Jakob P. D. Groen
Pada tahun dua puluhan abad lalu paman saya membawa teman perempuannya ke rumah untuk pertama kalinya, dengan maksud untuk diperkenalkan kepada orangtuanya. Orangtuanya kaget mendengar bahwa gadis itu beragama Katolik Roma, padahal mereka semua Protestan. Pacar paman saya itu mencoba menenteramkan mereka dengan menyatakan bahwa ia pun percaya kepada Allah! Tetapi, dengan merujuk ke Yakobus 2:19 kakek saya menjawab bahwa roh-roh jahat pun percaya dan mereka gemetar.
Anekdot tadi mengarahkan perhatian kita pada dua hal. Pertama, ucapan ”aku percaya kepada Allah” tanpa keterangan yang lebih dalam itu belum jelas. Ucapan pendek itu belum menjawab apa sebenarnya yang dipercayai mengenai Allah. Ternyata ada perbedaan antara pandangan Katolik Roma dan pengakuan Reformasi. Itu sebabnya kakek saya kaget karena perbedaan itu dianggapnya sebagai hal yang mendasar. Di Indonesia, situasinya masih jauh lebih complicated: ada gereja Katolik Roma dan puluhan aliran gereja Protestan, selain itu masih ada agama-agama lain lagi. Dan mereka masingmasing menyembah Allah. Benarkah semua agama itu menyembah Allah yang sama? Atau apakah ada bedanya, dan jika demikian, bagaimana perbedaan itu harus diartikan?
Hal kedua yang tampak dalam anekdot itu ialah bukan saja pengetahuan tentang Allah yang penting, melainkan juga bagaimana hubungan kita dengan Allah. Roh-roh jahat memang mengenal Allah dalam arti tahu siapa Dia, tetapi mereka tidak memercayai-Nya sebagai Allah, tidak menghormati dan tidak menyembah Dia. Arti pengakuan percaya kepada Allah ditentukan oleh relasi antara kita dan Allah.
Dalam bab ini kita tidak akan membahas ajaran atau doktrin mengenai Allah. Kita akan mempelajari Kitab Suciuntuk mengetahui siapa Dia. Apakah Dia unik? Atau apakah benar bahwa Dia adalah Allah yang mempunyai banyak wajah yang memberi diri disembah dengan pelbagai cara dan nama-nama yang berbeda? Tetapi, kita tidak akan ”menggali” Alkitab untuk menyusun suatu daftar fakta mengenai Allah. Yang harus menjadi jelas adalah: Siapakah Allah bagi kita dan bagaimana kita menghadap-Nya.
Inti bab ini bukan penguraian teoretis atau abstrak, melainkan sedapat mungkin, mengenai sesuatu yang kita namakan Allah. Inti bab ini adalah suatu relasi, yaitu relasi antara Allah dan kita.
Kita mengenal Allah dari firman-Nya
Sumber pengetahuan tentang Allah adalah firman-Nya. Memang benar bahwa Allah memberi bukti-bukti mengenai diri-Nya dengan cara lain juga, misalnya dengan menurunkan hujan dari langit dan dengan memberikan musim-musim subur, dengan memuaskan hati manusia dengan makanan dan kegembiraan (Kis. 14:17). Dengan demikian tampak kekuatan-Nya yang kekal dan keilahan-Nya (Rm. 1:20). Dan melihat penyataan Allah dalam alam itu, manusia menduga bahwa harus ada sesuatu yang ilahi yang menguasai segala sesuatu. Tetapi, betapa dalam pun manusia memikirkan hal itu, dan bagaimana pun bayangan yang dibentuknya berdasarkan apa yang ia lihat, dengar dan alami di dalam dunia sekitarnya, hasilnya akan tetap samar-samar. Ia dapat menyimpulkan adanya suatu kekuatan, sesuatu yang tidak dapat dikendalikan karena jauh mengatasi akal dan kekuatan manusia, suatu kuasa yang mahatinggi. Ia dapat menafsirkannya sebagai dewa-dewi, atau takdir. Tetapi, hanya dari alam saja ia tidak dapat menyimpulkan bahwa ada Allah yang ber-Pribadi.
Tanpa terang firman Allah, pengetahuan dari alam tetap kabur, dan tidak dapat menuntun manusia ke pengetahuan tentang kasih Allah dalam Yesus Kristus. Pengetahuan itu kita peroleh dari Yesus Kristus, yang telah memperkenalkan Bapa kepada kita: tidak seorang pun mengenal Bapa selain Yesus Kristus dan orang yang kepadanya Yesus Kristus berkenan menyatakannya (Yoh. 17:25-26; Mat. 11:27).
Artinya, sumber satu-satunya bagi kita untuk mengenal Allah, adalah firman-Nya. Dalam firman itu kita bertemu dengan Allah yang bergaul dengan kita, manusia, yang membangun relasi dengan kita, dan yang telah mengaruniakan Anak-Nya supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal (Yoh 3:16).
Dengan kata lain: segala pengetahuan kita mengenai Allah berasal dari atas.
Pengetahuan yang terbatas, namun benar
Karena firman Allah merupakan sumber satu-satunya untuk mengenal-Nya, maka pengetahuan kita mengenai Allah sangat terbatas dan tidak bersifat objektif. Kita bergantung pada apa yang dinyatakan oleh Allah sendiri mengenai Diri-Nya. Apa yang tidak dinyatakan-Nya, tidak kita kenal, sehingga pengetahuan kita tidak lengkap.
Ada sebab lain yang membuat pengetahuan kita tentang Allah tidak akan pernah lengkap. Allah jauh lebih besar daripada kita, manusia. Dia jauh melebihi pengertian dan akal budi kita. Dia besar dan tidak dapat dicapai oleh pengetahuan kita (Ayb. 36:26), kebesaran-Nya tidak terduga (Mzm. 145:3). Perbedaan antara Allah dan kita manusia tidak terbayangkan (Yes. 55:8-9). Dan apa yang pada dirinya sendiri tidak mungkin bagi manusia, menjadi lebih mustahil lagi akibat dosa yang telah menggelapkan pengertian manusia. Terang Allah yang kudus tidak dapat dihampiri oleh manusia yang berdosa (1Tim. 6:16; 1Kor. 13:9).
Meskipun demikian, perlu ditekankan bahwa apa yang kita ketahui mengenai Allah adalah pengetahuan yang benar yang dapat dipercayai karena pengetahuan itu berasal dari Allah sendiri, dan Dialah yang benar yang dapat dipercaya (1Yoh. 5:20).
Pujian
Pengetahuan kita mengenai Allah tidak dapat diverifikasi secara ilmiah. Tidak ada sumber yang objektif di luar Allah sendiri yang dapat kita pakai untuk menguji keandalan pengetahuan kita. Artinya, pengetahuan kita mengenai Allah seratus persen bersifat pengetahuan iman. Mengenal Allah adalah mengakui Allah dan menerima penyataan-Nya (Alkitab) dengan percaya (Yoh. 6:69).
Kita mengenal Allah karena Allah lebih dahulu mengasihi kita (1Yoh. 4:19). Pengetahuan itu bukan hal otak semata (teori), melainkan akan berakibat dalam kehidupan kita. Pengetahuan akan Allah menciptakan relasi yang erat, sehingga kita akan hidup bergaul dengan Allah. Mengenal Allah adalah percaya akan kasih Allah kepada kita, dan hidup bersatu dengan Dia, dengan dikuasai oleh kasih. Siapa yang tidak mengasihi, orang itu tidak mengenal Allah (1Yoh. 4:7-8, 16). Mengenal Allah adalah mengikuti firmanNya: orang yang mengaku mengenal Allah tetapi tidak taat pada perintahperintah-Nya, adalah seorang pendusta (1Yoh. 2:4). Mengenal Allah adalah memperoleh hidup yang kekal: ”Inilah hidup yang kekal, yaitu bahwa mereka mengenal Engkau, satu-satunya Allah yang benar, dan mengenal Yesus Kristus yang telah Engkau utus” (Yoh. 17:3).
Dan justru pada saat kita sampai pada batas pengetahuan dan pengertian kita, kita tinggal mengungkapkan kebesaran nama-Nya. Sebenarnya inilah tanda khas dogmatik Reformasi: ”Dogmatik bukanlah suatu ilmu yang kering. Dogmatik adalah suatu teodicee,1 suatu puji-pujian terhadap keutamaan-keutamaan dan kesempurnaan-kesempurnaan Allah, suatu nyanyian penyembahan dan ucapan terima kasih, suatu doxa [bhs. Yunani: pujian] kepada Allah di tempat yang mahatinggi.” Demikianlah paparan Bavinck dalam karangannya Reformed Dogmatics. Mengenal Allah dan memuji Allah sebe narnya sama.
Mengenal Allah adalah memuji: ”Sesungguhnya inilah Allah, Allah kitalah Dia seterusnya dan untuk selamanya! Dialah yang memimpin kita!” (Mzm. 48:15)
Allah memperkenalkan diriNya kepada kita dalam firmanNya untuk menjalin relasi dengan kita.
Orientasi
Orang sering berusaha untuk membuktikan bahwa Allah itu ada. Misalnya, pernah ada orang yang berda sarkan pertimbangan bahwa jika Alah ada, haruslah Dia yang paling tinggi dan yang paling sempurna, dan berdasarkan asumsi bahwa sesuatu yang hanya ada dalam pikiran manusia sebenarnya kurang sempurna dibandingkan dengan sesuatu yang sungguh-sungguh ada, menyimpulkan bahwa harus ada Allah yang berada (”bukti ontologis”, bukti yang diambil dari keberadaan). Ada yang berpendapat lain, bahwa kenyataan semua bangsa di dunia menyembah salah satu Allah membuktikan keberadaan Allah (”bukti etnologis”, bukti yang diambil dari sejarah bangsa-bangsa). Yang lain lagi bernalar dari observasi bahwa segala sesuatu yang terjadi disebabkan oleh sesuatu yang lain, kemudian berkesimpulan bahwa ternyata harus ada sesuatu yang pada awalnya memicu semuanya itu, yaitu Allah (”bukti kosmologis”, bukti yang diambil dari dunia). Lainnya berteori bahwa harus ada Allah, yang merencanakan semuanya sejak awal dengan tujuan tertentu (”bukti teleologis”, bukti yang diambil dari sejarah yang terarah). Akhirnya ada yang berpendapat bahwa kesadaran umum mengenai apa yang baik dan apa yang jahat yang terdapat pada manusia di seluruh dunia membuktikan bahwa haruslah ada Allah (”bukti moral”, bukti yang diambil dari kesusilaan). Namun, jelas bahwa`semua pandangan ini dengan mudah dapat dibantah, dan tidak dapat membuktikan secara ilmiah bahwa Alah ada. Apa lagi, dengan cara seperti itu kita benar-benar tidak memperoleh pengetahuan mengenai siapakah Dia, dan mengenai apa yang diperbuat-Nya, dan tidak akan menjadi jelas bagaimana hubungan kita dengan Dia.
Immanuel Kant, ahli filsafat yang terkenal itu, pernah mengatakan bahwa Allah memang ada, tetapi tidak dapat dikenali. Pandangan itu disebut agnostisisme (bhs. Yunani: gnosis = pengetahuan). Kita dapat mengenal agama, tetapi tidak mungkin dapat mengenal Allah karena Allah mengatasi data-data yang dapat diselidiki dan dikontrol. Dengan kata lain, rasio menetapkan apa yang dapat dipercayai: apa yang tidak dapat dilihat dan diperiksa dan dimengerti, tidak diakui. Tidak mengherankan bahwa pandangan itu sering menuntun orang ke ateisme, pandangan bahwa Allah tidak ada.
Dalam Pengakuan Iman Gereja Belanda disebutkan bahwa kita mengenal Allah melalui dua sarana: ”pertama, melalui penciptaan, pemeliharaan, dan pemerintahan seluruh alam (...) yang menyatakan kepada kita apa yang tidak tampak dari Allah, yaitu kekuatan-Nya yang kekal dan keilahian-Nya. (...) Dia memperkenalkan diri kepada kita dengan lebih jelas dan sempurna lagi oleh firman-Nya yang kudus dan ilahi, yaitu sekadar kebutuhan kita dalam hidup ini, demi kemuliaan-Nya dan demi keselamatan orang-orang milikNya” (Pasal 2). Pasal-pasal ajaran Dordrecht menyatakan bahwa ”memang, setelah manusia jatuh, masih tinggal di dalamnya sisa terang kodrati. Berkat terang itu, ia tetap memiliki pengetahuan sedikit tentang Allah, tentang alam dunia, tentang perbedaan antara apa yang bersusila dan yang aib (...). Akan tetapi, janganlah oleh terang kodrati itu memperoleh pengenalan yang menyelamatkan tentang Allah (...). Bahkan, ia mengaburkan terang itu (...).” (Pasal III/IV, 4). Atas pertanyaan, bagaimana ternyata bahwa Allah ada, Katekismus Besar Westminster memberi jawaban yang demikian: ”Terang kodrati sendiri dalam diri manusia, dan karya-karya Allah, memperlihatkan dengan jelas adanya Allah. Akan tetapi, hanya firman-Nya dan Roh-Nyalah yang menyatakan Dia kepada manusia dengan secukupnya dan ampuh sehingga manusia dapat memperoleh keselamatan” (p/j 2).
Pengakuan Dasar
Hal yang pertama dan terutama yang harus diakui berdasarkan penyataan Allah baik pada masa Perjanjian Lama maupun pada era Perjanjian Baru ialah bahwa Allah adalah Allah yang esa! Selain dari Allah Israel, tidak ada satu pun allah yang ada. Hanya Dia! Itulah pengakuan dasar bangsa Israel: ”Dengarlah, hai orang Israel: Tuhan itu Allah kita, Tuhan itu esa!” (Ul. 6:4). Pengakuan itu harus memengaruhi seluruh kehidupan orang yang percaya, seperti yang langsung nyata dari ayat yang menyusulnya: ”Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu” (Ul. 6:5). Israel mengakui satu Allah saja, dan mengakui-Nya sebagai Allah satu-satunya yang ada: ”segala allah bangsa-bangsa adalah berhala, tetapi Tuhanlah yang menjadikan langit” (1Taw. 16:26). Dia saja yang berkuasa atas segala sesuatu yang berada dan yang terjadi, dan yang menyelamatkan bangsa-Nya, sehingga bangsa-Nya itu patut menyembah kepada-Nya: Dialah Allah, dan tidak ada yang lain (Yes. 45:20-22; bnd. 44:6-8, 46:8-10).
Yesus mengambil alih pengakuan dasar Israel (Mat. 22:37). Bapa-Nya adalah Allah Abraham, Allah Ishak, dan Allah Yakub. Tidak ada Allah lain!
Para rasul pun tetap mengakui bahwa Allah itu esa (1Tim. 2:5). Memang mereka tahu bahwa ada banyak ”allah” yang disembah manusia, namun bagi mereka hanya ada satu Allah saja, yaitu Allah Bapa, khalik langit dan bumi (1Kor. 8:4-6). Paulus memberitakan Allah satu-satunya itu kepada orang-orang Atena sebagai Allah yang telah menjadikan bumi dan segala isinya, yang tidak diam dalam kuil-kuil buatan tangan manusia (Kis. 17:24).
Keesaan Bapa juga berlaku bagi Anak-Nya, yang menjadi Perantara antara Allah dan manusia, yaitu manusia Kristus Yesus (Ibr. 1:2; 1Tim. 2:5). Ada satu Bapa, dan satu Tuhan, yaitu Yesus Kristus, yang oleh-Nya segala sesuatu telah dijadikan dan yang karena Dia kita hidup (1Kor. 8:6).
Tidak ada allah lain!
Hanya Tuhan yang berkuasa di bumi dan di surga. Berulang kali kuasaNya dibuktikan dalam sejarah Israel. Semua allah di Mesir satu demi satu dijatuhkan (Kel. 12:12). Patung Dagon, allah orang Filistin, jatuh dengan mukanya menghunjam ke tanah di hadapan tabut Tuhan, sebagai tanda bahwa ia tidak dapat berbuat apa-apa (1Sam. 5:3). Di atas gunung Karmel, nabi Elia bertaruh dengan para imam Baal, dan berkat doanya Tuhan menunjukkan kuasa-Nya dengan api dari surga, sehingga seluruh rakyat harus mengakui: ” Tuhan, Dialah Allah! Tuhan, Dialah Allah!” (1Raj. 18:39).
Tuhan, Allah Israel, bukan allah gunung dan bukan allah dataran, tetapi Allah semesta alam (1Raj. 20:28). Dia adalah Raja besar atas seluruh bumi (Mzm. 47:7-8), sehingga masyarakat kota Niniwe pun patut bertobat kepadaNya (Yun. 1:2). Semua bangsa akan mengetahui bahwa tidak ada Allah lain; ”kamu akan mengetahui, bahwa Akulah Tuhan”, demikian bunyi refrein yang tiap kali terdengar, khususnya dalam Kitab Yehezkiel, bukan terhadap orang Israel dan Yehuda saja, tetapi juga terhadap bangsa-bangsa lain (mis. Yeh. 25:5, 10, 14, dst.).
Pemberitaan para rasul dalam Perjanjian Baru tidak berbeda.Bangsa-Bangsa lain telah menggantikan kemuliaan Allah yang baka dengan gambaran yang mirip dengan manusia yang fana, burung-burung, binatang-binatang yang berkaki empat atau binatang-binatang yang melata (Rm. 1:21), dan mereka dinasihati untuk meninggalkan perbuatan sia-sia ini dan berbalik kepada Allah yang hidup, yang telah menjadikan langit dan bumi, laut dan segala isinya (Kis. 14:15).
Hanya ada satu Allah saja yang sungguh-sungguh berada, yang berkuasa, dan yang mampu menolong dan menyelamatkan manusia, yaitu Allah orang Israel, Allah Abraham, Allah Ishak dan Allah Yakub, Allah Bapa dari Yesus Kristus, Allah yang diberitakan oleh Paulus dan para rasul lain. Dialah realitas; allah-allah lain hanya reka-rekaan manusia belaka! Memang ada roh-roh yang baik (Malaikat) dan roh-roh yang jahat (Iblis dengan pengikut-pengikutnya), tetapi hanya ada satu Allah yang esa, yang hidup, dan yang memerintah sampai selama-lamanya. Tidak ada Allah selain Dia.
Bukan tiga, melainkan satu
Orang Kristen tidak selalu berhasil menghindari kesan berbicara mengenai tiga Allah. Misalnya, jika dalam berdoa, kita menyebutkan Allah Bapa tersendiri, Allah Anak tersendiri, dan Allah Roh Kudus tersendiri, praktik doa itu mudah menjadi penyebab timbulnya kesalahpahaman. Perlu dipertimbangkan makna doa yang diajarkan Yesus kepada kita, yang ditujukan kepada ”Bapa kami”. Doa kita hanya mempunyai satu alamat; bukan tiga. Memang benar, khususnya dalam Kitab Wahyu, Bapa, Anak, dan Roh masing-masing diberi pujian, sehingga tidak salah jika dalam doa dan nyanyian pujian kepada Allah yang Esa kita menamai karya Bapa, Anak, dan Roh Kudus masing-masing secara tersendiri. Tetapi dalam banyak nyanyian pujian kepada Yesus, karya Bapa dan Roh sama sekali tidak dibicarakan, sehingga pujian kepada Yesus agaknya dilepaskan dari pujian kepada Allah yang Esa. Dengan demikian kita melampaui batas yang ditentukan oleh kesaksian Kitab Suci, yang mengutamakan keesaan Allah. Kalau kita berbicara mengenai Yesus, atau mengenai Roh Kudus, atau mengenai Bapa, entah dalam dogmatik, dalam doa, atau nyanyian, selalu harus menjadi jelas bahwa kita berbicara mengenai Allah yang Esa. Kita tidak mengenal allah lain!
Ber-Pribadi
Allah yang kita jumpai dalam Alkitab ternyata adalah Allah yang ber-Pribadi.2 Dengan menggunakan kata itu, kami tidak bermaksud untuk membandingkan bahkan menyamakan Allah yang Mahatinggi itu dengan manusia yang berasal dari debu adanya. Tentu tidak! Maksud kata ”ber-Pribadi” di sini sama sekali berbeda, yaitu untuk menekankan bahwa Allah itu bukan suatu kuasa saja, ”sesuatu” yang mengatasi pengertian kita, yang efeknya kita alami tetapi yang tidak mempunyai identitas.
Misalnya, angin adalah kekuatan yang besar dan merupakan suatu kuasa yang tidak dapat dikendalikan manusia. Namun angin tidak berkepribadian. Angin tidak berpikir, tidak berbicara, tidak mengasihi, tidak menyesal. Angin hanyalah kuasa atau kekuatan. Tetapi Allah kita adalah Allah yang berbicara! Dia merundingkan dengan diri-Nya sendiri: ”Baiklah Kita menjadikan manusia” (Kej. 1:26). Dia menjalin relasi dengan manusia yang diciptakanNya: Dia berfirman kepada manusia, dan bergaul dengannya di dalam Taman Eden. Sesudah manusia diusir dari taman itu, komunikasi antara Allah dan manusia tidak putus, tetapi diteruskan. Seluruh Perjanjian Lama sebenarnya berisi tentang Allah yang berbicara kepada manusia, melalui berbagai cara (Ibr. 1:1) dan dengan nada yang berbeda-beda. Dia marah kepada manusia yang berdosa dan memusnahkannya, tetapi Dia menunjukkan kasih setia-Nya kepada Nuh dan mengadakan perjanjian dengannya (Kej. 6:8, 18). Dia menarik manusia kepada-Nya, dan memanggil Abram. Abram bertemu dengan Allah, muka dengan muka, dekat pohon tarbantin di Mamre (Kej. 18:1), dan Allah membuka hati-Nya kepadanya (Kej. 18:17). Abraham disebut sahabat Allah yang dikasihi-Nya (2Taw. 20:7; Yes. 41:8), dan demikian juga kepada Musa: Tuhan berbicara dengan Musa berhadapan muka, seperti orang berbicara dengan kawannya (Kel. 33:11). Artinya, Allah bukan suatu kuasa, jauh dan abstrak, melainkan Pribadi ilahi yang mendekati kita, yang memperkenalkan diri kepada kita, yang mengacuhkan kita, yang merangkul kita dari belakang dan dari depan, dan yang meletakkan tangan-Nya ke atas kita (Mzm. 139:5).
Dan karena Allah sangat prihatin terhadap manusia, Dia juga sangat murka kepada manusia ketika manusia meninggalkan perintah-Nya. Tetapi dalam gejolak amarah-Nya, Allah tidak membiarkan manusia dan menjauhkan Diri dari mereka, sebaliknya, Dia datang kepada mereka melalui berbagai hukuman, agar manusia bertobat dan kembali kepada-Nya. Sebab Allah tidak senang kalau orang jahat mati, sebaliknya Allah ingin manusia meninggalkan dosa-dosanya supaya mereka tetap hidup (Yeh. 33:11).
Itulah ke-Pribadian Allah: Allah yang mengasihi, yang peduli, yang merasa sayang kepada manusia ciptaan-Nya yang telah menjadi orang berdosa. Allah bukan kuasa yang tinggal jauh, Dia bukan kuasa yang samar-samar, melainkan Allah yang menyertai kita, Imanuel (Yes. 7:14 bnd. Mat. 1:23). Di dalam Dia kita hidup. Dan dalam Yesus Dia masuk ke dalam kehidupan kita, untuk menyelamatkan kita dan seluruh ciptaan-Nya dari kebinasaan, dan untuk menganugerahkan kepada kita kasih karunia-Nya. Dan nanti, Dia akan diam bersama-sama dengan kita di Yerusalem yang baru (Why. 21:3).
Jangan ada padamu allah lain di hadapan-Ku
Pengalaman kita menunjukkan bahwa dunia ini penuh dengan kuasa-kuasa yang tidak dimengerti, yang jauh lebih kuat daripada kita, yang sering membahayakan kehidupan kita. Ketidakpastian itu membuat manusia menjadi bingung, sehingga mencari jalan untuk mengendalikan kuasa-kuasa rahasia itu agar manusia dapat hidup dengan aman dan tenang. Ada yang percaya bahwa kuasa-kuasa itu didalangi oleh pelbagai roh atau dewa, yang perlu dipuaskan supaya mereka tidak mengganggu kehidupan manusia. Dengan membawa kurban dan dengan memerhatikan bermacam-macam pemali dan ratusan aturan adat-istiadat lainnya, mereka berusaha menjauhkan kecelakaan dari kehidupan mereka. Ada yang lain, yang percaya bahwa semuanya ada di tangan Allah yang mahatinggi, yang memerintah segala sesuatu sesuai dengan kemauan-Nya sendiri, dan bahwa manusia tidak dapat berbuat lain kecuali menerima saja apa yang terjadi. Pandangan ini sering mengakibatkan sikap fatalis yang melemahkan manusia: apa saja yang hendak diperbuatnya, ia tidak dapat menghindari nasibnya.
Alkitab memberi jawaban yang berbeda. Allah telah menciptakan langit dan bumi, dan masih memelihara semuanya. Tidak ada sesuatu yang terjadi secara kebetulan. Allah yang memerintah kehidupan segala makhluk; ”undi dibuang di pangkuan, tetapi setiap keputusannya berasal daripada Tuhan” (Ams. 16:33). Artinya, kita tidak menghadapi sejumlah besar kuasa atau dewa yang masing-masing mempunyai pengaruh atas kehidupan kita, entah baik atau buruk, tetapi kita menghadap Allah yang Esa. Dan Allah itu tidak memerintah dengan sewenang-wenang; Dia adalah Bapa yang berniat baik terhadap kita. Burung pipit tidak ada nilainya, tetapi tidak ada seekor pun yang jatuh ke tanah kalau tidak dikehendaki Allah. Apalagi kita manusia, yang bernilai sekali bagi-Nya! (Mat 10:29-30). Dia telah melukiskan kita di telapak tangan-Nya (Yes. 49:16).
