Kerusakan Manusia, Pertobatannya kepada Allah, dan Cara Pertobatan Itu
Pada mulanya manusia diciptakan menurut gambar Allah dan diberi perlengkapan yang serba indah: dalam akal budinya terdapat pengetahuan yang benar dan menyelamatkan tentang Penciptanya serta tentang hal-hal rohani; dalam kehendak dan hatinya, kebenaran; dalam semua perasaan hatinya, kemurnian. Maka, ia sepenuhnya kudus. Tetapi oleh hasutan iblis dan kehendak bebasnya sendiri ia telah menyimpang dari Allah dan membuang karunia-karunia ulung itu. Dan sebagai gantinya manusia telah mendapatkan bagi dirinya: kebutaan, kegelapan yang mengerikan, pertimbangan yang bebal dan jahat dalam akal budinya; kekejian, pemberontakan, dan ketegaran dalam kehendak dan hatinya; lagi pula ketidakmurnian dalam semua perasaan hatinya. (Kej. 1:26, 27; Kej. 3:1-7; Ef. 4:17-19)
Sebagai puncak penciptaan-Nya, Allah menciptakan manusia. Maka Allah menciptakan manusia itu menurut gambar-Nya (Kej. 1:27). Apa arti dari bahwa manusia diciptakan menurut gambar Allah?
Pertama, bahwa Allah telah memberikan jabatan kepada manusia; suatu jabatan yang bertanggung jawab yang memanggilnya untuk memperlihatkan gambar Allah dalam segala tingkah lakunya. Ia ditu-gaskan untuk mewakili Allah, dan untuk memerintah seluruh ciptaan dan berkuasa di atasnya atas nama Allah. Dalam pemerin tahan nya atas ciptaan dan dalam mengembangkannya, dan juga dalam tingkah lakunya terhadap sesamanya manusia, ia harus bertindak sesuai dengan kehendak Allah. Tugasnya untuk mencerminkan kesem-purnaan Allah. Allah adalah kasih, maka manusia juga dipanggil untuk mengasihi. Allah adalah benar, maka manusia juga dipanggil untuk mempertahankan kebenaran. Allah adalah setia, maka manusia juga dipanggil untuk tetap setia. Demikian dan seterusnya.
Kedua, bahwa Allah telah memberikan kemampuan-kemampuan dan kebajikan-kebajikan yang luar biasa kepada manusia yang men cer-min kan sebagian kemampuan-kemampuan dan kebajikan-kebajik an Allah. Kemampuan-kemampuan dan kebajikan-kebajikan itu memung-kinkannya untuk menjalankan jabatannya sebagai wakil Allah. Kitab Suci menyebut tiga bidang di dalam diri manusia yang di dalamnya kemampuan-kemampuan dan kebijakan-kebijakan itu ditempatkan, yaitu akal budinya, hatinya, dan kehendaknya.
Allah telah menciptakan manusia sebagai makhluk yang mempunyai akal budi, sehingga ia dapat memperoleh pengertian dan pengetahuan dan mampu mempertimbangkannya. Agar mampu mewakili Allah, dia diberkati dengan pengetahuan mengenai Allah dan mengenai kehendak Allah. Di samping itu, manusia diberi pengetahuan mengenai seluruh ciptaan yang memungkinkannya untuk segera memberi nama kepada segala ternak, burung, dan binatang, sesuai dengan jenisnya masing-masing. Pengetahuan ini juga memungkinkannya untuk menemukan segala kemungkinan-kemungkinan dan potensi yang disembunyikan Allah di dalam ciptaan-Nya. Selanjutnya, Allah telah menciptakan manusia sebagai makhluk yang mempunyai hati, yang adalah sumber dan pusat perasaan dan emosi.
Pada awalnya, hati manusia dipenuhi dengan perasaan-perasaan yang baik, misalnya dengan kasih terhadap Allah dan kesukaan untuk melakukan perintah-perintah Allah, karena taurat-Nya tertulis dalam batinnya. Hati manusia penuh sukacita karena ia hidup dalam persekutuan dengan Allah dan menikmati segala berkat Allah. Akhirnya Allah telah menciptakan manusia sebagai makhluk yang mempunyai kehendak. Dengan kehendaknya, manusia mengambil keputusan untuk melakukan atau tidak segala pikiran dan keinginan yang timbul dalam akal budi dan hatinya. Allah telah menciptakan kehendak manusia sesuai dengan kehendak-Nya sendiri. Dari mana kita mengetahui semuanya itu? Laporan dalam Kejadian mengenai penciptaan manusia hanya menyatakan bahwa Allah telah menjadikan manusia baik (bdk. Kej. 1:31). Apa yang tadi kami kemukakan mengenai manusia sebagai gambar Allah tidak berdasarkan pada apa yang tertulis dalam Kitab Suci mengenai Adam pertama, melainkan pada apa yang dikatakan mengenai Adam yang akhir, yaitu Yesus Kristus. Tabiat kemanusiaan-Nya sama dengan tabiat kemanusiaan Adam (bdk. Ibr. 2:14). Mengenai Kristus, Kitab Suci menyatakan bahwa Dia mengenal Allah.
Kristus telah mengatakan, kamu tidak mengenal Dia, tetapi Aku mengenal Dia. Dan jika Aku berkata: Aku tidak mengenal Dia, maka Aku adalah pendusta, sama seperti kamu, tetapi Aku mengenal Dia dan Aku menuruti firman-Nya ( Yoh. 8:55). Kristus juga mengasihi Bapa. Dia mengatakan, Tetapi supaya dunia tahu, bahwa Aku mengasihi Bapa dan bahwa Aku melakukan segala sesuatu seperti yang diperintahkan Bapa kepada-Ku, bangunlah, marilah kita pergi dari sini ( Yoh. 14:31). Keinginan Kristus adalah untuk melakukan kehendak Bapa-Nya. Dia mengatakan, Makanan-Ku ialah melakukan kehendak Dia yang mengutus Aku dan menyelesaikan pekerjaan-Nya ( Yoh. 4:34). Dan juga, Sungguh, Aku datang; dalam gulungan kitab ada tertulis tentang Aku untuk melakukan kehendak-Mu, ya Allah-Ku (Ibr. 10:7). Sebagai Adam yang akhir, Kristus dikaruniai dengan pengetahuan mengenai Allah. Hati-Nya penuh dengan kasih terhadap Allah. Kehendak-
Nya benar-benar sesuai dengan kehendak Allah. Dan seperti halnya dengan Adam yang akhir, demikian pula halnya dengan Adam pertama. Manusia diciptakan sebagai makhluk yang benar dan kudus, yang mempunyai pengetahuan yang benar mengenai Allah. Hal itu juga jelas dari penguraian Rasul Paulus mengenai pekerjaan Roh Kudus, yang menciptakan orang pilihan, kembali menurut gambar Allah. Mengenakan manusia baru, yang telah diciptakan menurut kehendak Allah di dalam kebenaran dan kekudusan yang sesungguhnya (Ef. 4:24). (Kamu) telah mengenakan manusia baru yang terus-menerus diperbarui untuk memperoleh pengetahuan yang benar menurut gambar Khaliknya (Kol. 3:10). Oleh pekerjaan Roh Kudus, manusia dipulihkan kembali menjadi gambar Allah semula.
Baiklah sekarang kita mempelajari pandangan kaum Arminian mengenai penciptaan manusia dan kemampuan-kemampuan dan kebijak an-kebijakan yang diberikan kepadanya pada saat ia diciptakan. Pokok itu dibahas dalam Penolakan III/IV, 2:
Ajaran Keliru | Pada mulanya, ketika manusia diciptakan, maka karunia-karunia rohani, sifat-sifat baik, dan kebajikan-kebajikan, seperti kebaikan, kesucian, dan kebenaran, tidak mungkin ada dalam kehendak manusia. Itulah sebabnya karunia-karunia itu tidak mungkin juga dipisahkan dari kehendak itu oleh kejatuhan dalam dosa. |
Penolakannya | Hal ini bertentangan dengan pemerian manusia sebagai gambar Allah seperti yang disajikan Sang Rasul dalam Ef. 4:24. Di sana ia mengatakan, bahwa gambar Allah itu terdiri dari kebenaran dan kekudusan, yang keduanya tanpa ragu-ragu bertempat dalam kehendak. |
Dapatkah sebuah meja memiliki sifat-sifat spiritual? Dapatkah aku mengatakan bahwa meja itu adalah meja yang baik hatinya, atau meja yang mengasihi, atau meja yang bermurah hati? Tentu saja tidak! Dapatkah aku mengatakan bahwa potret yang ada di dinding adalah jujur dan taat? Tentu saja tidak! Semuanya itu adalah barang mati, yang tidak mungkin memiliki kemampuan atau kebijakan semacam itu.
Demikian pula, menurut kaum Arminian, kita tidak dapat mengatakan bahwa kehendak manusia adalah baik, atau kudus, atau benar. Kehendak manusia adalah alat pengambil keputusan. Kehendak dapat mempertimbangkan gagasan-gagasan, dan keinginan-keinginan, apakah gagasan dan keinginan itu baik dan kudus dan benar. Kehendak dapat memilih apa yang kudus dan benar. Tetapi kehendak sendiri tidak dapat memiliki kebajikan-kebajikan. Oleh sebab itu, dapat dimengerti bahwa kehendak manusia tidak mungkin kehilangan kebajikan-kebajikan itu, karena tidak pernah memilikinya waktu diciptakan! Kehendak tidak dapat kehilangan apa yang tidak pernah dimilikinya! Dan karena itu, demikian nalar kaum Arminian, kehendak manusia tetap bebas memilih yang baik atau yang jahat, baik waktu manusia masih di Taman Firdaus, maupun sesudah manusia jatuh ke dalam dosa. Tetapi PAD menolak ajaran Arminian yang mengatakan bahwa kehendak manusia adalah bebas atau netral. Tiap kali Kitab Suci berbicara mengenai ketulusan atau keburukan manusia, Kitab Suci berbicara mengenai keseluruhan manusia, bukan mengenai sebagian manusia. Allah telah menciptakan manusia dalam kebenaran dan kekudusan (bdk. Ef. 4:24; Ibr. 2:17). Selain itu, Kitab Suci menyatakan dengan jelas bahwa manusia yang telah jatuh ke dalam dosa tidak lagi mampu memilih yang baik. Tidak seorang pun sanggup memilih Kristus sebagai Juru Selamat, atau memilih untuk berbuat hal yang baik, kecuali Kristus memilihnya lebih dahulu. Yesus mengatakan, Bukan kamu yang memilih Aku, tetapi Akulah yang memilih kamu. Dan Aku telah menetapkan kamu, supaya kamu pergi dan menghasilkan buah ( Yoh. 15:16). Manusia yang telah jatuh ke dalam dosa hanya dapat menghendaki berbuat baik jika Allah mengerjakan kemauan itu di dalamnya. Paulus mengatakan, Karena Allahlah yang mengerjakan di dalam kamu baik kemauan maupun pekerjaan menurut kerelaan-Nya (Flp. 2:13). Kitab Suci menegaskan bahwa iman dan pengangkatan kita sebagai anak-anak Allah–sebagai hasil kelahiran kembali–tidak timbul dari kehendak bebas manusia (seperti diajarkan oleh kaum Arminian), melainkan dari kehendak Allah. Rasul Yohanes menulis, Ia datang kepada milik kepunyaan-Nya, tetapi orang-orang kepunyaan-Nya itu tidak menerima-Nya. Tetapi semua orang yang menerima-Nya diberi-Nya kuasa supaya menjadi anak-anak Allah, yaitu mereka yang percaya dalam nama-Nya; orang-orang yang diperanakkan bukan dari darah atau dari daging, bukan pula secara jasmani oleh keinginan seorang laki-laki, melainkan dari Allah ( Yoh. 1:11-13). Hanya mereka yang telah dilahirkan kembali dapat menghendaki hal yang baik, meskipun mereka pun belum mampu melakukan apa yang mereka kehendaki (bdk. Rm. 7:18 dst.). Arti kebebasan kehendak manusia, menurut kaum Arminian, adalah bahwa kehendak manusia sama sekali tidak cenderung untuk memilih yang baik maupun yang jahat. Menurut mereka, kehendak manusia diciptakan dalam keadaan netral. Memang harus demikian, agar mereka dapat berbicara mengenai kebebasan kehendak manusia.
Contohnya: kadang-kadang orang menggunakan uang logam untuk tos: gambar atau angka. Seandainya bagian gambar dari uang logam itu lebih berat dari bagian angka, maka ketika koin itu jatuh, yang cenderung menutup lebih dulu adalah bagian gambar. Jelas bahwa koin semacan itu tidak boleh dipakai untuk menentukan salah satu masalah, karena itu sangat tidak adil. Hanya sebuah uang logam yang tidak berat sebelah yang dapat dipakai untuk tos. Demikian pula kaum Arminian menegaskan bahwa agar manusia sungguh-sungguh bebas memilih mengikuti Allah atau tidak, kehendaknya harus sungguh-sungguh netral. Menurut mereka, seandainya kehendak manusia diciptakan lengkap dengan kebajikan-kebajikan seperti kebaikan, kekudusan, dan kebenaran maka kehendak manusia akan cenderung untuk taat. Jika demikian, kehendak tidak sungguh-sungguh bebas lagi. Jadi, kaum Arminian menyatakan bahwa kehendak manusia diciptakan dalam keadaan netral, tidak dalam keadaan baik dan juga tidak dalam keadaan tidak baik. Selanjutnya, kita juga perlu mengarahkan perhatian pada apa yang kaum Arminian katakan mengenai kecenderungan manusia. Sama seperti orang-orang Reformasi, kaum Arminian mengatakan bahwa kecenderungan manusia di Taman Firdaus tidak netral. Namun, muncul lagi perbedaan antara orang-orang Reformasi dan kaum Arminian. Orang-orang Reformasi mengaku bahwa manusia diciptakan dengan hati yang mengasihi Allah dan hukum-Nya. Sebaliknya, kaum Arminian mengatakan bahwa agar ujian yang Allah berikan kepada manusia di Taman Firdaus sungguh-sungguh ikhlas, manusia harus memiliki kecenderungan untuk tidak taat. Hanya jika demikian, menurut kaum Arminian, ujian akan masuk akal. Contohnya: seorang ibu ingin menguji anaknya untuk mengetahui apakah ia taat atau tidak. Ia meletakkan makanan yang menggiurkan di atas meja, dan melarang anaknya memakannya. Seandainya Si Ibu meletakkan makanan yang tidak disukai anaknya, ujian itu bukan ujian yang sungguh-sungguh, karena hasilnya pasti sudah Si Ibu ketahui sebelumnya. Demikian pula, jika benar ujian yang diberikan Allah kepada manusia adalah ujian yang sungguh-sungguh, manusia harus memiliki kecenderungan untuk menginginkan apa yang dilarang Allah. Karena itu, kaum Arminian menyangkal bahwa manusia diciptakan dengan kecenderungan yang baik dan tulus. Menurut mereka, manusia tidak diciptakan dengan kecenderungan untuk taat. Salah seorang penganut Remonstran pernah mengatakan: Berdasarkan penciptaannya, manusia memiliki kecenderungan untuk berbuat apa yang dilarang oleh hukum. Seandainya manusia tidak diperlengkapi dengan kecenderungan dan kehendak dasar untuk berbuat apa yang dilarang oleh hukum, tidak ada guna hukum diberikan kepadanya.59 Dan Arminius sendiri pernah mengatakan: Sudah sebelum manusia jatuh ke dalam dosa, ia memiliki kecenderungan untuk berbuat dosa, meskipun kecenderungan itu belum sehebat dan sebesar seperti sekarang ini.60
Kaum Arminian tidak mengatakan bahwa manusia diciptakan jahat dan buruk. Sebaliknya, mereka pun mengatakan bahwa manusia diciptakan dengan kesucian dan kebenaran yang sejati. Hanya, pengertian mereka mengenai kesucian dan kebenaran itu sangat berbeda dengan ajaran Reformasi. Menurut mereka, kesucian dan kebenaran manusia tidak sama dengan kesucian dan kebenaran Allah. Kesucian dan kebenaran itu juga tidak mereka artikan sebagai kerelaan dan kesukaan akan hidup sesuai dengan kehendak Allah, seperti yang dipahami orang-orang Reformasi. Menurut mereka, kesucian dan kebenaran manusia, pada waktu mereka diciptakan, tidak lain hanya keadaannya yang tidak bersalah.61 Hatinya memang cenderung untuk berbuat jahat, tetapi selama mereka belum melakukan kesalahan, mereka tetap benar dan suci. Jika Allah yang menciptakan manusia dengan kecenderungan untuk berbuat jahat, itu tidak berarti bahwa Allah yang salah, karena Dialah yang menciptakan manusia demikian? Tentu tidak, demikian tanggapan kaum Arminian. Karena meskipun manusia cenderung berbuat dosa dan membenci hukum Allah, manusia juga memiliki kekuatan untuk menentang kecenderungannya itu. Pada Sidang Sinode Dordrecht ada dua orang Remonstran yang mengemukakan pandangan mereka dengan mengatakan: Allah yang telah menanamkan ke dalam manusia ketidaksukaan pada hukum, juga memberikan kekuatan kepadanya untuk menentang kecenderungannya itu, sehingga manusia mampu untuk mematuhi hukum itu, tetapi juga dapat melanggarnya.62
Kesesatan kaum Arminian masih lebih dalam lagi. Menurut mereka, Allah tidak hanya memberikan kekuatan kepada manusia untuk menentang kecenderungannya untuk berbuat jahat, tetapi juga dorongan untuk menggunakan kekuatan itu. Dorongan itu adalah janji dan kutuk perjanjian. Kehendak manusia bebas; hatinya memang cenderung berbuat jahat, tetapi dengan akal budinya mereka tahu mengenai janji dan kutuk. Janji dan kutuk itu menyeimbangkan kecenderungan untuk berbuat jahat, demikian menurut kaum Arminian. Meskipun manusia ingin berbuat jahat, mereka juga ingin hidup dan terhindar dari hukuman mati. Artinya, kecenderungan untuk berbuat jahat dan kecenderungan untuk hidup dan luput dari murka Allah adalah seimbang. Dengan demikian kaum Arminian mempertahankan pendapat bahwa manusia di Taman Firdaus adalah netral. Janji dan kutuk perjanjian mengimbangi kecenderungan manusia untuk berbuat dosa. Akhirnya, kaum Arminian mengurangi perbedaan antara manusia sebelum dan sesudah jatuh ke dalam dosa. Sebelum jatuh ke dalam dosa, manusia cenderung untuk berbuat dosa. Meskipun demikian, kehendaknya tetap bebas, dan manusia dapat memilih untuk taat kepada Allah. Tetapi, sesudah jatuh ke dalam dosa, kecenderungan manusia untuk berbuat jahat jauh lebih kuat. Meskipun demikian kehendaknya tetap bebas, demikian menurut kaum Arminian. Jika diungkapkan melalui warna-warna, kaum Arminian menggam-barkan manusia di Taman Firdaus dengan warna abu-abu muda (tidak sama sekali suci dan benar), sedangkan manusia yang sudah jatuh ke dalam dosa diberi warna abu-abu tua (tidak sama sekali jahat, tidak buruk total). Sedangkan orang-orang Reformasi menggambarkan manusia pada penciptaannya dengan warna putih (sama sekali suci dan benar), dan sesudah manusia jatuh ke dalam dosa dengan warna hitam (sama sekali tidak murni lagi, dan sama sekali tidak suci lagi). Orang-orang Reformasi mendasarkan pemahaman mereka atas Kitab Suci, yang mengajarkan bahwa manusia diciptakan menurut gambar dan rupa Allah, dalam kebenaran dan kekudusan yang sesungguhnya (Ef. 4:24). Tetapi sesudah manusia jatuh ke dalam dosa, TUHAN melihat bahwa kejahatan manusia besar di bumi dan bahwa segala kecenderungan hatinya selalu membuahkan kejahatan semata-mata (Kej. 6:5).
