunia. Berita Injil disebarkan di seluruh dunia, bukan saja kepada orang Yahudi, melainkan kepada semua bangsa. Dogma Penyataan Allah hanya dapat dijelaskan dalam rangka Sejarah Penyelamatan. Untuk itu kita memakai visualisasi sbb.
Visualisasi ini membantu kita untuk mengerti dan melihat secara jelas Rencana Penyataan Allah. Juga membantu untuk menarik kesimpulan mengenai Penyataan Allah pada masa kini. Kita juga mengacu pada dogma mengenai Roh Kudus (lih. bab VI). Acuan ini tidak mengherankan karena ada banyak kesamaan jika kita berbicara mengenai sarana-sarana yang digunakan Allah untuk menyatakan diri. Roh sebagai oknum ketritunggalan yang ilahi bekerja secara aktif di bumi ini. Dalam ajaran mengenai Roh Kudus kita akan melihat bagaimana Allah memakai sarana-sarana (karisma-karisma) yang cocok pada fase Sejarah Penyelamatan tertentu. Kita dapat menunjuk yang sama mengenai sarana-sarana penyataan Allah. Dia menyesuaikan Diri pada fase dalam perkembangan Sejarah Penyelamatan. Di sini, kita, berdasarkan visualisasi di atas, hanya menceritakan secara garis besar Sejarah Penyataan Allah, sebagai berikut ini.
Di dalam Sejarah Penyelamatan kita melihat Allah yang bertindak secara berdaulat dan penuh kasih. Dia berjalan-jalan bersama dengan Adam di dalam Firdaus pada waktu semua masih baik (sebelum kejatuhan ke dalam dosa). Setelah kejatuhan ke dalam dosa, Allah berprakarsa untuk berkomunikasi kembali. Dia mencari manusia yang telah menyembunyikan diri. Allah mendapati manusia itu. Di sini kita melihat ciri penting Penyataan Allah kepada manusia. Bukan manusia yang mencari Allah, melainkan Allah yang mencari manusia. Aksi untuk berkomunikasi mulai dari Allah dan bukan berasal dari manusia. Dari atas Allah memasuki kenyataan manusia yang di bawah. Begitulah, melalui seluruh sejarah, prakarsa penyataan selalu berada pada Allah. Dia datang atau pergi. Allah selalu menunjukkan anugerahNya dan kesediaan-Nya untuk berdiam pada manusia di bumi, untuk mendekati manusia. Dia tidak pernah membiarkan dunia. Dia tidak pernah menyerahkan dunia seluruhnya kepada kuasa-kuasa demonis dari Iblis. Dia tetap menghindarkan pemusnahan total bumi ini, juga ketika kuasa-kuasa gelap dan Iblis seolah-olah menang. Allah tetap memerintah dan memelihara ciptaan-Nya agar tidak musnah.
Secara lugas Dia campur tangan pada peristiwa Nuh. Dia berkata kepada Nuh. Secara langsung Dia berkata kepada manusia ini, yang ”telah mendapat kasih karunia di mata Tuhan” (Kej. 6:8). Melalui Nuh Dia masih berkata kepada umat Lamekh yang penuh dengan kemarahan dan kejelekan. Jadi, Dia memakai Nuh sebagai nabi, sebagai sarana khusus untuk menyatakan kehendak-Nya. Nubuat itu adalah nubuat penghakiman yang akan datang.
Dari Babel sampai ke Abraham Allah mengundurkan Diri. Dengan memanggil Abraham Dia mulai berjalan melalui garis yang sempit dengan hanya satu bangsa saja, Israel. Melalui jalan sempit itu Dia sampai kepada Kristus. Melalui Kristus dan oleh pencurahan Roh Kudus Dia kembali menuju ke semua bangsa dunia. Di dalam itu ada undangan untuk berpaling kepada Tuhan, untuk memulihkan perjanjian.
Pada awal sejarah ini kita sudah melihat struktur atau pola penyataan Allah. Dan juga tujuannya. Allah yang penuh kasih selalu (juga di dalam kemarahan-Nya) mencari manusia untuk memulihkan hubungan dengan manusia yang telah patah itu. Pola itu sangat sederhana. Seorang anak pun dapat memahaminya.
Dalam setiap ulasan mengenai dogma Penyataan Allah, tafsiran Roma 1 memainkan peran yang penting. Karena berdasarkan bab itu, melalui abadabad teologi sudah menyimpulkan sebuah Penyataan Umum. Oleh karena itu, kita juga tidak luput melakukan pembahasan secara saksama mengenai Roma 1. Teologi penyataan umum selalu dikembangkan berdasarkan kata-kata Paulus dalam Roma 1:18 dan seterusnya, ”Sebab murka Allah dinyatakan dari surga atas segala kefasikan dan kelaliman manusia, yang menindas kebenaran dengan kelaliman. Karena apa yang dapat mereka ketahui tentang Allah nyata bagi mereka, sebab Allah telah menyatakannya kepada mereka. Sebab sifat-sifatNya yang tidak tampak, yaitu kekuatan-Nya yang kekal dan keilahian-Nya, dapat tampak dan dipahami dari karya-Nya sejak dunia diciptakan, sehingga mereka tidak dapat berdalih” (Rm. 1:18-21).
Penafsiran saya didasarkan atas tinjauan bahwa Paulus dalam bab 1-8 mengikuti sejarah penyelamatan. Roma 1 harus dilihat dalam rangka itu, dan menuturkan masa pertama setelah kejatuhan ke dalam dosa, yaitu masa yang berakhir dengan air bah dan pembangunan menara Babel. Di medan historis itu, kita harus mencari siapa yang dituju Paulus. Siapa orang-orang itu ”yang menindas kebenaran dengan kelaliman”?
Konteks ayat 18 membawa terang untuk menjawab pertanyaan itu.
Jadi Paulus mengacu kepada orang-orang, yang, walaupun mereka mengenal Allah, secara sengaja tidak mau percaya kepada-Nya. Mereka sengaja menindas dan mengabaikan kebenaran itu. Ia tidak berbicara mengenai orang yang sama sekali tidak mengenal Allah atau orang-orang yang tahu apa tuntutan-tuntutan Allah jika mereka hanya memandang kuasa-kuasa dan keindahan alam. Orang-orang yang dimaksud Paulus ternyata mengetahui penyataan khusus dari Allah, melalui firman-Nya, melalui tradisi lisan.Tetapi mereka sengaja murtad.
Jadi, ayat-ayat ini tidak dapat dipakai untuk melukiskan keadaan bangsa-bangsa dunia pada umumnya, karena bangsa-bangsa itu mengingkari penyataan khusus. Sejarah manusia juga membuktikan bahwa umat manusia sama sekali tidak dapat berhasil mengenal Allah yang benar selama mereka mengingkari penyataan khusus. Hal itu membuktikan bahwa yang dimaksud Paulus bukan orang-orang yang sama sekali tidak mengenal Allah. Maksud Paulus adalah orang-orang yang sudah mengetahui Allah sebagai Pencipta langit dan bumi, tetapi mereka tidak mau beribadat kepada Allah itu. Mereka beralih ke binatang-binatang. Karena itu mereka tidak dapat berdalih. Terang penyataan Allah semakin berkurang sampai hilang sama sekali. Setelah terang penyataan itu padam dan tidak mereka ketahui lagi, mereka berada di dalam kegelapan yang tidak mempunyai terang sama sekali. Setelah itu tidak mungkin untuk menjadi terang kembali, misalnya dengan memakai akal budi mereka. Keturunan generasi-generasi yang murtad itu tetap jauh dari Allah dan dibiarkan dengan pikiran-pikiran mereka sendiri. Sampai pada saat ketika Allah dalam kasih-Nya berbalik kepada mereka.
Kesimpulan: Roma 1 bukan merupakan dasar atau alasan bagi ide ”penyataan umum” yang melaluinya mereka dapat sedikit mengenal Allah. Orang kafir tidak dapat menemui Allah yang benar melalui pemandangan alam. Kita hanya dapat berbicara mengenai dua sumber (seperti Pengakuan Iman Gereja Belanda pasal 2) jika kita lebih dahulu diterangi oleh sumber utama itu, yaitu pengetahuan dari Alkitab. Pengertian terhadap kebesaran Allah dan kuasa dan keilahan-Nya yang besar, hanya dapat kita peroleh jika kita minum dari sumber yang murni itu lebih dahulu.
Roma 1:20/Kisah Para Rasul 17 orang-orang kafir yang tidak dapat berdalih?
Penolakan dalam Roma 1:18-20 sebagai ide dasar bahwa ada suatu sumber pengetahuan Allah yang tersendiri (yang di luar firman Allah) yang mempunyai akibat-akibat yang besar bagi visi kita terhadap agama-agama lain dan bagi pendekatan misioner orang-orang yang tidak berada dalam terang Injil. Karena pandangan ini, isi pasal 2 Pengakuan Iman Gereja Belanda juga dapat diperdebatkan. Di situ gereja mengaku bahwa alam (penciptaan, pemeliharaan dan pemerintahan Allah) di depan mata kita ”bagaikan buku yang indah, yang di dalamnya segala ciptaan Allah, yang besar maupun yang kecil, menjadi seperti huruf-huruf yang menyatakan kepada kita apa yang tidak tampak dari Allah, yaitu kekuatan-Nya yang kekal dan keilahian-Nya, menurut perkataan Rasul Paulus dalam Roma 1:20.” Pengakuan ini diteruskan dengan ”Semua itu cukup untuk membuktikan kesalahan manusia sehingga mereka tidak dapat berdalih”. Penafsiran kita menuntun ke konklusi bahwa semua bangsa yang melalui abad-abad yang berkembang, karena dosa nenek-moyang mereka diserahkan Allah ke dalam kegelapan yang tidak mempunyai terang ilahi lagi. Bangsa-bangsa itu tidak secara otomatis dihakimi Allah secara Roma 1. Nenekmoyang mereka yang pertama (yang hidup pada masa Babel) yang masih mengenal tuntutan hukum Allah, mereka memang layak dihukum sedemikian rupa. Oleh dosa mereka, anak-anak sama sekali tidak mengetahui dan tidak mendengar lagi tentang Allah yang hidup (bnd. Kesepuluh Hukum, Hukum ke-2). Oleh dosa nenek-moyang mereka hidup dalam ketidaktahuan. Tetapi itu bukan kesalahan mereka. Tamam (lihat kasus di bawah) sebagai oknum pribadi dapat berdalih. Ia memang tidak tahu apa-apa, tetapi ia juga tidak dapat mengetahui sesuatu pun yang benar tentang Allah, juga tidak melalui alam, sejarah atau hati nurani. Sukunya sudah menciptakan ceritanya sendiri. Paulus, pada waktu ia mengabarkan Injil di atas Areopagus, membawa cerita yang benar. Ia juga menyinarkan pengharapan akan anugerah Allah terhadap nenekmoyang mereka yang tidak mengetahui cerita itu, walaupun mereka mencoba untuk mendapatinya. Karena Kristus, Allah ”dengan tidak memandang lagi zaman kebodohan” (Kis. 17:30) sekarang memberitahukan kepada mereka bahwa mereka harus bertobat. Allah berbalik kepada umat manusia untuk memulihkan hubungan dengan semua bangsa. Karena itu semua ceritacerita tradisional, semua primal religion, semua pandangan dunia, dan semua kebudayaan manusia, harus disucikan, dipulihkan, atau sama sekali diubah. Baru pada saat pemberitahuan itu mereka tidak dapat berdalih lagi jika mereka menolak berita Injil dan tidak bertobat kepada Allah. Pemberitahuan Injil adalah pemberitahuan anugerah dan sekaligus pemberitahuan penghakiman dengan tidak memperhitungkan masa-masa kebodohan nenek-moyangnya.
Pada masa kehidupan Nuh, Allah masih mencari manusia melalui penyataanNya kepada Nuh. Dia berbicara dengan Nuh dan membuat Nuh memberitakan kebenaran (2Ptr. 2:5). Dia masih sabar dan memberi kesempatan kepada semua penduduk bumi untuk bertobat kembali. Dia juga tidak membiarkan ciptaan-Nya. Setelah air bah, Dia melanjutkan ”proyek” dunia-Nya dengan Nuh dan keluarganya. Dia tidak melepaskan ide dunia-Nya, tetapi Dia juga menyatakan diri sebagai Allah yang sangat marah dan tidak sabar lagi. Roma 1 memperlihatkan Allah yang tidak lebih lama memedulikan kaum manusia dan membiarkan mereka dalam segala kejahatan mereka. Mereka memilih ilah-ilah lain menurut kesukaan mereka sendiri. Mereka melawan agama benar yang telah mereka terima dari orang tua mereka melalui jalan tradisi lisan. Mereka menyerahkan anak-anak mereka ke dalam kegelapan total.
Dalam Roma 1 Paulus mungkin mengacu pada masa ketika Allah tidak menyatakan Diri kepada umat manusia yang makin melupakan Dia.
Reaksi Allah jelas dan dapat dimengerti. Allah menjawab pemberontakan ini secara adil dan dengan tujuan untuk menghabiskannya. Dakwaan-Nya terdengar tiga kali secara jelas: ”Allah telah menyerahkan mereka kepada...” (24, 26, 28). Dalam bahasa Yunani
Διὰ τοuτο παρeδωκεν αὐτοὺς ὁ θεὸς εἰς adalah refrein yang menggetarkan dalam Roma 1. Allah menyerahkan mereka kepada kecemaran sesuai dengan keinginan hati mereka (24) kepada hawa nafsu yang memalukan (26), kepada pikiran-pikiran yang terkutuk (28). Karena pilihan mereka untuk melawan Allah yang mereka kenal, Allah membuat mereka hidup dalam semua kejahatan itu. Dan Allah membiarkan mereka untuk sementara waktu dalam kehidupan itu. Dia memalingkan mukaNya dari mereka dan menyerahkan mereka kepada kegelapan pikiran mereka. Silakan, Dia berkata, silakan kamu yang keras hati. Silakan, beribadatlah dengan segala pikiran kalian yang kalian buat-buat sendiri.
Sesuai dengan perjanjian-Nya dengan Nuh (Kej. 9:11), Dia tidak akan lagi memusnahkan dunia dengan sesuatu seperti air bah, Dia tidak memusnahkan seluruh angkatan itu yang murtad. Dia tetap memanifestasikan Diri dalam pemeliharaan segala sesuatu, sesuai dengan perjanjian tentang alam dengan Nuh. Tetapi untuk sementara waktu (beberapa abad) Dia membiarkan manusia dan menyerahkan mereka kepada diri mereka sendiri. Dia mengundurkan diri dan selama waktu itu Dia tidak menyatakan diri-Nya kepada dunia. Tidak melalui firman-Nya maupun perbuatan-Nya. Itulah yang fatal bagi manusia (32).
Tetapi dalam masa itu Dia juga tetap setia kepada alam dunia: ”Ia bukan tidak menyatakan diri-Nya dengan berbagai-bagai perbuatan baik, yaitu dengan menurunkan hujan dari langit dan dengan memberikan musimmusim subur bagi kamu. Ia memuaskan hatimu dengan makanan dan kegembiraan” (Kis. 14:17), tetapi di dalam semuanya itu manusia tidak dapat sekali lagi mengenal kekuatan-Nya yang kekal dan keilahian-Nya. Berkat ”anugerah umum” itu (Gratia Generalis, istilah yang dipakai Calvin berdasarkan d.a.l. atas Kis. 14:17), mereka tidak dapat memuji Allah yang benar. Allah telah menyerahkan keturunan manusia ini kepada otonomi pikiran mereka sendiri. Keangkuhan pikiran mereka menjadi perangkap bagi mereka sendiri. Akibatnya jelas. Dengan demikian sudah mulai suatu proses degenerasi yang tidak dapat dihentikan, suatu sekularisasi dan profanisasi total. Suatu agama yang bukan agama lagi, suatu kehidupan yang melawan kehidupan alamiah, relasi-relasi yang tidak normal, pandangan-pandangan yang berdasarkan kebutaan pikiran. Allah membuat mereka hidup dalam lembah kegelapan yang tidak ada terangnya apa pun dan tidak ada jalan keluar. Pada masa inilah (yakni setelah Babel) terdapat halaman kelahiran kejahilan dan paganisme seluruh dunia. Setelah itu bangsa-bangsa dunia memang mengatakan bahwa mereka mengenal ”allah”, tetapi mereka tidak lagi mengenal Allah satu satunya yang benar (1Tes. 4:5; Gal. 4:8; Ef. 4:18; 1Ptr. 1:14; Mzm. 79:6; Ayb. 18:21).
Masa setelah Nuh, melalui Babel sampai ke Abraham, dicirikan sebagai masa yang di dalamnya manusia tidak lagi dapat mengalami Penyataan Allah. Mereka yang tidak lagi mau mengetahui tuntutan-tuntutan hukum Allah bagi keturunan mereka menimbulkan satu masa yang di dalamnya Allah tidak lagi memperkenalkan diri-Nya. Anak-anak dan cucu-cucu mereka makin lama semakin jauh dari Allah. Akhirnya mereka memang tidak dapat mengenal Allah yang benar itu sama sekali. Mereka sangat sesat dan putus jejak. Mereka bahkan tidak tahu lagi adanya jejak atau petunjuk ke kebenaran.
Setelah Babel, bangsa-bangsa dunia meraba-raba dalam kegelapan.
Mereka tidak lagi dapat mengerti terang alamiah dan manifestasi kuasa dan kemuliaan Allah di dalamnya. Mustahil, Allah selalu dekat sekali dalam kehidupan mereka! Tetapi, mereka tidak mampu mengenal Dia. Di Atena, Paulus menunjukkan hasilnya: bangsa-bangsa dunia yang menyembah segala macam ilah, bahkan menyembah suatu ilah yang tidak mereka kenal. Jangan sampai mereka lupa satu ilah yang penting! Ternyata bangsa-bangsa ini meraba-raba dalam kegelapan pikiran mereka sendiri untuk mencari nama allah yang hidup tetapi mereka tidak berhasil. Karena kegelapan itu total selama tidak ada terang Penyataan Allah.
Memang, mereka ”mencari Allah dan mudah-mudahan mencari-cari dan menemukan Dia, walaupun Ia tidak jauh dari kita masing-masing” (Kis. 17:27). Mereka mencari tetapi tidak menemukan-Nya. Siapa yang dapat dipersalahkan dalam keadaan ini? Kesalahan mereka yang masih dapat mengenal Allah, yakni nenek-moyang mereka dari masa pertama setelah Babel. Merekalah yang sengaja melawan Allah dan memutuskan untuk tidak lebih lama mengenal Dia. Merekalah yang memilih dusta daripada kebenaran. Mereka yang memilih mengikuti berhala dan animisme. Sedangkan sebenarnya mereka masih dapat mengetahui tentang Allah dari Adam dan Hawa, dari Set, dan dari Nuh.
Angkatan yang spesifik ini tidak dapat berdalih (Rm. 1:20). Mereka menyebabkan kegelapan total di mana-mana, semua bangsa hanya dapat meraba-raba saja. Akibatnya semua bangsa dunia mengikuti jalan buntu dalam usaha mereka untuk mencari keselamatan. Karena mereka telah menjadi buta. Allah yang tetap dekat dan memanifestasikannya dalam keseluruhan kehidupan (”... di dalam Dia kita hidup, kita bergerak, kita ada, seperti yang telah juga dikatakan oleh pujangga-pujanggamu: Sebab kita ini dari keturunanNya juga”, [Kis. 17:28]) tidak mungkin mereka kenal.
Hanya satu hal yang diperlukan agar mereka dapat kembali mengenal satu-satunya Allah: pemberitaan Injil. Demikianlah Paulus menerobos ke dalam kegelapan pikiran dunia kafir itu. Sia-sialah orang buta diberi kacamata untuk melihat dengan lebih baik. Di dalam kegelapan yang total, sebuah kacamata tidak berguna. Orang kafir sama sekali tidak dapat melihat sesuatu mengenai Allah yang benar. Seorang buta membutuhkan sesuatu yang sangat radikal: matanya perlu dibuka. Itulah yang ajaib yang terjadi dalam pekabaran Injil yang dilancarkan Roh Kudus.
Dengan Injil Kristus, Roh Kudus menerobos ke dalam kegelapan mereka sehingga mereka dapat melihat kembali terang ilahi yang telah hilang dari dunia mereka. Di dalamnya Allah berbalik kembali kepada bangsa-bangsa dunia. Dia kembali menyatakan Diri sebagai Allah yang penuh kasih. Dia memberitahu kepada mereka bahwa Dia tidak akan lebih lama membiarkan dunia di dalam kejahilan mereka. Di dalam Kristus Dia kembali mengulurkan tangan-Nya kepada dunia yang sesat. Dia memanggil mereka kembali ke agama yang benar. Betapa indah dan penuh anugerah kata-kata Paulus tatkala ia berdiri di Atena, menghadapi mereka yang sia-sia, dengan percaya pada banyak ilah dan demon. Ia memperlihatkan anugerah Allah yang ”tanpa memandang lagi zaman kebodohan” (Kis. 17:30) mencari mereka dan membawa kembali terang ilahi ke dalam kehidupan mereka yang gelap.
