Dick Mak
Bagaimana caranya agar saya dapat diselamatkan? Jawaban atas pertanyaan inilah yang secara singkat akan dibahas dalam bidang Dogmatik ini, yang sering disebut ”doktrin keselamatan” atau ”soteriologi” (kata ”soteriologi” berasal dari bhs. Yunani, dan berarti pengetahuan (logos) tentang keselamatan [sōtēria]). Atau dengan kata lain: Bagaimana saya bisa mendapat (atau lebih baik: telah mendapat) bagian dalam keselamatan yang dikerjakan oleh Yesus Kristus di kayu salib?
Sebenarnya jawaban atas pertanyaan ini cukup sederhana. Saya bisa diselamatkan jika saya percaya kepada Yesus Kristus. Seperti yang tertulis dalam Markus16:16: ”Siapa yang percaya dan dibaptis akan diselamatkan”.
Untuk itulah Allah ”telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal” (Yoh. 3:16).
Jadi jelas bahwa iman merupakan aspek yang penting dari doktrin keselamatan. Tetapi, masih ada aspek-aspek lain yang harus disebutkan. Untuk dapat menjadi percaya kita harus dipanggil lebih dahulu, dan dilahirkan kembali. Dan iman selalu berjalan bersama dengan pertobatan: ”Bertobatlah dan percayalah kepada Injil!” (Mrk.1:15). Selanjutnya oleh iman kita dibenarkan. Dan sebagai orang percaya, kita dipanggil untuk hidup kudus, dan bertekun dalam iman.
Dengan demikian kita menemukan aspek-aspek keselamatan yang disebutkan dalam buku-buku Dogmatik, yaitu: panggilan, kelahiran kembali, iman dan pertobatan, pembenaran, pengudusan, dan ketekunan. Aspek lain yang juga sering disebut adalah pengadopsian: orang-orang percaya diangkat menjadi anak-anak Allah.
Masih ada satu aspek lagi yang harus disebutkan, yaitu pemuliaan. Pemuliaan ini adalah puncak dari seluruh proses keselamatan. Kadang-kadang aspek ini dibahas dalam doktrin keselamatan, kadang-kadang dalam doktrin akhir zaman. Apa pun pilihan kita, jelas bahwa keselamatan kita tidak akan selesai tanpa pemuliaan ini. Seperti tertulis dalam Roma.8:30: ”Mereka yang ditentukan-Nya dari semula, mereka itu juga dipanggil-Nya. Mereka yang dipanggil-Nya, mereka itu juga dibenarkan-Nya. Mereka yang dibenarkanNya, mereka itu juga dimuliakan-Nya.”
Istilah yang sering dipakai untuk bidang Dogmatik adalah ordo salutis, yang berasal dari bahasa Latin yang berarti ”ordo keselamatan”. Dalam kata ”ordo” terdapat unsur urutan. Urutan dalam arti logis dan/atau kronologis. Kita dapat menganggap aspek-aspek keselamatan yang disebutkan di atas sebagai tindakan-tindakan Roh Kudus dalam menerapkan karya keselamatan, dan tindakan-tindakan itu dapat digambarkan dalam urutan logis dan dalam kaitan-kaitannya antara yang satu dengan yang lain.
Harus diakui bahwa urutan seperti itu secara eksplisit tidak ada dalam Alkitab, hanya dapat dideduksi dari ayat-ayat tertentu. Antara lain dari Roma.8:30, yang telah dikutip di atas. Menurut John Murray, misalnya, tindakan-tindakan Allah dalam diri orang percaya ”dikerjakan menurut urutan (ordo) tertentu” (Murray 2008, 96). Cara berpikirnya seperti berikut: iman mendahului adopsi (Yoh. 1:12). Panggilan, pembenaran, dan pemuliaan ”merupakan ordo tahapan seturut dengan pengaturan Ilahi” (Murray 2008, 99). Itu berarti bahwa panggilan mendahului pembenaran, demikian juga iman karena iman adalah respons terhadap panggilan itu. Jadi iman mendahului pembenaran. Kelahiran kembali mendahului iman (lih. mis. Yoh. 3:3). Berdasarkan sifat panggilan, yaitu permulaan dari keselamatan, Murray berani menempatkan panggilan sebelum kelahiran kembali dalam ordo salutis. Pertobatan adalah pasangan dari iman (kedua aspek ini kadang-kadang disebut sebagai konversi). Adopsi harus ditempatkan setelah pembenaran, karena tidak mungkin seseorang diangkat menjadi anak Allah jika ia tidak dibenarkan. Pengudusan harus ditempatkan setelah aspek-aspek keselamatan yang lain, karena merupakan suatu proses, bersama dengan ketekunan.
Jadi, menurut Murray, ”ordo penerapan penebusan” harus disusun sebagai berikut: panggilan, kelahiran kembali, iman dan pertobatan, pembenaran, adopsi, pengudusan, ketekunan, dan pemuliaan (Murray 2008, 105).
Walaupun aspek-aspek keselamatan ini dapat disusun secara logis, namun logika ini terbatas. Urutan ini tidak dapat disimpulkan secara langsung dari Alkitab, sedangkan aspek-aspek tertentu terjadi secara simultan. Misalnya, sulit sekali untuk menentukan urutan bagi panggilan dan kelahiran kembali, atau bagi iman dan pertobatan. Selain itu, pembenaran dan pengudusan terjadi secara simultan, walaupun aspek yang pertama merupakan status yang diberikan kepada orang percaya pada awal kehidupannya sebagai orang Kristen, dan aspek yang kedua (pengudusan) merupakan suatu proses, yang dimulai pada saat seseorang bertobat dan percaya kepada Yesus Kristus, dan yang berjalan terus sampai pada akhir hidupnya. Juga ada aspek-aspek yang untuk sebagian menggambarkan realitas yang sama dalam kehidupan orang percaya, misalnya pertobatan dan pengudusan, atau pengudusan dan ketekunan. Selain itu, masih ada aspek-aspek lain yang tidak disebutkan dalam rangkaian di atas, namun merupakan hal yang penting dalam keselamatan kita (mis. kasih).
Karena itu, Anthony A. Hoekema memilih istilah ”jalan keselamatan”. Karena dalam doktrin keselamatan kita tidak membahas langkah-langkah yang terjadi secara bertahap, tetapi aspek-aspek ”yang terjadi secara simultan dari suatu proses keselamatan, yang mana setelah dimulai, aspek-aspek tersebut berjalan secara berdampingan” (Hoekema 2006, 17).
Dalam bab ini kita akan membahas aspek-aspek yang secara tradisional muncul dalam Dogmatik Reformasi, seperti yang dijelaskan di atas. Tetapi kita harus menyadari bahwa aspek-aspek ini kadang-kadang untuk sebagian saling berkelindan, dan bahwa sistematik dalam pembahasan tidak boleh mendapat tekanan yang terlalu berat. Tentu, panggilan dan kelahiran kembali harus ditempatkan pada awal, tetapi dampaknya terasa sampai dengan akhirnya. Sama halnya dengan pembenaran dan adopsi, yang terjadi setelah seseorang menjadi percaya, dan yang bukan merupakan suatu proses, namun kedua-duanya penting untuk seumur hidup. Harus disadari juga bahwa penerapan keselamatan ke dalam kehidupan seseorang merupakan hal yang ajaib dan dinamis, bukan sesuatu yang persis sama dalam kehidupan setiap orang, dan yang dapat diprediksi secara mendetail. Namun, aspek-aspek yang akan dibahas dalam bab ini merupakan hal-hal yang mutlak, yang perlu dalam kehidupan seorang Kristen, walaupun bentuknya, caranya, kecepatannya dan penghayatannya dapat berbeda antara orang yang satu dan orang lainnya, dan walaupun daftar aspek ini tidak lengkap, dan dapat ditambah dengan hal-hal lain yang penting dalam kehidupan seorang Kristen yang disebutkan dalam Alkitab. Namun aspek-aspek yang akan dibahas merupakan hal-hal yang terpenting dalam penerapan dan penghayatan keselamatan dalam kehidupan individu-individu dan kehidupan umat Kristen.
Aspek-aspek keselamatan orang percaya yang akan dibahas dalam bab ini adalah panggilan efektif, kelahiran kembali, iman dan pertobatan, pembenaran (dan pengadopsian), pengudusan, dan ketekunan. Yang penting bukan sistematiknya, melainkan sifat masing-masing dan ketergantungan antara yang satu dengan yang lain.
Beberapa teolog lebih suka membahas doktrin keselamatan dalam rangka kesatuan dengan Kristus. Itu berarti bahwa hal-hal yang dibahas dalam doktrin keselamatan tidak dianggap sebagai serangkaian tindakan dan proses yang saling berhubungan satu dengan yang lain, tetapi sebagai aspek-aspek dari kesatuan dengan Kristus. Walaupun pendekatan ini tidak dipakai dalam bab ini, namun kesatuan dengan Kristus sangat penting bagi penerapan keselamatan.
Kita dipanggil ke dalam kesatuan dengan Kristus. Panggilan untuk menjadi percaya kepada Tuhan Yesus Kristus berarti panggilan untuk memercayakan diri kepada-Nya. Kelahiran kembali dapat digambarkan sebagai peristiwa yang di dalamnya seseorang dihidupkan bersama-sama dengan Kristus (Ef. 2:5). Paulus menekankan bahwa kita telah mati dengan Kristus (Rm. 6:8), dan telah dibangkitkan bersama dengan Kristus (Kol.3:1).
Melalui iman, Yesus hidup di dalam kita (Ef.3:17), dan kita dibenarkan oleh iman yang sama, yang mempersatukan kita dengan Yesus Kristus. Kita hanya dapat hidup kudus karena kita ”diciptakan dalam Kristus Yesus untuk melakukan pekerjaan baik, yang dipersiapkan Allah sebelumnya” (Ef. 2:10). Kesatuan dengan Kristus ini juga membuat kita tetap bertekun dalam iman. Tidak ada seorang pun yang dapat merebut domba-domba Kristus dari tangan-Nya (Yoh. 10:28). Dan pada akhirnya, kita yang telah menderita bersama-sama dengan Kristus juga akan dipermuliakan bersama-sama dengan Dia (Rm. 8:17).
Banyak hal yang indah yang dapat dikatakan tentang kesatuan orang percaya dengan Kristus. Tetapi untuk sekarang ini, cukup untuk menekankan pentingnya kesatuan dengan Kristus bagi keselamatan kita. Tanpa kesatuan itu tidak akan ada keselamatan. Semua aspek, dari panggilan sampai dengan ketekunan, hanya akan terealisasikan dalam kesatuan orang percaya dengan Kristus.
Peran Roh Kudus juga sangat mendasar bagi keselamatan. Hoekema (2006, bab 4) misalnya, dalam bukunya tentang doktrin keselamatan, menyumbangkan satu bab yang panjang tentang Roh Kudus. Keselamatan pribadi dan keselamatan umat Kristen tidak dapat dipikirkan tanpa Roh Kudus yang bekerja di dalam diri orang percaya. Oknum dan karya Roh Kudus akan dibahas dalam bab tersendiri dalam buku ini. Tetapi, dalam rangka pembahasan doktrin keselamatan, kita akan merujuk secara singkat pada peran Roh Kudus yang sangat bervariasi dalam menerapkan keselamatan kepada orang-orang percaya dan yang menyangkut setiap aspek dari jalan keselamatan.
Perubahan yang terjadi di dalam hati seseorang yang dipanggil secara efektif disebabkan oleh Roh Kudus, sama seperti kelahiran kembali yang bersama dengan panggilan efektif harus ditempatkan pada awal kehidupan sebagai orang Kristen. Roh Kuduslah yang berperan secara misterius tetapi kuat dalam panggilan dan kelahiran kembali (Yoh. 3:5; Tit. 3:5).
Dalam pertobatannya dan imannya kepada Yesus, manusia juga sangat bergantung kepada Roh Kudus. Paulus menulis: ”tidak ada seorang pun yang dapat mengaku: ’Yesus adalah Tuhan’, selain oleh Roh Kudus” (1Kor.12:3). Bukti pertobatan orang-orang bukan Yahudi adalah bahwa Roh Kudus turun ke atas mereka (Kis. 11:15,18).
Jika kita hanya dapat percaya kepada Yesus oleh Roh Kudus, maka pembenaran juga sangat berkaitan erat dengan karya Roh Kudus, karena seseorang hanya dapat dibenarkan oleh iman. Dan hubungan antara pembenaran dan Roh Kudus dinyatakan secara langsung dalam 1 Korintus 6:11, yang di dalamnya Paulus menulis: ”Tetapi kamu telah memberi dirimu disucikan, kamu telah dikuduskan, kamu telah dibenarkan dalam nama Tuhan Yesus Kristus dan dalam Roh Allah kita.”
Dua kali Paulus menulis tentang pengangkatan menjadi anak Allah, dan dua kali Roh Kudus memainkan peran yang penting dalam pengangkatan itu. Paulus menyebut Roh Kudus sebagai ”Roh yang menjadikan kamu anak Allah”. ”Oleh Roh itu kita berseru, ’Ya Abba, ya Bapa!’” (Rm. 8:16). Dan kita membaca dalam Galatia 4:6: ”Allah telah menyuruh Roh Anak-Nya ke dalam hati kita, yang berseru, ’Ya Abba, ya Bapa!’”
Juga mengenai aspek pengudusan, tidak sulit untuk melihat bagaimana Roh Kudus bekerja. Salah satu argumen Paulus dalam 1 Korintus 6:12-20, untuk menegaskan bahwa dosa percabulan harus dijauhkan dari kehidupan orang Kristen, adalah ayat 19: ”Atau tidak tahukah kamu bahwa tubuh kamu semua adalah bait Roh Kudus yang tinggal di dalam kamu, Roh Kudus yang kamu peroleh dari Allah dan bahwa kamu bukan milik kamu sendiri?” Di samping itu, Roh Kudus sendiri yang menguduskan orang percaya, seperti tertulis dalam 2 Tesalonika 2:13: ”sebab Allah sejak semula telah memilih kamu untuk diselamatkan dalam Roh yang menguduskan kamu dan dalam kebenaran yang kamu percayai.”
Aspek terakhir adalah ketekunan. Bagaimana mungkin orang percaya dapat bertekun dalam iman? Antara lain oleh karena Roh Kudus, yang diberikan kepada orang-orang percaya sebagai ”meterai” (tanda dari Allah bahwa seseorang telah menjadi milik-Nya, Ef. 1:13) dan ”jaminan” (uang muka) dari apa yang akan diberikan di masa depan, yaitu keselamatan yang sempurna (Ef.1:14).
Betapa besar pengaruh Roh Kudus dalam jalan keselamatan setiap orang percaya, dan betapa penting peran-Nya dalam menerapkan keselamatan yang telah dikerjakan Yesus Kristus kepada orang-orang Kristen. Dalam pembahasan setiap aspek keselamatan yang akan menyusul maka peran Roh Kudus, dan kesatuan dengan Kristus, yang dibahas dalam paragraf sebelumnya, harus diingat dan disadari terus-menerus.
Dalam setiap aspek keselamatan, kesatuan orang percaya dengan Kristus dan peran Roh Kudus memainkan peran yang penting.
Dalam doktrin keselamatan, sangat terlihat perbedaan pendapat antara ajaran Calvinis dan ajaran Arminian. Dua-duanya berpegang pada doktrin Sola Gratia, yaitu bahwa manusia diselamatkan hanya oleh anugerah.Tetapi dalam ajaran Arminian masih diberi ruang untuk memilih lepas dari campur tangan Tuhan. Sedangkan menurut ajaran Calvinis juga ada kemungkinan bagi manusia untuk memilih, hanya pilihan itu tidak pernah lepas dari campur tangan Tuhan!
Di sini kita menemukan satu paradoks, yaitu paradoks antara kedaulatan Allah dan tanggung jawab manusia. Menurut ajaran Reformasi, kita tidak boleh memilih antara kedaulatan Allah dan tanggung jawab manusia. Duaduanya benar dan berdasarkan ajaran Alkitab, walaupun akal budi manusia tidak mampu menyejajarkan kedua hal ini secara logis. Karena itu dua-duanya harus diajarkan dan diakui. Pada jalan keselamatan, Allah berdaulat seratus persen, dan manusia bertanggung jawab seratus persen. Tidak ada jalan keluar yang lebih masuk akal, seolah-olah Allah dan manusia bekerja sama dalam keselamatan, sehingga sumbangsih Allah bagi keselamatan manusia adalah lima puluh persen, dan apa yang manusia kerjakan juga lima puluh persen. Bahkan pembagian sembilan puluh persen dari Allah dan sepuluh persen manusia, atau sembilan puluh sembilan persen dari Allah dan satu persen dari manusia, tidak dapat diterima. Allah berdaulat seratus persen, sehingga keselamatan manusia sungguh-sungguh sola gratia. Tetapi, manusia sekaligus bertanggung jawab penuh atas keselamatannya, walaupun ia tidak dapat mengerjakannya sendiri.
Kalau kita menerapkan prinsip ini pada aspek-aspek keselamatan yang dibahas dalam bab ini, maka kita melihat bahwa ada aspek-aspek yang merupakan karya Allah seratus persen, sedangkan manusia tidak terlibat secara aktif. Dan ada juga aspek-aspek keselamatan yang tetap Allah kerjakan seratus persen, tetapi di dalamnya manusia tidak pasif lagi, tetapi secara aktif terlibat dalam perealisasiannya.
Lihat misalnya kelahiran kembali. Aspek keselamatan ini seratus persen Allah kerjakan melalui Roh Kudus, sedangkan manusia hanya pasif. Tetapi dalam aspek iman, Allah tetap berkarya seratus persen, sedangkan manusia juga menjadi aktif dan terlibat seratus persen. Kalau kita melihat semua aspek keselamatan, Allah mengerjakan semuanya secara keseluruhan, sedangkan manusia hanya aktif dalam aspek iman dan pertobatan, pengudusan, dan ketekunan. Panggilan efektif, kelahiran kembali, pembenaran, dan adopsi, adalah berkat-berkat yang dikerjakan oleh Allah di dalam manusia, tanpa ikut campur manusia. Manusia hanya menerimanya secara pasif, dan menjadi aktif dalam bertobat dan percaya, serta menguduskan diri dan bertekun. Tetapi bahkan aspek-aspek yang di dalamnya manusia menjadi aktif, harus dianggap sebagai hal-hal yang diterima dari Tuhan sola gratia.
Apa perbedaannya dengan ajaran Arminian? Perbedaan itu menjadi jelas dalam 5 pokok Calvinisme (yang tidak berasal secara langsung dari Calvin, melainkan diakui oleh pengikut-pengikutnya, yaitu orang-orang Kristen yang beraliran Calvinis). Kelima pokok itu dapat dijelaskan secara singkat sebagai berikut:
Calvinisme | Arminianisme |
---|---|
1. Kerusakan total: manusia harus dipanggil secara efektif dan dilahirkan kembali untuk dapat percaya | Kerusakan total: yang ditiadakan oleh anugerah Allah yang dikaruniakan kepada semua orang dalam bentuk kemampuan untuk memilih: percaya atau tidak percaya |
2. Pemilihan tak bersyarat: pemilihan berdasarkan kasih Allah yang berdaulat, bukan perbuatan atau pilihan manusia | Pemilihan bersyarat: Allah telah memilih sejumlah orang berdasarkan pengetahuan-Nya sebelumnya mengenai siapa yang akan percaya. Manusia dipilih berdasarkan pilihannya untuk percaya |
3. Penebusan terbatas (atau partikuler): hanya orang-orang pilihan saja yang ditebus oleh karya Yesus Kristus | Penebusan terbatas: hanya orang-orang yang memilih untuk percaya yang ditebus oleh karya Yesus Kristus |
4. Anugerah yang tak dapat ditolak: orang-orang yang dipilih tidak dapat menolak anugerah Allah. Mereka pasti akan percaya kepada Yesus Kristus | Anugerah yang dapat ditolak: Karena kemampuannya untuk memilih, manusia dapat menolak anugerah. Penerimaan anugerah tergantung keputusan manusia |
5. Ketekunan orang kudus: orang-orang pilihan pasti akan bertekun dalam iman. Hal itu dijamin oleh Allah dan akan menjadi realitas dalam kehidupan orang percaya | Ketekunan orang kudus: apakah manusia akan bertekun dalam iman atau tidak tergantung kepada usaha manusia |
Walaupun ada perbedaan antara Calvinisme dan Arminianisme dalam setiap pokok yang disebut di atas, sebenarnya ada satu hal yang menyebabkan semua perbedaan, yaitu: kemampuan untuk memilih. Istilah yang dipakai dalam bahasa Inggris adalah prevenient grace, yaitu anugerah yang terdahulu. Yang dimaksudkan dengan anugerah yang terdahulu adalah anugerah yang dikaruniakan kepada setiap manusia, yang meniadakan kerusakan total. Walaupun ajaran Arminian mengakui kerusakan total manusia, namun kerusakan total itu ditiadakan oleh anugerah yang diberikan kepada setiap manusia. Anugerah itu bukan anugerah yang membuat setiap manusia diselamatkan, melainkan anugerah yang memberi kemampuan kepada setiap manusia untuk memilih: percaya kepada Yesus Kristus atau tidak. Itu berarti bahwa pemberian kemampuan untuk memilih merupakan anugerah Tuhan, dan bukan hasil upaya manusia. Tetapi, setelah Tuhan mengaruniakan kemampuan untuk memilih kepada setiap manusia, maka pilihan untuk percaya atau tidak menjadi hak dan kuasa manusia sepenuhnya. Menurut ajaran Arminian, Tuhan sama sekali tidak campur tangan lagi dalam pilihan manusia untuk percaya atau tidak.
Ajaran mengenai ”anugerah yang terdahulu” ini memengaruhi setiap pokok Calvinisme yang lain. Karena itu, menurut ajaran Arminian, pemilihan bukan pemilihan yang tidak bersyarat (sebagaimana yang diajarkan oleh Calvinisme, berdasarkan ajaran Alkitab), karena Tuhan memercayakan keputusan untuk percaya atau tidak, sepenuhnya berada di tangan manusia. Tuhan memilih manusia berdasarkan prapengetahuan-Nya mengenai siapa dari umat manusia yang akan mengambil keputusan untuk percaya kepada Yesus Kristus. Karena itu, dalam Arminianisme sifat pemilihannya bersyarat.
Dalam pokok ketiga, yaitu penebusan terbatas, dalam praktik perbedaannya tidak terlihat. Karena baik bagi orang-orang Calvinis maupun orang-orang Arminian, hanya orang percaya saja yang ditebus oleh kurban Yesus Kristus di kayu salib. Hanya saja dalam ajaran Calvinis, penebusan itu berlaku bagi orang-orang pilihan, yang melalui kelahiran kembali menjadi percaya kepada Yesus Kristus. Sedangkan dalam pandangan Arminian mereka yang memilih untuk menjadi percaya ditebus oleh kurban Yesus Kristus.
Dalam pokok keempat dan kelima, perbedaannya sangat jelas. Menurut pendapat Calvinis, anugerah yang ditawarkan dalam Injil tidak dapat ditolak oleh orang-orang pilihan. Mereka yang telah dipilih dan dipanggil secara efektif dan dilahirkan kembali, tidak mungkin menolak Injil Yesus Kristus. Mereka pasti akan menjadi percaya. Sedangkan Arminianisme mengajarkan bahwa setiap manusia mampu untuk memilih, sehingga manusia juga dapat menolak Injil dan anugerah yang ditawarkan di dalamnya. Itu berarti bahwa dalam pandangan Arminian, walaupun keselamatan tetap dianggap sebagai anugerah Tuhan, pada akhirnya manusialah yang menentukan apakah ia selamat atau tidak, bukan Tuhan.
Hal yang sama kita lihat dalam pokok terakhir, yaitu ketekunan orang kudus. Kedua pandangan setuju bahwa tidak semua orang percaya bertekun. Mungkin saja ada orang percaya yang kehilangan iman dan kehilangan keselamatan. Belum tentu setiap orang yang pernah mengaku imannya dalam
Tuhan Yesus memiliki iman yang sejati dan akan bertekun seumur hidup dalam iman. Tetapi, perbedaannya terletak pada alasan mengapa orang percaya dapat bertekun. Menurut orang Arminian, ketekunan bergantung pada usaha manusia. Manusia dapat memilih untuk menjadi percaya, dan manusia tetap harus berusaha sendiri untuk bertekun. Sedangkan orang Calvinis mengajarkan bahwa mereka yang bertekun adalah orang-orang pilihan. Itu berarti bahwa Allahlah yang mengerjakan ketekunan itu di dalam diri orang pilihan, walaupun orang itu sendiri juga harus berusaha untuk tetap setia.