KEHENDAK MANUSIA KAUM ARMINIAN ORANG “ORANG Reformasi SEBELUM JATUH KE DALAM DOSA Tidak sama sekali murni Sama sekali murni SESUDAH JATUH KE DALAM DOSA Tidak sama sekali buruk Sama sekali buruk Kaum Arminian tidak menyangkal bahwa kejatuhan ke dalam dosa telah membawa dampak yang negatif bagi manusia. Menurut mereka, kecenderungan manusia untuk berbuat dosa sudah menjadi begitu kuat sehingga manusia tidak lagi mampu untuk menolak segala dosa, dan juga tidak mampu lagi untuk mematuhi hukum Allah dengan sempurna. Tetapi menurut mereka, kecenderungan manusia untuk bebuat dosa itu bukan total, seperti yang diajarkan oleh orang-orang Reformasi. Kehendak manusia tetap bebas, juga sesudah manusia jatuh ke dalam dosa. Dengan kehendak bebas ini, manusia yang telah jatuh ke dalam dosa masih dapat memilih untuk berbuat sesuatu yang baik.
Dalam Penolakan III/IV, 3 tertulis:
Ajaran Keliru | Dalam kematian rohani, karunia-karunia rohani yang dimiliki manusia tidak dipisahkan dari kehendak. Sebab, kehendak itu sendiri tidak pernah dirusak, tetapi hanya dirintangi oleh kegelapan akal budi dan ketidaktetapan perasaan. Jika rintangan-rintangan ini dicabut, maka kehendak dapat memakai kekuatan yang bebas, yang telah ditanamkan ke dalamnya. Hal itu berarti, kehendak itu sanggup, dari dirinya sendiri, menghendaki dan memilih ataupun tidak menghendaki dan memilih hal apa pun yang baik yang dihadapkan kepadanya. |
Penolakannya | Ini ajaran baru dan sesat, yang cenderung memuji-muji kemampuan kehendak bebas. Hal ini bertentangan dengan perkataan Nabi Yeremia, Betapa liciknya hati, lebih licik daripada segala sesuatu, hatinya buruk (Yer. 17:9); dan dengan perkataan Sang Rasul, Sebenarnya dahulu kami semua juga terhitung di antara mereka, ketika kami hidup di dalam hawa nafsu daging dan menuruti kehendak daging dan pikiran kami yang jahat (Ef. 2:3). |
Di sini kaum Arminian menggambarkan keburukan manusia sebagai kegelapan akal budi dan ketidaktetapan perasaan. Istilah kegelapan akal budi diambil dari Kitab Suci. Hanya saja, mereka tidak menafsirkannya sesuai dengan apa yang dimaksudkan oleh Kitab Suci. Ada perbedaan antara akal budi yang bebal dan akal budi yang rusak. Perbedaan ini dapat dibandingkan dengan perbedaan antara seorang anak yang normal tetapi yang tidak pernah menerima pendidikan, dan seorang anak cacat. Anak pertama, yang akal budinya sebenarnya berfungsi dengan baik tetapi yang tidak pernah menerima pendidikan, adalah bebal. Ia dapat belajar jika dia diajari. Tetapi anak yang kedua yang cacat tidak punya pengetahuan karena ia tidak mampu belajar, karena akal budinya rusak.
Kaum Arminian menafsirkan kegelapan akal budi sebagai ketidak-tahuan. Mereka percaya bahwa akibat dari manusia telah jatuh ke dalam dosa adalah bahwa akal budinya tidak mengenal kebenaran. Tetapi jika kebenaran diberitahukan kepadanya, ia mampu memahami dan meneri-manya. Tetapi Kitab Suci mengajarkan kepada kita bahwa akal budi manusia yang telah jatuh ke dalam dosa telah menjadi rusak karena dosa. Manusia tidak lagi mampu memahami kebenaran, dan tidak lagi mampu meneri-manya ketika diberitahukan kepadanya. Rasul Paulus mengatakan, manu-sia duniawi tidak menerima apa yang berasal dari Roh Allah, karena hal itu baginya adalah suatu kebodohan; dan ia tidak dapat memahaminya, sebab hal itu hanya dapat dinilai secara rohani (1Kor. 2:14). Demikian pula Kaum Arminian membedakan antara kebingungan dan kerusakan hati manusia. Yang dimaksudkan dengan istilah ketidaktetapan perasaan adalah bahwa dalam hati manusia ada kebingungan. Perasaannya tidak tetap lagi, sehingga manusia tidak tahu perasaan yang mana adalah baik, dan yang mana adalah jahat. Tetapi, jika ditunjukkan kepadanya apa yang baik dan apa yang jahat, manusia mampu bertobat dan mengabaikan kejahatan, dan menginginkan yang baik serta melakukannya. Tetapi Kitab Suci memberi gambaran yang lain mengenai keadaan manusia. Dampak jatuhnya manusia ke dalam dosa pada hati mereka bukan saja sekadar mendatangkan kebingungan, melainkan menyebabkan keburukan total. Dengan tepat PAD mengutip Yeremia 17:9, Betapa liciknya hati, lebih licik daripada segala sesuatu, hatinya sudah membatu.
Kaum Arminian | Orang-orang Reformasi | |
Hati | Bingung | Rusak |
Akal-budi | Bebal | Rusak |
Kehendak | Bebas memilih yang baik atau yang jahat | Diperbudak sehingga memilih yang jahat saja |
Bagaimana mungkin dosa mengakibatkan tabiat manusia rusak total? Pertanyaan itu wajar, melihat bahwa kita tidak mengalami hal semacam itu dalam hehidupan sehari-hari. Jika seseorang melalukan suatu pelanggaran, tabiatnya tidak berubah. Jika seseorang menerjang lampu merah dan ditilang, hal itu tidak mengakibatkan tabiatnya menjadi lain. Akal-budinya tidak menjadi gelap, dan keinginannya tidak dirusakkan oleh pelanggarannya itu. Kalau demikian, apa sebab kejatuhan ke dalam dosa membawa dampak yang begitu buruk pada tabiat manusia?
Kerusakan tabiat manusia adalah kutuk yang dibawa oleh dosa. Kerusakan akal budi manusia, dan kerusakan hatinya, dan perbudakan kehendaknya merupakan akibat hukuman Allah yang adil. Ketika manusia jatuh ke dalam dosa, segala kemampuan dan keba-jikan-kebajikan yang begitu indah, yang sebelumnya telah Allah berikan kepada manusia, diambil-Nya kembali darinya. Kemampuan akal budinya untuk dengan tepat mempertimbangkan hal-hal rohani, ditarik kembali oleh Allah. Manusia masih mampu menggunakan akal budinya untuk mempelajari hal-hal duniawi dan unggul dalam pengetahuan itu, namun manusia tidak lagi mampu memahami hal-hal rohani. Kemampuan hatinya untuk mengingini apa yang baik, juga ditarik kembali, sehingga manusia sekarang cenderung hanya pada yang jahat saja. Sebagai contoh, seorang pejabat tinggi diberi bermacam-macam fasilitas, seperti rumah dinas, mobil dinas, dan lain sebagainya. Semua itu diberikan kepadanya agar ia dapat melakukan pekerjaannya dengan baik. Tetapi jika pejabat itu melakukan pelanggaran aturan, ia dilepaskan dari jabatannya, dan semua fasilitas itu akan ditarik kembali. Demikian pula Allah, Dia menghukum manusia yang telah jatuh ke dalam dosa dengan menarik kembali darinya semua pemberian yang indah, yang pada penciptaannya diberikan kepadanya agar manusia dapat melakukan panggilannya. Hukuman itu mengakibatkan kematian rohani manusia. Karena dosanya, manusia sendiri yang bertanggung jawab atas hukuman kematian rohani ini.
Manusia tidak dapat mempersalahkan Allah atas kerusakan rohaninya. Sama seperti pejabat tinggi itu tidak dapat mempersalahkan atasannya karena menarik kembali darinya fasilitas rumah dinas dan mobil dinas. Pejabat itu hanya dapat mempersalahkan dirinya sendiri. Tindakan atasan terhadapnya diakibatkan oleh pelanggarannya sendiri. Ia telah merampas semua fasilitas itu dari dirinya sendiri. Demikian juga manusia hanya dapat mempersalahkan dirinya sendiri atas kerusakan rohaninya. Seperti diajarkan dalam Katekismus Heidelberg: Allah telah menjadikan manusia baik dan menurut gambar-Nya, artinya, dengan kebenaran dan kesucian yang sejati (p/j 6). Tetapi oleh bisikan iblis, dan oleh ketidaktaatannya yang disengaja, manusia telah bertindak sedemikian, sehingga ia bersama keturunannya kehilangan karunia-karunia itu. (p/j 9) Pengakuan Iman Gereja Belanda juga menekankan bahwa manusia sendiri bertanggung jawab atas kerusakannya: ... oleh dosa, ia memisahkan diri dari Allah, yang adalah hidupnya yang sejati. Ia telah merusak segenap kodratnya, dan dengan demikian ia patut dihukum mati, baik secara jasmani maupun secara rohani. Oleh karena manusia menjadi fasik dan buruk, serta bejat dalam segala jalannya, maka ia kehilangan semua karunia gemilang, yang telah diterimanya dari Allah (pasal 14).
1. Jelaskan dua hal yang dikaruniakan Allah kepada manusia ketika Dia menciptakannya!
2. Jelaskan kebajikan-kebajikan dan kemampuan-kemampuan yang dika-ru niakan Allah kepada manusia ketika Dia menciptakannya!
3. Kita memperoleh pengetahuan kita mengenai kebajikan-kebajikan dan kemampuan-kemampuan itu dengan dua cara; jelaskanlah dua cara itu!
4. Apa yang kaum Arminian:
1. Kalau kita mengatakan bahwa manusia yang telah jatuh ke dalam dosa masih memiliki gambar dan rupa Allah, apakah itu benar atau tidak? Kalau benar, dalam hal apa? Kalau tidak, kenapa tidak?
2. Apakah ada hubungan antara manusia sebagai gambar dan rupa Allah dan amanat dari Allah untuk berkuasa atas bumi dan segala isinya? Tunjukkanlah bahwa jawabanmu berkaitan dengan pertanyaan 11!
3. Apa konsekuensi dari teori evolusi (Darwin) terhadap pengertian manusia sebagai gambar dan rupa Allah?
Sama seperti keadaan manusia setelah ia jatuh, demikian pula keadaan anak-anaknya; manusia yang rusak memperanakkan anak-anak yang rusak. Dengan cara ini menurut hukuman Allah yang adil, kerusakan menjalar dari Adam kepada semua anak cucunya–kecuali Kristus–bukan karena peniruan, sebagaimana dahulu telah dikatakan oleh kaum Pelagian, melainkan karena pembiakan kodrat yang rusak itu. (Ayb. 14:4; Mzm. 51:7; Rm. 5:12; Ibr. 4:15)
Dosa yang dibuat Adam tidak hanya merusak Adam saja. Dosanya merusak seluruh keturunannya, semua anak cucunya. Tiap anak keturunan Adam ikut berpatungan menanggung akibat dosanya. Seluruh keturunannya berpatungan menanggung kerusakan hati, akal budi, dan kehendaknya yang mengerikan. Apakah itu adil? Apakah wajar anak-anak Adam dihukum karena dosa yang dibuat oleh ayah mereka? Apakah itu sesuai dengan Kitab Suci? Pertanyaan itu wajar, melihat apa yang tertulis dalam Yehezkiel 18:20, Anak tidak akan turut menanggung kesalahan ayahnya dan ayah tidak akan turut menanggung kesalahan anaknya.
Seandainya ayat ini adalah satu-satunya ayat di dalam Kitab Suci yang membahas hal ini, tentu saja kita tidak akan setuju dengan apa yang tertulis dalam pasal ini. Tetapi ada banyak ayat lain dalam Kitab Suci yang berkaitan dengan pokok ini. Di dalam Surat Roma, Paulus mengatakan bahwa Adam sebenarnya menduduki posisi yang unik, yang tidak pernah diduduki oleh orang lain kecuali oleh Adam akhir, Yesus Kristus (bdk. Rm. 5:14; 1Kor. 15:45). Adam diangkat menjadi kepala seluruh umat manusia.63 Ia diangkat untuk mewakili semua orang yang akan lahir darinya. Semua orang termasuk dalam perwakilan Adam. Apa yang dibuat oleh Adam bukan untuk dirinya sendiri, tetapi untuk semua keturunannya. Semua anak cucunya berpatungan dosa pertama yang dilakukan Adam pertama. Lebih tepat, dosa pertama itu sebenarnya bukan dosa Adam, melainkan dosa kita. Kitalah yang telah berbuat dosa dalam persekutuan dengan Adam.64
Rasul Paulus mengatakan, ... oleh satu pelanggaran semua orang beroleh penghukuman. Dan ia mengatakan, oleh ketidaktaatan satu orang semua orang telah menjadi orang berdosa (Rm. 5:18,19; bdk. 1Kor. 15:21,22). Karena kita turut melakukan dosa pertama, kita berpatungan, baik kesalahan maupun hukumannya. Tadi kita mengutip Yehezkiel 18, bahwa setiap orang akan dihukum hanya karena kesalahannya sendiri. Tetapi surat Paulus kepada jemaat di Roma sudah menjelaskan bahwa kita bersalah karena dosa di Taman Firdaus. Kita dihukum bukan karena dosa Adam, melainkan karena dosa kita sendiri yang kita perbuat dalam persekutuan dengan Adam. Karena semua anak cucu Adam termasuk dalam perwakilannya, semua anak cucunya berpatungan menjalani penghakiman dan hukuman yang sama yang mengerikan, yaitu kerusakan hati, akal budi, dan kehendak. Karena Adam sebagai kepala umat manusia telah mewakili semua anak cucunya, maka kesalahan dan hukuman yang didatangkan oleh dosa pertama diwariskan dari generasi ke generasi, kepada semua orang yang lahir darinya. Kecuali satu orang, yaitu Yesus Kristus. 63 Bdk. Pembahasan pada I,1 mengenai Adam sebagai Kepala atau Wakil umat manusia yang (lama).