Allah yang Mahatinggi itu tidak tinggal jauh, tetapi datang kepada kita sebagai Allah yang ber-Pribadi, yang mengetuk hati kita masing-masing. Dia mencari Adam: ”Di manakah engkau?” (Kej. 3:9), dan berusaha mendapatkan kembali hati Kain: ”Di mana Habel, adikmu itu?” (Kej. 4:9). Demikian pula Dia berfirman kepada kita agar kita bertobat dan percaya. Dalam seluruh Kitab Suci, kita bertemu dengan Allah yang menyatakan diri sebagai seorang Bapa yang prihatin terhadap kita anak-anak-Nya. Dia tidak duduk di atas takhta-Nya di surga sebagai seorang despot yang tidak terpengaruh pada keadaan rakyatnya, tetapi sebaliknya, Dia ingin supaya semua orang bertobat dari dosa-dosanya (2Ptr. 3:9, bnd. Yeh. 18:32). Dan di luar Dia, tidak ada kehidupan. Dia yang memberi kehidupan kepada bangsa-Nya.
Dan sesudah Dia menyelamatkan bangsa-Nya, Dia mengatakan: ”Jangan ada padamu allah lain di hadapan-Ku” (Kel. 20:3). Itu bukan perintah seorang tuan kepada budaknya, melainkan dorongan kasih seo rang bapa yang melingkupi anak-anak-Nya, untuk melin dungi mereka. Karena tidak ada allah lain kecuali Dia. Dan Dialah Allah kita, yang boleh kita panggil ”Bapa kami yang di surga” (Mat. 6:9), dan yang menyertai kita. Mengenal Allah yang Esa memberi penghiburan besar kepada kita
Allah itu Esa! Tidak ada Allah lain, kecuali Allah yang telah memperkenalkan diri-Nya melalui Anak-Nya.
Orientasi
Pada awal abad kedua, Marcion mengajarkan bahwa Allah Perjanjian Lama berbeda dengan Allah, Bapa dari Yesus Kristus. Menurut dia, orang Yahudi membunuh Yesus karena usaha Allah Perjanjian Lama. Ajaran mengenai dua Allah itu, yang satu bersifat bengis, dan yang lain penuh kasih, sebenarnya merupakan bentuk ajaran politeisme, dan menentang bulat-bulat pengakuan dasar bangsa Israel dan orang Kristen mengenai Allah yang esa. Di samping itu, pandangannya membuka pintu bagi penganiayaan orang Yahudi dalam abad-abad yang kemudian (antisemitisme).
Ajaran panteisme menyamakan Allah dengan alam semesta. Pandangan itu pun tidak dapat digabungkan dengan pemberitaan Kitab Suci. Allah yang esa adalah Allah yang ber-Pribadi, yang telah menjadikan langit dan bumi, laut dan segala isinya (Kis. 4:24). Menyamakan Dia dengan ciptaan berarti mendewakan ciptaan, yang adalah hasil karya-Nya, dan membuka pintu bagi pelbagai sikap hidup yang salah, seperti mistik dan sihir.
Aliran mistik meniadakan perbedaan antara Allah yang Mahatinggi yang bersemayam di surga dan manusia yang hidup di bumi ini, dan berusaha mendekatkan diri kepada Allah untuk bersatu dengan Dia dalam hubungan langsung. Tetapi kita manusia, tidak mungkin dapat bersatu dengan Dia, tetapi kita dipanggil untuk menyembah kepada-Nya dan untuk hidup bergaul dengan Dia. Sebaliknya ilmu sihir bertitik tolak dari kepercayaan bahwa ada kuasa-kuasa yang yang mengatasi kehidupan manusia, dan berusaha untuk mengendalikan kuasa-kuasa ilahi itu, entah itu untuk berbuat baik atau untuk berbuat jahat. Ada orang lain yang percaya bahwa jimat dapat melindungi orang dari penyakit dan celaka; demikianlah misalnya orang Papua membawa jimat dalam nokennya, dan pengusaha di Jakarta menggantungnya dalam mobilnya. Pandangan itu tidak mengindahkan bahwa ”kuasa” ilahi itu adalah Allah yang ber-Pribadi, yang sama sekali berbeda dari manusia dan kuasa-Nya mengatasi segalanya, dan yang memerintah segala sesuatu menurut kemauanNya sendiri.
Ajaran monisme pun menyangkal bahwa Allah ber-Pribadi. Menurut anggapan itu, segala sesuatu yang berada, termasuk Allah sendiri, terjadi dari suatu sebab atau awal yang sama. Salah satu bentuk dari monisme adalah teori evolusi. Bentuk lainnya kita jumpai dalam pandangan Paul Tillich, seorang teolog Amerika berkebangsaan Jerman pada paruh pertama abad ke-19. Ia mengajarkan bahwa Allah adalah daya hidup, baik dari manusia maupun dari makhluk-makhluk lain, dan dengan demikian adalah dasar dari segala-galanya yang ada. Artinya, menurut Tillich, Allah bukan Allah yang ber-Pribadi, melainkan suatu kuasa yang mahahadir. Allah yang diciptakan Tillich itu ternyata jauh berbeda dengan Allah yang telah menyatakan diri-Nya dalam firman-Nya sebagai Allah yang berbicara, yang mendengar dan yang bertindak untuk menyelamatkan umat-Nya.
Sila pertama Pancasila sering dianggap mengesahkan kepercayaan kepada Allah yang Esa. Tetapi perlu diperhatikan, seperti diingatkan oleh Dr. Olaf Schumann, bahwa sila yang pertama tidak menggunakan kata ”Allah”, atau kata ”Tuhan”, tetapi kata yang agak netral dan abstrak, ketuhanan. Dengan demikian sila yang pertama mengakui adanya dimensi transenden di dalam masyarakat Indonesia, tetapi sekaligus menyerahkan kewenangan kepada setiap warga Negara Indonesia untuk mengungkapkan transendensi itu sesuai dengan kepercayaan masing-masing. Bahasa Pancasila yang netral itu dapat diisi oleh warga negara yang mempunyai agama yang berbeda-beda.
Allah adalah Allah yang Esa. Orang yang mengenal-Nya, hidup bergaul dengan Dia, ”menaruh kepercayaan kepada Dia saja, berserah kepada-Nya dengan rendah hati dan sabar, mengharapkan segala kebaikan hanya dari Dia, dan mengasihi, menyegani, serta menghormati Dia, dengan segenap hati, sehingga aku lebih suka melepaskan segala makhluk daripada menentang kehendak-Nya dalam perkara yang paling kecil pun” (Katekismus Heidelberg p/j 94).
What’s in a name?
Ada ungkapan dalam bahasa Inggris yang berbunyi: What’s in a name?. Maksudnya, suatu nama hanya nama saja dan sebenarnya tidak berarti.
Di dunia Alkitab keadaannya memang berbeda sekali. Nama orang bukan semacam label yang hanya memberi sebutan yang dapat dipakai untuk memanggilnya, melainkan tanda yang menerangkan identitasnya.
Allah sendiri yang memilih nama Adam, ”manusia”, ”debu” karena manusia itu debu adanya, dibentuk dari debu tanah (Kej. 2:7, 3:19, 5:2). Nama Adam sesuai dengan keberadaannya. Demikian juga sebutan yang dipakai Adam untuk perempuan yang dibentuk Allah dari rusuknya: ”manusia perempuan” (Kej. 2:23). Dan nama baru yang diberikan kepada istrinya itu berdasarkan janji Allah kepadanya sesudah mereka jatuh ke dalam dosa, juga penuh arti, yaitu Hawa, ”yang memberi kehidupan’, sebab dialah yang menjadi ibu semua yang hidup (Kej. 3:20).
Mengenai Allah, beberapa kali kita bertemu penandaan ”Nama” tanpa keterangan selanjutnya. Dalam Imamat 24 kita dengar mengenai seorang Israel yang menghujat: ”Anak perempuan Israel itu menghujat nama Tuhan” (Im. 24:11), secara harfiah: ”menghujat Nama” (tanpa kata ” Tuhan”). Nama, itulah Tuhan sendiri! Demikian pula halnya dalam hukum yang ketiga: jangan menyebut nama Tuhan dengan sembarangan (Kel. 20:7): hukum itu mempersalahkan sikap kurang hormat terhadap Tuhan. Dan dalam Doa Bapa Kami, frasa ”dikuduskanlah nama-Mu” menunjukkan hormat kepada Tuhan sendiri.
Mengenal nama-Nya
Dalam banyak agama ada anggapan bahwa jika kita mengenal nama dewa, kita dapat menguasainya. Itu sebabnya rumusan-rumusan mantra sering dimulai dengan ucapan: ”aku mengenal namamu”. Tetapi bahwa kita mengenal nama Allah tidak berarti dengan pengetahuan itu kita dapat mengendalikan kuasaNya. Tentu tidak! Manusia tidak dapat menguasai Allah, sebaliknya Dialah yang memerintah segala sesuatu sesuai dengan kemauan-Nya, dan tidak dipengaruhi oleh siapa pun. Penggunaan nama Allah sebagai alat kekuasaan, misalnya penggunaan nama Yahwe sebagai jimat, merupakan pemakaian sembarangan yang dilarang. Nama Allah diberikan sebagai ”alat” komunikasi. Allah Pencipta langit dan bumi telah memperkenalkan diri kepada kita manusia, agar kita hidup bergaul dengan Dia. Kita boleh memanggil-Nya, karena Dia sendiri telah memanggil nama kita: ”Janganlah takut, sebab Aku telah menebus engkau, Aku telah memanggil engkau dengan namamu, engkau ini kepunyaan-Ku” (Yes. 43:1).
Nama panggilan
Suatu nama hanya berfungsi dalam suatu relasi, dalam hubungan dengan orang lain, untuk membedakan yang satu dari yang lain. Itu sebabnya Adam memberi nama diri kepada segala ternak, burung-burung dan binatangbinatang. Dengan nama-nama itu, manusia dapat membedakan jenis binatang yang satu dari jenis binatang yang lain. Binatang-binatang itu diberi nama agar manusia dapat menggunakan nama itu.
Tetapi Allah hanya ada satu, sehingga tidak perlu ada nama untuk membedakan-Nya dari allah-allah lain. Artinya, ketika Allah menyatakan suatu Nama kepada manusia, Dia melakukan itu untuk berkomunikasi dengan manusia, agar manusia dapat memanggil nama-Nya itu. Dalam pergaulan dengan manusia, Allah memilih nama-nama bagi Diri-Nya, yang dapat digunakan oleh manusia.
Nama-nama itu menyatakan sesuatu mengenai Allah. Nama-nama itu untuk membedakan-Nya dari kesia-siaan allah-allah yang dipikirkan atau diciptakan oleh manusia, dan menyatakan-Nya sebagai Allah satu-satu-Nya yang hidup dan yang bertindak.
Allah memilih nama-nama bagi diri-Nya yang mempunyai arti dalam lingkup kehidupan manusia dan yang sesuai dengan daya tangkapnya. Manusia dilarang membayangkan Allah dengan membuat patung untuk sujud menyembah kepadanya (Kel. 20:4-5). Namun, tidak dapat tidak manusia berbicara mengenai Allah dengan menggunakan gambaran-gambaran seperti ”tangan Allah”, ”wajah-Nya”, ”kaki-Nya”, ”suara-Nya”. Dan sebutan Allah sebagai Raja segala raja, hanya memiliki arti dalam kebudayaan manusia yang mengenal raja-raja. Demikian juga halnya dengan nama ”Bapa”: nama itu merupakan penyesuaian dengan struktur bangsa manusia. Allah menyesuaikan diri-Nya dengan keberadaan manusia, dengan berbicara kepadanya dan dengan memilih nama-nama yang dapat dimengerti olehnya, karena namanama itu berhubungan dengan lingkungan hidupnya. Kita mengenal Allah, dan kita mengenal nama-nama-Nya, hanya karena Pencipta langit dan bumi telah turun kepada manusia ciptaan tangan-Nya.
Relasi itu ada sejak awal dunia, karena Allah telah menciptakan manusia menurut gambar-Nya. Keberadaan manusia terikat pada panggilan dan kewajibannya sebagai gambar Alah. Manusia adalah wakil dan pengelola ciptaan-Nya di bumi ini. Relasi itu telah rusak total akibat dosa manusia, namun tidak ditiadakan oleh Allah; sebaliknya diteruskan oleh-Nya dalam perjanjianNya. Seluruh Alkitab berbicara mengenai bagaimana Allah memulihkan kembali relasi manusia dengan diri-Nya. Nama-nama-Nya berfungsi dalam rangka itu, yaitu dalam kerangka perjanjian.
El, Elohim; theos
Kepada Abraham, Ishak, dan Yakub, Allah menyatakan diri-Nya dengan nama El (Kel. 6:1-2). Sebenarnya itu bukan nama pribadi, melainkan nama yang membedakan keberadaan Allah dengan keberadaan segala ciptaan. Kata atau nama itu juga lazim dipakai bangsa-bangsa lain bagi allah-allah mereka. Rupanya dalam praktik, El telah menjadi nama kategori untuk makhluk jenis allah. Tetapi, penggunaan itu dapat dipandang sebagai degenerasi nama itu, yang sepatutnya hanya digunakan bagi Allah yang esa, Pencipta langit dan bumi. Bangsa-bangsa dunia telah menggantikan kemuliaan-Nya ”dengan gambaran yang mirip dengan manusia yang fana, burung-burung, binatangbinatang yang berkaki empat atau binatang-binatang yang melata” (Rm. 1:23). Dan kata atau nama El, yang pada awalnya hanya dipakai untuk Allah yang hidup, mereka pakai untuk memanggil allah-allah buah pikiran mereka sendiri. Tetapi sebenarnya hanya Satu saja yang berhak dipanggil dengan nama El itu, yaitu Allah yang hidup, Allah Abraham, Ishak, dan Yakub, Allah Israel. Baal, Asytoret, Milkom, Kemos, Dagon, dan lain sebagainya yang disembah oleh bangsa-bangsa dunia pada zaman Alkitab, sebenarnya tidak ada, tidak exist. Mereka semua adalah dewa yang fana, berhala, buatan manusia!
Hanya Allah Israel yang patut disebut El, Elohim. Bentuk jamak itu tidak menunjuk pada banyaknya El yang disembah bangsa-bangsa dunia, tetapi hampir selalu menunjuk pada Allah yang esa, Allah Israel (mis. Ul. 5:9, 1Raj. 18:21).3 Bentuk jamak itu tidak berarti berjumlah banyak tetapi mengintensifkan bentuk tunggal El, dan menunjuk ke kepenuhan-Nya (Yoh. 1:16; Ef. 3:19; Kol. 2:9).
Berarti, kalau Allah memperkenalkan Diri-Nya kepada bangsa Israel sebagai El, Dia memperkenalkan Diri-Nya di dunia, kepada bangsa-bangsa, sebagai Allah satu-satu-Nya yang hidup dan yang berhak dipanggil dengan nama itu. Dan kalau bangsa Israel menggunakan nama El, Elohim untuk memanggil Pencipta langit dan bumi, Allah yang telah melepaskan mereka dari Mesir, mereka tidak menggunakan nama itu sebagai nama pribadi Allah, tetapi sebagai kata atau nama yang merujuk kepada Allah sebagai Allah yang berbeda dari segala macam makhluk yang diciptakan, dan yang jauh mengatasi semuanya itu. Dengan kata lain, nama El tidak menyamakan Allah Israel dengan dewa-dewa bangsa-bangsa yang juga disebut El, tetapi sebenarnya merupakan polemik menentang dewa-dewa itu, dan memanggil segala makhluk untuk kembali kepada El yang satu-satu-Nya, yang sungguh-sungguh ada!
Demikian juga halnya dengan kata Yunani theos. Menentang theoi yang disembah masyarakat Listra, Paulus dan Barnabas memberitakan theos yang hidup, yang telah menjadikan langit dan bumi, laut dan segala isinya (Kis. 14:11-17). Dan melihat bahwa kota Atena penuh dengan patung-patung berhala, Paulus memberitakan kepada masyarakat kota Yunani itu bahwa Allah yang telah menjadikan bumi dan segala isinya, adalah Tuhan atas langit dan bumi (Kis. 17:24).
Kadang-kadang nama El dilengkapi dengan kata sambung yang menjelaskan keberadaan Allah. Yang paling terkenal ialah El Syadai, nama yang biasa diterjemahkan dengan ”Allah yang Mahakuasa” (mis. Kej. 17:1). Sebenarnya arti kata syadai itu kurang jelas; mungkin nama itu menunjuk kepada Allah sebagai Pelindung yang berkuasa. Khususnya dalam kitab Ayub nama majemuk itu sering dipakai. Kata sambung lainnya adalah El Elyon, yang biasa diterjemahkan ”Allah yang Mahatinggi” dan menunjuk ke kemuliaan dan keagungan-Nya (mis. Kej. 14:18-22; Bil. 24:16). Pada saat yang lain nama El dihubungkan dengan nama tempat, seperti Bethel, ”rumah Allah (El)”.
Kita sering menemukan nama El dalam nama-nama pribadi, misalnya
Elisa, ”Allah (El) menyelamatkan”, Elimelekh, ”Allah-ku (El) raja”. Di luar Israel pun kita berjumpa dengan nama-nama seperti itu, antara lain pada bangsa Aram, Hazael, ”Allah (El) melihat”. Nama itu tidak berarti bahwa mereka percaya kepada Allah Israel; sebaliknya, dalam nama itu kata El merujuk kepada dewa yang mereka sembah.
Yahwe
Nama Diri Allah adalah keempat khuruf YHWH (bhs. Yunani: tetragrammaton, dalam terjemahan LAI: Tuhan). Kurang pasti bagaimana ucapannya, karena dalam naskah Ibrani asli Perjanjian Lama, huruf-huruf hidup tidak tertulis, tetapi baru disisipkan di kemudian hari. Dan karena orang Yahudi enggan mengucapkan nama Allah ini, mereka menyisip hurufhuruf hidup dari kata adonai (”Tuhan”) di bawah keempat huruf YHWH. Maksudnya, supaya orang yang membacakan Alkitab akan mengucapkan kata Adonai mengganti nama Diri yang (menurut mereka) tak boleh diucapkan. Dengan demikian mereka hendak menghindari penyalahgunaan nama yang kudus itu. Itulah asal nama Yehuwa yang dipakai oleh Saksi Yehuwa: keempat huruf YHWH dengan huruf-huruf hidup kata Adonai.
Kemungkinan besar ucapan asli seharusnya Yahwe, artinya: ”Dia ada”, ”Dia akan ada”. Keterangan nama ini diberikan oleh Allah sendiri: ”AKU ADALAH AKU: (...) itulah nama-Ku untuk selama-lamanya dan itulah sebutan-Ku turun-temurun” (Kel. 3:14-15). Lebih tepat terjemahan lama Klinkert-Bode, ”Aku adalah AKU ADA”: Dia tetap ada, Dia tetap dekat untuk memenuhi janjijanji-Nya. Dia adalah Allah yang setia, yang tidak berubah-ubah atau berdusta, tetapi yang dapat dipercaya, karena selalu bekerja untuk membebaskan umatNya. Jahwe adalah ”Yang mahabenar orang Israel” (1Sam. 15:29, terjemahan lama Klinkert-Bode).
Menurut Kitab Keluaran, Allah baru memperkenalkan nama ini kepada Musa: ”Akulah Tuhan (Jahwe). Aku telah menampakkan diri kepada Abraham, Ishak dan Yakub sebagai Allah Yang Mahakuasa (El Syadai), tetapi dengan nama-Ku Tuhan Aku belum menyatakan diri” (Kel. 6:1-2). Ucapan ini rupanya bertentangan dengan kenyataan bahwa nama Jahwe sudah dipakai dari halaman pertama Alkitab (Kej. 1:1; 2:4; 4:26; dan seterusnya). Bagi orang yang mempersoalkan apakah kelima buku pertama Perjanjian Lama sungguhsungguh berasal dari Musa, dan yang beranggapan bahwa Pentateukh itu sebenarnya merupakan sintesis dari beberapa dokumen atau sumber yang sifatnya heterogen, perbedaan itu tidak merupakan masalah besar: mereka menganggap nas-nas itu berasal dari tradisi-tradisi yang berbeda. Tetapi siapa yang menerima integritas Kitab-Kitab Suci, tidak dapat menerima teori tersebut.
Teolog lain mencoba mengatasi masalah ini dengan mengatakan bahwa memang nama Jahwe sudah lama dikenal, tetapi makna nama itu baru dinyatakan dalam sejarah pembebasan dari Mesir. Tetapi mungkin saja benar juga, bahwa Abraham, Ishak, dan Yakub belum mengenal nama Jahwe, namun Musa sebagai penulis kelima kitab pertama Perjanjian Lama, menggunakan nama itu secara anakronistis dalam cerita sejarah-sejarah masa lampau, untuk menjelaskan bagi teman-teman sezamannya dan bagi orang Israel turuntemurun bahwa Jahwelah Pencipta langit dan bumi, Allah Abraham, Ishak, dan Yakub.
Nama Jahwe juga kita jumpai dalam Perjanjian Baru, yaitu dalam kitab Wahyu: ”Dia, yang ada dan yang sudah ada dan yang akan datang” (Why. 1:4).
Sama seperti nama El, nama Yahwe pun kadang-kadang dilengkapi dengan kata tambahan. Yang paling terkenal ialah Yahwe Zebaoth, yang biasa diterjemahkan dengan ”Tuhan semesta alam”, tetapi sebenarnya arti nama itu kurang pasti. Ada yang menafsirkan nama itu sebagai ”Kepala ketentaraan Israel”’ (1Sam. 17:45). Tetapi di tempat lain, nabi-nabi Israel menggunakan nama ini bagi Tuhan yang akan bertindak menentang bangsa-Nya. Karena itu, ada penafsir yang berpendapat bahwa nama ini menunjuk pada ketentaraan surgawi. Keberatan terhadap pandangan itu ialah bahwa dalam Perjanjian Lama, ketentaraan surgawi tidak pernah disebut dengan kata ini. Sehingga ada penafsir lain lagi yang berpendapat bahwa nama Yahwe Zebaoth sebagai penanda kekuasaan-Nya yang tidak terbatas. Tafsiran terakhir ini sesuai dengan terjemahan nama itu dalam Septuaginta: kurios pantokratoor, ”Tuhan yang Mahakuasa”. Tafsiran itu didukung pula oleh konteksnya dalam beberapa nas, yang berhubung dengan Allah yang ”bersemayam di atas para kerub” sebagai Raja Besar (1Sam. 4:4; 2Sam. 6:2; Yes. 37:16; Mzm. 80:2; 99:1).
Adonai, despotes, kurios
Istilah Adonai dalam Perjanjian Lama, Despotes dan Kurios dalam Perjanjian Baru, sebenarnya bukan nama melainkan gelar: Tuhan. Gelar ini juga dipakai bagi pejabat-pejabat tinggi: Daud misalnya, menggunakannya bagi Raja Saul (1Sam. 26:17). Kalau gelar ini dipakai bagi Allah, hal itu merupakan pengakuan bahwa Dialah yang berkuasa di bumi dan di surga: Dialah Tuhan semesta bumi (Yos. 3:13, Mzm. 97:5). Khususnya dalam kitab Nabi Yehezkiel (tetapi juga di tempat-tempat lain) gelar ini sering mendahului nama Yahwe: Adonai Yahwe; LAI menerjemahkannya dengan ”Tuhan ALLAH” alih-alih ”Tuhan Tuhan” (Alkitab dalam Bahasa Indonesia Masa Kini: ”Tuhan yang Mahatinggi”; mis. Yeh. 3:11; Kej. 15:2; Ul. 3:24). Di tempat lain, gelar Adonai dipakai secara bergantian dengan nama Yahwe: ”engkau akan mengkhususkan rampasan mereka bagi Tuhan (Yahwe) dan kekayaan mereka bagi Tuhan (Adonai) seluruh bumi” (Mi. 4:13; bnd. Yes. 6:1, 3).
Dalam Septuaginta dan dalam Perjanjian Baru, kedua istilah: Despotes dan Kurios dipakai baik bagi Allah maupun bagi Yesus Kristus. Pada zaman itu, pengakuan Yesus Kurios merupakan pengakuan yang konfrontatif dan berbahaya, yang mungkin saja dapat mengakibatkan hukuman penjara bahkan hukuman mati karena sebenarnya itulah gelar yang dituntut oleh Kaisar, yang tidak boleh dipakai oleh siapa pun selain kaisar.
Bapa
Sapaan yang terkenal dari doa Bapa kami yang diajarkan oleh Yesus kepada murid-murid-Nya (Mat. 6:9), juga sudah dipakai pada masa Perjanjian Lama. Nama Bapa sebenarnya bukan nama pribadi, bukan juga gelar, melainkan merupakan kata sapaan yang mengungkapkan kepercayaan dan keakraban.
Kita tidak menghadap Allah dengan perasaan takut sebagaimana budak, melainkan dengan kepercayaan sebagai anak yang diperbolehkan memanggilNya Abba, yaitu Bapa (Rm. 8:15; bnd. Gal. 4:6).
Penggunaannya dalam Perjanjian Lama menekankan bahwa sebagai Bapa, Allah berhak untuk ditaati: ”Seorang anak menghormati bapanya dan seorang hamba menghormati tuannya. Jika Aku ini Bapa, di manakah hormat yang kepada-Ku itu? Jika Aku ini tuan, di manakah takut yang kepada-Ku itu?” (Mal. 1:6). Musa menegur bangsa Israel yang bebal dan tidak bijaksana, karena tidak menghormati Tuhan yang adalah Bapa yang telah mencipta, menjadikan, dan menegakkannya (Ul. 32:6). Kepada Salomo anak Daud, Allah berjanji menjadi Bapanya yang akan menghukumnya jika ia melakukan kesalahan (2Sam. 7:14).