Dalam keselamatan Allah berdaulat seratus persen, dan manusia bertanggung jawab seratus persen.
Doktrin keselamatan tidak berdiri sendiri, tetapi mempunyai hubungan dengan doktrin-doktrin lain yang dibahas dalam buku ini.
Jelas bahwa doktrin keselamatan berhubungan erat dengan doktrin pemilihan, yang dibahas dalam bab tentang Allah. Pandangan kita mengenai pemilihan sangat memengaruhi pembahasan doktrin keselamatan. Beberapa teolog tidak membahas doktrin pemilihan dalam bab tentang Allah, tetapi dalam bab tentang keselamatan, seperti Wayne Grudem dan Yohanes Calvin. Dalam Pasal-pasal Ajaran Dordrecht, juga nyata hubungan antara pemilihan (Bab I) dan misalnya kelahiran kembali (Bab III/IV) dan ketekunan orang kudus (Bab V). Dalam buku ini, doktrin pemilihan sudah dibahas dalam bab tentang Allah, sehingga tidak perlu diulang lagi di sini. Seperti sudah dikemukakan di atas, kita bertitik tolak dari pemilihan tidak bersyarat: Di dalam kekekalan, Allah memilih sejumlah orang untuk diselamatkan berdasarkan kasih-Nya yang berdaulat, bukan berdasarkan kebaikan atau usaha manusia, bahkan usaha yang paling kecil pun, seperti dalam ajaran Arminian.
Ajaran kerusakan total, yang dibahas dalam doktrin manusia, juga penting sekali dalam doktrin keselamatan. Setelah manusia jatuh ke dalam dosa, naturnya menjadi rusak total. Itu berarti bahwa manusia tidak dapat menjalin hubungan yang baik dengan Tuhan berdasarkan usahanya sendiri. Mustahil manusia dapat berbuat baik sedemikian rupa, sehingga ia bisa menyelamatkan dirinya sendiri. Syukurlah bahwa Tuhan masih menahan dosa manusia, sehingga manusia masih dapat berbuat baik. Dengan demikian Allah menunjukkan anugerah umum, yang berarti bahwa setiap manusia masih dapat hidup dan berfungsi, berpikir, dan menjadi kreatif. Tetapi itu tidak berarti bahwa hal-hal yang baik yang masih ada dalam kehidupan manusia dapat membawanya ke keselamatan dan ke pengenalan akan Allah yang sejati dan iman kepada Yesus Kristus berdasarkan pilihannya sendiri. Anugerah umum ini harus dibedakan secara jelas dengan ”anugerah terdahulu” yang diajarkan oleh kaum Arminian. Sebab anugerah umum tidak memampukan manusia untuk memilih sendiri untuk percaya atau tidak. Harus ada anugerah khusus dahulu, yaitu melalui panggilan efektif dan kelahiran kembali. Baru setelah dipanggil secara efektif dan dilahirkan kembali, manusia mampu untuk menjadi percaya kepada Yesus Kristus dan mengenal Allah secara benar.
Sudah jelas bahwa ajaran tentang Kristus sangat penting ketika kita membahas doktrin keselamatan. Hal itu sudah menjadi jelas dalam bagian kesatuan dengan Kristus. Mustahil kita diselamatkan jika kita tidak hidup dalam kesatuan dengan Kristus. Untuk itu, kita harus mengenal Kristus sebagai Allah yang sejati dan manusia yang sejati. Untuk itu kita harus mengerti karya Kristus di kayu salib. Karena dalam doktrin keselamatan, kita membahas penerapan penebusan yang telah dikerjakan Yesus Kristus.
Selanjutnya kita harus mengerti ajaran tentang perjanjian. Karena keselamatan pribadi dan keselamatan seluruh umat Tuhan adalah penggenapan janji-janji Tuhan kepada Adam, Abraham, Daud, dan sebagainya. Perjanjian yang Allah dirikan dengan Abraham dan keturunannya adalah realitas di balik karya penebusan Yesus Kristus dan karya penerapan penebusan oleh Roh Kudus. Penebusan melalui Yesus Kristus bukan rencana yang baru muncul 2.000 tahun yang lalu, melainkan rencana yang sudah ada sejak kekal dan yang direalisasikan secara bertahap dalam sejarah manusia yang telah jatuh ke dalam dosa.
Pentingnya ajaran tentang Roh Kudus tidak perlu ditekankan lagi di sini, karena sudah dijelaskan dalam bagian 4 di atas.
Tidak sulit untuk melihat hubungan dengan doktrin akhir zaman.
Keselamatan pribadi sudah terealisasikan dalam hidup ini. Orang-orang Kristen sudah menikmati berkat-berkat keselamatan yang diterapkan Roh Kudus dalam hidup mereka. Boleh dikatakan, dengan kedatangan Yesus Kristus yang pertama dan pencurahan Roh Kudus, zaman akhir telah dimulai. Tetapi sekaligus jelas bahwa kita masih menantikan kedatangan Yesus Kristus yang kedua. Pada saat itu keselamatan akan menjadi sempurna, karena baru pada saat itu dosa dan maut disingkirkan secara definitif dari dunia. Kita yang sudah diselamatkan dalam hidup ini sangat mengharapkan pemuliaan dan perubahan atau kebangkitan tubuh kita, sehingga menjadi serupa dengan tubuh Yesus Kristus yang mulia (Flp. 3:20-21). Itulah tujuan akhir: kita dimuliakan, supaya kita memuliakan Allah Tritunggal untuk selama-lamanya.
Pada umumnya panggilan dibedakan menjadi dua: panggilan Injil dan panggilan efektif, yang akan dibahas di bawah ini. Panggilan Injil berarti bahwa semua orang yang mendengar Injil sungguh-sungguh dipanggil untuk menjadi percaya kepada Kristus. Panggilan efektif berarti bahwa panggilan Injil itu hanya menjadi efektif atau hanya berhasil dalam kehidupan orang-orang pilihan.
Di samping itu Teologi Reformasi mempunyai sebutan panggilan yang lain lagi yaitu panggilan umum atau realis. Panggilan ini datang kepada manusia melalui penyataan umum (yaitu penciptaan, pemeliharaan, dan pemerintahan seluruh alam; lihat PIGB 2). Jadi, panggilan ini disampaikan tanpa kata-kata (Mzm.19:2-7), ”tampak dan dipahami dari karya-Nya sejak dunia diciptakan” (Rm.1:20).
Panggilan umum atau realis ini tidak cukup untuk membawa manusia ke pengenalan akan Allah yang benar. Untuk dapat mengenal Allah dan menjadi percaya kepada Tuhan Yesus, harus ada panggilan Injil. Namun, panggilan Injil ini juga tidak membuat setiap orang yang mendengarnya menjadi percaya secara otomatis. Allah harus bekerja di dalam manusia melalui Roh Kudus untuk membuat panggilan Injil itu menjadi efektif.
Manusia hanya dapat mengenal Allah jika Allah menyatakan diri secara khusus kepadanya melalui firman-Nya. Firman Allah, atau Injil Yesus Kristus, harus diberitakan kepada semua orang, tanpa kecuali, sesuai dengan Amanat Agung Yesus (Mat. 28:19-20). Para pemberita Injil tidak boleh melewatkan orang, suku, atau bangsa tertentu. Bukan para pemberita Injil yang dapat mengerjakan kelahiran kembali atau memberi iman yang sejati, tetapi mereka tidak berhak untuk mengecualikan individu-individu atau kelompok-kelompok orang dari pemberitaan Injil. Roh Kuduslah yang menentukan siapa yang menjadi percaya dan siapa tidak, bukan manusia. Injil harus diberitakan kepada semua orang.
Hal itu jelas dalam dua perumpamaan yang pernah disampaikan Yesus pada dua kesempatan, yang secara garis besar sama, namun ada bedanya juga, yaitu Matius 22:1-14 dan Lukas 14:16-24. Ada dua hal yang menonjol dalam perumpamaan-perumpamaan ini. Orang yang pertama-tama diundang, menolak undangan itu dengan berbagai alasan, sehingga mereka dihukum (Mat. 22:7) atau tidak diizinkan lagi untuk menikmati jamuan itu (Luk. 14:24). Dalam Matius 22, para undangan bahkan dua kali diundang oleh hambahamba raja untuk datang. Hal yang kedua yang menonjol adalah perintah raja atau tuan rumah kepada hamba-hambanya untuk mengundang orang-orang dari jalan-jalan, yang jahat dan yang baik (Mat. 22), atau membawa orang miskin dan dan yang cacat yang ada di kota, dan orang-orang di luar kota (Luk. 14). Kemungkinan besar, orang-orang yang dimaksud dengan orang-orang di luar kota yang diundang ke pesta perjamuan itu (yang hanya disebut dalam Luk.14) adalah orang-orang bukan Yahudi.
Jelas, bahwa walaupun pertama-tama hanya orang-orang tertentu yang diundang, pada akhirnya undangan itu disampaikan kepada semua orang, tanpa kecuali. Seperti yang Yesus katakan setelah menguraikan perumpamaan, sebagaimana yang dilaporkan oleh Matius (Mat. 22:14): ”Banyak yang dipanggil, tetapi sedikit yang dipilih.” Itu berarti bahwa sampai hari ini, Injil harus diberitakan kepada semua orang. Semua orang harus diundang untuk percaya kepada Tuhan Yesus dan masuk ke Kerajaan Allah.
Maksud undangan itu sangat serius. Allah sungguh-sungguh ingin supaya semua orang yang mendengar Injil menjadi percaya dan selamat. Allah tidak berkenan pada kematian orang fasik, tetapi pada pertobatannya supaya ia hidup (Yeh. 18:23 dan 33:11). Yesus betul-betul menginginkan orang-orang Yahudi datang kepada-Nya untuk diselamatkan ( Mat. 23:37). Petrus menegaskan bahwa ”Ia menghendaki supaya jangan ada yang binasa, melainkan supaya semua orang berbalik dan bertobat” (2Ptr. 3:9). Melalui pemberitaan Injil, Allah mengundang setiap orang untuk memberi dirinya didamaikan dengan Allah (2Kor. 5:20).
Kita menemukan pikiran yang sama dalam PAD. Janji Injil ”harus diberitakan dan dimaklumkan kepada semua bangsa dan semua orang yang menurut perkenan Allah, menjadi alamat pemberitaan Injil-Nya, disertai perintah bertobat dan percaya, tanpa mengadakan pembedaan” (II, 5). ”Akan tetapi, semua orang yang dipanggil oleh Injil, dipanggil dengan sungguhsungguh” (III/IV, 8).
Panggilan Injil untuk bertobat dan percaya dimaksudkan bagi setiap orang tanpa pembedaan, walaupun tidak semua orang dipanggil secara efektif sehingga menjadi percaya.
Seperti sudah dijelaskan secara singkat dalam pendahuluan, sejak kejatuhan ke dalam dosa, natur manusia adalah rusak total. Itu berarti bahwa dia tidak dapat mengenal Allah secara benar dan menjadi percaya kepada Yesus Kristus dengan kekuatannya sendiri. Ketidakmampuan untuk menyelamatkan dirinya sendiri, termasuk respons terhadap panggilan Injil. Manusia tidak mampu untuk memberi respons yang positif terhadap panggilan Injil, sehingga ia akan bertobat dan percaya kepada Yesus Kristus.
Dalam hal ini ada perbedaan besar dengan kaum Arminian. Menurut mereka, respons terhadap panggilan tergantung pada manusia, yang mampu memilih untuk percaya atau tidak percaya kepada Yesus Kristus. Panggilan Injil tidak secara otomatis menghasilkan jawaban yang positif karena manusia dapat memilih: menjawab atau menolak panggilan itu. Jadi, apakah manusia menanggapi secara positif atau negatif, tergantung pada jawaban dan keputusan manusia.
Tetapi menurut ajaran Reformasi, manusia tidak mampu untuk menanggapi panggilan Injil secara positif. Jika reaksi tergantung kepada manusia, pasti reaksi itu negatif. Karena itu harus ada tindakan Roh Kudus secara khusus untuk memampukan manusia menjawab panggilan Injil secara positif.
Panggilan efektif ini juga dijelaskan dalam pengakuan iman-pengakuan iman Reformasi. Dalam PAD I, 7 kita membaca: ”Dan agar mereka [yaitu, orang-orang yang dipilih itu] diselamatkan oleh Kristus, maka Allah memutuskan juga untuk memberikan orang-orang pilihan itu kepada-Nya [yaitu kepada Kristus] dan untuk memanggil serta menarik mereka dengan ampuh [=secara efektif] oleh Firman dan Roh-Nya pada persekutuan denganNya’ (lih. juga PAD III/IV,10).
Dalam PIW X, 1, panggilan efektif dirumuskan seperti berikut: ”Allah berkenan memanggil semua orang yang telah dipredestinasikan-Nya untuk beroleh hidup yang kekal, dan hanya mereka itu saja, pada waktu yang telah ditentukan dan disetujui-Nya, dengan ampuh [=secara efektif], melalui Firman dan Roh-Nya, dari dalam keadaan yang ditandakan dosa dan maut tempat mereka berada menurut kodratnya, menuju ke rahmat dan keselamatan oleh Yesus Kristus.”
Dalam Alkitab, panggilan efektif muncul dalam banyak ayat, yang paling jelas dalam 1 Korintus 1:22-24 dan Roma 8:28-30. Paulus menulis dalam 1 Korintus 1:23-24 tentang pemberitaan Kristus yang disalibkan, yang merupakan kekuatan Allah dan hikmat Allah untuk ”mereka yang dipanggil”. Jadi, mereka yang dipanggil itu adalah orang-orang yang sudah menjawab panggilan Injil secara positif, sehingga bagi mereka, berita tentang Kristus yang disalibkan bukan lagi merupakan batu sandungan dan kebodohan, seperti anggapan mereka yang belum atau tidak menjawab panggilan Injil secara positif.
Dua kali Paulus menulis tentang mereka yang dipanggil dalam Roma 8:28-30. Jelas bahwa orang yang dipanggil itu telah menerima panggilan itu, karena mereka mengasihi Allah (ay. 28), dan selain dipanggil juga dibenarkan dan dimuliakan (ay. 30).
Masih ada banyak ayat lain lagi yang memakai istilah panggilan dalam arti bahwa panggilan itu sudah dijawab secara positif, sehingga orang-orang yang dipanggil sama dengan orang-orang yang sungguh-sungguh percaya kepada Yesus Kristus (lih. mis. 1Kor. 1:9; Rm. 1:7; Rm. 9:23-24; Gal. 1:15; Ef. 4:1,4).
Van Genderen/Velema (1992, 531-532) memakai istilah lain untuk panggilan efektif, yaitu panggilan internal (vocatio interna). Sama seperti istilah panggilan efektif, istilah ini juga menunjuk ke fakta bahwa perlu ada perubahan dalam hati manusia lebih dahulu sebelum dia dapat memberi respons positif.
Manusia tidak mampu memberi respons positif terhadap panggilan Injil. Itu berarti bahwa panggilan efektif adalah karya Allah seratus persen berdasarkan pemilihan-Nya sejak kekal.
Dalam aspek ini manusia belum aktif.
Mengapa panggilan Injil yang harus disampaikan kepada semua orang dan yang dimaksudkan dengan serius tidak menjadi efektif di dalam hati setiap orang, sehingga setiap orang yang dipanggil memberi respons positif?
Jawaban orang Arminian adalah: oleh karena manusia dapat memilih sendiri, dan ternyata tidak semua orang memilih untuk menjadi percaya. Menurut mereka, sebagian dari umat manusia menolak panggilan Injil karena mereka tidak mau. Mereka mampu memilih yang baik, tetapi mereka memilih yang jahat, yaitu menolak Allah dan anugerah-Nya di dalam Yesus Kristus yang ditawarkan dengan cuma-cuma.
Tetapi, kalau kita bertitik tolak dari kerusakan total manusia dan pemilihan tidak bersyarat, jawaban ini tidak memuaskan. Mengapa orang menerima panggilan Injil? Karena hati mereka diubah oleh Roh Kudus. Ternyata Roh Kudus tidak memperbarui hati setiap manusia. Di balik kenyataan ini, ada pemilihan tidak bersyarat sebelum dunia dijadikan (Ef. 1:4). Tetapi, di sini kita harus hati-hati. Jangan sampai kita menjelaskan secara rasional sesuatu yang sebenarnya merupakan misteri Ilahi. Pada akhirnya kita tidak tahu mengapa banyak orang menolak Injil. Beberapa hal memang jelas. Penolakan terhadap Injil bukan kesalahan Allah. Allah ingin supaya semua orang berbalik dan bertobat (2Ptr. 3:9), seperti sudah dijelaskan dalam bagian 2 di atas. Manusia sendiri yang salah kalau ia menolak Yesus Kristus yang diberitakan dalam Injil. Sekaligus kita harus mengakui bahwa jawaban positif terhadap panggilan Injil merupakan anugerah Tuhan semata-mata. Hanya Roh Kuduslah yang memampukan manusia untuk menerima Yesus Kristus. Dan di balik karya Roh Kudus yang begitu ajaib dan misterius di dalam hati manusia, terletak keputusan Allah Tritunggal yang sudah ditetapkan di dalam kekekalan mengenai pemilihan sejumlah besar orang untuk diselamatkan.
Tetapi kebenaran-kebenaran ini tidak boleh menjadi sesuatu yang matematis, yang dapat dijelaskan secara rasional. Kita manusia cenderung untuk membuat rumusan yang masuk akal, yang sesuai dengan cara berpikir manusia. Paulus menulis dalam Roma 11:33: ”Sungguh tak terselidiki keputusan-keputusan-Nya dan sungguh tak terselami jalan-jalan-Nya!” Manusia tidak akan pernah mampu untuk memahami semua aspek doktrin keselamatan secara rasional. Justru kadang-kadang kita menemukan sebuah paradoks. Tetapi, seperti ditekankan oleh Hoekema (2006, 4-7; 101-102), kita tidak boleh menghilangkan paradoks-paradoks dengan mengabaikan sesuatu yang dengan tegas diajarkan oleh Alkitab. Maksud panggilan Injil sangat serius. Sekaligus kita harus mempertahankan ajaran Alkitab tentang ketidakmampuan manusia untuk menerima Injil dan bertobat, kecuali kalau manusia dilahirkan kembali oleh Roh Kudus.
Kita tidak boleh membuat doktrin pemilihan menjadi prinsip utama dalam doktrin keselamatan pada umumnya dan aspek panggilan secara khusus. Yang terutama adalah bahwa di mana-mana di dalam Alkitab, diajarkan bahwa manusia dipanggil untuk bertobat dan percaya. Kita tidak boleh memperlemah panggilan ini dengan mengatakan: tetapi manusia tidak bisa bertobat tanpa perubahan hati yang total oleh Roh Kudus, yang mengubah situasi manusia dari mati secara rohani menjadi hidup secara rohani.
Walaupun hal ini juga diajarkan dengan jelas oleh Alkitab, namun dari sudut pandang para pemberita Injil, setiap manusia harus mendengar Injil sehingga mendapat kesempatan untuk memilih. Panggilan untuk bertobat tidak bersifat omong kosong karena tanpa Roh Kudus manusia tidak dapat menjawab panggilan itu secara positif. Yang harus dipertahankan di sini adalah karya misterius Allah di dalam diri manusia, sehingga ia bisa bertobat dan percaya. Dalam pembahasan keselamatan, doktrin pemilihan tidak berfungsi sebagai aspek pertama (aspek pertama adalah panggilan), tetapi sebagai sesuatu yang telah terjadi sebelum dunia dijadikan, namun yang baru memainkan peran yang penting setelah manusia menjadi percaya kepada Yesus Kristus dan mengenal Tuhan. Yaitu sebagai peneguhan keselamatan orang percaya, dan penekanan ekstra bahwa keselamatan itu berdasarkan anugerah Allah semata-mata. Hampir dapat dikatakan bahwa dalam penghayatan iman orang percaya, doktrin pemilihan baru mulai menjadi penting dan terasa dalam aspek ketekunan!
Apa dampaknya bagi penginjilan? Apakah tugas penginjilan tidak diperlemah oleh pengajaran panggilan efektif? Kalau manusia mampu memilih untuk menjadi percaya atau tidak (sebagaimana diajarkan oleh kaum Arminian), tentu semua orang harus mendengar Injil. Ajaran itu merupakan dorongan yang kuat untuk memberitakan Injil!
Seperti yang Paulus tulis dalam Roma 10:14: ”Tetapi bagaimana orang dapat berseru kepada Dia yang belum mereka percayai? Bagaimana orang dapat percaya kepada Dia yang belum pernah mereka dengar? Bagaimana orang mendengar tentang Dia, jika tidak ada yang memberitakan-Nya?” Tetapi kalau manusia tidak mampu memilih, dan bergantung kepada Roh Kudus untuk menjadi percaya, apakah keyakinan bahwa pemberitaan Injil dapat mengubah manusia tidak berkurang? Roh Kuduslah yang menentukan apakah seseorang akan menjadi percaya, dan di balik karya Roh Kudus itu terletak keputusan kekal Allah Tritunggal mengenai pemilihan.
J.I. Packer (2003, 73-103) menekankan dua hal: (1) Walaupun Allah berdaulat dalam karya keselamatan, bukan saja dalam karya penebusan Yesus Kristus yang dilaksanakan sekitar 2.000 tahun yang lalu, melainkan juga dalam penerapan penebusan oleh Roh Kudus ke dalam kehidupan setiap orang, namun kedaulatan itu sama sekali tidak mengurangi kewajiban orang Kristen untuk memberitakan Injil kepada semua orang. Packer menunjuk ke beberapa ayat Alkitab untuk membuktikan bahwa penginjilan sangat urgen. Allah ”mengutus kita untuk bertindak sebagai mata rantai yang penting dalam rantai rencana-Nya untuk menyelamatkan umat pilihan-Nya.” Nas pertama yang Packer sebut adalah Roma 10:12-14. Lihat juga Matius 22:1-14; Lukas 13:3,5; Kol. 1:28; Yoh. 6:37-40. (2) Justru karena Allah berdaulat dalam penerapan penebusan, maka ada harapan yang kuat bahwa penginjilan akan berhasil. Prinsip Sola Gratia memberi jaminan bahwa, walaupun ada yang tidak menerima Injil, ada banyak juga yang menjadi percaya kepada Yesus Kristus, sehingga selamat. Lihat misalnya Kisah Para Rasul 5:31; 11:18; Efesus 2:8; Filipi 1:29; Kolose 1:13.
Karena keselamatan merupakan karya Allah sepenuhnya (walaupun manusia juga menjadi aktif), maka kita boleh yakin bahwa pemberitaan Injil tidak akan sia-sia (Yes. 55:10-11).
Dalam kelahiran kembali, Roh Kudus membuat manusia, yang mati secara rohani menjadi hidup secara rohani, sehingga menjadi mampu untuk bertobat dan percaya kepada Yesus Kristus. Dalam ajaran Reformasi, kelahiran kembali adalah aspek keselamatan yang penting. KH Mg. Ke-3 menyatakan bahwa kita begitu rusak, sehingga kita sama sekali tidak sanggup berbuat apa pun yang baik, dan hanya cenderung pada yang jahat saja, ”kecuali jika kita dilahirkan kembali oleh Roh Allah.”
Pasal-Pasal Ajaran Dordrecht memberi penjelasan tentang kelahiran kembali yang cukup mendetail. Kelahiran kembali yang dikerjakan Allah melalui Roh Kudus berarti: ”hati yang tertutup dibuka-Nya, apa yang keras dilunakkan-Nya, apa yang tidak bersunat disunati-Nya, dalam kehendak dituangkan-Nya sifat-sifat baru: kehendak yang tadinya mati dihidupkan-Nya, yang jahat dijadikan-Nya baik, yang tidak bersedia dijadikan-Nya bersedia, yang melawan dijadikan-Nya taat” (PAD III/IV, 11). ”Inilah kelahiran kembali, pembaruan, penciptaan baru, pembangkitan dari antara orang mati, dan karya menghidupkan, yang dimashyurkan dalam Alkitab dan yang dikerjakan oleh Allah tanpa kita di dalam kita” (PAD III/IV, 12).
Terutama dalam definisi PAD, kelahiran kembali adalah peristiwa yang terjadi pada awal kehidupan orang percaya. Melalui kelahiran kembali, orang percaya dapat bertobat, percaya kepada Yesus Kristus, dan menguduskan diri. Namun, hubungan antara kelahiran kembali di satu pihak dan pertobatan, iman dan pengudusan di pihak lain sangat jelas dalam PAD.