Yesus Kristus telah dilahirkan oleh seorang perempuan, tetapi tidak diperanakkan oleh seorang laki-laki. Dia dikandung dari Roh Kudus, dan dikandung perawan Maria. Dengan demikian Kristus lahir sebagai manusia sejati, dalam segala hal serupa dengan kita, kecuali dalam kesalahan karena dosa pertama dan kerusakan yang diakibatkannya. Pelagius menyangkal mengenai dosa warisan itu. Ia mengajarkan bahwa dosa Adam adalah dosa Adam sendiri saja, dan tidak membuat anak cucunya menjadi bersalah. Anak cucu Adam sama sekali tidak berpatungan menanggung kesalahannya atau kerusakan yang diakibatkan oleh dosanya. Menurut Pelagius, manusia lahir dalam keadaan tidak bersalah dan suci, tetapi belajar berbuat dosa akibat berada di bawah pengaruh dosa. Terhadap dosa pertama, kaum Arminian menganut pandangan yang dapat disebut sebagai pandangan Semi-Pelagian (bhs. Latin : semi = setengah). Sama seperti Pelagius, mereka mempertahankan pandangan bahwa tidak adil jikalau seorang dianggap bersalah karena salah satu dosa yang tidak dibuat oleh dia sendiri, atau jikalau seorang yang berkenaan dengan kehendaknya sendiri sungguh-sungguh tidak bersalah, dianggap bersalah. 65 Artinya, menurut mereka, kita tidak mungkin dapat dianggap bersalah karena salah satu dosa yang tidak kita sendiri perbuat dengan sengaja.
Karena orang-orang Arminian menyangkal bahwa kesalahan dosa Adam diperhitungkan kepada seluruh keturunannya, mereka menyimpulkan bahwa tidak seorang pun dari anak cucu Adam akan dihukum berdasarkan dosa pertama yang dibuat oleh Adam.
Pandangan itu dibahas dalam Penolakan III/IV, 1: Ajaran Keliru Sebenarnya tidak dapat dikatakan, bahwa dosa turunan sendiri sudah cukup untuk membuat segenap umat manusia dihukum atau patut diganjar hukuman pada masa kini dan untuk selama-lamanya.
Penolakannya
Mereka ini membantah perkataan Sang Rasul, Sama seperti dosa telah masuk ke dalam dunia oleh satu orang, dan oleh dosa itu juga maut, demikianlah maut itu telah menjalar kepada semua orang, karena semua orang telah berbuat dosa (Rm. 5:12). Dan, Penghakiman atas satu pelanggaran itu telah mengakibatkan penghukuman (Rm. 5:16). Dan, Upah dosa ialah maut (Rm. 6:23).
Di dalam Apologi, kaum Arminian mengatakan, Kami tidak meman-dang dosa warisan sebagai dosa dalam arti yang tepat, yang akan membuat anak cucu Adam menjadi pantas menerima murka Allah, atau pun sebagai sesuatu yang buruk yang dengan tepat dapat disebut hukuman, tetapi hanya sebagai kelemahan tabiat manusia semata. 66 Menurut mereka, dosa turunan sebenarnya bukanlah dosa. Artinya, keturunan Adam tidak dengan benar berpatungan menanggung kesalahan dosa Adam, dan tidak dengan benar dapat dikatakan bahwa mereka menanggung hukuman atas dosa itu. Yang paling mungkin dapat dikatakan, menurut kaum Arminian, adalah bahwa anak cucu Adam menderita dampak dari dosa Adam. Kalau seseorang tidak bersalah, tentu tidak adil kalau ia mendapat hukuman mati. Karena anak-anak kecil, yang belum melakukan dosa (anak-anak yang mati dalam kandungan, atau anak-anak kecil yang tidak tahu membedakan tangan kanan dari tangan kiri) pun mati, maka ternyata hanya ada satu kesimpulan saja, yaitu bahwa mereka pun berpatungan menanggung upah dosa karena mereka berpatungan menanggung dosa yang pertama. Telah kita dengar bahwa kaum Arminian menggambarkan ajaran mengenai dosa warisan sebagai sesuatu yang tidak adil. Tidak mungkin Allah menganggap seorang bersalah, kecuali jika orang itu sendiri telah berbuat dosa. Dengan demikian mereka mengganti ajaran Kitab Suci dengan ajaran mereka sendiri. Tetapi ajaran itu sebenarnya masih lebih kurang adil. Karena mereka mengajarkan bahwa anak cucu Adam yang tidak bersalah, menderita dampak dosa Adam. Pandangan itu bertentangan dengan ayat Kitab Suci, yang mereka gunakan untuk menolak pandangan orang-orang Reformasi, yaitu Yehezkiel 18:2-4: Ada apa dengan kamu, sehingga kamu mengucapkan kata sindiran ini di tanah Israel: Ayah-ayah makan buah mentah dan gigi anak-anaknya menjadi ngilu? Demi Aku yang hidup, demikianlah firman Tuhan ALLAH, kamu tidak akan mengucapkan kata sindiran ini lagi di Israel. Dan orang yang berbuat dosa, itu yang harus mati.
Anak-anak yang berada dalam pembuangan mengeluh bahwa menderita hukuman atas dosa yang dilakukan orang tua mereka. Melalui mulut Yehezkiel Allah membantah pikiran itu: Dia tidak akan menghukum anak-anak yang tidak bersalah karena dosa orang tua mereka. Jadi, justru ayat yang digunakan kaum Arminian untuk menguatkan pendirian mereka, membuktikan bahwa pendirian itu salah. Jika ada orang yang merasa berat untuk menerima bahwa kesalahan dan hukuman karena dosa yang dilakukan Adam diperhitungkan kepada anak cucunya, sebaiknya ia memikirkan sisi sebaliknya dari ajaran ini, yaitu bahwa kesalahan dan hukuman karena dosa yang kita buat diperhitungkan kepada Kristus, dan bahwa kebenaran Kristus diperhitungkan kepada kita. Mungkin saja dengan gampang dan senang hati kita menerima ajaran bahwa dosa kita diperhitungkan kepada Kristus, sedangkan jauh lebih berat untuk menerima ajaran bahwa dosa Adam diperhitungkan kepada kita. Namun, dalam semuanya ini, patutlah dengan rendah hati kita menerima bahwa jalan Allah bukanlah jalan kita, dan bahwa rancangan Allah bukanlah rancangan kita. Untunglah! Karena jalan Allah jauh lebih tinggi daripada jalan kita, dan rancangan-Nya jauh lebih bijaksana daripada rancangan kita (bdk. Yes. 55:9).
1. Pertahankanlah ajaran mengenai dosa turunan dalam terang Yehezkiel 18:20. Buktikan ajaran ini berdasarkan Kitab Suci!
2. Dua hal mana yang anak cucu Adam turut berpatungan? Apakah ada pengecualian? Jika ada, siapakah yang diterima, dan apa alasannya?
3. Apa yang diajarkan oleh Pelagius mengenai dosa warisan? Menurut Pelagius, bagaimana dosa menyebar kepada seluruh keturunan Adam?
4. Apa yang diajarkan kaum Arminian mengenai dosa warisan?
Kesimpulan apa yang ditarik mereka dari ajaran ini?
5. Menurut kaum Arminian, apa yang diderita keturunan Adam sebagai akibat dari dosa Adam? Mengapa ajaran keliru ini tidak adil?- Apa sebenarnya maksud Kitab Suci yang menyatakan bahwa Allah membalaskan kesalahan ayah kepada anak-anaknya, kepada keturunan yang ketiga dan keempat (Kel. 20:5, bdk. Kel. 34:7, Bil. 14:18, Ul. 5:9, Yer. 32:18).
Oleh karena itu, semua orang dikandung dalam dosa dan murka Allah sudah berada pada mereka saat mereka lahir. Mereka tidak sanggup berbuat kebaikan apa pun demi keselamatannya, tetapi mereka cenderung pada kejahatan, mereka mati di tengah dosa, dan menjadi hamba dosa. Mereka tidak mau dan tidak sanggup kembali kepada Allah dan membenahi kodrat mereka yang bejat ataupun menyiapkan diri untuk pembenahannya, tanpa karunia Roh Kudus yang melahirkan kembali. (Ef. 2:1, 3; Yoh. 8:34; Rm. 6:16-17; Yoh. 3:3-6; Tit. 3:5)
Uraian PAD mengenai keadaan manusia yang telah jatuh ke dalam dosa sebenarnya tidak membutuhkan penjelasan. Yang diperlukan adalah pembuktiannya, sebab ajaran ini sangat menyakitkan rasa harga diri kita, dan sangat sulit untuk dapat kita terima. Karena sadar akan hal itu, PAD hanya menggemakan Kitab Suci. Bahwa kita dikandung dan dilahirkan dalam dosa, menjadi jelas dari keluh-kesah Raja Daud: Sebab aku sendiri sadar akan pelanggaranku, aku senantiasa bergumul dengan dosaku. Sesungguhnya, dalam kesalahan aku diperanakkan, dalam dosa aku dikandung ibuku (Mzm. 51: 5,7).
Bahwa kita tidak sanggup berbuat apa pun yang baik, nyata dari apa yang dikatakan oleh Nabi Yesaya: Demikianlah kami sekalian seperti seorang najis dan segala kesalehan kami seperti kain kotor ( Yes. 64:6). Kristus berkata, Tinggallah di dalam Aku dan Aku di dalam kamu. Sama seperti ranting tidak dapat berbuah dari dirinya sendiri, kalau ia tidak tinggal pada pokok anggur, demikian juga kamu tidak berbuah, jikalau kamu tidak tinggal di dalam Aku. Akulah pokok anggur dan kamulah ranting-rantingnya. Barangsiapa tinggal di dalam Aku dan Aku di dalam dia, ia berbuah banyak, sebab di luar Aku kamu tidak dapat berbuat apa-apa ( Yoh. 15:4-5). Rasul Paulus menulis, tidak ada yang berbuat baik, seorang pun tidak (Rm. 3:12). Mengenai kecenderungan kita pada yang jahat, Kitab Suci tegas: dilihat TUHAN, bahwa kejahatan manusia besar di bumi dan bahwa segala kecenderungan hatinya selalu membuahkan kejahatan semata-mata (Kej. 6:5). Ada lagi: Betapa liciknya hati, lebih licik daripada segala sesuatu, hatinya sudah membatu: siapakah yang dapat mengetahuinya? ( Yer. 17:9). Bahwa kita dilahirkan sebagai orang yang harus dimurkai dan yang mati dalam dosa, nyata dari apa yang ditulis Rasul Paulus: Pada dasarnya kami adalah orang-orang yang harus dimurkai, sama seperti mereka yang lain (Ef. 2:3b). Dalam suratnya kepada jemaat di Roma, Paulus dengan jelas menguraikan bahwa kita diperhambakan pada dosa: Tetapi syukurlah kepada Allah! Dahulu memang kamu hamba dosa, tetapi sekarang kamu dengan segenap hati telah menaati pengajaran yang telah diteruskan kepadamu. Kamu telah dimerdekakan dari dosa dan menjadi hamba kebenaran (Rm. 6:17-18). Kalau bukan karena anugerah Roh Kudus yang melahirkan kita kembali, maka kita sebenarnya tidak ingin dan tidak sanggup untuk kembali kepada Allah. Kristus berkata, Tidak ada seorang pun yang dapat datang kepada-Ku, jikalau ia tidak ditarik oleh Bapa yang mengutus Aku ( Yoh. 6:44). Rasul Paulus berkata, tidak ada seorang pun yang mencari Allah (Rm. 3:11). Dan di tempat lain dia mengatakan, tidak ada seorang pun yang dapat mengaku: Yesus adalah Tuhan, selain oleh Roh Kudus (1Kor. 12:3).
Bahwa kita tidak sanggup membenahi kodrat kita, menjadi jelas dari apa yang ditulis Paulus dalam Efesus 2 dan Roma 6 (telah dikutip di atas). Kita telah mati di dalam dosa kita. Tidak mungkin kita dapat menyembuhkan diri kita dari kerusakan kita, sama seperti seorang yang telah mati tidak mungkin dapat menyembuhkan dirinya dari kesakitan yang mematikannya. Selain itu kita adalah hamba dosa. Kita terikat dalam perhambaan dosa, dan tidak sanggup melepaskan diri. Hanya Kristus yang dapat melepaskan kita. Bahkan kita juga tidak sanggup menyiapkan diri kita untuk pembenahan kodrat kita yang buruk. Kita tidak sanggup membuka hati kita dan menerima anugerah-Nya, karena hati kita benar-benar buruk (bdk. Yer. 17:9). Tidak pernah timbul pikiran atau keinginan yang baik dalam hati kita (bdk. Kej. 6:5). Tidak seorang pun akan mencari anugerah kelahiran kembali (bdk. Rm. 3:11). Penguraian ini sangat bertentangan dengan apa yang diajarkan oleh kaum Arminian, seperti dijelaskan dalam Penolakan III/IV, 4:
Ajaran Keliru | Manusia yang tidak dilahirkan kembali, sebenarnya tidak mati dalam dosa dalam arti yang sebenarnya dan secara menyeluruh. Pun ia tidak kehilangan sama sekali kekuatan untuk berbuat baik dalam arti rohani. Sebaliknya, ia masih dapat lapar dan haus akan kebenaran dan kehidupan serta mempersembahkan korban hati yang patah dan remuk, yang berkenan kepada Allah. |
Penolakannya | Hal-hal ini bertentangan dengan kesaksian-kesaksian Alkitab yang jelas, Kamu dahulu sudah mati karena pelanggaran-pelanggaran dan dosa-dosamu (Ef. 2:1.5). Dan, Segala kecenderungan hatinya selalu membuahkan kejahatan semata-mata (Kej. 6:5, 8:21). Lagi pula, hanya pada mereka yang dilahirkan kembali dan yang disebut berbahagialah terdapat lapar dan haus akan kelepasan dari sengsara dan akan kehidupan, dan hanya merekalah yang mempersembahkan korban hati yang patah kepada Allah (Mat. 5:6 dan Mzm. 51:19). |
Pada kedua pasal sebelumnya telah diuraikan pandangan kaum Arminian mengenai akibat dosa Adam pada umat manusia. Menurut mereka, kehendak hati manusia telah menjadi bingung, namun hatinya sendiri tidak rusak; akal budi manusia sudah tidak mengetahui lagi mana yang baik dan yang jahat, namun akal budinya sendiri tidak rusak. Dari pandangan mengenai keadaan manusia ini, mereka menyimpulkan bahwa manusia masih tetap sanggup memilih untuk berbuat baik, jika ditunjukkan kepadanya apa yang baik. Jika manusia mendapat pendidikan mengenai apa yang baik, ia sendiri sanggup memilih untuk berbuat baik. Ia sanggup lapar dan haus akan kebenaran, menurut kaum Arminian, dan sungguh-sungguh sanggup menghendaki melakukan apa yang dikehendaki Allah. Selain itu, jika ia menerima pendidikan mengenai apa yang jahat dan apa yang baik, dia sendiri sanggup menolak yang jahat dan melakukan yang baik. Menurut mereka, manusia sanggup berdukacita atas dosanya, dan dapat belajar membenci dosa jika dijelaskan kepadanya apa yang jahat. Kalau kita mempelajari ayat-ayat Kitab Suci yang disinggung dalam pasal ini, kita memperoleh gambaran yang lain mengenai kesanggupan manusia. Menurut Kitab Suci, hanya orang yang hati, akal budi, dan kehendaknya telah dilahirkan kembali oleh Roh Kudus, akan lapar dan haus akan kebenaran, dan mempersembahkan jiwa yang hancur dan hati yang patah serta remuk karena dosanya. Dari semuanya ini, PAD dengan tepat menyimpulkan bahwa manusia yang telah jatuh ke dalam dosa tidak sanggup lagi berbuat kebaikan apa pun demi keselamatannya. Memang jelas bahwa manusia masih tetap bisa melakukan perbuatan-perbuatan yang dapat dihargai sebagai kebaikan sipil. Manusia masih sanggup menunjukkan kasih dan kemurahan hati, seperti dikatakan Kristus, Apabila kamu mengasihi orang yang mengasihi kamu, apakah upahmu? Bukankah pemungut cukai juga berbuat demikian? (Mat. 5:46).