Sama seperti dalam Perjanjian Baru, nama Bapa merupakan dasar doa orang Israel: ”Engkaulah Bapa kami! Kamilah tanah liat dan Engkaulah yang membentuk kami, dan kami sekalian adalah buatan tangan-Mu” (Yes. 64:8). Pada pandangan pertama, nas terakhir ini rupanya menekankan jarak yang jauh antara Sang Pencipta dan kita, manusia yang tidak lebih dari tanah liat dalam tangan-Nya. Tetapi sebenarnya, gambaran ini melukiskan hubungan akrab yang ada antara kita dan Allah yang telah menciptakan kita. Hubungan itu tidak dapat ditiadakan.
Unsur menaati tidak bertentangan dengan unsur mengasihi: dua-duanya bergandengan tangan. Dalam Perjanjian Lama, unsur kasih sayang Allah pun kita temui, khususnya dalam kitab Mazmur: ”Seperti bapa sayang kepada anak-anaknya, demikian Tuhan sayang kepada orang-orang yang takut akan Dia” (Mzm. 103:13). ”Allah yang tinggal di Rumah-Nya yang suci adalah bapa anak yatim dan pembela para janda” (Mzm. 68:6).
Dan sebaliknya, unsur kewajiban untuk menaati-Nya, juga nyata dalam Perjanjian Baru. Yesus mengajar kita memanggil-Nya ”Bapa kami yang di surga” (Mat. 6:9). Tambahan yang di surga tidak bermaksud menciptakan jarak yang jauh antara Si Pendoa dan Allah di surga, tetapi mendefinisikan sapaan Bapa sebagai istilah perjanjian. Perjanjian itu berakar dalam tugas yang diberikan kepada Adam dalam Taman Eden: sebagai gambar dan rupa Allah ia wajib mengusahakan bumi ini dan memerintahnya (Kej. 1:26, 28). Sebagai gambar dan rupa Allah, manusia adalah anak dari Bapa yang di surga, yang melakukan segala kehendak Bapa. Oleh dosa, gambar Allah menjadi rusak secara total, tetapi di dalam Yesus Kristus kita dipulihkan kembali dalam jabatan semula, sehingga kembali menjadi anak-anak Allah (Ef. 1:5). (Lih. keterangan lebih lengkap dalam par. 8, Gambar dan wujud Allah).
Sebagai Bapa dalam hubungan perjanjian, Allah bukan Bapa semua orang.
Dalam Perjanjian Lama, Dia adalah Bapa untuk bangsa Israel. Sejak Yesus Kristus, Dia adalah Bapa untuk orang yang percaya. Hanya oleh dan melalui Yesus Kristus kita kembali mengenal Allah sebagai Bapa yang penuh kasih: semua orang menerima-Nya dengan percaya, menjadi anak-anak Allah (Yoh. 1:12; bnd. Rm. 8:15; Gal. 4:5-7).
Sapaan Bapa bukan ibarat; Dia tidak seperti seorang bapa, tetapi Dia adalah ”Bapa kami yang di surga”, dan kita adalah anak-anak-Nya. Memanggil Allah dengan Bapa berarti memercayakan diri kepada Allah yang mengasihi, yang bersekutu, yang mempedulikan, yang memimpin, yang menolong, dan yang membebaskan. Siapa yang berseru kepada-Nya dan menantikan pertolonganNya tidak akan dipermalukan (Mzm. 25:3; Rm. 9:33), karena sebagai Bapa, Dia mengetahui pemberian yang baik kepada anak-anak-Nya (Mat. 7:9-11).
Seperti dijelaskan di atas (par. 3, Orientasi), Allah tidak pernah disebut Ibu, tetapi pemeliharaan-Nya terhadap bangsa-Nya pernah dibandingkanNya dengan kasih sayang seorang ibu terhadap anaknya: ”Dapatkah seorang perempuan melupakan bayinya, sehingga ia tidak menyayangi anak dari kandungannya? Sekalipun ia melupakannya, Aku tidak akan melupakan engkau” (Yes. 49:15). Tetapi pengibaratan itu tidak membenarkan kita memanggil-Nya Ibu kami.
Dengan menyebut Allah yang besar itu sebagai Bapa, kita sama sekali tidak meninggikan diri, dan juga tidak merendahkan Allah. Allah tetap Allah yang Mahatinggi, yang di surga, dan kita tetap ”tanah liat”, ciptaan tanganNya.
Nama-Nya adalah Kudus
Dalam agama-agama suku, penyalahgunaan nama dewa sangat berbahaya, karena dapat mendatangkan kesakitan dan malapetaka.
Larangan-larangan itu sangat berbeda dengan larangan Alkitab untuk memakai nama Tuhan dengan sembarangan (Kel. 20:7). Allah tidak pernah melarang manusia menyebut nama-Nya. Sebaliknya, Alkitab penuh dengan contoh tentang orang yang memanggil nama-Nya yang kudus (khususnya dalam Kitab Mazmur). Hanya, kita harus menjaga kekudusan nama-Nya itu (Mat. 6:9). Kekudusan itu bukan semacam pemali, sehingga orang yang melanggarnya secara otomatis akan dikenai hukuman, sama seperti orang yang tersentuh aliran listrik langsung dikejutkan oleh setrum. Menguduskan nama-Nya berarti bahwa kita sendiri harus kudus, dengan memerhatikan segala perintah-perintahNya. Beribadah kepada berhala-berhala, menginjak-injak kepala orang lemah ke dalam debu, dan lain sebagainya, merupakan pelanggaran kekudusan nama Allah: ”Mereka menajiskan nama-Ku yang kudus dengan perbuatan-perbuatan mereka yang keji” (Yeh. 43:8; bnd. 20:39; Am. 2:7).
Walaupun kelakuan itu menimbulkan amarah Allah, perbuatan-perbuatan itu tidak secara otomatis mengakibatkan kebinasaan. Dalam kekudusanNya, Allah berkomunikasi dengan orang yang berdosa itu. Berulang kali Dia mengutus orang untuk memperingatkan umat-Nya, karena Dia sayang kepada mereka dan kepada rumah-Nya. Dan ketika mereka tidak menghiraukan kata-kata-Nya, Allah kemudian mendatangkan hukuman-Nya ke atas mereka (2Taw. 36:15-16).
Tetapi hukuman itu pun bukan untuk selama-lamanya. Ketika bangsa Israel dibuang ke pembuangan, dan di sana ternyata mereka pun mencemarkan nama-Nya yang suci, apalagi bangsa-bangsa lain mengolok-olok nama Allah karena pembuangan itu; maka Allah mengatakan: ”Aku akan menguduskan nama-Ku yang besar yang sudah dinajiskan di tengah bangsabangsa, dan yang kamu najiskan di tengah-tengah mereka. Dan bangsa-bangsa akan mengetahui bahwa Akulah Tuhan, demikianlah firman Tuhan ALLAH, manakala Aku menunjukkan kekudusan-Ku kepadamu di hadapan bangsabangsa” (Yeh. 36:23). Artinya, Allah menguduskan nama-Nya sendiri, dengan melepaskan bangsa-Nya dari pembuangan dan membawa mereka kembali ke tanah perjanjian. Dan kelepasan itu menjadi sebab bangsa-Nya itu kembali menghormati-Nya dan takut kepada nama-Nya yang kudus (Yes. 29:23). Baru setelah itu mereka menguduskan nama-Nya dengan nyanyikan pujian dan syukur kepada-Nya. Karena sesaat saja Dia murka, tetapi seumur hidup Dia murah hati; sepanjang malam ada tangisan, menjelang pagi terdengar soraksorai! (Mzm. 30:4-5)
Dengan kata lain: kekudusan nama Allah bukan sesuatu yang mengejutkan, melainkan sesuatu yang menghiburkan! Kekudusan itu adalah kasih setiaNya terhadap bangsa-Nya! Kita tidak perlu tinggal jauh dari nama itu karena membahayakan, sebaliknya, kita didorong untuk menyerukan nama yang kudus itu dengan pujian dan syukur! (Mzm. 97:12; bnd. 30:4; 33:21; 103:1; 105:3; 106:47).
Nama-Nya Ajaib
Kadang-kadang Allah tidak mau menyebut nama-Nya. Misalnya dalam cerita lahirnya Simson. Malaikat Tuhan menampakkan diri kepada istri Manoah, dan memberitahukan kepadanya apa yang akan terjadi. Atas doa Manoah, Malaikat Tuhan datang untuk kedua kalinya, kemudian Manoah bertanya kepada-Nya siapa nama-Nya. Ternyata Manoah menyangka bahwa Dia seorang nabi yang disuruh Allah, dan ia belum sadar bahwa Dialah Malaikat Tuhan. Jawaban yang diberikan oleh Malaikat kepada Manoah sangat mengherankan. Dia tidak memperkenalkan diri sebagai Allah Abraham, Ishak, dan Yakub, dengan menggunakan salah satu nama yang tentu sudah dikenal Manoah (misalnya Elohim, atau Yahwe). Sebaliknya, Dia memberi jawaban yang menghindar: ”Mengapa engkau juga menanyakan nama-Ku? Bukankah nama itu ajaib?” (Hak. 13:18).
Sebenarnya Allah tidak merahasiakan nama-Nya kepada Manoah, sebaliknya, dengan kata ajaib Dia mengingatkannya akan kemuliaan-Nya! Allah adalah Allah yang melakukan keajaiban, yang menganugerahkan anakanak kepada istri yang mandul (Mzm. 77:14; 113:9). Allah itulah yang akan membuat istri Manoah yang mandul itu melahirkan seorang anak laki-laki yang akan mulai menyelamatkan orang-orang Israel dari tangan Filistin.
Makna kata ajaib itu adalah sesuatu yang menyimpang dari apa yang biasa dialami manusia sehingga dipandang sebagai sesuatu yang mustahil. Suatu tindakan Allah yang tak terduga untuk menyelamatkan bangsa-Nya.
Batas pengharapan manusia diatasi-Nya, dan apa yang dianggap mustahil oleh manusia yang terkurung dalam situasi konkret yang sulit, dilakukan-Nya. Allah adalah Allah yang masyhur, pembuat keajaiban (Kel. 15:11).
Kata ajaib itu justru dipakai dalam nyanyian mazmur dan pujian. Dengan cara yang tidak disangka-sangka Dia membuka jalan keluar bagi manusia yang di berada dalam jurang yang dalam (Mzm. 107:24). Allah yang namaNya ajaib akan bertindak dengan cara yang tidak terduga bagi manusia, yang dalam keadaan sulit atau tidak memiliki jalan keluar, menaruh pengharapan kepada-Nya. Karena itu kita bersyukur kepada Tuhan dengan segenap hati, dan menceritakan segala perbuatan-Nya yang ajaib (Mzm. 9:2).
Kemuliaan Allah
Keagungan Allah diungkapkan dalam nama-nama-Nya, tetapi juga dalam kemuliaan-Nya. Dalam Perjanjian Lama, kata ”kemuliaan” (Ibr.: kabood) kadang-kadang dipakai sejajar dengan kata ”nama”: ”bangsa-bangsa menjadi takut akan nama Tuhan, dan semua raja bumi akan kemuliaan-Mu” (102:16; bnd Yes. 59:19a). Kemuliaan Allah itu adalah keagungan dan kegemilangan yang mengesankan, yang ada pada Allah dan yang bersinar keluar dari diri-Nya ketika Dia menyatakan diri. Kadang-kadang kemuliaan-Nya itu merupakan cahaya yang memberi kesan yang membekas. Pada saat tertentu kemuliaan Allah tampak sebagai api yang menghanguskan (Kel. 24:17), atau dalam awan (Kel. 16:10). Kemuliaan-Nya itu adalah kemuliaan kerajaan-Nya (Mzm. 145:11-12).
Tetapi sebenarnya cahaya atau api atau awan, tidak dengan sendirinya adalah kemuliaan yang dimaksudkan, tetapi Allah yang menampakkan diri di dalamnya, Allah yang dahsyat, yang datang kepada manusia. Kemuliaan Allah memperlihatkan Dia sebagai Raja langit dan bumi, yang duduk di atas takhta-Nya dan berkuasa atas segala sesuatu: kemuliaan Allah mengatasi langit (Mzm. 113:4).
Dengan kuasa-Nya yang ajaib, Dia dekat untuk menolong dan melindungi bangsa-Nya. Dalam Kitab Raja-raja, kita mendengar bahwa dengan kemuliaan-Nya itu Allah datang dan berdiam di tengah bangsa-Nya di dalam Bait Allah yang didirikan oleh Raja Salomo: pada saat para imam keluar dari Rumah Tuhan itu tiba-tiba rumah itu dipenuhi awan yang berkilauan oleh keagungan kehadiran Tuhan. Ternyata manusia tidak dapat bertahan dalam kehadiran kemuliaan Allah itu: para imam itu tidak dapat masuk kembali untuk melaksanakan tugas mereka (1Raj. 8:10-11). Namun, bangsa Tuhan bergembira karena kehadiran kemuliaan Allah, karena api dan awan itu merupakan tanda bahwa Allah menyertai mereka (2 Taw. 7:3). Tetapi ketika bangsa itu bersikeras menolak Yahwe sebagai Allah Israel, kemuliaan Allah meninggalkan Bait Allah, sebagaimana yang dilihat oleh Nabi Yehezkiel dalam penglihatan-penglihatan yang diterimanya (Yeh. 8-11). Tetapi bukan untuk selama-lamanya, karena akhirnya Yehezkiel harus bernubuat mengenai kemuliaan Allah yang kembali ke tempatnya di tengah-tengah orang Israel (Yeh. 43-44).
Dalam Perjanjian Baru Allah disebut Bapa yang Mulia (Ef. 1:17). Dalam Yesus Kristus kemuliaan Allah itu menjadi nyata.
Hal itu sudah ditandai oleh kemuliaan Tuhan yang bersinar, yang meliputi para gembala-gembala pada saat kelahiran Yesus (Luk. 2:9). Penulis Surat Ibrani mengatakan bahwa Yesus adalah cahaya kemuliaan Allah dan gambar wujud Allah (Ibr. 1:3). Terang kemuliaan Allah bersinar pada wajah Yesus (2Kor. 4:6), sehingga Rasul Yohanes dapat bersaksi bahwa mereka telah melihat kemuliaan-Nya, yaitu kemuliaan yang diberikan kepada-Nya sebagai Anak Tunggal Bapa, penuh anugerah dan kebenaran (Yoh. 1:14).
Baik dalam Perjanjinan Lama maupun dalam Perjanjian Baru kemuliaan Allah mengandung acuan ke masa depan. Nabi Yehezkiel bernubuat mengenai kemuliaan Allah yang kembali kepada bangsa-Nya. Nabi-nabi lain juga bernubuat tentang zaman sejahtera itu: pada akhir zaman bumi akan penuh dengan pengetahuan tentang kemuliaan Tuhan, seperti air yang menutupi dasar laut (Hab. 2:14). Terang kemuliaan Allah akan menghilangkan kegelapan yang menutupi bangsa-bangsa dunia (Yes. 60:1-3). Mulai dari saat itu semua orang akan hidup dalam terang kemuliaan Allah, dan dengan demikian segala nubuat akan dipenuhi dalam kemuliaan Raja itu yang bersemayam di atas takhta-Nya untuk selama-lamanya. Kota Yerusalem yang baru tidak perlu lagi disinari ma tahari atau bulan, sebab ke mu liaan Allah meneranginya dan Anak Domba itu adalah lampu nya (Why. 21:23; bnd. Yes. 66:18; Mzm. 72:19).
Keagungan dan kemuliaan Allah nyata dalamnama-nama-Nya yang menyatakan Siapa Allah kita bagi kita.
Orientasi
Di Indonesia, baik orang Kristen maupun orang Islam, menggunakan istilah Allah. Demikian juga orang Yahudi. Dalam karangannya yang berjudul ”One God Many Names”, Dr. Umar Faruq Abd-Allah (seorang Amerika yang telah menjadi muslim) dalam paparannya mengatakan bahwa ketiga agama yang mendasarkan diri pada Abraham sebenarnya menyembah Allah yang sama. Apalagi, menurutnya, Allah itu disembah oleh semua bangsa di dunia. Ia mengatakan, bukan saja orang Islam, Kristen, dan Yahudi, tetapi semua bangsa di dunia ini menyembah Allah sebagai Zat yang Mahatinggi, dengan menggunakan ratusan nama yang berbeda.
Dari pihak teologi feminis, ada desakan untuk memanggil Allah sebagai
”Ibu kami”, dan bukan saja sebagai Bapa kami. Mereka mengatakan, kebudayaan patriarkal pada zaman Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru menjadi sebab mengapa dalam Alkitab Allah digambarkan sebagai Bapa, bukan sebagai Ibu. Andaikata kebudayaan pada zaman itu adalah matriarkal, tidak dapat tidak Allah diperkenalkan sebagai Ibu, demikian penalaran mereka. Hanya, bukan kebetulan Allah menyatakan diri dalam kebudayaan yang berbentuk patriarkal. Kebudayaan itu tidak terjadi di luar kehendak Allah dan diciptakan-Nya sebagai konteks penyataan-Nya, agar dapat Dia gunakan untuk menyatakan siapa Dia: Bapa yang patut ditaati! Nama Bapa harus dijelaskan dalam konteks kebudayaan pada zaman itu, menurut norma etika masyarakat yang berlaku pada zaman itu. Jika kita menerangkan nama itu dengan konotasi yang ditimbulkannya dalam kebudayaan kita, tradisional atau feminis, sebenarnya kita tidak mengindahkan perbedaan waktu dan zaman yang ada.
Sebenarnya tidak tepat jika kita mempermasalahkan kelamin Allah, seolah-olah Dia sendiri pun takluk pada pembagian kelamin yang merupakan struktur ciptaan-Nya (manusia, binatang, tumbuh-tumbuhan). Laki-laki dan perempuan bersama-sama diciptakan menurut gambar dan rupa Allah (Kej. 1:27). Dalam hal itu tidak ada perbedaan di antara mereka (Gal. 3:28). Hawa yang pertama berbuat dosa. Namun, bukan dosa Hawa melainkan dosa Adam yang mengakibatkan kebinasaan semua orang. Ternyata Adam diperlakukan sebagai kepala bangsa manusia (Rm. 5:14; 1Kor 15:22, 45). Dengan kata lain, Adam mengepalai istrinya: kepala dari perempuan ialah laki-laki (Ef. 5:23; 1Kor. 11:3). Kalau hal itu tidak sesuai dengan angan-angan aliran feminis, itu bukan masalah Alkitab, apalagi masalah Allah, melainkan masalah aliran feminis sendiri yang perlu memikirkan kembali aspirasinya dalam terang Firman. Dengan demikian kami tidak memutlakkan kebudayaan pada zaman Alkitab, melainkan takluk pada penyataan Allah.
Islam mengenal 99 nama untuk Allah. Semua itu sebenarnya merupakan penguraian sifat-sifat-Nya. Di dalam Alquran nama pribadi Allah tidak ditemukan. Allah dalam Islam bukan Allah yang ingin membangun relasi dengan manusia, melainkan tetap tinggal sebagai Allah yang bersemayam di atas takhta-Nya jauh di atas manusia, dan yang tidak turun dari surga untuk bergaul dengan manusia ciptaan-Nya.
Pada 2000, di Indonesia telah terbit versi Alkitab yang berjudul Kitab Suci Torat dan Injil dari Yayasan Bet Yesua Hamasiah (BY). Dalam versi Alkitab itu, kata Allah diganti dengan Eloim. Karena menurut BY, Allah sebenarnya nama suatu berhala suku-suku Arab yang pada zaman kelahiran Islam disembah di kota Mekah dan sekitarnya sebagai dewa pengairan, yang berasal dari Babel. Menurut anggapan BY, Islam lahir dari penyembahan berhala itu. Karena itu, demikian BY, kalau orang Kristen menggunakan nama Allah bagi Allah Israel, mereka sebenarnya menghujat Yahwe!
Dalam terang sejarah, pandangan BY tidak dapat dipertahankan. Orang Kristen di negara-negara yang berbahasa Arab sudah menggunakan kata Allah jauh sebelum kelahiran Islam. Kata itu sudah kita temukan dalam Peshita, terjemahan Alkitab dalam bahasa Siria yang berasal dari awal abad ke-5. Pada zaman Muhammad, ada beberapa kelompok Kristen dan Yahudi di daerah Mekah dan Medina, yang semuanya menyembah Yahwe dengan menggunakan nama Allah. Baik Muhammad maupun wakil-wakil kaum Yahudi dan gereja Kristen yang berdebat dengan dia mengaku bahwa mereka masing-masing menyembah kepada Allah yang sama, yaitu Allah Abraham, Ishak dan Yakub. Dalam pembicaraan bersama Muhammad dan wakil-wakil kedua agama yang lain itu, penggunaan nama Allah ternyata tidak dipersoalkan (bnd. Sura 2:136).
Muhammad dengan keras menentang politeisme suku-suku Arab pada saat itu. Karena itu, tidak terbayangkan bahwa ia sebenarnya memilih salah satu dari dewa-dewa itu untuk memutlakkannya. Sebaliknya, menentang politeisme Arab, Muhammad mengemukakan monoteisme orang Yahudi dan orang Kristen. Penglihatan-penglihatannya bersambungan dengan ceritacerita Taurat Yahudi dan Alkitab Kristen. Justru itulah pretensi Muhammad bahwa ia adalah nabi yang terakhir dan yang tertinggi sesudah Musa dan Yesus.
Dilihat dari sudut etimologis, kata Allah merupakan turunan dari kata Ibrani Elohim. Tidak masuk akal untuk mengganti kata Allah dengan nama Eloim (ejaan salah!), karena Elohim adalah bentuk lama dari kata yang sama!
Bahwa pernah ada dewa lokal di Mekah yang bernama Allah tidak mengherankan. Di atas sudah kita lihat bahwa kata El, Elohim sejak awal sudah lazim dipakai oleh bangsa-bangsa lain juga untuk dewa-dewa mereka.
BY menggemari bahasa Ibrani sebagai bahasa Perjanjian Lama, bahasa Yesus, bahasa Paulus. Dalam terjemahan Alkitab BY 2000, Yesus Juru Selamat disebut Yesua Hamasiah. Tetapi perlu dipikirkan: 1) bahwa beberapa kitab Perjanjian Lama tertulis dalam bahasa Aram, 2) bahwa pada zaman Yesus, bahasa umum di Israel bukan bahasa Ibrani melainkan bahasa Aram, dan 3) bahwa Paulus mendiktekan surat-suratnya dalam bahasa Yunani. Di samping Alkitab BY 2000, ada juga Alkitab terbitan Jaringan Gereja-Gereja Pengagung Nama Yahweh (Jakarta 2002), yang lebih ekstrem lagi. Mereka menolak penggunaan sebutan Allah dan menekankan penggunaan nama-nama asli Ibrani.
Teori mengenai kepentingan bahasa Ibrani untuk hari ini mengabaikan kenyataan Pentakosta, bahwa semua orang boleh mendengar Injil Yesus Kristus dalam bahasa mereka sendiri (Kis. 2:1-12). Suatu nama bukan sekadar label, tetapi memiliki arti. Kalau kita menerjemahkan Alkitab dan memberitakan Injil dalam bahasa lain, yang penting ialah bahwa arti nama itu diteruskan. Kalau tidak, nama yang penuh arti itu hanya akan menjadi label! Lafal nama itu tidak perlu persis sama seperti lafal dalam bahasa asli pada zaman Alkitab, asalkan isi nama itu tetap dimengerti dan dipertahankan.
Sifat, Kesempurnaan, atau Pujian
Di atas sudah kita lihat bahwa beberapa ”nama” Allah sebenarnya bukan nama, melainkan penguraian kemuliaan-Nya dalam hubungan-Nya dengan manusia. Dengan ”nama-nama” itu sebenarnya kita sudah beralih ke penguraian sifatsifat-Nya.
Menurut kami, istilah ”sifat” kurang tepat kalau kita berbicara mengenai Allah. Allah tidak mempunyai beberapa sifat, seperti setiap orang yang mempunyai sifat-sifat tertentu yang bersama-sama menentukan wataknya. Allah tidak mempunyai sedikit sifat ini, sedikit sifat itu, tetapi Dia mempunyai ”sifat-sifat”-Nya secara sempurna. Boleh dikatakan: Allah adalah ”sifat-sifat”Nya. Karena itu, ada orang yang menggunakan kata ”kesempurnaan” alih-alih kata ”sifat”. Hanya, dengan mendaftar kesempurnaan-kesempurnaan-Nya, masih diberi kesan seolah-olah kita dapat menguraikan keberadaan Allah. Tetapi kita tidak dapat mendefinisikan keberadaan-Nya dengan mendaftar sifat-sifat-Nya atau kesempurnaan-kesempurnaan-Nya.
Itu sebabnya kami sendiri cenderung berbicara mengenai ”puji-pujian”.
”Sifat-sifat” atau ”kesempurnaan-kesempurnaan” itu tidak merupakan ciri-ciri Allah yang tidak punya kaitan apa pun dengan apa yang di luar Allah. Sebaliknya, semua ini berfungsi dalam relasi Allah dengan ciptaan-Nya, dan khususnya dengan kita manusia. ”Sifat-sifat” atau ”kesempurnaan-kesempurnaan” itu merupakan pujian dan syukur kepada Allah kita yang besar, dengan rasa hormat dan takut serta dengan sukacita! Demikianlah Allah kita!