Tetapi ada juga teolog yang mengartikan kelahiran kembali sebagai perkembangan lebih lanjut dari hidup yang baru. Calvin misalnya dalam Institutio menulis satu bab tentang kelahiran kembali oleh iman: pertobatan (buku 3, III). Menurut Calvin, iman mendahului pertobatan (III,1), dan kelahiran kembali harus disamakan dengan pertobatan (III,9). Itu berarti bahwa menurut Calvin, kelahiran kembali menyusuli iman. Hal yang sama kita temukan dalam PIGB, 24: ”Kita percaya, bahwa iman yang sejati itu, yang dihasilkan dalam hati manusia oleh pendengaran akan firman Allah dan oleh pekerjaan Roh Kudus, membuat manusia lahir kembali dan menjadi manusia baru, membuatnya hidup dalam kehidupan yang baru dan memerdekakannya dari perhambaan dosa.”
Karena itu, sering dibedakan antara kelahiran kembali dalam pengertian yang lebih sempit dan dalam pengertian yang lebih luas (Van Genderen/
Velema 1992, 534-535; Hoekema 2006, 122-123). Kelahiran kembali dalam pengertian yang lebih sempit menunjuk ke permulaan hidup baru, dan mendahului iman dan pertobatan. Kelahiran kembali dalam pengertian yang lebih luas menunjuk ke perkembangan lebih lanjut dari hidup yang baru, dan menyusuli iman. Kelahiran kembali dalam arti ini dapat disamakan dengan pertobatan dan (sebagian dari proses) pengudusan.
Seperti sudah dijelaskan sebelumnya, kaum Arminian berpendapat bahwa Allah sudah meniadakan kerusakan total manusia dengan mengaruniakan kemampuan untuk memilih kepada semua orang, tanpa kecuali (”anugerah yang terdahulu”). Kalau begitu, di mana kelahiran kembali mendapat tempatnya, dalam pandangan Arminian? Apakah kelahiran harus disamakan dengan anugerah yang terdahulu itu? Atau masih akan menyusul? Menurut Stephen Ashby (dalam Pinson 2002, bab 3), kelahiran kembali terjadi setelah seseorang menjadi percaya kepada Yesus Kristus. Jadi, urutannya adalah sebagai berikut: kerusakan total–anugerah yang terdahulu, yang memberi kemampuan untuk menerima Yesus Kristus dalam iman–iman–kelahiran kembali. Itu berarti bahwa kelahiran kembali dalam arti yang lebih sempit tidak dapat diterima oleh kaum Arminian.
Karena istilah kelahiran kembali dipakai dalam dua pengertian yang berbeda, kita harus menentukan dengan jelas, kelahiran kembali dalam pengertian apa yang dibahas dalam bab ini. Untuk itu kita harus melihat dahulu apa yang Alkitab ajarkan tentang kelahiran kembali.
Hanya dua kali kata ”kelahiran kembali” (bhs. Yunani: palingenesia) dipakai dalam Perjanjian Baru. Pertama dalam Matius 19:28, kata itu menunjuk ke ”kelahiran kembali” atau pembaruan seluruh alam semesta pada akhir zaman. Selanjutnya kata kelahiran kembali dipakai oleh Paulus dalam Titus 3:5 dalam arti pembaruan batiniah yang dikerjakan oleh Roh Kudus di dalam hidup manusia secara pribadi. ”Permandian kelahiran kembali” dalam ayat ini menunjuk ke pembasuhan yang rohani dan batiniah, pada suatu permulaan baru.
Dalam Perjanjian Lama sudah jelas bahwa perlu ada suatu perubahan batiniah yang radikal. Salah satu ayat yang sering disebut adalah Yehezkiel 36:26, yang mengatakan bahwa Tuhan, melalui Yehezkiel berbicara tentang hati yang baru bagi bangsa Israel, dan roh yang baru di dalam batin mereka.
Walaupun istilah kelahiran kembali hanya satu kali dipakai dalam arti pembaruan batiniah yang radikal (yaitu, dl. Tit. 3:5), namun pokok yang sama disebutkan berulang kali dalam Perjanjian Baru. Terutama Rasul Yohanes, sering menunjuk ke kelahiran kembali, baik dalam Injilnya maupun dalam surat-suratnya.
Dalam Yohanes 3, Yesus menjelaskan kepada Nikodemus apa yang mutlak perlu bagi seseorang untuk dapat masuk ke dalam Kerajaan Allah. ”Sesungguhnya Aku berkata kepadamu, jika seseorang tidak dilahirkan dari air dan Roh, ia tidak dapat masuk ke dalam Kerajaan Allah” (ay. 5). Dalam ayat 3, Yesus memakai istilah lain: jika seseorang tidak dilahirkan dari atas atau kembali (anōthen). Jelas bahwa manusia pasif dalam kelahiran kembali (dilahirkan kembali), dan bahwa Roh Kudus mengerjakannya di dalam manusia. Tanpa kelahiran kembali, seseorang tidak dapat masuk ke dalam Kerajaan Allah, walaupun kelahiran kembali tidak kelihatan (ay. 8). Dalam Yohanes 1:12-13 dikatakan bahwa mereka yang percaya kepada Firman yang telah menjadi manusia, diperanakkan dari Allah. Dalam kedua ayat ini tidak dapat dipastikan mana yang lebih dahulu: iman (ay. 12) atau kelahiran kembali (ay. 13). Ternyata hubungan antara iman dan kelahiran kembali tidak dijelaskan di sini. Ditekankannya bahwa mereka yang menerima Yesus Kristus dan percaya dalam nama-Nya (ay. 12) adalah sama dengan mereka yang diperanakkan dari Allah.
Juga dalam surat-suratnya, Rasul Yohanes berulang kali menyebut kelahiran kembali. Tetapi yang mendapat tekanan bukan kelahiran kembali itu sendiri, melainkan dampak-dampaknya. Menurut Yohanes, orang yang lahir dari Allah ”melakukan kebenaran” (1Yoh. 2:29), ”tidak terus-menerus berbuat dosa” (3:9), ”mengasihi” saudaranya (4:7), ”percaya bahwa Yesus adalah Kristus” (5:1), ”mengalahkan dunia” (5:4), dan ”Allah melindunginya, dan si jahat tidak dapat menyentuhnya” (5:18). Jadi, dalam surat 1 Yohanes, kita membaca tentang apa yang terjadi dalam hidup seseorang akibat kelahiran kembali (dari Allah).
Di samping istilah ”kelahiran kembali” (Tit. 3:5), Paulus memakaiistilah-istilah lain untuk menggambarkan pembaruan batiniah yang dikerjakan Roh Kudus: ”menghidupkan kita bersama-sama dengan Kristus” (Ef. 2:5; Kol. 2:13), walaupun manusia sebelumnya mati karena pelanggaran-pelanggaran dan dosa-dosanya; ”ciptaan baru” (2Kor. 5:17; Gal. 6:15) (walaupun istilah ini juga sering diartikan secara kolektif, bukan individual); ”buatan Allah, diciptakan dalam Kristus Yesus untuk melakukan pekerjaan baik, yang dipersiapkan Allah sebelumnya” (Ef. 2:10).
Petrus juga menulis tentang Allah yang melahirkan kita kembali ”bukan dari benih yang fana, tetapi dari benih yang tidak fana, melalui firman Allah, yang hidup dan yang kekal” (1Ptr. 1:23), dan Ýakobus menyatakan bahwa Allah ”telah menjadikan kita oleh firman kebenaran” (Yak.1:18).
Yang dapat disimpulkan adalah bahwa harus ada perubahan batiniah yang menyeluruh, yang harus dikerjakan oleh Allah melalui Roh Kudus. Sarana yang dipakai Roh Kudus adalah firman Allah (1Ptr. 1:23 dan Yak. 1:18). Karena sumber kelahiran kembali adalah Allah, aspek keselematan ini menekankan prinsip sola gratia.
Itu berarti bahwa dalam bab ini, kelahiran kembali dipakai dalam pengertian yang lebih sempit, sehingga menunjuk ke permulaan hidup baru, dan mendahului iman dan pertobatan. John Murray (2008, 103) menyebutkan argumen-argumen berikut ini: Karena manusia mati akibat pelanggaran dan dosanya, ia harus diperbarui oleh Roh Kudus dahulu sebelum ia dapat percaya. Di samping itu, manusia baru dapat datang kepada Yesus dan percaya kepadaNya jika ia ditarik oleh Allah Bapa (Yoh. 6:44), dan jika hal itu dikaruniakan kepadanya (Yoh. 6:65). Apalagi, ”melihat Kerajaan Allah” merupakan tindakan iman, dan tindakan iman itu hanya mungkin jika seseorang dilahirkan kembali lebih dahulu (Yoh. 3:3).
Tetapi sekaligus jelas bahwa kelahiran kembali bukan saja memainkan peran pada awal jalan keselamatan, melainkan tetap memengaruhi kehidupan orang percaya sampai pada akhirnya. Itu berarti bahwa kelahiran kembali, yang dikerjakan oleh Roh Kudus secara misterius di dalam hati manusia, menghasilkan perubahan-perubahan yang konkret dalam kehidupan orang yang telah dilahirkan kembali, seperti menjadi jelas dalam 1 Yohanes (lih. di atas). Tetapi perubahan-perubahan akibat kelahiran kembali itu dibahas dalam aspek pertobatan dan pengudusan.
Dalam bab ini kelahiran kembali dipakai dalam pengertian yang lebih sempit, sehingga menunjuk ke permulaan hidup baru, dan mendahului iman dan pertobatan. Sama seperti panggilan efektif, dalam kelahiran kembali Allah juga berkarya seratus persen, sedangkan sumbangsih manusia nol persen.
Sifat misterius dari kelahiran kembali digambarkan oleh Yesus dalam Yohanes 3:8, ”Angin bertiup ke mana ia mau, dan engkau mendengar bunyinya, tetapi engkau tidak tahu dari mana ia datang atau ke mana ia pergi. Demikianlah halnya dengan tiap-tiap orang yang lahir dari Roh.” Lihat sekali lagi PAD III/IV, 12: Kelahiran kembali ”jelas merupakan karya adikodrati, yang amat kuat sekaligus amat lembut, ajaib, tersembunyi, dan tak terkatakan.”
Itu berarti bahwa kita tidak dapat memastikan kapan seseorang telah lahir kembali. Banyak orang Kristen menunjukkan waktu pertobatan atau saat mereka menjadi percaya. Namun, bagi mereka yang dididik dari kecil sebagai orang Kristen, hal itu tidak mudah. Jika seseorang dari kecil percaya kepada Yesus Kristus, banyak yang tidak dapat menunjukkan tanggal pertobatannya atau kapan ia menjadi percaya. Tetapi, banyak orang Kristen masih ingat situasi dan saat mereka menerima Yesus dalam hatinya sebagai Juru Selamat, dan dapat menceritakan kapan dan dengan cara seperti apa mereka bertobat dan menyesali kehidupan mereka yang lama tanpa Yesus Kristus. Namun, kapan tepatnya saat kelahiran kembali sulit dipastikan, karena sifatnya misterius dan tidak kelihatan.
Bukti mutlak bahwa seseorang telah lahir kembali adalah hal-hal nyata, misalnya iman, pertobatan, pengudusan dan ketekunan. Yang paling penting bukan adanya pengalaman istimewa dan ajaib (karena pengalaman seperti itu tidak menjadi bagian setiap orang Kristen), melainkan perubahan-perubahan yang kelihatan dalam kehidupan seorang Kristen, seperti penyesalan, hidup yang kudus, dan buah Roh. Hati yang baru, harus menjadi nyata dalam hidup yang baru. Jadi, yang harus diutamakan bukan kapan seorang Kristen lahir baru, melainkan apakah ia telah lahir baru, dan bagaimana hal itu menjadi nyata.
Jika orang Kristen dibaptis sebagai anak kecil, dan dibesarkan dalam takut akan Tuhan sejak kecil dan secara serius, maka tidak mudah untuk menjawab pertanyaan: kapan saudara lahir baru? Mungkin saja orang Kristen seperti itu tidak pernah mengalami perubahan radikal dalam kehidupannya, tetapi mengalami proses pertumbuhan dalam iman yang dimulai pada saat masih kecil dan berlanjut terus seumur hidup. Dalam situasi itu beberapa hal harus diperhatikan: pertama-tama bahwa iman harus diakui secara mandiri, sehingga keputusan untuk percaya dan mengikut Yesus Kristus betul-betul adalah keputusannya sendiri. Hal kedua yang harus disadari adalah kelahiran kembali terbukti dalam hidup penuh iman dan pengudusan diri. Di samping itu harus jelas bahwa iman orang Kristen itu bukan hal yang otomatis, karena ia besar dalam keluarga Kristen dan di lingkungan gereja, melainkan sepenuhnya sola gratia.
Dari apa yang telah diuraikan mengenai kelahiran kembali dalam bab ini, sudah nyata bahwa kelahiran kembali bersifat radikal. Sekali lagi kita bisa belajar dari rumusan PAD (III/IV,12): ”Menurut kesaksian Alkitab (yang diilhami oleh Dia yang melakukan karya itu), daya karya itu tidak kalah besar dibandingkan dengan penciptaan atau pembangkitan orang mati’. Paragraf PAD ini menunjuk ke Yohanes 5:25: ”Sesungguhnya Aku berkata kepadamu: Saatnya akan tiba dan sudah tiba bahwa orang-orang mati akan mendengar suara Anak Allah, dan mereka yang mendengarnya, akan hidup.” Ternyata kebangkitan tubuh (lih. Yoh. 5:28-29) yang akan terjadi di masa depan, sekarang ini sudah didahului oleh kebangkitan rohani, yaitu pembaruan setiap orang yang percaya. Sekarang ini setiap orang percaya ”pindah dari dalam maut ke dalam hidup” (Yoh. 5:24). Ayat lain yang disebut oleh PAD adalah Roma 4:17, di dalamnya Paulus menulis tentang ”Allah yang menghidupkan orang mati dan yang menjadikan dengan firman-Nya apa yang tidak ada menjadi ada.”
Saat kelahiran kembali sulit dipastikan karena sifatnya misterius dan tidak kelihatan. Kelahiran kembali bersifat radikal, dan dapat dibandingkan dengan penciptaan atau pembangkitan orang mati (PAD III/IV, 12).
Dari pembahasan kedua aspek pertama dari jalan keselamatan, yaitu panggilan efektif dan kelahiran kembali, sudah nyata bahwa keduanya sangat berhubungan erat. Dua-duanya menunjuk ke permulaan hidup baru seseorang, dan semata-mata merupakan karya Allah. Hoekema cenderung memikirkan kelahiran kembali dan panggilan efektif ”sebagai hal yang identik”. ”Kedua ungkapan ini mendeskripsikan perubahan dari kematian rohani ke kehidupan rohani” (2006, 138). Mungkin dapat disimpulkan bahwa panggilan efektif dan kelahiran kembali adalah dua cara untuk menunjuk ke hal yang sama, yaitu ke awal kehidupan sebagai orang Kristen, yang dianugerahkan Allah kepada manusia sebagai sola gratia, bukan berdasarkan jasa atau prakarsa manusia. Allah memilih kita lebih dahulu dengan memanggil kita secara efektif dan membuat kita lahir baru. Setelah itu baru kita memilih untuk bertobat dan percaya.
Itu berarti bahwa bertobat dan menjadi percaya dapat terjadi dalam waktu yang sama dengan kelahiran kembali, namun penyebab pertobatan dan iman itu adalah kelahiran kembali. Dalam arti itu, kelahiran kembali selalu mendahului pertobatan dan iman. Hati Lidia dibuka Tuhan lebih dahulu, sehingga ia ”memperhatikan apa yang dikatakan oleh Paulus” (Kis. 16:14), yaitu pemberitaan Injil (lih. Hoekema 2006, 139). Itu berarti bahwa pertobatan, iman, dan pengudusan, merupakan bukti-bukti kelahiran kembali. Lihat juga bagian 3.2 di atas.
Kelahiran kembali berhubungan dengan baptisan, tetapi tidak terjadi pada saat yang sama. Urutan yang biasa adalah: lahir kembali, percaya, kemudian dibaptis. Baptisan bukanlah acara yang menyebabkan kelahiran kembali, melainkan tanda dan meterai yang menguatkan iman orang percaya dan yang menunjuk ke fakta bahwa setiap orang harus dibasuh dan diperbarui oleh Roh Kudus.
Apakah kata ”permandian” atau pembasuhan dalam Titus 3:5 secara langsung menunjuk ke baptisan, sangat diperdebatkan. Istilah ”membasuh” dalam 1 Korintus 6:11 juga berbicara tentang transformasi batiniah, yaitu kelahiran kembali. Jelas bahwa ada hubungan antara baptisan dan kelahiran kembali. Kolose 2:11-12 berbicara tentang ”sunat Kristus’ (ay. 11), yang kemungkinan besar menunjuk ke kelahiran kembali, dan sekaligus tentang baptisan (ay. 12). Kalau kita merenungkan hubungan antara kelahiran kembali dan baptisan, kita harus menyadari bahwa bukan baptisan yang menyelamatkan kita, melainkan apa yang ditandakan dan dimeteraikan dalam baptisan itu. Hubungan ini tidak berarti bahwa apa yang ditandakan dalam baptisan juga terjadi pada saat baptisan. Kelahiran kembali dalam arti yang lebih sempit, pada umumnya terjadi sebelum baptisan, karena mutlak perlu untuk percaya dan mengaku dosa.
Yang dijelaskan di atas berlaku kalau seseorang dibaptis pada saat dewasa.
Tetapi bagaimana hubungan antara kelahiran kembali dan baptisan kalau seseorang dibaptis sewaktu ia masih bayi atau anak kecil? Apakah kita harus mengandaikan kelahiran kembali sebelum atau pada saat baptisan? Atau bisa dikatakan bahwa dalam kasus baptisan anak kecil, kelahiran kembali tidak mendahului, tetapi menyusul baptisan?
Pertanyaan ini berhubungan dengan relasi antara kelahiran kembali dan pemberitaan Injil.
Menurut Yakobus 1:18 dan 1 Petrus 1:23, kelahiran kembali dikerjakan melalui firman Allah. Roh Kudus memakai pemberitaan Injil sebagai sarana untuk membuat orang yang mendengar injil itu dilahirkan kembali, sehingga ia menjadi percaya kepada Allah Tritunggal dan menerima Tuhan Yesus Kristus. Itu tidak berarti bahwa Roh Kudus tidak dapat bekerja di luar pemberitaan Injil. Roh Kudus tidak terikat kepada firman Allah untuk melahirkan kembali seseorang. Memang itu cara yang biasa, tetapi Roh Kudus bebas untuk menggunakan cara lain dalam situasi-situasi tertentu, seperti yang dikehendaki-Nya.
Dalam kasus baptisan orang dewasa, pada umumnya kelahiran kembali mendahului baptisan, sedangkan kalau anak kecil dibaptis, kemungkinan besar kelahiran kembali menyusul baptisan.
Pertobatan dan iman adalah dua aspek keselamatan yang dapat dianggap sebagai dua sisi dari satu hal, yaitu pertobatan dari cara hidup yang lama, sehingga dosa bukan lagi menentukan cara hidup, dan penyerahan dengan penuh iman kepada Tuhan yang baru, yaitu kepada Allah Bapa melalui Yesus Kristus. Sering istilah ”konversi” dipakai untuk menunjuk ke dua sisi ini, yaitu iman dan pertobatan. Dalam konversi, seseorang berbalik dari hidup yang lama, yang penuh dosa dan penyembahan berhala, kembali kepada Allah dalam hidup penuh kasih dan pelayanan.
Iman dan pertobatan berbeda dengan panggilan efektif dan kelahiran kembali dalam arti bahwa manusia yang masih pasif ketika dipanggil secara efektif dan dilahirkan kembali, sekarang menjadi aktif sepenuhnya dalam pertobatan dan iman. Walaupun iman dan pertobatan tetap merupakan aspek-aspek keselamatan yang seratus persen dikerjakan oleh Allah, namun dalam aspek-aspek keselamatan ini manusia juga menjadi aktif dan terlibat seratus persen. Seperti dijelaskan dalam PAD III/IV,12: Kehendak yang telah diperbarui dalam kelahiran kembali ”tidak hanya digerakkan dan didorong Allah, tetapi setelah digerakkan Allah, maka kehendak itu sendiri juga bergerak. Oleh sebab itu, dikatakan juga dengan tepat bahwa, oleh karunia yang telah diterimanya, manusia sendiri percaya dan bertobat.” Jadi, walaupun prinsip sola gratia tetap berlaku di sini, oleh anugerah Tuhan, manusia menjadi aktif dan mulai bekerja.
Aktivitas manusia dan karya Allah yang berjalan bersama-sama menjadi nyata dalam Alkitab. Di satu pihak iman dan pertobatan dianggap sebagai karya Allah, yang Allah kerjakan di dalam manusia atau dianugerahkan kepada manusia, di pihak lain, Alkitab berbicara tentang iman dan pertobatan sebagai sesuatu yang dilakukan oleh manusia.
Mencari nas-nas Alkitab yang menggambarkan iman dan pertobatan sebagai aktivitas manusia tidak sulit. Alkitab penuh dengan undangan atau perintah untuk percaya dan bertobat. Lihat misalnya Yesaya 55:7; Yehezkiel 33:11; Mat.4:17; Yohanes 20:31; Kisah Para Rasul 2:38; 3:19; 16:31; 17:30; Roma 10:9,17; 2 Korintus 5:20. Kita tidak perlu membuktikan hal ini secara panjang lebar karena Alkitab penuh dengannya, dan karena hal ini sesuai dengan cara kita berbicara. Kita tidak dapat diperintahkan untuk lahir kembali, tetapi panggilan untuk percaya dan bertobat, langsung dapat dimengerti.
Alkitab sekaligus mengajarkan bahwa iman dan pertobatan berasal dari Allah, walaupun diusahakan oleh manusia. Lihat misalnya Yeremia 31:18: ”Bawalah aku kembali, supaya aku berbalik, sebab Engkaulah Tuhan, Allahku” (bnd Rat. 5:21).
Manusia hanya dapat datang kepada Yesus (yaitu menyerahkan dirinya dengan penuh iman kepada-Nya), kalau Allah Bapa mengaruniakannya kepadanya, yaitu di dalam kelahiran kembali (Yoh. 6:65). Menurut perkataan Yesus dalam Yohanes 15:5, manusia tidak dapat berbuat apa-apa di luar Dia. Kalau seseorang percaya, bahwa Yesus adalah Kristus, itu berarti bahwa ia telah lahir dari Allah (1Yoh. 5:1).
Allahlah yang memberikan pertobatan kepada Israel dan pengampunan dosa melalui Yesus yang adalah Pemimpin dan Juru Selamat (Kis. 5:31). Orang-orang Kristen Yahudi di Yerusalem memuliakan Allah karena ”kepada bangsa-bangsa lain juga Allah mengaruniakan pertobatan yang memimpin kepada hidup” (Kis. 11:18). Dan dalam kitab yang sama kita membaca bahwa semua orang di Antiokhia, di Pisidia ”yang ditentukan Allah untuk hidup yang kekal, menjadi percaya” (Kis. 13:48).
Paulus menulis bahwa tidak seorang pun yang ”dapat mengaku: ’Yesus adalah Tuhan’, selain oleh Roh Kudus” (1Kor. 12:3), dan bahwa ”karena anugerah kamu diselamatkan oleh iman; itu bukan hasil usahamu, tetapi pemberian Allah” (Ef. 2:8). Pertobatan yang menuntun ke pengenalan akan kebenaran harus diberikan Tuhan (2Tim. 2:25).
Jadi, di satu pihak Allah harus membuat manusia menjadi percaya dan bertobat, di pihak lain manusia sendiri yang harus percaya kepada Yesus dan meninggalkan kehidupannya yang lama.
Iman dan pertobatan sepenuhnya dikerjakan oleh Allah, namun sekaligus di dalamnya manusia menjadi aktif dan bertanggung jawab sepenuhnya.
Dalam Perjanjian Lama, salah satu kata yang dipakai untuk percaya adalah he’emin (hifil dari ’āman), yang berarti ”memercayai” atau ”memercayakan diri kepada seseorang” (Hoekema 2006, 176), menganggap sesuatu sebagai yang pasti dan benar. Lihat kata ”amin” (KH Mg. Ke-52, p/j 129) dan ”mengamini”. Kata kerja ini misalnya dipakai dalam Kejadian 15:6 dan Yesaya 7:9.