Orang yang tidak percaya dapat memberi sumbangan kepada program bantuan internasional ataupun memberi derma untuk bantuan sosial di lingkungannya sendiri. Mungkin ia mendukung kerja Palang Merah, atau melakukan kerja sukarela dalam salah satu program pelayanan masyarakat. Mungkin saja ia menjadi anggota masyarakat yang patuh pada hukum. Tetapi meskipun ia dapat melakukan semua kebaikan sipil semacam itu, ia tidak sanggup melakukan kebaikan apa pun demi keselamatannya. Manusia dari dirinya sendiri tidak sanggup melalukan sesuatu yang sungguh-sungguh berkenan kepada Allah sehingga memperoleh anugerah-Nya. Katekismus Heidelberg, p/j 91, menguraikan persyaratan yang harus dipenuhi agar pekerjaan manusia dapat disebut perbuatan baik. Persyaratan itu adalah sebagai berikut:
1. SUMBER perbuatan baik. Kitab Suci mengatakan: Tanpa iman tidak mungkin orang berkenan kepada Allah (Ibr. 11:6). Allah tidak melihat perbuatan yang di depan mata, tetapi melihat sumbernya dalam hati manusia. Hanya perbuatan yang timbul dari kasih dan rasa terima kasih dari hati yang percaya akan dianggap sebagai perbuatan baik. 2. NORMA perbuatan baik. Hanya perbuatan yang seturut dengan hukum Taurat Allah dianggap perbuatan baik. Tetapi manusia dari dirinya sendiri tidak sanggup memenuhi hukum Allah. Kebaikan sipil yang dilakukannya tidak dikuduskan di dalam Kristus, sehingga tidak berkenan kepada Allah. 3. TUJUAN perbuatan baik. Perbuatan baik harus dilakukan untuk me-mu liakan Allah. Ada bermacam-macam alasan yang dapat mendo rong seseorang yang tidak percaya untuk melakukan kebaikan; tetapi ia tidak akan pernah melakukannya untuk memuliakan Allah. Manusia yang telah jatuh ke dalam dosa cenderung melakukan hal yang jahat saja. Hal itu tidak berarti bahwa manusia betul-betul melakukan segala kejahatan itu. Dilihat dari pandangan manusia, ia tidak melakukan segala kejahatan yang ia mampu lakukan, karena takut akan akibat yang dapat timbul dari perbuatannya. Misalnya, seseorang yang ingin mencuri, mungkin saja tidak akan melakukan hal itu karena takut dihukum kalau tertangkap. Dilihat dari sudut Allah, dalam karunia-Nya Allah mengendalikan manusia yang jahat itu agar ia tidak ikut kecenderungannya untuk melakukan segala kejahatan yang timbul dalam hatinya. Dengan demikian Allah mempertahankan ketertiban dan kesopanan tertentu di dunia. Allah melakukan hal itu untuk melindungi gereja dan agar pemberitaan Injil dapat berlangsung terus, supaya Injil dapat diberitakan di muka umum, dan orang-orang pilihan akan dikumpulkan ke dalam jemaat orang yang ditebus.
1. Jelaskan apa yang dimaksud dengan ungkapan-ungkapan yang berikut:
1. Jika benar bahwa manusia yang telah jatuh ke dalam dosa, dari dirinya sendiri tidak sanggup lagi bertobat dan menerima Injil dengan percaya, apa sebabnya Kitab Suci memanggil manusia agar bertobat dan percaya? Bukankah panggilan itu mensyaratkan adanya kesanggupan untuk memenuhi panggilan itu?
2. Apa sebabnya bahwa ajaran mengenai keburukan sebagian dan kesanggupan sebagian merupakan bagian yang agak penting dalam keseruhuan ajaran kaum Arminian? Ajaran-ajaran apa lagi yang mereka kemukakan berdasarkan pandangan mereka mengenai keburukan sebagian?
Memang, setelah manusia jatuh, masih tinggal di dalamnya sisa terang kodrati. Berkat terang itu, ia tetap memiliki pengetahuan sedikit tentang Allah, tentang alam dunia, tentang perbedaan antara apa yang bersusila dan yang aib, dan tampak berupaya seadanya untuk mengejar kebajikan serta ketertiban lahiriah. Akan tetapi, jangankan oleh terang kodrati itu memperoleh pengenalan yang menyelamatkan tentang Allah dan menjadi sanggup bertobat kepada-Nya, menggunakan terang itu dengan tepat dalam kehi-dupan sehari-hari dan dalam urusan-urusan kemasyarakatan pun manusia tidak bisa. Bahkan, ia mengaburkan terang itu– bagaimanapun juga sifat terang ini–dengan berbagai cara dan menindasnya dalam kelaliman. Karena ia berbuat begitu, maka ia sama sekali tidak dapat lagi berdalih di hadapan Allah. (Rm. 1:19-20; Rm. 2:14-15; Rm. 1:18, 20)
Pada pasal-pasal sebelumnya, kami telah membahas keburukan total manusia. Oleh dosanya di Taman Firdaus, manusia telah menimbulkan kebutaan, kegelapan yang mengerikan, pertimbangan yang bebal dan jahat dalam akal budinya (III/IV, 1) dalam kehidupannya. Tetapi keburukan total akal budi manusia tidak berarti bahwa manusia sama sekali tidak tahu lagi mengenai Allah atau mengenai yang baik dan yang jahat. Allah telah meninggalkan jejak dalam ciptaan-Nya yang memberi kesaksian mengenai kekuataan-Nya dan keilahian-Nya, sehingga manusia yang telah jatuh ke dalam dosa tahu bahwa ada Allah. Manusia yang telah jatuh ke dalam dosa juga tahu untuk sebagian, mengenai perbedaan antara yang baik dan yang jahat, antara yang benar dan yang salah. Tetapi bukankah hal ini justru membantah ajaran mengenai keburukan total? Bukankah ini mendukung ajaran kaum Arminian mengenai keburukan sebagian? Apakah PAD menulis seperti itu? Sebagai jawaban dalam urutan yang terbalik, perlu dikatakan bahwa PAD hanya menggemakan apa yang tertulis dalam Kitab Suci, dan hal itu tidak membenarkan ajaran kaum Arminian mengenai keburukan sebagian, dan juga tidak bertentangan dengan ajaran mengenai keburukan total. Bacalah apa yang dikatakan Rasul Paulus dalam Roma 1 dan Kisah Para Rasul 14:
Sebab murka Allah dinyatakan dari surga atas segala kefasikan dan kelaliman manusia, yang menindas kebenaran dengan kelaliman. Karena apa yang dapat mereka ketahui tentang Allah nyata bagi mereka, sebab Allah telah menyatakannya kepada mereka. Sebab sifat-sifat-Nya yang tidak tampak dan dipahami dari karya-Nya sejak dunia diciptakan, sehingga mereka tidak dapat berdalih. Sebab sekalipun mereka mengenal Allah, mereka tidak memuliakan Dia sebagai Allah atau mengucap syukur kepada-Nya. Sebaliknya pikiran mereka menjadi sia-sia dan hati mereka yang bodoh menjadi gelap. Mereka berbuat seolah-olah mereka penuh hikmat, tetapi mereka telah menjadi bodoh (Rm. 1:18-22). Dalam zaman yang lampau Allah membiarkan semua bangsa menuruti jalannya masing-masing, namun Ia bukan tidak menyatakan diri-Nya dengan berbagai-bagai kebajikan, yaitu dengan menurunkan hujan dari langit dan dengan memberikan musim-musim subur bagi kamu. Ia memuaskan hatimu dengan makanan dan kegembiraan (Kis. 14:16-17).
Penciptaan memberi kesaksian mengenai kekuatan Allah dan keilahian-Nya. Berdasarkan kesaksian itu, manusia yang telah jatuh ke dalam dosa memiliki pengetahuan tertentu mengenai Allah. Pengetahuan itu disebut terang kodrati dalam PAD. Ternyata PAD merasa sangat sulit untuk menguraikan apa terang kodrati itu sebenarnya, sehingga akhirnya mereka menambahkan, bagaimanapun juga sifat terang ini. Terang itu dapat dibandingkan dengan jejak kaki dalam pasir di pantai. Orang yang melihat jejak kaki itu akan tahu bahwa ada orang yang baru saja lewat, dan dari bentuk jejak kaki itu mungkin mereka dapat menyimpulkan seperti apa orang itu, apakah ia seorang dewasa atau anak kecil, apakah ia gemuk atau kurus. Demikian juga Allah telah meninggalkan jejak kaki-Nya dalam dunia ini, dan dari jejak itu manusia dapat mengenal kekuatan-Nya dan keilahan-Nya. Itu sebabnya manusia adalah makhluk yang beragama. Orang yang tidak pernah mendengar pemberitaan Injil pun percaya akan adanya suatu makhluk atau kekuatan yang tertinggi. Tetapi, kesaksian ini tidak memungkinkan manusia memperoleh pengenalan yang menyelamatkan mengenai Allah. Pikirannya telah buruk total karena dosa, sehingga ia tidak dapat memperoleh pengetahuan yang benar dan yang menyelamatkan mengenai Allah melalui terang kodrati ini. Sebaliknya! Rasul Paulus mengatakan bahwa walaupun manusia mengenal Allah, ia mendiamkan pengetahuan itu. Ia membenci Allah. Ia tidak mau mengakui Allah sebagai Allah. Ia memadamkan terang kodrati itu sehingga pikirannya makin gelap. Jadi, meskipun ada terang kodrati, manusia tetap cenderung pada yang jahat saja. Ia tidak sanggup melakukan apa pun yang dapat menyelamatkannya. Apa sebabnya Allah meninggalkan jejak dalam penciptaan-Nya bagi manusia? Alasan-Nya agar semua orang akan bertanggung jawab kepada-Nya, bukan saja atas dosa yang mereka perbuat dalam persekutuan dengan Adam, tetapi juga atas dosa yang mereka sendiri perbuat. Tidak mungkin manusia menghadap takhta pengadilan Allah dengan mengatakan, Aku tidak pernah tahu Engkau ada! Engkau tidak pernah menampakkan diri-Mu kepadaku! Allah telah meninggalkan jejak yang memberi kesaksian mengenai diri-Nya kepada manusia, sehingga manusia tidak dapat berdalih (bdk. Rm. 1:20).
Kaum Arminian berpandangan lain mengenai terang kodrati, seperti dijelaskan dalam Penolakan III/IV, 5:
Ajaran Keliru | Anugerah umum (yang menurut mereka adalah terang kodrati) atau karunia-karunia yang masih tinggal sesudah kejatuhan manusia, dapat digunakan manusia yang sudah rusak dan yang kodrati itu dengan begitu tepat, sehingga oleh penggunaannya yang baik itu lama-kelamaan dan selangkah demi selangkah dapat diperolehnya karunia yang lebih besar, yaitu karunia Injili atau yang menyelamatkan, bahkan keselamatan itu sendiri. Dengan cara itu Allah dari pihak-Nya memperlihatkan kesediaan-Nya untuk menyatakan Kristus kepada semua orang, karena Dia memang menyajikan dengan secukupnya dan ampuh sarana-sarana yang dibutuhkan untuk penyataan Kristus dan untuk iman serta pertobatan. |
Penolakannya | Selain pengalaman segala zaman, Alkitab juga bersaksi bahwa ajaran ini tidak benar, Dia memberitakan firman-Nya kepada Yakub, ketetapan-ketetapan-Nya dan hukum-hukum-Nya kepada Israel. Dia tidak berbuat demikian kepada segala bangsa, dan hukum-hukum-Nya tidak mereka kenal (Mzm. 147:19-20). Dalam zaman yang lampau Allah membiarkan semua bangsa menuruti jalannya masing-masing (Kis. 14:16). Dan, Roh Kudus mencegah mereka (yaitu Paulus dan rekan-rekannya) untuk memberitakan Injil di Asia. Dan setibanya di Misia, mereka mencoba masuk ke daerah Bitinia tetapi Roh Yesus tidak mengizinkan mereka (Kis. 16:6-7). |
Pada Bab II PAD, telah kita pelajari bahwa kaum Arminian menyangkal bahwa karya penebusan Kristus adalah terbatas. Dalam Penolakan II, 6 tertulis, Sejauh hal itu bergantung kepada Allah, Dia telah berkehendak mengaruniakan secara sama rata kepada semua orang anugerah-anugerah yang telah diperoleh oleh kematian Kristus. Menurut kaum Arminian, semua orang memiliki kesempatan dan kesanggupan untuk diselamatkan. Tetapi Kitab Suci mengajarkan bahwa tidak seorang pun dapat memperoleh iman yang menyelamatkan kecuali melalui pekabaran Injil. Bagaimana mereka dapat percaya kepada Dia, jika mereka tidak mendengar tentang Dia? (Rm. 10:14). Dan karena tidak semua orang pernah mendengar Injil, bagaimana mungkin kaum Arminian dapat mempertahankan bahwa semua orang mempunyai kesempatan dan kesanggupan untuk diselamatkan?
Untuk mengatasi persoalan itu, kaum Arminian menganggap bahwa Alkitab bukan sesuatu yang mutlak diperlukan manusia untuk menja di percaya. Menurut mereka, manusia dapat menjadi percaya dan diselamat-kan tanpa pernah mendengar Injil. Itulah maksud kekeliruan mereka yang diuraikan di atas. Manusia dapat menjadi percaya melalui dua sarana, yaitu (1) melalui terang kodrati, yang mereka sebut anugerah umum, dan (2) karunia-karunia yang masih tinggal padanya sesudah Adam jatuh ke dalam dosa. Kita sudah mempelajari pandangan kaum Arminian mengenai kea-daan bangsa manusia sesudah Adam jatuh ke dalam dosa. Dalam Peno-lakan III/IV, 4 mereka menyatakan mengenai hal itu, bahwa ia tidak kehilangan sama sekali kekuatan untuk berbuat baik dalam arti rohani. Sebaliknya, ia masih dapat lapar dan haus akan kebenaran dan kehidupan serta mempersembahkan kurban hati yang patah dan remuk, yang berkenan kepada Allah.67 Menurut mereka, dengan memanfaatkan terang kodrati dan karunia-karunia yang masih tinggal padanya, manusia dapat memperoleh iman yang menyelamatkan. Sebagai kesimpulan, kaum Arminian mengatakan, bahwa melalui terang kodrati Allah memperlihatkan kesediaan-Nya untuk menyatakan diri-Nya kepada semua orang. Dan melalui terang kodrati semua orang sanggup memperoleh iman dan keselamatan, karena mereka masih memiliki beberapa dari karunia-karunia yang diberikan kepada manusia pada saat manusia diciptakan.68
Telah kami jelaskan bahwa terang kodrati adalah jejak yang ditinggalkan Allah di dalam penciptaan sebagai kesaksian mengenai keberadaan-Nya. Dengan keliru, kaum Arminian mengartikannya sebagai anugerah umum. 67 Bdk. pembahasan pada hal. 179
Memang benar bahwa terang kodrati secara umum diketahui oleh semua orang. Tetapi tidak tepat untuk menyebutkannya sebagai anugerah. Karena (bertentangan dengan apa yang diajarkan oleh kaum Arminian) terang kodrati tidak memungkinkan manusia untuk memperoleh iman sehingga ia ikut menerima anugerah Allah. Terang kodrati tidak memberikan pengetahuan yang cukup mengenai Allah untuk diselamatkan. Sebabnya, karena jejak yang ditinggalkan Allah di dalam penciptaan-Nya tidak cukup untuk menyelamatkan manusia; terang kodrati tidak mengingatkan manusia akan dosanya, dan tidak juga memberitakan mengenai kedatangan Juru Selamat. Tidak cukupnya terang kodrati untuk memberi keselamatan kepada manusia juga disebabkan karena akal budi manusia yang tidak sempurna dan hatinya yang buruk. Alih-alih memanfaatkan terang kodrati untuk mengakui keberadaan Allah, manusia memadamkannya dan menyangkal keberadaan Allah yang disaksikan oleh terang itu. Itu sebabnya terang kodrati tidak mencukupi untuk memungkinkan manusia memperoleh iman yang menyelamatkan. PAD akan membahas hal ini lebih dalam dalam pasal III/IV, 6. Seperti telah diakui PAD dalam pasal I, 3, iman tidak akan lahir kecuali melalui pemberitaan Injil saja. Hal itu jelas dari apa yang dikatakan Paulus: Tetapi bagaimana mereka dapat berseru kepada-Nya, jika mereka tidak percaya kepada Dia? Bagaimana mereka dapat percaya kepada Dia, jika mereka tidak mendengar tentang Dia. Bagaimana mereka mendengar tentang Dia, jika tidak ada yang memberitakan-Nya? Dan bagaimana mereka dapat memberitakan-Nya, jika mereka tidak diutus? Jadi, iman timbul dari pendengaran, dan pendengaran oleh firman Kristus (Rm. 10:14-17).
Karena kaum Arminian keliru dalam ajaran mereka, yang menyatakan bahwa terang kodrati mencukupi untuk manusia memperoleh iman, mereka juga salah jika mereka mengatakan bahwa Allah bersedia menyatakan diri-Nya kepada semua orang supaya mereka memperoleh iman. Karena iman timbul dari pendengaran pemberitaan Injil, tetapi tidak semua orang mendengar pemberitaan Injil itu.
1. Apakah ajaran mengenai keburukan total manusia berarti bahwa manusia sama sekali tidak memiliki pengetahuan mengenai keberadaan dan keilahian Allah, dan juga tidak memiliki pengetahuan sama sekali mengenai yang baik dan yang jahat? Jelaskan jawaban Anda dalam terang Roma 1:18-22 dan Kisah Para Rasul 14:16!
