Timbul pertanyaan, bukankah hal-hal yang ”biasa” itu mutunya di bawah empat contoh yang diberi kan oleh PAD I.12 itu? Jika demikian, apakah pengakuan gereja itu tidak menuntut banyak dari kita? Tidak. Sebab, jika timbul kesa daran dalam diri kita bahwa kita masih sangat berkekurangan akan kesungguhan dan pengertian yang mendalam, apakah itu bukan awal dari rasa lapar dan haus akan kesungguhan yang lebih besar dan terhadap pengertian yang lebih mendalam tentang keadilan? Jika dengan susah hati kita menyimpulkan bahwa kita masih selalu meremehkan dosa-dosa kita dengan begitu mudah, apakah itu tidak menunjukkan adanya rasa takut akan Allah dan dukacita karena dosa-dosa itu? Kemudian, jika kita berseru kepada Tuhan di tengah kesusahan apa saja yang menimpa kita, dari manakah asal seruan itu kalau bukan berasal dari iman bahwa Allah mendengar dan merespons seruan itu? Agaknya, kita harus makin berseru, ”Tolonglah aku yang tidak percaya ini” (Mrk 9:24).
Apakah sekarang kita sudah bisa melihat bahwa dalam hal-hal yang ”biasa” itu pun empat contoh tersebut merupakan dasar bagi hidup kita di hadapan Allah? Dan apakah sekarang kita sudah menyadari betapa mulianya di dalam hal-hal yang ”biasa” itu ”kuasa-Nya bagi kita yang percaya? Sesuai dengan kekuatan kuasa-Nya yang besar, yang dikerjakan-Nya di dalam Kristus dengan membangkitkan Dia dari antara orang mati dan mendudukkan Dia di sebelah kanan-Nya di surga” (lih Ef 1:19-20).
Memang kalimat itu agak rumit untuk dimengerti. Tetapi, kalau kita berupaya menyimaknya dengan baik, maknanya akan jelas bagi kita.
Kita mengerti bahwa dengan kuasa yang sama, yang oleh nya Allah telah membangkitkan Yesus Kristus dari antara orang mati dan memulia kanNya, juga bekerja di dalam kita. Kuasa yang sama itu pun menghidupkan kita, membuat kita lahir kembali, dan mengubah kita ”dalam kemuliaan yang semakin besar” (2Kor 3:18).
Apakah kita yakin dengan semuanya itu? Apakah kita sungguh-sungguh memercayainya? Apakah kita percaya bahwa kasih Allah yang memilih itu adalah sumber semua hal yang ”biasa” itu? Apakah dalam hal-hal yang ”biasa” itu kita boleh mengenali buah-buah pemilihan kita yang dari semula, ”dengan kegembiraan rohani dan sukacita yang kudus” (PAD I.12)? Tentu saja, ”orang-orang yang paling kudus pun selama hidup di dunia ini baru berada pada taraf permulaan ketaatan ini” (KH, p/j 114). Namun, tiap permulaan betapa pun kecilnya, adalah tanda hidup dari kematian. Dan di mana ada hidup, selalu ada pengharapan. Sebab: Siapa pun yang melihat hal itu, tidak akan lagi mengandalkan kekuatan sendiri danhasil-hasil yang ia capai. Namun, ia juga tentu tidak akan membuang perbuatan-perbuatannya yang ”biasa” itu begitu saja. Justru dengan semua hal itu, ia boleh melayani Tuhan dengan kasih dan rasa syukur yang besar, serta menaruh pengharapannya kepada Tuhan.
”Aku menantikan keselamatan dari pada-Mu, ya Tuhan, dan aku melakukan perintah-perintah-Mu.” (Mzm 119:166)