Kata iman (pistis) dan percaya (pisteuein) ratusan kali dipakai dalam Perjanjian Baru. Ternyata iman adalah sesuatu yang mutlak perlu untuk keselamatan. Menurut Ibrani 11:6, ”tanpa iman tidak mungkin orang berkenan kepada Allah”. Rasul Yohanes telah menulis Injilnya supaya para pembaca Injilnya percaya, bahwa Yesuslah Mesias, dan supaya mereka melalui iman mereka memperoleh hidup dalam nama-Nya (Yoh. 20:31). Siapa yang percaya dan dibaptis akan diselamatkan, tetapi siapa yang tidak percaya akan dihukum (Mrk. 16:16). Ciri khas orang Kristen yang pertama adalah iman kepada Yesus Kristus. Itulah hal yang penting, yang membedakan orang Kristen dengan orang bukan Kristen. Abraham disebut ”bapak semua orang percaya” (Rm. 4:11-12), dan orang-orang percaya disebut ”anak-anak Abraham” (Gal. 3:7,29).
Dalam Alkitab, iman atau percaya dapat mempunyai berbagai pengertian, antara lain:
- Percaya bahwa sesuatu sungguh-sungguh benar, lihat Ibrani 11:6: ”Sebab siapa yang berpaling kepada Allah, ia harus percaya bahwa Allah ada, dan bahwa Allah memberi upah kepada orang yang sungguh-sungguh mencari Dia”; Yohanes 8:24; 11:42; 14:11; 16:27. Dalam ayat-ayat ini istilah pisteuō hoti (”percaya bahwa”) dipakai. Percaya berarti bahwa kita menerima kesaksian rasuli tentang Yesus Kristus (lih. misalnya Kis. 13:16-49).
- Menerima Yesus sebagai Mesias, yaitu hidup dalam relasi pribadi dengan Dia. Melalui iman kita hidup dalam kesatuan dengan Kristus (Ef. 3:17).
- Percaya kepada Yesus Kristus berarti bahwa kita memercayakan seluruh hidup dan keselamatan kita ke dalam tangan Yesus Kristus, Juru Selamat kita. Kita yakin bahwa Allah dapat dipercaya dan selalu menepati janjijanji-Nya.
- Iman berarti kepastian. Kepastian tentang pemilihan dan panggilan
(Rm. 8:28-30), tentang firman yang telah disampaikan oleh para nabi (2Ptr. 1:19), tentang posisi kita sebagai anak Allah (Rm. 8:16), tentang pengampunan dosa dan rahmat Allah (Ibr. 10:19-22), tentang perpindahan dari dalam maut ke dalam hidup (1Yoh. 3:14).
- Melalui iman kita dibenarkan (lih. mis. Gal.2:16). Manusia yang berdosa hanya dapat memperoleh hubungan yang baik dengan Allah melalui iman kepada Yesus Kristus.
- Menurut Kitab Ibrani kita dapat bertekun sampai dengan kesudahan melalui iman.
- Iman membuat kita yakin tentang realitas yang kita harapkan, walaupun belum kelihatan (Ibr. 11:1). Sama seperti Abraham, tinggal di tanah perjanjian sebagai orang asing, yakin tentang ”kota yang mempunyai dasar, yang direncanakan dan dibangun oleh Allah” (Ibr. 11:9-10).
- Iman berhubungan dengan pengharapan akan masa depan, 1Ptr. 1:5, 21. - Iman menyangkut seluruh pribadi kita dan seluruh kehidupan kita.
Siapa yang ada di dalam Kristus (melalui iman), ia adalah ciptaan baru (2Kor. 5:17). Akal budi, kehendak, dan perasaan, terlibat dalam aktivitas percaya, dan karena itu iman mengubah seluruh hidup seseorang.
- Iman yang sejati menghasilkan kasih dan hidup yang benar (Gal. 5:6;
Yak.2:14-26). Iman berarti ketaatan, Roma 1:5; 16:26 (eis hupakoēn pisteōs berarti: pada ketaatan iman).
- Melalui iman kita memuliakan Allah, yang adalah isi dan sumber iman itu.
Memuliakan Allah di dalam Yesus Kristus adalah tindakan iman.
Banyak buku dogmatik menyebutkan dua (pengetahuan dan kepercayaan) atau tiga (pengetahuan, persetujuan, dan kepercayaan) aspek iman.
Iman sebagai pengetahuan (knowledge) menunjuk ke fakta bahwa manusia dapat mengenal Allah dan mendapat pengetahuan tentang keselamatan yang dikerjakan oleh Allah. Walaupun ada banyak hal mengenai Allah yang tidak dinyatakan dan karena itu tidak diketahui, namun manusia dapat mengenal Allah secara benar dan mempunyai pengetahuan tentang keselamatan dan cara hidup sesuai dengan kehendak Allah. Manusia tidak dapat memahami segala sesuatu, dan tidak dapat mengetahui segala sesuatu, tetapi ia dapat mengenal Allah dari firman-Nya dan mempunyai pengetahuan tentang keselamatannya, ”yaitu sekadar kebutuhan kita dalam hidup ini, demi kemuliaan-Nya dan demi keselamatan orang-orang milik-Nya” (PIGB 2).
Seberapa jauh kita harus mengenal Allah dan apa yang dinyatakan tentang keselamatan manusia untuk bisa diselamatkan? Hoekema (2006, 187) menyebutkan beberapa hal, yaitu kesadaran akan dosa kita sehingga kita memerlukan penebusan, ketidakmampuan kita untuk menyelamatkan diri kita sendiri, keselamatan yang hanya terdapat di dalam Kristus, serta kematian dan kebangkitan Kristus bagi kita. Kadang-kadang ada situasi yang di dalamnya orang tertentu mempunyai pengetahuan yang sangat minim, seperti penjahat yang disalibkan bersama Yesus (Luk. 23:42). Situasi dan kemampuan seseorang merupakan faktor-faktor yang penting dalam hal ini.
Di satu pihak pengetahuan yang lebih besar dapat membuat iman kita bertumbuh. Di pihak lain, jika pengetahuan itu abstrak atau hanya pada tataran intelektual, atau menjadikan seseorang sombong, pengetahuan itu tidak memperkuat iman kita (Hoekema 2006, 188). Jelas bahwa pengetahuan harus disertai oleh dua aspek lain yang akan dibahas di bawah. KH Mg. Ke-7, p/j 21, merumuskan pentingnya pengetahuan sebagai berikut: Iman adalah ”keyakinan atau pengetahuan yang pasti yang membuat aku mengakui sebagai kebenaran segala sesuatu yang dinyatakan Allah kepada kita di dalam firmanNya”.
Dalam definisi KH ini sudah terkandung aspek iman yang kedua, yaitu persetujuan (approval atau assent), atau keyakinan (conviction). Hanya pengetahuan saja tidak cukup, karena pengetahuan tidak selalu membawa ke iman yang sejati, yang membuat kita menerima Yesus Kristus sebagai Juru Selamat kita. Karena itu, kita harus setuju dengan apa yang dinyatakan dan menganggapnya benar. Persetujuan ini berarti bahwa kita yakin bahwa Yesus Kristus telah melakukan semuanya yang diperlukan untuk keselematan manusia. Itu juga berarti bahwa kita mengaku keberdosaan dan kesengsaraan kita. Sungguh-sungguh sempurna dan cukup apa yang telah Yesus lakukan untuk manusia yang berdosa.
Aspek iman yang ketiga adalah kepercayaan atau kebersandaran (trust).
Kepercayaan berarti bahwa manusia memercayakan dirinya sepenuhnya ke dalam tangan Yesus Kristus, dan mengharapkan segala berkat dari-Nya. Kepercayaan ini merupakan puncak dari iman (Hoekema 2006, 188), dan menekankan bahwa percaya kepada Yesus Kristus berarti adanya suatu hubungan yang erat dan intim dengan-Nya. Percaya kepada Yesus bukan hanya pengetahuan atau keyakinan mengenai Yesus, melainkan juga kesatuan dengan Dia yang menentukan seluruh hidup orang percaya. Beberapa istilah menunjuk ke kepercayaan ini: makan daging-Nya dan minum darah-Nya (Yoh. 6:50-58), dan menerima Yesus (Yoh. 1:12), serta datang kepada-Nya (Yoh. 5:40; 6:44,65; 7:37). Lihat pembahasan kata he’emin pada awal bagian ini. Percaya berarti menganggap bahwa janji-janji Allah itu benar dan pasti, serta hidup dekat kepada-Nya dalam hubungan perjanjian.
Pada aspek kepercayaan ini, percaya kepada Yesus Kristus menjadi hal yang paling nyata yang berkaitan dengan seluruh pribadi manusia dan memengaruhi seluruh kehidupannya.
Iman kepada Yesus menyangkut seluruh pribadi manusia dan memengaruhi seluruh kehidupannya.
Kepastian keselamatan tidak terletak pada iman atau perbuatan kita. PIGB 24 menyatakan mengenai hal ini: ”Lagi pula, meskipun kita melakukan perbuatan baik, kita tidak menjadikannya dasar keselamatan kita, sebab kita tidak dapat melakukan satu perbuatan pun yang tidak dicemari oleh daging kita dan patut mendapat hukuman .... Oleh karena itu, kita akan selalu bimbang, terombang-ambing, tanpa kepastian apa pun, dan hati nurani kita yang malang selalu tersiksa, jika tidak bertumpu pada jasa yang terdapat dalam sengsara dan kematian Juru Selamat kita.”
Hal yang sama ditekankan dalam KH Mg. Ke-23, p/j.61: Bukan ”layaknya imanku membuat Allah berkenan kepadaku”, melainkan ”hanya pelaksanaan pelunasan oleh Kristus, kebenaran-Nya, dan kesucian-Nya semata-mata merupakan kebenaranku di hadapan Allah”. Tetapi, tanpa iman ”tidak mungkin kuterima dan kuraih” semuanya itu.
Itu berarti bahwa kepastian keselamatan tidak terletak pada diri kita sendiri, dan tidak tergantung pada kekuatan iman kita. Kita harus memandang Yesus untuk semakin diteguhkan dalam iman dan semakin mendapat kepastian tentang keselamatan kita. Tidak dapat disangkal bahwa seseorang kadangkadang mengalami kekurangyakinan tentang keselamatan pribadi. Kalau itu disebabkan oleh kelalaian kita dalam membaca firman Tuhan dan berdoa, atau karena kita hidup dalam dosa tertentu maka kita harus mendisiplinkan diri dan mencari waktu untuk merenungkan firman Tuhan dan mencurahkan isi hati di hadapan Tuhan, dan berupaya untuk meninggalkan dosa tertentu yang mengganggu persekutuan dengan Tuhan. Rasul Petrus menasihati kita untuk berusaha dengan sungguh-sungguh, supaya panggilan dan pilihan kita makin teguh (2Ptr. 1:10). Benih di tanah yang berbatu-batu atau di tengah semak duri mudah menjadi kering atau terhimpit, sehingga tidak bertumbuh dan berbuah (Mrk. 4:3-9,14-20). Kesulitan atau pergumulan hidup dapat menghambat pertumbuhan iman atau bahkan menyebabkan manusia kehilangan iman.
Tetapi, betapa pun besarnya usaha kita untuk hidup dekat kepada Tuhan, membaca firman Tuhan, berdoa dan berbuat baik, kita mungkin akan tetap mengalami kekurangpastian tentang keselamatan pribadi. Jika itu tidak disebabkan oleh dosa tertentu atau kelalaian dalam beribadat kepada Tuhan, maka kekurangpastian itu berfungsi untuk mendorong kita agar makin fokus kepada Yesus dan mengharapkan segala sesuatu dari Roh Kudus. Di dalam diri kita sendiri tidak pernah ada kepastian yang penuh mengenai keselamatan. Kepastian itu hanya terdapat pada Allah Bapa yang mahakasih, Tuhan Yesus yang merupakan dasar keselamatan satu-satunya, dan Roh Kudus yang terusmenerus memberi kesaksian bersama-sama dengan roh kita, bahwa kita adalah anak-anak Allah (Rm. 8:16).
Keyakinan tentang keselamatan ini yang secara ideal selalu ada secara penuh tetapi yang ternyata dapat berkurang, juga ditekankan dalam pengakuan iman-pengakuan iman Reformasi, lihat PAD V, 9-11. Jadi, kepastian iman tidak terletak dalam iman itu sendiri, tetapi dalam Yesus Kristus dan karya keselamatan-Nya. Itulah dasar yang teguh dan sumber pengharapan yang tidak habis-habisnya.
Orang percaya harus memandang Yesus untuk semakin diteguhkan dalam iman dan semakin mendapat kepastian tentang keselamatannya.
Dalam Teologi Reformasi ditekankan bahwa iman hanyalah alat. Dalam PIGB 22, kita membaca: ”Akan tetapi, kita tidak beranggapan seolah-olah iman sendirilah yang membenarkan kita dalam arti yang sesungguhnya. Sebab iman itu sekadar alat, yang dengannya kita memeluk Kristus, yang adalah kebenaran kita.”
Dalam pasal PIGB ini, iman disebut ”sekadar alat”. Bukan iman kita yang menyelamatkan kita, melainkan Kristus sendiri. Kristus adalah keselamatan kita, sedangkan iman adalah ”alat, yang membuat kita tetap berada bersama Dia dalam persekutuan dengan segala hartanya” (PIGB 22). Van Genderen/Velema (1992, 544) menekankan: Iman disebut ”alat” karena bukan iman yang menyelamatkan kita, dan karena iman itu tidak berjasa sama sekali.
Hal itu tidak berarti bahwa iman itu ”kosong”. Iman bukan alat mekanis, melainkan merupakan hubungan dengan Allah. Dalam hubungan itu, orang percaya menyangkali dirinya dan hidup dari apa yang Allah berikan kepadanya dalam Kristus dan karena Kristus. Melalui iman, kita menghayati kesatuan dengan Kristus. Iman memang tidak berjasa (bukan merupakan dasar keselamatan kita), namun sangat berarti! Iman adalah syarat dan sarana untuk memegang anugerah Allah. Oleh iman, kita memperoleh kebenaran Kristus. Tetapi iman itu sendiri juga merupakan anugerah Allah.
Iman adalah jalan yang disediakan Allah untuk memberi kita bagian dalam keselamatan-Nya.
Hubungan erat antara iman dan pertobatan sudah ditekankan dalam pendahuluan bagian ini. Menurut Murray (2008, 140), ”Iman yang membawa ke keselamatan adalah iman penyesalan, dan pertobatan ke dalam hidup adalah pertobatan karena percaya.” Itu berarti bahwa tidak ada yang lebih dahulu, dan bahwa iman dan pertobatan sungguh-sungguh berjalan bersama.
Sama seperti Alkitab yang penuh dengan panggilan untuk percaya, demikian juga perintah untuk bertobat ditemukan di mana-mana di dalam firman Tuhan, baik dalam Perjanjian Lama maupun dalam Perjanjian Baru. Dalam pendahuluan kita sudah melihat beberapa ayat yang berisi panggilan yang serius kepada manusia untuk bertobat. Dalam Perjanjian Lama panggilan itu ditujukan kepada bangsa Israel yang hidup dalam dosa (Yeh.33:11), tetapi yang juga dialami oleh individu-individu, seperti Raja Daud dalam Mazmur 51, yang di dalamnya berisi pengakuan dan penyesalan atas dosanya, dan meminta pengampunan dan pemulihan. Sudah mulai dalam Perjanjian Lama panggilan untuk bertobat bukan hanya dibatasi untuk bangsa Israel (lih. mis. kitab Yunus), dalam Perjanjian Baru panggilan itu ditujukan kepada semua orang, Kisah Para Rasul 17:30: ”Tanpa memandang lagi zaman kebodohan, sekarang Allah memerintahkan semua orang di mana saja untuk bertobat.” Paulus menyatakan di hadapan Gubernur Festus dan Raja Agrippa II mengenai panggilan untuk memberitakan Injil kepada semua bangsa: ”Tetapi mula-mula aku memberitakan kepada orang-orang di Damsyik, di Yerusalem dan di seluruh tanah Yudea, dan juga kepada bangsa-bangsa lain bahwa mereka harus bertobat dan berbalik kepada Allah serta melakukan perbuatan-perbuatan yang sesuai dengan pertobatan itu.” (Kis. 26:20). Sampai hari ini Allah dalam kasih-Nya masih memberi kesempatan kepada manusia untuk bertobat (lih. 2Ptr. 3:9).
Pertobatan berarti suatu perubahan penuh dan radikal dalam pikiran, perasaan, dan kehendak manusia. Kata metanoeō (kata kerja) dan metanoia (kata benda) menunjuk ke perubahan dalam pikiran (Reymond, hlm.723). ”Metanoia mencakup suatu perubahan dari satu pribadi secara utuh, dan di dalam penampilan kehidupannya” (Hoekema 2006, 165). Dalam pertobatannya manusia menjadi yakin (secara intelektual) bahwa cara hidup yang lama salah dan membawa ke kebinasaan, dan cara hidup yang baru adalah benar dan baik dan menyelamatkan. Tanpa memakai kata pertobatan, Paulus menulis tentang perubahan (di sini Paulus memakai kata kerja metamorfoō) ”oleh pembaruan budimu, sehingga kamu dapat membedakan mana kehendak Allah: Apa yang baik, yang berkenan kepada-Nya dan sempurna” (Rm. 12:2). Perubahan yang radikal dalam cara berpikir ini juga memengaruhi emosi, sehingga manusia yang bertobat betul-betul menyesali dosanya (lih. mis. Mzm. 51; 2Kor. 7:9-10), dan sekaligus mengalami sukacita dan kelegaan karena pengampunan dosa yang dijanjikan Allah kepada setiap orang yang sungguh-sungguh bertobat (Mzm. 32:5-8). Pertobatan berarti pembebasan dari beban dosa dan hukuman, dan permulaan relasi yang baik dengan Tuhan. Selain cara berpikir dan emosi yang terlibat dalam pertobatan, kehendak juga berubah secara total, sehingga kehendak manusia yang telah bertobat mulai menjadi sama dengan apa yang Tuhan kehendaki. Itu tidak berarti bahwa tidak ada pergumulan lagi dalam kehidupannya, lihat catatan di bawah tentang pertobatan sehari-hari dan bab tentang pengudusan.
Kata lain yang dipakai dalam Perjanjian Baru, epistrephō (kata benda epistrophē hanya satu kali dipakai) berarti ”berbalik”, dan menunjuk ke ”suatu perubahan total di dalam perilaku” (Hoekema 2006, 167). Orang berpaling dari kehidupan yang lama dan berbalik ke kehidupan yang baru bersama Tuhan. Walaupun kata metanoeō dan metanoia pertama-tama berarti bahwa ada perubahan dalam pikiran, dan epistrephō lebih menunjuk ke perubahan dalam perilaku dan arah hidup, namun tidak mungkin untuk membedakan kedua kata ini secara total. Dua-duanya menunjuk ke perubahan yang radikal dan total dalam hidup.
Pertobatan adalah perubahan yang terjadi pada awal kehidupan sebagai orang Kristen. Pertobatan awal itu tidak selalu bersifat krisis (seperti dalam hidup Rasul Paulus, Kis.9), tetapi dapat juga terjadi secara bertahap (misalnya dalam kehidupan orang yang dari kecil dididik dalam iman Kristen), tetapi mutlak perlu.
Walaupun demikian, dalam Teologi Reformasi ada istilah pertobatan seharihari. Katekismus Heidelberg memberi definisi yang berikut mengenai pertobatan sehari-hari: ”kematian manusia lama dan kebangkitan manusia baru” (KH Mg. Ke-33). Definisi ini akan dibahas dalam bagian tentang pengudusan, tetapi dalam rangka pembahasan pertobatan harus ditekankan bahwa pertobatan sehari-hari berbeda dengan pertobatan awal. Manusia yang telah bertobat masih bergumul dengan dosa, dan harus bertobat setiap hari dan meminta pengampunan atas dosa yang masih dilakukannya. Sebenarnya pertobatan sehari-hari tidak lain dari pengudusan yang berkelanjutan seumur hidup, dan yang tidak pernah akan berakhir dalam hidup ini. Baru pada saat seorang Kristen dimuliakan, pertobatan sehari-hari tidak diperlukan lagi, karena dia telah disempurnakan.
Kita harus membedakan ”pertobatan yang memimpin kepada hidup”
(Kis. 11:18; bnd 2Tim. 2:25: pertobatan yang menuntun kepada pengenalan akan kebenaran) dan ”pertobatan yang membawa keselamatan dan tidak akan disesalkan” (2Kor. 7:10), dari ”dukacita yang dari dunia ini” yang ”menghasilkan kematian” (2Kor. 7:10).
Menurut Reymond (1998, 724), dukacita yang dari dunia ini menjadi nyata dalam kehidupan Yudas dan orang muda yang kaya. Yudas menyesali perbuatan pengkhianatannya ketika ia melihat bahwa Yesus telah dijatuhi hukuman mati (Mat. 27:3), dan berkata kepada imam-imam kepala dan tuatua: ”Aku telah berdosa karena menyerahkan darah orang yang tak bersalah”. Kemudian Yudas menggantung diri (Mat. 27:4-5). Dari kisah ini sendiri belum pasti sepenuhnya apakah penyesalan Yudas bersifat ”dari dunia”, tetapi nas-nas lain memberi kesan bahwa penyesalan Yudas ternyata tidak sungguhsungguh (mis. Yoh. 13:2,27; 17:12; Kis. 1:16-20).
Tetapi kasus orang muda yang kaya berbeda. Dalam Markus 10:22 kita membaca: ”Mendengar perkataan itu mukanya muram, lalu pergi dengan sedih, sebab banyak hartanya.” Namun, kisah tentang orang muda yang kaya ini membuktikan bahwa orang itu mengasihi Yesus (Mrk. 10:17), dan sungguhsungguh ingin melayani Tuhan (Mrk. 10:19-20). Yesus juga ”menaruh kasih kepadanya” (Mrk.10:21). Benar bahwa pada saat itu orang muda itu belum sanggup menjadi pengikut Yesus pada perjalanan-Nya menuju ke kayu salib, dan belum sanggup menjual segala harta miliknya. Tetapi, itu tidak berarti bahwa orang muda kaya itu menolak Yesus sama sekali. Dan dalam Markus 10:27 kita membaca: ”Sebab segala sesuatu mungkin bagi Allah.” Mungkin di kemudian hari orang muda itu telah menjadi salah seorang pengikut Tuhan Yesus.
Grudem (1994, 713), menunjuk kepada Esau (Ibr.12:17): ”Sebab kamu tahu, bahwa kemudian, ketika ia hendak menerima berkat itu, ia ditolak, sebab ia tidak beroleh kesempatan untuk memperbaiki kesalahannya, sekalipun ia mencarinya dengan mencucurkan air mata.” Ternyata Esau menempatkan diri dalam situasi yang di dalamnya tidak ada kemungkinan lagi untuk bertobat, walaupun ia berdukacita.
Dukacita dari dunia tidak membuat manusia berubah dengansungguh-sungguh, sedangkan pertobatan sejati menunjuk ke perubahan radikal, yang membuat seseorang berdukacita karena dosa, bukan karena akibat dosa.
Ajaran pembenaran karena iman adalah ajaran yang mengambil posisi yang penting dalam Teologi Reformasi. Martin Luther menganggapnya sebagai ajaran yang paling penting, dan menurutnya, Roma 3:21-26, yang membahas ajaran ini, adalah pokok utama, pusat surat Roma, dan pusat seluruh Alkitab. James R. White (2001, 17-31), memulai bukunya tentang ajaran pembenaran dengan bab yang berjudul: ”The Heart of the Gospel”. Dalam sejarah Protestantisme, ajaran ini disebut ”pokok yang membuat gereja berdiri atau jatuh”.
Tetapi dewasa ini ada banyak perdebatan di sekitar doktrin ini. Beberapa pertanyaan muncul sekitar ajaran pembenaran, antara lain: Apakah doktrin ini pertama-tama menunjuk ke status orang secara pribadi di hadapan Allah, atau kepada bangsa Allah sebagai keseluruhan, yang terdiri atas orang-orang dari semua bangsa? Apa yang dimaksud dengan istilah ”kebenaran Allah” (dikaiosunē theou) dalam kitab Roma? Apakah sifat atau tindakan Allah, atau status orang yang telah dibenarkan? Apa arti ”memperhitungkan” sebagai kebenaran, dan apa yang diperhitungkan kepada orang percaya? Apa yang berubah dalam pembenaran: status orang percaya, atau sikapnya?
Mari kita lihat dahulu apa ajaran Reformasi mengenai pembenaran oleh iman, dan kemudian beberapa pandangan yang berbeda dengan ajaran Reformasi.
Kata-kata yang dipakai dalam PB untuk menjelaskan doktrin pembenaran oleh iman adalah dikaioō (membenarkan), dikaiōsis (pembenaran), dikaiosunē (kebenaran), dan logizomai eis dikaiosunēn (diperhitungkan/memperhitungkan sebagai kebenaran).