Demikianlah misalnya pembukaan Pengakuan iman Gereja Belanda
(Confessio Belgica):
”Kita semua percaya dengan hati, dan mengaku dengan mulut, bahwa ada satu Zat Rohani yang esa dan sederhana, yang kita namakan Allah. Dia kekal, tidak terpahami, tidak kelihatan, tidak berubah-ubah, tak terhingga, mahakuasa, berhikmat sempurna, mahaadil, mahabaik, dan sumber serbaberlimpah segala hal yang baik.” (PIGB, ps 1)
Kalimat ini tidak berusaha mendefinisikan keberadaan Allah, tetapi merupakan nyanyian pujian tentang kebesaran Allah. Di tengah segala penganiayaan dan siksaan yang dialami penganut aliran Reformasi pada zaman itu, penulis PIGB, Guido de Brès, dengan bersukacita dan berterima kasih mengungkapkan harapannya akan Allah, Penolong yang tidak memalukan.
Dalam paragraf ini, kami akan menggunakan daftar puji-pujian ini sebagai pedoman untuk membuka kekayaan firman Tuhan mengenai Allah kita. Yang dibicarakan bukan konsep ke-Allahan, melainkan penyataan Allah yang hidup, Penguasa alam semesta! Dalam pelbagai buku dogmatik, pembicaraan itu segera berubah menjadi uraian filosofis yang pada dasarnya bersifat spekulatif. Tetapi renungan manusiawi tidak mungkin dapat memperdalam pengetahuan kita tentang Allah. Justru dalam bagian dogmatik ini kita patut mengendalikan diri dan berbicara dengan saleh, agar pikiran dan perkataan kita jangan melampaui batas yang ditentukan oleh apa yang dinyatakan oleh Allah sendiri dalam Firman-Nya. Tidak mungkin kita dapat berusaha menggali kedalaman Allah; yang mengetahui isi hati Allah hanyalah Roh Allah sendiri! (1Kor. 2:11).
Karena itu, kami akan membatasi diri dengan menguraikan keberadaan Allah sebagaimana Dia memperkenalkan diri-Nya dan menjadi nyata dalam seluruh sejarah keselamatan. Pengenalan akan penyataan Allah itu tentu mengandung makna besar bagi orang yang percaya, baik bagi kaum teolog dan pendeta maupun bagi petani di ladang dan pegawai di kantor. Dengan demikian kekayaan Alkitab akan memperkaya pujian dan doa kita pada zaman modern ini.
Rohani (spiritualitas Dei)
Alkitab sering kali berbicara mengenai tangan Allah, mengenai telinga, mata, dan kaki-Nya, dan lain sebagainya. Cara berbicara yang demikian itu disebut antropomorfisme (bhs. Yunani, antropos=manusia, morfe=bentuk), karena seolah-olah Allah mempunyai badan seperti kita. Jelas bahwa semuanya itu hanya lambang, karena Allah bukan ragawi melainkan rohani. Kalau Allah berbicara mengenai mulut-Nya, atau mengenai hati-Nya, Dia menyesuaikan Diri-Nya dengan daya tangkap manusia.
Allah itu Roh (Yoh. 4:24). Dia tidak mempunyai badan, dan tidak terdiri atas organ-organ tubuh. Allah tidak bersifat jasmani, tetapi surgawi (bnd. 1Kor. 15:47-48). Dia tidak termasuk ciptaan, dan sama sekali berbeda dengan roh yang ada di dalam manusia yang diciptakan Allah. Kerohanian-Nya juga berbeda dengan kerohanian malaikat-malaikat. Dia tidak dapat disamakan dengan makhluk mana pun. Karena segala makhluk adalah ciptaan Allah. Dialah sumber segala-galanya. Dialah Roh yang menuntun kita (Mzm. 143:10), yang menciptakan dan membarui muka bumi (Mzm. 104:30), yang mengurung kita sehingga kita tetap aman (Mzm. 139:5-7), dan yang membarui batin kita dengan roh yang teguh (Mzm. 51:10). Dengan kata lain: Dialah sumber kehidupan. Itulah inti kerohanian-Nya: Dia mempunyai hidup dalam diri-Nya sendiri (Yoh. 5:26), dan memberi hidup kepada segala makhluk (Kis. 17:25). Kerohanian Allah bukan kebalikan dari materi, melainkan kebalikan daging, seperti dikatakan oleh nabi Yesaya: ”Orang Mesir itu manusia juga, bukan ilah adanya; dan segala kuda mereka itu dari daging, bukan dari roh” (Yes. 31:3; terj. Klinkert/Bode). Terjemahan LAI dengan tepat memparafrasakan ucapan itu: ”kuda-kuda mereka adalah makhluk yang lemah, bukan roh yang berkuasa.” Segala makhluk, betapa besar kekuatannya dan indahnya, akhirnya memalukan orang yang berlindung padanya, karena tidak memiliki kekuatan atau hidup dalam dirinya sendiri. Sebaliknya Allah adalah sumber kekuatan hidup yang tidak ada habis-habisnya. Kekuatan kerohaniaan-Nya paling nyata dalam Juru Selamat, yang akan memberi minum dari air kehidupan (Yoh. 4:24; Why. 21:6). Kerohanian Allah merupakan dasar yang teguh bagi kehidupan anak-anak-Nya yang dari dalam sengsara kehidupan ini berharap akan pertolongan-Nya.
Esa (unitas Dei)
Di atas, kita sudah berbicara mengenai keesaan Allah. Dia unik, tidak ada yang lain. Kita tidak menghormati-Nya sebagai Allah yang Mahatinggi, yang jauh mengatasi allah-allah yang lain yang ada dan yang tidak dapat dibandingkan dengan allah-allah itu karena di antaranya tidak ada yang setara dengan Dia. Sebaliknya, Dia sendiri adalah Allah yang ada! Allah-allah dan dewa-dewi yang dihormati bangsa dan suku dunia sebenarnya adalah kesia-siaan belaka, buatan pikiran manusia, yang telah mengganti Allah yang benar dengan sesuatu yang palsu (1Sam. 12:21; Rm. 1:25). Semua orang yang mengikuti dewa-dewi itu, yang tidak dapat menolong dan menyelamatkan, akan mendapat malu dan akhirnya akan menjadi seperti mereka (Mzm. 115:8; 135:18). Allah yang Esa adalah Allah satu-satunya, Allah yang benar, yang kepada-Nya kita berharap dan percaya, dan siapa yang memercayakan dirinya kepada-Nya tidak akan dikecewakan (Rm. 10:11).
Sederhana (simplisitas Dei)
Kata ”esa” dalam pengakuan dasar Israel: Tuhan itu Allah kita, Tuhan itu esa! (Ul. 6:4) dapat ditafsirkan sebagai ”satu-satunya yang ada”, tetapi juga dapat diartikan bahwa Allah itu tidak terbagi dan tidak majemuk. Itulah yang dimaksud dengan ucapan bahwa Allah adalah Allah yang sederhana.
Kata itu rupanya tidak sesuai dengan keberadaan Allah yang Mahatinggi dan yang Mahabesar, karena pikiran yang ditimbulkannya ada sesuatu yang bukan tinggi dan besar melainkan rendah dan kecil, yang bersahaja. Tetapi maksud kata ”sederhana” (bhs. Latin: simplicitas) tentu berbeda sekali.
Dalam Alkitab, kata ”sederhana” itu tidak pernah dipakai bagi Allah, tetapi mulai dari abad-abad yang pertama, gereja muda itu (mis. Irenaeus) telah menggunakan istilah itu untuk mengakui Allah yang telah menyatakan diriNya melalui firman dan perbuatan-Nya sebagai Allah yang tidak majemuk, yang tidak berbelah, dan yang di dalam-Nya tidak ada pertentangan atau ketegangan. Dia adalah Allah yang tunggal.
Pengakuan tentang ”Allah yang sederhana” itu dipertahankan untuk menentang pelbagai ajaran sesat yang menyangkal kesederhanaan Allah itu dan yang menggambarkan-Nya sebagai Allah yang majemuk (Manicheisme), yang terus mengalami proses (Gnostik), atau yang kehendak, keputusan, dan perbuatan-Nya berbeda dengan keberadaan-Nya sehingga tidak tetap dan sering berubah (Arminian). Kata ”sederhana” atau ”tunggal” itu menekankan bahwa di dalam diri Allah tidak ada bagian-bagian karena Dia adalah satu kesatuan yang tidak terbagi. Pengakuan itu tidak bertentangan dengan adanya Bapa, Anak, dan Roh Kudus, tetapi menghindari salah pengertian tentang ketiga Oknum dalam diri Allah itu. Kalau kita berbicara mengenai Bapa, Anak, dan Roh Kudus, kita tidak berbicara mengenai ”Zat” Allah, melainkan mengenai ketiga ”Oknum” yang ada dalam diri Allah, tetapi yang tidak memilah-Nya menjadi tiga Allah yang masing-masing ada kehendak dan sikap-Nya sendiri. Menentang kesalahpahaman semacam itu, gereja mempertahankan simplicitas Dei: Allah yang bukan multipleks melainkan simpleks, sederhana.
Kesatuan Allah sangat kontras dengan perpecahan dan kemajemukan kita manusia. Di dalam diri kita, keinginan-keinginan terus saja berperang (Yak. 4:4). Pikiran kita selalu mendua dan tidak tetap. Kita manusia selalu bimbang dan bercabang hati, dan tidak tetap dalam segala jalan kita. Perpecahan keberadaan manusia itu sangat mendasar: di satu pihak kita mengikut Tuhan, tetapi di pihak lain ada persahabatan dengan dunia. Kita mendua hati, padahal seharusnya kita mengasihi Tuhan dengan segenap hati, jiwa, akal budi, dan kekuatan kita (Mrk. 12:30). Kasih kepada-Nya harus memenuhi seluruh kehidupan kita, supaya kehidupan kita menjadi satu, seperti yang ditekankan oleh Paulus: satu tubuh, dengan satu pengharapan kepada satu Tuhan, dengan satu iman, satu baptisan, karena kita mempunyai satu Allah dan Bapa dari semua, yaitu Allah yang di atas semua dan oleh semua dan di dalam semua (Ef. 4:4-6).
Keberadaan Allah benar-benar berbeda. Di dalam-Nya tidak ada ”sifatsifat” atau keinginan-keinginan yang saling bertentangan. Tidak ada sejumlah ciri yang bersama-sama menentukan keberadaan Allah. Allah tidak mengasihi, Dia adalah kasih (1Yoh. 4:8). Pada Allah tidak ada segi yang terang, Dia adalah terang (1Yoh. 1:5). Dia itu penuh pengampunan dan belas kasihan, sekaligus segala perbuatan-Nya adalah adil. Dia bukan Allah yang kadang-kadang terang, dan pada kesempatan lain gelap. Tidak pada suatu saat Dia menunjukkan kasihNya, kemudian pada saat yang lain mengutamakan keadilan-Nya. Apa yang sering disebut ”sifat-sifat”-Nya itu semua sama kuat dan sama penting dan tidak saling bertentangan. Kasih-Nya tidak bertentangan dengan kekudusan-Nya, murka-Nya tidak bersaing dengan kasih-Nya: ”Tuhan itu adil dalam segala jalan-Nya dan penuh kasih setia dalam segala perbuatan-Nya” (Mzm. 145:17). Tidak ada satu ciri yang mendominasi ciri-ciri-Nya yang lain. Di dalam Dia ciri yang satu tidak untuk sementara dan menyisihkan ciri-Nya yang lain. Dia selalu adalah Diri-Nya sendiri secara sempurna dan tidak terbagi.
Demikianlah Allah kita! Kita dapat berlindung kepada-Nya, karena Dia adalah satu dan sederhana: segala firman yang keluar dari mulut-Nya, dan segala perbuatan tangan-Nya adalah satu! Dia tidak menpunyai agenda yang tersembunyi; kehendak-Nya yang dinyatakan kepada kita dalam Firman-Nya tidak berbeda dengan hekendak-Nya yang tersembunyi bagi kita. Dia selalu dapat dipercaya.
Kekal (aeternitas Dei)
Allah adalah kekal dan tidak mempunyai awal atau akhir: sebelum gununggunung diciptakan dan sebelum dunia dibentuk, Allah sudah ada, tanpa awal dan tanpa akhir, dari selamanya sampai selamanya (Kej. 21:23; Mzm. 90:2; bnd Ul. 32:40; Mzm. 102:12, 28; 135:13).
Dengan kata-kata itu, kita manusia mencoba menguraikan sesuatu yang tidak mampu kita pahami. Allah bukan saja tanpa awal atau akhir; Dia melampaui segala masa, dan bagi Dia ”waktu” tidak berarti. Musa merabaraba rahasia itu, kalau ia mengatakan bahwa bagi Allah seribu tahun sama seperti satu hari, atau seperti satu giliran jaga di waktu malam (Mzm 90:4).
Dan ucapan itu juga dapat dibalik: di hadapan Allah, satu hari sama seperti seribu tahun (2Ptr. 3:8). ”Waktu” dan ”kekekalan” merupakan dua ruang lingkup yang berbeda.
”Waktu” itu diciptakan Allah, waktu ”pada mulanya” Dia menciptakan langit dan bumi. Sebelumnya tidak ada ”waktu”. Bagi Allah sendiri, ”waktu” tidak memainkan peran. Dia adalah kekal, dan keberadaan-Nya mengatasi ”waktu”. Dia tidak terikat pada ”waktu” sehingga di dalam-Nya tidak ada ”sebelum” atau ”sesudah”, tidak ada ”akan” atau ”nanti”. Tidak pernah ada zaman ketika Allah masih muda, dan Allah tidak menjadi tua.
Dalam suatu penglihatan, Allah menyatakan diri-Nya kepada Daniel sebagai ”Yang Lanjut Usianya” (Dan. 7:9, 13, 22). Kata-kata itu tidak mencerminkan umur-Nya, tetapi melambangkan-Nya sebagai Allah yang sudah ada sebelum dunia dijadikan dan sebagai Yang berkuasa atas segala sesuatu. Allah tidak berusia. Allah tidak bersejarah. Dia tidak pernah menjadi Allah, dan tidak akan pernah datang zaman ketika Dia berhenti sebagai Allah: ”Sebelum Aku tidak ada Allah dibentuk, dan sesudah Aku tidak akan ada lagi” (Yes. 43:10).
Kita manusia adalah ciptaan yang bersejarah, yang bersama dengan segala makhluk lain terikat pada ruang, tempat, dan ruang waktu. Kita tidak mungkin membayangkan alam semesta yang tidak terhingga, demikian juga waktu yang tidak dibatasi awalnya dan akhirnya. Kita selalu mencoba membayangkan apa yang ada lewat batas angkasa yang paling jauh, dan apa yang ada sebelum awal mula ciptaan. Karena menurut daya khayal kita, segala sesuatu yang berada di langit atau di bumi, ada awalnya dan bersejarah. Artinya: ada masa lampau, masa kini, dan masa depan. Tetapi Allah mengatasi waktu, Dia sudah ada sebelum waktu dimulai. Hal itu tentu melampaui akal budi kita dan tidak mungkin dapat kita bayangkan.
Dunia ini serta segala isinya didukung dan dikelilingi oleh kekekalan Allah.
Dialah Pencipta, dan sumber segala sesuatu yang ada, dan Dialah Pemelihara yang memerintah langit dan bumi serta segala isinya. Pada segala zaman Dia adalah Allah yang sama, takhta-Nya tegak sejak dahulu kala, Penjaga yang tidak akan terlelap (Mzm. 121:3; 93:2). Demikianlah Allah kita! Allah yang abadi adalah tempat perlindungan kita, dan lengan-Nya yang kekal menopang kita. (Ul. 33:27; bnd. Yes. 57:15; Mzm. 103:18).
Karena itu patutlah kita memuji Dia bersama dengan Rasul Paulus: ”Hormat dan kemuliaan sampai selama-lamanya bagi Raja segala zaman, Allah yang kekal, yang tidak tampak dan yang esa! Amin” (1Tim. 1:17).
Tidak terpahami
Di hadapan keagungan Allah, kita manusia, patut merendahkan diri. Kita perlu selalu insaf bahwa Allah ialah Allah yang Mahatinggi, dan kita adalah manusia. Tidak mungkin kita dapat memahami kedalaman Allah. Allah ada di surga, dan kita adalah ciptaan tangan-Nya yang hidup di bumi. Tidak ada yang mengetahui isi hati Allah selain Roh Allah sendiri ( 1Kor. 2:11). Ikan di laut tidak memiliki pengetahuan mengenai kehidupan burung elang, dan pada burung elang itu hanya ada pengetahuan mengenai kehidupan sebagai burung di udara. Ikan di laut dan burung di udara hanya mempunyai pengetahuan mengenai ruang lingkup mereka masing-masing. Demikian pula manusia, tidak dapat menyelami Allah yang kekal, yang tidak terhingga. Keadaan Allah, pemikiran-Nya, keputusan-Nya, perbuatan-Nya, tidak terpahami dan terlalu dalam bagi kita (Ayb. 36:26). Lebih baik kita mengakui ketidaktahuan kita daripada kita nekat berspekulasi mengenai Allah. Lebih baik kita mengagumi daripada bernalar, lebih baik kita percaya kepada-Nya daripada berdiskusi tentang Dia. Karena Allah ”akan membinasakan hikmat orang-orang berhikmat dan kearifan orang-orang bijak akan Kulenyapkan” (1Kor. 1:19).
Pengakuan ini melenyapkan segala kesombongon kita manusia. Dalam kitab Ayub, Ayub dan sahabat-sahabatnya, masing-masing berusaha menjelaskan apa yang menyebabkan Allah menyusahkan Ayub. Kita manusia selalu mencari tahu sebab dari segala akibat, dan dengan cepat juga mempersalahkan Allah. Tetapi siapakah kita sebenarnya, sehingga kita dapat dan berani membantah Allah, dan berkata: Engkau telah berbuat curang! (Rm.9:20, Ayb 36:23) Bagaimana mungkin kita dapat memahami hakikat Allah, atau menyelami batas-batas kekuasaan Yang Mahakuasa? Tingginya seperti langit, dan dalamnya melebihi dunia orang mati (Ayb 11:7-9).
Dengan pengakuan ini, kita berdiri sebagai anak-anak di hadapan Bapa.
Seorang anak tidak mengerti segala sesuatu yang diperbuat oleh bapaknya dan tidak mampu memandang kehidupan bapaknya secara menyeluruh. Namun, Si Anak mengenalnya sebagai bapak, dan bergaul dengannya secara akrab, berharap dan percaya kepadanya dan mengagungkannya. Dengan sikap yang sama kita menyerahkan diri kepada Allah, walaupun kita tidak mengenal-Nya secara menyeluruh, dan kita menyembah kepada-Nya.
Tidak kelihatan (invisibilitas Dei)
Tidak seorang pun yang pernah melihat Allah (Yoh. 1:18). Dia telah menyatakan diri-Nya melalui penglihatan dan mimpi, bahkan menampakkan diri-Nya dalam rupa manusia dan malaikat. Tetapi semuanya itu merupakan penyesuaian Allah terhadap daya tangkap dan batas pikiran manusia, karena Dia ingin bergaul dan berkomunikasi dengan manusia. Wajah-Nya tidak pernah dilihat manusia. Ketika Musa ingin melihat kemuliaan Allah, Allah mengatakan kepadanya: ”Engkau tidak tahan memandang wajah-Ku, sebab tidak ada orang yang memandang Aku dapat hidup” (Kel. 33:20). Allah tidak diam dalam ciptaan-Nya, tetapi bersemayam dalam terang yang tidak terhampiri (Kis. 17:24; 1Tim. 6:16).
Karena itu, Allah melarang keras bangsa Israel menyembah kepada-Nya melalui patung dalam rupa apa pun, baik yang ada di langit maupun di bumi. Bangsa-bangsa yang menggunakan patung-patung sebagai gambaran dewadewi, berusaha untuk menurunkan dewa-dewi itu ke dalam lingkungan hidup manusia di dunia ini. Menurut pikiran mereka, dengan cara itu mereka dapat menguasai dewa-dewi itu agar mereka melayani kebutuhan manusia. Tetapi kita tidak berdoa kepada Allah dengan menggunakan patung, karena Allah itu Roh dan siapa menyembah Dia, harus menyembah-Nya dalam roh dan kebenaran (Yoh. 4:24).
Memang ada satu gambar Allah yang benar, yaitu Yesus Kristus, yang adalah gambar Allah yang tidak kelihatan (Kol. 1:15). Artinya, di dalam diri Yesus, Allah menjadi kelihatan di bumi ini (Yoh 14:9; bnd keterangan lanjut di paragraf 2.7). Sebenarnya tidak ada jalan lain untuk melihat Allah kecuali melalui Yesus Kristus. Dialah yang mengenal Allah, karena Dialah yang ada di pangkuan Bapa, dan Dialah yang telah menyatakan-Nya kepada kita manusia (Yoh. 1:18).
Frasa ”melihat Bapa” itu tidak hanya mengenai melihat dengan mata kepala, tetapi mengenai segala pengenalan akan Allah. Sekalipun kita berusaha sekuat mungkin, di luar Kristus, Allah tidak akan menjadi kelihatan bagi kita. Kita patut memuji kemuliaan-Nya dengan rendah hati dan dengan menunjukkan rasa hormat kepada-Nya, dengan menantikan zaman Allah menciptakan langit dan bumi yang baru. Barulah pada saat itu kita akan melihat Allah (Mat. 5:8), dan pengertian kita akan diperluas dan diperkaya, sehingga pengenalan kita akan sempurna (1Kor. 13:12). Namun, kesempurnaan pengetahuan itu tetap dalam ukuran manusia, karena manusia tidak akan diper-Allah-kan. Kita akan tetap bergantung pada penyataan Allah.
Bagi orang percaya, pengharapan terhadap masa depan itu memberi penghiburan besar karena mereka akan memandang wajah-Nya dan puas melihat rupa-Nya! (Mzm. 17:15).
Tidak berubah-ubah (immutabilitas Dei)
Kalau kita berbicara tentang Allah yang tidak berubah-ubah, kata itu tidak mengenai keberadaan Allah, tetapi mengenai perbuatan-perbuatan-Nya dan mengenai firman-Nya. Kehendak-Nya dan keputusan-keputusan-Nya tidak akan pernah berubah karena Allah tetap berpegang pada rancanganNya; segala sesuatu dikerjakan-Nya menurut keinginan dan keputusan-Nya sendiri (Ef. 1:11). Dialah Allah yang setia pada perjanjian-Nya, yang menepati janji-janji-Nya, yang mendatangkan berkat dan kutuk menurut apa yang difirmankan-Nya. Dia tidak berubah-ubah, kesetiaan-Nya tidak goyang (bnd. Za. 8:14-15, Yes. 46:10-11, Ul. 32:3-4).
Dalam hal itu, Allah kita jauh berbeda dengan dewa-dewibangsa-bangsa, yang bersifat angin-anginan, yang lidahnya tidak bertulang, dan yang kelakuannya kacau.
Selain itu immutabilitas Allah itu jauh berbeda dengan sikap kita manusia, yang biasa mengubah kebijakannya dan yang selalu perlu meninjau kembali keputusannya. Kita sering perlu menyesuaikan pandangan kita karena telah memperoleh pengertian yang baru. Apa lagi, kita sering tidak menepati janji, bahkan dengan sengaja menipu sesama manusia kita.
Sebaliknya, apa yang difirmankan Allah, selalu tetap dan benar, dan dapat dipercaya, karena Allah tidak berubah-ubah. Kesetiaan-Nya itu diumpamakan dengan matahari yang tetap terbit tiap-tiap hari, dan dengan bulan yang ada selama-lamanya (Mzm. 89:34-37). Allah tidak pernah menarik kembali apa yang telah difirmankan-Nya, dan tidak akan menyesali anugerah dan panggilan-Nya (Rm.11:29). Dia adalah Allah yang kekal, yang memandang segala sesuatu di langit dan di bumi secara menyeluruh. Dia tidak akan pernah dikejutkan oleh perkembangan yang tidak terduga. Dia tidak perlu menyesuaikan rencana-Nya karena memperoleh pengertian yang lebih dalam. Dan Dia adalah Allah yang benar, yang pada-Nya sama sekali tidak ada kegelapan (1Yoh. 1:5): Dia tidak menipu, dan tidak perlu memaafkan diri karena kekeliruan, dan tidak perlu menyesal karena sudah berbuat salah.
Beberapa kali di dalam Alkitab kita mendengar mengenai Allah yang menyesal. Misalnya, pada zaman Nuh, Allah menyesal telah menjadikan manusia di bumi karena Dia melihat kejahatan mereka (Kej. 6:5-6). Dan ketika Raja Saul berbalik dari Tuhan dan tidak melaksanakan perintah-Nya, Allah menyesal telah mengangkat Saul menjadi raja (1Sam. 15:11, 35). Dan pada kesempatan lain Allah mengubah rencana-Nya karena Dia mengabulkan doa manusia. Atas doanya, Raja Hizkia disembuhkan Allah, dan umurnya ditambahkan-Nya 15 tahun lagi (2Raj. 20:5-6). Dan ketika Raja Manasye yang jahat bertobat dari dosanya dan merendahkan dirinya di hadapan Allah, maka Allah mendengarkan doanya dan membawanya kembali ke Yerusalem dan memulihkan kedudukannya sebagai raja (2Taw. 33:12-13).
Ternyata Allah juga dapat menyesal, dan dapat mengubah rencana-Nya melihat kelakuan manusia atau mendengar doanya. Hanya, penyesalan-Nya itu jauh berbeda dengan penyesalan manusia. Manusia biasa menyesal karena telah berbuat salah, atau karena telah berlaku terburu nafsu. Tetapi Allah tidak seperti manusia yang gampang menyesal dan suka berdusta (Bil. 23:9; 1Sam. 15:29). Kalau Allah menyesal itu bukan karena telah berbuat salah sehingga perlu bertobat. Dia menyesal karena manusia yang berubah-ubah. Dia sendiri tetap berpegang pada ketetapan-ketetapan perjanjian-Nya dengan tidak berubah-ubah. Ucapan ”Allah menyesal” selalu harus dilihat dalam konteks pergaulan Allah dengan bangsa-Nya atas dasar perjanjian-Nya.