Pada akhir bagian ini, mengenai Roma 1, Kisah Para Rasul 14 dan 17, kita masih dapat menarik konklusi teologis yang lain. Dalam Roma 1–8 , Paulus meninjau sejarah Allah dengan dunia-Nya. Ia mendasarkan titik tolak secara luas (seluruh dunia) dan makin mengerucut ke garis yang sempit melalui Israel. Setelah itu ia memperluas pandangannya kembali ke seluruh dunia.
Paulus memperlihatkan kepada kita bagaimana kita sebagai orang kristen harus memandang sejarah dan memosisikan diri di dalamnya. Dengan saksama ia melukiskan posisi orang kafir, Israel, dan dirinya sendiri dalam sejarah Penyelamatan Allah (yang meliputi seluruh masa dari awal sampai akhir dunia). Dalam proses historis ini (dari yang luas, kemudian sempit, dan kembali ke luas–lihat visualisasi di atas) terlihat rencana Allah yang akan terlaksana sesuai dengan tahap-tahap tertentu. Manusia cenderung fokus pada waktu dan situasinya sendiri (sinkronis). Paulus mengundang kita untuk memandang posisi sinkronis itu dalam rangka seluruh masa sejarah. Karena Allah kita mempunyai visi dari awal sampai akhir dan Dialah yang memberi arti dan posisi khusus pada setiap masa dan situasi, juga kepada setiap pribadi di dalamnya. Berdasarkan keyakinan itu, Paulus memperlihatkan garis-garis kesejarahan itu dan mendorong kita melihat dari perspektif dan visi Allah kepada manusia dan dunia. Seluruh pandangan Paulus penuh dengan ”Allah telah...”. Dialah subyek yang berjalan tahap demi tahap melalui masa-masa tertentu menuju ke tujuan-Nya, yaitu pemulihan segala sesuatu. Hanya jika kita mengikuti Paulus dalam pandangan ini melalui zaman (sinkronis), peran dan status kita serta masa kita sendiri menjadi jelas dan mendapatkan arti yang sebenarnya.
Paulus juga memperlihatkan kedegilan mereka yang tetap hidup dan mengerti kehidupan tanpa Allah. Kedegilan itu bukan saja ada pada waktu Babel, tetapi selalu muncul dalam setiap masa sejarah. Jalan itu menuntun ke kematian yang kekal. Tetapi Dia juga menunjukkan satu jalan lain yang menuntun ke kematian. Yaitu jalan melalui hukum Taurat, yang dicoba Israel pada waktu Allah berjalan melalui jalan yang sempit itu dan menyatakan Dirinya hanya kepada Israel. Jalan melalui Hukum Taurat yang merupakan jalan buntu dibongkar. Hukum Taurat tidak membawa ke penebusan yang benar.
Masa sejarah Israel mendorong ke pengertian bahwa hanya di dalam Yesus Kristus, Allah menebus dunia dengan Dirinya sendiri. Dan di dalam Kristus, Allah meninggalkan masa pergaulan-Nya hanya dengan satu bangsa saja. Dia mulai merintis jalan mencari semua bangsa ciptaan-Nya. Di dalam Kristus segala tembok kegelapan yang mengurung bangsa-bangsa dunia dalam ketidaktaatan diruntuhkan. Roh kebenaran Injil adalah Roh Penyataan Allah, sehingga manusia tidak diserahkan kembali kepada kuasa-kuasa gelap. Mereka boleh mengetahui bahwa mereka sudah diterima kembali sebagai anak-anak Allah (Rm. 8:16,17). Mereka sudah menerima Roh yang menjaga mereka sehingga mereka tidak diserahkan kembali kepada keinginan daging mereka. Sebab mereka ”tidak menerima roh perbudakan yang membuat kamu menjadi takut lagi, tetapi kamu telah menerima Roh yang menjadikan kamu anak Allah” (Rm. 8:15).
Dalam bab-bab berikutnya Paulus masih fokus secara khusus pada sejarah Israel dan posisi bangsa-bangsa lain dalam sejarah penyelamatan. Ia secara jelas menerangkan tahap-tahap sejarah Allah dengan dunia-Nya ke suatu tujuan akhir. Bangsa-bangsa kafir pada waktu Israel adalah ”seteru Allah oleh karena kamu, tetapi berkaitan dengan pilihan, mereka adalah kekasih Allah oleh karena nenek moyang” (Rm. 11:28). Israel harus mengerti bahwa mereka tidak jauh berbeda dengan semua bangsa lain dalam Rencana Penyelamatan Allah. ”Sebab sama seperti kamu dahulu tidak taat kepada Allah, tetapi sekarang beroleh belas kasihan oleh karena ketidaktaatan mereka, demikian juga mereka sekarang tidak taat, supaya oleh belas kasihan yang telah kamu peroleh, mereka juga akan beroleh belas kasihan” (Rm. 11:30-31).
Sesudah itu terdapat kata-kata Paulus yang menurut Barth merupakan kunci pengertian seluruh surat Paulus kepada Roma: ”Sebab Allah telah mengurung semua orang dalam ketidaktaatan, supaya Ia dapat menunjukkan belas kasihan-Nya atas mereka semua” (Rm. 11:32). Barth menulis mengenai ayat ini: ”Di sinilah Allah menyatakan diri-Nya sebagai Allah yang tersembunyi dan yang tidak dapat dipahami; bagi Dia tidak ada sesuatu yang mustahil, Dialah Tuhan, dan demikianlah Dia, Bapa kita dalam Yesus Kristus.” Berkenaan dengan ayat ini, Barth juga mencuplik Luther: ”Ingatlah kata-kata yang penting ini, yang mengutuk seluruh dunia pembenaran manusiawi dan yang hanya meninggikan pembenaran Allah, yang semata-mata dapat ditemukan hanya melalui kepercayaan” (K. Barth, ”Der Römerbrief”, hal. 407).
Paulus sadar bahwa ia mengalihkan sejenis pengetahuan yang tidak dapat dimengerti akal budi manusia. Karena itu, ia mengalahkan ketidakmampuannya ini dengan memuji kedaulatan Allah dengan berkata: ”O, alangkah dalamnya kekayaan, hikmat dan pengetahuan Allah! Sungguh tak terselidiki keputusankeputusan-Nya dan sungguh tak terselami jalan-jalan-Nya!” (Rm. 11:33). Dalam seluruh masa ”jalan sempit” itu (sejarah Israel dalam keseluruhan Sejarah Penyataan Allah), kita perlu membahas masa-masa tertentu yang berikut ini.
Ada juga satu-dua orang yang disebut dalam Alkitab yang setelah masa Babel tidak kehilangan pengetahuan akan Allah yang Esa. Mereka juga tidak memungkiri untuk beribadat kepada-Nya. Yang dimaksud adalah beberapa orang yang berasal dari turunan Sem. Misalnya Melkisedek, Raja Salem (Kej. 14:18; Mzm. 110:4; lihat juga Ibr. 5–7). Mungkin juga Terah, ayah Abraham. Setelah abad-abad yang di dalamnya Allah tidak menyatakan diri-Nya, Dia kembali mencari orang dengan menghubungi Abraham. Pada saat itu Allah langsung menjelaskan maksud-Nya dan posisi Abraham dalam keseluruhan Rencana Penyelamatan-Nya. Melalui Abraham semua bangsa dunia akan diberkati.
Di dalam Perjanjian Baru dinyatakan bahwa janji itu sudah digenapi Allah.
Dia secara berdaulat menjalani suatu jalan yang sempit (Israel), tetapi di dalam Kristus, Dia mencari semua orang di seluruh dunia. Pada saat memanggil Abraham, Allah sekali lagi memperlihatkan keinginan-Nya untuk berdiam di dunia bersama umat manusia. Dia menyatakan diri kepada Abraham. Sebagai Malaikat Tuhan, Dia mengunjungi Abraham dan Sara. Dia berbicara dengan mereka dalam penglihatan dan menetapkan suatu perjanjian dengan mereka (Kej. 15:1). Allah bergaul dengan Abraham yang memperlihatkan suatu kepercayaan yang sangat kuat kepada semua janji Allah: ”... sekalipun tidak ada dasar untuk berharap, namun Abraham berharap juga dan percaya bahwa ia akan menjadi bapak banyak bangsa, menurut yang telah difirmankan: ’Demikianlah banyaknya nanti keturunanmu.’ Imannya tidak menjadi lemah... terhadap janji Allah ia tidak bimbang karena ketidakpercayaan, malah ia diperkuat dalam imannya dan ia memuliakan Allah, serta keyakinan penuh bahwa Allah berkuasa untuk melaksanakan apa yang telah Ia janjikan” (Rm. 4:18-21).
Di dalam semuanya itu kita menemui Allah, yang melalui satu orang itu (Abraham) dan melalui satu anak (Ishak) menggenapi rencana-Nya untuk memulihkan hubungan dengan semua bangsa di dunia. Selama 17 abad, keselamatan hanya Dia berikan kepada Israel. Tetapi, Dia tidak pernah melupakan tujuan-Nya yang lebih jauh dan lebih luas: penyataan kebenaran dalam semua bahasa, suku dan bangsa di dunia. Masa sempit melalui Israel (yang penuh penebusan berkat darah binatang) dipakai Allah untuk menuntun umat manusia ke darah penebusan yang benar. Darah binatang-binatang tidak mencukupi.
Kebenaran itu juga sudah jelas pada kehidupan Abraham: ”Allah yang akan menyediakan anak domba untuk kurban bakaran bagi-Nya, anakku” (Kej. 22:8). Bahkan satu-satunya anak Abraham itu (Ishak) ternyata tidak cukup untuk menebus manusia. Satu anak Abraham yang lain yang juga anak Allah (Yesus Kristus) diperlukan untuk kurban itu. ”Supaya dalam nama Yesus bertekuk lutut segala yang ada di langit dan yang ada di atas bumi dan yang ada di bawah bumi” (Flp. 2:10).
Di bukit Sinai Allah memperbarui perjanjian-Nya dan menulis segala tuntutanNya di atas dua loh batu. Sehingga tuntutan-Nya tidak dapat dilupakan lagi. Dia menempatkan umat-Nya di jalan ketaatan pada hukum itu. Tetapi, sejarah Israel sekali lagi memperlihatkan bahwa manusia pada dasarnya tidak dapat diandalkan. Allah menyatakan melalui nabi-nabi-Nya bahwa akan ada suatu masa lain yang di dalamnya Dia akan menetapkan suatu perjanjian baru yang berbeda dengan perjanjian yang dibuat-Nya dengan nenek-moyang mereka: ”... beginilah perjanjian yang Kuadakan dengan kaum Israel sesudah waktu itu, demikianlah firman Tuhan: Aku akan menaruh Taurat-Ku dalam batin mereka dan menuliskannya dalam hati mereka; maka Aku akan menjadi Allah mereka dan mereka akan menjadi umat-Ku” (Yer. 31:33). Seluruh zaman Israel terarah ke pendirian Perjanjian yang Baru itu dan dimaksudkan untuk membuktikan bahwa manusia sendiri tidak mampu untuk menyelamatkan diri (lih. keterangan yang tepat di dalam Katekismus Heidelberg Minggu 4 dan 5).
Demikianlah Allah menuju ke suatu penyelamatan yang tersedia bagi seluruh dunia, universal. Melalui jalan itu Dia menyatakan satu nama itu, yang di dalamnya ada keselamatan: ”Penasihat Ajaib, Allah yang Perkasa, Bapa yang Kekal, Raja Damai” (Yes. 9:6). Selangkah demi selangkah Dia menyatakan diri-Nya kepada Israel dengan mata-Nya tertuju kepada seluruh dunia. Dia menyajikan hukum-Nya, Dia memberikan nabi-nabi-Nya. Dengan sejumlah tanda yang bermacam-macam Dia selalu mencari bangsa-Nya. Dalam masa ini, Allah menyatakan kehendak-Nya untuk berdiam di tengah umat-Nya.
Selalu menjadi jelas bahwa hal itu hanya dapat diwujudkan dalam kedatangan Mesias. Penyataan Allah dalam kata-kata nabi mencapai puncaknya dalam nubuat mengenai kedatangan seorang Hamba Tuhan, kedatangan Allah di dalam daging manusia, seorang manusia yang sempurna dan yang tidak berdosa. Masa ini bermuara pada penyataan misteri yang selama berabadabad tersembunyi, tetapi yang sekarang akan dinyatakan. Di Betlehem penggenapan masa ini terlihat dalam kelahiran Kristus. Maria, dalam lagu pujiannya, secara langsung menghubungkan Anak-nya kepada janji Allah kepada Abraham (Luk. 1:55).
Simeon secara lebih tajam menerangkan arti kedatangan Yesus Kristus bagi seluruh umat manusia di dunia. Pada saat ia memeluk bayi Yesus, ia bernubuat oleh Roh Kudus: ”... mataku telah melihat keselamatan yang datang dari-Mu, yang telah Engkau sediakan di hadapan segala bangsa, yaitu terang yang menyatakan kehendak-Mu bagi bangsa-bangsa lain dan menjadi kemuliaan bagi umat-Mu, Israel” (Luk. 2:30-32).
Kristus adalah terang bagi mereka yang hidup dalam lembah kegelapan semua bangsa dunia. Kristus adalah klimaks dan hormat serta mahkota sejarah Israel sebagai umat perjanjian yang lama. Kristus adalah ”singa dari suku Yehuda” (Why. 5:5). Yohanes dalam Injil-Nya secara jelas sekali menerangkan bahwa Yesus telah datang untuk memperkenalkan Sang Bapa. Paulus menerangkan itu dalam Roma 8, sebagaimana sudah disebut di atas. Paulus mengungkapkan kepentingan Kristus secara bagus di dalam suratnya kepada jemaat di Kolose:
”Dialah gambar Allah yang tidak kelihatan, yang sulung, lebih utama dari segala yang diciptakan, karena di dalam Dialah telah diciptakan segala sesuatu, yang ada di surga dan yang ada di bumi, yang kelihatan dan yang tidak kelihatan, baik singgasana, maupun kerajaan, baik pemerintah, maupun penguasa; segala sesuatu diciptakan oleh Dia dan untuk Dia. Ia ada terlebih dahulu dari segala sesuatu dan segala sesuatu menyatu di dalam Dia. Dialah kepala tubuh, yaitu jemaat. Dialah yang sulung, yang pertama bangkit dari antara orang mati, sehingga Dialah yang lebih utama dalam segala sesuatu. Karena seluruh kepenuhan Allah berkenan tinggal di dalam Dia, dan melalui Dialah Allah memperdamaikan segala sesuatu dengan diri-Nya, baik yang ada di bumi, maupun yang ada di surga, sesudah Ia mengadakan pendamaian dengan darah salib Kristus” (Kol. 1:15-20).
Jika di dalam Kristus Penyataan Allah mencapai klimaksnya dan titik orientasinya, Penyataan Allah yang aktif, sama sekali belum berakhir. Sesuai dengan tujuan Rencana Penyelamatan untuk berjalan ke semua bangsa dunia, Kristus sendiri sudah menyiapkan jalan itu ketika Dia berjalan melintasi tanah Kanaan. Tidak dimengerti oleh para murid-Nya, Kristus sering berpaling kepada orang-orang kafir. Dituntun oleh Roh Kudus, Matius melihat di dalamnya penggenapan nubuat Yesaya: ”Tanah Zebulon dan tanah Naftali, jalan ke laut, daerah seberang Sungai Yordan, Galilea, wilayah bangsa-bangsa lain, – bangsa yang diam dalam kegelapan, telah melihat Terang yang besar dan bagi mereka yang diam di negeri yang dinaungi maut, telah terbit Terang” (Mat. 4:14-16).
Babel pada masa lalu adalah titik balik dalam sejarah manusia (yang membuat semua bangsa-bangsa terkurung dalam kegelapan pikiran mereka), pencurahan Roh Kudus mencirikan peristiwa yang di dalamnya Allah kembali kepada semua bangsa. Semua bangsa mulai memuji segala perbuatan Allah yang besar dalam bahasa mereka sendiri (Kis. 2:11).
Pembukaan pintu-pintu bait Allah bagi semua bangsa kafir sukar dimengerti atau diterima orang Yahudi. Karena itu, kebanyakan dari mereka tidak ikut. Bahkan murid-murid Yesus enggan menerima kebenaran itu. Sehingga Allah memberikan tanda-tanda dan penglihatan-penglihatan khusus. Sehingga mereka mengerti bahwa Allah sungguh perduli akan seluruh dunia. Dia memeluk semua ras, bangsa, bahasa, warna kulit, jenis kelamin. Dia mengakhiri masa kebodohan yang mengurung semua bangsa itu selama berabad-abad.
Petrus membutuhkan suatu penglihatan khusus untuk menerima kebenaran itu (Kis. 10). Allah dalam kasih-Nya telah mengirim Roh-Nya untuk membimbing rasul-rasul Kristus ke dalam kebenaran yang sempurna (Yoh. 14-16, lih. pembahasan bagian ini di bab VI).
Setelah Roh Kudus membimbing kedua belas murid ke seluruh kebenaran, Dia juga memimpin mereka untuk menulis Kitab-kitab Injil, Kisah Para Rasul, Surat-surat dan Wahyu. Dengan demikian satu masa baru mendapat awalnya. Kisah kehidupan Kristus, kematian-Nya dan kebangkitan-Nya memenuhi kisah Allah, yang melalui segala perbuatan-Nya menciptakan dan memperbarui segala sesuatu. Kisah itu dimengerti oleh para rasul dalam tujuan dan kebenarannya. Mereka mencantumkan kebenaran itu sehingga tidak hilang. Dalam hal itu mereka dipimpin oleh Roh Kudus.
Kisah itu tidak akan hilang akibat dari sesuatu seperti air bah atau pengacauan bahasa. Kisah itu juga bukan milik salah satu bangsa secara eksklusif. Allah sendiri yang menjaga sehingga kisah penyelamatan-Nya tidak hilang lagi. Sia-sialah permufakatan Mahkamah Agama Yahudi untuk menyiarkan ceritera ”bahwa murid-murid-Nya datang malam-malam dan mencuri-Nya ketika kamu sedang tidur” (Mat. 28:13).
Kebenaran Injil juga tidak kalah karena segala kata nabi-nabi palsu atau filsuf-filsuf duniawi. Kebenaran itu disampaikan secara bertulis, hitam di atas putih. Alkitab diterbitkan oleh Allah sebagai sarana tertentu untuk mencapai tujuan-Nya pada masa akhir dunia ini. Pekabaran firman itu melintasi seluruh dunia dan menerangi semua bangsa. Tuhan Allah, dengan kedatangan AnakNya, sudah dekat sekali ke tujuan-Nya yang terakhir. Dia berdiam di dunia di tengah umat manusia. Maka sekarang ”Bangsa-bangsa akan berjalan di dalam cahayanya dan raja-raja di bumi membawa kekayaan mereka kepadanya” (Why. 21:24).
Dalam Yerusalem yang baru hal ini akan menjadi realitas. Pada waktu itu Allah tidak menyatakan diri di dalam bait-Nya saja, atau melalui simbolsimbol dan bayangan-bayangan, atau melalui Anak-Nya. Pada waktu itu Dia sendiri akan menyatakan kemuliaan-Nya sebagai lampu yang menerangi semua orang (Why 21:23).
Bagi kita yang hidup pada masa terakhir, itu berarti bahwa di dalam Alkitab kita sudah menerima semua yang dibutuhkan untuk menerima keselamatan. Pengetahuan yang cukup, penyataan kasih Allah yang cukup. ”Cukup” tidak berarti ”sempurna”. Di dalam masa kini (masa antara pencurahan Roh Kudus dan kedatangan Kristus kembali), kesempurnaan pengetahuan masih terhambat karena dosa manusia, karena kematian, karena ketidaksanggupan akal budi manusia. Selain itu pengetahuan itu masih terkurung dalam bahasa dan gagasan manusiawi. Allah menyesuaikan diri pada kerangka pengertian manusia (akomodasi, lih. di bawah). Jika gereja sadar terhadap kurangnya pengertian itu, maka kesadaran itu sangat menolong. Karena itu, berarti bahwa kebenaran Allah jauh lebih besar dan bagus daripada kemampuan manusia untuk mengerti. Misalnya, Allah sudah banyak menyatakan tentang dunia baru kelak. Dia menggunakan kiasan-kiasan manusiawi untuk melukiskan keadaan itu. Seperti pesta kawin, perjamuan, anggur baru, dan sebagainya. Sebenarnya tidak ada kata-kata yang tepat untuk melukiskan keindahan dunia baru. Itu berarti setiap upaya untuk melukiskan dunia baru pasti timpang. Itu yang pertama.