Kata kerja dikaioō dipakai dalam beberapa konteks yang berbeda. Dalam Lukas 10:29; 16:15, dikaioō (heauton/heautous) berarti ”membenarkan (diri)”. Yesus mengatakan bahwa Allah ”dibenarkan” (mengakui kebenaran Allah, TB-2 LAI) sebab banyak orang, termasuk para penagih pajak, memberi diri dibaptis oleh Yohanes (Luk. 7:29). Tentang hikmat (Allah) dikatakan bahwa hikmat itu ”dibenarkan” oleh semua orang yang menerimanya (Luk. 7:35) atau oleh perbuatannya (Mat. 11:19).
Tetapi kata kerja ini sering menunjuk ke putusan bebas dalam konteks pengadilan, yaitu bahwa seseorang dinyatakan benar, memperoleh kebenaran yang berasal dari Allah. Dalam Matius 12:37, Yesus berkata, ”Karena menurut ucapanmu engkau akan dibenarkan, dan menurut ucapanmu pula engkau akan dihukum.” Paulus menghubungkan pembenaran dengan ”melakukan hukum Taurat” dalam Roma 2–3 . Di satu pihak ”orang yang melakukan hukum Tauratlah yang akan dibenarkan” (Rm. 2:13). Tetapi karena universalitas dosa, tidak seorang pun dapat melakukan hukum Taurat, sehingga Paulus harus menarik kesimpulan ini: ”Sebab tidak seorang pun yang dapat dibenarkan di hadapan Allah karena melakukan hukum Taurat, karena justru oleh hukum Taurat orang mengenal dosa” (Rm. 3:20).
Karena itu, Paulus menekankan bahwa manusia hanya dapat dibenarkan karena iman dalam Yesus Kristus, bukan karena melakukan hukum Taurat (Rm. 3:28; 5:1; Gal. 2:16; 3:11, 24). Manusia dibenarkan dengan cumacuma, oleh anugerah (Rm. 3:24; Gal. 5:4; Tit. 3:7), berdasarkan penebusan oleh Yesus Kristus (Rm. 3:24; 5:9). Manusia yang dibenarkan adalah orang berdosa (Rm. 4:5; Gal. 3:17), sedangkan Dia yang membenarkan adalah Allah (Rm. 3:26,30; 4:5; 8:30,33; Gal. 3:8).
Kata dikaiōsis (pembenaran) adalah kata benda yang mengungkapkan aktivitas membenarkan (dikaioō).
Kata dikaiosunē mempunyai arti yang berbeda-beda. Kata ini dapat menunjuk ke aktivitas Allah untuk menyelamatkan umat-Nya, ke sifat Allah (kesetiaan-Nya atau keadilan-Nya), dan ke status manusia yang telah dibenarkan oleh Allah. Dikaiosunē juga dapat menunjuk ke kehendak Allah yang harus dilakukan.
Arti frasa ”kebenaran Allah” (dikaiosunē theou) sangat diperdebatkan.
Tafsiran tradisional mengartikan istilah ini sebagai aktivitas Allah atau status benar yang dianugerahkan kepada manusia, atau kedua-duanya. Tetapi, akhir-akhir ini frasa dikaiosunē theou mulai diartikan dengan ”kesetiaan Allah terhadap perjanjian-Nya” (God’s covenant faithfulness, lih. mis. N.T. Wright).
Ungkapan logizomai eis dikaiosunēn (diperhitungkan/memperhitungkan sebagai kebenaran) dipakai dalam Roma 4, Galatia 3 dan Yakobus 2, yang mengutip Kejadian 15:6 (LXX). Kepada Abraham, imannya diperhitungkan sebagai kebenaran, dan prinsip itu berlaku bagi setiap orang percaya. Menurut Teologi Reformasi, kebenaran Kristus diperhitungkan kepada orang percaya (lih. mis. Hoekema 2006, 232-233). Tetapi karena dalam PB tidak secara eksplisit dikatakan bahwa kebenaran Kristuslah yang diperhitungkan kepada orang percaya, maka ajaran ini pun diperdebatkan.
a. Roma 1:18–3:20
Ajaran pembenaran oleh iman, paling jelas diuraikan dalam Roma 3:21-4:25. Tetapi supaya jelas bahwa pembenaran oleh iman merupakan jalan keluar satu-satunya dari masalah dosa, baik bagi orang bukan Yahudi maupun untuk orang Yahudi, Paulus menekankan dalam Roma 1:18-3:20 bahwa orang Yahudi pun tidak mampu untuk menyelamatkan dirinya sendiri, sama seperti orang bukan Yahudi. Murka Allah sedang dinyatakan atas kefasikan orang-orang yang tidak mengenal Allah dari Kitab Suci, tetapi orang Yahudi juga tidak luput dari penghakiman Allah. Orang-orang (Yahudi) yang menghakimi orang lain akan dihakimi sendiri, karena mereka melakukan hal-hal yang sama (2:3). Orang Yahudi sendiri mencuri, berzinah, dan merampok rumah berhala (2:21-22), yang telah mengakibatkan pembuangan ke Asyur dan Babel. Dan kutipankutipan dari Kitab Mazmur (14, 5, 140, 10 dan 36) dan Kitab Yesaya (59)
membuktikan sifat berdosa bangsa Israel ini. Itu berarti bahwa tidak seorang pun dapat dibenarkan di hadapan Allah karena melakukan hukum Taurat (3:20). Prinsip ini bukan saja berlaku bagi orang bukan Yahudi (1:18-32), melainkan juga bagi orang Yahudi sendiri (2:1-3:18).
Manusia yang berdosa tidak dapat mengerjakan kebenarannya sendiri.
b. Kebenaran Allah dinyatakan tanpa hukum Taurat
Setelah penguraian secara panjang lebar mengenai ketidakmampuan semua orang, termasuk orang Yahudi yang memiliki hukum Taurat, Paulus menunjukkan jalan keluar dari masalah ini: Tetapi sekarang kebenaran Allah dinyatakan. Kebenaran Allah itu dinyatakan tanpa hukum Taurat (chōris nomou) (3:21). Itu tidak hanya berarti bahwa sekarang orang bukan Yahudi juga dapat diselematkan, tetapi bahwa orang Yahudi pun juga hanya dapat memperoleh keselamatan melalui jalan yang baru ini. Kebenaran Allah datang ”tanpa hukum Taurat” (3:21), ”melalui iman dalam Yesus Kristus”. Hal ini berlaku ”bagi semua orang yang percaya” (3:22). Kebenaran Allah tidak datang kepada setiap manusia melalui hukum Taurat, tetapi melalui iman kepada Yesus Kristus. Sistem hukum Taurat sebagai keseluruhan sudah berlalu, dan zaman baru telah dimulai, yang dicirikhaskan oleh karya keselamatan yang telah dilaksanakan oleh Yesus Kristus. Setiap orang yang percaya kepada-Nya dapat dibenarkan. Yang menentukan dalam zaman baru ini adalah iman kepada Yesus Kristus. Itu tidak berarti bahwa hukum Taurat tidak berarti lagi. Sebab seluruh PL, termasuk hukum Taurat, telah memberi kesaksian tentang penyataan kebenaran Allah itu, tentang tindakan keselamatan Allah dalam Yesus Kristus. Karena itu Paulus dapat menulis dalam satu ayat (3:21) bahwa kebenaran Allah itu dinyatakan tanpa atau di luar hukum Taurat, namun sekaligus dinubuatkan oleh hukum Taurat yang sama dan digambarkan di dalamnya.
Tidak mudah untuk menentukan makna frasa ”kebenaran Allah” (dikaiosunē theou). Frasa ”kebenaran Allah” terutama mengungkapkan sesuatu tentang Allah, yaitu tindakan-Nya untuk menyelamatkan bangsa-Nya (Douglas Moo), atau kesetiaan-Nya terhadap perjanjian-Nya (N.T. Wright). Allah bertindak sesuai dengan sifat-Nya. Dia setia pada janji-janji-Nya, dan karena itu Dia bertindak dalam kedatangan Anak-Nya, Yesus Kristus. Juga jelas bahwa ”kebenaran Allah” bukan sesuatu yang mengancam, yang menakutkan. Dalam LXX kata dikaiosunē merupakan terjemahan dari kata Ibrani tsedāqā, ’kebenaran’, ’keadilan’. Kata tsedāqā dapat digunakan untuk keadilan Allah yang menghukum, tetapi lebih sering dipakai dalam arti positif. Bagi orang-orang yang percaya kepada Allah, keadilan-Nya bersifat menyelamatkan.
Karena itu, kata tsedāqā dalam Yesaya 46:13 diterjemahkan ”keselamatan” (LAI). Dalam ayat ini kata tsedāqā sejajar dengan ”kelepasan” (tešūʽā): ”Keselamatan yang dari pada-Ku tidak jauh lagi, sebab Aku telah mendekatkannya dan kelepasan yang Kuberikan tidak bertangguh lagi; Aku akan memberikan kelepasan di Sion dan keagungan-Ku kepada Israel.” Lihat juga Yeremia 23:5-6: melalui kedatangan Mesias (Tunas adil bagi Daud) Allah akan ”melakukan keadilan [mišpāt] dan kebenaran [tsedāqā]”. Sebab ”namanya yang diberikan orang kepadanya: Tuhan keadilan [tsěděq] kita!”
Menurut Douglas Moo (1996, 84), frasa ”kebenaran Allah” bukan saja menunjuk ke tindakan Allah untuk menyelamatkan bangsa-Nya, melainkan juga ke kebenaran yang dianugerahkan kepada setiap manusia yang percaya kepada Yesus Kristus. Lihat misalnya 3:22, yang di dalamnya Paulus menulis: Kebenaran Allah (yang sekarang dinyatakan itu) diterima ”melalui iman dalam Yesus Kristus bagi semua orang yang percaya.” Jelas bahwa hubungan antara kedua hal itu sangat erat, yaitu antara tindakan Allah yang menyelamatkan dan keselamatan itu sendiri yang menjadi bagian dari setiap orang yang percaya. Tetapi hal kebenaran yang diperoleh manusia diungkapkan secara langsung dalam ungkapan-ungkapan lain, misalnya ”(iman) diperhitungkan sebagai kebenaran” (Rm. 4, Gal. 3, dan Yak. 2, yang mengutip Kej. 15:6), dan ”kebenaran yang Allah anugerahkan” (tēn ek theou dikaiosunēn) (Flp. 3:9).
Kebenaran berasal dari Allah, dan berlaku bagi setiap orang yang percaya.
c. Iman
Dalam doktrin pembenaran, iman adalah aspek yang penting, sebab manusia hanya bisa dibenarkan karena iman. Aspek iman ini sudah disebut dalam Roma 3:21-31: ”Melalui iman dalam Yesus Kristus bagi semua orang yang percaya” (3:22). Paulus membedakan dua ”hukum”: ”hukum” perbuatan dan ”hukum” iman (3:27). Hukum yang berlaku pada zaman baru ini adalah hukum iman. Sebab ”manusia dibenarkan karena iman” (3:28).
Dan hukum iman ini sudah berlaku sejak awal, sejak zaman Abraham.
”Lalu percayalah Abraham kepada Allah, maka Allah memperhitungkan hal itu kepadanya sebagai kebenaran” (Rm. 4:3, yang di dalamnya Paulus mengutip Kej. 15:6). Abraham dibenarkan karena imannya. Abraham percaya kepada Allah ”yang membenarkan orang fasik” (4:5), ”yang menghidupkan orang mati dan yang menjadikan dengan firman-Nya apa yang tidak ada menjadi ada” (4:17), dan ”yang telah membangkitkan Yesus, Tuhan kita, dari antara orang mati” (4:24). Abraham yakin, ”bahwa Allah berkuasa untuk melaksanakan apa yang telah Ia janjikan” (4:21).
Bukan manusia yang melakukan sesuatu, melainkan Allah yang bertindak, sedangkan manusia hanya percaya kepada Allah yang pasti akan melakukan apa yang telah Dia janjikan.
d. Pembenaran mutlak perlu
Pembenaran ini mutlak perlu. Hal itu sudah jelas dari Roma 1:18-3:20: tidak seorang pun benar di hadapan Allah. Justru setiap manusia layak dihukum Allah. Bahkan hukum Taurat pun tidak merupakan jalan keluar dari masalah ini. Hal itu sekali lagi ditekankan Paulus dalam 3:23: ”Karena semua orang telah berbuat dosa dan kehilangan kemuliaan Allah.” Kata kerja kedua dalam kalimat ini, ”kehilangan” (husterountai), berbentuk present, dan menunjuk ke sesuatu yang berlanjut terus. Menurut Douglas Moo (1996, 226), situasi ini, yaitu bahwa manusia kehilangan kemuliaan Allah, masih berlaku juga bagi orang-orang Kristen, yang baru akan mencerminkan gambar Allah secara sempurna pada saat mereka diubah dan ”menjadi serupa dengan gambar” Kristus (Rm. 8:29; bnd. 8:23).
e. Dasar pembenaran: karya Kristus
Manusia dibenarkan karena iman (Rm.3:28), dengan cuma-cuma, oleh anugerah (Rm. 3:24). Itu berarti bahwa dasar pembenaran tidak terletak pada diri manusia. Dasar pembenaran adalah karya Kristus, sebagaimana dilukiskan dengan berbagai cara dalam Roma 3:24-25: manusia dapat dibenarkan ”melalui penebusan [apolutrōsis] dalam Kristus Yesus”, yang ”telah ditentukan Allah menjadi jalan pendamaian [hilastērion] melalui iman, dalam darah-Nya.”
Kata apolutrōsis berarti pembebasan. Sama seperti bangsa Israel dibebaskan dari Mesir dalam peristiwa keluaran, demikian juga orang-orang percaya dibebaskan dari dosa oleh karya Yesus Kristus. Dalam buku-buku tafsiran, diperdebatkan apakah latar belakang pemakaian kata apolutrōsis adalah praktik pembebasan seorang budak, dan apakah pemakaian kata ini mengandung gagasan pembayaran uang tebusan. Tetapi, gagasan pembayaran uang tebusan cocok dalam konteks Roma 3:24-25. Manusia dapat dibenarkan dengan cuma-cuma, secara gratis, sebab Allah rela membayar harga melalui Kristus. Di samping itu, latar belakang ayat-ayat ini adalah persembahan kurban (lih. kata hilastērion dan ”dalam darah-Nya”). Dalam persembahan kurban terdapat gagasan pembayaran harga, yaitu darah binatang kurban. Dan di tempat-tempat lain Paulus menulis bahwa darah Kristus adalah harga penebusan (Ef. 1:7; bnd. Kis. 20:28; 1Kor. 6:20; 7:23).
Melalui penebusan itu, diadakan pendamaian. Menurut Douglas Moo
(1996, 231-236), kata hilastērion dapat menunjuk ke tutup pendamaian yang ada di atas tabut perjanjian (Im.16:2), yang harus dipercik dengan darah lembu jantan (Im.16:14) oleh Imam Besar sekali setahun pada hari raya pendamaian. Tidak semua penafsir setuju dengan interpretasi ini, tetapi jelas bahwa Yesus Kristus dipertunjukkan secara publik sebagai jalan pendamaian. Apa yang didamaikan? Dosa (dalam bahasa Inggris dipakai kata expiation, ”penutupan atau pengampunan dosa”) atau (murka) Allah (propitiation, ’pendamaian murka Allah’)? Kita tidak perlu memilih, karena kedua arti ini terkandung dalam kata hilastērion. Dalam kurban Yesus Kristus di kayu salib, dosa manusia diampuni, dan murka Allah didamaikan. Hal itu digarisbawahi Paulus melalui tambahan kata ”dalam darah-Nya”.
Itu berarti bahwa dalam pembenaran, hubungan dengan Allah dipulihkan dan dosa manusia diampuni. Aspek pengampunan dosa juga muncul dalam Roma 4:7-8, yang di dalamnya Paulus mengutip Mazmur 32:1-2a: ”Berbahagialah orang yang diampuni pelanggaran-pelanggarannya, dan yang ditutupi dosa-dosanya; berbahagialah manusia yang kesalahannya tidak diperhitungkan Tuhan kepadanya.” Pelanggarannya diampuni, dosa-dosanya ditutupi, dan kesalahannya tidak diperhitungkan kepadanya. Pengampunan dosa adalah aspek yang penting dari pembenaran oleh iman.
Pembenaran mutlak perlu, dasarnya adalah karya Kristus di kayu salib, dan melaluinya hubungan dengan Allah dipulihkan dan dosa diampuni.
f. Allah adil ketika membenarkan orang berdosa
Dalam Roma 3:25-26, kita menemukan satu aspek lagi dari pembenaran oleh iman. Dalam tafsiran tradisional kata dikaiosunē, yang dipakai dua kali dalam ayat-ayat ini, diartikan sebagai aspek dari sifat Allah, yaitu keadilanNya. TB-2 LAI menerjemahkan kata dikaiosunē dalam kedua ayat ini dengan ”keadilan”, bukan dengan ”kebenaran” seperti dalam 1:17 dan 3:21-22. Menurut Douglas Moo (1996, 240), dikaiosunē menggambarkan Allah sebagai Allah yang konsisten, taat asas, yang selalu bertindak sesuai dengan sifat-Nya. Lihat penjelasan Hoekema mengenai kedua ayat ini: dalam ayat 25 Paulus menegaskan bahwa ”dosa-dosa orang-orang percaya Perjanjian Lama dapat secara adil dibiarkan (tidak dihukum), dengan memandang kepada pengorbanan yang akan dilakukan Kristus nantinya”. Ayat 26 mengajarkan bahwa ”saat ini Allah dapat secara adil membenarkan orang berdosa, karena Kristus telah secara sempurna memuaskan tuntutan keadilan ilahi bagi umat-Nya”. Allah tetap adil pada saat Dia membenarkan orang fasik, sebab dalam salib Kristus, dosa-dosa dihukum dan sekaligus terlihat kasih Allah terhadap orang-orang berdosa. ”Allah menyediakan kurban (oleh anugerah) dan Kristus menanggung hukuman atas dosa-dosa kita (memuaskan keadilan Allah)” (Hoekema 2006, 210).
Dosa manusia ditanggung oleh Kristus, anugerah Allah dinikmati oleh orang-orang percaya.
g. Imputasi (memperhitungkan) kebenaran Kristus
Aspek terakhir dari Roma 3:21–4:25 yang perlu dijelaskan adalah ungkapan: ”Allah memperhitungkan hal itu [yaitu imannya] kepadanya sebagai kebenaran” (Rm. 4:3), atau: ”imannya diperhitungkan menjadi kebenaran” (Rm. 4:5). Seperti sudah dikatakan di atas, dalam PB tidak dikatakan secara eksplisit bahwa kebenaran Kristuslah yang diperhitungkan kepada orang percaya. Yang diperhitungkan kepada Abraham (dan kepada setiap orang percaya) sebagai kebenaran adalah imannya. Atau dalam rumusan lain yang digunakan Paulus dalam Roma 4: Allah memperhitungkan kebenaran bukan berdasarkan perbuatan (ayat 6, 11). Namun, ajaran imputasi kebenaran Kristus dapat disimpulkan dari beberapa ayat Alkitab.
Pertama-tama, imputasi kebenaran, tanpa penjelasan lebih lanjut mengenai kebenaran itu, diajarkan oleh Roma 4. Belum tentu kebenaran seperti apa atau kebenaran siapa yang dimaksudkan, tetapi jelas bahwa kebenaran diperhitungkan kepada orang percaya. Bukan saja dalam Roma 4:6, 11, tetapi juga dalam frasa ”iman diperhitungkan sebagai kebenaran”, kita menemukan iman sebagai sarana imputasi kebenaran itu.
Dalam Roma 4 kebenaran yang diperhitungkan kepada orang percaya tidak dijelaskan lebih lanjut. Tetapi, dalam Filipi. 3:9 dan 2 Korintus 5:21 kita menemukan istilah ”kebenaran yang Allah anugerahkan” dan ”dibenarkan Allah”. Kedua nas ini memberi dukungan bagi istilah dogmatis iustitia aliena, kebenaran ”asing”, yang bukan berasal dari orang percaya sendiri. Walaupun istilah yang dipakai dalam 2 Korintus 5:21 adalah kebenaran Allah, dan bukan kebenaran Kristus, namun jelas bahwa kebenaran Allah itu direalisasikan melalui Kristus (”di dalam Kristus Allah mendamaikan dunia dengan diri-Nya”, 2Kor. 5:19), dan menjadi bagian kita dalam kesatuan dengan Kristus (”dalam Dia”, 2Kor.5:21; lih. juga 1Kor. 1:30). Jadi, kebenaran yang diperhitungkan kepada kita bukan saja kebenaran Allah, melainkan juga kebenaran Kristus (lihat Carson 2004, 69-72, yang menekankan bahwa dalam surat-surat Paulus, pembenaran dikaitkan erat dengan kesatuan kita dengan Kristus).
Kebenaran ini dikerjakan oleh Kristus, atau dianugerahkan kepada orang percaya berdasarkan karya Kristus di kayu salib. Hal yang sama ditekankan dalam Roma 5:18-19. Dua istilah yang kita temukan dalam ayat-ayat ini, yaitu ”satu perbuatan kebenaran” (ay. 18) dan ”ketaatan satu orang” (ay. 19), menunjuk ke karya Kristus sebagai keseluruhan, yang puncaknya terletak dalam karya pendamaian di kayu salib.
Berdasarkan nas-nas yang disebut di atas, dapat dikatakan bahwa walaupun Alkitab tidak mengajarkan secara langsung dan eksplisit bahwa kebenaran Kristus diperhitungkan kepada kita, namun jelas bahwa secara implisit hal ini merupakan ajaran Alkitab yang sah. Terutama kesatuan orang percaya dengan Kristus sangat menentukan di sini. Tetapi, kebenaran Kristus harus dimengerti sebagai seluruh ketaatan Kristus, dan terutama yang dalam dogmatik disebut ketaatan-Nya yang pasif, atau dalam rumusan Hoekema ”ketaatan penderitaan” (Hoekema 2006, 240).
Katekismus Heidelberg Mg. Ke-23, p/j 60, yang menjelaskan pembenaran oleh iman sebagai berikut: ”Namun, Allah, tanpa jasa apa pun dari pihakku, semata-mata berdasarkan rahmat, memberikan kepadaku anugerah ini: pelaksanaan pelunasan oleh Kristus, kebenaran-Nya, dan kesucian-Nya yang sempurna dianggap-Nya sebagai milikku, seolah-olah aku belum pernah dihinggapi dosa atau berbuat dosa, bahkan seolah-olah aku sendirilah yang mengerjakan segala ketaatan yang dikerjakan oleh Kristus untukku, asal saja anugerah itu kuterima dengan hati yang percaya.”
Kebenaran Kristus, yaitu seluruh ketaatan-Nya, diperhitungkan kepada orang-orang percaya.
Tetapi, bagaimana ajaran Paulus ini dapat diselaraskan dengan ajaran Yakobus. Dalam Yakobus 2:21 kita membaca: ”Bukankah Abraham, bapak kita, dibenarkan berdasarkan perbuatan-perbuatannya, ketika ia mempersembahkan Ishak, anaknya, di atas mezbah?” Dan dalam 2:24: ”Jadi kamu lihat bahwa manusia dibenarkan karena perbuatan-perbuatannya dan bukan hanya karena iman.” Apa yang Yakobus tulis dalam ayat-ayat ini kelihatan sangat bertentangan dengan pendapat Paulus dalam Roma 3:28: manusia hanya dapat dibenarkan oleh karena iman dalam Yesus Kristus, bukan karena melakukan hukum Taurat. Apa yang Alkitabiah: manusia dibenarkan karena iman, bukan oleh perbuatan-perbuatan hukum Taurat, atau apakah manusia dibenarkan karena perbuatan-perbuatannya dan bukan hanya karena iman? Beberapa jalan keluar ditunjukkan oleh para penafsir.
Pertama-tama kita harus memerhatikan konteks yang berbeda (Van Bruggen 2005, 185-188). Yakobus menulis untuk orang Kristen Yahudi yang berpegang pada ajaran ortodoks, tetapi yang lemah dalam bidang etika. Sedangkan Paulus menulis kepada para pembaca yang sebagian besar berasal dari kalangan orang bukan Yahudi, yang harus menyadari bahwa iman dalam Yesus Kristus itu cukup. Mereka tidak boleh menggantikan perbuatan baik yang harus dilakukan untuk memperoleh keselamatan dalam rangka penyembahan berhala dengan perbuatan-perbuatan hukum Taurat, seolaholah iman dalam Yesus Kristus tidak cukup untuk diselamatkan.