Allah tidak berubah-ubah. Tetapi Dia bukan semacam batu yang dingin yang tidak terharu dan tidak beremosi. Dia bukan Allah yang tidak terpengaruh, yang bersikap kaku, yang tidak perduli dan yang tidak kenal ampun. Sebaliknya, berulang kali kita mendengar bahwa hati-Nya pilu. Dia adalah Allah perjanjian, yang prihatin terhadap bangsa-Nya, yang bersukacita karena bangsa-Nya dan yang berduka dan murka karena perbuatan mereka, tetapi yang juga mengabulkan doa mereka.
Pengakuan tentang Allah yang tidak berubah-ubah merupakan penghiburan besar bagi kita. Karena Allah yang dapat menyesal adalah Pengasih dan Penyayang, yang panjang sabar dan berlimpah kasih setia serta yang menyesal karena malapetaka yang hendak didatangkan-Nya (Yun. 3:4, 4:2). Allah yang menyesal adalah Allah yang tetap setia, yang tidak akan melupakan segala firman-Nya. Orang yang percaya kepada-Nya tidak akan dikecewakan (Mzm. 25:3). Rencana-Nya tetap selama-lamanya, dan rancangan hati-Nya turun-temurun (Mzm. 33:11). Tidak satu makhluk pun di bumi atau di surga dapat mengubahnya atau meniadakannya.
Tidak terhingga (omnipraesentia Dei)
Pada waktu berbicara mengenai Allah yang kekal, kita sudah melihat bahwa Allah tidak terikat pada waktu. Demikian juga Dia tidak dibatasi oleh ruang atau tempat: Dialah Allah yang tidak terhingga. Sebagaimana Dia menciptakan waktu, Dia menciptakan dunia yang terdiri dari tiga dimensi; tetapi Dia sendiri tidak terkurung oleh waktu, demikian juga Dia tidak dibatasi oleh ketiga dimensi itu. Bagi kita manusia, hal itu sulit dibayangkan: kita selalu berada pada waktu tertentu dan di tempat tertentu. Tetapi Allah adalah kekal dan mahahadir. Kebesaran Allah itu tidak mungkin dapat dimengerti oleh manusia (Mzm. 145:3).
Dewa-dewi yang disembah oleh bangsa dan suku dunia, selalu terikat pada wilayah tertentu. Misalnya, Refafu, dewa Suku Kombai di Papua Selatan, disembah anggota-anggota suku tersebut, yang mengenalnya dan menjaga tempat kediamannya di hulu sungai Murup. Tetapi, suku-suku yang bersebelahan menghormati dewa-dewa lain, seperti Farapera (Suku Citak) dan Tomalup (Suku Mandobo) dan lain sebagainya. Masing-masing dewa itu ”berkuasa” di wilayahnya sendiri.
Tidak mengherankan bila pada zaman Perjanjian Lama, bangsa-bangsa lain memandang Allah Israel sebagai allah setempat, allah gunung, yang kuasanya terbatas pada tempat dan wilayah bangsanya, sama halnya dengan allah bangsa-bangsa lain (1Raj. 20:23; 2Raj.18:34). Kekeliruan itu dapat dimengerti melihat ciri-ciri agama orang Israel pada zaman itu. Ibadah kepada Yahwe ternyata terbatas pada bangsa Israel. Rupanya tempat-tempat tertentu memainkan peran istimewa dalam perjumpaan Allah dengan bangsa-Nya: kemuliaan Allah turundi Gunung Sinai (Kel. 19:11), dan memenuhi Kemah Suci (Kel. 40:34) dan tempat kudus Bait Allah (1Raj. 8:10). Di Kanaan Allah memilih salah satu tempat dari segala suku Israel sebagai kediaman-Nya untuk menegakkan nama-Nya di sana, yaitu Yerusalem, gunung-Nya yang kudus (Ul. 12:5; Mzm. 2:6; Yes. 11:9; 66:20). Tabut Perjanjian Tuhan merupakan pusat kehadiran Allah di tengah-tengah bangsa-Nya. Baik orang Israel maupun bangsa-bangsa lain pernah menggunakan tabut perjanjian itu sebagai alat untuk memanipulasi kehadiran Allah: dengan membawanya ke perkemahan, orang Israel mencari kepastian pertolongan-Nya dalam peperangan; dan dengan merampoknya, orang Filistin merasa telah menangkap Allah.
Tetapi Allah orang Israel, Allah kita, tidak terhingga. Dia berkuasa di Mesir dan mengalahkan dewa-dewi bangsa itu (Kel. 12:12). Dia membuktikan kepada orang Aram bahwa Dia bukan Allah yang hanya berkuasa di pegunungan, tetapi di dataran rendah juga (1Raj. 20:28). Dia mengutus Nabi Yunus ke kota Ninewe agar masyarakat kota itu mengakui kuasa-Nya. Segala bangsa di bumi harus mengenal nama-Nya karena Dialah yang memiliki segala bangsa (1Raj. 8:43; Mzm. 117; Mzm. 82:8). Yahwe bukan Allah Israel, bukan juga Allah orang Barat, melainkan Allah seluruh bumi, dan Yesus adalah keselamatan bagi segala bangsa (Luk. 2:29-32; Why. 15:4).
Alkitab sering mengatakan bahwa Allah ada di surga. Dan kalau kita berdoa, atas pesan Yesus Kristus kita menghadap ”Bapa kami yang di surga” (Mat. 6:9). Itu tidak berarti bahwa Allah terkurung oleh ruang surga itu. Raja Salomo sudah mengakui bahwa langit, bahkan langit yang mengatasi segala langit pun, tidak dapat memuat Allah (1Raj. 8:27). Dan Allah sendiri menyatakan diri sebagai Allah yang bersemayam di langit dengan bumi sebagai tumpuan kaki-Nya (Yes. 66:1; bnd. Kis. 7:48-50; 17:24).
Pengakuan bahwa Allah berada di surga itu tidak merupakan keterangan tempat kediaman-Nya, tetapi berusaha menumbuhkan kerendahan hati: Allah adalah di surga, dan kita berada di bumi, jadi patutlah kita berhemat dengan kata-kata kita (Pkh. 5:2). Tiap tempat di bumi dan di surga penuh dengan kehadiran-Nya, sehingga percuma saja orang yang berdosa (mulai dari Adam dan Hawa) mencoba menyembunyikan diri dari pandangan-Nya, karena Dia memenuhi langit dan bumi (Yer. 23:24). Itu sebabnya Paulus mengatakan bahwa Allah tidak jauh dari kita masing-masing (Kis. 17:28). Dia ada di manamana.
Kesadaran akan kehadiran Allah di mana-mana tempat, memberi penghiburan besar kepada kita orang yang percaya. Allah yang Mahatinggi dan yang Mahamulia, yang bersemayam di surga, juga tinggal bersama-sama orang yang remuk dan rendah hati. Dia menghidupkan semangat mereka! (Yes. 57:15). Allah yang besar itu menyertai kita; di mana saja kita pergi, tidak ada tempat yang di luar jangkauan-Nya, sehingga entah kita tidur atau bangun, bekerja atau istirahat, bergembira atau berduka, kita selalu boleh merasa aman dan terlindung oleh kehadiran Allah. Dia selalu dekat untuk menolong, menghibur, dan melindungi.
Mahakuasa (omnipotentia Dei)
Allah selalu dekat untuk menolong orang yang berharap kepada-Nya dan Dia selalu sanggup untuk menolong. Tidak ada apa pun juga yang dapat mengatasi kemampuan-Nya. Kekuasaan-Nya tidak terbatas. Hal itu nyata dari segala pekerjaan-Nya. Dialah yang telah menjadikan langit dan bumi dengan kekuatan-Nya yang besar: tidak ada sesuatu pun yang mustahil bagi Dia! (Yer. 32:17). Tidak ada yang dapat disamakan dengan Allah, karena Dialah yang menakar air laut dengan lekuk tangannya dan mengukur langit dengan jengkal, menyukat debu tanah dengan takaran, menimbang gunung-gunung dengan dacing, atau bukit-bukit dengan neraca! (Yes. 40:12). Ketika Allah menyatakan Diri-Nya kepada Abram, Dia memperkenalkan Diri-Nya sebagai Allah yang Mahakuasa, El Syadai (PL), pantokratoor (PB) - (bnd. par. 3: El, Elohim; theos).
Dialah yang menguasai matahari dan bulan, dan yang atas doa Yosua, menghentikan gerak matahari dan bulan (Yos. 10:12-14). Dialah yang berkuasa atas kehidupan manusia, dan yang atas doanya menambah umur Raja Hizkia 15 tahun lagi (2Raj. 20:6). Dia menguasai Iblis hingga si penggoda itu tidak dapat bergerak di luar kehendak-Nya dan tidak dapat membunuh Ayub (Ayb 1:12, 2:6). Dia dapat merobohkan segala rencana manusia dan menjatuhkan setiap kuasa yang menentang-Nya, sehingga Bileam tidak dapat mengutuki bangsa Israel, sebaliknya memberkatinya (Bil. 22-24).
Kekuatan-Nya yang tidak terbatas itu paling nyata di Golgota. Di kayu salib kuasa Allah tidak langsung kelihatan bagi mata manusia karena Kristus menderita dan mati seperti seorang yang tidak berdaya. Tetapi, justru dalam peristiwa itu, kuasa ilahi menjadi nyata, yang mengerjakan pendamaian! Dalam Kristus, Dia telah mengalahkan Iblis. Selain itu, di dalam Kristus menjadi nyata bahwa kekuatan Allah yang tidak terbatas adalah kekuatan kasih-Nya yang besar. Itu sebabnya Apostolicum (Pengakuan Iman Rasuli) mengakui-Nya sebagai Bapa yang Mahakuasa.
Kekuatan-Nya yang tidak terbatas bukan berarti bahwa Allah dapat melakukan apa saja; kekuatan-Nya tidak Dia pakai dengan sewenang-wenang. Dia tidak dapat berdusta, dan tidak dapat menyangkal diri-Nya: Allah tetap setia kepada Diri-Nya sendiri (Bil. 23:19; 2 Tim. 2:13). Kekuatan-Nya dikuasai oleh kehendak-Nya: Dia dapat melakukan apa yang dikehendakiNya. Tetapi Dia tidak dapat membebaskan orang yang bersalah dari hukuman (Bil. 14:18).
Banyak orang tidak mengakui kekuatan Allah karena tidak dapat langsung melihat dalam peristiwa-peristiwa yang terjadi di dunia dan di dalam kehidupan pribadi. Jika benar bahwa Allah Mahakuasa, mengapa Dia membiarkan pembunuhan-pembunuhan besar, seperti yang terjadi di Jerman pada Perang Dunia II, dan seperti pada masa kini, peperangan antarsuku yang berlangsung di Rwanda dan Kongo, di Timur Tengah antara Israel dan Hamas? Mengapa Dia membiarkan tsunami terjadi, dan tidak menghalangi Aids menelan sekian banyak korban di seluruh dunia?
Namun bagi orang percaya, kenyataan itu bukan merupakan alasan untuk meragukan kekuatan-Nya yang tidak terbatas. Sebaliknya, bagi mereka, pengakuan itu merupakan dukungan kuat, baik pada masa hidup maupun pada waktu mati. Allah yang berdaulat menentukan kehidupan tiap-tiap orang, yang baik maupun yang jahat. Itulah dasar harapan kita: Dialah yang telah menjadikan langit dan bumi dengan kekuatan-Nya yang besar dan dengan lengan-Nya yang terentang tiada suatu apa pun yang mustahil untuk Dia! (Kej. 18:14) Dan Allah yang Mahakuasa itu menunjukkan kasih setia-Nya kepada kita! (Yer. 32:17-19). Terpujilah Allah, karena Dia dahsyat dari dalam tempat kudus-Nya, dan mengaruniakan kekuasaan dan kekuatan kepada umat-Nya! (Mzm. 68:34-35).
Berhikmat sempurna (sapientia Dei)
Hikmat dan kebijaksanaan berlandaskan pengetahuan. Hikmat sempurna berlandaskan pengetahuan yang sempurna juga. Artinya, Allah yang berhikmat sempurna adalah Allah yang Mahatahu. Itu sebabnya di beberapa tempat, hikmat dan pengetahuan Allah disebut secara sejajar. Pada kita manusia, pengetahuan tidak selalu berarti bahwa ada hikmat juga: kadang-kadang ada orang yang mempunyai pengetahuan yang dalam, namun tidak berhikmat. Itu sebabnya kita manusia selalu membutuhkan orang yang memberi saran-saran. Tetapi Allah tidak perlu penasihat untuk bertanya agar mendapat pengetahuan dan pengertian (Yes. 40:13,14; bnd. 1Kor. 2:16). Kebijaksanaan-Nya tidak terhingga (Mzm. 147:5).
Hikmat Allah pertama-tama nyata dalam penciptaan dan pemeliharaan dunia, karena semuanya dijadikan-Nya dengan bijaksana (Mzm. 104:24; bnd. Yer. 10:12). Di mana saja kita lihat, dan apa saja yang kita selidiki, kita akan selalu takjub atas kehebatan, keindahan, dan keelokan semua pekerjaan tangan-Nya. Entah apakah kita menyelidiki hal-hal yang paling kecil melalui mikroskop, atau memandang kedalaman angkasa luar, setiap kali kita akan heran melihat betapa bagus dan besarnya karya-karya Sang Pencipta (Mzm. 92:5).
Melihat hal itu, patutlah kita manusia bersama dengan Ayub menutup mulut kita dengan tangan, daripada kita menggelapkan keputusan dengan perkataan-perkataan yang tidak berpengetahuan: kita terlalu hina di depan Allah yang besar itu (Ayb. 38:2, 42:3; Mzm. 139:6). Hikmat Allah itu jauh melebihi pengertian manusia. Siapa yang mau mengakui ketidakmampuannya dan tidak mengindahkan batas penyataan Allah mengenai hikmat-Nya dalam segala perbuatan-Nya, akan silau memandang sinar terang-Nya yang tidak terhampiri (1Tim. 6:16; bnd Calvin, Institusio XLIX 230-231). Tak mungkin kita manusia dapat menguraikan hikmat Allah sampai ke dasarnya. Melihat hikmat-Nya yang tidak terselidiki itu, kita harus menahan keingintahuan kita dan menaikkan pujian dan syukur kepada-Nya!
Hikmat Allah dinyatakan juga dalam pekerjaan-pekerjaan-Nya dalam sejarah keselamatan. Secara khusus hikmat-Nya nyata dalam Yesus Kristus, yang disebut ”kekuatan Allah dan hikmat Allah” ( 1Kor. 1:24), sebab ”di dalam Dialah tersembunyi segala harta hikmat dan pengetahuan” (Kol. 2:3).
Allah yang berhikmat sempurna memberi hikmat kepada bangsaNya; sebenarnya tidak ada sumber lain untuk memperoleh hikmat: dari Dialah manusia mendapat pengetahuan dan pengertian (Ams. 2:6). Yakobus mendorong orang yang kekurangan hikmat untuk memintanya dari Allah (Yak. 1:5; bnd. Ef. 1:17). Sumber segala hikmat dan pengertian adalah Kitab Suci (2Tim. 3:15).
Allah yang berhikmat sempurna adalah Allah yang Mahatahu. Tidak satu makhluk pun yang tersembunyi dari pandangan-Nya: segala sesuatu telanjang dan terbuka di depan mata-Nya (Ibr. 4:13). Dialah yang meyelidiki seluruh batin manusia, dan kepada setiap orang Dia akan membalas menurut tingkah lakunya (Yer. 17:9-10). Bagi orang yang bersalah, pengetahuan Allah itu mengejutkan, karena Allah melihat dosa-dosa mereka (Yer. 16:17). Dalam nyanyian pujiannya, Hana menasihati orang yang berkata sombong dan yang mencaci maki, karena Allah yang Mahatahu menguji perbuatan-perbuatan manusia (1Sam. 2:3).
Tetapi sebaliknya bagi orang yang percaya, pengetahuan itu merupakan penghiburan besar, karena Dia mengenal orang-orang milik-Nya (2 Tim. 2:19). Allah yang Mahatahu adalah Bapa yang mengetahui apa yang kita perlukan (Mat. 6:32). Itu sebabnya ketenangan batin Daud adalah dalam Allah yang Mahatahu, sehingga ia bermazmur:
”Tuhan, Engkau menyelidiki dan mengenal aku; Engkau mengetahui, kalau aku duduk atau berdiri, Engkau mengerti pikiranku dari jauh. Engkau memeriksa aku, kalau aku berjalan dan berbaring, segala jalanku Kaumaklumi. Sebab sebelum lidahku mengeluarkan perkataan, sesungguhnya, semuanya telah Kauketahui, ya Tuhan. Engkau mengelilingi aku dari segala penjuru, dan Kaulindungi aku dengan kuasa-Mu. Terlalu dalam bagiku pengetahuanMu itu, tidak terjangkau oleh pikiranku” (Mzm. 139:1-6).
Mahaadil (iustitia Dei)
Dalam doanya demi bangsa Israel, Nabi Daniel mengakui bahwa segala malapetaka yang dialami bangsa Israel di dalam pembuangan sebenarnya merupakan hukuman atas ketidaksetiaan mereka. Dalam sengsara itu nyatalah keadilan Allah dalam segala perbuatan yang dilakukan-Nya (Dan. 9:13-14). Dengan demikian ia menghubungkan pengakuan tentang Allah yang adil dengan Allah sebagai Hakim yang membalas kesalahan manusia. Demikian juga halnya misalnya dalam Mazmur 129:4: ”Tuhan itu adil, Ia memotong tali-tali orang fasik.”
Dalam dunia ini sering terjadi bahwa orang jahat hidup dalam kebahagiaan dan mati dengan damai, sedangkan orang yang percaya mengalami berbagai kesusahan. Melihat hal itu, orang sering mengeluh bahwa Allah itu tidak adil. Tetapi wajar kalau Paulus dengan kuat menolak pikiran itu: ”Apakah Allah tidak adil? Mustahil!” (Rm. 9:14) Akhirnya Allah akan meluruskan segala sesuatu. Keyakinan itu merupakan dasar seruan jiwa-jiwa yang ada di bawah mezbah dalam penglihatan Yohanes: ”Berapa lamakah lagi, ya Penguasa yang kudus dan benar, Engkau tidak menghakimi dan tidak membalaskan darah kami kepada mereka yang tinggal di bumi?” (Why. 6:10). Dan ketika amarah Allah dituang ke bumi, terdengar suara dari mezbah itu yang berkata: ”benar dan adil segala penghakiman-Mu!” (Why. 16:5-7; bnd. 2 Tes. 1:5-8).
Tetapi yang lebih utama dalam keadilan Allah adalah kebenaran-Nya:
Dia setia terhadap apa yang difirmankan-Nya. Kata Yunani dikaiosunè dapat diterjemahkan dengan ”kebenaran” atau ”keadilan”. Allah adalah adil dan benar karena Dia memperlakukan kita sesuai dengan firman-Nya.
Allah yang adil melindungi umat kesayangan-Nya karena Dia pengasih dan adil, penuh belas kasihan (Mzm. 116:5). Kasih-Nya tidak bertentangan dengan keadilan-Nya, sebaliknya, kasih dan keadilan Allah selalu saling terikat. Bila Dia memberi hukuman, itu selalu berdasarkan ketetapan janji-Nya dengan bangsa-Nya. Allah yang adil adalah Allah yang menyelamatkan. Dalam Yesaya 46, Allah berjanji kepada bangsa-Nya bahwa ”Keselamatan yang dari pada-Ku tidak jauh lagi, sebab Aku telah mendekatkannya dan kelepasan yang Kuberikan tidak bertangguh lagi; Aku akan memberikan kelepasan di Sion dan keagungan-Ku kepada Israel” (Yes. 46:13). Kata pertama dalam ayat ini (bhs. Ibr.: tsedaqa) berarti ”keadilan”, ”kebenaran”, dan salah diterjemahkan dengan ”keselamatan”. Dalam nas ini ”keadilan” dan ”kelepasan” disejajarkan. Sama halnya dalam kitab Mazmur: ”Tuhan telah memperkenalkan keselamatan yang dari pada-Nya, telah menyatakan keadilan-Nya di depan mata bangsabangsa” (Mzm. 98:2). Bagi kita yang percaya, Allah yang adil bukan Allah yang menakutkan, melainkan Allah yang memberi harapan karena keadilan-Nya adalah seperti gunung: Dia menyelamatkan manusia (Mzm. 36:6; bnd Ul. 32:4).
Pengampunan pun berdasarkan keadilan Allah. Keadilan-Nya juga menyebabkan pengampunan: karena Dia adalah setia dan adil maka atas pengakuan dosa Dia akan membersihkan kita dari perbuatan kita yang salah (1Yoh. 1:9). Anugerah itu diberikan berdasarkan karya Yesus Kristus, yang dengan kematian-Nya telah memenuhi segala tuntutan hukum dan keadilan Allah, sehingga Dia dinamakan ”Tunas adil bagi Daud” dan ”Tuhan–keadilan kita” (Yer. 23:5-6; BIMK: ”Tuhan keselamatan kita”).
Demikianlah keadilan Allah merupakan pengharapan kita. Dialah yang menyelamatkan kita oleh karena keadilan-Nya. Itu merupakan dasar doa orang yang berseru kepada-Nya dari kesengsaraan mereka: ”Lepaskanlah aku dan luputkanlah aku oleh karena keadilan-Mu, sendengkanlah telinga-Mu kepadaku dan selamatkanlah aku!” (Mzm. 71:2; bnd. 26:1; 31:2; 43:1).
Mahabaik (bonitas Dei)
”Tak seorang pun yang baik selain Allah,” jawab Yesus kepada orang yang menyapa-Nya dengan ”Guru yang baik” (Mrk. 10:18; bnd. Mat. 19:17). Hanya Allah yang baik secara sempurna. (Mzm. 136:1).
Kebaikan-Nya itu nyata dalam pemeliharaan-Nya atas segala ciptaan:
Dia yang menumbuhkan rumput untuk hewan, dan bagi manusia segala macam tanaman (Mzm. 104: 14; bnd Yun. 4:11). Kebaikan dan rahmat Allah itu menyinari semua orang (Mzm. 145:9), dan kejahatan manusia tidak mencegah-Nya untuk menunjukkan kebaikan-Nya kepada mereka: walaupun bangsa-bangsa itu hidup menurut kemauan mereka sendiri, Allah tetap memberi bukti-bukti tentang diri-Nya, dengan menerbitkan matahari, dengan memberikan hujan dari langit dan hasil tanah pada musimnya, dengan memberikan makanan dan segala sesuatu yang menyenangkan hati manusia (Kis. 14:16-17; Mat. 5:45).
Kebaikan Allah bersinar secara khusus atas mereka yang bersih hatinya (Mzm. 119:68; 73:1). Dia mengasihi bangsa-Nya, dan ingat akan janji-Nya untuk menyelamatkannya (1Taw. 16:34). Hati-Nya penuh dengan rahmat dan belas kasihan sehingga tergerak oleh kesusahan orang kepunyaan-Nya (Luk. 1:78). Dalam kebaikan-Nya, Allah itu panjang sabar, dan masih memberi kesempatan serta menantikan kita bertobat (2Ptr. 3:9). Paling nyata adalah kebaikan Allah dalam kasih karunia-Nya, yang Dia anugerahkan bagi kita di dalam Kristus, sebab di dalam Dia kita beroleh ”penebusan oleh darah-Nya, yaitu pengampunan dosa, menurut kekayaan anugerah-Nya” (Ef. 1:6-7).
Segala kebaikan Allah diberikan kepada manusia agar kita menggunakannya untuk melayani sesama kita dengan syukur dan pujian kepada Allah. Sama seperti Allah yang baik hati terhadap orang yang tidak tahu berterima kasih dan terhadap orang jahat, demikian pula kita, haruslah kita menunjukkan kasih setia terhadap semua orang, bahkan terhadap mereka yang memusuhi kita (Luk. 6:35). Sering kali mata manusia tertutup sehingga mereka tidak melihat kebaikan Allah yang menyinari mereka. Tetapi, orang yang dikasihiNya menikmati kebaikan Allah dengan bergembira dan bersyukur, katanya: ”Kecaplah dan lihatlah, betapa baiknya Tuhan itu! Berbahagialah orang yang berlindung pada-Nya!” (Mzm. 34:8; bnd. 1Ptr. 2:3).
Kebaikan Allah itu adalah sumber kehidupan bagi semua makhluk (Mzm. 36:9). Sumber itu tidak akan pernah kering, dan sungai kesenangan-Nya mengalir lebar dan dalam. Kebaikan Allah berlimpah-limpah. Segala sesuatu yang baik berasal dari surga, dan diturunkan oleh Allah, Pencipta segala terang di langit (Yak. 1:17).
Ciptaan-Nya itu sungguh amat baik (Kej. 1:31). Ketetapan-ketetapanNya pun semua benar dan baik (Rm. 7:12). Di samping itu pekerjaan-Nya di dalam kehidupan kita adalah baik (Flp. 1:6). Kalau kita minum dari sumber kehidupan ini, air itu menjadi mata air di dalam diri kita yang memancar keluar dan memberikan hidup yang kekal (Yoh. 4:14). Dan di bumi yang baru kita akan dipenuhi dengan air itu, sesuai dengan firman Allah kepada Yohanes: ”Orang yang haus akan Kuberi minum dengan cuma-cuma dari mata air kehidupan” (Why. 21:6). Tetapi orang yang meninggalkan-Nya, akan menjadi malu dan lenyap (Yer. 17:13; bnd 2:13).