Kemudian, kita dapat mengetahui bahwa kebenaran dunia baru dan kehidupan kekal jauh lebih bagus daripada yang dapat kita mengerti. Dalam Kristus terbukalah misteri yang tersembunyi untuk berabad-abad. Juga pada masa kini, masih ada banyak hal yang tersembunyi, misteri-misteri yang belum dibuka bagi gereja. Pada waktu semua janji Allah digenapi, maka gereja akan mengerti secara benar.
Pada waktu Perjanjian Lama, pengharapan akan Mesias juga sangat besar dan telah mendapat bentuk yang beraneka ragam. Penggenapannya dalam Yesus Kristus sama sekali tidak dikemukakan orang Yahudi. Lihat saja kelahiran-Nya, kehidupan-Nya dan kematian-Nya. Banyak orang Yahudi tidak dapat mengerti atau menerimanya sebagai penggenapan janji Mesias. Tidak ada satu orang pun di Israel yang sudah membayangkannya secara benar. Paulus menulis: ”Apa yang tidak pernah dilihat oleh mata, dan tidak pernah didengar oleh telinga, dan yang tidak pernah timbul di dalam hati manusia: semua yang disediakan Allah untuk mereka yang mengasihi Dia” (1Kor. 2:9). Kata-kata ini membuat kita hati-hati untuk mencoba membayangkan isi penggenapan janjijanji Allah kelak. Kita jangan kecewa dengan penentuan itu. Karena penyataan semua misteri yang belum dibuka pasti akan lebih bagus daripada yang dapat kita sadari.
Masih ada alasan lain untuk secara berhati-hati berbicara mengenai isi pengharapan kita. Karena Allah di dalam Kristus betul-betul sudah menyatakan banyak kepada manusia, tetapi penyataan itu belum lengkap mengenai segala sesuatu. Bukan saja jika gereja melihat ke depan, melainkan juga ke belakang. Sangat sulit bagi gereja masa kini untuk membayangkan terjadinya segala sesuatu pada waktu penciptaan. Atau keadaan Firdaus. Ada banyak pertanyaan yang belum dijawab. Bukan hanya pertanyaan yang kurang penting. Ayub berani mengajukan beberapa pertanyaan yang tajam kepada Allah. Allah secara keras menghadapinya dan tidak menerima pertanyaanpertanyaan itu. Sebagai manusia dan sebagai makhluk, Ayub harus mengingat posisinya di hadapan Allah sebagai Pencipta. Begitu pun kita dalam gereja masa kini. Kita tidak tahu jumlah semua binatang yang diciptakan Allah. Kita sering berselisih mengenai pertanyaan apakah setiap hari-hari penciptaan itu persis 24 jam atau mengacu pada periode-periode yang lebih lama. Gereja belum mengerti dari mana perempuan yang menjadi isteri Kain. Allah juga tidak memberikan resep-resep yang jelas, misalnya untuk pekabaran Injil dalam masyarakat kota modern.
Semua yang membingungkan itu tidak dapat menggoyangkan gereja.
Karena gereja mengandalkan secara tetap pada kebaikan dan keadilan TuhanNya. Semua yang diperlukan gereja pada masa kini untuk mengetahui diberitahukan secara cukup kepadanya. Kecukupan itu disebut Sufficient Scripture – Kecukupan Alkitab. Roh Kudus telah memimpin para rasul ke kebenaran yang sempurna (Yoh. 16:13), yakni kebenaran mengenai Yesus Kristus, Guru Besar mereka.
Gereja hidup dalam masa yang dapat mengenal kebenaran itu. Karena kebenaran itu mencukupi untuk memperoleh keselamatan. Masa kini juga dicirikan oleh hal-hal yang masih tersembunyi, yang belum jelas. Gereja hidup dalam pengharapan akan pengetahuan yang lengkap dan sempurna: ”Karena sekarang kita melihat dalam cermin suatu gambaran yang samar-samar, tetapi nanti kita akan melihat muka dengan muka. Sekarang aku hanya mengenal dengan tidak sempurna, tetapi nanti aku akan mengenal dengan sempurna, seperti aku sendiri dikenal” (1Kor. 13:12).
Di dalam sejarah penyelamatan, Allah secara berdaulat mengubah dan memilih metode dan sarana penyataan-Nya. Dia memilih sesuai dengan perubahan masa. Cara penyataan-Nya kepada Adam dan Hawa berbeda dengan cara penyataan-Nya kepada Musa; penyataan-Nya kepada Israel, raja-raja dan nabinabi-Nya berbeda dengan penyataan-Nya pada masa Perjanjian Baru. Dengan pencurahan Roh Kudus, Dia memulai fase baru dengan metode dan sarana yang sesuai untuk fase itu. Pada masa kini Allah menyatakan Diri melalui Kitab suci-kitab Suci. Dalam Bab 6 (mengenai Oknum dan Karya Roh Kudus) disajikan sebuah ikhtisar dari segala cara dan sarana yang dipakai oleh Allah untuk menyatakan diri-Nya, dari Adam sampai masa kini. Bab ini fokus pada format penyataan Allah sebagai akomodasi, sejarah, dan bahasa.
Ikhtisar berbagai cara yang digunakan Allah untuk menghubungi manusia, langsung menjelaskan bahwa Allah menggunakan wawasan, bentuk, dan sarana yang dapat dipahami manusia. Dia menyesuaikan diri pada dunia pengalaman manusia. Dia menyesuaikan cara-Nya dengan apa yang dapat dimengerti manusia, baik isinya dan paham dunianya. Dia menggunakan nafas (diembuskan ke dalam hidung Adam), angin (Roh Kudus), api (semak duri yang menyala, tiang api, lidahlidah api), gejala-gejala alam (guntur, kilat, hujan), bahasa (Dia berkata-kata), mimpi (Nebukadnesar, Yusuf), pergumulan (Yakub), kata-kata yang tertulis (sepuluh hukum, buku-buku Musa, Alkitab), dan seterusnya.
Untuk menyatakan diriNya, Allah menggunakan wawasan, bentuk dan sarana yang dapat dipahami manusia.
Penyataan Allah di bumi terjadi sesuai atau selaras dengan pengalaman empiris manusia. Bahkan Yesus Kristus sebagai klimaks penyataan Allah, adalah Allah yang menjadi manusia melalui jalan kelahiran. Di dalam-Nya kita melihat inkarnasi penyataan Allah di dalam dunia manusia. Di dalam Kristus, Allah memperlihatkan Dia sebagai orang Yahudi, Rabi, anak laki-laki yang lahir dari seorang perempuan. Penyataan Allah di dalam Kristus benar-benar mengambil rupa manusia sejati (apa yang dialami manusia), sehingga dalam hal ini Allah benar-benar mengakomodasikan diri-Nya dengan manusia.
Tetapi dalam semuanya itu tidak ada sesuatu yang dapat disebut teofani (wahyu Allah)langsung. Allah hanya memperlihatkan diri-Nya melalui sarana-sarana yang dapat dimengerti manusia. Dia tidak berhubungan secara langsung dengan manusia, dan manusia tidak dapat menemukan Allah melalui media alamiah. Itu sebabnya teologi mencirikan Penyataan Allah sebagai penyelubungan (lih. Karl Barth).
Penduniaan Penyataan Allah mempersulit apologi agama Kristen terhadap agama-agama lain di dunia yang juga memakai paham-paham manusiawi untuk ide-ide agama mereka. Sulit sekali untuk menerangkan kebenaran agama Kristen dan mengklaim kebenaran Allah, yang melalui media duniawi memperdengarkan dan memperlihatkan Diri-Nya. Kebenaran itu adalah pertemuan: ”Peristiwa yang sebenarnya adalah pertemuan yang di dalamnya dunia pengalaman berfungsi transparan bagi firman dan perbuatan ilahi. Manusia yang melihat melalui hal yang transparan itu (melalui halhal duniawi) dituntun ke pertemuan dengan Allah. Orang lain tidak dapat membenarkan atau menyangkal pertemuan itu” (Berkhof, 1973, 54).
Allah juga menggunakan sejarah sebagai sarana dan jalan untuk mencapai tujuan penyataan-Nya. Demikianlah Dia merealisasikan tujuan-Nya yang terakhir, pendamaian dengan manusia, pemusnahan iblis dan pemulihan segala sesuatu. Sudah beberapa kali kita melihat bahwa di dalam Kristus penyataan Allah mendapat klimaks dan pusatnya. Jika kita menempatkan hal itu dalam rangka Sejarah Penyataan, maka kita melihat Kristus sebagai penjawab ilahi dan sarana ilahi (Pengantara) yang berfungsi di dalam Sejarah Penyelamatan. Fakta-fakta historis mengenai kehidupan Kristus memainkan peran yang esensial dalam rencana penyelamatan. Gereja tidak pernah akan memahami penyataan Allah jika hanya fokus kepada Yesus Kristus sebagai manusia. Kita harus melihat-Nya sebagai Kristus - Mesias - yang diurapi - yang dijanjikan itu (pertama di Kej. 3:15) - Firman yang telah menjadi daging (Yoh. 1).
”Penyataan firman kehidupan di dalam Kristus hanya dapat dimengerti di dalam hubungannya dengan kehendak dan keputusan Allah yang kekal, dari dalam penyelubungan Ketritunggalan Allah” (K. Schilder, ”Christus in zijn lijden”, II, hal. 50). Yang penting adalah mengakui Penyataan Allah sebagai misteri Kristus. Misteri itu hilang jika Kristus hanya dilihat secara fenomenologis-historis. Gereja mengakui Yesus secara benar jika di dalamNya gereja mengakui prakarsa Ilahi untuk menyelamatkan dunia. Itulah praanggapan satu-satunya yang membenarkan fakta-fakta sejarah (historis) mengenai Yesus. Gereja harus bercahaya dengan gemilang karena kenyataan Ilahi, bahwa sejarah kita ditentukan dan diwarnai oleh kedatangan Allah di tengah kita. Allah ada di atas dan di dalam segala sesuatu. Dia memerintah dan berjalan melalui garis-garis kronologis ke masa depan kerajaan-Nya. Siapa yang mengenal terang Penyataan Allah, akan melihat di dalam sejarah sangat banyak lebih daripada hanya beberapa tanda atau refleksi dari Allah. Ia melihat Allah Tritunggal yang bekerja, Allah yang di dalam waktu dan sejarah secara perlahan-lahan (bagi kita manusia yang memahami satu hari sebagai satu hari) maju ke arah penyelesaian agenda-Nya.
Allah membongkar segala pandangan siklis dengan rencana-Nya yang linear lurus dari awal ke akhir merupakan awal baru.
Pandangan ini (mengenai pekerjaan Allah dalam dan melalui sejarah) merupakan nilai inti Teologi Alkitabiah (Biblical Theology) dan Teologi Reformasi. Hal itu tidak berarti bahwa sejarah manusia sendiri mempunyai daya penyataan. Sebaliknya, manusia cenderung untuk berputar-putar secara siklis. Misalnya Nietzsche yang berbicara mengenai ”pengulangan segala sesuatu yang terus-menerus”. Sejauh kita tahu, manusia dalam segala kebudayaan dan filsafatnya mengembangkan pandangan waktu yang siklis. Allah membongkar pandangan siklis itu dengan rencana-Nya yang linear. Dia sendiri berdiri di atas segala sesuatu dan di atas keterikatan terhadap waktu. Dia juga menyelamatkan manusia dari keterikatan itu – asal ia percaya. Fakta bahwa Allah mengalami waktu sangat berbeda dengan manusia, (”... di hadapan Tuhan satu hari sama seperti seribu tahun dan seribu tahun sama seperti satu hari” [2Ptr. 3:8]) menjadi nyata pada proses Sejarah Penyataan itu sendiri.
Jika kita misalnya menceritakan kisah mengenai Musa, maka kita menemui sesuatu yang ganjil jika kita menempatkan sejarah itu dalam sebuah garis kronologis. Biasanya kita membaca seluruh sejarah itu sebagai cerita yang singkat saja. Tetapi penelitian waktu membuka hal yang menjelaskan pengalaman Allah dan pimpinan-Nya yang sangat berbeda dengan manusia. Kelahiran Musa dinyatakan sebagai awal penyelamatan Israel dari Mesir. Tetapi tidak secara langsung. Bangsa yang tertindas itu masih harus menunggu lebih dari 80 tahun. Di seluruh waktu itu Allah sama sekali tidak berbuat sesuatu untuk menyatakan diri-Nya atau untuk menolong bangsa perjanjian-Nya.
Lebih lagi kita menyadari jarak waktu antara peristiwa-peristiwa penting dalam Sejarah Penyelamatan, jika kita lihat bahwa kedatangan Musa sebagai penyelamat ditunggu Israel selama 430 tahun, dihitung dari kematian Yusuf. Selama empat abad itu (!) Israel bergantung pada pewartaan cerita-cerita dari waktu dahulu, ke janji-janji yang diberikan kepada Abraham (mengenai ”tanah” dan ”turun-temurun yang sangat banyak” [lih. Kej. 15]).
Sulit bagi manusia untuk dapat memahami waktu yang lama itu. Tetapi bagi Allah tidak. Dia berdiri di atas semua waktu dan masa-masa sejarah. Dia menilik seluruh waktu rencana-Nya. Kita melihat Dia datang melalui sejarah ke masa kini, aktif dalam segala perbuatan-Nya. Penyataan Allah dalam kedatangan Yesus Kristus untuk pertama kali sudah ditunggu lama sekali. Betapa lamanya gereja sudah menunggu kedatangan-Nya yang kedua? Manusia cenderung tidak sabar. Sejarah Penyataan Allah mengajarkan kepada kita bahwa menunggu ratusan tahun agak ”normal” dan tidak usah membuat kita gelisah. Karena orang-orang Kristen menunggu dengan penuh keyakinan akan tujuan Allah melalui sejarah itu: ”Tuhan tidak lambat menepati janjiNya, sekalipun ada orang yang menganggapnya sebagai kelambatan, tetapi Ia sabar terhadap kamu, karena Ia menghendaki supaya jangan ada yang binasa, melainkan supaya semua orang berbalik dan bertobat” (2Ptr. 3:9).
Bahasa merupakan salah satu sarana manusia yang dipakai Allah. Dia membuka diri-Nya dengan memakai bahasa kita, manusia. Untuk berbicara mengenai Allah, gereja memakai bahasa yang sama itu. Dari satu segi, hal itu bagus karena kita mengerti apa yang dikatakan. Dari segi lain hal itu sangat riskan karena, dengan demikian, kita mengikat Allah pada kata-kata bahasa kita, jadi maknanya terbatas.
Allah mengajar kita untuk berbicara mengenai Dia sebagai ”perisai”,
”gunung batu”, ”kota”, ”tempat perlindungan”, ”kubu pertahanan”. Kita membayangkan Allah sebagai wujud yang duduk di atas sebuah ”takhta”, di dalam ”rumah”-Nya. Dia mempunyai mata, telinga, mulut, kaki dan tangan. Walaupun makna semua kata itu sangat kaya dan penting, gereja juga harus sadar atas keterbatasan manusia untuk benar-benar mengungkapkan Allah. Lebih sulit lagi untuk mencari kata-kata yang melukiskan wujud Allah.
Untungnya Dia sendiri telah memberikan kata-kata itu: Dialah Tuhan, Hakim, Pencipta, Raja, Bapa. Gereja juga menggunakan kata-kata manusia untuk mengibaratkan relasi emosional Allah dengan manusia: kemarahan, kasih cinta, penyesalan, dan belas kasihan. Allah meminjam kata-kata ini dari cara dan emosi yang telah dikembangkan manusia untuk relasi-relasi pribadi dan sosial.
Ada teolog-teolog liberal-modern yang bertitik tolak dari manusia dan daya upayanya untuk menangkap yang ilahi. Hasil mereka adalah gagasan bahwa Allah tidak lebih dari suatu proyeksi akal budi dan kerinduan manusia. Secara psikologis, pandangan-pandangan ilahi itu dapat diterangkan sebagai hasil dari lubuk jiwa kita, bahkan dari alam bawah sadar kita. Tetapi teologteolog reformasi tidak akan pernah menuju ke arah itu. Dia menekankan bahwa di dalam bahasa manusia, Allah bertindak dari atas untuk menyatakan diri-Nya. Praanggapan iman ini membuat kita berani untuk berbicara mengenai kekayaan dan keterbatasan bahasa kita untuk berbicara mengenai Allah. Dia sendiri memberikan bahasa itu kepada kita untuk menanggapi misteri penyelamatan secara cukup.
Hal yang sama juga kita temukan dalam pembahasan mengenai Kristus. Kristus berbicara mengenai diri-Nya sendiri sebagai ”terang”, ”air”, ”roti”, dan seterusnya. Katakata ini adalah lambang-lambang yang secara terbatas membuka kebenaran yang ada di belakang simbol-simbol itu. Demikian pula kita berbicara mengenai gereja sebagai ”pengantin perempuan”, ”tubuh”, ”kubu”, ”nabi”, ”tiang”, ”bahtera”, dan seterusnya. Kebenaran di belakang kata-kata ini selalu lebih besar daripada yang kita pahami. Allah tetap melebihi segala kata, lambang, ungkapan dan gagasan manusiawi kita. Sekaligus, kebenaran kata-kata itu sangat penting. Allah adalah Bapa kita yang benar, Allah kita yang sejati, Tuhan kita yang berkuasa, Raja kita yang besar. Allah tetap lebih dari apa yang dapat kita sebut dengan kata-kata kita sebagai manusia.
Selama gereja tidak melupakan karakter kata-kata sebagai simbol kebenaran, gereja makin mampu untuk berbicara melalui kata-kata simbolis itu secara bebas mengenai kebesaran Allah dan realitas karya-Nya. Kesadaran bahwa bahasa yang dipakai adalah bahasa simbolis, membuat gereja berhatihati untuk tidak menekankan hanya satu aspek Allah melalui satu simbol saja. Gereja harus menjaga pembahasan mengenai Allah secara seimbang, mengingat keseluruhan kata dan lambang alkitabiah yang dipakai Allah untuk menyatakan diri-Nya kepada manusia.
Kebenaran Allah selalu lebih besar daripada segala kata, lambang, ungkapan dan ide manusiawi kita.
Dalam ikhtisar sejarah dogma penyataan Allah di atas, berdasarkan berbagai contoh telah kita lihat (Yustinus, Calvin, dan Barth) betapa berat pergumulan gereja dalam menghadapi masalah orang-orang percaya yang tidak mengenal Allah yang benar. Mereka cenderung menghadap kuasa-kuasa alam, roh-roh atau allah-allah lain untuk menyembah mereka. Kenyataan itu berputar di sekeliling pertanyaan: Apakah Allah juga menyatakan diri-Nya di luar Alkitab dan di luar Kristus kepada bangsa-bangsa dunia? Apakah Allah menyatakan diriNya secara umum? Apakah Dia juga memakai bentuk-bentuk Penyataan Umum untuk memperkenalkan diri? Jika hal itu benar, bagaimana gereja harus menilainya atau menanggapinya?
Sehubungan dengan hal itu, timbul pertanyaan bagaimana gereja harus menilai dan menghadapi agama-agama lain, dongeng-dongeng, mitos, dan juga filsafat dunia. Apakah di dalamnya Allah bekerja dan menyatakan kehendakNya? Dan apakah di dalam musik, seni, dan sastra dapat ditemukan jejak kehadiran Allah di dunia ini? Jika benar, bagaimana gereja harus menafsirkan jejak-jejak ilahi itu? Apa artinya? Sebagai karya universal Roh Kudus? Sebagai alasan atau kesempatan untuk pekabaran Injil? Apakah di dalamnya nyata bahwa Allah mempersiapkan dunia bagi penerimaan Injil Kristus? Pertanyaanpertanyaan ini sangat penting. Kepentingan dan akibatnya dapat dijelaskan melalui dua contoh dari teologi Afrika dan Indonesia.