G.E. Ladd (Teologi Perjanjian Baru Jilid II, hlm. 403-404) menekankan bahwa kedua istilah yang dipakai, yaitu iman dan perbuatan, diberi arti yang berbeda. ”Bagi Paulus iman berarti penerimaan Injil dan penyerahan pribadi kepada Dia yang diberitakan.” Sedangkan ”bagi Yakobus iman itu adalah pendapat yang ortodoks.” Perbuatan yang dimaksud Paulus adalah ”perbuatan ketaatan formal terhadap Taurat yang menjadi dasar kemegahan terhadap hasil pekerjaannya yang baik.” Bagi Yakobus, perbuatan adalah ”perbuatan kasih Kristen perbuatan yang menggenapi ’hukum utama’ tentang mengasihi sesama.”
Menurut Douglas Moo (2000, 141), kita juga harus memerhatikan bahwa kata ”membenarkan” dipakai dalam arti yang berbeda. Bagi Paulus pembenaran berarti pernyataan pertama bahwa orang berdosa adalah benar di hadapan Allah. Jadi, dalam surat-surat Paulus, istilah membenarkan menunjuk ke cara untuk masuk ke dalam hubungan yang baik dengan Allah. Sedangkan bagi Yakobus pembenaran berarti bahwa seseorang dinyatakan tidak bersalah pada penghakiman terakhir. Masuk ke dalam hubungan dengan Allah hanya mungkin melalui iman (Paulus), tetapi pengesahan terakhir dari hubungan itu pada hari penghakiman juga mempertimbangkan perbuatan-perbuatan yang merupakan hasil dari iman yang sejati (Yakobus).
Perbedaan antara ajaran pembenaran Paulus dan Yakobus disebabkan oleh konteks dan penggunaan kata-kata (iman, perbuatan, membenarkan) yang berbeda-beda.
Banyak aspek dari pembenaran oleh iman sudah disebut di atas. Hoekema (2006, 229-236), menyebut aspek-aspek yang berikut:
- Jika kita mengakui bahwa manusia dapat dibenarkan oleh iman, kita juga harus mengakui realitas murka Allah. Kita sudah melihat di atas bahwa murka Allah dinyatakan ”atas segala kefasikan dan kelaliman manusia”
(Rm. 1:18), dan hal itu berlaku untuk semua manusia tanpa kecuali, sehingga Paulus dapat menyimpulkan dalam Roma 3:19: ”seluruh dunia berada di bawah penghakiman Allah.” Hukum Taurat pun tidak merupakan jalan keluar dari masalah ini, ”karena justru oleh hukum Taurat orang mengenal dosa.” Lihat juga Efesus 2:3: ”Pada dasarnya kita adalah orang-orang yang harus dimurkai”. Manusia ”jauh dari Allah” dan ”menjadi musuh-Nya”, seperti yang nyata dari perbuatannya yang jahat (Kol. 1:21). Manusia harus diselamatkan dari murka Allah (Rm. 5:9).
- Pembenaran bukanlah suatu proses, melainkan ”suatu tindakan deklaratif dan yudisial dari Allah’. Dalam buku-buku dogmatik, sering dipakai kata ”forensik” (berhubungan dengan pengadilan). Dikaioō berarti ”menyatakan benar”. Kata ini dipakai dalam konteks pengadilan. Setiap orang yang percaya memperoleh putusan bebas berdasarkan kebenaran Kristus. Manusia dibenarkan pada saat ia menjadi percaya kepada Yesus Kristus, ”satu kali untuk selamanya”. Walaupun begitu, ”orang-orang percaya harus terus mempraktikkan imannya untuk dapat terus-menerus mendapatkan manfaat dari pembenaran dirinya ini.”
- Manusia tidak bisa dibenarkan oleh perbuatan-perbuatannya, tetapi ”hanya melalui iman” (Rm. 3:22, 28). KH Mg. Ke-23, p/j 60 menyatakan, bahwa seseorang benar di hadapan Allah, ”hanya oleh iman yang sejati kepada Yesus Kristus’. Anugerah itu harus diterima ”dengan hati yang percaya”.
- Sama seperti kesatuan dengan Kristus penting untuk seluruh ajaran mengenai keselamatan, kesatuan ini juga sangat menentukan untuk ajaran pembenaran (lih. bagian 1.3). Ketika kita menyadari bahwa pembenaran menjadi mungkin karena kesatuan dengan Kristus itu, maka kita dapat memahami lebih baik bahwa kebenaran Kristus diperhitungkan kepada kita.
- Dasar pembenaran adalah karya Kristus (lihat bagian 5.2.e), yang telah menggantikan kita. Kristus telah menanggung murka Allah atas dosa-dosa manusia, dan berdasarkan karya Kristus itu manusia dapat dibenarkan. Hal itu diajarkan dalam seluruh Alkitab. Dalam Yes.53:6 kita membaca: ”Tuhan telah menimpakan kepadanya [yaitu kepada hamba Tuhan yang menderita, yang adalah Kristus, lihat Kis.8:35] kejahatan kita sekalian.”
Lihat juga Yes.53:12: ”ia menanggung dosa banyak orang.” Yesus sendiri telah mengatakan bahwa Ia datang ”untuk memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang” (Mat. 20:28; bnd. Mrk. 10:45). Gagasan penggantian ini juga diungkapkan dalam 1Ptr. 2:24 dan Ibr. 9:28. Paulus bahkan berani menulis bahwa Allah membuat Kristus ”menjadi dosa karena kita” (2Kor. 5:21), dan bahwa Kristus telah ”menjadi kutuk karena kita” (Gal. 3:13).
- Seperti yang sudah dibahas di atas (bagian 5.2.g), dalam tindakan pembenaran, kebenaran Kristus diperhitungkan kepada kita. Bukan kesalahan kita diperhitungkan kepada kita (Mzm.32:2), melainkan kebenaran Kristus. Itu berarti bahwa kebenaran yang kita terima berasal dari luar, bukan dari kita sendiri.
- Aspek yang berikut dari pembenaran adalah bahwa Allah tidak mengurbankan keadilan-Nya dalam membenarkan orang berdosa (lih. Rm. 3:25-26, bnd. Bagian 5.2.f). Dengan kata-kata lain: anugerah Allah (menyatakan benar orang yang bersalah) berjalan bersama-sama dengan keadilan-Nya (kesalahan manusia harus dihukum). ”Tuntutantuntutan keadilan-Nya” telah dipenuhi oleh Yesus Kristus, manusia sejati dan Allah sejati (KH Mg. Ke-5/6). Hal itu telah menjadi nyata di kayu salib. Sekaligus, dalam peristiwa yang sama, kasih Allah menjadi nyata, karena Kristus mati di kayu salib untuk menyelamatkan setiap orang yang percaya kepada-Nya. Pendamaian tidak menggantikan keadilan Allah, tetapi pendamaian itu justru menjadi realitas melalui pemenuhan keadilan Allah.
- Pembenaran mencakup pengampunan dosa (kesalahan tidak diperhitungkan Tuhan kepada kita, Mzm.32:2). Hoekema menyebut pengampunan dosa adalah sisi negatif dari pembenaran. Menurutnya, sisi positif adalah pengadopsian kita sebagai anak-anak Allah dan pemberian hidup yang kekal (Hoekema 2006, 234, 236-245). Tetapi menurut Grudem (1994, 736-745), sisi positif dari pembenaran adalah imputasi kebenaran Kristus, dan pengadopsian sebagai anak-anak Allah dibahasnya sebagai aspek keselamatan tersendiri (bukan sebagai aspek dari pembenaran). Lihat pembahasan dalam bagian 5.5.
- Pembenaran mempunyai hubungan dengan penghakiman terakhir.
Orang-orang yang dibenarkan dalam hidup ini karena mereka yang percaya kepada Yesus Kristus tidak akan dihukum pada hari penghakiman. Walaupun mereka masih harus ”menghadap takhta pengadilan Kristus, supaya setiap orang memperoleh apa yang patut diterimanya sesuai dengan yang dilakukannya dalam hidupnya ini, baik ataupun jahat” (2Kor. 5:10), namun mereka ”tidak turut dihukum”, karena mereka ”sudah pindah dari dalam maut ke dalam hidup” (Yoh. 5:24), dan mereka ”menantikan pengangkatan sebagai anak, yaitu pembebasan tubuh” mereka (Rm. 8:23).
- Pembenaran dan pengudusan sangat berkaitan erat, namun perlu dibedakan. (1) Pembenaran terjadi ”satu kali untuk selamanya”, sedangkan pengudusan merupakan proses yang berlanjut terus seumur hidup. (2) Pembenaran bersifat yudisial dan menyangkut status kita, sehingga terjadi di luar kita, sedangkan pengudusan menyangkut natur kita dan membuat kita bertumbah dalam iman dan membuat kita menjadi semakin serupa dengan gambaran Anak Allah (Rm. 8:29), hingga terjadi di dalam diri kita dan mengubahkan kita dari dalam.
a. Pendahuluan
Seperti sudah dikatakan di atas (bagian 5.4), ada perbedaan pendapat mengenai tempat pengadopsian dalam pembahasan jalan keselamatan. Hoekema (2006, 240-245), menganggapnya sebagai sebagian dari aspek pembenaran oleh iman, yaitu sebagai sisinya yang positif, dan membedakan ketaatan Kristus yang pasif dengan ketaatan-Nya yang aktif. Melalui ketaatanNya yang pasif, yaitu melalui penderitaan-Nya dan kematian-Nya di kayu salib, Kristus telah mengerjakan pengampunan dosa bagi kita (yang disebut Hoekema sisi ’negatif’ dari pembenaran). Sedangkan ketaatan Kristus yang aktif , yang diperhitungkan kepada kita dalam pembenaran, merupakan dasar bagi hak orang-orang percaya untuk diadopsi sebagai anak-anak Allah. Jadi, menurut Hoekema, melalui imputasi kebenaran Kristus (lihat bagian 5.2.g) kita diadopsi secara legal, sehingga kita ”ditempatkan di dalam status sebagai putra atau putri Allah, dan dengan demikian berhak atas segala sesuatu yang berkaitan dengan status itu” (2006, 245), antara lain hidup yang kekal.
Tetapi Grudem membahas pengadopsian sebagai aspek keselamatan tersendiri. Grudem (1994, 738-739), berpendapat bahwa pengadopsian harus dibedakan dari pembenaran. Dalam kelahiran kembali, kita dijadikan hidup secara rohani. Dalam pembenaran, kita diberi pengampunan dosa dan status legal yang benar di hadapan Allah. Tetapi pengadopsian menyangkut hubungan kita dengan Allah sebagai Bapa kita.
Bagaimanapun penempatan pengadopsian dalam jalan keselamatan, kita boleh menganggapnya sebagai aspek dari jalan keselamatan. Di samping itu, ajaran pembenaran dan ajaran pengadopsian sangat berkaitan erat. Kedua hal ini terjadi pada waktu yang sama, dan menunjuk ke karya Allah semata-mata. Tidak ada sumbangsih dari manusia sama sekali. Karena itu, aspek ini dibahas secara singkat di bawah ini.
Pembenaran dan pengadopsian terjadi pada waktu yang sama, dan kedua-duanya hanya dikerjakan oleh Allah, tanpa sumbangsih manusia.
b. Dasar Alkitab
Posisi orang percaya sebagai anak-anak Allah disebut dalam berbagai nas, yang kebanyakan berasal dari tulisan-tulisan Paulus dan Yohanes.
Dalam Yohanes 1:12 kita membaca: ”Namun semua orang yang menerimaNya diberi-Nya kuasa supaya menjadi anak-anak Allah, yaitu mereka yang percaya dalam nama-Nya.” Orang-orang yang tidak percaya kepada Yesus disebut ”anak-anak murka/orang-orang yang harus dimurkai” (tekna orgēs), dan ”anak-anak ketidaktaatan/orang-orang durhaka” (tois huiois tēs apeitheias)
(Ef. 2:2-3). Dan bapak orang-orang Yahudi yang menolak Yesus bukanlah Allah, melainkan Iblis (Yoh. 8:41-44). Dalam suratnya yang pertama, Yohanes menulis: ”kita disebut anak-anak Allah, dan memang kita adalah anak-anak Allah” (1Yoh. 3:1-2).
Dalam surat Roma, Paulus menulis: ”Semua orang, yang dipimpin Roh Allah, adalah anak Allah”, ’telah menerima Roh yang menjadikan kamu anak Allah’ (pneuma huiothesias, ’the Spirit of sonship’, NIV), ”berseru, ’Ya Abba, ya Bapa!’”. Mereka adalah ”anak-anak Allah” (Rm. 8:14-17). ”Bukan anak-anak secara jasmani yang adalah anak-anak Allah, tetapi anak-anak perjanjian yang disebut keturunan [Abraham] yang benar” (Rm. 9:8).
Hal yang sama ditekankan Paulus dalam suratnya kepada jemaat-jemaat di Galatia: ”Sebab kamu semua adalah anak-anak Allah melalui iman di dalam Yesus Kristus” (3:26). Buktinya bahwa kita adalah anak-anak Allah dijelaskan dalam Galatia 4:6-7: ”Karena kamu adalah anak, maka Allah telah menyuruh Roh Anak-Nya ke dalam hati kita, yang berseru, ’Ya Abba, ya Bapa!’ Jadi, kamu bukan lagi hamba, melainkan anak; jikalau kamu anak, maka kamu juga adalah ahli-ahli waris, oleh perbuatan Allah.”
Walaupun Yesus menyebut kita saudara (Ibr. 2:11-12), dan Dia ”menjadi yang sulung di antara banyak saudara” (Rm. 8:29), namun Yesus tetap melihat perbedaan besar antara Dia dengan kita, Yohanes 20:17 (”Bapa-Ku dan Bapamu”). Lihat juga KH Mg. Ke-13, p/j 33: Kristus dinamakan Anak Allah yang tunggal, ”sebab hanya Kristus saja yang adalah Anak Allah yang sehakikat dan yang sama-sama kekal. Sebaliknya, kita diangkat menjadi anak-anak Allah karena Dia, berdasarkan anugerah.”
Memang sekarang ini kita sudah menjadi anak-anak Allah, namun kita baru akan menerima segala berkat dan hak pengadopsian pada saat kedatangan Kristus kembali. Lihat Roma 8:23: ”kita juga mengeluh dalam hati kita sambil menantikan pengangkatan sebagai anak, yaitu pembebasan tubuh kita”. Dan Yohanes menulis: ”Saudara-saudaraku yang terkasih, sekarang kita adalah anak-anak Allah, tetapi belum nyata apa keadaan kita kelak”. Tetapi nanti ”kita akan menjadi sama seperti Dia”.
c. Berkat-berkat pengadopsian
Posisi kita sebagai anak-anak Allah penuh berkat. J.I. Packer menguraikan berkat-berkat ini secara panjang lebar dalam bukunya Mengenal Allah (2002, 253-294). Sebenarnya berkat-berkat itu sudah nyata dalam nas-nas Alkitab yang disebut di atas, tetapi supaya jelas betapa besar kebahagiaan orang yang telah diangkat menjadi anak-anak Allah, lihat poin-poin di bawah ini (lihat Grudem, hlm.739-742):
(1) Hubungan antara Tuhan dengan kita:
(2) Hubungan persaudaraan:
Kita orang Kristen dianggap sebagai orang kudus, tetapi sekaligus kita harus menguduskan diri. Di satu pihak pengudusan telah terjadi pada saat kita menjadi percaya kepada Yesus Kristus (pengudusan definitif), sehingga kita disebut orang-orang kudus. Di pihak lain pengudusan digambarkan sebagai suatu proses yang berlanjut seumur hidup (pengudusan progresif), yang berarti bahwa orang-orang kudus masih harus menguduskan diri.
Maksud pengudusan definitif adalah ketika orang Kristen disebut ”orang-orang yang dikuduskan” (Kis. 20:32; 26:18). Dalam 1 Korintus 1:2, Paulus menulis tentang orang Kristen di Korintus sebagai ”mereka yang dikuduskan [perfekt tense] di dalam Kristus
Yesus.” Dalam 1 Korintus 6:11, pengudusan dan pembenaran disejajarkan: ”Tetapi kamu telah memberi dirimu disucikan, kamu telah dikuduskan, kamu telah dibenarkan dalam nama Tuhan Yesus Kristus dan dalam Roh Allah kita”. Pengudusan yang dimaksudkan dalam ayat ini telah terjadi pada saat seseorang menjadi percaya, sama seperti pembenaran. Pengudusan (definitif) ini berhubungan dengan status kita. Orang Kristen adalah anak-anak Allah, orang-orang benar, orang-orang kudus. Dalam hal ini tidak ada perbedaan. Status ini menjadi milik setiap orang percaya. Tetapi sekaligus setiap orang Kristen terlibat dalam proses pengudusan. Orangorang kudus harus menguduskan diri. Kedua hal itu, pengudusan definitif dan pengudusan progresif, muncul dalam Roma 6. Di satu pihak kita telah mati bagi dosa (ay. 2), ”manusia lama kita telah turut disalibkan, supaya tubuh dosa kita hilang kuasanya” (ay. 6), dan kita ”telah dimerdekakan dari dosa dan menjadi hamba kebenaran” (ay. 18). Itulah pengudusan definitif. Di pihak lain kita harus berusaha supaya ”dosa jangan berkuasa lagi” di dalam tubuh kita yang fana (ay. 12), dan Paulus menasihati kita untuk jangan menyerahkan anggotaanggota tubuh kita kepada dosa untuk dipakai sebagai senjata kelaliman, tetapi untuk menyerahkan diri kita kepada Allah sebagai orang-orang, yang dahulu mati, tetapi yang sekarang hidup (ay. 13). Inilah pengudusan progresif, yang harus diwujudkan dalam kehidupan setiap orang percaya.
Mengapa setiap orang Kristen adalah orang kudus, walaupun masih ada dosa dalam hidupnya, dan walaupun ia masih harus berusaha supaya ia hidup lebih kudus lagi? Karena statusnya berubah ketika ia menjadi percaya kepada Yesus Kristus, dan dengan demikian menjadi satu dengan Dia dalam kematian, penguburan, dan kebangkitan-Nya.
Yang akan dibahas dalam bagian ini adalah pengudusan progresif, yaitu bahwa kita sebagai orang kudus harus bekerja keras untuk hidup makin kudus, dan untuk menjauhkan diri dari dosa dan tetap bertahan dalam segala macam pencobaan yang ada dalam hidup ini. Inilah pergumulan yang berat, yang menurut Alkitab akan berjalan terus seumur hidup.
Dalam bagian ini dibahas pengudusan progresif (proses yang berlanjut terus seumur hidup), yang harus dibedakan dari pengudusan definitif (yang adalah status yang diberikan kepada seseorang ketika ia menjadi percaya).
Seperti sudah dibahas dalam bagian 1, ada aspek-aspek keselamatan pribadi yang dikerjakan oleh Allah tanpa keterlibatan manusia secara aktif, misalnya kelahiran kembali atau pembenaran. Pengudusan definitif juga termasuk katagori ini. Tetapi pengudusan progresif adalah aspek keselamatan yang di dalamnya karya Allah dan aktivitas manusia berjalan bersama-sama. Pengudusan tetap merupakan anugerah Allah bagi kita. Allahlah yang seratus persen mengerjakannya di dalam diri manusia. Tetapi dalam aspek ini, sama seperti dalam aspek iman, pertobatan, dan ketekunan, manusia menjadi aktif. Manusia diperintahkan untuk hidup kudus. Kedua sisi ini, pengudusan sebagai karya Allah dan sebagai aktivitas manusia, diajarkan terus terang oleh Alkitab.
Dalam Filipi 2:12-13 kita melihat kedua sisi secara berdampingan. Dalam ayat 12, Paulus menasihati orang Kristen di Filipi untuk tetap mengerjakan keselamatan mereka dengan takut dan gentar. Keselamatan, yang dikaruniakan Allah kepada manusia, harus diolah dan dipelihara. Dengan kuasa Roh Kudus, manusia harus bekerja keras untuk tetap hidup dalam keselamatan. Dalam ayat ini Paulus menekankan aktivitas dan tanggung jawab manusia untuk menjalankan hidup yang sesuai dengan keselamatan di dalam Kristus. Tetapi dalam ayat 13, Paulus menegaskan bahwa aktivitas manusia itu hanya mungkin kalau Allah tetap berkarya: ”karena Allahlah yang mengerjakan di dalam kamu baik kemauan maupun pekerjaan menurut kerelaan-Nya.” Bukan saja kemauan, melainkan juga pekerjaan, yaitu aktivitas manusia itu sendiri yang menjadi tanggung jawabnya, dikerjakan oleh Allah. Jadi kita manusia, berusaha dan bekerja keras untuk hidup kudus, tetapi usaha manusia itu adalah karya Allah, sehingga kita bersyukur kepada Allah karena perbuatanperbuatan baik yang kita kerjakan.
Filipi 2:13 bukan hanya menekankan karya Allah dalam pengudusan manusia. Di mana-mana dalam Alkitab, kita membaca bahwa Allah Tritunggal menguduskan orang-orang percaya. Paulus menulis dalam 1 Tesalonika 5:23: ”Semoga Allah damai sejahtera menguduskan kamu seluruhnya”. Dan dari Ibrani 12:5-11 menjadi jelas bahwa Allah mendisiplinkan kita sebagai anak-anak-Nya. Yesus Kristus juga berperan dalam pengudusan kita. Dialah pengudusan kita (1 Kor. 1:30), dan Kristus telah menyerahkan diri-Nya bagi jemaat ”untuk menguduskannya” (Ef. 5:25-27). Yesuslah yang ”membawa iman kita itu kepada kesempurnaan” (Ibr. 12:2). Dan Roh Kudus, yang penting dalam seluruh jalan keselamatan, mengerjakan pembaruan kita (lih. Tit. 3:5). Paulus memberitakan Injil kepada bangsa-bangsa bukan Yahudi, supaya mereka ”dapat diterima oleh Allah sebagai persembahan yang berkenan kepada-Nya, yang disucikan oleh Roh Kudus” (Rm. 15:16). Lihat juga 1 Petrus 1:2; 2 Tesalonika 2:13; Galatia 5:16-18,22-23.
Tidak sulit untuk mencari ayat-ayat Alkitab yang membuktikan bahwa manusia bertanggung jawab untuk menjalankan hidup kudus. Di dalam seluruh Alkitab, orang-orang percaya diperintahkan untuk meninggalkan perbuatan jahat, dan untuk hidup baik. Tadi kita sudah melihat Roma 6 dan Filipi 2:12. Dan Paulus menulis dalam Roma 8:13: ”Sebab, jika kamu hidup menurut daging, kamu akan mati; tetapi jika oleh Roh kamu mematikan perbuatanperbuatan tubuhmu, kamu akan hidup”. Selanjutnya kita membaca pada awal bagian Roma yang membahas cara hidup orang Kristen (Rm. 12:1-15:13), bahwa kita harus mempersembahkan tubuh kita ”sebagai persembahan yang hidup, yang kudus dan yang berkenan kepada Allah” (Rm. 12:1). Kita dinasihati dalam Ibrani 12:14: ”Berusahalah hidup damai dengan semua orang dan kejarlah kekudusan, sebab tanpa kekudusan tidak seorang pun akan melihat Tuhan”. Ratusan ayat lain dapat ditambahkan, yang membuktikan bahwa pengudusan adalah perintah Allah, dan sesuatu yang harus diusahakan oleh manusia. Sekali lagi, pengudusan tetap merupakan anugerah Tuhan, bahkan dikatakan bahwa perbuatan baik dipersiapkan oleh Allah sebelumnya (Ef.2:10), namun pengudusan itu diwujudkan melalui usaha dan aktivitas manusia.
Usaha ini bukan saja individual, melainkan juga dilakukan bersama dengan orang-orang Kristen lain. Grudem (1994, 756) menekankan hal itu, dan menunjuk ke Ibrani 10:24-25: ”Marilah kita saling memperhatikan supaya kita saling mendorong dalam kasih dan dalam perbuatan baik ... marilah kita saling menasihati, terlebih lagi sementara kamu melihat hari Tuhan semakin yang mendekat”. Orang-orang Kristen secara bersama terlibat dalam ”pembangunan suatu rumah rohani, bagi suatu imamat kudus” (1Ptr. 2:5), sebagai ”bangsa yang kudus” (1Ptr.2:9). Mereka harus saling menasihati dan ”saling membangun” (1Tes. 5:11). Jemaat di Efesus dipanggil untuk ”rendah hati, lemah lembut, dan sabar”. Mereka harus ”saling membantu”, dan berusaha untuk ”memelihara kesatuan Roh oleh ikatan damai sejahtera” (Ef. 4:2-3). ”Buah Roh” (Gal. 5:22-23) mencakup banyak hal yang berhubungan dengan membangun persekutuan, sedangkan ”perbuatan daging” (Gal. 5:1921) merusak persekutuan itu.