Oleh sebab itu, biarlah segala yang bernafas memuji Tuhan! ”Sebab Tuhan itu baik, kasih setia-Nya untuk selamalamanya, dan kesetiaan-Nya tetap turun-temurun” (Mzm. 100:5).
Keunikan Allah patut diakui, disembah, dan dipuji dengan sukaria.
Orientasi
Dewasa ini ibadah agama-agama suku makin kurang berperan dalam kehidupan sosial masyarakat. Pengaruhnya dimarginalkan akibat perkembangan dunia modern, sebagian besar penganutnya hanyalah orang-orang tua di daerahdaerah terpencil yang belum terjangkau oleh peradaban.
Namun, perlu kita sadari bahwa penyembahan berhala tidak terbatas pada kekafiran zaman Perjanjian Lama (Baal, Astarte, dan lain sebagainya) dan Perjanjian Baru (Artemis, Zeus, Hermes), atau pada agama-agama suku dan animisme sekarang ini (seperti di pedalaman Papua). Di dalam kebudayaan modern juga terdapat penyembahan berhala, yang pada dasarnya tidak berbeda dengan melakukan ritual adat-istiadat oleh penganut agama suku. Entah apakah kita membawa kurban kepada dewa-dewi, dan mengharapkan perlindungan dari nenek moyang yang sudah meninggal, atau menjadikan peningkatan, kemajuan, seksualitas, ilmu kedokteran, uang, atau salah satu ideologi (mis. komunisme, nasionalisme) menjadi tempat kepercayaan kita, sebenarnya semuanya itu sama saja. Baik penganut agama suku di hutan, di pedalaman, maupun anggota masyarakat kota besar, berusaha untuk menjauhkan segala sesuatu yang dapat merusakkan kehidupan kita: kesakitan, kelaparan, atau kecelakaan. Yang satu menggunakan ilmu sihir, tenung, dan takhayul, yang lain menggunakan segala fasilitas kebudayaan modern. Tetapi jika usaha itu menjadi hal yang menentukan dan yang menguasai seluruh kehidupan kita, sebenarnya kita sudah mengesampingkan Allah yang Esa untuk menggantiNya dengan salah satu sumber kemakmuran dan kebahagiaan yang lain.
Perkataan Yesus bahwa kita tidak mungkin mengabdi kepada Allah dan kepada mamon pada saat yang sama, masih sangat aktual. Hanya Allah sendirilah Penjamin kehidupan kita. Memang benar bahwa orang Kristen boleh memperoleh uang dan mencari pertolongan di rumah sakit, asal kita tetap sadar:
”Jikalau bukan Tuhan yang membangun rumah, sia-sialah usaha orang yang membangunnya; jikalau bukan Tuhan yang mengawal kota, sia-sialah pengawal berjaga–jaga. Sia-sialah kamu bangun pagi-pagi dan duduk-duduk sampai jauh malam, dan makan roti yang diperoleh dengan susah payah–sebab Ia memberikannya kepada yang dicintai-Nya pada waktu tidur” (Mzm. 127:1-2).
Kasih-Nya
Rasul Yohanes mengatakan bahwa Allah adalah kasih: ”Siapa tidak mengasihi, ia tidak mengenal Allah, sebab Allah adalah kasih” (1Yoh. 4:8, bnd. 16). Ucapan itu bukan definisi mengenai keberadaan Allah, namun mengungkapkan sesuatu yang paling dalam mengenai Allah dan sikap-Nya terhadap manusia.
Dalam Alkitab, kasih Allah dibandingkan dengan sayangnya orang tua terhadap anak-anaknya: kasih-Nya seperti kasih sayang seorang bapak kepada anaknya, dan seperti kasih seorang ibu terhadap bayinya (Mzm. 103:13; Yes. 49:15). Demikian juga dengan kasih seorang suami terhadap istrinya (Hos. 1–3 ). Tetapi sebenarnya kasih Allah jauh mengatasi contoh-contoh itu. Besar dan dalamnya kasih Allah tidak dapat diukur: ”kasih-Mu sampai ke langit, setia-Mu sampai ke awan” (Mzm. 36:5; bnd 40:10-11). Besarnya kasih Allah terhadap manusia nyata, karena Dia telah memberikan Diri-Nya sendiri kepada manusia pilihan-Nya. Dalam kasih setia-Nya yang besar, Dia mencari kita orang-orang yang berdosa, karena Dia ingin memenuhi kehidupan kita dengan kasih-Nya. Kasih-Nya itu tidak terbatas dan rela mengurbankan Diri: Dia mengutus Anak-Nya yang tunggal ke dalam dunia supaya kita memperoleh hidup melalui Anak-Nya itu! (1Yoh. 4:9-11; bnd. Rm. 5:8-10).
Kasih Allah adalah kasih yang berdaulat. Kita tidak mencari kasih-Nya baru Dia memberikan-Nya kepada kita, tetapi Dia sendiri yang memilih untuk memberikannya kepada orang-orang pilihan-Nya. Dia mengasihi mereka dengan sukarela (Hos. 14:4). Bangsa Israel dicintai dan dipilih Allah, bukan karena mereka lebih besar dari bangsa-bangsa lain, tetapi karena Dia mengasihi mereka (Ul. 7:7-8).
Allah membeda-bedakan kasih-Nya: Dia mengasihi Yakub, tetapi membenci Esau (Mal. 1:3). Namun, kasih Allah adalah kasih yang mengasihani:
Israel adalah anak kesayangan-Nya, anak tercinta, buah hati-Nya: ”tak dapat tidak Aku akan menyayanginya, demikianlah firman Tuhan” (Yer. 31:20).
Kekudusan-Nya
Kasih Allah tidak dapat dilepaskan dari kekudusan-Nya. Tuhan semesta alam adalah Allah yang Mahakudus (Yes. 6:3). Kekudusan Allah berarti bahwa Dia sama sekali berbeda dengan segala makhluk yang diciptakan: ”Aku ini Allah dan bukan manusia, Yang Kudus di tengah-tengahmu” (Hos. 11:9). Kemuliaan Allah yang kudus berhadapan dengan kefanaan segala makhluk, termasuk malaikat: para Serafim pun memuji kekudusan-Nya (Yes. 6:3).
Selanjutnya kekudusan Allah bertentangan dengan segala sesuatu yang berdosa. Siapakah yang dapat tahan di hadapan Allah yang suci itu? Diperhadapkan pada kekudusan Allah, Nabi Yesaya sadar akan keadaannya sebagai orang berdosa: ”Celakalah aku! aku binasa! Sebab aku ini seorang yang najis bibir, dan aku tinggal di tengah-tengah bangsa yang najis bibir, namun mataku telah melihat Sang Raja, yakni Tuhan semesta alam” (Yes. 6:5; bnd 1Sam 6:20). Allah itu terlalu suci untuk memandang kejahatan dan ketidakadilan (Hab. 1:12-13). Dosa membangkitkan murka-Nya yang menyala-nyala, sehingga Dia tidak dapat membiarkannya.
Namun, murka-Nya itu tidak bertentangan dengan kasih-Nya. Sebaliknya, justru dalam murka-Nya terhadap segala sesuatu yang menolak kasih-Nya, kasih-Nya yang menyala-nyala menjadi nyata! Karena Allah adalah kasih, maka Dia tidak menghendaki kita hidup di luar Dia, sebaliknya Dia menghendaki supaya kita hidup kudus di hadapan-Nya. Sebab di luar lingkup kasih-Nya hanya ada kegelapan dan kematian. Dengan demikian murka-Nya membuka jalan untuk pendamaian! Oleh sebab itu nabi Yesaya dapat ditenangkan: ”kesalahanmu telah dihapus dan dosamu telah diampuni” (Yes. 6:7).
Akhirnya kekudusan Allah juga berarti bahwa Dia tetap mempertahankan kemuliaan-Nya dan tidak akan memberikannya kepada siapa pun (Yes. 42:8). Allah yang kudus adalah Allah yang cemburu, seperti ditekankan Yosua kepada bangsa Israel: ”Tidaklah kamu sanggup beribadah kepada Tuhan, sebab Dialah Allah yang kudus, Dialah Allah yang cemburu. Ia tidak akan mengampuni kesalahan dan dosamu” (Yos. 24:19). Berulang kali bangsa Israel mengalami kecemburuan Allah, yang menyebabkan mereka diserang musuh-musuh, dan akhirnya dibawa ke dalam pembuangan, tetapi yang juga menjadi sebab mereka dikumpulkan lagi untuk berdiam kembali di tanah mereka sendiri. Dengan demikian kekudusan-Nya menjadi nyata dalam perbuatan-perbuatanNya yang dahsyat. Perbuatan-perbuatan itu memusnahkan musuh-musuhNya, tetapi memberi keselamatan kepada bangsa-Nya, supaya mereka semua sadar bahwa Dia sajalah Allah (Yeh. 28:21-22, 25).
Allah yang kudus menuntut kekudusan, dan memberikannya juga. Dia ingin supaya kita suci dalam segala sesuatu yang kita lakukan, seperti Dia sendiri suci dan kudus ( 1Ptr. 1:14-16). Kekudusan itu dikerjakan oleh Allah sendiri. Allah adalah sumber kekudusan yang menguduskan anak-anak-Nya agar mereka dapat menggabungkan diri dengan Dia dan memberi diri kepada-Nya.
Itulah kekudusan kita manusia: diasingkan dari dunia yang berdosa dan dikhususkan kepada Allah untuk memuliakan namaNya yang kudus. Kekudusan kita adalah mengasihi, seperti Allah telah mengasihi kita lebih dulu (1Yoh 4:11, 19).
Kasih Allah tidak terbatas, dan dalam kekudusan-Nya Dia membuka jalan untuk pendamaian.
Orientasi
Kasih Allah sangat istimewa dibandingkan dengan berbagai ciri allah-allah lain yang disembah manusia. Berdasarkan kenyataan bahwa pada saatnya setiap manusia akan ditimpa celaka, dewa-dewi dipandang sebagai kuasa-kuasa yang mempunyai potensi untuk membinasakan kehidupan, sehingga perlu ditenangkan. Tetapi tidak ada dewa atau allah yang atas prakarsanya sendiri, datang untuk menyelamatkan manusia karena dikasihinya! Kalau ada allah yang menyatakan dirinya kepada manusia, seperti dalam agama Islam, bukan kasihnya melainkan kekudusannya yang ditekankan: Ia menuntut ditaati, dan hanya dengan mengikuti jalan itu, maka manusia dapat memperoleh kemurahan-Nya. Kekudusan dilepaskan dari kasih, sehingga menjadi sesuatu yang tidak dapat didekati karena berbahaya bagi manusia.
Menurut Abineno, kasih Allah adalah bahwa Dia turut menderita: Allah ”menderita karena dan bersama-sama dengan orang-orang yang dikasihi-Nya” (Pokok-pokok Penting dari Iman Kristen, 25). Tetapi usahanya untuk membuktikan pandangannya berdasarkan Alkitab, menurut kami gagal, karena nas-nas yang dikemukakannya sebenarnya tidak tepat. Kata Ibrani rahimim, dan kata Yunani oiktirmos atau splangkhna sebenarnya berarti: isi perut, jeroan. Bagi orang Yahudi pada zaman itu, bagian badan itu dianggap sebagai pusat emosi, perasaan batin. Bagi kita, ”hati” adalah pusat emosi. Oleh sebab itu, terjemahan tepat katakata itu adalah ”tergerak hatinya” (mis. Mat. 15:32). Hati Allah bisa tergerak oleh kemarahan, oleh belas kasihan, dan sebagainya. Berarti, terjemahan ”belas kasihan” biasanya juga tepat. Tetapi terjemahan ”turut menderita” tidak tepat. Allah tidak menyatakan diri-Nya sebagai Allah yang menderita secara pasif, melainkan sebagai Allah yang bertindak untuk keselamatan bangsaNya. Misalnya, kalau Nabi Yoel mengatakan bahwa ”Tuhan menjadi cemburu karena tanah-Nya, dan Ia belas kasihan kepada umat-Nya” (Yl. 2:18), nas itu juga dapat diterjemahkan dengan: ”Dia mengampuni umat-Nya”, artinya: Dia tidak menghukumnya. Latar belakang tafsiran Abineno adalah anggapannya bahwa Alkitab bukan firman Allah, melainkan kesaksian manusia tentang Allah berdasarkan perasaan dan pengalaman mereka. Dalam hal ini Abineno terpengaruh pada teolog Belanda, H. Berkhof.
Berdasarkan kasih-Nya
Allah yang mengasihi adalah Allah yang memilih. Sebagai Allah yang memilih secara khusus Dia membuktikan Diri sebagai sumber yang serbaberlimpah atas segala hal yang baik.
Di seluruh Alkitab kita temukan Allah yang memilih. Abram dipanggil Allah dari Ur-Kasdim untuk pergi ke negeri Kanaan (Kej. 11:31). Ia dipilih dari tengah-tengah masyarakat Ur bukan karena ia lebih baik atau lebih taat kepada Allah dibandingkan dengan orang lain. Sebaliknya, Abram dan sanak saudaranya beribadah kepada allah lain, sama seperti semua orang lain di kotanya. Artinya, dasar pemilihan Abram dan perjanjian Allah dengannya (Kej. 17) bukan karena kebaikan Abram. Panggilan dan pemilihan itu terjadi hanya karena kasih Allah yang berdaulat.
Demikian pula halnya dengan pemilihan Israel. Pada akhir kehidupannya, ketika bangsa Israel tiba di ”ambang pintu” tanah Kanaan, Musa mengingatkan mereka bahwa mereka bukan bangsa yang lebih besar atau lebih mulia daripada bangsa-bangsa lain; sesungguhnya mereka adalah bangsa yang paling kecil di muka bumi. Selain itu mereka bukan bangsa yang unggul karena kesetiaan dan kebaikannya (Ul. 7:6-8; 9:4-6). Ternyata dalam diri bangsa Israel sendiri tidak ada apa pun yang dapat menerangkan mengapa Allah memilih mereka menjadi umat-Nya. Satu-satunya sebab pemilihan Israel adalah kasih Allah. Hati-Nya terpikat oleh bangsa itu karena Dia mengasihinya. Bagi Israel, tidak ada alasan apa pun untuk menyombongkan diri. Pemilihan Allah itu hanya alasan agar manusia memuji kebaikan-Nya!
Bangsa yang dipilih disebut bangsa yang kudus bagi Tuhan. Mereka adalah milik-Nya sendiri, yang dikasihi-Nya seperti seorang laki-laki mengasihi istrinya. Kasih itu tidak dapat menerima apa pun yang berpotensi memisahkan bangsa itu dari Allah! Pilihan-Nya akan menentukan seluruh kehidupan bangsa-Nya. Seperti Allah dalam kesetiaan-Nya tetap akan mengasihi bangsa pilihan-Nya, demikian juga Dia menantikan bahwa bangsa itu akan hidup dalam kasih-Nya dengan setia. Dia sendiri dengan setia memegang janjiNya, jadi bangsa-Nya pun harus dengan setia berpegang pada perintah dan ketetapan-Nya (Ul. 7:9-11). Allah memilih orang, bukan karena, tetapi supaya mereka hidup kudus di hadapan-Nya, dan supaya mereka memberitakan perbuatan-perbuatan-Nya yang besar (Ef. 1:4; 1Ptr. 2:9-10).
Sama seperti bangsa Israel pada Perjanjian Lama, demikian pula kita sekarang ini, tidak ada alasan sedikit pun untuk berbangga. Seperti Israel, yang merupakan bangsa yang paling kecil, demikianlah kita dan gereja masa kini pun tidak mempunyai kebesaran atau kemuliaan di dunia. Dengan katakata yang serupa dengan kata Musa dalam Ulangan 7, Paulus mengingatkan orang Kristen di kota Korintus akan asal-usul mereka, karena ketika mereka dipanggil, mereka bukan orang-orang bijak atau yang berpengaruh atau yang terpandang. Sebaliknya, ”apa yang bodoh bagi dunia, dipilih Allah untuk memalukan orang-orang yang berhikmat, dan apa yang lemah bagi dunia, dipilih Allah untuk memalukan apa yang kuat, dan apa yang tidak terpandang dan yang hina bagi dunia, dipilih Allah, bahkan apa yang tidak berarti, dipilih Allah untuk meniadakan apa yang berarti, supaya jangan ada seorang manusia pun yang memegahkan diri di hadapan Allah” ( 1Kor. 1:27-29; bnd Ef. 2:9). Pemilihan merupakan alasan untuk merendahkan hati dan memuji kasih setia Allah!
Di dalam Kristus
Di dalam Kristus, Allah telah memilih kita sebelum dunia dijadikan, demikian pujian Rasul Paulus pada awal suratnya kepada jemaat di Efesus (1:4). Artinya, hanya dalam Tuhan kita Yesus Kristus kita menerima segala sesuatu yang dijanjikan-Nya. Dia sendiri adalah berkat Allah! Berkat yang diperoleh-Nya melalui penderitaan dan kematian-Nya di bumi ini. Berkat itu dibagi-bagikanNya; dan di luar Dia tidak ada berkat apa pun. Kita hanya dapat memperoleh bagian dalam berkat-Nya itu, jika kita berada di dalam Kristus dan terpaut erat kepada-Nya oleh ikatan iman.
Dahulu kita mati secara rohani oleh karena dosa dan pelanggaran kita; kita adalah orang-orang durhaka, orang-orang yang harus dimurkai. Tetapi oleh kasih-Nya yang besar, Allah telah menghidupkan kita bersama-sama dengan Kristus. Yesus Kristus mengurbankan diri bagi kita. Melalui pengurbanan itu kita memperoleh pengampunan atas segala dosa kita. Dengan demikian kita, orang-orang yang sudah mati, dibangkitkan Allah di dalam Kristus Yesus dan diberi tempat bersama-sama dengan Dia di surga (Ef. 2:1-7). Artinya, sekarang Allah tidak melihat kita dalam keadaan kita sendiri (yaitu sebagai orang-orang durhaka yang patut dibinasakan), tetapi dalam keberadaan kita di dalam Kristus (yaitu sebagai orang yang kudus dan tidak bercacat).
Demikianlah keadaan kita sekarang oleh persekutuan kita dengan Kristus: suatu imamat yang rajawi, bangsa yang kudus, yang tidak bercacat, yang kehidupannya ditahbiskan oleh Tuhan. Itu sebabnya mengapa Paulus dapat menyebut orang-orang percaya dalam Kristus Yesus sebagai orang-orang kudus (Rm. 1:7; 1Kor. 1:2; Ef. 1:1; Flp. 1:1; Kol. 1:2).
Allah memperlakukan kita seolah-olah kita kudus dan tidak bercacat.
Terlebih lagi, Dia mengubah kita sehingga kita semakin lama semakin sungguhsungguh menjadi demikian. Itulah kehidupan baru kita di dalam Kristus. Kita menjadi ciptaan baru, dan dibentuk Allah supaya kita melakukan hal-hal yang baik (Ef. 2:10). Di dalam Kristus kita diterima menjadi anak-anak Allah yang dapat memanggil-Nya ”Bapa kami” (Yoh. 1:12; Ef. 1:5). Kita dipelihara dan dilindungi oleh Allah sebagai anak-anak kesayangan-Nya.
Pemilihan itu terjadi sebelum dunia dijadikan. Sebelum Allah menciptakan langit dan bumi, jauh sebelum kita lahir, Dia telah memilih kita dari keseluruhan bangsa manusia. Pemilihan itu bukan karena kita lebih kudus dan kurang bercacat dibandingkan dengan manusia lain; sebaliknya, sama seperti mereka, kita pun menuruti tabiat kemanusiaan kita dan melakukan apa yang menyenangkan badan dan pikiran kita (Ef. 2:3). Allah memilih kita untuk menjadikan kita kudus dan tidak bercacat. Dan keputusan itu diambil sebelum Dia membentuk manusia yang pertama. Berarti, semuanya itu, yaitu segala berkat yang kita terima dalam Kristus, hanya berasal dari Allah sendiri! Pemilihan-Nya itu hanya berdasarkan kemauan-Nya sendiri (Ef. 1:5).
Sebelum dunia diciptakan, sebelum permulaan zaman, Allah memilih kita dalam Kristus (2Tim 1:10; bnd. par. 2.8 mengenai pactum salutis). Dia menentukan nama-nama orang, kepada siapa Dia akan memberikan keselamatan, sekaligus menetapkan cara bagaimana mereka akan memperoleh keselamatan itu: hanya di dalam Kristus, oleh kematian-Nya di kayu salib. Itu pun ditetapkan Allah sebelum dunia dijadikan! Berarti, Kristus bukan dasar pemilihan, karena bukan pengurbanan-Nya di kayu salib yang melunakkan hati Allah sehingga Dia bersedia memberi pengampunan dan kehidupan kekal kepada orang yang percaya. Kematian Yesus Kristus di kayu salib bukan dasar pemilihan melainkan dasar keselamatan, karena kita dapat diselamatkan hanya oleh karena darah Yesus Kristus.
Semuanya itu berasal dari kasih Allah. Dia menyelamatkan dan memanggil kita bukan berdasarkan perbuatan kita, melainkan berdasarkan maksud dan anugerah-Nya sendiri (2Tim 1:9). Berdasarkan kasih-Nya, Dia memilih orang untuk diselamatkan dan menentukan pengurbanan Yesus Kristus sebagai jalan atau cara bagaimana mereka diselamatkan.
Sebelum dunia dijadikan, Allah mengambil keputusan untuk datang sendiri ke dalam dunia ini dalam Anak-Nya Yesus Kristus untuk menyelamatkannya: ”Karena Allah begitu mengasihi dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal” (Yoh. 3:16).
Panggilan dan pemilihan
Tidak semua orang yang dipanggil adalah orang yang dipilih untuk memperoleh keselamatan dan hidup yang kekal. Yesus sendiri mengatakan bahwa banyak yang dipanggil, tetapi sedikit yang terpilih (Mat. 22:14). Hal itu menjadi nyata, misalnya pada hari Pentakosta: semua orang yang berkerumun di sekeliling para rasul mendengar khotbah Petrus dan dipanggil untuk bertobat dan memberi diri dibaptis; namun tidak semuanya menjadi percaya. Demikian juga halnya dengan hasil pemberitaan firman oleh Paulus dan Barnabas di kota Antiokia: tentu kebanyakan masyarakat kota itu mendengar Injil, tetapi hanya mereka ”yang ditentukan Allah untuk hidup yang kekal, menjadi percaya” (Kis. 13:48). Kenyataan itu tidak mengecewakan para pekabar Injil. Sebaliknya, keyakinan tentang pemilihan Allah itu merupakan dorongan kuat bagi para rasul untuk meneruskan pemberitaan Injil, karena: ”semua orang yang dipilih-Nya dari semula, mereka juga ditentukan-Nya dari semula untuk menjadi serupa dengan gambar Anak-Nya, supaya Ia, Anak-Nya itu, menjadi yang sulung di antara banyak saudara. Mereka yang ditentukanNya dari semula, mereka itu juga dipanggil-Nya. Mereka yang dipanggil-Nya, mereka itu juga dibenarkan-Nya. Mereka yang dibenarkan-Nya, mereka itu juga dimuliakan-Nya” (Rm. 8:29-30).
Mustahil bahwa pemberitaan Injil tidak akan berhasil. Sesungguhnya pemilihan Allah memberi kepastian bahwa pasti akan ada orang yang percaya!
Tetapi, justru keyakinan itu menyakitkan hati Paulus, ketika ia memikirkan kekerasan teman-teman sebangsanya. Dengan mereka, yaitu keturunan Abraham, Ishak, dan Yakub, Allah telah mengadakan perjanjian, dan kepada mereka Dia telah berfirman melalui Musa dan para nabi. Tetapi ketika Allah mengirim Anak-Nya, Yesus Kristus, kepada mereka, sebagian besar bangsa Israel tidak menerima-Nya (Rm. 9:4-6). Bukan semua orang yang lahir di dalam bangsa itu adalah orang yang dipilih Allah untuk menerima keselamatan. Banyak yang dipanggil, tetapi hanya sedikit yang terpilih.... Ada yang binasa, walaupun mereka menurut keturunan darah adalah anak-anak Abraham.
Pemilihan dan penolakan
Kalau Allah memilih orang, berarti bahwa ada orang lain yang tidak dipilih, dan ditinggalkan. Seperti sudah dijelaskan di atas, orang yang dipilih tidak lebih baik daripada orang yang tidak dipilih; mereka sama-sama orang berdosa yang patut dihukum mati karena dosa itu.
Kalau demikian keadaannya, mengapa Allah memilih yang satu sedangkan yang lain tidak? Paulus menjawab pertanyaan itu dengan mengutip firman Allah kepada Musa: ”Aku akan menaruh belas kasihan kepada siapa Aku mau menaruh belas kasihan dan Aku akan bermurah hati kepada siapa Aku mau bermurah hati” (Rm. 9:15).
Kata-kata itu diucapkan Allah kepada Musa sesudah bangsa Israel melakukan perbuatan dosa di kaki gunung Sinai, dengan membuat anak lembu jantan dari emas untuk sujud menyembah kepadanya (Kel. 33). Atas doa Musa, bangsa Israel dapat melanjutkan perjalanannya ke tanah perjanjian, tetapi Allah mengatakan bahwa lebih baik Dia sendiri tidak akan ikut dengan bangsa itu, ”supaya Aku jangan membinasakan engkau di jalan” (Kel. 33:3). Hanya atas permohonan Musa, Allah meninjau kembali keputusan-Nya karena Allah berkenan kepada Musa. Dengan demikian bangsa Israel tidak dibinasakan, walaupun mereka adalah bangsa yang tegar tengkuk, yang patut dibinasakan. Ternyata hal itu hanya dapat terjadi karena belas kasihan Allah (Kel. 33:19).