Ekspose teologi Afrika: Kwamé Bediako dan agama tradisional Afrika
Kwame Bediako (seorang tokoh teologi dari Ghana, 1945-2008) meneliti masalah perpautan agama Kristen dengan agama-agama pribumi Afrika, ”the African Traditional Religions”. Segala macam bentuk agama tradisional (yang terdapat di seluruh dunia dan yang memainkan peran penting bagi penyebaran agama Kristen di dunia) dalam literatur diacukan dengan Primal Religion. Isi dan pesona agama-agama itu menjelaskan pertumbuhan kekristenan di Afrika secara besar-besaran. Di dalam primal religion Afrika, Bediako melihat suatu persiapan istimewa bagi Injil Kristus. Karena itu tanah Afrika sangat subur bagi agama Kristen. Para misionaris yang pertama tidak sadar akan hal itu. Pada masa itu (suatu masa yang bersifat kolonialisme dan imperialisme) mereka mengimpor Injil yang bersifat dan berbentuk Barat dan budaya Eropa. Demikianlah agama Kristen pertama-tama diimpor sebagai hal yang asing. Hal itu, menurut Bediako, berubah dengan kedatangan gerakan Pentakosta dan (terlebih lagi) gerakan karismatik. Gerakan-gerakan itu memberi ruang yang luas bagi apa yang diceritakan nenek-moyang Afrika sejak dahulu, dari primal religion. Bediako menyebut enam tanda sifat dari ”primal religion” yang sangat membantu pengalihan ke iman Kristen:
Siapa yang merenungkan segala hal itu, dengan mudah dapat memahami bahwa ada banyak titik hubungan bagi pekabaran Injil. Hal itu tidak perlu kita terangkan. Menurut Bediako, orang-orang Afrika dalam tradisi suku mereka, telah menerima suatu preparatio evangelica (persiapan bagi Injil) yang istimewa. Seolah-olah garis dari gereja kuno ke primal religion orang Afrika tidak terputus tetapi lurus dan logis. Garis itu langsung menuju ke gereja Afrika masa kini. Terlebih lagi, Bediako juga berpendapat bahwa nilai-nilai tradisional itu memperkaya agama Kristen yang terlalu diwarnai kebudayaan dan filsafat Eropa dan Barat. Agama Kristen yang bercorak Eropa itu dalam bentuk yang masif diimpor ke Afrika dan ke kontinen-kontinen lain.
Melalui Yustinus Martir (lihat di atas) Bediako mengikuti ”teologi logos” dari abad-abad pertama. Menurut Yustinus, Allah tetap bekerja dengan logosNya di tengah bangsa-bangsa dunia dan kebudayaan mereka. Jejak-jejak logos Allah itu dilihat Yustinus dalam filsafat Yunani, pada Sokrates, dan Plato.
Tokoh Reformasi Akbar, Zwingli, mengolah gagasan ini lebih jauh lagi.
Dalam surat kepada Raja Frans I, ia menulis bahwa siapa yang akan kita temui di bumi baru. Di samping nenek moyang Israel dan nabi-nabi Alkitab, juga ada Herakles, Theseus, Sokrates, Aristides, Numa, Kamillus, kedua Kato dan Skipio. Menurut Zwingli, ”tidak ada” sebutan ”sesuatu orang yang telah baik, sesuatu orang yang kudus, atau sesuatu jiwa yang beriman, yang tidak akan ada di situ”. Cuplikan ini secara tajam melukiskan kepentingan masalah penyataan umum dan penghargaannya. Seperti Zwingli, Bediako juga berpendapat bahwa kebudayaan dan hikmat tradisional Afrika, dan hikmat nenek moyang sebenarnya harus dihargai sebagai pekerjaan Allah melalui logos-Nya.
Ketika Bediako berhenti (penghargaan primal religion Afrika sebagai persiapan dan perkayaan agama Kristen), orang lain berjalan terus. Pandangannya dilihat sebagai percobaan untuk mengalihkan nilai-nilai tradisional Afrika ke agama Kristen. Orang lain berjalan lebih jauh. Menurut mereka, tradisi-tradisi itu harus diterima secara positif berdasarkan penilaiannya sendiri (dan bukan dari perspektif agama Kristen). Dan juga tidak dengan maksud untuk menganeksasikan mereka ke dalam agama Kristen.
Ekspose ini menjelaskan kepada kita betapa fundamental dan pentingnya penilaian terhadap agama-agama dan tradisi-tradisi lain. Kita berada di tengah masalah teologi agama-agama dan dialog antaragama. Hubungannya dengan apa yang disebut Penyataan Umum sangat jelas dan menentukan. Pertanyaan tajam yang muncul di sini berbunyi: Apakah agama Kristen dapat mengklaim secara eksklusif keunikan kebenaran yang hanya di dalam Injil Kristus saja?
Pada masa kini pertanyaan ini sangat aktual karena pertemuan antaragama makin bertambah di seluruh dunia. Pada waktu dahulu agama-agama terkurung dalam perbatasan negaranegara tertentu. Pada masa globalisasi kini, maka agama-agama dunia dapat ditemui di setiap negara. Setiap negara menghadapi fenomena multireligiositas.
Di Indonesia hal ini sudah lama ada. Masyarakat multireligius tetap sangat urgen di dalam agenda Indonesia. Bagaimana agama-agama dapat berinteraksi secara santun dan aman? Tentang kerukunan agama di Indonesia, sudah lama ada dalam agenda gereja-gereja dan politik negara. Masyarakat sendiri sangat membutuhkan Pancasila sebagai falsafah negara untuk memimpin masyarakat, sehingga para penganut agama yang berbeda itu tetap hidup bersama dalam damai. Pancasila tidak berkata bahwa semua agama sama. Juga tidak berarti bahwa setiap agama mempunyai jalan yang benar kepada Allah. Bagaimana gereja harus menempatkan posisinya secara baik terhadap agama-agama Bagaimana posisi gereja terhadap agama lain yang tidak mengakui Yesus sebagai jalansatu-satunya yang benar?
lain? Kebenaran satu-satunya adalah di dalam Yesus Kristus, begitulah pengakuan gereja. Keyakinan itu tidak dapat dikorbankan demi kedamaian antaragama. Anggapan-anggapan dasar bagi dialog antaragama di dalam teologi dikembangkan dalam dogma mengenai Penyataan Allah. Yang juga ada hubungannya dengan hal itu adalah dogma tentang karya Roh Kudus. Ekspose berikut ini menjelaskan pentingnya hal itu.
Ekspose teologi: Teologi agama di Indonesia
Pada 2007, Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI) menerbitkan sebuah buku yang berisi penelitian-penelitian berbagai ilmuwan dari golongan Kristen, Islam, Hindu dan Budha. Judulnya: Meretas Jalan Teologi Agama-agama di Indonesia. Buku ini merupakan ”langkah apresiasi terhadap pluralisme agama; menciptakan ruang untuk menghargai dan menghormati agama lain” (hal. 24). Untuk mendapat ruang , di dalam golongan teologi-kristen, harus diruntuhkan beberapa halangan yang besar. Tujuan buku (penerimaan segala agama sebagai agama yang baik) seolah-olah membenarkan setiap macam pendekatan. Secara teologis jalan menuju ke tujuan itu disiapkan dengan suatu pneumatologi yang menghilangkan semua perbatasan. Pendekatan ini sering juga dilihat di kalangan teologi Barat. Pneumatologi ini mengalahkan keyakinan Kristen bahwa keselamatan hanya terdapat di dalam Yesus Kristus, secara eksklusif. Karena, jika kita dapat berkata bahwa Roh Kudus tetap bekerja di dalam semua agama (”... pneumatologi agama-agama, yang di dalamnya dan melalui pengakuan itu kita menerima agama-agama selaku kehadiran Roh yang menyelamatkan”, hal. 24) maka eksklusivitas di dalam Kristus sudah mulai hilang. Karena jika Roh Allah bekerja di dalam agamaagama lain dan hadir secara soteriologis (=secara menyelamatkan) maka Roh yang sama itu berkonflik dengan diri-Nya sendiri jika Dia akan memerintah agama Kristen untuk menegaskan agama Kristen sebagai jalan satu-satunya.
Pengakuan bahwa Allah menyatakan diri-Nya (oleh Roh-Nya) di dalam semua kebudayaan dan agama dunia membuat klaim eksklusivitas hilang seperti salju di iklim tropis. Buku ini sangat tidak berbicara mengenai agamaagama yang mempunyai dasar dalam wahyu dari atas (Yahudi, Kristen, dan Islam). Di dunia (dan di Indonesia) juga ada agama-agama lain seperti Hindu (politeistis), Budha (non-teistis) dan Konfusius (ideologis). Agamaagama itu juga butuh diterima sebagai jalan yang benar: ”Mungkin pada masa depan pneumatologi ini akan merupakan terobosan baru bagi upaya untuk merangkumkan agama-agama” (hal. 25).
Buku ini memang berjalan jauh sekali dan tidak hanya mencari dasar untuk pertemuan agama dan dialog, atau untuk membangun respek dan melindungi kedamaian negara. Juga tidak hanya memperlihatkan cara-cara untuk hidup bersama-sama secara baik dengan mengakui nilai-nilai etis yang penting dalam kemasyarakatan bersama. Kesamaan di bidang etis (yakni kesamaan yang dangkal) dipakai sebagai alat untuk memaksa kesamaan di tingkat-tingkat yang lebih dalam: ”Kebenaran telah dijadikan satu dengan kebajikan. Roh telah menjadi daging. Antara creed dan deed antara doktrin dan tingkah laku, antara teori dan praksis, antara iman dan buah-buahnya, antara ortodoksi dan ortopraksis, telah dipersatukan” (hal. 25). Oleh karena di dalam kesamaan etis itu disajikan keselamatan orang yang berlaku baik, maka gagasan itu sangat menolong untuk memperluas dogma penyataan sampai dapat mengatakan bahwa ada kenyataan Allah di mana-mana, kebaikan ditampilkan dalam masyarakat atau pada manusia individual: ”Pengabsahan akan berlakunya penyataan Tuhan (revelatio) akan memberikan implikasi yang positif pula pada gagasan tentang keselamatan yang ada dalam agama-agama” (hal. 25).
Dengan demikian jalan terbuka bagi suatu teologi pluralisme. Buku ini seakan-akan menunjukkan bahwa Indonesia sudah siap bagi abad ke-21. Suatu abad yang di dalamnya gereja-gereja membebaskan diri dari Kristologi dan teologi yang eksklusivistis, umpamanya dari orang-orang seperti Kraemer dan Barth. Abad ke-21 akan dicirikan dengan bebas dari kuasa-kuasa kolonialistis dan imperialistis: ”Kita menghadapi Kristologi yang kolonialistis dan imperialistis, tetapi kita juga menghadapi godaan yang sama dari jenis teologi yang universal yang pada dasarnya sangat paternalistis dan Eurosentris, seolaholah seluruh pengalaman rohani dan intelektual keagamaan harus dijabarkan dalam paradigma yang bercorak Barat dan universal” (hal. 28). Jalan disiapkan untuk membasmi sejenis Kristologi yang kaku yang sebenarnya ada sejenis fundamentalisme Kristen.
Penulis artikel ini (Th. Sumartana) memang sangat jelas dalam hal ini:
”Teologi krisis berhadapan dengan masalah totaliterianisme ideologi nazisme, dan mengimplikasikannya kepada dunia agama-agama, dengan semboyan: sola fide dan solo christo” (hal. 30). Teolog-teolog seperti itu (Kraemer dan Barth) ternyata tidak mempunyai pengertian yang mendalam mengenai agamaagama non-Kristen itu. Pada masa kini, kita terlepas dari pengetahuan yang terbatas itu. Menurut Sumartana, kita beralih ke suatu paradigma teologis yang sehat dan yang dicirikan oleh ide-ide pluralistis yang sehat. Demikianlah ada pengharapan bagi masa depan.
Dalam buku yang sama, tokoh Katolik Roma, Franz Magnis-Suseno, menyarankan bagi Indonesia apa yang dilakukan oleh Bediako bagi Afrika, gereja jangan masuk kembali ke dalam perangkap-perangkap yang dahulu disebut primordialisme (segala jenis nasionalisme, sukuisme, denominasionalisme) dan fundamentalisme. Gereja harus menerima sebuah paradigma yang baru, yaitu gagasan kemanusiaan universal. Gereja Indonesia sudah siap menuju ke gagasan itu dan sudah siap untuk berubah. Karena banyak kebudayaan tradisional Indonesia bercorak inklusif dan positif. Umpamanya kebudayaan Jawa: ”Orang Jawa membenci dogmatisme, eksklusivisme, fanatisme, kepicikan agama, kesombongan. (...) orang sendiri harus merasakan di mana, dan ke mana, Tuhan memanggilnya. Dalam budaya Jawa otonomi orang untuk menemukan sendiri di dasar jiwanya koordinasi Tuhan sangat dihormati” (hal. 61). Dengan demikian kebudayaan Jawa sangat menolong teologi agama untuk menghadapi agama-agama yang berbeda itu secara positif. Seperti pneumatologi modern, yang sudah kita lihat di atas. Untuk mengembangkan teologi agama ini, para teolog Kristen dalam buku ini sama sekali tidak memerlukan Firman Allah.
Artikel-artikel mereka berbeda dengan penulis Islam, yang secara luas mengutip kata-kata Al Quran untuk menerangkan pendapatnya. Mereka membangun gagasan mereka berdasarkan pneumatologi yang memungkinkan mereka melihat Roh Kudus di luar Firman Allah. Roh itu, menurut pneumatologi yang baru, membuka segala pintu dan menerobos segala batas antarmanusia dan antaragama. Batu uji bagi pekerjaan itu terutama berada dalam suatu kemanusiaan yang membuktikan dirinya dalam segala macam nilai dan norma etis.
Ekspose di atas memperlihatkan pen tingnya pendirian gereja mengenai penyataan umum (berdasarkan ide logos spermatikos, sensus divinitatis atau semen religionis). Pada masa kini (tetapi sudah lebih dahulu juga) gagasan itu sangat dipupuk oleh pneumatologi yang baru. Konsep Penyataan Umum (dan pengistilahannya) begitu lazim dan luas dipakai sehingga kebenaran dan gunanya hampir tidak lagi diperdebatkan.
Pembahasan Penyataan Umum biasanya diiringi oleh berbagai macam catatan yang harus menerangkan dan membatasi efeknya. Tetapi secara praktis, istilah itu mendapatkan dinamika sendiri dan terus berfungsi secara tidak terkendali. Hal mempertanyakan validitas konsep Penyataan Umum (sebagaimana yang saya buat dalam bab ini) tidak gampang dan tidak mudah diterima. Teologi agama di kalangan Kristen sudah melazimkan konsep itu dan menyukainya. Hasil teologi agama itu (yang melalui visi Penyataan Umum membuka pintu lebar-lebar bagi pluralisme kebenaran) mengejutkan teologi reformasi. Itu sebabnya kita bertanya: Apakah konsep Penyataan Umum memang benar? Apakah konsep itu memang mengesahkan pluralisme kebenaran? Saya berpendapat bahwa konsep Penyataan Umum (jika memakai teologi liberal) membawa gereja pada pluralisme kebenaran. Dan itu tidak alkitabiah.
Untuk menerangkan pendirian ini, kita membahas beberapa konsep yang sudah kita temui dalam Sejarah Dogma Penyataan Allah (§ 2). Yaitu teologi alamiah, sensus divinitatis, semen religionis dan pneumatologi modern, ke basis seluruh konsep ini: penyataan umum atau penyataan alamiah.
Pendirian gereja mengenai penyataan umum membuka atau menutup jalan ke konsep pluralisme kebenaran.
Sejak zaman
Yunani kuno, para filsuf mencoba untuk mengembangkan dan melukiskan pengertian mengenai Sang Ilahi hanya berdasarkan akal budi manusia dan gejala-gejala alamiah. Teologi alamiah adalah suatu percobaan untuk mengembangkan pengetahuan mengenai Allah tanpa menggunakan Penyataan Khusus (jadi tidak menggunakan wahyu-wahyu atau kitab-kitab suci). Teologi semacam ini juga dapat disebut teologi falsafah. Pada filsuf-filsuf Yunani (terutama pada Plato) terdapat teologi ini dalam bentuk yang murni. Karena pandangannya belum dipengaruhi oleh teolog-teolog gereja yang juga menguasai Kitab-kitab suci Alkitab (bandingkan antara Plato dengan Raymund van Sabunde, lihat § 2).
Jika seorang teolog seperti Thomas Aquinas menganjurkan pengetahuan tentang Allah berdasarkan pemandangan alam dan kosmos, jelas bahwa ia memakai isi Alkitab sebagai titik tolak penguraiannya. Pengetahuan Alkitab berfungsi sebagai praanggapan dalam prakarsanya untuk membuktikan Allah dan melukiskan sifat-Nya. Misalnya, membuktikan bahwa Allah sebagai Pencipta sangat diwarnai dan ditentukan oleh pengetahuan alkitabiah mengenai Allah sebagai Pencipta dan Pemelihara segala sesuatu. Sebetulnya itu tidak salah. Tetapi, itu bukan teologi yang hanya memakai pemandangan alam sebagai titik tolak.
Seorang Kristen memang dapat memuliakan Allah sebagai Pencipta dan Pemelihara jika ia menikmati pemandangan alam (mis. Mzm. 29, 104, dan sebagai nya). Tetapi urutannya jelas. Allah tidak berkata kepada Ayub: lihatlah alam baru engkau pasti percaya! Allah berkata, ”Perhatikanlah kuda Nil, yang telah Kubuat. Perhatikanlah buaya, yang telah Kubuat. Apakah Engkau ada di situ pada waktu Aku menciptakan mereka? Di manakah Engkau pada waktu itu?”
Permainan wayang kulit tidak dapat dimengerti atau dilihat jikalau alat penerang tidak menyala.
Kuda Nil itu sendiri tidak menuntun kita secara tersendiri pada pengetahuan tentang Allah sebagai Penciptanya. Allah berkata kepada Ayub secara langsung (=Penyataan Khusus) untuk menuntunnya pada pengetahuan mengenai Dia sebagai Pencipta. Itu sebabnya gereja memuji kemuliaan dan kuasa Allah dalam seluruh alam. Dia adalah manifes dalam semuanya itu.
Urutannya jelas: Penyataan Khusus mendahului dan membentuk Penyataan Umum. Mustahil untuk membalik urutan itu. Allah memberi mata untuk melihat kuasa dan keilahian-Nya kepada orang-orang pilihan-Nya, dalam segala perbuatan-Nya baik di alam maupun di dalam sejarah dan di dalam kehidupan pribadi manusia. Permainan wayang kulit sama sekali tidak dapat dimengerti atau dilihat jika alat penerang tidak menyala. Begitu pula dengan memandang alam: keindahannya dan keilahiannya hanya dapat dimengerti sebagai manifestasi ilahi jika terang Alkitab mulai menyala.
Jika Anda melihat sebuah lukisan yang bagus maka Anda hanya dapat memahami bahwa orang yang melukisnya sangat pintar melukis. Oknum itu sama sekali tidak dapat diketahui. Anda tidak tahu apakah orang itu laki-laki atau perempuan, muda atau sudah tua, baik atau jahat, kuat atau lemah, dan seterusnya. Dua orang yang dalam waktu yang bersamaan memandang lukisan yang sama, pasti mengembangkan gagasan yang berbeda mengenai pelukisnya. Dengan kata lain: cara untuk mengenal Si Pelukis melalui lukisannya tidak berguna dan tidak mungkin. Demikian juga dengan alam: mengenal Allah melalui alam (Penyataan Umum) tidak berguna dan tidak mungkin. Harus ada sumber lain (Penyataan Khusus) yang menyajikan pengetahuan itu.
Seperti sudah kita lihat dalam § 2, sensus divinitatis dan semen religionis adalah istilah-istilah yang memainkan peran penting dalam Sejarah Dogma Penyataan Allah. Maksud istilah-istilah tersebut adalah mencoba untuk mengerti adanya segala kebaikan di dalam masyarakat dunia yang tidak mengenal Allah. Semua penduduk dunia menikmati alam dunia yang baik (kesuburan, keindahan, dan sebagainya) atau yang menakutkan mereka (gempa bumi, tsunami, dan lainnya). Berdasarkan itu mereka mengembangkan gagasan untuk memahaminya. Mereka mengembangkan cerita-cerita, dongeng, nyanyian-nyanyian, musik, puisi, idola, dewa, demon, allah, dan seterusnya. Demikianlah manusia mencoba memahami kehidupan, kesakitan, kematian, serta apa yang buruk dan yang baik. Demikianlah, dibentuk suatu tradisi intelektual yang diwariskan turun-temurun. Ia meraba-raba terang di dalam kegelapan dan mencari arti dan maksud di dalam absurditas keadaannya. Ia memperkembangkan jawaban-jawabannya. Jawaban-jawaban itu ternyata mempunyai unsur-unsur yang benar.