Allahlah yang mengerjakan pengudusan orang percaya, tetapi sekaligus manusia menjadi aktif sepenuhnya dalam proses ini.
Orang Kristen disebut ”ciptaan baru’ (2Kor. 5:17), dan pada saat kita menjadi percaya kepada Yesus Kristus, sesuatu yang sama sekali baru mulai dalam kehidupan kita. Kelahiran kembali menunjuk ke permulaan baru itu. Tanpa Yesus Kristus kita mati karena pelanggaran-pelanggaran dan dosa-dosa kita (Ef. 2:1), tetapi pada saat kita lahir kembali dan menjadi percaya kepada Yesus, kita dihidupkan bersama-sama dengan Dia (Ef. 2:5). Dan bukan itu saja; ”kita sedang diubah menjadi serupa dengan gambar-Nya, dalam kemuliaan yang semakin besar” (2Kor. 3:18). Manusia baru ”terus-menerus diperbarui untuk memperoleh pengetahuan yang benar menurut gambar Penciptanya” (Kol. 3:10).
Tetapi setiap orang Kristen tetap bergumul dengan dosa, walaupun apa yang dikatakan tentang perubahan yang ia alami ketika diselamatkan, menimbulkan kesan seolah-olah ia bebas dari dosa, dan dapat hidup sempurna. Walaupun seorang Kristen telah menjadi ”ciptaan baru”, ia masih dapat berdosa dan melakukan hal-hal yang telah mencirikhaskan kehidupannya sebelum ia bertobat dan menjadi percaya kepada Yesus Kristus. Yohanes menulis dalam suratnya yang pertama: ”Jika kita berkata bahwa kita tidak berdosa, maka kita menipu diri kita sendiri dan kebenaran tidak ada di dalam kita” (1:8). Sulit sekali untuk memberi penjelasan atas situasi ini, bahwa dalam hati yang baru, masih dapat timbul pikiran-pikiran yang jahat. Bahwa manusia baru masih perlu dinasihati untuk jangan berdosa. Tetapi dari banyak nasihat yang disampaikan kepada kita dalam Alkitab, termasuk Perjanjian Baru, dapat disimpulkan bahwa itulah realitas dalam kehidupan setiap orang Kristen: ia tidak imun terhadap dosa, bahkan ia dapat jatuh ke dalam dosa yang berat. Hal ini bukan saja berlaku bagi orang Kristen munafik atau tidak sungguhsungguh, melainkan juga bagi orang Kristen sejati, yang sungguh-sungguh percaya kepada Yesus Kristus. Apakah ada penjelasan teologis bagi realitas ini? Mengapa orang Kristen masih berdosa dan masih perlu diperintah untuk mematikan segala sesuatu yang duniawi dalam dirinya (Kol.3:5)?
Menurut Katekismus Heidelberg (Mg. Ke-33, p/j 88-90) hal ini disebabkan oleh karena ada dua ”manusia” di dalam diri orang percaya: manusia lama dan manusia baru. Karena itu, Katekismus Heidelberg menggambarkan pengudusan (yang disebut ”pertobatan”, yaitu pertobatan sebagai proses yang berlanjut seumur hidup, bukan pertobatan dalam arti pertobatan awal, lihat bagian 4) sebagai ”kematian manusia lama” dan ”kebangkitan manusia baru”. Kematian manusia lama berarti: ”sungguh-sungguh menyesali bahwa kita telah menimbulkan murka Allah karena dosa kita, dan semakin membenci dan menjauhi dosa itu.” Kebangkitan manusia baru dijelaskan sebagai berikut: ”sungguh-sungguh bersukacita dalam Allah karena Kristus, dan rela serta suka akan hidup sesuai dengan kehendak Allah sambil melakukan segala perbuatan baik.” Kematian dan kebangkitan ini dianggap sebagai suatu proses yang berlanjut seumur hidup. Bahkan ditegaskan dalam Mg. ke-44, p/j 114, bahwa ”orang yang paling suci pun selama hidup di dunia ini baru berada pada taraf permulaan ketaatan ini” (yaitu ketaatan terhadap perintah-perintah Allah).
Dalam gambaran Katekismus Heidelberg ini terdapat dua ”manusia” di dalam orang Kristen: manusia lama dan manusia baru. Manusia lama harus semakin mundur, sampai ia mati, sedangkan manusia baru harus semakin kuat, sampai kehidupan orang Kristen hanya ditentukan oleh manusia baru itu.
Apakah pertentangan di dalam diri orang percaya antara manusia lama dan manusia baru ini dapat menjadi penjelasan bagi pergumulan dengan dosa yang tetap ada dalam kehidupannya?
Menurut John Murray (1959/1965, hlm.219-220, yang diikuti oleh Anthony Hoekema 2006, 278-286), istilah ”manusia lama” menunjuk ke seluruh manusia yang belum lahir kembali, dan berbeda secara total dengan manusia baru yang menunjuk ke seluruh manusia yang telah lahir kembali. Menurutnya, Paulus tidak menganggap orang percaya sebagai manusia lama dan manusia baru pada waktu yang sama, atau yang mempunyai sekaligus manusia lama dan manusia baru di dalam dirinya sendiri. Sebab dalam Roma 6:6, Paulus menulis, bahwa manusia lama kita ”telah turut disalibkan” (tense aorist pasif). Pada saat seseorang menjadi satu dengan Kristus karena iman kepada-Nya, ia bukan manusia lama lagi karena manusia lama itu telah disalibkan dengan Kristus. Paulus tidak bermaksud bahwa seorang Kristen terlibat dalam proses penyaliban seumur hidup. Dalam Roma 6, Paulus justru menekankan pemutusan definitif terhadap dosa melalui kesatuan Kristen dalam kematian-Nya. Di samping itu, Murray menunjuk ke Kolose 3:9-10, yang di dalamnya Paulus juga memakai tense aorist ketika ia menulis tentang manusia lama dan manusia baru. Orang Kolose harus mematikan dalam dirinya segala sesuatu yang duniawi, yaitu ”percabulan, kenajisan, hawa nafsu, nafsu jahat dan juga keserakahan, yang sama dengan penyembahan berhala” (Kol.3:5), karena ”kamu telah menanggalkan manusia lama serta kelakuannya” (3:9). Orang Kristen bukan manusia lama lagi! Mereka justru ”telah mengenakan manusia baru”, dan sebagai manusia baru mereka justru terlibat dalam proses pembaruan yang luar biasa (3:10).
Dalam Efesus 4:22-24 dipakai dua infinitif (dalam tense aorist medium): ”menanggalkan manusia lama”, dan ”mengenakan manusia baru”.TB-2 LAI menerjemahkan ”harus menanggalkan”, tetapi di sini yang dimaksudkan juga sesuatu yang telah terjadi pada saat pertobatan, melihat tense yang dipakai (aorist medium) dan arti kata kerja-kata kerja yang dipakai (”menanggalkan”). Kalau tafsiran ini benar, kita harus menyimpulkan bahwa manusia lama telah mati, tetapi perbuatan-perbuatan manusia lama masih harus dijauhkan dari kehidupan manusia baru. Mengapa kita tidak boleh melakukan perbuatan manusia lama, atau ”daging” (Gal. 5:19-21): karena kita telah menjadi manusia baru. Karena pemutusan definitif terhadap dosa. Ternyata dalam kehidupan manusia baru masih banyak hal yang lama yang harus dihilangkan, dijauhkan, atau dimatikan.
Dalam rangka pergumulan dengan dosa, Roma 7 sering memainkan peran yang penting. Tafsiran tradisional adalah bahwa dalam Roma 7 kita menemukan pergumulan orang Kristen dengan dosa, yaitu dalam Roma 7:14-25 (lihat misalnya John Murray 1959/1965, 256-273). Kalau tafsiran ini benar, Paulus secara langsung menulis tentang pergumulan dengan dosa yang merupakan realitas dalam kehidupan setiap orang Kristen. Ternyata bahkan setelah kelahiran kembali, kita masih ”bersifat daging, terjual di bawah kuasa dosa” (ay. 14), dan kita masih dapat dicirikhaskan sebagai orang yang di dalamnya masih terdapat dosa (ay. 17), sehingga hukum yang berikut ini berlaku dalam kehidupan setiap orang Kristen: ”jika aku ingin melakukan apa yang baik, yang jahat itu ada padaku” (ay. 21).
Tetapi banyak penafsir tidak setuju dengan interpretasi ini, misalnya Douglas Moo (1996, 441-467), yang menunjuk ke dua kontras: (1) setiap orang Kristen telah dimerdekakan dari dosa (Rm. 6:18,22), sedangkan manusia dari Roma 7, ”terjual di bawah kuasa dosa” (Rm. 7:14). (2) setiap orang Kristen dimerdekakan oleh Roh ”dalam Kristus Yesus dari hukum dosa dan hukum maut” (Rm. 8:2), sedangkan manusia dari Roma 7, adalah ”tawanan hukum dosa” (Rm.7:23). Itu berarti bahwa Roma 7 tidak menggambarkan pergumulan orang Kristen dengan dosa, tetapi menunjuk ke Paulus sebagai orang Yahudi yang mewakili seluruh bangsa Yahudi. Orang Yahudi juga sangat membutuhkan Kristus karena hukum Taurat tidak dapat menyelamatkannya. Tetapi hal itu juga berlaku bagi orang bukan Yahudi, termasuk orang Kristen, yaitu bahwa mereka sama sekali tidak berdaya terhadap dosa, kecuali kalau kuasa Roh Kudus bekerja dalam kehidupan mereka (Rm. 8). Itu tidak berarti bahwa pergumulan dengan dosa yang digambarkan dalam Roma 7, sama sekali tidak ada lagi dalam kehidupan orang Kristen.
Bagi orang Kristen tetap berlaku bahwa mereka tidak dapat mengalahkan kuasa dosa dengan kekuatan mereka sendiri. Hanya Roh Kuduslah yang dapat memberi kemenangan. Itu berarti bahwa kita harus lebih lagi memuliakan Tuhan dan mengucap syukur kepada-Nya atas keselamatan yang dianugerahkan-Nya kepada kita (Moo 1996, 467). Di samping itu kita harus menyadari, bahwa tidak ada hukum apa pun yang dapat memerdekakan kita dari dosa. Kemerdekaan itu hanya terdapat dalam kesatuan dengan Kristus (Rm. 6) dan pertolongan oleh Roh Kudus (Rm. 8).
Jadi, tafsiran mengenai manusia lama dan manusia baru seperti yang diusulkan oleh Murray, dan tafsiran Roma 7 menurut Moo, juga tidak berarti bahwa tidak ada lagi pergumulan dengan dosa dalam kehidupan seorang Kristen. Pergumulan dosa paling jelas digambarkan sebagai pertentangan antara ”daging” dan Roh. ”Daging” adalah natur manusia yang berdosa, dan perbuatan-perbuatan daging (Gal. 5:19-21) adalah dosa-dosa yang sangat bertentangan dengan Roh Kudus, yang diam di dalam orang percaya. Kita tidak boleh lagi hidup menurut ”daging”, tetapi kita harus hidup menurut Roh, sehingga kita menghasilkan buah Roh (Gal. 5:22-23). Kemungkinan itu masih ada dalam kehidupan orang percaya, bahwa kita akan mengikuti daging kita, walaupun Roh Kudus telah menjadi prinsip hidup kita, dan walaupun Paulus menulis: ”Siapa saja yang menjadi milik Kristus Yesus, ia telah menyalibkan daging dengan segala hawa nafsu dan keinginannya” (Gal. 5:24). Orang Kristen ”telah mati terhadap dosa” (Rm. 6:11), namun masih dapat berdosa. Orang percaya dipimpin oleh Roh (Gal. 5:18), namun belum bebas secara total dari daging.
Jadi, yang dapat disimpulkan dari pembahasan di atas adalah: Walaupun orang percaya telah lahir kembali, sehingga arah hidupnya berubah 180 derajat, dan ia telah dibenarkan dan diangkat sebagai anak Allah, namun masih banyak hal dari masa lalunya sebagai manusia lama yang harus dihilangkan dan dimatikan dari hidupnya. Dagingnya, dalam arti sifatnya yang berdosa, masih perlu dilawan, sehingga pengaruhnya semakin berkurang. Meskipun ia bukan lagi hamba dosa, namun kuasa dosa masih terasa sekali dalam hidupnya, sehingga ada pergumulan dengan dosa yang berlanjut seumur hidup. Masalah dosa baru akan selesai pada saat ia dimuliakan (yaitu, pada saat kematian dan/atau pada saat kebangkitan tubuh pada akhir zaman). Namun, sekarang hidupnya dicirikhaskan oleh kebenaran, walaupun masih ada dosa, dan karena itu ia disebut ”hamba kebenaran” (Rm.6:18). Dan sekarang kemenangan atas dosa telah menjadi mungkin, walaupun belum sempurna dan definitif, karena Roh Kudus yang dicurahkan atas semua orang percaya (Rm 8). Karena itu, pengudusan bukan usaha yang pasti akan gagal, melainkan perang yang kemenangannya terjamin oleh Roh Kudus, untuk sebagian saja dalam hidup ini, tetapi secara sempurna dan lengkap pada saat orang percaya akan dimuliakan.
Hoekema (2006, 255-256), menjelaskan secara singkat apa yang terjadi dalam pengudusan, yang merupakan karya Roh Kudus, di dalamnya kita berpartisipasi secara penuh: kita harus dilepaskan dari pencemaran dosa, yaitu natur kita yang berdosa, yang disebut ”daging” oleh Paulus; seluruh natur kita harus diperbarui menurut gambar Allah; dan kita harus dimampukan untuk menjalankan kehidupan yang diperkenan oleh Allah.
Orang percaya bukan lagi manusia lama, melainkan manusia baru, walaupun perbuatan-perbuatan manusia lama masih harus dijauhkan dari kehidupannya. Hidupnya dicirikhaskan oleh kebenaran, walaupun masih ada dosa.
John Wesley (1703–1791 ) telah mengajar bahwa orang Kristen dapat mencapai kesempurnaan dalam hidup ini, yang disebutnya entire sanctification, ’pengudusan menyeluruh’. Pengudusan menyeluruh itu dikerjakan oleh anugerah Allah yang menguduskan secara pribadi dan definitif. Olehnya perang di dalam diri kita antara daging dan Roh akan berkesudahan dan hati kita dibebaskan sepenuhnya untuk sungguh-sungguh mengasihi Allah dan manusia. Kasih yang sempurna ini dapat tercapai bukan karena keunggulan atau perbuatan-perbuatan moral, melainkan karena iman berkat jasa kurban Kristus. Iman yang sama itu telah menyebabkan pembenaran dan hidup baru dalam Kristus (Melvin E. Dieter dalam Five Views on Sanctification, hlm. 17).
Hoekema (2006, 286-301), menulis secara panjang lebar tentang ajaran perfeksionisme, yang diajarkan oleh kaum Wesleyan. Setelah membahas ajaran ini dan argumen-argumennya, Hoekema menyebutkan ajaran Alkitab yang menentang ajaran perfeksionisme ini:
- Tidak mungkin orang Kristen yang bebas dari dosa. Raja Salomo mengaku bahwa ”tidak ada manusia yang tidak berdosa” (1 Raj.8:46). Dalam Mazmur 130:3, kita membaca: ”Jika Engkau, ya Tuhan, mengingat-ingat kesalahan-kesalahan, Tuhan, siapakah yang dapat tahan?” Amsal 20:9 menyatakan: ”Siapakah dapat berkata: Aku telah membersihkan hatiku, aku tahir daripada dosaku?” Paulus menulis dalam Roma 3:23: ”semua orang telah berbuat dosa dan [atau: terus-menerus] kehilangan kemuliaan Allah”. Pada saat menulis tentang lidah, yang dapat dipakai untuk memberkati atau mengutuki, Yakobus menegaskan: ”Sebab kita semua bersalah dalam banyak hal; siapa tidak bersalah dalam perkataannya, ia orang yang sempurna, yang dapat juga mengendalikan seluruh tubuhnya” (3:2). Pernyataan Yohanes paling jelas dan tegas: ”Jika kita berkata bahwa kita tidak berdosa, maka kita menipu diri kita sendiri dan kebenaran tidak ada di dalam kita” (1Yoh. 1:8). Yohanes memakai present tense (hamartian ouk ekhomen, ’tidak berdosa’), jadi Yohanes tidak berbicara tentang dosa yang dilakukan pada masa lalu. Berdasarkan ayat ini kita harus menafsirkan pernyataan lain dari Yohanes, yaitu: ”Setiap orang yang lahir dari Allah, tidak terus-menerus berbuat dosa; sebab benih ilahi tetap ada di dalam dia dan ia tidak dapat terus-menerus berbuat dosa, karena ia lahir dari Allah” (1Yoh. 3:9). ”Tidak terusmenerus berbuat dosa” berarti ”tidak hidup dalam dosa lagi”. Atau pernyataan ini harus dijelaskan dalam terang 1 Yohanes 3:4, yang di dalamnya Yohanes memakai kata anomia (yang diterjemahkan TB-2 LAI dengan ”pelanggaran hukum Allah”, yang sebenarnya berarti: pemberontakan atau permusuhan terhadap Allah. Orang Kristen yang telah lahir kembali tidak mungkin memberontak terhadap Allah, atau hidup dalam permusuhan dengan Allah, walaupun masih ada dosa dalam hidupnya (1Yoh. 1:8).
- Karena orang Kristen tidak mungkin bebas dari dosa, sehingga masih melakukan dosa, ia harus mengakui dosanya dan berdoa memohon pengampunan. Sama seperti Ayub dalam Ayub 42:6; Daud dalam Mazmur 32:5; Yesaya dalam Yesaya 6:5, dan Daniel dalam Daniel 9:15-16. Doa ”Bapa kami” adalah doa yang dapat diucapkan setiap hari, dan di dalamnya antara lain didoakan: ”Ampunilah kami dari kesalahan kami” (Mat. 6:12). Paulus menulis dalam 1 Timotius 1:15 tentang dirinya sendiri sebagai ”yang paling berdosa”. Dan Yohanes melanjutkan, setelah ia menegaskan bahwa tidak seorang pun dapat berkata, bahwa ia tidak berdosa: ”Jika kita mengakui [bentuk present, yaitu terus-menerus] dosa kita, maka Ia setia dan adil, sehingga Ia akan mengampuni segala dosa kita dan menyucikan kita dari segala kejahatan” (1Yoh. 1:9).
- Seperti dibahas dalam paragraf sebelumnya tentang pergumulan dengan dosa, terdapat pergumulan antara daging dan Roh di dalam diri orang percaya, lihat Galatia 5:16-24. Walaupun orang percaya ”telah menyalibkan daging dengan segala hawa nafsu dan keinginannya”, namun mereka harus terus berperang melawan kecenderungan jahat di dalam diri mereka.
Meskipun beberapa aspek dari ajaran Wesleyan ini tidak sesuai dengan ajaran Alkitab, kita dapat belajar dari mereka, bahwa kita betul-betul harus mengejar kekudusan (Ibr. 12:14), dan merindukan kekudusan, sesuai dengan apa yang Paulus tulis dalam 2 Korintus 7:1: ”Saudara-saudaraku yang terkasih, karena kita sekarang memiliki janji-janji itu, marilah kita menyucikan diri kita dari semua pencemaran jasmani dan rohani, dan dengan demikian menyempurnakan kekudusan kita dalam takut akan Allah.” Paulus mengakui dirinya belum sempurna, tetapi ia telah melakukan hal yang berikut ini: ”Aku melupakan apa yang telah di belakangku dan mengarahkan diri kepada apa yang di hadapanku, dan berlari-lari kepada tujuan untuk memperoleh hadiah, yaitu panggilan surgawi dari Allah dalam Kristus Yesus” (Flp. 3:1214). Karena meskipun kita tidak dapat mencapai kesempurnaan dalam hidup ini, namun menguduskan diri bukan usaha yang pasti akan gagal, tetapi sesuatu yang akan diberkati Tuhan melalui Roh Kudus yang bekerja di dalam diri kita. Sebab ”manusia batiniah” kita diperbarui dari hari ke hari (2Kor. 4:16). Dalam Alkitab, kita menemukan gagasan ”pertumbuhan”: ”Sebaliknya, dengan teguh berpegang kepada kebenaran di dalam kasih, kita bertumbuh di dalam segala hal ke arah Dia, Kristus, yang adalah Kepala” (Ef. 4:15). Dan pertumbuhan bukan saja berlaku bagi orang Kristen secara pribadi, melainkan juga bagi jemaat sebagai keseluruhan (Ef. 4:16). Juga Petrus menulis tentang pertumbuhan rohani dalam suratnya yang pertama (2:2) dan kedua (3:18): ”Tetapi bertumbuhlah dalam anugerah dan dalam pengenalan akan Tuhan dan Juruselamat kita, Yesus Kristus. Bagi-Nya kemuliaan, sekarang dan sampai selama-lamanya.”
Orang percaya harus mengejar kekudusan, tetapi tidak akan mencapai kesempurnaan dalam hidup ini.
Dalam proses pengudusan, hukum Allah memainkan peran yang penting, termasuk hukum Taurat yang tercantum dalam Perjanjian Lama. Walaupun kita orang Kristen hidup pada zaman Roh Kudus, hukum Taurat tetap penting bagi kita. Memang Paulus menulis dalam Roma 6:14: ”karena kamu tidak berada di bawah hukum Taurat, tetapi di bawah anugerah.” Yang dimaksud Paulus adalah: Di bawah hukum Taurat (yang membuat kita menyadari dosa kita) manusia tidak dilepaskan dari dosanya, tetapi di bawah anugerah, dosa sebagai kesalahan dihilangkan dan dijadikan tidak berkuasa lagi (Van Bruggen 2005, 249). Kita tidak di bawah kutuk (atau hukuman kekal) lagi (Gal. 3:10, 13-14).
Tetapi hukum Taurat tidak disingkirkan. Sebagian dariperaturan-peraturannya tidak berlaku lagi secara langsung pada zaman Roh ini, karena melambangkan kurban Kristus di kayu salib (seperti persembahan kurban binatang), atau karena berhubungan dengan kehidupan bangsa Israel sebagai kesatuan nasional. Namun, hukum Taurat tetap penting bagi kita. Pertama-tama karena hukum Taurat merupakan firman Tuhan, yang menyatakan siapa Allah dan bagaimana rencana-Nya mengenai keselamatan. Kedua karena Allah tidak berubah dan karena kita orang Kristen tetap dipanggil untuk hidup kudus.
Pentingnya hukum Taurat bukan saja ditekankan dalam Perjanjian Lama
(mis. dalam Mazmur 19 dan 119), melainkan juga dalam Perjanjian Baru. Yesus telah berkata: ”Siapa yang melakukan dan mengajarkannya, ia akan menduduki tempat yang tinggi di dalam Kerajaan Surga” (Mat. 5:19). Hukum kasih, yang diungkapkan secara jelas dalam hukum Taurat, tetap penting dalam Perjanjian Baru. Dalam Yohanes 15:10 kita membaca perkataan Yesus ini: ”Jikalau kamu menuruti perintah-Ku, kamu akan tinggal di dalam kasih
Ku, seperti Aku menuruti perintah Bapa-Ku dan tinggal di dalam kasih-Nya”. Perintah itu adalah: (saling) mengasihi, seperti Yesus telah mengasihi kita. Hal yang sama diajarkan oleh Paulus dalam Roma 13:8-10 dan oleh Yohanes dalam surat 1 Yohanes.
Orang-orang yang menghasilkan buah Roh, hidup sesuai dengan hukum Taurat, Galatia 5:22-23: ”Tetapi buah Roh ialah: kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan, kelemahlembutan, penguasaan diri. Tidak ada hukum yang menentang hal-hal itu.” Dan perbuatan-perbuatan daging yang Paulus sebut dalam Galatia 5:19-21 sangat bertentangan dengan hukum Taurat! Yakobus menggambarkan hukum Taurat sebagai ”hukum yang memerdekakan orang” (1:25).
Dalam Perjanjian Baru kita menemukan banyak hukum dan perintah.
Paulus memakai istilah ”hukum Kristus”: ”Aku tidak hidup di luar hukum Allah karena aku hidup di bawah hukum Kristus”. Dan menurut Yohanes, tanda bahwa kita mengenal Allah adalah: ”kita menuruti perintah-perintahNya”. ”Siapa yang menuruti firman-Nya, di dalam orang itu sungguh sudah sempurna kasih Allah” (1Yoh. 2:3-5).