Bangsa Israel sama sekali tidak berhak menerima kemurahan hati Allah itu; mereka sama sekali tidak punya alasan untuk dapat menuntut Allah agar menyayangi mereka. Sebaliknya, mereka semua patut dibinasakan karena dosa mereka. Satu-satunya alasan ketidakbinasaan mereka adalah karena Allah mengasihani mereka. Dasar kasih itu adalah Allah sendiri, sehingga Paulus dapat menyimpulkan: ”tidak tergantung pada kehendak orang atau usaha orang, tetapi kepada belas kasihan Allah” (Rm. 9:16).
Paulus menjelaskan hal itu dengan satu contoh lain lagi, yaitu mengenai Firaun. Sesudah tulah keenam, pada waktu Firaun masih berkeras hati dan menolak mengakui kuasa Allah, Musa menyampaikan firman Allah kepadanya, bahwa sampai saat itu Allah belum membinasakannya karena Allah hendak menunjukkan kekuasaan-Nya kepadanya, supaya nama-Nya menjadi termasyhur di seluruh bumi (Kel. 9:15-16; bnd Rm. 9:17). Itulah sebabnya Allah mengeraskan hati Firaun (Kel. 9:12; 10:20, 27; 11:14; 14:8). Bukan baru sesudah Firaun sendiri menolak firman-Nya, maka Allah mengeraskan hatinya; sudah sejak sebelum Musa pergi ke Mesir untuk menyampaikan firman Allah kepada Firaun, Allah telah berkata kepada Musa bahwa Dia akan mengeraskan hati Firaun sehingga ia tidak membiarkan bangsa Israel pergi (Kel. 4:21). Ternyata Allah telah mengambil keputusan untuk mengeraskan hati Firaun sebelum Firaun sendiri berkeras hati! Karena ”Ia menaruh belas kasihan kepada siapa yang dikehendaki-Nya dan Dia menegarkan hati siapa yang dikehendaki-Nya” (Rm. 9:18).
Hal itu tidak berarti bahwa Allah mendalangi manusia seperti dalam pewayangan. Allah melakukan segala kehendak-Nya, namun sekaligus mempertahankan kewajiban kita manusia, sehingga tidak seorang pun dapat mempersalahkan Allah karena kelakuannya yang salah. Cara kerjaNya memang ajaib, dan jauh melampaui akal budi kita. Namun demikianlah perbuatan Allah, seperti dinyatakan dalam firman-Nya.
Jika demikian, betapa besar kasih Allah kepada kita yang dipilihNya! Karena Dia sama sekali tidak wajib mengasihani kita! Andaikata Dia membiarkan kita dan membinasakan kita oleh karena dosa kita, Dia tetap Allah yang adil. Karena itu, kita patut sujud menyembah Allah yang besar, yang mengasihi kita karena belas kasihan-Nya yang besar!
Tidak sejajar
Tidak ada keputusan Allah untuk menolak orang-orang tertentu sebagai keputusan yang sejajar dengan keputusan-Nya untuk memilih orang-orang tertentu. Ada yang dipilih untuk diselamatkan dari kebinasaan mereka, yang lain ditinggalkan dalam kebinasaan. Penolakan merupakan akibat dari pemilihan. Dalam Alkitab kita hanya mengenal kitab kehidupan Anak Domba, yang di dalamnya tertulis nama-nama orang yang diselamatkan (Mzm. 69:29; Flp. 3:4; Why. 3:5; 13:8; 17:8; 20:15). Tidak ada kitab kematian, yang di dalamnya tertulis nama-nama orang yang akan dibinasakan! Bukan Allah yang mengerjakan kejahatan dan kebinasaan. Dia membiarkan orang dalam kejahatan; kebinasaan mereka adalah upah perbuatan mereka sendiri. Mereka tidak dibuang, tetapi ditinggalkan-Nya, sedang yang lain ditarik-Nya keluar dari jurang maut yang sama itu, sesuai dengan kemauan-Nya. Itulah pemilihan: kedaulatan yang independen dan anugerah yang berdaulat. Kita patut memuji kebaikan Tuhan! Karena siapakah kita sehingga kita berani membantah Allah?
Manusia baru
Petrus mengatakan bahwa kita terpilih supaya kita memberitakan perbuatanperbuatan-Nya yang besar, yang telah memanggil kita keluar dari kegelapan kepada terang-Nya yang ajaib. Maka ia menasihati kita agar kita menjauhkan diri dari keinginan-keinginan daging yang berjuang melawan jiwa. Kelakuan kita di antara orang yang tidak mengenal Tuhan haruslah sangat baik ( 1Ptr. 2:9-12).
Dengan kata lain: kehidupan orang-orang pilihan Allah harus berubah.
Kita dipilih untuk rajin bekerja! ”Tetaplah kerjakan keselamatanmu dengan takut dan gentar”, demikianlah nasihat Paulus kepada warga jemaat di Filipi (Flp. 2:12).
Nasihat itu tidak bertentangan dengan pemilihan Allah seperti yang telah kita bicarakan di atas bahwa pemilihan itu tidak berdasarkan apa pun yang kita perbuat, tetapi hanya berdasarkan anugerah Allah. Tetapi, untuk mewujudkan rencana kesalamatan itu Dia datang dan tinggal di tengah orang-orang pilihanNya untuk bekerja dalam hati mereka. Dia sendiri yang bekerja sehingga kelakuan yang buruk berubah menjadi kelakuan yang baik, sesuai dengan kehendak-Nya yang kudus. Lebih dalam lagi, Dia juga mengubah kemauan manusia sehingga menjadi rela dan rajin untuk hidup sesuai dengan kehendak Allah. Allah sendirilah yang mengerjakan segala sesuatu di dalam kita! Kalau kita hidup dengan taat kepada firman Allah, itu sepenuhnya hasil kerja Allah, bukan prestasi kita sendiri.
Namun Paulus memerintahkan jemaat di Filipi untuk tetap mengerjakan keselamatan mereka. Sekali lagi kita bertemu dengan cara kerja Allah yang ajaib, yang jauh melampaui akal budi kita. Allah mengirimkan Roh-Nya yang membuat kita menjadi manusia baru. Allah sendirilah yang pertama-tama berkarya dalam diri kita kemauan yang baik. Baru sesudah itu kita bekerja dengan segenap kekuatan kita. Tidak mungkin kita diselamatkan tanpa kita berupaya. Karena Tuhan yang mengerjakan kehendak untuk berbuat baik di dalam orang pilihan-Nya.
Dorongan dan penghiburan
Pengakuan bahwa iman berasal dari Allah sendiri, berdasarkan pemilihanNya sejak semula, tidak melemahkan pekabaran Injil, sebaliknya, merupakan dorongan kuat untuk memberitakan Kabar Baik kepada semua orang! Itu semua adalah perkenanan Allah untuk mewujudkan panggilan-Nya kepada orang-orang pilihan-Nya melalui pemberitaan firman-Nya: ”Iman timbul dari apa yang didengar, dan apa yang didengar itu berasal dari pemberitaan tentang Kristus” (Rm. 10:17). Hanya oleh pemberitaan firman Allah kita bertemu dengan kasih Allah yang memilih kita dalam Kristus! Pemilihan diwujudkan melalui pekabaran Injil, dan pekabaran Injil hanya dapat berhasil berkat adanya pemilihan! Andaikata Allah tidak pernah memilih orang untuk keselamatan, percuma saja jerih payah pekabar-pekabar Injil! Karena apakah orang menjadi percaya atau tidak, tidak bergantung pada hikmat Si Pengkotbah, atau pada kata-kata indah yang dipakai untuk memberitakan Injil. Selain itu hasil kerja seorang penginjil tidak bergantung pada tinggi rendah pendidikannya. Demikian juga jika ada orang yang menerima firman Allah yang diberitakan, itu tidak tergantung pada kemauannya sendiri: apakah ia mau menerimanya atau tidak. Keputusan Allah itu tidak bergantung pada kerelaan manusia, melainkan hanya pada kebaikan hati Allah terhadap orang yang dipilih-Nya (Rm. 9:16).
Itu sebabnya Paulus dengan tidak henti-hentinya memberitakan kabar keselamatan. Karena ”bagaimana orang dapat berseru kepada Dia yang belum mereka percaya? Bagaimana orang dapat percaya kepada Dia yang belum pernah mereka dengar. Bagaimana orang mendengar tentang Dia, jika tidak ada yang memberitakanNya? Dan bagaimana orang dapat memberitakan-Nya, jika tidak diutus? Seperti ada tertulis: ’Alangkah menyenangkan kedatangan mereka yang membawa kabar baik!’” (Rm. 10:14-15).
Tidak seorang pekabar Injil pun yang perlu putus asa mendapati orang yang tidak mau memberi diri dibaptis. Baiklah ia mengaku seperti Petrus bahwa mereka tersandung sebab mereka tidak percaya akan perkataan Allah, ”dan mereka juga telah ditentukan untuk itu” (1Ptr. 2:8). Orang yang dipilih Allah tetap akan datang, karena Dia sendiri yang akan mendatangkan mereka! Iman bukan hasil usaha seorang pekabar Injil, bukan juga usaha kita sendiri, melainkan pekerjaan Allah. Dan Dia akan meneruskannya sampai pada akhirnya, pada hari Kristus Yesus (Flp. 1:6). Oleh sebab itu Paulus dapat mengatakan bahwa di dalam semuanya itu kita mendapat kemenangan yang sempurna oleh Dia yang mengasihi kita:
”Sebab aku yakin bahwa baik maut maupun hidup, baik malaikat-malaikat maupun pemerintah-pemerintah, baik yang ada sekarang maupun yang akan datang, atau kuasa-kuasa, baik yang di atas maupun yang di bawah, ataupun sesuatu makhluk lain, tidak akan dapat memisahkan kita dari kasih Allah, yang ada dalam Kristus Yesus, Tuhan kita” (Rm. 8:38-39).
Pemilihan Allah di dalam Kristus merupakan dorongan untuk memberitakan Injil.
Orientasi
Allah yang memilih kita berdasarkan kasih-Nya sangat berbeda dengan allah-allah dunia. Allah-allah itu selalu harus didorong oleh perbuatanperbuatan manusia (kurban, amalan) untuk melindungi manusia dan tidak memusnahkannya. Hal pokoknya adalah bahwa manusia tetap mau mempertahankan kemampuannya sendiri. Ajaran bahwa tidak ada harapan lain kecuali pemilihan Allah, bertentangan dengan rasa kemanusiaan atau harga diri kita. Itu sebabnya setiap agama lain entah agama suku atau agama ”besar” menekankan betapa pentingnya hidup sesuai dengan adat-istiadat, dan mengikuti ritual-ritual yang diwajibkan. Dengan demikian manusia sendiri dapat (turut) menentukan nasibnya.
Demikian juga latar belakang ajaran Katolik Roma mengenaiperbuatan-perbuatan baik yang (untuk sebagian) menjadi kebenaran kita di hadapan Allah. Demikian pula dengan pandangan aliran Remonstran atau Arminian mengenai pemilihan, yang menurut mereka terjadi berdasarkan iman kita.
Kaum Remonstran mengajarkan bahwa pemilihan dan penolakan adalah sejajar karena jika ketidakpercayaan mengakibatkan penolakan maka menurut mereka pemilihan harus juga dipandang sebagai hasil iman. PAD menolak kesejajaran itu: I, 15. Bandingkan kata penutup PAD: tidak dapat dikatakan bahwa sama seperti pemilihan adalah sumber iman dan perbuatan-perbuatan yang baik, demikianlah juga penolakan adalah sebab ketidakpercayaan dan kedurhakaan.
Rupanya Soedarmo dan Van Niftrik/Boland berpendapat bahwa ajaran ”pemilihan sebelum dunia dijadikan” menghilangkan dorongan untuk mengabarkan Injil. Mereka menekankan dengan kuat kewajiban untuk mengabarkan Injil, tetapi tidak menghubungkan dorongan itu dengan rencana pemilihan Allah. Di sini nampak jelas pengaruh Karl Barth. Tetapi bandingkan dengan PAD 1:1-3.
Menurut Van Niftrik/Boland, pemilihan adalah kata yang menunjukkan bahwa Allah mengarahkan kasih-Nya di dalam Kristus kepada dunia dan kepada kita manusia. Tetapi pemilihan adalah pekerjaan Allah Tritunggal. Selain itu arti kata ”memilih” tidak mungkin disamakan dengan ”menyatakan kasih”: Allah yang memilih membedakan orang-orang tertentu dari orang-orang lain. Andaikata semua orang dipilih, sebenarnya kata ”memilih” tidak tepat lagi. Memang benar bahwa menurut Karl Barth dan Van Niftrik/Boland panggilan untuk percaya tidak dihilangkan sama sekali, tetapi panggilan itu tidak dihubungkan dengan pemilihan.
Dalam ajaran Karl Barth, kata ”pemilihan” dikhususkan untuk menyatakan apa yang terjadi dalam Yesus Kristus. Pertama, Yesus Kristus adalah Allah yang memilih; kedua, Yesus Kristus adalah Manusia yang dipilih; ketiga, Yesus Kristus sekaligus adalah Manusia yang ditolak. Artinya, selaku wakil manusia Yesus Kristus dipilih untuk mendapat keselamatan. Tetapi, kalau kita melihat bahwa Yesus Kristus menanggung hukuman kita, maka dapat dikatakan bahwa Yesus Kristus ditolak juga oleh Allah. Setelah Yesus ditolak, menurut Barth, tidak ada lagi manusia lain yang ditolak Allah. Dengan demikian dalam Yesus Kristus, Allah telah menyatakan kasih-Nya kepada semua manusia. Yang tinggal sekarang adalah tugas gereja untuk mengabarkan Injil itu. Pemilihan ala Barth ini biasa disebut dengan pemilihan universal.
Menurut Hadiwijono, kata ”memilih” berarti ”lebih menyukai”: ”Di dalam Kristus kita tahu bahwa Allah lebih menyukai mereka yang merasa sakit dan berdosa (Mrk. 2:17). (...) Di dalam Kristus kita tahu bahwa Allah lebih menyukai para pemungut cukai, orang-orang dosa yang menjadi sampah masyarakat (Luk 15:1). Pokoknya, Allah lebih menyukai semua orang yang mengharapkan pertolongan-Nya semata-mata. Di dalam Yesus Kristus itu tampaklah siapa yang lebih disukai Allah. (...) Hakikat Allah ialah: Allah yang memilih, Allah yang lebih menyukai mereka yang merasa berdosa dan sakit. Allah yang memilih mereka yang merasa dosa dan sakit adalah Allah yang menjadi Sekutu orang dosa yang bertobat. (...) Pemilihan Allah ini adalah segi yang lain dari perjanjian, dari kebenaran, bahwa Allah adalah Sekutu umat-Nya.” (Iman Kristen, 296). Tetapi, andaikata keterangan ini benar, timbul pertanyaan, apakah itu tidak berarti bahwa Allah memilih berdasarkan kenyataan-kenyataan yang ada pada kita manusia? Dan kalau dikatakan bahwa pemilihan adalah segi lain dari perjanjian, tidak terasa lagi kalau ada suatu hal yang tidak mungkin dipahami manusia, yaitu bagaimana hubungan antara kedaulatan Allah (yaitu pemilihan) dan tanggung jawab kita manusia (dalam perjanjian). Dengan demikian ada bahayanya, yaitu bahwa pemikiran kita mengenai Allah terlalu bersifat manusiawi.
Abineno pun tidak mengaitkan kedaulatan Allah dengan tanggung jawab manusia. Itu sebabnya ia mengutamakan tanggung jawab manusia, dan membelakangi kedaulatan Allah. Dia menyangkal adanya ”suatu dekrit yang mutlak, yang telah ditetapkan oleh Allah sebelum penciptaan langit dan bumi. Allah sendiri terikat pada dekrit yang tidak berubah ini dari kekal sampai kekal. Predestinasi di sini sama dengan takdir” (Pokok-pokok Penting dari Iman Kristen, 74). Menurutnya, ajaran predestinasi membuat orang menjadi fatalis atau sombong. Itu sebabnya ia menyamakan kata ”pemilihan” dengan ”penyataan”, yaitu ”alat yang Allah gunakan untuk melaksanakan kehendakNya (...) Untuk membuat manusia menjadi partner-perjanjian-Nya” (71). Pemilihan itu bersifat bersejarah, katanya (71-72), berarti, ada orang yang sudah dipilih dan ada lainnya yang belum dipilih (73). Jadi sebenarnya pemilihan menurut Abineno bersifat universal (73): Allah menetapkan semua orang untuk menjadi partner-partner-perjanjian-Nya (71-73). Jika demikian, jelas bahwa ia tidak lagi berbicara mengenai penolakan atau pembuangan. Kata ”predestinasi” pun diberi arti yang berbeda dengan arti kata itu dalam sejarah dogmatik Reformasi: ”predestinasi adalah kehendak/keputusan Allah yang dari kekal untuk membuat manusia menjadi partner-partner-perjanjian-Nya” (70-71). Artinya, ia menyamakan keputusan dan kehendak Allah, berdasarkan apa yang lebih dahulu ditetapkannya sebagai sikap Allah, yaitu sikap bersekutu. Kata ”perjanjian” pun salah diartikan, seolah-olah semua manusia termasuk perjanjian itu.
Tritunggal
Dalam uraian mengenai pemilihan, sudah muncul istilah ”Anak Allah”, yang merujuk kepada Tuhan kita Yesus Kristus, dan Roh yang dikirim Allah, yang membuat kita menjadi manusia baru. Dengan demikian kita sudah menemui suatu pluralitas di dalam diri Allah yang Esa, yang di dalam dogmatik disebut Trinitas: Bapa, Anak, dan Roh Kudus, yang bersama-sama merupakan Allah yang esa, yang sejati, dan kekal (KH p/j 25). Dalam pertikaian menentang pelbagai ajaran-ajaran sesat, khususnya mengenai Yesus Kristus yang adalah manusia sejati dan sekaligus sungguh-sungguh Allah, gereja sudah membentuk istilah Trinitas (Tritunggal) ini yang ternyata sangat berguna untuk mempertahankan apa yang dinyatakan Allah kepada kita dalam firman-Nya.
Allah yang Esa
Sudah menjadi jelas bahwa kesaksian seluruh Alkitab dengan gamblang menyatakan bahwa tidak ada allah lain kecuali Allah, dan bahwa Allah itu esa. Karena itu bagi orang Kristen pun, pengakuan itu selalu harus diutamakan. Dan kalau kita sekarang akan berbicara mengenai Trinitas, keesaan Allah tetap harus ditekankan. Artinya, apa yang kita baca mengenai Firman yang ada sejak semula, dan mengenai Roh Tuhan, tidak mungkin dapat meniadakan pengakuan dasar bahwa Allah adalah Esa. Jika benar bahwa kedua hal itu saling bertentangan, bagaimana mungkin Allah sendiri dapat mengatakan bahwa Dia telah memenuhi Bezaleel dengan Roh Allah? (Kel. 31:2-3) Kalau Nabi Yehezkiel mengatakan bahwa Roh Tuhan meliputinya ketika Tuhan berfirman kepadanya (Yeh. 11:5; bnd Yes. 63:8-10), dengan jelas ia membedakan Roh itu dari Tuhan, namun ternyata ia tidak mempersoalkan kesatuan keduaNya itu. Dalam Perjanjian Baru pun keesaan Allah tidak dipermasalahkan, sebaliknya tetap diakui Paulus dan rasul-rasul lain: tidak ada Allah selain dari Allah yang esa! Dialah Allah yang kekal, yang tidak tampak, yang esa, Penguasa satu-satunya dan yang penuh bahagia, Raja di atas segala raja dan Tuan di atas segala tuan! ( 1Kor. 8:4; Ef. 4:5-6; 1Tim. 1:17; 6:15; Yud. : 25). Hanya dalam persepsi keesaan Allah, maka kita dapat meninjau perbedaan Bapa, Anak, dan Roh Kudus.
Anak Allah dalam sejarah keselamatan 4
Trinitas berakar dalam Kristologi, ajaran mengenai Yesus yang adalah Kristus. Dalam Alkitab, istilah Anak Allah baru muncul dalam Perjanjian Baru. Pada waktu Maria ingin tahu bagaimana ia dapat menjadi hamil, karena belum bersetubuh dengan seorang laki-laki, Malaikat Gabriel menerangkan kepadanya, bahwa Roh Kudus akan turun atasnya dan kuasa Allah Yang Mahatinggi akan menaunginya, sehingga Bayi Yang Kudus yang akan dilahirkannya akan disebut Anak Allah (Luk. 1:35, terj. Klinkert/Bode). Karena kelahiran anaknya itu sama sekali bukan hasil persetubuhan Maria dengan seorang laki-laki, tetapi dikerjakan oleh Allah maka anak itu akan disebut Anak Allah Yang Mahatinggi (Luk. 1:32). Ternyata istilah Anak Allah berkaitan erat dengan rahasia inkarnasi. Yesus yang akan lahir bukan anak biasa. Dia datang dari surga, sehingga Dia akan disebut Anak Allah.
Dari keterangan Malaikat Gabriel tadi menjadi jelas, bahwa nama ”Anak Allah” tidak mengacu kembali ke keberadaan ”Anak Allah” pada zaman sebelum kelahiran Yesus, tetapi kepada Yesus Kristus, yang akan lahir di Betlehem, tetapi yang sekaligus Allah yang datang dari surga (bandingkan keterangan mengenai kedua tabiat Yesus dalam bab 5).
Tidak mengherankan bahwa ketika Yesus menyatakan diri sebagai Anak Allah, pengakuan itu dianggap sebagai hujatan terhadap Allah, karena wujudnya adalah manusia biasa saja (Mat. 26:65; Yoh. 10:36). Dan sekarang ini pun, bagi banyak orang, penyebutan itu merupakan batu sandungan yang tidak dapat diterima. Dan memang ucapan itu agaknya bertentangan dengan pengakuan dasar Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru bahwa Allah itu Esa! Bagaimana mungkin Allah yang esa itu mempunyai Anak? Bagaimana mungkin orang Kristen mempertahankan monoteisme, namun sekaligus mengaku bahwa Yesus Kristus adalah Anak Allah?
Hanya, perlu disadari bahwa (sama seperti dalam banyak bahasa lain), di dalam Alkitab kata ”anak” digunakan dengan arti yang berbeda-beda. Kata itu biasa dipakai untuk anak kandung. Tetapi, sering juga kata ”anak” dipakai walaupun tidak ada hubungan darah. Misalnya, Imam Eli memanggil Samuel ”anakku” (1Sam. 3:16). Dengan kata yang sama itu Yosua memanggil Akhan (Yos. 7:19), dan Saul menyebut Daud (1Sam. 26:17). Seorang guru dapat menyebut murid-muridnya sebagai anak-anaknya, seperti dibuat oleh Hikmat (Ams. 2:1). Allah sendiri memanggil bangsa Israel ”anak-Ku” (Kel. 4:22-23; Hos. 11:1). Di samping itu orang yang benar dapat disebut anak-anak Allah (Ul. 14:1-2; Yer. 3:21-22; Hos. 1:10). Bahkan Adam secara implisit disebut ”anak Allah” (Luk. 3:38). Dalam Perjanjian Lama, bangsa Israel kadangkadang disebut anak Allah. Demikianlah firman Allah kepada Firaun: ”Israel ialah anak-Ku, anak-Ku yang sulung; sebab itu Aku berfirman kepadamu: Biarkanlah anak-Ku itu pergi” (Kel. 4:22-23; bnd. Hos. 11:1). Berarti, kalau Yesus disebut ”Anak Allah”, tidak seharusnya penyebutan itu berimplikasi bahwa Yesus adalah Anak ”keluarga” Allah. Sebenarnya tanggapan itu hujatan bagi semua orang yang mengagungkan keesaan Allah, termasuk orang Kristen sendiri.
Sangat mencolok bahwa ketika Yesus hendak meyakinkan orang bahwa Dia adalah Anak Allah, Dia tidak mengingatkan mereka pada sejarah kelahiranNya yang ajaib, tetapi mulai berbicara tentang apa yang diperbuat-Nya (Yoh. 10:36-39, bnd. 25, 30). Demikian juga halnya ketika Yesus membantah orang-orang yang menyebut diri mereka anak-anak Abraham; Yesus tidak mempersoalkan silsilah keturunan mereka, tetapi kelakuan mereka: ”Jikalau sekiranya kamu anak-anak Abraham, tentulah kamu mengerjakan pekerjaan yang dikerjakan oleh Abraham. Tetapi sekarang kamu berusaha membunuh Aku!” (Yoh. 8:39-40). Perbuatan-perbuatan mereka menunjukkan bahwa bukan Abraham bapak mereka, melainkan Iblis, karena mereka melakukan kemauan Iblis (Yoh. 8:44). Kita dapat menyimpulkan, bahwa kata ”anak” di sini tidak dipakai untuk menunjukkan keturunan, tetapi untuk menunjukkan kesatuan dalam pekerjaan. Artinya, kalau Yesus disebut ”Anak Allah”, itu bukan acuan untuk suatu hubungan keluarga, melainkan acuan untuk hubungan kerja. Kesatuan Allah Bapa dan Anak-Nya adalah kesatuan kemauan dan kesatuan kelakuan. Sebagai Anak Allah, Yesus dengan setia dan sempurna melaksanakan tugas yang pada awalnya diberikan kepada manusia: sebagai gambar dan rupa Allah, yang mencerminkan cahaya kemuliaan Allah di muka bumi ini (Ibr. 1:3).