Manusia juga cenderung ”mencari hubungan kembali” (=religi) dengan suatu ilahi yang dibayang-bayangkannya di atas semua. Kecenderungan ini disebut sensus divinitatis, suatu perasaan dan sensitivitas bagi yang ilahi dan bagi religi. Apakah sensus divinitatis adalah bekas dari masa tatkala umat manusia masih terhubung dengan tradisi lisan Adam dan Hawa, Nuh dan anak-anaknya? Setelah Babel, mulailah masa degenerasi pengetahuan akan Allah yang benar. Bekas-bekas pengetahuan itu makin kurang, tetapi masih dapat dilihat dalam tradisi bangsa-bangsa dunia. Walaupun mereka tidak lagi mengenal Allah yang benar, mereka masih menyimpan unsur-unsur yang baik, indah, bagus, dan jujur.
Unsur-unsur ini oleh Yustinus disebut logos spermatikos dan, sejajar dengan itu, Calvin menyebutnya semen religionis. Sesuatu yang lain tidak dapat diharapkan dalam situasi yang tidak lagi diterangi Allah. Bagaimanapun juga, manusia tidak dapat berhubungan dengan Tuhan atas kuasa dan pengertiannya sendiri, betapa cemerlang pun segala percobaannya. Gagasan sensus divinitatis sebagai fakta penciptaan memang benar. Manusia tentu diciptakan dengan suatu sensitivitas dan kerinduan terhadap yang ilahi dan religius. Dalam karya apologi agama Kristen, gereja mencari jalan untuk mencari hubungan dengan tradisi-tradisi falsafah duniawi.
Walaupun manusia diciptakan dengan suatu sensitivitas terhadap yang ilahi, ia tidak dapat ”berreligi” dengan Allah yang benar karena kuasa dan pengertiannya sendiri.
Apakah semuanya itu membentuk suatu persiapan bagi pekabaran Injil (praeparatio evangelica)? Nilai-nilai dan norma-norma yang diakui oleh semua manusia pada umumnya sering menjadi titik hubungan bagi pekabaran Injil, di samping pemandangan alam. Calvin mengacu banyak hal yang indah dalam filsafat Yunani dan dalam kehidupan manusia pada umumnya, tetapi ia tetap menekankan ajarannya mengenai korupsi total manusia (artinya hal yang indah itu tidak mempunyai akar yang benar). Semuanya itu ada karena Allah belum melepaskan dunia-Nya secara total. Dia menjaga keseimbangan antara yang baik dan yang jahat, juga kepada bangsa-bangsa yang hidup dalam kegelapan. Tindakan Allah untuk memelihara keseimbangan itu dalam teologi diacu dengan istilah Anugerah Umum (Gratia Generalis–General Grace). Istilah ini mudah disalahartikan dengan Penyataan Umum. Pada saat penggunaan konsep Anugerah Umum dapat dibenarkan berdasarkan Alkitab (misalnya Kis. 14:16,17), konsep Penyataan Umum menimbulkan banyak hal yang tidak alkitabiah.
Banyak tokoh misionaris telah melihat dan melukiskan keindahan dan kebaikan kebudayaan suku bangsa dunia. Semua itu dapat dihargai sebagai hasil pekerjaan manusia yang mengalami (karena Anugerah Umum) kebaikan dari Allah untuk dapat hidup di dunia ini (jadi perhatikanlah bahwa istilah Anugerah Umum hanya mengacu pada kebaikan duniawi dan tidak pada keselamatan yang kekal). Pada saat pekabaran Injil (dengan Anugerah Khusus) masuk ke dunia manusia maka pengalaman Anugerah Umum dapat dipakai sebagai titik hubungan untuk membuka hati mereka terhadap kebenaran Allah.
Jika pekabaran Injil berhasil, maka semua hal yang baik dan indah mengalami pertobatan. Yakni pertobatan kebudayaan, pertobatan filsafat, dan pertobatan tradisi. Harta-harta kebudayaan disucikan dalam darah Yesus Kristus dan dibawa kepada Allah yang benar. Itu berarti bahwa gereja harus menghargai secara positif (dan tidak memusnahkan) segala sesuatu yang telah dikembangkan manusia (seni, musik, hikmat, ilmu, dan sebagainya) pada masa Allah belum menyatakan Diri-Nya kepada manusia.
Pada masa itu (”zaman kebodohan” [Kis. 17:30]) mereka diserahkan kepada domain iblis. Gereja harus berhati-hati dengan istilah-istilah (seperti Praeparatio Evangelica, Penyataan Umum, dan lain-lain) yang menjadi jembatan untuk penyesatan-penyesatan dengan mudah memasuki gereja. Penunjukan segala sesuatu yang baik dalam alam, pemeliharaan, sejarah, hati nurani, dan tingkah laku manusia secara tersendiri tidak mempunyai arti. Hanya akan mempunyai arti yang benar jika semuanya itu diterangi oleh Injil dan disucikan dalam darah Kristus.
Istilah-istilah yang dibahas di sini dapat digunakan secara baik, namun banyak teolog modern memakainya sebagai alat untuk membenarkan teologi mereka yang liberal dan tidak alkitabiah: untuk membesarkan manusia, kebaikan dan kemampuannya dalam memandang kehidupan, berseni, beragama, dan falsafah.
Untuk mengesankan suatu aktivitas Allah dan Roh-Nya untuk mempersiapkan pekabaran Injil, seolah-olah Allah sudah menabur elemen-elemen firmanNya sebelum pekabaran Injil masuk. Demikianlah agama-agama pribumi (primal religions) dapat dihubungkan dan dicampurkan secara mulus dengan agama Kristen (Bediako, Turner); untuk membuka ide baru bahwa Allah sendiri yang memperkenalkan diriNya secara aktif melalui hal-hal itu. Alkitab tidak membuka kemungkinan untuk mengenal Allah secara benar di luar firman dan di luar Kristus;untuk membuka perspektif ke pluralisme agama yang tidak terbatas dan yang tidak sesuai dengan keunikan Injil sebagai jalan yang satu-satunya kepada Allah.
Teologi Reformasi harus mengubah arah diskusi secara radikal: menentang pluralisme kebenaran dan pluralisme agama dan menjaga keistimewaan keselamatan yang ada dalam Yesus Kristus.
Unsur-unsur baik yang ada pada bangsa-bangsa di dunia ini seolah-olah menyamai Penyataan Allah. Berdasarkan Alkitab semuanya itu harus dinilai sebagai Penyataan Pseudo penyataan yang palsu dan semu. Paham logos spermatikos walaupun simpatik, menuntun ke sesuatu yang tidak cocok. Teologi agama bernalar berdasarkan Alkitab, alangkah baiknya menghindari spekulasispekulasi mengenai sesuatu seperti logos spermatikos. Teologi Reformasi harus mengubah arah diskusi secara radikal: menentang pluralisme kebenaran dan pluralisme agama dan menjaga keistimewaan keselamatan yang ada dalam Yesus Kristus.
Teologi Reformasi terpanggil untuk menjawab perkembangan suatu pneumatologi yang baru karena ajarannya tidak berdasarkan firman Allah. Dogma Karya Roh Kudus sangat terkait dengan dogma Penyataan Allah dan, berhubungan dengan itu, dengan visi terhadap pekabaran Injil (lih. Bab 6). Pneumatologi Baru dapat menghargai segala macam hasil seni, musik, arsitektur, pandangan, dan filsafat sebagai karya Roh Kudus.
Ekspose mengenai teologi modern di Indonesia tadi, sudah melukiskan hal itu secara mengejutkan. Pekerjaan Kristus di kalangan pneumatolog ini dilihat sebagai masalah yang mempersulit. Dalam pembicaraan dengan agama-agama lain, karya Kristus menghambat fleksibilitas relasi. ”Dogma inti Kristologi (di dalam Kristus firman Allah yang abadi telah menjadi daging) merupakan masalah yang tidak gampang dihilangkan” (Kooi, 2006, 26). Menurut Van der Kooi, masalah itu menjadi persoalan hanya karena gereja yang pikirannya terbatas (narrow minded). Sedangkan Roh tidak begitu narrowminded seperti gereja dalam penolakan terhadap agama-agama kafir dan semua kebudayaan yang terkait dengan itu.
Calvin secara keras menolak setiap gagasan yang menyebutkan bahwa di dalam kebudayaan dan agama kafir, terdapat sesuatu seperti keselamatan. Dalam pneumatologi yang baru, arahnya berubah secara radikal dan tidak lagi terbatas seperti Calvin. Pneumatologi ini menuntun ke sebuah paradigma teologis yang baru. Menurut tokoh-tokoh pneumatologi yang baru, karya Roh Kudus terlihat di mana-mana, pembatas-pembatas yang memisahkan umat manusia dikalahkan. Menurut mereka hal itu juga sudah menjadi nyata dalam cerita-cerita Alkitab. Demikianlah,terbuka jalan untuk menemukan Roh Kudus dalam banyak hal di dunia ini. Di mana saja ada pembatas yang didobrak (pembebasan, aksi menuju kemerdekaan, antidiskriminasi, humanitas, pengalahan kejahatan, dan sebagainya) maka di situ ada Roh Kudus.
Menurut pneumatologi ini pekerjaan Roh lebih luas daripada hanya melalui jalan sempit Penyataan Khusus berdasarkan Alkitab. Berdasarkan visi ini mereka mencoba memaksa gereja untuk membebaskan diri dari pendekatan Injil yang sempit, yang berdasarkan Kristologi tradisional. ”Penciptaan, pemeliharaan, Yesus Kristus, penyelamatan manusia dan dunia, dan agamaagama lain, semuanya itu dibahas dalam rangka dan dengan pengistilahan Roh” (Kooi,2006, 26). Primat Roh mengganti primat Firman. Gereja harus beralih ke keadaan yang sangat berbeda dengan menggantikan paradigmanya yang tradisional. Karena setiap ekspresi kasih dan kebaikan manusiawi adalah tanda aktivitas Roh Kudus. Di mana-mana terlihat jejak-jejak Allah.
Barth menolak secara radikal setiap percobaan manusia dari bawah ke atas, dan mengatakannya sebagai kecongkakan dan kesia-siaan manusia. Ia mengembangkan pikiran ini sedemikian jauh, hingga akhirnya kandas dalam pikiran mengenai tanggungjawab manusia. Jika setiap ”sinergi” antara Allah dan manusia ditolak dan ditafsirkan sebagai jalan yang berdosa, maka kita akan berakhir dalam kebuntuan. Karena jika manusia hanya boleh berpikir mengenai Allah dari Allah (dari atas), bahkan pikiran itu sendiri tidak lagi mungkin. Apa yang kita sebut mentok (kebuntuan) oleh Barth disebut sebagai dialektik dan paradoks: di dalam ketidakmampuan kita untuk mengenal terdapat pengenalan kita. Di dalam ”tidak” adalah ”ya”.
Memang, teologi Barth sangat kompleks, filosofis, tidak alamiah dan tidak manusiawi. Kraemer bertanya tentang diri Barth: ”Apakah kita masih bernafas udara yang sehat alkitabiah di sini, atau kita sudah berada dalam suasana aksioma-aksioma teologis, yang telah menjadi kukuh sekali, dan yang harus dibela secara teguh?” (Kraemer, 1958, 162). Walaupun begitu, dalam teologi Barth juga terdengar bunyi-bunyi yang sangat menarik. Bersama Barth dan banyak teolog reformasi lain, kita ingin berdiri kokoh di atas ajaran kedaulatan Allah (suverenitas) dan penyataan-Nya dari atas ke bawah, hanya karena anugerah saja dan hanya di dalam Kristus saja.
Kasus Tamam
Di dalam sebuah rumah pohon di hutan Papua, hidup seorang yang bernama Tamam, jauh dari dunia modern, terpencil bersama dengan sukunya. Tamam adalah keturunan Adam, tetapi hal itu tidak diketahuinya. Ayahnya telah menceritakan kepadanya bahwa mereka keturunan dari Famutüpün, yang hidup jauh di suatu tempat di kepala sungai. Tamam telah banyak belajar dari ayahnya: bagaimana ia harus membangun rumah di atas pohon, bagaimana ia dapat menangkap ikan, bagaimana ia harus berperang dengan busur dan panah. Ayahnya juga menceritakan kepadanya mengenai air tinggi, yang dahulu menghapus seluruh dunia. Dan mengenai jalan ke seberang, ke tanah Kuru, ke rumah panjang, tempat kediaman segala roh-roh orang mati. Siapa yang hidup baik pada masa kini juga akan hidup baik di dalam bivak itu.
”Hidup baik” berarti Anda tahu membagi-bagi kebaikan. Membagi sagu, ikan, babi, kasuari dan sebagainya. Satu cerita sudah Tamam hafal, yaitu cerita mengenai Farapora yang sudah sering kali diceritakan oleh ayahnya. Ayah Tamam berkata, ”Jadi, manusia yang hidup di dunia ini harus mendengar suara Farapora! Seperti peraturan untuk tidak memakai rotan yang besar, ekimana, atau umuma, atau amonama, untuk tidak memakai kulit pohon dan talitali yang dipakai untuk membuat noken.” Dan selanjutnya: ”Di atas seluruh muka bumi, semua orang baik yang tua atau yang muda harus memuji nama Farapora!”
Bagaimana persisnya, Tamam tidak mengerti, tetapi ia tahu dengan pasti bahwa di dalam hutan ada banyak kuasa yang perlu diperhatikan dan disembah. Ia sendiri kemudian akan menceritakan semuanya itu kepada anakanaknya. Apa yang tidak diketahui ayah dan ibunya adalah cerita mengenai Adam, yang pada awal segala sesuatu berjalan bersama-sama dengan yang Mahatinggi, yang Transenden itu. Mungkin masih ada gagasan-gagasan yang berasal dari cerita itu: perasaan hormat dan takjub terhadap semua hal yang lebih tinggi dan besar, dan ketakutan akan roh-roh dan demon-demon. Dan perasaan takut terhadap orang-orang yang tahu rahasia itu, yang disebut dalam bahasa mereka, ”karu-ipit”.
Pengetahuan asli itu sudah mengalami degenerasi melalui abad-abad yang berlalu sehingga hanya tinggal beberapa hal yang samar-samar. Sementara itu, karena didikan ayahnya, Tamam pandai sekali membuat perangkap ikan dan perahu yang bagus. Ia juga terkenal di tengah sukunya karena suaranya yang bagus, ia selalu menyanyi di perjalanan dan di kampung. Ia juga tahu apa yang harus diperbuat ketika seseorang digigit ular berbisa. Ia senang membuat ukiran kayu seperti perisai perang yang bagus.
Yang tidak dapat dipahami Tamam adalah siapa sebenarnya yang menciptakan air, tanah, rumput, sagu, babi, dan kasuari. Dan siapa sebenarnya yang telah memberikan ulat-ulat sagu. Tamam dengan sukunya menikmati semuanya itu, tetapi mereka takut menjadi sakit dan mati. Mereka juga tidak tahu siapa yang memberi sakit penyakit dan kematian; atau memang ada berbagai cerita untuk menerangkannya, tetapi cerita-cerita itu tidak mengacu pada kejatuhan ke dalam dosa, ke penghakiman dunia dan kutuk, kepada Allah yang satu-satunya.
Cerita-cerita itu memang membuktikan bahwa Tamam adalah seorang yang berakal budi dan yang mempunyai perasaan akan dunia roh dan dunia atas. Ia telah lahir dengan sensitivitas itu, dengan sensus divinitatis itu. Ia memang mampu dalam banyak hal, tetapi satu hal yang sama sekali tidak mungkin: luput dari kematian. Jelaslah ada banyak titik tolak bagi seorang pekabar Injil. Jika pada suatu hari seorang penginjil bertemu Tamam, akan ada banyak hal yang perlu dirobohkan dan banyak hal lain yang perlu dibangun.
Sensus divinitatis itu adalah hal satu-satunya yang diwariskan dari Nuh dan Adam. Tentang penyelamatan, Yesus Kristus, tidak ada sama sekali yang dapat ia ketahui. Tidak ada sesuatu pun yang membenarkan gagasan bahwa Allah sendiri yang membagikan hal-hal dalam kehidupan Tamam dan sukunya. Tidak ada sesuatu pun yang dapat disebut ”penyataan Allah yang benar”, suatu hal yang di dalamnya Allah sendiri menyatakan-Nya kepada Tamam. Seluruh kehidupan Tamam dan sukunya bersifat meraba-raba dalam kegelapan yang tanpa secercah terang, yang di dalamnya raja kegelapan memerintah. Yang diperlukan di sini adalah sesuatu dari luar yang mendobrak pembatas suku ini dan yang membawa terang Injil kepada mereka. Yang dibutuhkan adalah seorang pekabar Injil yang diperintah oleh Roh Kudus, dan yang membawa firman Allah dalam bentuk Alkitab.
Sudah jelas bahwa banyak kekacauan dalam dogma penyataan Allah yang disebabkan oleh istilah dan konsep Penyataan Umum. Menurut konsep ini, Allah menyatakan diri-Nya sendiri di seluruh dunia kepada semua manusia di alam, sejarah dan hati nurani. Gagasan ini mudah bercampur dengan dogma lain mengenai Allah yang memerintah dan memelihara segala sesuatu di dunia ini. Itulah paham Anugerah Umum. Kita sudah melihat bahwa perbedaan antara Penyataan Umum dan Penyataan Khusus sudah mulai digunakan pada abad-abad pertama gereja. Pada masa itu perbedaan ini disebut Revelatio Naturalis dan Revelatio Supernaturalis. Kemudian istilah-istilah Revelatio Specialis (Penyataan Khusus) dan Revelatio Generalis (Penyataan Umum) lebih lazim dipakai.
Bab ini sudah sering menyinggung bahwa pembedaan antara Penyataan Umum dan Penyataan Khusus menyebabkan banyak masalah, bahkan pengajaran-pengajaran yang palsu. Kami tidak mengusulkan untuk tidak lagi memakai kedua gagasan ini. Banyak teolog yang sudah menunjukkan kejanggalan pembedaan ini, karena sebenarnya tidak sesuai dan sering mengundang salah paham. Misalnya Kraemer, (Kraemer, 1956, 298). Ia menyebut Penyataan Umum sebagai sebuah istilah yang menyesatkan. Ia menarik kesimpulan: ”Mengenai masalah pengistilahan, saya tidak berharap bahwa kedua istilah yang sangat tua ini, Penyataan Umum dan Khusus, dapat ditiadakan. Sebab sangat sulit untuk mendapatkan istilah baru yang akan diterima secara lazim. Alangkah baiknya kita bergumul secara keras untuk menyucikan pemakaian istilah-istilah yang tua ini sebaik-baiknya.”
EKSPOSE Lumen Gentium Vatikan II
Kita sudah mencuplik Sumartana: ”Pengabsahan akan berlakunya penyataan Tuhan (revelation) akan memberikan implikasi yang positif pula pada gagasan tentang keselamatan yang ada dalam agama-agama.” Pikirannya jelas: Jika Anda dapat mencap sesuatu dengan cap ”penyataan Allah”, maka hal itu sangat membantu untuk menerima hal itu secara positif dan legitimate. Sumartana mempromosikan ide itu: ”... perlu dipikirkan untuk menciptakan suatu pemikiran yang lebih utuh tentang hubungan antara wahyu (revelation) pada satu pihak dan soteriologi pada pihak lain.” Maksudnya bahwa semua hal yang di dalamnya kita dapat menemukan suatu kecenderungan soteriologis dapat dicap sebagai ”penyataan Allah”. Dengan demikian hal itu mendapat legitimasi surgawi dengan cap biru surgawi. Kata ”soteriologis’ di sini mendapat arti yang jauh lebih luas daripada penyelamatan manusia dari dosanya melalui Yesus Kristus. ”Soteriologis” di sini harus kita mengerti secara sosial dan horisontal. Di mana saja kita melihat orang atau sistem sosial yang menentang keburukan dan ketidakadilan, di situ ada sesuatu yang soteriologis.
Di dalam buku yang sama (Meretas Jalan Teologi Agama-agama di Indonesia), Banawiratma mendukung pandangan ini, untuk memperluas keselamatan di luar Kristus (Banawiratma, 1999, bab 2, ”Mengembangkan teologi agamaagama”). Teolog Katolik Roma ini membedakan lima model pendekatan agama-agama di dalam ilmu teologi agama. Ia mulai dengan pandangan yang sempit dan tidak disukainya, menuju ke pandangan-pandangan yang makin luas. Sebagai berikut: Eklesiosentris (gereja sentral), Kristosentris (Kristus sentral), Teosentris (Allah Sentral), Basileiosentris (Kerajaan Sentral) dan Multisentris (Banyak Sentral). Yang paling luas itu (”multisentris”) menjadi pilihannya.