2. Apa yang manusia dapatkan dari kesaksian yang diberikan penciptaan mengenai keberadaan Allah? Dan apa yang manusia tidak dapatkan dari kesaksian itu?
3. Apa sebabnya Allah meninggalkan jejak-Nya dalam ciptaan-Nya? Sebagai akibatnya, apa yang tidak dapat manusia katakan?
4. Apa pemahaman kaum Arminian mengenai terang kodrati?
5. Soal apa yang kaum Arminian harap dapat pecahkan dengan pemahaman mereka mengenai terang kodrati?
6. Mengapa terang kodrati tidak cukup mencapai apa yang menjadi tujuannya menurut kaum Arminian?
7. Melalui sarana apa pengetahuan yang benar dan yang menyelamatkan mengenai Allah (yaitu iman) diberikan kepada manusia? Buktikan hal ini berdasarkan Kitab Suci!
- Ajaran mengenai anugerah umum pernah dan kadang-kadang masih diterima dalam sejarah Gereja Reformasi, khususnya melalui pengajaran Abraham Kuyper. Apa yang dapat Anda temukan mengenai ajaran itu? Apakah ajaran itu sesuai dengan Kitab Suci?
Apa yang berlaku terhadap terang kodrati itu, juga berlaku dalam hubungan ini terhadap hukum Kesepuluh Perintah yang diberikan Allah melalui Musa khususnya kepada orang Yahudi. Sebab hukum itu memang menyingkapkan kebesaran dosa dan makin lama makin meyakinkan manusia akan kesalahannya, tetapi tidak menunjukkan obat penawarnya dan juga tidak memberikan kekuatan untuk luput dari sengsara itu. Karena hukum itu telah menjadi tidak berdaya oleh daging, dan membiarkan pelanggarnya tetap berada di bawah kutuk, maka tidak mungkin manusia memperoleh rahmat yang menyelamatkan melalui hukum itu. (Rm. 3:19-20; Rm. 7:10, 13; Rm. 8:3; 2Kor. 3:6-7)
Hukum Taurat Allah mencerminkan kebajikan, kualitas, dan karya Allah. Artinya, Allah telah menetapkan Hukum-Nya berdasarkan identitas-Nya. Dari Kesepuluh Perintah, perintah pertama, Jangan ada padamu allah lain di hadapan-Ku mencerminkan ketunggalan Allah–Dialah satu-satunya Allah. Perintah kedua, Jangan membuat bagimu patung yang menyerupai apa pun ... menunjukkan bahwa Allah menolak untuk digerakkan. Perintah ketiga Jangan menyebut nama TUHAN, Allahmu dengan sembarangan mencerminkan keagungan Allah. Perintah keempat, Ingatlah dan kuduskanlah hari Sabat maka jangan melakukan sesuatu pekerjaan
mencerminkan pola kerja Allah ketika Dia menciptakan langit dan bumi Sebab enam hari lamanya TUHAN menjadikan langit dan bumi, laut dan segala isinya, dan Dia berhenti pada hari ketujuh . Perintah kelima, Hormatilah ayahmu dan ibumu ... mencerminkan kedaulatan Allah. Perintah keenam, Jangan membunuh mencerminkan kasih Allah. Perintah ketujuh, Jangan berzinah mencerminkan kesetiaan Allah dalam perjanjian-Nya. Perintah kedelapan, Jangan mencuri mencerminkan Allah sebagai Sumber dan Pemberi segala berkat yang memberikan kepada setiap orang sesuai dengan kebutuhannya. Perintah kesembilan, Jangan mengucapkan saksi dusta ... mencerminkan kebenaran Allah. Perintah kesepuluh, Jangan mengingini ... mencerminkan kesempurnaan Allah yang menuntut manusia agar sempurna juga, baik dalam perbuatannya maupun dalam keinginan hatinya. Karena hukum Taurat merupakan cerminan Allah, dan karena manusia diciptakan menurut gambar dan rupa Allah agar manusia mencerminkan Alah, kita dapat menyimpulkan bahwa manusia diciptakan dengan hukum Allah yang tertulis dalam hatinya. Manusia diciptakan dalam kebenaran, karena ia mengenal hukum Allah dan ia mampu menaatinya. Karena ia jatuh ke dalam dosa, hati manusia menjadi buruk. Meskipun ia masih tetap memiliki sedikit pengetahuan tentang yang baik dan yang jahat, tentang yang benar dan yang salah, hukum Allah tidak lagi tertulis dalam hatinya. Karena itu, manusia tidak lagi ingin mematuhi hukum Allah, tetapi sebaliknya, mengeraskan hatinya dalam ketidaktaatan. Sesuai dengan rencana-Nya untuk menebus manusia, karena kemurahan-Nya yang besar, Allah kembali menyatakan hukum-Nya kepada manusia. Meskipun Alkitab tidak menceritakan bahwa hukum Allah dinyatakan kepada Abraham, Ishak, dan Yakub, kita boleh yakin bahwa mereka mengenal kehendak Allah. Pertama kali kita mendengar mengenai Allah yang menyatakan hukum-Nya, waktu Dia memberikannya di Gunung Sinai, dan menuliskannya pada loh batu.69
Tujuan hukum Allah sering disalahpahami, baik oleh orang Israel maupun oleh orang lain di segala zaman. Orang mengira bahwa hukum Taurat dapat menjadi jalan untuk memperoleh jasa, untuk memperoleh keselamatan. Memang benar bahwa Allah berfirman, Sesungguhnya kamu harus berpegang pada ketetapan-Ku dan peraturan-Ku. Orang yang melakukannya, akan hidup karenanya; Akulah TUHAN (Im. 18:5). Kehidupan akan diberikan kepada orang yang taat dengan sempurna kepada hukum Allah akan memperoleh kebenaran. Tetapi tujuan hukum Allah bukan supaya manusia berusaha mendapatkan kehidupan dengan taat pada hukum Allah. Seluruh Kitab Suci membuktikan bahwa manusia tidak mampu menaati hukum Allah, dan tidak mampu memperoleh kehidupan yang kekal. Jika demikian, apa sebenarnya tujuan hukum Allah? Tujuan yang pertama adalah untuk mengungkap dosa dan kesalahan manusia. Dari manakah Saudara mengetahui sengsara Saudara? Dari hukum Taurat Allah (KH, p/j 3). Seperti dikatakan oleh Paulus, justru oleh Hukum Taurat aku telah mengenal dosa. Karena aku juga tidak tahu apa itu keinginan, kalau Hukum Taurat tidak mengatakan: Jangan mengingini! (Rm. 7:7). Di tempat lain, Paulus menulis, Sebab tidak seorang pun yang dapat dibenarkan di hadapan Allah oleh karena melakukan Hukum Taurat, karena justru oleh Hukum Taurat orang mengenal dosa (Rm. 3:20). Pengenalan akan dosanya dan keburukan hatinya, yang ditimbulkan oleh hukum Allah, harus membujuk manusia supaya mencari keselamatan di luar dirinya sendiri, yaitu di dalam Yesus Kristus. Itulah tujuan utama hukum Allah. Kristus datang atas nama orang pilihan, dan mempersembahkan ketaatan yang dituntut Allah dari mereka. Oleh kebenaran-Nya (ketaatan-Nya yang sempurna kepada hukum Allah), Kristus memperoleh hidup yang kekal bagi orang pilihan. Mereka menerima kehidupan itu karena iman dalam Yesus Kristus. Orang pilihan tidak diselamatkan berdasarkan ketaatan mereka sendiri, entah seluruhnya atau sebagian saja, melainkan berdasarkan ketaatan Kristus. Tetapi kaum Arminian menyangkal semuanya itu. Mereka tidak percaya bahwa manusia sama sekali tidak mampu lagi untuk mematuhi hukum Allah. Menurut mereka, meskipun manusia tidak mampu mematuhi hukum Allah dengan sempurna, ia masih dapat menunjukkan ketaatan sedikit.
Setelah jatuh ke dalam dosa, manusia masih tetap memiliki kemampuan untuk melakukan cukup kebaikan agar memperoleh kemurahan Allah. Dalam pembahasan mengenai dampak kejatuhan manusia ke dalam dosa70 kita telah mempelajari bahwa kaum Arminian menggambarkan keburukan manusia sebagai kegelapan akal budi dan ketidaktetapan perasaan. Menurut mereka, akal budi manusia bukan buruk, hanya tidak mengetahui lagi yang baik dan yang jahat. Akal budi manusia tidak mengenal kebenaran lagi. Jika kebenaran ditunjukkan kepada manusia, demikian ujar kaum Arminian, manusia dengan mudah dapat memahami dan menerimanya. Demikian pula halnya dengan hati manusia. Hati manusia tidak buruk, hanya bingung. Seluruh perasaannya kacau. Manusia tidak tahu lagi perasaan mana yang baik dan yang mana jahat. Tetapi jika ditunjukkan kepadanya apa yang baik dan apa yang jahat, menurut kaum Arminian, manusia mampu bertobat dan meninggalkan kejahatan, selain itu, menghendaki berbuat baik bahkan benar-benar melakukan sebagian yang baik. Pada Sinode Dordrecht, orang Arminian memaparkan bahwa dengan menggunakan Hukum Taurat dan menerima pendidikan saleh, manusia dapat mempersiapkan dan memberikan diri untuk menjadi percaya.71
Kemudian, dalam Penjelasan Pendapat (1621) mereka menulis,
Agar manusia dapat mempersembahkan ketaatan dengan gembira dan patuh dan dari dirinya sendiri, maka Allah memberlakukan hukum yang diberikan-Nya kepada manusia dengan janji-janji dan ancaman-ancaman.72
Kaum Arminian memandang hukum Taurat sebagai alat yang dapat digunakan manusia untuk bertobat dan diselamatkan. Melalui hukum Taurat, akal budinya mendapat penerangan agar mengetahui kebenaran, dan segala keinginan serta kehendaknya diluruskan kembali. M. Meijering menulis: Kaum Arminian mengajarkan bahwa manusia mampu melakukan hal-hal yang diperintahkan dalam Hukum Taurat dan yang menyenangkan hati Allah. Kalau ia melakukan hal-hal itu yang diperintahkan Allah dalam hukum Taurat, ketaatannya menjadi jalan yang secara berangsur-angsur menghidupkannya secara rohani. Ketaatan manusia mendorong
Allah untuk mengaruniakan anugerah yang lebih besar lagi. Kaum Arminian berpendapat bahwa ketaatan manusia untuk melakukan apa yang diperintahkan Allah dalam Firman-Nya merupakan jalan yang membangunkan kelahiran kembali. Berarti, menurut kaum Arminian, awalnya kelahiran kembali dan kehidupan baru adalah pekerjaan yang dituntut Allah sendiri dari manusia, dan yang diselesaikan melalui kerja sama manusia.73
Kaum Arminian berpendapat bahwa manusia mampu menerima dan menaati hukum Allah, walaupun hanya untuk sebagian saja. Hukum Taurat memperkenalkan dosa kepada manusia, dan manusia sungguh-sungguh mampu menyesali dosanya dan menjadi haus akan kebenaran yang ditunjukkan kepadanya dalam hukum itu. Semuanya itu, yang manusia lakukan karena kehendaknya yang bebas, mempersiapkannya untuk menerima karunia keselamatan.74
Tetapi pandangan kaum Arminian ini bertentangan dengan ajaran Kitab Suci, bahwa keburukan manusia sudah begitu parah sehingga mereka tidak lagi mampu melakukan kebaikan, juga jika kebaikan itu ditunjukkan kepadanya. Meskipun Allah dalam hukum-Nya memberitahukan apa yang baik dan benar, manusia tidak mau dan tidak dapat melakukannya. Hukum Taurat tidak dapat membuat manusia berbalik dari jalannya untuk bertobat dan menjadi taat. Sebab apa yang tidak mungkin dilakukan hukum Taurat karena tak berdaya oleh daging, telah dilakukan oleh Allah (Rm. 8:3). Hukum Taurat tidak dapat meremukkan kekuasaan dosa dalam manusia dan memampukannya untuk melaksanakan apa yang dituntut hukum itu (bdk. Rm. 8:4). Memang benar, seperti yang telah kita lihat, bahwa hukum Taurat membuat manusia menyadari dosa. Hukum Taurat membongkar dosa kita dan menghukum kita yang bersalah. Tetapi hukum Taurat tidak dapat membuat kita menjadi taat. Justru sebaliknya! Rasul Paulus berkata, Tetapi dalam perintah itu dosa mendapat kesempatan untuk membangkitkan di dalam diriku rupa-rupa keinginan; sebab tanpa hukum Taurat dosa mati (Rm. 7:8). 73 M. Meijering, De Dordtse Leerregels, hal. 177, yang mengacu kepada penilaian panitia di Sinode Dodrecht.
Hukum Taurat tidak mendorong manusia berdosa untuk menyesali dosanya, dan juga tidak membuat manusia menjadi taat. Rasul Paulus dengan tepat mengatakan sebaliknya: hukum Taurat mendorong manusia berdosa itu lebih berdosa lagi dan tidak taat. Hukum Taurat berdampak seperti papan loncat. Seperti papan locat yang menambah ketinggian loncatan seorang atlet, demikian juga hukum Taurat menambah ketidaktaatan kita alih-alih menguranginya. Keinginan-keinginan manusia untuk berbuat dosa, dibangunkan oleh hukum Taurat. Sebagai dampak hukum Taurat, dosa menjadi jauh lebih berat lagi. Pertimbangkanlah apa yang dikatakan Paulus:
Sebab waktu kita masih hidup di dalam daging, hawa nafsu dosa, yang dirangsang oleh hukum Taurat, bekerja dalam anggota-anggota tubuh kita, agar kita berbuah bagi maut. Tetapi sekarang kita telah dibebaskan dari hukum Taurat, sebab kita telah mati bagi dia, yang mengurung kita, sehingga kita sekarang melayani dalam keadaan baru menurut Roh dan bukan dalam keadaan lama menurut huruf hukum Taurat. Jika demikian, apakah yang hendak kita katakan? Apakah hukum Taurat itu dosa? Sekali-kali tidak! Sebaliknya, justru oleh hukum Taurat aku telah mengenal dosa. Karena aku juga tidak tahu apa itu keinginan, kalau hukum Taurat tidak mengatakan: Jangan mengingini! Tetapi dalam perintah itu, dosa mendapat kesempatan untuk membangkitkan di dalam diriku rupa-rupa keinginan; sebab tanpa hukum Taurat dosa mati. Dahulu aku hidup tanpa hukum Taurat. Akan tetapi sesudah datang perintah itu, dosa mulai hidup, sebaliknya aku mati. Dan perintah yang seharusnya membawa kepada hidup, ternyata bagiku justru membawa kepada kematian. Sebab dalam perintah itu, dosa mendapat kesempatan untuk menipu aku dan oleh perintah itu ia membunuh aku. Jadi hukum Taurat adalah kudus, dan perintah itu juga adalah kudus, benar dan baik. Jika demikian, adakah yang baik itu menjadi kematian bagiku? Sekali-kali tidak! Tetapi supaya nyata, bahwa ia adalah dosa, maka dosa mempergunakan yang baik untuk mendatangkan kematian bagiku, supaya oleh perintah itu dosa lebih nyata lagi keadaannya sebagai dosa (Rm. 7:5-13).
Kalau demikian, bagaimana kita harus memahami apa yang tertulis dalam Mazmur 19:7-8? Taurat TUHAN itu sempurna, menyegarkan jiwa; peraturan TUHAN itu teguh, memberikan hikmat kepada orang yang tak berpengalaman. Titah TUHAN itu tepat, menyukakan hati; perintah TUHAN itu murni, membuat mata bercahaya. Mazmur ini mengatakan bahwa Taurat berpengaruh positif sekali kepada manusia.