Jadi, hukum Taurat dan semua perintah yang kita temukan dalam Perjanjian Baru merupakan sarana penting yang dipakai Allah untuk menguduskan kita.
Ketaatan, yang tidak dilakukan dengan terpaksa, tetapi secara sukarela, menjadi nyata dalam kehidupan orang Kristen, adalah aspek pengudusan yang penting.
Hoekema (2006, 306-310) juga menekankan dimensi sosial dari pengudusan. Pengudusan bukan saja hal individual. Kepedulian sosial adalah aspek penting dari pengudusan pribadi dan kolektif sebagai bangsa Allah. Dalam hal ini kita dapat belajar dari hukum Taurat, yang penuh dengan kepedulian sosial, dan dari nabi-nabi Perjanjian Lama, yang terus-menerus mengutuki ketidakadilan sosial. Keadilan, juga dalam bidang sosial, sangat penting dalam seluruh Perjanjian Lama. Orang percaya harus membela hak kaum miskin dan lemah (Mzm. 82:3; Ams. 9:17; 29:7). Tuhan ”yang menegakkan keadilan untuk orang-orang yang diperas, yang memberi roti kepada orang-orang lapar. … Tuhan menjaga orang-orang asing, anak yatim dan janda ditegakkan-Nya kembali …” (Mzm.146:7,9). ”Allah memilih orang-orang yang dianggap miskin oleh dunia ini” (Yak. 2:5).
Allah memakai orang-orang percaya untuk mewujudkan keadilan itu, dan perhatian-Nya terhadap orang-orang miskin dan tertindas. Hal itu misalnya, jelas dalam ajaran Yesus yang penuh dengan kepedulian sosial. Orang percaya harus memberi makan dan minum dan pakaian dan tumpangan, merawat orang sakit, mengunjungi mereka yang di dalam penjara (Mat.25:31-46). ”Segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku” (Mat. 25:40).
Kesimpulan Hoekema (2006, 309): ”pengudusan tidak akan sempurna tanpa kepedulian sosial.”
Teologi Reformasi mengajarkan ”ketekunan orang kudus”. Maksud doktrin ini adalah bahwa orang percaya sejati pasti akan bertekun dalam iman, dan tidak akan murtad. Kebenaran ini tidak berlaku bagi setiap orang Kristen secara umum, tetapi hanya bagi mereka yang dipilih, yang sungguh-sungguh dilahirkan kembali, dan yang memiliki iman sejati. Orang Kristen seperti ini tidak akan kehilangan keselamatan. Bukan karena kekuatan rohani mereka, melainkan karena Allah setia kepada janji-Nya. Lihat PIW, XVII,1: ”Mereka yang telah diterima Allah di dalam Yang Dikasihi-Nya, yang telah dipanggilNya dengan ampuh, dan yang telah dikuduskan-Nya oleh Roh-Nya, tidak mungkin jatuh seluruhnya dan untuk seterusnya sehingga mereka kehilangan kedudukan seorang yang telah beroleh rahmat. Mereka pasti akan bertekun dalam kedudukan itu sampai pada akhirnya dan akan memperoleh keselamatan kekal.”
Hal yang sama ditekankan oleh Pasal-pasal Ajaran Dordrecht. Yang bertekun adalah orang-orang yang dipilih, atau dengan kata-kata lain, orang-orang percaya sejati (PAD,V,9). Walaupun mereka dapat terjatuh ke dalam dosa yang serius jika mereka tidak berjaga-jaga dan berdoa, namun ”Allah, yang kaya akan rahmat, sesuai dengan rencana pemilihan yang tidak berubahubah, tidak menjauhkan sama sekali Roh Kudus dari orang-orang milik-Nya” (V,6). Orang percaya sejati ”sama sekali tidak kehilangan iman dan anugerah, atau untuk selama-lamanya tinggal dalam kejatuhan mereka dan akan binasa ... sebab keputusan-Nya tidak dapat diubah, janji-Nya tidak dapat diingkari, dan panggilan menurut rencana-Nya tidak dapat dicabut; begitu pula jasa, doa syafaat, dan pemeliharaan Kristus tidak mungkin ditiadakan dan juga pemeteraian dengan Roh Kudus tidak dapat digagalkan atau dimusnahkan” (V, 8).
”Akan tetapi, kepastian tentang ketekunan ini sekali-kali tidak membawa orang yang benar-benar percaya itu pada kesombongan dan ketidakacuhan menurut daging. Sebaliknya, ketekunan itu sungguh-sungguh menjadi akar kerendahan hati, keseganan seorang anak, kesalehan yang sejati, kesabaran dalam segala perjuangan, doa-doa yang berapi, ketabahan dalam memikul salib dan dalam mengaku kebenaran, serta juga sukacita yang teguh di dalam Allah” (V, 12).
Demikianlah secara singkat ajaran Reformasi mengenai ketekunan orang kudus, sebagaimana dirumuskan oleh Pengakuan Iman Westminster dan Pasal-pasal Ajaran Dordrecht. Tetapi bagaimana dengan dasar Alkitab?
Ketekunan ini diajarkan oleh Alkitab di mana-mana. Yesus berkata dalam Yohanes 5:24: ”Sesungguhnya Aku berkata kepadamu: Siapa saja yang mendengar perkataan-Ku dan percaya kepada Dia yang mengutus Aku, ia mempunyai hidup yang kekal dan tidak turut dihukum, sebab ia sudah pindah [perfekt tense] dari dalam maut ke dalam hidup”. Lihat juga Yohanes 3:36; 4:14; 6:51; dan 11:25-26. Bagi setiap orang yang percaya kepada Yesus, hidup kekal sudah menjadi miliknya. Ia tidak perlu khawatir karena pada saat penghakiman tidak ada hukuman baginya. Jika keselamatan begitu pasti, maka tidak mungkin orang seperti itu akan kehilangan keselamatan.
Masih ada ayat-ayat lain dalam Injil Yohanes yang menyatakan kepastian keselamatan. Lihat misalnya perkataan Yesus dalam Yohanes 6:39: ”Inilah kehendak Dia yang telah mengutus Aku, yaitu supaya dari semua yang telah diberikan-Nya kepada-Ku jangan ada yang hilang, tetapi supaya Kubangkitkan pada akhir zaman” (lih. juga Yoh. 17:2). Jika Allah menghendakinya, hal itu pasti akan terjadi. Jika Allah menghendaki, ”supaya setiap orang, yang melihat Anak dan yang percaya kepada-Nya beroleh hidup yang kekal” (Yoh. 6:40), tidak mungkin ada orang yang sungguh-sungguh percaya kepada Yesus Kristus yang tidak beroleh hidup yang kekal.
Mengapa hidup yang kekal itu merupakan jaminan bagi setiap orang yang sungguh-sungguh percaya? Pertama-tama, karena Yesus dengan kuat memegang kita: ”dan Aku memberikan hidup yang kekal kepada mereka dan mereka pasti tidak akan binasa sampai selama-lamanya dan seorang pun tidak akan merebut mereka dari tangan-Ku” (Yoh. 10:27-28). Dan bukan saja pegangan Yesus begitu kuat: Allah juga menjaga domba-domba Yesus (Yoh.10:29). Dalam karya ilahi itu, Bapa dan Anak adalah satu.
Sama seperti Yesus berbicara tentang hidup yang kekal sebagai milik setiap orang percaya sekarang, demikian juga Paulus menulis tentang kemuliaan yang akan menjadi bagian setiap orang Kristen sebagai sesuatu yang sudah dimilikinya dalam hidup ini, Roma 8:29-30: Mereka yang mengasihi Allah ”dipilih-nya dari semula”, ”ditentukan-Nya dari semula untuk menjadi serupa dengan gambar Anak-Nya”, ”dipanggil-Nya”, ”dibenarkan-Nya”, dan ”dimuliakan-Nya”. Pemuliaan itu baru akan terjadi di masa depan, dan sangat dirindukan (Rm.8:18-25). Tetapi setiap orang yang mengasihi Allah tidak usah ragu-ragu mengenai pemuliaan itu.
Kepastian keselamatan diungkapkan Paulus dengan cara lain dalam Roma 8:38-39: Tidak ada hal atau kuasa apa pun yang ”akan dapat memisahkan kita dari kasih Allah, yang ada dalam Kristus Yesus, Tuhan kita”. Kasih Allah telah dinyatakan secara kuat dalam kematian dan kebangkitan Yesus Kristus. Karena itu, ”kita lebih daripada orang-orang yang menang” (Rm. 8:37). Bukan karena kasih kita yang begitu kuat kepada Allah, melainkan karena kasih Allah yang memilih dan memanggil kita, kita boleh yakin bahwa kita akan bertekun dalam iman, dan tidak akan kehilangan keselamatan.
Juga dalam 1 Korintus 1:8-9, ditegaskan bahwa keselamatan kita terjamin karena Allah. Kesetiaan Allah, yang memanggil kita kepada persekutuan dengan Anak-Nya Yesus Kristus (ay. 9), merupakan jaminan bagi ketekunan kita: Allah ”juga akan meneguhkan kamu sampai kepada kesudahannya, sehingga kamu tak bercacat pada hari Tuhan kita Yesus Kristus”. Paulus berani menulis hal ini kepada jemaat yang jauh dari sempurna dan yang begitu bermasalah di bidang teologi dan etik! Jelaslah bahwa keselamatan terjamin karena Allah dan kesetiaan-Nya, bukan karena kita.
Membahas ketekunan orang kudus, tidak dapat lepas dari peran Roh Kudus. Roh Kudus disebut ”meterai” (sfragis, 2 Kor. 1:21-22; Ef. 1:13), dan Dia telah memeteraikan kita menjelang hari penyelamatan (Ef. 4:30). ”Memeteraikan” berarti ”mengamankan dengan segel/meterai’. Roh Kudus adalah meterai, dan dengan meterai itu Allah menandai orang-orang percaya dan mengklaim mereka sebagai milik-Nya. Pemeteraian dengan Roh Kudus itu merupakan jaminan bagi warisan yang kekal yang akan kita dapat pada saat Yesus Kristus datang kembali (Reymond 1998, 762-767).
Pemeteraian itu tidak berarti bahwa tidak ada lagi pergumulan dalam hidup kita untuk tetap setia. Dalam ayat yang sama yang berbicara tentang pemeteraian oleh Roh Kudus ”menjelang hari penyelamatan”, Paulus juga menulis tentang ”mendukakan Roh Kudus Allah” (Ef. 4:30). Orang-orang percaya tidak akan kehilangan keselamatan (karena Roh Kudus yang diam di dalam mereka sebagai meterai), tetapi mereka masih dapat ’mendukakan Roh Kudus’, yaitu melalui dosa yang kita lakukan, yang Paulus sebut dalam ayat-ayat sebelumnya (Ef. 4:25-29). Tetapi mereka tidak dapat kehilangan keselamatan. ”Melalui Roh yang dengan-Nya mereka dimeteraikan, Allah akan memimpin mereka kembali kepada pertobatan dan pembaruan hidup, seperti yang dilakukan-Nya terhadap Daud dan Petrus” (Hoekema 2006, 323). Pemeteraian dengan Roh berarti jaminan kekal.
Dalam kitab Ibrani, Yesus Kristus digambarkan sebagai Imam untuk selama-lamanya (Ibr. 7:21-24). ”Karena itu, Ia sanggup juga menyelamatkan dengan sempurna semua orang yang melalui Dia datang kepada Allah. Sebab Ia hidup senantiasa untuk menjadi Pengantara mereka” (Ibr. 7:25). Perantaraan dan doa syafaat Kristus merupakan jaminan bagi setiap orang yang datang kepada Allah melalaui Dia bahwa ia akan diselamatkan ”dengan sempurna”. Pasti Allah Bapa selalu mendengarkan doa Anak-Nya, yang mempersembahkan diri-Nya sendiri sebagai kurban ”satu kali untuk selama-lamanya” (Ibr. 7:27).
Petrus juga menulis tentang jaminan keselamatan, dan jaminan itu bersifat ganda. Pertama-tama warisan itu, yaitu keselamatan definitif dan sempurna, dan hidup yang kekal, terjamin, lihat 1 Petrus 1:3-4: Kita telah dilahirkan kembali ”kepada hidup yang penuh pengharapan”, untuk menerima warisan ”yang tidak dapat binasa, yang tidak dapat cemar dan tidak dapat layu, yang tersimpan di surga” bagi kita.
Bukan saja warisan itu terjamin, melainkan kita sendiri juga dijaga demi warisan itu, yaitu oleh Allah yang mahakuasa sendiri, 1 Petrus 1:5: ”kamu, yang dipelihara dalam kekuatan Allah melalui imanmu sementara kamu menantikan keselamatan yang telah siap untuk dinyatakan pada zaman akhir.” Kuasa Allah ”secara tidak henti-hentinya melindungi, menjaga, dan menyimpan keadaan final keselamatan kita” (Hoekema 2006, 327). Lihat juga Lukas 22:31-32.
Petrus juga menambahkan kata-kata ”melalui imanmu”: jaminan itu hanya berlaku bagi kita kalau kita terus-menerus berpegang pada Allah oleh iman. ”Kita tidak pernah boleh hanya bersandar pada pemeliharaan Allah tanpa terus-menerus mengerjakan iman kita” (Hoekema 2006, 327). Tetapi bahkan iman itu adalah karunia Allah. Jadi, ”Allah memelihara kita dengan memampukan kita untuk terus berada di dalam iman” (Hoekema 2006, 327). Iman atau kepercayaan pribadi adalah sarana yang Allah pakai untuk menjaga umat-Nya (Grudem 1994, 792).
Nas-nas yang disebut di atas membuktikan bahwa Kristus menjaga kita dan membuat kita bertekun. Tetapi, Kristus melaksanakan penjagaan ini melalui iman kita, seperti sudah dijelaskan dalam rangka pembahasan 1 Petrus 1:35. Itu berarti bahwa kita tidak diselamatkan secara otomatis, tanpa kita terlibat dalam proses itu melalui ketekunan dalam iman. Justru karena Allah menjaga kita, kita sungguh-sungguh mencari Dia dan berusaha sungguhsungguh untuk hidup bergaul dengan Dia. Doktrin ketekunan orang kudus tidak mungkin menciptakan orang-orang yang tidak peduli dan munafik. Kita terlibat sepenuhnya dalam ketekunan itu. Kita yang bertekun, walaupun oleh kuasa Allah dan karena anugerah-Nya.
Yesus telah berkata, bahwa kita harus tetap dalam firman-Nya (Yoh. 8:31-32). Tetap dalam firman Yesus berarti: tetap percaya kepada apa yang Dia katakan dan tetap menaati perintah-perintah-Nya. ”Orang yang bertahan sampai pada kesudahannya akan selamat” (Mat. 10:22).
Paulus menulis dalam Kolose 1:23: ”Sebab itu kamu harus bertekun dalam iman, tetap teguh dan tidak berguncang dan jangan mau digeser dari pengharapan Injil.” Syarat ini, bertekun dalam iman, penting sekali. Karena ada juga orang-orang yang tidak sungguh-sungguh percaya. Paulus tidak mau memberikan pengharapan palsu, seolah-olah secara otomatis setiap anggota gereja akan selamat. Bertekun dalam iman adalah syarat mutlak, dan menuntut kesediaan untuk berusaha, tabah dan berkurban. Bagi orang-orang percaya sejati, keselamatan terjamin, tetapi keselamatan itu tidak diperoleh dengan mudah.
Hal yang sama ditekankan dalam Ibrani 3:14: ”Karena kita telah menjadi bagian dari Kristus, asal saja kita berpegang teguh sampai akhirnya pada keyakinan iman kita yang semula.” Itu tidak berarti bahwa baru pada saat kematian kita menjadi yakin tentang keselamatan kita. Ibrani 3:14 tidak mau membuat kita yang percaya menjadi ragu-ragu, tetapi merupakan peringatan keras bagi mereka yang sedang mundur dalam iman atau yang telah menolak Allah.
Doktrin ketekunan ini bukan berarti bahwa orang percaya tidak dapat jatuh. Paulus, yang dalam pasal pertama suratnya kepada jemaat di Korintus telah menulis, bahwa Allah ”juga akan meneguhkan kamu sampai kepada kesudahannya, sehingga kamu tak bercacat pada hari Tuhan kita Yesus Kristus” (1Kor. 1:8), menegaskan dalam pasal yang kesepuluh, yang di dalamnya ditulis tentang kemurtadan bangsa Israel: ”Sebab itu siapa yang menyangka, bahwa ia teguh berdiri, hati-hatilah supaya ia jangan jatuh” (1Kor. 10:12).
Di samping itu tidak mungkin orang-orang percaya sejati menganggap persekutuan dengan Kristus atau hidup kudus sebagai sesuatu yang tidak penting. Hal ini ditekankan dalam Katekismus Heidelberg, Mg. Ke-24, p/j 64: ”Barangsiapa telah menjadi anggota tubuh Kristus, oleh iman yang sungguhsungguh, tidak dapat tidak menghasilkan buah berupa perbuatan baik, yang timbul dari rasa syukur kepada Allah.”
Nasihat-nasihat untuk terus-menerus berada di dalam iman (lih. di atas) tidak dapat dipakai untuk menolak doktrin ketekunan. Nasihat-nasihat ini mengingatkan kita, bagaimana caranya agar kita dapat bertekun, dan mendorong kita untuk bertekun. Walaupun keselamatan sudah pasti bagi orang-orang percaya sejati, namun mereka tetap membutuhkan nasihat, peringatan, dan janji, supaya mereka bertekun. Bahkan peringatan-peringatan terhadap kemurtadan (mis. Kol. 1:21-23; Ibr. 2:1; 2Ptr. 3:17), dimaksudkan agar kita lebih berusaha lagi untuk bertekun, karena kita menyadari bahwa ketekunan ini adalah sarana, yang dengannya, kita tetap hidup dalam keselamatan dan semakin yakin tentang keselamatan kita.
Memang ada contoh-contoh dalam Alkitab mengenai kemurtadanorang-orang percaya. Lihat misalnya Lukas 8:13 (perumpamaan tentang seorang penabur) dan 1 Yohanes 2:19 (”mereka tidak sungguh-sungguh termasuk pada kita”). Tetapi kemurtadan orang-orang itu membuktikan bahwa mereka tidak dipilih, tidak pernah lahir kembali dengan sungguh-sungguh, dan tidak memiliki iman yang sejati. Nas yang sering disebut sebagai argumen menentang doktrin ketekunan, adalah Yohanes 17:12: ”tidak ada seorang pun dari mereka yang binasa selain daripada dia yang telah ditentukan untuk binasa”. Nas ini tidak membuktikan bahwa bahkan orang-orang yang dipelihara dan dijaga oleh Kristus sendiri (seperti Yudas) dapat binasa dan terhilang secara kekal. Yesus telah berkata: ”di antaramu ada yang tidak percaya”. Dan Yohanes menambahkan: ”Sebab Yesus tahu dari semula, siapa yang tidak percaya dan siapa yang akan menyerahkan Dia” (Yoh. 6:64). Ternyata Yudas tidak termasuk di antara mereka yang sungguh-sungguh percaya.
Perikop lain yang merupakan kesulitan dalam diskusi ini adalah Ibrani 6:4-6: ” Sebab mereka yang pernah diterangi hatinya, yang pernah mengecap karunia surgawi dan pernah mendapat bagian dalam Roh Kudus, dan yang mengecap firman yang baik dari Allah dan kuasa-kuasa dunia yang akan datang, namun murtad lagi, tidak mungkin dibarui sekali lagi supaya bertobat, sebab mereka menyalibkan lagi Anak Allah bagi diri mereka dan menghina-Nya di depan umum.”
Kesimpulan yang sering ditarik dari ayat-ayat ini adalah: orang percaya sejati dapat menjadi murtad. Jadi, doktrin ketekunan orang kudus tidak didukung oleh Alkitab. Tetapi siapa yang dimaksudkan dalam ayat-ayat ini? Tentang mereka dikatakan bahwa mereka telah mendengar Injil, dan telah bersentuhan dengan keselamatan. Terang Injil telah masuk ke dalam kehidupan mereka. Mereka betul-betul mengalami sesuatu dari keselamatan yang digambarkan dalam Injil, yang disampaikan dalam ibadat jemaat, dan yang dihayati melalui sakramen-sakramen. Dalam arti tertentu, mereka pernah mengalami kehadiran Roh Kudus dalam kehidupan mereka (seperti Simon orang sihir itu, Kis. 8:9-24). Mereka pernah mengecap firman yang baik dari Allah, dan menyaksikan mukjizat-mukjizat yang menyertai pemberitaan firman Allah itu.
Tetapi, ternyata mereka tidak pernah sungguh-sungguh bertobat, dan tidak pernah betul-betul percaya kepada Yesus Kristus. Hoekema (2006, 337), menunjuk ke kesaksian Alkitab tentang pertobatan sejati. Pertobatan sejati ”memimpin kepada hidup” (Kis. 11:18), menyebabkan pengampunan dosa (Mark.1:4), dan ”membawa keselamatan” (2Kor. 7:10). Kemudian Hoekema (2006, 337), menarik kesimpulan yang berikut: ”Jadi menurut kesaksian mayoritas Alkitab, pertobatan yang dijelaskan dengan kata ’sekali lagi’ mengimplikasikan bahwa pertobatan yang pernah ditunjukkan oleh orang-orang ini bukanlah pertobatan sejati. Pertobatan itu pasti hanya merupakan pengakuan pertobatan secara lahiriah, yang dapat dibandingkan dengan iman sementara dalam Lukas 8:13.”
Jadi, yang dibicarakan dalam Ibrani 6:4-6 bukan ketekunan orang kudus, tetapi kita dinasihati dengan sangat untuk waspada. Mungkin saja orang Kristen jatuh dan murtad. Itu bukan sesuatu yang mustahil. Karena itu kita harus dengan sungguh-sungguh berusaha untuk taat dan percaya. Penulis surat Ibrani tidak membedakan orang-orang percaya sejati dari orang-orang Kristen yang munafik, tetapi ia mau mendorong seluruh jemaat untuk tetap taat, tetap setia, dan tetap berpegang pada Kristus. Dalam situasi yang di dalamnya ada banyak kelemahan, kekurangan, dan kelalaian, dorongan dan peringatan semacam itu sangat dibutuhkan. Kebenaran bahwa Allah tidak akan membiarkan orang-orang pilihan-Nya menjadi murtad, tetap berlaku, juga kalau peringatan seperti dalam Ibrani 6:4-6 diberikan. Tetapi yang menjadi masalah adalah bahwa dalam jemaat Kristen juga ada anggota-anggota yang menjadi murtad. Memang, tentang mereka dapat dikatakan: ”mereka tidak sungguh-sungguh termasuk pada kita; sebab jika mereka sungguh-sungguh termasuk pada kita, tentu mereka tetap bersama-sama dengan kita” (1Yoh. 2:19). Dengan kata lain: karena mereka bukan orang-orang percaya sejati, karena itu mereka murtad. Tetapi selama mereka berada di tengah-tengah jemaat Kristen, belum jelas siapa-siapa yang termasuk kelompok orang Kristen itu.
Orang-orang Kristen yang sungguh-sungguh bergumul dengandosa-dosa yang masih ada dalam kehidupan mereka, dan yang betul-betul berusaha untuk menguduskan diri, merekalah yang dapat dihibur dengan ajaran ketekunan orang kudus. Orang-orang yang sedang mundur dalam iman, yang imannya suam-suam kuku, dan yang lalai dalam menguduskan kehidupan mereka, merekalah yang harus diberi peringatan yang keras dan dinasihati secara serius: kemurtadan bukanlah jalan yang tertutup.
Walaupun Allah sendiri yang akan membuat orang percaya sejati bertekun, namun ketekunan itu bukan sesuatu yang otomatis, tetapi direalisasikan Allah melalui usaha orang percaya itu sendiri yang menjadi nyata dalam imannya, ketaatannya, pergumulannya, penyesalan akan dosanya, dan keinginannya untuk hidup semakin kudus.
Doktrin ketekunan sangat menghibur kita dan memberi kepastian tentang keselamatan kita, tetapi sekaligus memberi dorongan yang kuat kepada kita untuk bertekun dan bertumbuh dalam iman, dan menghasilkan buah Roh. ”Maka doktrin ketekunan orang-orang percaya sejati adalah suatu penghiburan dan sekaligus suatu tantangan. Tetapi tantangan ini didasarkan pada penghiburan” (Hoekema 2006, 342).
Doktrin ketekunan memberi kepastian tentang keselamatan kepada setiap orang percaya sejati, dan sekaligus mendorongnya untuk bertekun dan bertumbuh dalam iman.