Pada teosentris, Banawiratma mencacat bahwa ”Pendekatan ini tampak lebih simpatik ketimbang pendekatan Kristosentris, namun mengeksklusifkan agama nonteis” (hal 42). Di Indonesia dikembangkan suatu arah teologi yang disebut ”teologi sosial”. Jelaslah (mengingat situasi agama-agama di Indonesia) teologi ini sangat menarik. Banawiratma (yang meraih gelar doktor pada tahun 1980 di bidang teologi di Austria dengan disertasi yang berjudul: ”Der Heilige Geist in der Theologie von Heribert Muhlen” Roh Kudus dalam Teologi Heribert Muhlen) berpendapat bahwa memang di kalangan gereja Kristen yang Kristosentris, basileiosentris dan eklesiosentris adalah ciri-ciri intern bagi gereja yang sangat menentukan identitas gereja dan identitas agama Kristen. Sangat penting bagi integritas iman Kristen, tetapi dalam dialog agama, pendekatan-pendekatan ini menjadi ”sentrisme” yang mengeksklusifkan agama-agama lain atau agama-agama nonteis. Mereka sangat menghambat dialog yang terbuka. Karena sentrisme-sentrisme ini mengurangi respek terhadap saudara-saudari yang menganut agama Islam, Budha dan Hindu (atau pandangan hidup apa pun) yang menurut Banawiratma, juga sudah menerima banyak hal yang baik dari Allah.
Yang diperlukan adalah ”pendekatan dialogal kritis kontekstual” karena pendekatan ini akan ”mengembangkan integritas yang terbuka, karena setia terhadap kekhususannya, dan sekaligus dengan rendah hati merasa perlu untuk masuk cakrawala multiperspektif dan multikultural agama-agama dalam konteks yang konkret”. Dengan menekankan pekerjaan Roh Kudus, Banawiratma mengembangkan garis-garis Konsili Vatikan II 1. Dokumen ini memperlihatkan bahwa basis penalaran pluralisme berkisar di sekeliling paham Penyataan Umum dan Anugerah Umum. Kita mencupliknya dalam bahasa Inggris:
Di samping menekankan identitas agama di dalam Kristus, cuplikan tadi memperlihatkan bagaimana pluralisme religius dapat bertumbuh subur di tanah teologis yang disiapkan oleh gagasan-gagasan Penyataan Umum, Anugerah Umum, Logos Spermatikos, dan Pneumatologi. Banawiratma mengelaborasikan perspektif teologis ini ke dalam pedoman praktis untuk dialog agama. Pendekatan yang mengabaikan identitas sendiri (indifferent pluralisme) tidak dia pilih. Ia memilih dialogical pluralism. Pendekatan ini menciptakan suatu pertemuan agama dalam suasana saling mengerti dan bersama-sama mencari bagaimana Tuhan yang Satu dan Esa telah menganugerahkan dan membagi kasih dan kebenaran-Nya di dalam dunia ini. Yang satu berjalan melalui Yesus Kristus dan melalui tradisi Kristen, sedangkan yang lain berjalan melalui Al Quran atau melalui suatu wahyu ilahi lain sesuai dengan tradisi agamanya. Pada saat pertemuan-pertemuan itu berlangsung, para peserta mengadakan kontemplasi bersama dan berbicara bersama mengenai pandangan-pandangan mereka di bidang agama dan teologi. Sering kali pembicaraan itu berlangsung ke arah hal-hal etis. Pertemuan seperti ini sangat menolong untuk membangun penghargaan, pengertian dan juga: mengetahui bahwa di dalam agama-agama lain itu juga terdapat kebenaran-kebenaran ilahi.
Walaupun secara teologis kita tidak setuju, pertemuan-pertemuan seperti itu sangat penting. Karena menciptakan kerukunan dan kerja sama di sekeliling proyek-proyek, baik untuk membangun damai sejahtera dalam masyarakat. Tetapi motif teologisnya adalah bahwa suasana dan perasaan kebersamaan religius itu pada prinsipnya diberikan oleh satu Allah, yang telah menyatakan diri-Nya dan kebenaran-Nya kepada setiap agama. Motif itu diistilahkan secara keliru, yaitu (karena di luar Kristus) soteriologis. Melalui jalan kerja sama di bidang etis dan sosial (the dialogue of action) ”Christian sisters and brothers of other faiths work for the integral liberation of people. At this level of dialogue, people of various religions and beliefs transform society to become more just, free and human as well as more eco-friendly” (Banawiratma, 2000).
Banawiratma dalam konteks ini dapat berbicara dengan yakin tentang Kristus sebagai jalan, kebenaran dan hidup (Yoh. 14:6). Ia mengaitkan pandangan itu dengan praktik kehidupan menurut Yohanes 14:3. Untuk mengikuti Yesus, untuk hidup bersama-sama dengan Dia, untuk melakukan apa yang diperbuat-Nya: ”Being Christian is to follow Jesus Christ as the way, and the truth and the life”. Ia melanjutkan: ”Orthopraxis has priority over orthodoxy” (perbuatan baik lebih penting daripada ajaran yang baik). Agama-agama saling bertemu dalam aksi sosial dan etis bersama-sama. Di dalam dialogue of action itu, mereka mengalami bagaimana Allah membuat kebaikan di dunia ini. Sekaligus, dalam proses ini, mereka mendapati sesuatu yang lain.
Kita memperlihatkan itu (tanpa komentar) dengan mengutip Banawiratma sekali lagi, yang memperlihatkan bagaimana pekerjaan Roh Kudus, menurut arah teologis ini, dapat dilihat dalam semua agama: ”How could we understand the Holy Spirit? As the Word of God Al Qur’an is divine. When a human being recites or announces the verses of Al Qur’an, it is a human being who is praying and announcing. It means that the Word of God, the divine Word, becomes the word of a human being. If a person follows the Word of God, again it challenges human life and human deeds. How is this possible? It is because of God’s power. This power of God in the Christian tradition is the Holy Spirit. To believe in the Holy Spirit means to believe in the power of God at work in human beings and in the world.”
Ekspose tadi melukiskan gereja yang kehilangan eksklusivitas Kristus. Itu persis sebagaimana yang dimaksudkan oleh para teolog yang mengembangkan teologi ini. Karena ”eksklusivitas” adalah sesuatu yang tidak simpatik dan kurang diterima, khususnya pada masa kini yang postmodern. Eksklusivitas menuntun ke arah konflik, perang agama, atau penolakan pandangan lain. Eksklusivitas cenderung memisahkan orang, membangun tembok-tembok pemisah, menentukan perbatasan bagi kehidupan dan ajaran (mengurangi kemerdekaan atau kebebasan manusia), mengundang kecongkakan dan fundamentalisme. Sangat sulit untuk berdiri di dunia ini dengan suatu kabar yang eksklusif. Terlebih lagi jika kabarnya sangat sempit, karena jalan melalui Kristus adalah jalan yang sempit dan tidak luas (”Sempitlah jalan yang menuju kepada kehidupan” [Mat. 7:14]).
Kabar Injil yang hanya benar di dalam Yesus Kristus menuntun ke suatu kehidupan ”yang berbeda sekali” dengan meniadakan segala sesuatu yang tidak sesuai dengan Kristus. Ajaran ini menuntun ke antitese dan tidak menghargai agama lain sebagai teman agama yang juga benar. Injil itu juga menuntun ke sikap yang penuh kasih mesra bagi orang yang belum percaya Yesus Kristus, yang masih mengikuti agama lain. Sikap ini (respek, kasih, murah hati, dan perhatian) mendorong gereja untuk berbicara dengan orang yang beragama lain. Dengan tujuan untuk menarik kepada Juru Selamat Yesus Kristus dan yang menyertai kita di jalan yang sempit. Untuk mengaku bahwa Yesus Kristus adalah jalan satu-satunya kepada Allah, Tuhan kita.
Karena sungguh penting, kita harus kembali ke awal konsep Penyataan Umum itu, apa dasarnya? Apakah konsep ini dapat dipakai secara baik, dan berhatihati? Dengan mempertanyakan hal ini, kita sadar bahwa kita mempertanyakan suatu tradisi teologis yang sangat panjang dan yang mempunyai tokoh-tokoh reformasi sebagai pembelanya. Herman Bavinck berkata: ”Khususnya teologteolog reformasi mempertahankan pandangan Penyataan Umum itu dan menghargainya sangat tinggi” (Bavinck, 1895, I, 230). Teolog-teolog yang baik, yang mengembangkan gagasan penyataan umum itu secara positif sekaligus menekankan ketidakcukupan penyataan itu bagi penyelamatan. Pekerjaan Allah dalam penciptaan dan pemeliharaan (Penyataan Umum) adalah hanya Penyataan Allah bagi orang yang sudah diterangi Penyataan Khusus, yang sudah menerima terang Injil. Di dalam alam terdapat terang yang ”indirek” (tidak langsung), tidak lebih dan juga tidak kurang dari itu. Terang itu sendiri tidak membebaskan dunia dari kegelapannya (Berkhof, 1973, 79). Tokoh-tokoh teologi tetap memakai konsep Penyataan Umum. Confessio Belgica (= PIGB) menyebut Pengakuan Umum sebagai sumber yang penting untuk mengenal Allah. Tetapi harus diingat bahwa subjek pengakuan itu adalah gereja, yakni orang-orang yang sudah percaya. Bagi orang-orang yang sudah percaya, kedua buku penyataan Allah itu memang terbuka secara luas.
Teologi Reformasi terperangkap dalam dilema Penyataan Umum dan Khusus, tetapi juga masih berhasil memakainya secara terbatas dalam tradisi, sesuai dengan Calvin, Bavinck, Berkhof. Saya dalam bab ini sudah mempertanyakan alasan yang alkitabiah, yaitu tafsiran Roma 1, Roma 2, Kisah Para Rasul 14, dan Kisah Para Rasul Di dalam alam terdapat terang yang ”indirek” dan yang hanya menjadi cahaya di dunia jika dinyalakan oleh penyataan khusus=pekabaran Injil.
17 empat perikop Alkitab ini selalu dipakai untuk mengembangkan gagasan Penyataan Umum. Ekspose eksegetis yang berikut ini dimaksudkan untuk menggoyang alasan alkitabiah terhadap paham Penyataan Umum.
Ekspose eksegese Roma 1:18-20
Berdasarkan eksegese Roma 1:18-20 yang sudah kita hadapi di atas (§ 3), saya yakin bahwa Roma 1 bukanlah dasar atau alasan bagi ide Penyataan Umum. Orang yang tidak percaya tidak dapat menjumpai Allah yang benar melalui pemandangan alam. Kita hanya dapat berbicara mengenai dua sumber (seperti PIGB pasal 2) jika kita lebih dahulu diterangi oleh sumber utama itu, yaitu pengetahuan dari Alkitab. Pengertian akan kebesaran Allah dan kuasa dan keilahian-Nya yang besar, hanya dapat kita peroleh jika kita lebih dahulu minum dari sumber yang murni itu, Penyataan Khusus yang berasal dari Alkitab.
Roma 1:20/Kisah Para Rasul 17 orang-orang kafir yang tidak dapat berdalih
Mempersoalkan Roma 1:18-20 sebagai dasar gagasan bahwa ada suatu sumber Penyataan Allah di luar firman Allah, mempunyai akibat-akibat yang besar bagi visi kita terhadap agama-agama lain dan bagi pendekatan misioner orang-orang yang tidak berada dalam terang Injil. Karena pandangan ini, isi pasal 2 Pengakuan Iman Gereja Belanda juga dapat diperdebatkan. Dengan mengacu ke Roma 1:20, gereja mengakui bahwa alam (penciptaan, pemeliharaan dan pemerintahan Allah) memperlihatkan kekuatan-Nya yang kekal dan keilahianNya. Pengakuan ini diteruskan dengan ”Semua itu cukup untuk membuktikan kesalahan manusia sehingga mereka tidak dapat berdalih”. Penafsiran kita menuntun ke kesimpulan bahwa semua bangsa, karena dosa nenek moyang mereka, oleh Allah diserahkan ke dalam kegelapan yang tidak lagi mempunyai terang ilahi. Bangsa-bangsa itu tidak secara otomatis dihakimi Allah dalam kadar yang sama. Nenek-moyang mereka yang pertama (yang hidup pada waktu Babel) masih mengenal tuntutan hukum Allah. Dalam pendakwaan, mereka dapat dituduh karena salah. Padahal mereka tahu, mereka tidak mau dan tidak taat. Anak-anak sama sekali tidak tahu dan tidak mendengar lagi tentang Allah yang hidup. Dalam pendakwaan Allah, sebagai Penghakim yang jujur, pasti akan memutuskan lain. Apa yang tepat dan bagaimana, kita tidak tahu. Mereka tidak dapat dipersalahkan berdasarkan kejahilan mereka. Sebetulnya Tamam (dari kasus di atas) sebagai oknum pribadi, dapat berdalih karena tidak mengetahui tentang Allah. Karena ia tidak tahu sesuatu pun yang benar tentang Allah, juga tidak melalui alam, sejarah, atau hati nuraninya. Paulus, pada waktu ia mengabarkan Injil di atas Areopagus, dapat memperkenalkan kepada orang-orang seperti Tamam tentang hal yang benar. Dalam cerita itu ia juga menerangkan sesuatu mengenai nenek-moyang mereka yang tidak tahu cerita itu, walaupun mereka mencoba untuk mendapatkannya. Karena Allah ”tanpa memandang lagi zaman kebodohan” (Kis. 17:30) sekarang memberitahukan kepada mereka bahwa mereka harus bertobat. Semua cerita-cerita tradisional, semua primal religion, semua pandangan dunia, semua kebudayaan manusia, dibongkar sebagai hasil kebodohan. Tetapi sebelum Injil masuk, mereka belum dapat mengetahui hal itu. Setelah Injil masuk, tentu mereka tidak dapat berdalih lagi. Pemberitahuan ini adalah pemberitahuan anugerah, tetapi sekaligus pemberitahuan penghakiman dengan tidak memandang lagi zaman kebodohan.
Kisah Para Rasul 14:16,17; Roma 2:14,15 Anugerah Umum
Pembatasan konsep Penyataan Umum tidak berarti bahwa alam, sejarah dan hati nurani harus ditolak sebagai sarana-sarana yang penting untuk mengenal Allah dan untuk menyembah-Nya karena perbuatan-perbuatan-Nya yang besar. Sebaliknya, baik keindahan maupun ancaman alam memberi titik-titik hubung untuk mengomunikasikan Injil. Allah memakai bumi dan sejarahnya sebagai sarana untuk mencapai tujuan-Nya. Dia membutuhkan bumi sebagai tempat kehidupan tetap terpelihara, sehingga kehidupan tetap terlindung. Dia memberi kemungkinan kepada setiap manusia untuk menikmati kehidupan di dunia, sebagaimana tertulis dalam Kisah Para Rasul 14:17: ”Ia bukan tidak menyatakan diri-Nya dengan berbagai-bagai perbuatan baik, yaitu dengan menurunkan hujan dari langit dan dengan memberikan musim-musim subur bagi kamu. Ia memuaskan hatimu dengan makanan dan kegembiraan”.
Sebenarnya hal itu pun dapat disebut ”anugerah umum” tetapi hanya dalam arti yang agak terbatas.
Greijdanus, seorang ahli eksegese PB, telah mendefinisikan anugerah sebagai berikut: ”Baru jika sesuatu menuntun ke keselamatan kekal, maka hal itu dapat dicirikan sebagai anugerah”. Kata ”Ia bukan tidak menyatakan diriNya” tidak berarti bahwa Allah menunjukkan anugerah seperti yang kita kenal di dalam Yesus Kristus. Allah juga tidak bermaksud untuk menyatakan diriNya sebagai Allah (walaupun hal itu mudah muncul karena terjemahan dalam Bahasa Indonesia dengan frasa ”menyatakan diri-Nya”). Paulus di sini memakai kebaikan dan keindahan kehidupan manusia (yang juga dinikmati oleh semua orang yang tidak percaya) untuk menerangkan Allah di dalam semuanya itu. Paulus menempatkan Allah itu di tengah kehidupan orang-orang Yunani yang kehidupannya sangat indah dan penuh gairah hidup. Paulus membuat mereka mengerti dan menerima siapa yang memberikan itu semua kepada mereka. Pembahasan tentang hal itu sebagai ”anugerah” mungkin secara harfiah, tetapi agak riskan. Karena anugerah itu sama sekali tidak menuntun ke penyelamatan. Jadi, jika kita memakai istilah ”Anugerah Umum” kita harus memperhatikan bahwa ”anugerah” di sini dipakai dalam arti yang sempit dan hanya mengacu pada segala sesuatu yang dianugerahkan Allah untuk memungkinkan kehidupan di bumi ini.
Demikianlah kita menetapkan bahwa Allah melalui sarana pemerintahan segala sesuatu, dan melalui alam, sejarah, dan hati nurani manusia menciptakan sarana untuk menemukan tujuan-Nya yang terakhir: penciptaan dunia yang baru dan persiapan suatu bangsa yang baru untuk hidup di dunia itu. Allah dalam semuanya itu membatasi akibat-akibat dosa. Allah menahan proses degenerasi. Dia memberikan hukum-hukum alamiah, yang menurut Roma 2:14-15 ditulis Allah dalam hati setiap manusia: ”Sebab apabila bangsa-bangsa lain yang tidak memiliki hukum Taurat oleh dorongan diri sendiri melakukan apa yang dituntut hukum Taurat, maka mereka menjadi hukum Taurat bagi diri mereka sendiri, walaupun mereka tidak memiliki hukum Taurat. Dengan itu mereka menunjukkan bahwa isi hukum Taurat ada tertulis di dalam hati mereka dan suara hati mereka turut bersaksi dan pikiran mereka saling menuduh atau saling membela.”
Herman Bavinck telah menulis sebagai berikut: ”’Anugerah Umum’ adalah pemberian Allah untuk mengendalikan tabiat manusia yang berdosa dan terdiri atas hal-hal seperti hukum-hukum dan adat istiadat, pekerjaan dan keahlian, seni dan ilmu; dan di dalam manusia kemampuan untuk berpikir, akal budi, kesadaran dan hati nurani, kasih alamiah dan kasih akan kebenaran, kesadaran agama dan etika, perasaan malu dan hormat, dan ketakutan akan keaiban dan hukuman”. Dengan demikian Allah menciptakan sarana yang dibutuhkan itu. Tanpa angkasa dan udara kehidupan tidak mungkin ada di bumi ini. Seandainya angkasa itu terbelah atau hilang, maka habislah kehidupan di dunia ini. Allah masih menjaga dan menahan dunia ini sebagai tempat kehidupan segala makhluk. Dia mengendalikan sejarah dunia sesuai dengan rencana penyelamatan-Nya di dalam Yesus Kristus. Dia masih menunda, Dia masih sabar, Dia masih menjamin keberlangsungan kehidupan di dunia ini karena tujuan-Nya yang indah: penciptaan kembali segala sesuatu.
Otoritas Alkitab adalah dasar Teologi Reformasi. Bagi Teologi Reformasi, Alkitab adalah prinsip utama dan sumber pengetahuan Allah bagi gereja masa kini. Itulah praanggapan reformasi yang didasarkan pada Alkitab dan iman gereja. Alkitab adalah sumber yang mengalirkan secara cukup semua pengetahuan yang diperlukan bagi gereja masa kini. Alkitab mempunyai otoritas mutlak bagi ajaran dan kehidupan gereja. Teologi Reformasi menentang mereka yang di samping Alkitab, membuka sumber-sumber lain seperti tradisi, pengalaman manu sia, penyataan pribadi yang khusus (nabinabi kontem porer), tanda-tanda, mimpi-mimpi, alam (po hon-pohon), teologi alamiah, dan sebagainya.
Dengan menetapkan Alki tab sebagai sumber Pe nyataan Allah, gereja juga menghadapi tugas untuk memahami Alkitab itu secara baik dan menentang segala penyalahgunaan naskah Alkitab. Gereja harus mencegah sebaik-baiknya multiinter pretasi Alkitab. Tanpa persepakatan gerejawi di bidang hermeneutika dan ilmu eksegese Alkitab gereja, maka semboyan Sola Scriptura ha nyabunyi kosong. Gereja membutuhkan pemaparan Ajaran Alkitab yang dibahas dan disahkan melalui sidang-sidang gerejawi dan yang diajarkan di sekolah-sekolah teologi. Apa kuncinya? Alkitab! Alkitab sendiri yang menyajikan prinsip-prinsip penafsirannya, sesuai dengan semboyan Reformasi yang penting, sacra scriptura sui ipsius interpres (Kitabkitab Suci adalah penafsirnya sendiri). Alkitab sendiri adalah norma dan sumber satu-satunya untuk penafsiran yang baik. Penyataan Allah hanya dapat dipahami dalam terang Penyataan Allah.