Kata Taurat dalam Mazmur 19 dan Roma 7 dipakai dalam arti yang berbeda. Dalam Perjanjian Lama, istilah Taurat sering mengacu pada keseluruhan kelima kitab Musa (Kejadian, Keluaran, Imamat, Bilangan, Ulangan), seperti kadang-kadang juga demikian halnya di Perjanjian Baru (a.l. Mat. 5:17, 7:12). Isi kelima kitab ini bukan hanya perintah-perintah dan tuntutan-tuntutan, tetapi juga karunia perjanjian Allah mengenai pengampunan dosa, yang digambarkan oleh persembahan-persembahan dan aturan-aturan yang memberi kesaksian mengenai Kristus (bdk. Yoh. 5:39). Artinya, istilah Taurat sering kali termasuk Injil mengenai anugerah Allah. Dalam Mazmur pujian, hal ini jelas bahwa kata Taurat dipakai dalam arti yang luas. Pemazmur berbicara mengenai Taurat dari sudut pandang seorang yang sudah dilahirkan kembali dan percaya, artinya dari sudut pandang seorang yang hidup dalam anugerah Allah. Walaupun benar bahwa Taurat menyadarkan akan dosa, dengan penuh percaya Si Pemazmur menyambut pengampunan dosa yang diungkapkan dalam (taurat). Selain itu, sebagai orang yang percaya ia mengaku bahwa taat kepada hukum Allah adalah sumber kehidupan yang penuh berkat. Karena ia sudah menerima karunia iman, maka ia dapat bersukacita melihat bahwa hukum berdampak manjur dan akan terus demikian dalam kehidupannya. Tetapi ada ayat-ayat dalam Perjanjian Baru, yang di dalamnya istilah Taurat dipakai dalam arti yang berbeda dengan arti yang biasa kita temukan dalam Perjanjian Lama. Ada bagian yang di dalamnya Taurat dibandingkan dengan iman bahkan berlawanan dengannya, khususnya tentang melakukan hukum Taurat (untuk memperoleh keselamatan) dibandingkan dengan kebenaran berdasarkan iman (bdk. Rm. 3:28, 4:14, Gal. 2:15, Flp. 3:19). Dalam ayat-ayat itu, Paulus menentang orang Yahudi yang menolak keburukan manusia, dan yang percaya bahwa mereka sendiri mampu untuk mematuhi hukum taurat Allah, dan bahwa dengan ketaatan itu mereka dapat memperoleh kebenaran yang dituntut Allah. Orang Yahudi itu mengunakan hukum Taurat sebagai alat untuk memperoleh keselamatan di luar anugerah, dan berusaha memperoleh kebenaran dengan melakukan hukum Taurat alih-alih mencarinya dalam iman dalam anugerah Allah. Itulah arti istilah Taurat yang dipakai Paulus dalam Roma 7. Di luar Roh Allah, dan di luar iman yang menyambut anugerah Allah, hukum Taurat tidak dapat menyelamatkan manusia yang berdosa. Sebab itu kaum Arminian telah melakukan kesalahan dengan mengatakan bahwa hukum Taurat mempersiapkan dan menentukan manusia yang berdosa untuk bertobat dan percaya.
1. Apa yang kita maksudkan dengan mengatakan bahwa di Taman Firdaus hukum Allah dituliskan-Nya dalam hati manusia? Apa yang kemudian terjadi terhadap hukum Allah dalam hati manusia setelah manusia jatuh ke dalam dosa?
2. Dalam cara seperti apa manusia telah salah memahami tujuan hukum Allah?
3. Apa tujuan pertama Allah memberikan hukum-Nya kepada manusia setelah manusia jatuh ke dalam dosa? Dan apa tujuan utamanya?
4. Menurut kaum Arminian:
- Kini ada orang Kristen (khususnya orang dispensasionalis) yang percaya bahwa hukum Taurat termasuk masa lampau Perjanjian Lama, sedangkan Injil termasuk masa kini, Perjanjian Baru. Bagi mereka,
Injil adalah satu-satunya jalan menuju keselamatan, dan orang Kristen tidak perlu lagi memikirkan apa yang dituntut oleh Allah dalam hukum Taurat. Bantahlah pendapat ini, dan tunjukkan bagaimana Roh menggunakan hukum Taurat untuk membuat manusia menjadi percaya dan diselamatkan.
Maka apa yang tidak mungkin dilakukan oleh terang kodrati dan hukum Taurat, itulah yang dikerjakan Allah oleh kuasa Roh Kudus dan oleh Firman atau pelayanan pendamaian, yakni Injil Mesias. Allah telah berkenan menyelamatkan orang percaya baik pada zaman Perjanjian Lama maupun pada zaman Perjanjian Baru oleh Injil itu. (2Kor. 5:18-19; 1Kor. 1:21)
Dalam pasal 4, PAD telah menjelaskan bahwa terang kodrati tidak cukup bagi manusia untuk memperoleh pengenalan yang menyelamatkan tentang Allah dan menjadi sanggup bertobat kepada-Nya. Dalam pasal 5, PAD telah menunjukkan bahwa tidak mungkin manusia memperoleh rahmat yang menyelamatkan melalui hukum Taurat. Jika demikian, bagaimana caranya agar manusia bisa memperoleh pengenalan yang menyelamatkan tentang Allah? Bagaimana kita memperoleh rahmat yang menyelamatkan? Pertanyaan itu menjadi pokok dari pasal 6.
Judul pasal ini, yang memang tidak tertulis dalam naskah semula, menyatakan bahwa manusia memperoleh pengenalan yang menyelamatkan tentang Allah dan rahmat yang menyelamatkan melalui pemberitaan Injil. Pernyataan itu tentu sesuai dengan Kitab Suci. Paulus menjelaskan: Tetapi bagaimana orang dapat berseru kepada Dia yang mereka belum percayai? Bagaimana orang dapat percaya kepada Dia yang belum pernah mereka dengar? Bagaimana orang mendengar tentang Dia, jika tidak ada yang memberitakan-Nya? Jadi, iman timbul dari apa yang didengar, dan apa yang didengar itu berasal dari pemberitaan tentang Kristus (Rm. 10:14, 17). Tidak seorang pun menjadi percaya kecuali jika ia mendengar pemberitaan Injil Kristus. Tetapi benarkah manusia dapat memperoleh iman dan rahmat yang menyelamatkan melulu melalui pemberitaan? Apakah benar bahwa manusia sendiri mampu menerima apa yang ditawarkan Allah dalam Injil? Apakah iman merupakan hasil usaha manusia sendiri? Tentu tidak! Iman adalah pemberian Allah (bdk. Ef. 2:8). Melalui pemberitaan Injil, Kristus memanggil: Marilah kepada-Ku. Tidak seorang pun dari dirinya sendiri mampu menerima undangan Kristus itu dan datang kepada-Nya dengan percaya. Ia Perlu ditarik kepada Kristus oleh Bapa di surga (bdk. Yoh. 6:44). Apakah Injil atau pemberitaan Injil mempunyai kekuatan yang dapat memungkinkan manusia untuk mengambil rahmat yang dijanjikan di dalamnya menjadi miliknya sendiri? Ada beberapa ayat mengenai firman Allah (yang berisi Injil) yang mendukung pikiran itu. Misalnya, dalam Yesaya, tertulis: Sebab seperti hujan dan salju turun dari langit dan tidak kembali ke situ, melainkan mengairi bumi, membuatnya subur dan menumbuhkan tumbuh-tumbuhan, memberikan benih kepada penabur dan roti kepada orang yang mau makan, demikianlah firman-Ku yang keluar dari mulut-Ku: ia tidak akan kembali kepada-Ku dengan sia-sia, tetapi ia akan melaksanakan apa yang Kukehendaki, dan akan berhasil dalam apa yang Kusuruhkan kepadanya ( Yes. 55:10-11). Dan dalam surat Ibrani: Sebab firman Allah hidup dan kuat dan lebih tajam dari pada pedang bermata dua mana pun; ia menusuk amat dalam sampai memisahkan jiwa dan roh, sendi-sendi dan sumsum; ia sanggup membedakan pertimbangan dan pikiran hati kita (Ibr. 4:12). Tetapi kekuatan Injil sebenarnya bukan kekuatannya sendiri, tetapi kekuatan Roh Kudus. Dahulu kala, Roh Kudus menuntun para penulis Alkitab untuk membukukan Injil, dan sekarang Dia menggunakannya sebagai alat untuk mengerjakan iman dan melahirkan kembali manusia. Firman Allah dibandingkan dengan pedang, yang kekuatannya ada di tangan, Dia yang memegangnya. Dan terimalah ketopong keselamatan dan pedang Roh, yaitu firman Allah (Ef. 6:17). Sebab Injil yang kami beritakan bukan disampaikan kepada kamu dengan kata-kata saja, tetapi juga dengan kekuatan oleh Roh Kudus dan dengan suatu kepastian yang kokoh (1Tes. 1:5). Tidak seorang pun dapat mengaku dan berkata bahwa Yesus adalah Tuhan, kecuali oleh Roh Kudus (bdk. 1Kor. 12:3). Itu sebabnya kami sebenarnya lebih suka judul pasal ini juga merujuk ke perlunya Roh Kudus: Perlunya pemberitaan Injil dan Roh Kudus. Firman itu sendiri tidak dapat membuat orang menjadi percaya dan membuatnya beroleh bagian dalam Kristus dan segala anugerah-Nya. Iman datang dari Roh Kudus, yang bekerja menciptakan iman itu dalam hati kita melalui pemberitaan Injil yang kudus (KH, p/j 65). Penting untuk menekankan peran Roh Kudus dalam hal ini. Roh Kuduslah yang mengerjakan iman, dan membuatnya beroleh bagian dalam anugerah Allah. Kaum Arminian menyangkal peran Roh Kudus itu. Menurut mereka iman adalah tindakan manusia sendiri, bukan sesuatu yang dikerjakan Roh Kudus. Mereka percaya bahwa manusia yang telah jatuh ke dalam dosa, masih tetap mampu untuk menerima Injil dengan percaya tanpa pertolongan Roh Kudus (Pembahasan lebih dalam mengenai pokok ini dalam bab III/IV pasal 14). Pasal ini ditutup dengan pernyataan bahwa oleh kekuatan Roh Kudus melalui Firman pendamaian, Allah telah berkenan menyelamatkan orang percaya baik pada zaman Perjanjian Lama maupun pada zaman Perjanjian Baru oleh Injil itu. PAD menekankan kesatuan Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, berkenaan dengan peran iman untuk memperoleh keselamatan. Dengan demikian PAD mencegah pandangan yang sering muncul, bahwa pada masa Perjanjian Lama orang memperoleh keselamatan sebagai ganjaran berdasarkan perbuatan-perbuatan baik (perjanjian hukum), sedangkan pada masa Perjanjian Baru keselamatan diperoleh melalui iman (perjanjian anugerah).
Pandangan itu tidak benar. Sebab janji kepada Abraham dan keturunannya bahwa ia akan memiliki dunia, bukan berdasarkan hukum Taurat melainkan berdasarkan pembenaran melalui iman (Rm. 4:13). Hukum Taurat dan iman, dua-duanya termasuk Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru. Sejak manusia jatuh ke dalam dosa, sampai pada hari ini, manusia mengenal dosanya dan kelemahannya oleh hukum Taurat.
Hukum Taurat mendorong kita untuk mencari pelunasan dosa dan kebenaran Kristus melalui iman. Oleh karena itu, baik dalam Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru, cara manusia beroleh rahmat yang menyelamatkan tetap sama, yaitu iman, yang melalui pemberitaan Injil diciptakan Roh Kudus dalam hati orang yang terpilih.
1. Melalui cara apa manusia tidak bisa menjadi percaya? Melalui cara apa manusia bisa menjadi percaya? Buktikan jawaban Anda berdasarkan Kitab Suci!
2. Apakah Injil (atau pemberitaan Injil) cukup untuk membuat manusia menjadi percaya? Apa yang perlu lagi? Mengapa? Buktikan hal ini berdasarkan Kitab Suci!
3. Di mana letak kekuatan firman Allah yang dilukiskan dalam Yesaya 55:10-11 dan dalam Ibrani 4:12? Buktikan jawaban Anda berdasarkan Kitab Suci!
4. Apa pandangan kaum Arminian berkaitan dengan kemampuan manusia untuk menjadi percaya?
5. Bagaimana orang kudus dalam Perjanjian Lama beroleh rahmat yang menyelamatkan? Apa pandangan banyak orang mengenai cara untuk memperoleh keselamatan pada zaman itu? Bagaimana pada zaman Perjanjian Baru?
Rahasia kehendak-Nya itu telah disingkapkan Allah kepada sejumlah kecil orang pada zaman Perjanjian Lama. Sebaliknya, pada zaman Perjanjian Baru (setelah perbedaan antara bangsa-bangsa ditiadakan) Allah telah menyatakannya kepada lebih banyak orang. Sebab perbedaan ini janganlah dicari dalam hal ini, bahwa bangsa yang satu lebih layak ataupun memanfaatkan terang kodrati dengan lebih baik dibandingkan bangsa lain, tetapi dalam perkenan Allah yang berdaulat dan dalam kasih-Nya yang diberikan dengan cuma-cuma. Itulah sebabnya maka mereka yang dianugerahi karunia yang sedemikian besar–walaupun mereka sama sekali tidak layak menerimanya, bahkan berlawanan dengan semua yang patut mereka terima–harus mengakui karunia itu dengan rendah hati dan penuh syukur. Tetapi dalam hal orang-orang lain, yang tidak dianugerahi karunia itu, haruslah mereka bersama Sang Rasul menyembah kekerasan dan keadilan hukuman-hukuman Allah, dan sekali-kali tidak mengusut hukuman-hukuman itu. (Ef. 1:19; Ef. 2:14; Kol. 3:11; Rm. 2:11; Mat. 11:26; Rm. 11:22-23; Why. 16:7; Ul. 29:29 )
Tidak dapat disangkal bahwa Injil tidak pernah dinyatakan kepada semua orang. Demikianlah pengalaman. Pada awal abad ke-20, Pekabaran Injil tumbuh dengan subur dan Injil diberitahukan kepada sejumlah besar orang yang belum pernah mendengarnya. Sekarang ini jumlah bangsa yang belum mendengar pemberitaan Injil dalam bentuk apa pun, kecil sekali. Banyak orang menerima pengetahuan Injil hanya dangkal saja. Hanya sedikit saja orang yang menerima ajaran kebenaran yang mendalam.
Apa sebabnya Injil diberitakan hanya kepada sejumlah orang saja, sedangkan yang lain tidak menerimanya? Kitab Suci mengajarkan bahwa semuanya itu tergantung pada Allah. Ia memberitakan firman-Nya kepada Yakub, ketetapan-ketetapan-Nya dan hukum-hukum-Nya kepada Israel. Ia tidak berbuat demikian kepada segala bangsa, dan hukum-hukum-Nya tidak mereka kenal (Mzm. 147:19-20). Paulus berkata kepada orang di Listra (yang bukan Yahudi), Dalam zaman yang lampau Allah membiarkan semua bangsa menuruti jalannya masing-masing (Kis.14:16). Allah mencegah Paulus untuk memberitakan Injil di beberapa tempat: Mereka melintasi tanah Frigia dan tanah Galatia, karena Roh Kudus mencegah mereka untuk memberitakan Injil di Asia. Dan setibanya di Misia mereka mencoba masuk ke daerah Bitinia, tetapi Roh Yesus tidak mengizinkan mereka (Kis.16:6-7). Allah sendirilah yang menentukan tempat di mana Injil akan diberitakan dan di mana tidak. Apa sebenarnya yg menjadi alasan bagi Allah menentukan hal itu?