Anak Allah dalam dogmatik
Tadi kita mempelajari latar belakang istilah Anak Allah dalam sejarah keselamatan. Ternyata istilah tersebut baru mulai dipakai menjelang kelahiran Yesus. Tetapi sejak abad-abad yang pertama, gereja sudah mulai biasa menggunakan istilah itu sebagai nama bagi Oknum kedua dalam Trinitas. Karena, dogmatik merupakan jawaban gereja atas keseluruhan penyataan Allah dalam firman-Nya. Dilihat dari segi sejarah, penggunaan itu dapat disebut suatu anakronisme. Hal itu tidak menjadi masalah, asal kita menyadari latarbelakangnya: Oknum kedua dalam Trinitas menjadi daging, dan dalam Yesus Kristus, Dia menjadi Anak Allah. Dengan cara yang sama, kita dapat mengatakan bahwa Presiden Sukarno lahir di Blitar: semua orang akan memahami bahwa pada waktu lahir ia belum menjadi Presiden. Demikian juga kalau kita mengatakan bahwa sebelum pertobatannya, Rasul Paulus menganiaya jemaat Kristen, jelas kita tidak dapat menarik kesimpulan bahwa pada saat itu Paulus sudah menjadi Rasul. Demikian juga pemakaian istilah Anak Allah dalam dogmatik, kita tidak dapat menyimpulkan bahwa Oknum kedua dalam Trinitas sejak kekal adalah Anak Allah. Namun mengingat arti kata anak dalam istilah ini, dan juga mengingat bahwa penulis Surat Ibrani menyebut-Nya cahaya kemuliaan Allah (Ibr. 1:3), dapat kita katakan bahwa kekhasan Oknum kedua adalah mencerminkan cahaya kemuliaan Bapa dengan melaksanakan segala kehendak Bapa.
Bapa, Anak, dan Roh Kudus5
Dalam sejarah keselamatan, seperti dinyatakan kepada kita dalam firman Tuhan, dengan jelas dibedakan antara Bapa, Anak, dan Roh. Anak itu bukan nama lain untuk Bapa, dan Roh itu tidak menunjuk pada Bapa atau Anak, tetapi ketiganya itu masing-masing ada kesendirian-Nya. Hal itu menjadi nyata misalnya pada saat Yesus dibaptis: ketika Dia keluar dari air, Roh Allah turun ke atas-Nya, dan terdengar suara Allah dari surga yang memperkenalkan Yesus sebagai Anak-Nya (Mat. 3:16-17). Yesus sendiri dengan jelas membedakan yang satu dari yang lain, waktu Dia berbicara mengenai Roh Kudus, yang akan diberikan oleh Bapa (Yoh. 14:16, 26), dan juga dalam Amanat Agung kepada murid-murid-Nya: baptisan harus dilayankan dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus (Mat. 28:19). Kesendirian masing-masing Oknum juga kelihatan dalam kitab Wahyu, yang dikaruniakan Allah kepada Yesus Kristus (Why 1:1); di dalamnya kita temui, Allah Bapa di atas takhta-Nya, tujuh obor menyalanyala di hadapan-Nya yang adalah Roh Allah, dan Anak Domba seperti yang telah disembelih, yang adalah Yesus Kristus (Wahyu 4 dan 5; bnd 1:4-5). Berdasarkan kenyataan itu maka rasul-rasul sering membuka atau menutup surat-surat mereka dengan salam dan berkat yang membedakan Bapa, Anak, dan Roh (2 Kor. 13:14; 1Ptr. 1:2).
Bapa telah menjadikan langit dan bumi, laut dan segala isinya (Kel. 20:11; bnd. Ayb. 38:4 dst; Yes. 40:25-26; Kis. 4:24, 14:15). Anak melakukan segala kehendak Bapa-Nya. Dia adalah jalan dan kebenaran dan hidup; tidak ada seorang pun yang datang kepada Bapa, kalau tidak melalui Dia (Yoh. 14:6). Roh adalah Roh Penghibur yang diutus oleh Bapa, untuk bersaksi tentang Anak Allah (Yoh. 15:26). Dia bekerja di dalam orang yang percaya.
Begitu jelas bahwa Bapa, Anak, dan Roh Kudus, masing-masing ada bidang kerja-Nya sendiri: Bapa telah menciptakan kita, Anak mengerjakan penebusan kita, dan Roh Kudus mengerjakan pengudusan kita.
Namun tidak ada satu pun karya yang dikerjakan oleh Yang Satu lepas dari Yang Lain. Masing-masing Oknum tidak bekerja sendiri. Dalam segala hal ada kerja sama dan pergaulan yang sempurna antara Allah Bapa, Anak, dan Roh Kudus, sehingga semuanya sungguh-sungguh merupakan karya Allah yang esa.
Allah Bapa telah menciptakan langit dan bumi (Kej. 1:1). Tetapi Roh Kudus melayang-layang di atas permukaan air, sehingga ternyata Dia pun terlibat (Kej. 1:2). Demikian juga Firman, karena menurut kesaksian Rasul Yohanes, segala sesuatu dijadikan oleh Dia (Yoh. 1:3).
Dalam pergaulan Allah yang Esa dengan bangsa Israel, kita mulai menangkap bayangan Trinitas, misalnya pada waktu kita temukan Malaikat Tuhan yang dibedakan dari Tuhan, tetapi yang sekaligus adalah Allah sendiri, dan pada waktu kita mendengar mengenai Roh Allah yang berkuasa atas seseorang (mis. Saul [1Sam. 10:10]; Amasai [1Taw. 12:18]; Zakharia [2Taw. 24:20]; dan lain sebagainya).
Pendamaian dikerjakan oleh Yesus Kristus, Anak Allah (Ef. 2:14, 16; bnd. Ibr. 2:17; 9:14). Tetapi Paulus juga dapat mengatakan bahwa Allah mendamaikan dunia dengan diri-Nya oleh Kristus (2Kor. 5:19). Demikian juga halnya dengan pengudusan, yang adalah karya khas Roh Kudus, seperti nyata dalam Mazmur Daud (Mzm. 51:10-11), dan ditekankan oleh Rasul Paulus ( 1Kor. 6:11, 19; bnd. 2Tes. 2:13; 1Ptr. 1:2). Tetapi pengudusan juga merupakan karya Kristus, yang telah menyerahkan diri-Nya untuk menguduskan jemaat-Nya (Ef. 5:25-26). Sehingga Paulus dapat mengatakan bahwa pengudusan adalah karya Allah: semoga Allah menguduskan kamu ( 1Tes. 5:23).
Di antara Bapa, Anak, dan Roh Kudus, tidak ada urutan atau perbedaan tingkat: Bapa tidak lebih tinggi dari Anak, sedangkan Roh Kudus tidak lebih rendah daripada Bapa dan Anak. Memang Yesus pernah mengatakan: ”Bapa lebih besar dari pada Aku” (Yoh. 14:28), tetapi ketika itu Dia berbicara mengenai keadaan-Nya sebagai Firman yang kekal, yang untuk sementara waktu ”telah mengosongkan diri-Nya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia” (Flp. 2:5-7). Artinya, Yang berbicara dalam nas itu bukan Firman yang sejak kekal adalah Allah, melainkan Firman yang telah menjadi manusia, untuk mempersembahkan diri-Nya sendiri bagi Allah sebagai persembahan yang tidak bercacat (Ibr. 9:14).
Kesimpulan
Demikianlah, jelas bahwa Alkitab menyatakan bahwa di dalam Allah ada Bapa, Firman/Anak, dan Roh, yang masing-masing mempunyai wujud-Nya sendiri, namun bersama-sama merupakan satu Allah yang Esa.
Ternyata ada tiga Oknum atau Pribadi dalam hakikat Allah. Istilah-istilah ”Oknum” dan ”Pribadi” dapat dipakai, asal kita selalu sadar bahwa itu tidak berarti bahwa mereka tiga masing-masing terlepas Satu dari yang Lain, seolah-olah ada tiga Allah. Mereka tiga tidak hanya bersatu hati dan bersepakat sehingga dalam kerukunan itu mereka memiliki kebulatan dalam kata dan kerja, tetapi sejak kekal ketiganya sungguh-sungguh merupakan suatu kesatuan yang sejati. Ketiganya itu tidak membelah Allah yang Esa menjadi tiga Allah. Sebaliknya, Allah tetap Satu dan Esa.
Orientasi
Pada abad kedua, orang yang bernama Marcion, mengajarkan bahwa sebenarnya ada dua Allah. Yang pertama ialah Allah Pencipta yang menyatakan diri-Nya pada masa Perjanjian Lama, dan yang bersikap bengis. Yang kedua adalah Allah Perjanjian Baru, yang menyatakan diri-Nya sebagai Allah yang penuh kasih. Karena itu Marcion menolak kitab-kitab Perjanjian Lama, dan ia sangat membenci orang-orang Yahudi, yang katanya telah membunuh Yesus Kristus karena usaha Allah Perjanjian Lama. Ajaran Marcion langsung ditentang gereja, sehingga tidak terlalu merajalela. Namun, kebencian terhadap orang Yahudi (antisemitisme) berulang kali muncul dalam sejarah dunia dan di dalam gereja.
Dalam bahasa Arab (bahasa resmi Alquran) ada dua kata untuk ”anak”:
1) walad, artinya: anak kandung, keturunan menurut daging; 2) bn, artinya: ”anak” dalam arti yang lebih luas, sering tanpa kekerabatan. Dalam Alquran, Yesus (’Isa) sangat dihormati sebagai nabi besar, yang kepadanya diberi gelar Al Berdasarkan penyataan Allah, kita mengakui Bapa, Anak, dan Roh Kudus, yang bersama-sama adalah Allah yang Esa.
Maseh, yang menandai Yesus sebagai orang yang hidup dalam lingkungan Allah. ’Isa disebut putra (’bn) Maryam (Surat 2,87; 3,45), karena menurut Alquran kejadian ’Isa memang luar biasa, karena ia dikandung dengan tiupan Ruhul Qudus (yaitu Jibril) kepada Maryam. Artinya, dengan menggunakan kata ’bn, Alquran menghormati dan mengunggulkan Yesus. Tetapi dalam membantah pandangan Kristen bahwa Yesus adalah Anak Allah, Al-Quran menggunakan kata walad: ”Mereka (orang-orang kafir) berkata: ’Allah mempunyai walad’” (Surat 2,116; 10,68). Sebenarnya itu karena kesalahpahaman ajaran ketritunggalan, seolah-olah ketiganya dibentuk oleh Allah, Anak, dan Maria. Tetapi orang Kristen pun tidak percaya bahwa Yesus adalah walad Allah! Firman yang kekal dapat disebut ’bn Allah, yang menjadi manusia, yaitu Yesus, yang adalah walad Maria.
Dewasa ini ada teolog Kristen yang berpendapat bahwa lebih baik meninggalkan ajaran bahwa Yesus Kristus adalah Anak Allah, supaya dialog antara orang Kristen dan Muslim menjadi lebih lancar. Karena bagi orang Islam ajaran tersebut merupakan batu sandungan yang sama sekali tidak dapat diterima. Demikianlah pandangan yang dikemukakan Dr. Bambang Subandrijo dalam tesisnya yang berjudul Eikon and Ayat (Amsterdam, 2008). Menurut dia, istilah ”Anak Allah” tidak perlu dianggap secara harfiah, karena merupakan kiasan saja untuk menandai Yesus sebagai seorang Nabi yang luar biasa, seorang Utusan Allah yang sangat istimewa. Demikian pula pandangan Al-Quran mengenai Yesus. Alquran sangat mengunggulkan Yesus, tetapi menganggap mustahil bahkan hujatan yang paling besar, bahwa Allah yang Esa dapat memperoleh Anak, apalagi seorang Anak yang mati di kayu salib. Karena itu, ujar dr. Subandrijo, dialog antara Kristen dan Islam lebih baik memusatkan diri pada kehidupan Yesus yang dapat merupakan teladan bagi kita pada masa kini. Daripada kita bertikai mengenai identitas Yesus, lebih baik kita mengikuti teladan yang diberikan-Nya, dengan meniru kehidupanNya. Tetapi dengan demikian kebenaran Firman yang dinyatakan Allah dalam Alkitab ditawarkan, sehingga hilanglah ajaran keselamatan yang bergantung padanya. Kalau kita hanya mau mengikuti teladan-Nya, bagaimana dengan penebusan dan pendamaian yang dilakukan-Nya bagi kita oleh darah-Nya?
Pada abad ke-4, Marcellus van Ancyra mengatakan bahwa inkarnasi akan ditiadakan pada akhir zaman. Atau dengan kata lain, ketritunggalan Allah sebenarnya bukan ketritunggalan kekal dari tiga Diri, tetapi terjadi begitu saja penyataan dari tiga oknum selama sejarah berlangsung (trinitas bukan menyangkut keberadaan, tetapi trinitatis menyangkut pekerjaan). Sekalipun Marcellus ini sahabat Athanasius, ia justru menganggu ajaran Athanasius. Ajarannya ditentang oleh rumusan pengakuan Nicea-Konstantinopel bahwa kerajaan Kristus ”tidak akan berkesudahan” (Van de Beek, 37).
Walaupun ketritunggalan Allah tidak mungkin dipahami manusia, selalu ada orang yang berusaha untuk menjelaskannya. Ada yang membandingkannya dengan ketiga cara keberadaan air: air, uap, dan es. Atau dengan ketiga dimensi dunia ini: segala sesuatu ada lebarnya dan panjangnya dan tingginya. Walaupun itu benar, hal itu sebenarnya tidak menolong untuk kita memahami Allah yang Esa sebagai Bapa, Anak, dan Roh, yang masing-masing memiliki keunikan tersendiri.
Contoh-contoh yang digunakan Soedarmo untuk menjelaskan ketritunggalan Allah juga kurang tepat, karena memberi kesan seolah-olah Allah dapat dibagi seperti suatu kursi yang dapat dibagi (Ikhtisar Dogmatika, 93).
Pernah ada orang, seperti Sabellius, pada abad ke-2, yang menerangkan ketritunggalan sebagai tiga cara keberadaan Allah. Pandangannya disebut modalisme (bhs. Latin: modus=cara). Maksudnya adalah Allah yang Esa telah menyatakan diri-Nya dengan tiga cara: pertama sebagai Bapa, kemudian sebagai Anak, dan akhirnya sebagai Roh Kudus. Seolah-olah Allah pernah memakai tiga topeng yang berbeda-beda. Pandangan itu sebenarnya juga kita jumpai dalam penguraian ketritunggalan dalam karangan Hadiwijono (Iman Kristen, 1.15). Memang, Hadiwijono menolak urutan ketiga cara (hal. 133), tetapi mempertahankan bahwa ketiga nama yaitu Bapa, Anak, dan Roh, menunjuk ke tiga cara penyataan Allah. Sama juga Van Niftrik/Boland berbicara mengenai tiga cara keberadaan: Allah menyatakan diri-Nya sebagai Allah Bapa, sebagai Yesus Kristus, dan sebagai Roh Kudus, sebagai tiga cara keberadaan dalam hakikat Allah (Dogmatika Masakini, 184, bnd 204-205, 553, 559).
Dalam hal ini Hadiwijono dan Van Niftrik/Boland dipengaruhi oleh Karl Barth, yang menafsirkan ketritunggalan sebagai tiga cara keberadaan. Barth tidak jelas membedakan antara Bapa dan Anak, dan mengatakan bahwa Allah yang merendahkan diri-Nya dalam Yesus Kristus. Di samping itu dengan jelas ia membedakan antara Yesus Kristus dan manusia, pada waktu ia mengatakan bahwa dalam Yesus Kristus manusia sekaligus ditinggikan.
Abineno sama sekali tidak membahas ajaran ketritunggalan dalam bab mengenai Allah, dan hanya menyebutnya pada waktu ia membicarakan karya Roh Kudus. Roh Kudus ia samakan dengan kasih Allah, dengan kehadiranNya, dan dengan kuasa-Nya. Sedangkan menurutnya Yesus Kristus bukan Allah, melainkan manusia biasa saja, yang dikuasai oleh Roh Kudus, yaitu oleh kehadiran Allah, dengan cara yang melebihi semua orang yang mendahuluiNya. (Pokok-pokok Penting dari Iman Kristen, 144 dst., 117-119).
Ajaran bahwa Roh Kudus keluar dari Bapa dan Anak (filioque: bhs. Latin: ”dan Anak”) tidak diakui Gereja Ortodoks Timur yang memisahkan diri dari gereja di negara-negara Barat pada 1054. Menurut Gereja Ortodoks Timur, Roh Kudus hanya keluar dari Bapa. Dengan demikian Gereja Ortodoks Timur melepaskan karya Roh Kudus dari karya Anak. Dikatakan bahwa manusia dapat dihidupkan oleh Roh, tanpa ada hubungan dengan Anak. Dengan demikian Gereja Ortodoks Timur membelakangi Firman Allah, yaitu Yesus Kristus, dan terbukalah pintu bagi mistik: orang mulai mencari hubungan dengan Allah secara rahasia.
Hal itu terjadi juga di dalam spiritualisme (bhs. Latin: spiritus = roh) dalam aliran-aliran baptisme dan gereja-gereja Pentakosta, yang memisahkan Roh dan Firman. Dengan demikian keesaan dan kesamaan di antara ketiganya yang Esa digerogoti.
Sebaliknya teologi Reformasi menekankan bahwa Roh Kudus bekerja melalui Firman Allah. Dengan demikian Roh Kudus mewariskan kepada kita apa yang kita miliki dalam Kristus, yaitu pengampunan dosa (bnd. Kat. Heidelberg, minggu 8; Pengakuan Athanasius).
Keputusan sejak kekal
Di atas (par. 6) sudah kita lihat bahwa Allah telah memilih kita di dalam Kristus sebelum dunia dijadikan (Ef. 1:4; 1 Petr. 1:20). Allah sendiri menetapkan keselamatan dan cara untuk mewujudkannya di dalam Kristus. Dalam dogmatik, keputusan Allah itu disebut ”perjanjian damai”, atau ”perjanjian keselamatan” (pactum salutis). Sejak kekal, Bapa, Anak (Firman), dan Roh, bersepakat untuk memberi keselamatan kepada sejumlah orang tertentu di dalam Kristus, yaitu oleh pengurbanan-Nya di kayu salib. Dalam perjanjian itu Bapa memutuskan untuk mengutus Firman menjadi Anak-Nya, sedangkan Firman menyatakan diri-Nya, bersedia untuk mengosongkan diri-Nya menjadi manusia.
Demikianlah Kitab Suci bersaksi bahwa Yesus diserahkan oleh Allah sesuai dengan rencana-Nya sendiri (Kis. 2:23), sehingga semua yang terjadi (Yesus disalibkan) sesuai dengan maksud abadi (Ef. 3:11). Keputusan-Nya itu berdaulat, penuh hikmat, tidak berubah, dan tetap terlaksana (Rm. 16:27; Yes. 46:10; bnd. 14:24-27; Ibr. 6:17). Rencana Tuhan tetap selama-lamanya, rancangan hati-Nya turun-temurun! (Mzm. 33:11; bnd. Ams. 19:21).
Cara mengenai bagaimana ketiganya mencapai perjanjian itu melampaui akal budi kita.
Pertama, seperti sudah dijelaskan di atas, Allah tidak takluk pada waktu karena Dia sendiri yang telah menciptakan waktu. Tetapi kita manusia takluk pada waktu, sehingga kita tidak mungkin dapat memahami apa sebenarnya arti kekekalan. Kita tidak dapat membayangkannya, karena menurut pengertian kita, segala sesuatu ada awalnya dan ada akhirnya, padahal Allah tidak demikian.
Kedua, cara mengambil keputusan di dalam diri Allah tentu jauh berbeda dengan cara kita, manusia memutuskan sesuatu. Perjanjian antara manusia terjadi sesudah mencapai persetujuan dengan jalan musyawarah, atau berdasarkan pemungutan suara. Sebab setiap orang mempunyai pandangannya sendiri yang hendak dikemukakannya, sehingga yang satu harus meyakinkan yang lain. Tetapi Bapa, Firman, dan Roh sebenarnya Satu, sehingga tidak perlu bermusyawarah, apa lagi melakukan pemungutan suara. Di dalam diri Allah, mereka tidak menghadap yang Satu kepada yang Lain. Mereka merupakan Allah yang Esa, yang kehendak-Nya satu. Di dalam diri Allah tidak pernah ada persengketaan atau pertentangan bahkan pertempuran. Allah itu Esa!
Keputusan Allah dan dosa kita
Mengenai urutan dalam keputusan Allah, dalam bidang dogmatik pernah ada dua aliran.
Ada yang berpendapat bahwa keputusan Allah untuk menyelamatkan manusia mendahului keputusan bahwa manusia akan jatuh ke dalam dosa. Menurut penganut pandangan ini, keputusan pertama yang diambil Allah adalah mengenai pemilihan, kedua mengenai penciptaan, ketiga mengenai kejatuhan manusia ke dalam dosa. Pandangan itu disebut supralapsarisme (bhs. Latin: supra=di atas, lapsus=kejatuhan): keputusan mengenai pemilihan mendahului keputusan mengenai terjadinya dosa.
Ada yang berpendapat lain, urutan keputusan itu terbalik. Mereka berpendapat bahwa keputusan Allah untuk membiarkan manusia jatuh ke dalam dosa mendahului keputusan-Nya untuk menyelamatkan sejumlah manusia tertentu. Menurut pandangan ini, keputusan pertama ialah mengenai penciptaan, kedua mengenai kejatuhan, dan yang ketiga mengenai pemilihan. Pandangan ini disebut infralapsarisme (bhs. Latin: infra=di bawah).
Sebenarnya kedua pandangan itu tidak mengindahkan kekekalan Allah.
Dalam terang kekekalan itu tidak mungkin kita berbicara mengenai suatu urut-urutan keputusan di dalam diri Allah. Memang benar bahwa bagi kita manusia sebenarnya harus ada pengurutan, sebab kita manusia adalah manusia bersejarah, yang memiliki awal dan akhir, yang berkembang dan yang hidup hari demi hari. Tetapi di dalam diri Allah tidak ada ”sebelum” dan ”sesudah”, tetapi semuanya itu sejak semula.
Yang memang jelas ialah bahwa keputusan Allah mendahului terjadinya manusia jatuh ke dalam dosa. Dosa Adam dan Hawa di Taman Firdaus tidak terjadi dengan tiba-tiba, dengan tidak disangka-sangka, sehingga Allah terkejut dan heran! Andaikata itu benar, tidak mungkin Kitab Suci dapat berbicara mengenai pemilihan sejak kekal, sebelum dunia dijadikan, artinya sebelum manusia jatuh ke dalam dosa. Allah yang Mahatahu sudah tahu sebelumnya apa yang akan terjadi di Taman Eden. Terlebih lagi, Dia sendiri mengizinkan terjadinya dosa itu, karena tidak akan terjadi apa pun di luar kehendak-Nya. Namun hal itu tidak membuat Allah menjadi Pencipta dosa. Kedaulatan Allah tidak meniadakan tanggung jawab manusia. Nisbah di antara keduanya itu tidak mungkin kita pahami!
Terpujilah Tuhan!
Keputusan Allah ada sejak kekal, karena Dia sendiri adalah Allah yang kekal. Tidak ada yang mendahului-Nya karena Dia selalu sudah ada. Di sini kita menemukan keterbatasan akal budi kita sebagai makhluk ciptaan Allah. Kita juga tidak boleh berusaha untuk menggali lebih dalam lagi atas apa yang dinyatakan dalam Firman Allah, karena kalau begitu, penguraian kita akan merupakan spekulasi yang tidak mungkin dapat di benarkan.
Yang perlu ialah bahwa kita mengamini saja apa yang di nya takan Allah kepada kita. Apa yang lebih dari itu adalah pikiran sia-sia. Kita patut bersujud menyembah kebesaran Allah:
”O, alangkah dalamnya kekayaan, hikmat dan pengetahuan Allah! Sungguh tak terselidiki keputusankeputusan-Nya dan sungguh tak terselami jalan-jalan-Nya! Sebab, siapakah yang mengetahui pikiran Tuhan? Atau siapakah yang pernah menjadi penasihat-Nya? Atau siapakah yang pernah memberikan sesuatu kepada-Nya, sehingga Ia harus menggantikannya? Sebab segala sesuatu adalah dari Dia, dan oleh Dia, dan kepada Dia: Bagi Dialah kemuliaan sampai selama-lamanya!” (Rm. 11:33-36).
Dengan memikirkan bagaimana cara Allah Tritunggal sebelum segala zaman menentukan rencana keselamatan, kita manusia menemukan keterbatasan akal budi kita.
Orientasi
Pengakuan tentang keputusan Allah sejak kekal tidak sama dengan pandangan determinisme. Setiap manusia bertanggung jawab sepenuhnya atas perbuatanperbuatannya. Kehidupan dan perbuatan-perbuatan kita tidak ditetapkan oleh semacam program komputer, dan Allah tidak memperlakukan kita seolah-olah kita hanya boneka-boneka yang mau tidak mau harus bergerak sesuai dengan kemauan orang yang memegang cempurit. Kita tidak dapat memahami bagaimana Allah dapat mempertahankan kewajiban kita, padahal Dialah yang telah menentukan semuanya sejak semula. Tetapi tidak berarti bahwa itu tidak benar! Jangan kita lupakan keadaan kita sebagai manusia ciptaan tangan-Nya. Dia jauh lebih besar daripada yang dapat kita bayangkan: ”Betapa besarnya pekerjaan-pekerjaan-Mu, ya Tuhan, dan sangat dalamnya rancangan-rancangan-Mu” (Mzm. 92:5).
Demikian pula ajaran mengenai keputusan Allah sejak kekal tidak sama dengan takdir. Orang yang percaya pada takdir menjadi fatalis, atau sombong. Tetapi siapa yang menerima segala sesuatu yang difirmankan Allah dalam Kitab Suci akan mengakui kedaulatan Allah, dan sekaligus menekankan kewajiban kita, manusia: ”Berjuanglah untuk masuk melalui pintu yang sempit itu” (Luk. 13:24); ”tetaplah kerjakan keselamatanmu dengan takut dan gentar” (Flp. 2:12).