Di bawah ini kita mengajukan garis-garis besar Ajaran Alkitab itu sebagaimana yang dikembangkan di dalam tradisi reformasi.
Allah berkarya dari awal dunia sampai akhir sesuai dengan rencana-Nya yang kekal. Untuk mencapai tujuan-Nya (pendamaian dan rekreasi segala sesuatu) Dia melalui masa-masa sejarah dalam menyatakan Diri-Nya kepada manusia secara tahap demi tahap, lihat § 3 mengenai Sejarah Penyataan Allah. Pada masa kini, Allah sudah masuk ke tahap terakhir rencana-Nya sebelum Kristus datang kembali. Gambaran yang berikut ini memperlihatkan terjadinya Alkitab sebagai sarana Allah yang dipilih Allah pada tahap terakhir ini.
Alkitab sendiri yang memberikan prinsip-prinsip penafsirannya, sesuai dengan semboyan Reformasi ”sacra scriptura sui ipsius interpres”.
Perjanjian Lama terdiri dari 39 kitab yang dapat dibagi sebagai berikut:
Taurat (5 Kitab Musa, תּוֹרָה, Torah, ”Instruksi”; dalam bahasa Yunani Pentateukh ”lima gulungan”);
Sejarah (12 kitab); Puisi (5 kitab); Nabi-nabi Besar (5 kitab); Nabi-nabi Kecil (12 kitab).
Umat manusia pada masa-masa pertama tergantung pada tradisi lisan (cerita, kesaksian), tetapi Allah mengamankan dan mengendalikan tradisi itu hingga terjadinya kitab-kitab yang tertulis. Alasan-Nya jelas. Tradisi lisan mudah menyimpang dari kebenarannya yang asli. Selain itu, Allah tidak usah menyatakan semua yang perlu dinyatakan-Nya secara berulang-ulang kepada angkatan-angkatan yang baru. Dalam hikmat-Nya, Dia memilih kitab-kitab yang tertulis untuk menuangkan segala penyataan-Nya. Melalui penyampaian secara lisan ke tulisan Dia memperkenalkan kehendak-Nya yang abadi. Allah mengkristalkan kasih-Nya akan dunia ini dalam bentuk Kitab-kitab Suci.
Bagan di atas memperlihatkan bagaimana Roh Kudus berprakarsa dalam hal terjadinya Alkitab sebagai penuangan (kanonisasi) kebenaran Allah. Dia memimpin para Rasul pada seluruh kebenaran dan mengatur penuangan sejarah, ajaran, dan nubuat ke dalam tulisan berbentuk Kitab-kitab Injil, Kisah Para Rasul, Surat-surat Rasuli, dan Wahyu. Demikianlah kejadian Perjanjian Baru yang dikendalikan dan dibulatkan Roh Kudus pada abad-abad pertama setelah Kristus.
Tidak semua Penyataan Allah disimpan secara tertulis. Penyataan Allah yang melampaui zaman pasti mengandung paling banyak hal yang tidak tersimpan bagi kita. Yohanes menulis: ”Masih banyak lagi hal-hal lain yang diperbuat oleh Yesus, tetapi jikalau semuanya itu harus dituliskan satu per satu, kupikir dunia ini tidak dapat memuat semua kitab yang harus ditulis itu” (Yoh. 21:25). Tidak semua kata-kata nabi Perjanjian Lama disimpan bagi kita. Roh Kudus yang mengaturnya sehingga pada akhirnya ada informasi yang cukup bagi dunia dan bagi gereja untuk percaya, untuk kebajikan kehidupan, dan untuk memperoleh keselamatan sufficientia Alkitab sudah kita bahas di atas, § 3.
Apakah Alkitab merupakan pekerjaan manusia atau karya Allah? Teori inspirasi Alkitab diambil dari Alkitab sendiri: ”Yang terutama harus kamu ketahui ialah bahwa nubuat-nubuat dalam Kitab Suci tidak boleh ditafsirkan menurut kehendak sendiri, sebab tidak pernah nubuat dihasilkan oleh kehendak manusia, tetapi oleh dorongan Roh Kudus, orang-orang berbicara atas nama Allah” (2Ptr. 1:20-21). Dan ”Ingatlah juga bahwa sejak kecil engkau sudah mengenal Kitab Suci yang dapat memberi hikmat kepadamu dan menuntun engkau kepada keselamatan melalui iman kepada Kristus Yesus. Seluruh Kitab Suci diilhamkan Allah dan bermanfaat untuk mengajar, untuk menyatakan kesalahan, untuk memperbaiki kelakuan dan untuk mendidik orang dalam kebenaran” (2Tim. 3:15-16). Frasa ”diilhamkan Allah” (dalam bahasa Yunani
θεόπνευστος, teopneustos, arti harfiahnya adalah dinafaskan Allah, dalam Bahasa Latin Vulgata inspirata) meletakkan dasar bagi doktrin inspirasi. Inspirasi dapat didefinisikan sebagai daya supernatural dari Roh Kudus yang mengendalikan para penulis Alkitab hingga mereka merekamkan secara akurat semua yang menurut kehendak Allah perlu direkam mengenai penyataan-Nya dan kisah-Nya yang besar dalam dunia ini.
Inspirasi Alkitab tidak dapat dibuktikan secara ilmiah. Buktinya adalah iman orang yang mengakuinya sebagai Firman yang diilhamkan Allah.
Inspirasi Alkitab bukanlah teori yang menerangkan status Alkitab, melainkan doktrin gereja, seperti halnya doktrin ketritunggalan Allah. Inspirasi Alkitab adalah pengakuan orang beriman mengenai Alkitab sebagai Penyataan Allah. Apakah yang Anda percayai mengenai Alkitab? Bahwa Alkitab membawa dirinya sendiri sebagai firman Allah dan bahwa gereja segala abad telah mengakuinya demikian.
Melalui sejarahnya gereja telah memperkembangkan teori-teori untuk memahami misteri inspirasi, dan artinya bagi sifat Alkitab dan penafsirannya. Jelas sekali bahwa teori-teori itu sangat menentukan bagi dasar setiap pekerjaan teologis, dan bagi seluruh kehidupan kristen. Dalam teologi kita dapat membedakan antara teori-teori sayap kanan (yang memperbesar peran Allah dalam terjadinya Alkitab dan mengecilkan terlibatnya manusia dalam proses inspirasi) dan sayap kiri (yang memperbesar terlibatnya manusia dalam terjadinya Alkitab). Sayap kanan mengacu ke sifat konservatif, ortodoks, dan tradisional. Kita menyebut teori mekanis, verbal, dan organis; sayap kiri mengacu ke liberal, progresif, dan modern. Misalnya teori dinamis, alamiah, konseptual, aktualistis, dualistis, parsial, dan sebagainya.
Inspirasi Mekanis
Manusia hanya berfungsi sebagai alat tulis (sebagai mekanik, seperti mesin ketik atau pena) di tangan Roh. Peran manusia diperkecil sampai dieliminasikan. Manusia diangkat Roh Kudus untuk menulis apa yang dikehendaki-Nya. Roh yang menentukan seluruh isi tulisan itu, all inclusive, setiap kata, bahkan setiap titik dan koma. Allah sendiri adalah penulis Alkitab satu-satunya.
Teori inspirasi Alkitab ini dekat sekali dengan pemahaman islam terhadap Alquran. Menurut Islam, Alquran adalah benar-benar sabda Tuhan yang didiktekan oleh Jibril, sempurna setiap hurufnya, dan merupakan suatu mukjizat yang tetap aktual hingga kini. Alquran adalah karya dasar Agama Islam. Kekuasaannya mutlak dalam segala hal, etika dan ilmu pengetahuan. Alquran, menurut teologi Islam, sudah ada di surga sebelum dikatakan Jibril kepada Muhammad secara berulang-ulang. Kadang-kadang proses ini dibandingkan dengan inkarnasi Kristus. Firman Allah di dalam Kristus telah menjadi daging (inkarnasi). Seperti itu, sabda Allah telah menjadi buku melalui Muhammad (inlibras- ”libra”=buku). Setiap kata Alquran secara langsung berasal dari Allah. Peran manusia semata-mata mewiridkan naskah itu (yang pada mulanya belum ditulis; Nabi Muhammad dianggap buta huruf, walaupun ada juga orang Islam yang menolak gagasan itu secara keras. Jika itu benar, maka mukjizat kejadian Alquran bertambah besar.
Inspirasi Verbal
Mirip dengan teori mekanis, teori Inspirasi Verbal menekankan bahwa setiap kata Alkitab adalah kata Allah. Manusia berfungsi sebagai penulis (klerek). Roh Kudus mendiktekan semua yang dihendaki-Nya ditulis, kata demi kata. Inspirasi oleh Roh Kudus menghasilkan kitab-kitab yang seratus persen dari Allah, secara mendetail. Berdasarkan teori ini, setiap kata adalah kata Allah dan harus ditafsirkan sesuai dengan dan diterapkan secara harfiah, sesuai dengan artinya yang ilahi itu.
Di sini muncullah bahaya biblisisme: Pemakaian kata-kata Alkitab secara harfiah, tanpa memedulikan genrenya atau latar belakangnya di dalam sejarahnya yang asli. Misalnya penjelasan 1 Korintus 11, kata Yesus ”Inilah tubuh-Ku” yang ditafsirkan oleh kalangan Katolik Roma secara harfiah, sedangkan dapat juga ditafsirkan secara simbolis atau rohaniah. Contoh lain adalah penafsiran Kerajaan 1.000 tahun (yang disebut Wahyu 10). Ada aliran teologis yang namanya premillenialis atau kiliastis (dan yang dianut di banyak aliran gerejawi kalangan Injil dan Karismatis) yang menantikan kedatangan masa 1.000 tahun, berhubungan dengan pengangkatan jemaat, berdasarkan keterangan harfiah dalam 1 Tesalonika 4:16. Biblisisme menyebabkan fundamentalisme: sambil menyangkal genre (jenis sastra) naskah, gaya sastra dan tujuan penulisnya, dan latar belakang historisnya, naskah Alkitab merupakan jawaban atas segala macam pertanyaan hidup. Misalnya pemakaian Alkitab di kalangan Saksi Jehovah. Fundamentalisme biasanya menentang hasil penelitian ilmiah, mulai dengan Ilmu Alkitab yang bersifat historis kritis, tetapi juga di bidang ilmiah umum seperti hasil ilmu fisika, geologi, biologi, dan sejarah. Karena pengaruh teori evolusi (yang berdasarkan penelitian ilmiah), fundamentalistis makin giat dan luas. Fundamentalisme yang biblisistis juga sering memicu dilakukannya perhitungan tanggal kedatangan kembali Yesus Kristus.
Kalau inspirasi mekanis atau verbal adalah teori-teori yang benar untuk memahami inspirasi, bagaimana mungkin Lukas membutuhkan banyak penelitian sebelum ia menuturkan kehidupan Yesus di bumi? Keakuratan penuturannya didasarkan pada prakarsa penelitiannya di kalangan orang yang menjadi saksi telinga dan saksi mata. Ternyata tidak didasarkan pada inspirasi mekanis atau verbal yang berasal langsung dari Roh Kudus. Memang, ada bagianbagian Alkitab yang diilhamkan secara langsung (Hukum Taurat, kata-kata Yesus dalam komunikasi-Nya dengan Bapa-Nya, dan yang di dalamnya Allah langsung berfirman kepada orang-orang seperti nabi, raja, dan sebagainya). Tetapi ada banyak hal yang terkait dengan bagian-bagian Penyataan Khusus ini yang tidak diilhamkan secara langsung seperti itu.
Selain itu, teori inspirasi verbal juga mengelirukan. Seolah-olah setiap kata memainkan peran yang krusial dalam menentukan kabar Alkitab. Tetapi, itu tidak benar. Kabar Alkitab dibentuk oleh kalimat-kalimat dan perikopperikop, dan tidak oleh satu kata. Bedanya dengan bahasa komputer atau bahasa matematika: jika satu huruf tidak ada, maka outcome akan sangat berbeda dengan maksud yang pertama. Setiap naskah bahasa manusia menurut sifatnya terdiri atas kata-kata yang jumlahnya melebihi kebutuhannya yang sebenarnya untuk mengomunikasikan maksudnya. Itulah hukum umum ilmu linguistik.
Hukum itu juga benar untuk Alkitab. Jadi, baik inspirasi mekanis maupun inspirasi verbal, walaupun intensinya baik, sebagai teori tidak memuaskan untuk menangkap inspirasi Alkitab.
Teori Inspirasi Organis
Kita mengikuti penjelasan Herman Bavinck mengenai doktrin Inspirasi Alkitab. Dalam buku dogmatiknya, Gereformeerde Dogmatie,ia membawa teori Inspirasi Organis (Jilid I, Bab II). Menurut Bavinck, Alkitab memperlihatkan bahwa Inspirasi Mekanis tidak dipilih oleh Allah. ”Dia tidak masuk ke jalan itu. Dalam Penyataan dan Inspirasi, Allah turun dari atas kepada manusia dan menyambungkan diri-Nya dengan segala keanehan manusiawi, bahkan dengan segala kelemahannya” (hal 346). Allah adalah subjek yang berkata, tetapi nabi-nabi yang berbicara atau menulis adalah organ-organ-Nya. Allah, atau Roh Kudus adalah pembicara yang sebenarnya, sumber bicara, auctor primarius; penulis-penulis Alkitab adalah organ-organ yang dipakai oleh Allah untuk berkata, auctores secundarii.
Pembicaraan Allah melalui nabi-nabi dan rasul-rasul harus kita anggap sebagai organis. Karena ada perbedaan antaroknum dan status rasul serta nabi. Musa sebagai nabi, berbeda dan lebih tinggi daripada semua nabi yang lain; Allah berbicara kepada Musa layaknya teman dengan teman. Karya Roh melalui Yesaya berbeda dengan karya-Nya melalui Yehezkiel. Nubuat-nubuat Yeremia berbeda nadanya dengan Zakharia atau Daniel. Pekerjaan Roh pada masa Perjanjian Lama lebih transenden daripada karya-Nya pada masa Perjanjian Baru. Dia datang dari luar, dari atas, menimpa mereka. Pada Perjanjian Baru Dia bekerja imanen di dalam hati-hati mereka, Dia memimpin dan mendorong mereka, menerangi dan mengajar mereka. ”Roh Kudus memasuki para nabi dan rasul-rasul, dan memampukan mereka hingga mereka sendiri meneliti dan berpikir, berkata dan menulis. Ialah yang berbicara melalui mereka, entah demikian mereka sendiri yang berbicara.”
Selama hidup mereka, rasul-rasul dan para nabi dipersiapkan dan dimampukan untuk tugas mereka; tabiat, sifat, kecenderungan, akal-budi, dan perkembangan mereka tidak ditindas oleh Roh, tetapi dipakai oleh Roh.
Seluruh tabiat mereka dengan segala karunia, kekuatan, dan kelemahan mereka dipergunakan oleh Roh berkat keterpanggilan mereka. Roh Kudus memimpin mereka sehingga semua kelakuan, peristiwa, sejarah dan syair tidak semata-mata diingat berbentuk kata, melainkan juga dalam bentuk tulisan dan kitab.
Sebenarnya, dalam Alkitab perintah untuk menulis hampir tidak ada.
Dia memimpin para nabi dan rasul-rasul sedemikian rupa, sehingga mereka merasa terpanggil untuk menulis. Tulisan mereka terjadi di dalam sejarah (dan tidak di luar sejarah) dan merupakan bagian yang utuh dari sejarah dan waktu itu. Itu sebabnya penelitian sejarah (arkeologi, geografi, dan sebagainya) di bidang eksegese Alkitab sangat penting. Tulisan mereka dibuat sesuai dengan kemampuan mereka, sesuai dengan tabiat dan gaya sastra mereka. Karena itu, penelitian terhadap setiap penulis (keadaannya, pendidikannya, kebudayaannya, kelemahannya, dan bahasanya) dalam bidang eksegese sangat penting. Bahasa Perjanjian Baru bukan bahasa yang paling bagus atau sempurna di dunia, tetapi bahasa Yunani itu diangkat oleh Allah sebagai bahasa yang paling tepat untuk mengomunikasikan kehendak dan pikiran Allah.
Melalui seluruh Alkitab dilukiskan oknum-oknum para penulisnya: kehidupan, pengalaman, pengharapan, ketakutan, dan kepercayaan mereka. Kesakitan dan dukacita mereka digambarkan dan memainkan peran dalam penulisan mereka. Itu semua diangkat oleh Roh Kudus, misalnya dalam Mazmur-mazmur, sebagai hikmat dan ajaran bagi masa depan, ”Sebab segala sesuatu yang ditulis dahulu, telah ditulis untuk menjadi pelajaran bagi kita, supaya kita teguh berpegang pada pengharapan oleh ketekunan dan penghiburan dari Kitab Suci” (Rm. 15:4).
Inspirasi Organis adalah paham yang dibenarkan seluruh Alkitab. Yang juga memperlihatkan kebenaran Logos yang telah menjadi daging, Allah yang hidup di tengah umat manusia dan melibatkan diri-Nya dengan kehidupan manusia inkarnasi. Kristus sebagai Allah telah ”mengosongkan diri-Nya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia. Dan dalam keadaan sebagai manusia, Ia telah merendahkan diriNya dan taat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib” (Flp. 2:7-8). Demikianlah Firman Allah, sebagai Penyataan-Nya, telah memasuki ciptaan, kehidupan, dan sejarah manusia dan bangsa-bangsa dunia, mengambil bentukbentuk manusiawi (mimpi, penglihatan, penelitian, pemikiran, kelemahan, keanehan, kehinaan, dan seterusnya). Firman telah menjadi Tulisan dan, sebagai tulisan, memperlihatkan sifat segala tulisan. Melalui proses inspirasi yang dianggap organis, Alkitab, secara keseluruhan adalah produk karya Roh Kudus; sekaligus, Alkitab, secara keseluruhan merupakan produk pekerjaan para penulisnya, manusiawi ”Qeia panta kai anqrwpina panta” (Bavinck, 1895, I, 349 inspirasi adalah seratus persen karya Allah, seratus persen karya manusia).
Teori-teori Inspirasi yang lain
Dengan menetapkan teori inspirasi organis sebagai pendirian yang paling dekat dengan Alkitab, kita masih dapat menyebut banyak teori lain yang cenderung memperbesar komponen manusiawi dan mengu rangi yang ilahi. Atau yang menghi langkan perbedaan antara Alkitab dengan kitab-kitab lain, atau dengan barang lain. Beberapa contoh:
Teori Inspirasi Dinamis/Iluminasi atau Mystical Teori ini dikembangkan oleh kaum Pietisme (abad ke-19; Schleiermacher, yang berpusat pada perasaan manusia yang sangat bergantung pada suatu kekuasaan di atasnya atau di luarnya). Setelah pencurahan Roh Kudus, ternyata ada banyak orang yang menerima Roh Kudus. Semua orang itu dianggap Roh Kudus layak untuk menerima kebenaran-kebenaran ilahi. Menurut teori ini, theopneusti bukan perbuatan Roh secara khusus dan sementara (hanya kepada nabi-nabi, para rasul, atau penulis-penulis Alkitab), tetapi umum dan terus-menerus, sesuai dengan kehendak-Nya. Roh hanya ”lebih sibuk” pada waktu terjadinya Alkitab. Masalah dengan teori ini adalah bahwa perbedaan antara inspirasi dan iluminasi ditiadakan. Iluminasi adalah pekerjaan Roh dalam pertobatan setiap orang dan terang yang diberikan-Nya dalam penelaahan Alkitab. Teori ini pada hakikatnya menyamakan segala macam penulisan pembinaan Kristen dengan Kitab-kitab Suci. Demikianlah, sifat istimewa Kitab-kitab Suci dirusak. Inspirasi menjadi iluminasi.
Teologi Reformasi memeluk teori inspirasi yang organis: Alkitab seluruhnya produk karya Roh Kudus dan juga seluruhnya produk pekerjaan manusiawi.
Teori Konseptual atau Parsial Menurut teori ini, hanya beberapa paham, wawasan atau konsep yang diilhamkan Roh kepada penulis-penulis Alkitab. Setelah itu, Roh membiarkan mereka untuk mengungkapkannya sesuai dengan kemauan dan pengertian mereka sendiri.
Teori Alamiah Teori ini mengatakan bahwa para penulis mempunyai pengertian-pengertian yang lebih dalam daripada orang lain. Mereka adalah jenius-jenius religius. Hikmat rohaniah mereka luar biasa besar hingga mereka menjadi pemimpin di bidang agama dan etika. Mereka memang diinspirasikan, tetapi inspirasi mereka mirip dengan inspirasi artis, penyair, musikus, dan sebagainya. Sama seperti orang-orang tersebut, di bidang keahlian mereka, produk mereka dihargai di bidang agama.