Apakah Dia menentukannya berdasarkan sesuatu yang baik di dalam orang-orang tertentu yang membuat mereka lebih layak untuk menerima Injil dibandingkan dengan orang lain? Demikianlah memang pendapat kaum Arminian. Meskipun kami sebenarnya telah mengutip pendapat kaum Arminian pada pembahasan Bab I, pasal 3, kami mengutipnya sekali lagi karena pentingnya pendapat mereka berkaitan dengan pasal ini. Di dalam Penolakan I, 9 tertulis:
Ajaran Keliru | Alasan yang menyebabkan Allah mengalamatkan Injil kepada bangsa yang satu dan bukan kepada bangsa yang lain, bukan hanya perkenan Allah semata-mata, melainkan karena bangsa yang satu lebih baik dan lebih layak daripada bangsa lain, yang tidak mendapat bagian dalam Injil. |
Penolakannya | Hal ini disangkal Musa, waktu ia berkata kepada bangsa Israel demikian, Sesungguhnya, TUHAN, Allahmulah yang empunya langit, bahkan langit yang mengatasi segala langit, dan bumi dengan segala isinya; tetapi hanya oleh nenek moyangmulah hati TUHAN terpikat, sehingga Dia mengasihi mereka, dan keturunan merekalah, yakni kamu, yang dipilih-Nya dari segala bangsa, seperti sekarang ini. (Ul. 10:14-15). Dan Kristus berkata, Celakalah engkau, Khorazim! Celakalah engkau Betsaida! Karena jika di Tirus dan Sidon terjadi mukjizat-mukjizat yang telah terjadi di tengah-tengah kamu, sudah lama mereka bertobat dan berkabung (Mat. 11:21). |
Salah seorang dari kaum Arminian pernah berusaha menguatkan ajaran ini dengan merujuk pada Kisah 18:10, yang di dalamnya tertulis bahwa Paulus disuruh untuk memberitakan Injil di kota Korintus, sebab demikianlah kata Allah kepada Rasul Paulus, banyak umat-Ku di kota ini. Orang Arminian itu menulis: orang itu menerima Injil, karena mereka sebelumnya sudah takut akan Allah dan beribadah kepada-Nya dengan segenap hati, sesuai dengan tingkat pengetahuan mengenai Allah yang telah mereka miliki, dan dengan demikian mereka siap menerima pemberitaan Injil oleh Paulus.75 Tetapi sebenarnya keterangan itu bersifat spekulasi saja, karena tidak tertulis bahwa orang di Korintus sudah memiliki pengetahuan mengenai Allah, atau bahwa mereka sudah takut akan Allah dan beribadat kepada-Nya dengan segenap hati. Apa yang tertulis dalam Kisah 18:10 harus kita mengerti dalam terang pemilihan: Allah telah memilih banyak orang di Korintus. Sebab itu, Rasul Paulus disuruh memberitakan Injil di kota itu agar orang yang terpilih akan menjadi percaya. Dalam keterangan yang diberikan untuk menolak ajaran sesat itu, PAD mengingatkan bahwa bangsa Israel tidak lebih layak menerima anugerah
Allah dibandingkan dengan segala bangsa lain. Keputusan Allah untuk memilih bangsa Israel tidak berdasarkan kebaikan atau keunggulan Israel, tetapi hanya berdasarkan kasih dan perkenan Allah (bdk. Ul. 10:14-15). Dalam Matius 11:21 Tuhan Yesus Kristus dengan terus terang menyatakan bahwa sebenarnya bangsa Israel bahkan kurang layak dibandingkan dengan bangsa-bangsa lain untuk menerima pemberitaan Injil. Meskipun mereka telah mendengar pemberitaan Kristus dan telah melihat mukjizat-mukjizat yang diperbuat-Nya, mereka malah mengeraskan hati untuk memberontak melawan-Nya. Tetapi Kristus mengatakan bahwa, jika Dia telah memberitakan Injil ke kota-kota bangsa-bangsa lain, seperti Tirus dan Sidon, tentu mereka bertobat dan berkabung. Artinya, jika hal itu berkaitan dengan kelayakan, maka sebenarnya bangsa Israel kurang layak untuk menerima Injil Kristus dibandingkan dengan kota-kota itu. Dengan demikian, pandangan kaum Arminian bahwa orang yang kepadanya Injil diberitakan sebenarnya lebih layak menerimanya, sudah dibuktikan salah. Kalau demikian, apa dasarnya bahwa Allah menyuruh memberitakan Injil kepada sebagian orang, sedangkan kepada yang lain tidak? Dasar keputusan Allah itu tidak tergantung kepada manusia, tetapi sepenuhnya bergantung kepada Allah sendiri. Keputusan Allah diambil semata-mata berdasarkan perkenan-Nya. Titik. Habis. Manusia hanya bisa diam dan menerima apa yang diputuskan Allah. Kita manusia selalu mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang timbul dalam hati kita. Akal budi kita yang rasional selalu menuntut keterangan yang masuk akal. Demikianlah sifat manusia! Tetapi PAD mengingatkan kita supaya jangan mengusut lebih dalam hal-hal yang tidak dinyatakan Allah kepada kita. Allah tidak menyatakan kepada kita segala sesuatu yang ingin kita ketahui. Allah hanya menyatakan hal-hal yang perlu kita ketahui demi keselamatan kita dan demi kepastian akan keselamatan itu. Kita harus puas dengan menerima pengetahuan yang begitu berharga itu. Bagaimana seharusnya sikap orang yang menerima pekabaran Injil? Mereka seharusnya menerima Injil dengan sikap rendah hati dan penuh ucapan syukur. Rendah hati, karena mereka tidak lebih layak menerima kabar yang baik itu dibandingkan dengan orang lain yang tidak menerimanya. Penuh ucapan syukur, karena Injil mengandung janji keselamatan, di samping itu karena Injil adalah alat yang dipakai Roh Kudus untuk mengerjakan iman di dalam diri kita sehingga kita menerima keselamatan. Bagaimana seharusnya sikap kita ketika kita mendengar bahwa orang lain tidak menerima pekabaran Injil? Mungkin saja kita cenderung menyangsikan kebaikan Allah, atau bahkan keadilan-Nya. Tetapi haruslah kita sadari bahwa Allah sama sekali tidak wajib menyatakan diri-Nya kepada siapa pun juga dari bangsa manusia yang telah jatuh ke dalam dosa dan yang dengan sengaja menenggelamkan dirinya ke dalam kegelapan ketidaktahuan. Allah sama sekali adil kalau Dia menyatakan diri-Nya kepada sejumlah orang, dan tidak kepada orang yang lain. Menurut keputusan-Nya yang adil, Allah menentukan bahwa sejumlah orang tetap tinggal dalam ketidaktahuan mereka. Sebenarnya patutlah kita memuji Allah karena keputusan-Nya itu, karena Dia benar dan adil dalam segala jalan-Nya. Demikianlah tanggapan Mazmur terhadap kenyataan bahwa Allah menyatakan firman-Nya kepada orang Israel: Ia memberitakan firman-Nya kepada Yakub, ketetapan-ketetapan-Nya dan hukum-hukum-Nya kepada Israel. Ia tidak berbuat demikian kepada segala bangsa, dan hukum-hukum-Nya tidak mereka kenal. Haleluya! (Mzm. 147:19-20). Bersama malaikat di Kitab Wahyu, selayaknyalah kita berkata, Ya Tuhan, Allah, Yang Maha Kuasa, benar dan adil segala penghakiman-Mu (Why. 16:7).
1. Apakah semua orang, sejak dari permulaan zaman, menerima Injil mengenai keselamatan? Siapakah yang menentukan siapa yang akan menerima pekabaran Injil dan siapa yang tidak? Buktikan hal ini berdasarkan Kitab Suci!
2. Menurut kaum Arminian, apa dasar keputusan mengenai ke mana Injil itu akan diberitakan dan ke mana tidak? Apakah Kisah Para Rasul 18:10 sesuai dengan pendapat mereka? Jelaskan alasannya!
3. Bagaimana Matius 11:21 membuktikan bahwa Injil tidak diberitakan kepada orang yang lebih layak menerimanya?
4. Apa yang menjadi dasar bagi Allah untuk menyuruh memberitakan Injil-Nya kepada sejumlah orang dan tidak kepada orang yang lain?
5. Bagaimana seharusnya sikap kita setelah menerima pemberitaan Injil? Mengapa?
6. Melihat bahwa Allah telah memutuskan untuk tidak menyuruh memberitakan Injil kepada orang lain, apa yang tidak boleh kita sangsikan? Mengapa?
7. Melihat bahwa Allah telah memutuskan untuk tidak menyuruh memberitakan Injil kepada orang lain, bagaimana seharusnya sikap kita? Mengapa?
- Telah kami tekankan bahwa Allah tidak mengirimkan Injil kepada salah satu bangsa dengan alasan bahwa bangsa itu lebih layak dibandingkan dengan bangsa-bangsa lain. Tetapi bagaimana sebaliknya? Apakah Allah bisa menarik kembali Injil dari gereja tertentu atau dari salah satu bangsa tertentu dengan alasan bahwa mereka tidak layak lagi?
Akan tetapi, semua orang yang dipanggil oleh Injil, dipanggil dengan sungguh-sungguh. Sebab dalam firman-Nya Allah memperlihatkan sungguh-sungguh dan dengan sebenarnya apa yang berkenan kepada-Nya, yaitu bahwa mereka yang dipanggil itu datang kepada-Nya. Dengan sungguh-sungguh juga, kepada semua orang yang datang kepada-Nya dan percaya dijanjikan-Nya kesentosaan jiwa dan hidup yang kekal. (Yes. 55:1; Mat. 22:4; Why. 22:17; Yoh. 6:37; Mat. 22:28, 29)
Jika seorang ibu menawarkan suatu traktasi kepada anaknya, tetapi meletakkan traktasi itu di tempat yang tinggi sehingga tidak dapat dijangkau oleh anaknya, bukankah ibu itu kejam? Ia menawarkan traktasi itu, tetapi ternyata tidak pernah bermaksud bahwa anaknya akan mendapatnya. Bukanlah lebih baik jika ia tidak pernah menawarkannya kepada anaknya, atau lebih baik lagi, jika ia meletakkannya di tempat yang dapat dijangkau oleh anaknya?
Jika Allah memanggil orang melalui pekabaran Injil dan menawarkan keselamatan kepadanya, dan menempatkan keselamatan itu di luar jangkauan orang itu sehingga ia tidak mungkin memperolehnya, bukankah itu kejam? Jika Allah menawarkan sesuatu kepada manusia padahal Dia tidak pernah bermaksud memberikan hal itu kepadanya, bukankah itu kejam? Siapa yang akan menanggapi janji-Nya itu dengan serius?
Cukup jelas amanat yang diberikan kepada gereja: Karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus (Mat. 28:19). Kaum Arminian menggunakan perintah ini untuk menolak ajaran mengenai Penebusan Terbatas dan mengenai Penolakan. Menurut mereka, jika memang penebusan itu terbatas pada orang yang terpilih, tentunya Allah adalah pengusik yang kejam jika Dia memerintahkan bahwa keselamatan ditawarkan kepada orang yang ditolak. Sebab dengan demikian Allah menawarkan kepada mereka sesuatu yang dengan sengaja ditempatkan-Nya di luar jangkauan mereka sehingga mereka tidak mungkin memperolehnya. Dengan mengikuti jalan pikiran itu, kaum Arminian mencoba memaksa kita untuk memilih salah satu dari pernyataan yang berikut:
Jika benar bahwa Allah selalu serius dan bersungguh-sungguh ketika melalui Injil Dia memanggil orang untuk menjadi percaya agar menerima keselamatan, maka pasti Allah sungguh-sungguh ingin supaya semua orang diselamatkan, dan tidak mungkin Dia akan menolak seorang pun.
ATAU
Jika benar bahwa Allah tidak ingin supaya semua orang yang mendengar pekabaran Injil akan diselamatkan dan bahwa Dia menolak sejumlah orang, tentu Allah tidak selalu serius dan bersungguh-sungguh ketika melalui Injil Dia memanggil orang untuk menjadi percaya agar menerima keselamatan.
Dilema yang diberikan oleh kaum Arminian tidak dapat diterima. Kedua pilihan ini tidak dapat diterima oleh orang-orang Reformasi karena bertentangan dengan Kitab Suci. Kitab Suci dengan jelas mengajarkan bahwa panggilan Injil itu sungguh-sungguh, dan bahwa Allah dengan sungguh-sungguh ingin agar orang mengacuhkan panggilan itu dan bertobat. Tetapi Kitab Suci sekaligus mengajarkan bahwa Allah menolak sejumlah orang. Sebab itu, PAD memberikan pilihan yang ketiga, yang sesuai dengan Kitab Suci:
Allah selalu serius dan bersungguh-sungguh ketika melalui Injil Dia memanggil orang untuk menjadi percaya agar diselamatkan. Meskipun demikian, Allah menolak sejumlah orang.
Sejumlah ayat Alkitab dengan jelas menyatakan bahwa panggilan Injil dengan bersungguh-sungguh ditawarkan kepada semua orang yang mendengar pekabarannya:
Katakanlah kepada mereka: Demi Aku yang hidup, demikianlah firman Tuhan ALLAH, Aku tidak berkenan kepada kematian orang fasik, melainkan Aku berkenan kepada pertobatan orang fasik itu dari kelakuannya supaya ia hidup. Bertobatlah, bertobatlah dari hidupmu yang jahat itu! Mengapakah kamu akan mati, hai kaum Israel? ( Yeh. 33:11; bdk. 18:23).
Tuhan tidak lalai menepati janji-Nya, sekalipun ada orang yang menganggapnya sebagai kelalaian, tetapi Ia sabar terhadap kamu, karena Ia menghendaki supaya jangan ada yang binasa, melainkan supaya semua orang berbalik dan bertobat (2Ptr. 3:9).
Jadi kami ini adalah utusan-utusan Kristus, seakan-akan Allah menasihati kamu dengan perantaraan kami; dalam nama Kristus kami meminta kepadamu: berilah dirimu didamaikan dengan Allah (2Kor. 5:20).
Yerusalem, Yerusalem, engkau yang membunuh nabi-nabi dan melempari dengan batu orang-orang yang diutus kepadamu! Berkali-kali Aku rindu mengumpulkan anak-anakmu, sama seperti induk ayam mengumpulkan anak-anaknya di bawah sayapnya, tetapi kamu tidak mau (Mat. 23:37).
Hal Kerajaan Surga seumpama seorang raja, yang meng-adakan perjamuan kawin untuk anaknya. Ia menyuruh hamba-hambanya memanggil orang-orang yang telah diun-dang ke perjamuan kawin itu, tetapi orang-orang itu tidak mau datang. Ia menyuruh lagi hamba-hamba lain, pesannya: Katakanlah kepada orang-orang yang diundang itu: Sesung-guhnya hidangan telah kusediakan, lembu-lembu jantan dan ternak piaraanku telah disembelih; semuanya telah tersedia, datanglah ke perjamuan kawin ini (Mat. 22:2-4). Membaca ayat-ayat itu, tidak mungkin lagi kita menyangkal bahwa Allah bersungguh-sungguh jika Dia memanggil orang untuk bertobat dan menjadi percaya, agar mereka diselamatkan! Tidak mungkin lagi untuk menyangkal bahwa Allah bersungguh-sungguh ingin agar semua orang menerima panggilan Injil dengan percaya!
PAD tidak hanya menyatakan bahwa panggilan Injil bersungguh-sungguh, tetapi juga menekankan bahwa janji Injil itu bersungguh-sungguh. Mereka yang menerima panggilan Injil dengan percaya, tidak akan kecewa. Kepercayaan mereka tidak akan percuma. Keselamatan dan hidup yang kekal yang dijanjikan Allah kepada mereka, tentu juga akan diberikan kepada mereka. Jiwa mereka akan sentosa. Hati nurani mereka yang buruk tidak lagi resah, karena mereka menerima kepastian bahwa dosa mereka telah diampuni. Mereka boleh yakin akan kemenangan mereka atas kuasa dosa dan maut. Kemenangan itu telah mereka nikmati sekarang ini untuk sebagian, tetapi dalam kehidupan nanti yang kekal mereka akan menikmatinya sepenuhnya. Kitab Suci sekaligus mengajarkan bahwa Allah dengan sengaja membiarkan sejumlah orang di dalam dosa dan kesengsaraan mereka. Dia memutuskan untuk tidak memberikan kepada mereka iman yang benar yang dapat menjadikan mereka pewaris keselamatan. Keterangan selanjutnya sebenarnya mengulangi pembicaraan pada I, 15 mengenai keputusan Allah mengenai penolakan. Penolakan sudah nyata dalam perjanjian semula. Allah telah membenci Esau, meskipun Esau belum melakukan dosa (bdk. Rm. 9:11-13). Esau tidak lahir dalam keadaan netral. Selain itu, ketika Allah mengadakan perjanjian-Nya dengan bangsa Israel, Dia melangkahi bangsa-bangsa lain (bdk. Ul. 10:15). Dia memutuskan untuk tidak menyatakan diri-Nya kepada mereka (bdk. Mzm. 147:20). Dia membiarkan bangsa-bangsa lain itu menuruti jalannya masing-masing, namun tidak membiarkan mereka tanpa tanda kekuatan-Nya dan kebaikan-Nya yang nyata dalam pemeliharaan-Nya (bdk. Kis. 14:16). Dan karena Allah tidak menyatakan diri-Nya kepada mereka, tidak mungkin mereka dapat menjadi percaya dan diselamatkan (bdk. Rm. 10:14-17). Dalam Perjanjian Baru, ajaran mengenai penolakan lebih nyata lagi.
Sebagai tambahan pada ayat-ayat yang dipakai PAD untuk membantah pandangan kaum Arminian yang menyangkal ajaran penolakan (bdk. Pasal 1 Ayat 15), kita dapat mengacu pada apa yang dikatakan Rasul Petrus mengenai orang yang tidak menerima Kristus: Karena itu bagi kamu, yang percaya, ia mahal, tetapi bagi mereka yang tidak percaya: Batu yang telah dibuang oleh tukang-tukang bangunan, telah menjadi batu penjuru, juga telah menjadi batu sentuhan dan suatu batu sandungan. Mereka tersandung padanya, karena mereka tidak taat kepada firman Allah; dan untuk itu mereka juga telah disediakan (1Ptr. 2:7-8).
Dalam Roma 9:21-23 tertulis bahwa Allah membuat benda-benda untuk kemurkaan. Artinya, ada orang yang lahir yang ditentukan untuk dibinasakan. Dengan demikian sudah jelas bahwa ajaran penolakan dengan gamblang dinyatakan dalam Kitab Suci. Sangat sulit, bahkan mustahil bagi pikiran kita untuk mempertemukan panggilan Injil yang sungguh-sungguh dengan keputusan penolakan dan ajaran mengenai penebusan terbatas. Kita mau bertanya: Jika memang Allah berkehendak agar semua orang yang dipanggil melalui Injil datang kepada-Nya dengan percaya, mengapa Dia tidak memberikan iman itu kepada mereka semua?