Teori Aktualistis Terkait dengan visi Karl Barth mengenai Penyataan Allah (Kristus saja adalah firman Allah; di dalam Kristus Allah seperti ”mengilat” dari atas ke bawah menampang kehidupan duniawi pada satu momen). Menurut teori ini Alkitab tidak ada firman Allah, melainkan menjadi firman Allah. Di dalam Alkitab manusia tidak memiliki penyataan Allah. Para penulis Alkitab pada saat menuliskan memang diinspirasikan oleh Roh Kudus, tetapi penulisan mereka penuh salah dan kelemahan. Tetaplah mereka menulis sesuatu buku yang terus dapat dipakai Roh Kudus sebagai buku manusiawi yang dapat menjadi firman Allah. Pada saat aktual, di mana buku itu dibaca, isinya dijadikan firman Allah pada saat itu. Dengan demikian, menurut Barth, para pembaca Alkitab juga dapat mengalami theopneusti. Barth menyamakan dan membaurkan inspirasi dengan iluminasi.
Berdasarkan teori inspirasi organis sebagai pemahaman inspirasi yang sangat mungkin, kita dapat mengerti bahwa Alkitab sebagai firman Allah yang mengenakan jubah manusiawi (antropomorf). Roh Kudus tidak menyingkirkan sesuatu yang manusiawi. Penyataan Allah memasuki alam manusia, memasuki oknum-oknum dan situasi-situasi, bentuk-bentuk dan kelaziman manusiawi. Demikianlah Kitab-kitab Suci memang dekat sekali pada kita manusia, tidak jauh di atas kita, tetapi diturunkan menjadi daging dan darah manusia. Yang alamiah telah menjadi saluran penyataan bagi yang supernatural, yang manusiawi telah menjadi saluran penyataan bagi yang ilahi.
Teori ini sangat menolong kita untuk menerangkan segala perbedaan bahasa, gaya sastra, karakter, individu, yang terdapat dalam Alkitab. Kita juga memahami bahwa penulis-penulis yang berbeda-beda itu memakai sumber-sumber yang berbeda, memakai kitab-kitab yang mereka kenal, membutuhkan penelitian, ingatan, daya intelektual, dan pengalaman hidup mereka. Individualitas si penulis tidak dihapus melainkan dipertahankan dan dikuduskan. Alkitab adalah firman Allah karena di dalamnya Roh Kudus memuliakan Kristus.
Inerrancy Istilah teologis ini mengungkapkan keyakinan bahwa di dalam seluruh Alkitab tidak ada kesalahan, tidak ada error. Pada hakikatnya istilah ini kurang tepat dan dapat dipersoalkan. Suatu naskah dapat mengungkapkan kabarnya secara tidak salah, sedangkan nas itu sendiri mengandung kesalahankesalahan. Misalnya, tidak dapat disangkal bahwa di dalam naskah Wahyu Yohanes terdapat banyak kesalahan filologis. Tetapi hal itu tidak memengaruhi isinya secara tidak keliru kita melihat semua penglihatan Yohanes di Patmos. Pada naskah-naskah Alkitab yang secara umum tidak mempunyai banyak kesalahan, kita tidak dapat mengatakan bahwa tidak ada kesalahan sama sekali. Istilah inerrancy dapat dipakai sebagai penjaga terhadap mereka yang mencoba membongkar dogma inspirasi Alkitab, tetapi sebagai titik tolak hermeneutika, kata ini tidak berguna. Teori inerrancy dapat menuntun ke arah fundamentalisme dan biblisisme (lihat J. van Bruggen, ”The authority of Scripture as a presupposition in Reformed Theology”, in The Vitality of Reformed Theology, Kampen 1994). Van Bruggen mengacu ke ”The Chicago Statement on Biblical Inerrancy”, hasil sebuah konferensi tokoh-tokoh Injili, 1978. Ia setuju dengan intensi statement ini dan dengan banyak bagian dari isinya, tetapi ia menyesali bahwa istilah inerrancy masih mereka pakai. Istilah itu mengelirukan dan memicu harapan terhadap naskah Alkitab yang tidak dapat terpenuhi.
Alkitab tidak membutuhkan penelitian historis atau literer (yang dilakukan teologi liberal-modern). Penelitian itu tentu akan memperlihatkan kontradiksi, kesalahan bahasa, dan perbedaan antara berbagai manuskrip. Roh Kudus tidak bertujuan untuk mengharmonisasikan cerita-cerita secara utuh. Naskah Alkitab memperlihatkan kesalahan-kesalahan, jika diukur secara historis-kritis atau literer-linguistik. Manuskrip-manuskrip pertama telah hilang. Jemaat-jemaat mempunyai terjemahan Alkitab yang merupakan hasil pekerjaan manusia yang terbatas, lemah, dan bercela. Terjemahan itu menderita falibilitas dan tidak dapat diberikan predikat infalibilitas. Itu semua adalah fakta yang tidak dapat disangkal. Tetapi, semua itu juga memperlihatkan bahwa Alkitab mempunyai tujuannya sendiri, yang tidak dapat dikalahkan oleh hal-hal itu. Alkitab membawa manusia dan dunia ke kebajikan kehidupan dan membuatnya berhikmat akan penyelamatan. Mengingat tujuan itu, maka Alkitab tidak mempunyai kesalahan dan tetap memperlihatkan infalibilitas agar menjadi pedoman, asas, dan penyangga iman kita.
Alkitab yang diilhamkan oleh Allah bermanfaat untuk mengajar, untuk menyatakan kesalahan, untuk memperbaiki kelakuan, dan untuk mendidik orang agar hidup dalam kebenaran (2Tim. 3:15-16). Alkitab menuntun manusia ke ketakutan akan Allah untuk memperoleh hikmat demi penyelamatannya.
Tujuan Alkitab sekadar religius-etis. Alkitab bukanlah pedoman ilmu pengetahuan umum. Alkitab tidak bertujuan untuk membuktikan prinsipprinsip ilmu pengetahuan modern. Alkitab sekadar meletakkan dasar bagi teologi dan hendak dibaca serta ditelaah secara teologis dan tidak secara fisikus, biologis, antropologis, dan sebagainya. Karena tujuan dan pusatnya adalah pengetahuan mengenai Allah demi penyelamatan manusia dan dunia, itu saja. Bila Alkitab dipakai sebagai pedoman ilmu pengetahuan (science), pasti Alkitab akan dibuktikan salah, atau Alkitab dianggap menjadi kendala kebebasan ilmu. Alkitab tidak memberikan kebenaran fundamental mengenai segala macam hal. Kita tidak dapat mengonsultasikan Alkitab untuk memperoleh jawabanjawaban atas semua pertanyaan kita. Siapa yang mengenal dan percaya sejarah Allah dan umat-Nya melalui zaman (sebagaimana dapat diketahui melalui pembacaan Alkitab) akan menjadi seorang yang berhikmat. Ia juga akan membiarkan Alkitab berbicara semata-mata mengenai hal-hal yang alkitabiah dan yang sesuai dengan tujuan ilahi buku itu.
Berdasarkan semua yang kita bahas di atas, kita membuat ikhtisar berikut ini mengenai ciri-ciri Alkitab
Sola Scriptura adalah semboyan Reformasi yang masih tetap laku. Inilah pangkal tolak bagi Teologi Reformasi. Di sinilah kita menemukan standar kehidupan reformasi. Tidak ada wibawa yang lain, hanya Alkitab! Alkitab dianugerahkan kepada persekutuan orang, kepada gereja. Gereja sebagai persekutuan bertanggung jawab untuk membaca dan menafsirkan Alkitab sepadan dengan segala cirinya yang disebutkan di atas. Pembacaan dan penafsiran Alkitab membutuhkan iluminasi oleh Roh Kudus. Gereja tidak berhenti berdoa agar para penafsir dan pembaca Alkitab diterangi oleh Roh sehingga mata mereka terbuka. Di samping itu, Allah memberi pengertian kepada persekutuan orang yang kudus, bukan kepada hanya satu orang, hanya individual saja. Para pembaca dan penafsir harus saling mendengar sambil memedulikan hasil eksegese zaman dahulu. Interpreting is sharing.
Gereja harus menetapkan kaidah-kaidah penafsiran sebagai komponen yang penting dari doktrin Alkitab, sesuai dengan ciri-ciri Alkitab yang disebut di atas. Kaidah-kaidah hermeneutik itu harus memblokir setiap cara pembacaan Alkitab yang ahistoris (yang tidak mengindahkan sejarah alkitabiah dan sejarah Penyataan Allah), setiap penafsiran dan penerapan naskah yang asal-asalan, dengan mengabaikan konteks ayat-ayat Alkitab, dengan interpretasi-interpretasinya yang dangkal. Karena, akibatnya dari pembi caraan-pembicaraan yang seakan-akan saleh dan alkitabiah, tetapi sebenarnya sama sekali tidak sesuai dengan Alkitab, hanya sesuai dengan selera dan kebutuhan pribadi.
Cara pembacaan Alkitab yang alkitabiah, dicirikan melalui kesetiaan pada isi Alkitab, pada maksudnya dan tujuannya. Isi, maksud, dan tujuan dari setiap bagian Alkitab hanya dapat disingkapkan kalau si pembaca mengindahkan bahasa aslinya, terjemahan yang saksama, konteks setiap kata, konteks kata itu dalam keseluruhan kitab dan semua Kitab Suci, pembahasan isinya, maksud dan tujuannya di dalam persekutuan orang kudus dan dengan penafsir-penafsir yang lain. Pendekatan itu akan meneliti oknum, kehidupan dan situasi si penulis, waktu dan masa terjadinya naskah itu, konteksnya, bahasanya, gaya-bahasanya, genrenya, dan tempatnya dalam Sejarah Penyelamatan. Naskah itu, dalam rangka teologi yang ingin taat kepada Alkitab (tidak seperti yang dipraktikkan teologi liberal-modern), membutuhkan penelitian yang historis, literer, dan arkeologis. Hanya melalui jalan yang rumit itu (itu sebabnya gereja membutuhkan sekolah-sekolah teologi) gereja dapat berbicara berdasarkan Alkitab dan memakai otoritas Alkitab.
Teologi Reformasi harus menetapkankaidah-kaidah penafsiran sebagai unsur doktrin Alkitab, untuk memblokir segala penafsiran Alkitab yang ahistoris.
Di bidang teologi dogma adalah sebuah keputusan yang teguh yang dirumuskan secara singkat dan yang diberi kewenangan penuh sebagai keputusan resmi gereja. Dalam tradisi Protestan, dogma-dogma gereja diberi kewibawaan berdasarkan kesaksian Kitab Suci sebagai instansi yang berotoritas mutlak. Di dalam tradisi Katolik Roma, dogma-dogma diberi kewibawaan berdasarkan keputusan-keputusan gerejawi yang disahkan oleh Paus. Suatu dogma gereja juga membutuhkan penerimaan dan persetujuan di tingkat persekutuan gereja dan di tingkat jemaat. Oleh gereja dogma dirumuskan dalam dekrit-dekrit konsili, atau dalam konfesi gereja (seperti Pengakuan Iman Gereja Belanda, Konfesi Westminster, Katekismus Heidelberg, Kanonkanon Dordt, dan sebagainya). Tetapi pada hakikatnya dogma itu paling luas dibandingkan dengan rumusan-rumusan yang sempit itu. Dogma tidak sekadar melingkupi doktrin atau ajaran teologis, tetapi juga hal-hal etis.
Kata dogma harus diartikan sebagai prinsip dinamis, yang selalu mengindahkan perubahan masa dan situasi. Apa yang diterima sebagai dogma pada abad ke-15, mudah-mudahan tidak lagi diterima sebagai dogma pada masa kini. Pasti ada ajaran-ajaran alkitabiah yang tetap dan berlaku untuk sepanjang masa, tetapi gereja juga harus siap menyesuaikan pengertiannya berdasarkan perubahan situasi atau perubahan hikmatnya dan perkembangan kebijakannya. Demikianlah dogma, yang sering berbunyi sebagai ketetapan yang kaku, tidak statis lagi, tetapi selalu hidup dan dinamis.
Masalah teologis yang sangat penting adalah membedakan antara unsur-unsur yang konstan dan unsur-unsur yang dapat diubah sesuai dengan perubahan zaman. Sebagai ilmu teologi, dogmatik adalah ilmu mengenai nilai-nilai yang konstan, perubahan zaman dan ketetapan aktual dan konkret bagi manusia yang ingin mewujudkan ketaatan sesuai dengan kehendak Tuhan yang nyata. Kalimat tadi berdasarkan definisi K. Schilder dalam ”Etika”.Yang dapat dikatakan mengenai nilai-nilai etika bagi kehidupan gereja, juga dapat dikatakan mengenai dogma-dogma gereja untuk pengajaran gereja (dalam seri bukunya Kirchliche Dogmatik, Karl Barth dengan konsekuen membahas dan menghubungkan implikasi-implikasi etis dari perumusan-perumusan dogmatisnya). Yang penting adalah pengertian mengenai unsur-unsur yang tidak berubah dan yang berubah.
Sebuah dogma gereja adalah hasil penalaran teologis yang terdiri dari elemen-elemen konstan dan variabel. Setiap dogma dirumuskan dalam waktu dan situasi tertentu, dan itu adalah karya manusiawi dan historis. Dogmadogma dicirikan oleh waktu (kontemporer) dan situasi (konteks). Misalnya, pengakuan-pengakuan iman yang dirumuskan oleh gereja pada masa lalu berisi penetapan ajaran gereja secara singkat dan jelas. Misalnya pengakuan yang tertua, Pengakuan Iman Rasuli. Sangat bagus, sederhana, dan tepat sekali. Melalui pengakuan itu gereja masa kini mengalami hubungannya dengan gereja segala abad dan tempat.
Walaupun demikian, pengakuan itu jelas dicirikan oleh masa terjadinya.
Tidak ada rumusan mengenai Alkitab sebagai firman Allah. Tidak ada halhal mengenai sakramen-sakramen gereja. Karena pada waktu itu sakramensakramen tersebut tidak dipersoalkan. Sedangkan pada waktu Reformasi Akbar, gereja justru membutuhkan ajaran mengenai firman Allah dan sakramen-sakramen. Khususnya Katekismus Heidelberg, sangat banyak merumuskan mengenai Baptisan dan Perjamuan Kudus. Artinya, perumusanperumasan doktrin bersifat jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan tentang masa dan situasi. Kebenaran pada masa itu mungkin perlu juga dibuat tepat atau dikoreksi pada masa lain. Yang penting, setiap masa membutuhkan gereja yang menjawab kebutuhan waktunya secara tepat dan sesuai dengan pengertiannya akan isi Alkitab.
H. Bavinck memberikan definisi ”dogmatik” yang berikut sebagai disiplin teologi:
”Dogmatik adalah sistem ilmu pengetahuan Allah, yaitu pengetahuan yang Allah sendiri telah nyatakan di dalam firman-Nya kepada gereja-Nya mengenai diri-Nya sendiri dan mengenai semua makhluk yang berelasi dengan Dia”.
Sehubungan dengan pelbagai tinjauan di atas (mandat mutlak Alkitab, faktorfaktor konstan, kontemporer, dan kontekstual, serta kepentingan konfesikonfesi gereja masa dahulu) kita merumuskan ”dogmatik” sebagai berikut ini, Dogmatik adalah ilmu yang mempelajari isi kepercayaan Kristen, secara sistematis, secara taat kepada firman Alkitab sebagai faktor penentu, dan dengan cara mengindahkan konteks dan waktu.
Dalam teologi, deskripsi dogma dan ajaran penting sekali, tetapi bersamaan dengan itu juga penting untuk mengetahui mengapa dogma dan ajaran itu muncul dalam waktunya dan pada tempatnya. Pendekatan ini menjamin hubungan dengan tradisi nenek-moyang gereja, tetapi perspektif historis itu sekaligus memperkaya wawasan dogmatis kita, yang pada masa kini dipanggil untuk menjawab soal-soal yang ditemui gereja.
Nama lain yang secara lazim diberikan pada ilmu pengetahuan ini sebagai mata kuliah di sekolah tinggi teologi (sebagai alternatif istilah dogmatik) adalah Teologi Sistematis atau Teologi Sistematika. Istilah ini menciptakan ruang yang lebih luas dan lebih simpatik. Nama ”teologi sistematis” agak terlalu luas, sedangkan ”dogmatik” terlalu menekankan segi gerejawi dan pada hakikatnya terlalu sempit. Selain itu, istilah ”dogma” pada masa kini mempunyai konotasi negatif. Seolah-olah dogma adalah suatu pendapat yang sangat kaku dan tidak boleh diperdebatkan lagi. Atau bunyinya terlalu teoretis, seolah-olah tidak berhubungan baik dengan praktik kehidupan Kristen. Demikianlah ”dogmatik” dapat mengesankan kedegilan dan kekakuan. Walaupun demikian, kami mempertahankan istilah ”dogmatik”, karena nama itu lazim dipakai sebagai obyek mata pelajaran yang utama di Sekolah Tinggi Teologi. Sedangkan mata kuliah yang mengajar ”dogmatik”, di Indonesia biasanya disebut ”Teologi Sistematika”.
Sangat penting bagi gereja dan para sarjana untuk bertindak secara rendah hati dan tidak dengan kekerasan, justru di bidang dogmatik. Sambil merumuskan kebenaran dan menjaganya, jangan memberikan kesan bahwa posisi atau dogma itu tidak boleh bergerak lagi, statis, dan tidak dinamis. Hal itu ditekankan di sini berdasarkan kedua pokok yang berikut.
Pengertian kebenaran firman Allah menuntut ketaatan dari setiap generasi gereja dan penerapan aktual serta konkret dalam ajaran dan kehidupan gereja. Studi dogmatis menuntut pendirian dalam dan hubungan dengan tradisi gereja. Studi dogmatis juga menuntut perumusan-perumusan ajaran sesuai dengan perubahan dan kebutuhan zaman. Watak Dogmatik adalah keinginan yang ikhlas untuk menyingkapkan kebenaran Alkitab, sehingga gereja dapat menunjukkan ketaatan yang penuh kepada Yesus Kristus sebagai Kepala Gereja.
Dalam definisi kita, primat Alkitab terus ditekankan. Teologi Sistematis yang bercorak alkitabiah akan mempertahankan praanggapan itu secara tetap agar tidak kehilangan predikat kemasyhuran reformasi.
Bab pertama dalam buku ini bertitik tolak pada warisan indah Reformasi Akbar, yang menegaskan Sola Scriptura sebagai sumber utama bagi dogmatik dan etika gereja. Setiap bab yang berikut akan diwarnai oleh prinsip itu; para penulis mengabdikan diri pada perumusan ajaran gereja secara taat kepada firman Allah, dalam hubungan dengan tradisi dan konfesi gereja dan dengan mengindahkan konteks gereja pada masa kini.
Mereka sadar akan keterbatasan mereka sebagai manusia, dan kecenderungan pada apa yang tidak benar. Pasal 7 Pengakuan Iman Gereja Belanda menegaskan bahwa tulisan-tulisan manusia, betapa pun sucinya, tidak dapat disamakan dengan Kitab-kitab ilahi. Demikian juga kebiasaan tidak boleh disamakan dengan kebenaran Allah, atau dengan sejumlah besar orang, atau dengan hal-hal yang telah tua, atau suksesi zaman atau orang, atau konsili-konsili, dekrit-dekrit, atau keputusan-keputusan. Sebab semua orang adalah sumber dusta dan klimaks dari kesia-siaan (bnd. Mzm. 62:10).
Pengakuan Reformasi lain dari tradisi gereja (misalnya pasal 31 Tata Gereja Dordrecht) di satu pihak menjunjung tinggi keputusan-keputusan gereja di bidang dogmatik dan etik. Sekaligus menekankan relativitasnya dan penaklukkannya di bawah Firman Allah. Gereja sebagai komunitas bertanggung jawab untuk mempertahankan ajaran Alkitab dan merumuskannya secara baik. Demikianlah gereja tetap berfungsi sebagai penjaga kebenaran Kitab-kitab Suci yang terdapat dalam Yesus Kristus sebagai titik konsentrasinya. Studi Dogmatik memainkan peran krusial bagi gereja untuk memenuhi tugas itu. Dogmatik yang baik dan benar selalu bercirikan Doksologi yang indah. Demikianlah.
Soli Deo Gloria.
Komunitas Gereja bertanggung jawab untuk menjaga kebenaran ajaran Alkitab dengan merumuskannya secara baik.