Siapa mampu memberikan jawaban yang memuaskan atas pertanyaan itu? Jika kita mencoba mencari jawaban yang rasional, pasti kita tidak akan melihat jalan keluar kecuali memilih antara dua kemungkinan, yaitu menyangkal kesungguhan penggilan Allah, atau menyangkal kebenaran ajaran mengenai penebusan terbatas. Ternyata dalam hal ini, sekali lagi kita terpanggil untuk menerimanya dengan percaya seperti seorang anak kecil. Ada satu hal yang harus selalu kita ingat, yaitu bahwa apa yang Allah ingini semua orang lakukan tidak sama dengan apa yang Dia hendak lakukan untuk semua orang. Allah ingin bahwa semua orang akan menerima panggilan Injil dengan percaya dan diselamatkan; tetapi Dia tidak mau memberikan iman kepada semua orang. Dia ingin semua orang datang kepada-Nya, tetapi Dia tidak mau mendatangkan semua orang kepada-Nya. Homer Hoeksema, seorang pengulas PAD, berpendapat bahwa PAD kurang tepat menyatakan bahwa Allah berjanji bahwa semua orang yang dipanggil oleh Injil akan menerima ketenangan jiwa dan hidup yang kekal kalau mereka datang kepada-Nya dan percaya. Menurut Hoeksema, janji itu tidak diberikan kepada semua orang yang dipanggil oleh Injil, tetapi hanya kepada orang yang terpilih. Memang benar bahwa pasal berikutnya (9) mengatakan bahwa Kristus ditawarkan oleh Injil, tetapi menurut Hoeksema, kata tawarkan dalam bahasa Latin berarti memperkenalkan, memperlihatkan. Menurutnya, janji hanya diberikan kepada orang yang terpilih, meskipun janji itu harus diperkenalkan atau diumumkan kepada semua orang yang mendengar pemberitaan Injil. Seorang pengulas lain, bernama Custance, menyetujui pandangan Hoeksema, dan mengatakan bahwa memberitakan Injil tidak seperti mengundang orang tetapi seperti membuat pengumuman.76
Dalam hal ini kami berbeda pendapat dengan Hoeksema. PAD menguraikan ajaran sesuai dengan Kitab Suci. Jika ada hal yang kurang jelas, itu bukan isi dalam pasal ini, melainkan ada dalam pikiran kita sendiri. Kita tidak mampu memahami sepenuhnya ajaran Kitab Suci mengenai Allah yang menawarkan keselamatan kepada semua orang yang dipanggil oleh Injil, dan menyesuaikannya dengan keputusan-Nya mengenai penolakan. Tidak tepat kalau Hoeksema mendasarkan pendapatnya atas arti terbatas kata bahasa Latin offero, karena kata itu juga berarti menawarkan, seperti jelas dari kamus bahasa Latin.
Kitab Suci menggambarkan panggilan Injil sebagai undangan seorang raja untuk menghadiri perjamuan kawin anaknya (Mat. 22). Kitab Suci memperkenalkan janji Injil sebagai undangan yang sungguh-sungguh: Ayo, hai semua orang yang haus, marilah dan minumlah air, dan hai orang yang tidak mempunyai uang, marilah! Terimalah gandum tanpa uang pembeli dan makanlah, juga anggur dan susu tanpa bayaran! ( Yes. 55:1). Dengan tepat PAD mengatakan bahwa janji itu diberikan kepada semua orang yang dipanggil. Dengan sungguh-sungguh Allah menjanjikan kesentosaan jiwa dan hidup yang kekal kepada semua orang yang datang kepada-Nya dan percaya. Mereka akan menerima apa yang dijanjikan-Nya hanya jika mereka percaya. Janji keselamatan bersyarat bagi orang percaya. Ucapan ini tidak memberikan dasar sama sekali pada pandangan Arminian. Dengan sungguh-sungguh Allah menawarkan janjinya kepada semua orang yang dipanggil oleh Injil, dan dengan sungguh-sungguh Dia ingin bahwa semua orang yang dipanggil akan menanggapi Injil dengan percaya, namun Dia tidak mengaruniakan iman kepada semua orang yang dipanggil. Sama seperti PAD, hal-hal yang tidak dapat kita mengerti karena terlalu besar dan dalam bagi pikiran kita, perlu kita terima dengan percaya seperti seorang anak kecil.
1. Apa yang dimaksud dengan ajaran mengenai Penebusan Terbatas? (bdk. hal.117).
2. Bagaimana kaum Arminian mencoba membantah ajaran mengenai Penebusan Terbatas dan Penolakan?
3. Dilema apa yang diberikan oleh kaum Arminian mengenai hubungan antara kesungguhan panggilan Injil dan ajaran mengenai Penebusan Terbatas dan Penolakan? Apa pilihan ketiga yang benar?
4. Kutiplah satu ayat Kitab Suci yang menurut Anda dengan jelas menggambarkan bahwa ajaran mengenai panggilan Injil yang sungguh-sungguh adalah benar. Kutiplah juga satu ayat lain yang menurut Anda dengan jelas menggambarkan bahwa ajaran mengenai keputusan penolakan adalah benar!
5. Apakah Anda dapat mempertemukan kedua ajaran yang tadi digambarkan? Jika Anda dapat, bagaimana? Jika tidak, kenapa tidak?
6. Jelaskan apa yang kita maksudkan ketika kita mengatakan bahwa Allah tidak melakukan bagi semua manusia apa yang Dia ingin semua manusia lakukan!
7. Apakah melalui Injil-Nya Allah memberikan undangan yangsungguh-sungguh kepada mereka yang mendengar Injil, atau apakah pemberitaan Injil hanya memperkenalkan kebenaran Injil itu kepada manusia? Buktikan jawaban Anda berdasarkan Kitab Suci!
8. Apa yang dijanjikan Allah dalam Injil? Kepada siapakah janji ini diberikan?
9. Apakah semua orang yang mendengar janji ini juga menerimanya? Jika ya, apa dasarnya? Jika tidak, mengapa?
1. Dalam misi atau pekabaran Injil, apakah benar jika kita mengatakan kepada para pendengar: Allah mengasihi kamu atau Allah ingin menyelamatkan kamu? Jelaskan jawaban Anda!
2. Bacalah Matius 11:25-30; apakah dalam ayat itu Anda temukan bukti mengenai keputusan penolakan Allah dan kesungguhan panggilan Injil?
Banyak orang yang dipanggil oleh pelayanan Injil tidak datang dan tidak ditobatkan. Kesalahannya tidak dapat ditimpakan kepada Injil, atau kepada Kristus yang ditawarkan oleh Injil, dan tidak juga kepada Allah, yang memanggil orang melalui Injil dan bahkan memberikan berbagai karunia kepada mereka yang dipanggil-Nya. Kesalahannya terletak dalam diri mereka; ada yang merasa aman dan tidak menerima Firman kehidupan itu; ada yang memang menerimanya, tetapi tidak mengizinkannya masuk ke dalam hatinya, dan oleh sebab itu mundur lagi setelah sebentar bersukacita dalam iman yang sementara itu; ada yang menghimpit benih Firman di antara semak duri kekuatiran dan keriaan dunia dan tidak menghasilkan buah. Hal ini diajarkan Juru Selamat kita dalam perumpamaan tentang benih. (Mat. 11:20-24; Mat. 22:1-8; Mat. 23:37)
Seperti nyata dari Kitab Suci maupun dari pengalaman kita, bukan semua orang yang mendengar pekabaran Injil menjadi percaya. Sering kali hal ini mengecewakan orang Kristen, terutama jika demikian halnya dengan orang yang dikasihi. Di samping itu, hal ini tidak dapat diduga, karena manusia mana yang tidak mau menerima ketenangan yang diberikan kalau ia telah ditebus sehingga tidak ada lagi penghukuman. Manusia mana yang mau menolak harapan akan hidup yang kekal dan janji akan sukacita abadi? Namun ada banyak orang yang tidak datang ketika mereka mendengar panggilan Injil. Mereka tidak menjadi percaya ketika mendengar pemberitaan Injil. Dalam pasal ini77 PAD menjelaskan apa sebabnya. Bahwa ada orang yang tidak menjadi percaya, bukan kesalahan Injil, bukan kesalahan Kristus, juga bukan kesalahan Allah, melainkan kesalahan orang itu sendiri. Bukan keSalaHan injil Bukan kesalahan Injil kalau orang yang mendengar panggilan Injil tidak menjadi percaya. Tidak seorang pun yang mendengar panggilan Injil namun tidak menerimanya dengan percaya, nanti pada hari penghakiman dapat datang di hadapan takhta Allah dan membela dirinya dengan alasan tidak tahu karena Injil terlalu sulit baginya untuk dapat mengerti isinya. Bahkan orang yang tidak cerdas dapat mengerti pesan Injil. Memang benar bahwa ada beberapa bagian yang sulit untuk dipahami sehingga perlu direnungkan dan dipelajari, namun inti Injil mengenai keselamatan yang kita terima oleh kurban Yesus Kristus di kayu salib adalah cukup jelas. Dalam 1 Korintus 2:14 Paulus mengatakan bahwa manusia duniawi tidak dapat memahami apa yang berasal dari Roh Allah (kebenaran Injil). Tetapi, ucapan itu tidak memaafkan orang yang tidak menjadi percaya, karena dengan jelas Paulus mengajarkan bahwa sebab orang tidak dapat memahami hal itu bukan karena Kitab Suci terlalu sulit, melainkan karena akal budi manusia tidak mampu lagi memahaminya. Karena dosa, Allah menyerahkan manusia kepada pikiran-pikiran yang terkutuk (Rm. 1:28). Pikiran mereka telah menjadi tumpul dan dibutakan oleh ilah zaman ini (bdk. 2Kor. 3:14, 4:4), sehingga mereka hidup dalam kesia-siaan pikiran mereka (Ef. 4:17). Pikiran mereka telah dikuasai oleh keinginan daging dan perseteruan terhadap Allah (bdk. Rm. 8:7, Kol. 1:21). 77 Pertanyaan ini sudah pernah dibahas pada I,5 dan II,6. Pembahasan ulang tuntuk pentingnya pokok ini berhubungan dengan pembahasan ajaran keburukan manusia.
Berarti, penyebab orang tidak menerima panggilan Injil dengan percaya bukan karena mereka tidak mengerti pesannya. Sebenarnya mereka mengerti dengan baik apa pesan Injil, tetapi mereka tidak mau menerimanya karena bagi mereka Injil adalah suatu kebodohan. Jika orang tidak menerima panggilan Injil, itu bukan kesalahan Injil melainkan kesalahan orang itu. Bukan keSalaHan juru SelaMat Bukan kesalahan Juru Selamat, yang dijanjikan di dalam Injil, jika ada orang yang kepadanya Injil diberitahukan tetapi tidak menerimanya dengan percaya. Kaum Arminian pernah berusaha menggunakan ajaran mengenai Penebusan Terbatas (ajaran bahwa Kristus tidak mati bagi semua orang, tetapi hanya bagi orang pilihan Allah) untuk menuduh kaum Reformasi menyangkal cukupnya kematian Kristus. Menurut mereka, orang-orang Reformasi mengajarkan bahwa nilai kematian Kristus tidak cukup untuk membayar dosa semua orang, hanya untuk membayar dosa sejumlah orang saja. Tetapi tuduhan ini adalah fitnah. Orang-orang Reformasi mengajarkan bahwa kematian Kristus tidak terbatas nilainya.78 Kematian-Nya lebih dari cukup untuk membayar dosa semua orang. Tidak seorang pun yang datang kepada-Nya dengan percaya akan kecewa; semua orang yang datang kepada-Nya dengan percaya akan menerima keselamatan yang berlimpah. Berarti, ada orang yang tidak menerima panggilan Injil dengan percaya, tetapi hal itu bukan kesalahan Juru Selamat, tetapi kesalahan orang yang tidak mau menerima Injil itu sendiri.
Bukan Kesalahan Allah Bukan kesalahan Allah jika ada orang yang dipanggil Allah melalui Injil tidak datang kepada-Nya dengan percaya. Kaum Arminian mengubah ajaran mengenai Penolakan menjadi tuduhan kepada Allah. Menurut mereka, jika Allah memanggil orang untuk menjadi percaya, tetapi menolak untuk mengaruniakan iman kepada mereka, maka Allah sendiri salah. Karena kalau itu terjadi, penyebab orang itu tidak menjadi percaya adalah
Allah yang tidak mau seseorang menjadi percaya. Jika Allah betul-betul mau orang itu menjadi percaya maka Dia tidak menolaknya. Demikianlah pandangan kaum Arminian.
Tetapi mereka keliru. Walaupun benar bahwa sejak kekal Allah telah memutuskan untuk tidak mengaruniakan kepada mereka iman yang menyelamatkan dan karunia pertobatan (bdk. I, 15), namun tidak sesuai dengan Kitab Suci jika kita menyimpulkan bahwa Allah adalah penyebab ketidakpercayaan mereka. Sebenarnya kekerasan hati dan kegelapan pikiran mereka sendiri yang menyebabkan mereka tidak menjadi percaya. Karena ketidaktaatan mereka yang disengaja sehingga mereka tidak mampu lagi untuk mejadi percaya. Keputusan Allah mengenai penolakan tidak membuat mereka tidak menjadi percaya, melainkan membiarkan mereka dalam ketidakpercayaan mereka.79
Bahwa bukanlah Allah yang dapat dipersalahkan karena ketidakper-cayaan mereka, nyata juga kalau kita memperhatikan bahwa Allah tidak hanya memanggil mereka melalui Injil, tetapi juga memberikan berbagai karunia kepada mereka. PAD tidak menjelaskan karunia mana yang dimaksud, tetapi Kitab Suci menyatakan kepada kita bahwa selain karunia jasmani seperti matahari dan hujan (bdk. Mat. 5:45), Allah juga memberikan karunia rohani kepada mereka. Sebab mereka yang pernah diterangi hatinya, yang pernah mengecap karunia sorgawi, dan yang pernah mendapat bagian dalam Roh Kudus, dan yang mengecap firman yang baik dari Allah dan karunia-karunia dunia yang akan datang, namun yang murtad lagi, tidak mungkin dibaharui sekali lagi sedemikian, hingga mereka bertobat, sebab mereka menyalibkan lagi Anak Allah bagi diri mereka dan menghina-Nya di muka umum (Ibr. 6:4-6).80 Demikianlah, jelas bahwa kesalahan ketidakpercayaan mereka tidak terletak pada Allah. keSalaHan terletak Pada ManuSia Sendiri!
Jika orang yang dipanggil oleh Injil tidak menanggapinya dengan percaya, adalah sepenuhnya kesalahannya sendiri. Tanggapan bangsa Israel terhadap pemberitaan firman Allah merupakan tanda yang khas bagi banyak orang lain; dan apa yang dikatakan Allah kepada bangsa Israel juga berlaku bagi banyak orang di masa kini. Allah memerintahkan Yehezkiel, Hai anak manusia, mari, pergilah dan temuilah kaum Israel dan sampaikanlah perkataan-perkataan-Ku kepada mereka. Akan tetapi kaum Israel tidak mau mendengarkan engkau, sebab mereka tidak mau mendengarkan Aku, karena seluruh kaum Israel berkepala batu dan bertegar hati ( Yeh. 3:4,7). Orang yang menolak panggilan Injil, menolaknya dengan berbagai alasan. Dalam Injil Matius 13:3-9, Tuhan Yesus menceritakan perumpamaan mengenai penabur dan benih:
Dan Ia mengucapkan banyak hal dalam perumpamaan kepada mereka. Kata-Nya: Adalah seorang penabur keluar untuk menabur. Pada waktu ia menabur, sebagian benih itu jatuh di pinggir jalan, lalu datanglah burung dan memakannya sampai habis. Sebagian jatuh di tanah yang berbatu-batu, yang tidak banyak tanahnya, lalu benih itu pun segera tumbuh, karena tanahnya tipis. Tetapi sesudah matahari terbit, layulah ia dan menjadi kering karena tidak berakar. Sebagian lagi jatuh di tengah semak duri, lalu makin besarlah semak itu dan menghimpitnya sampai mati. Dan sebagian jatuh di tanah yang baik lalu berbuah: ada yang seratus kali lipat, ada yang enam puluh kali lipat, ada yang tiga puluh kali lipat. Siapa bertelinga, hendaklah ia mendengar!
Banyak orang yang mendengar pekabaran Injil, namun secara bulat menolak karunia Allah. Mereka sama sekali tidak berminat kepada Injil. Ada yang lain, yang untuk sementara menerimanya dengan sukacita karena anugerah Allah. Injil menggugah perasaan hati mereka, dan mereka seperti berselancar di atas ombak kehidupan rohani yang tinggi. Tetapi sama seperti seorang anak yang untuk sesaat senang dengan permainannya yang baru, kemudian membuangnya karena bosan dan tidak menarik lagi, demikian pula Injil tidak menarik lagi sehingga sukacita (iman) hilang.81
Ada lagi yang mengacuhkan panggilan Injil dan janji-janji Allah. Tetapi sesudah beberapa waktu mereka tertarik lagi oleh hal-hal penuh dosa yang dahulu pernah mereka nikmati, dan pelan-pelan hawa nafsu yang lama itu kembali menguasai hati dan kehidupan mereka, dan kemudian memutuskan pemeliharaan iman, dan akhirnya mereka sama sekali meninggalkannya.
Ada yang meninggalkan Allah karena keinginan hawa nafsu, ada yang meninggalkan-Nya karena kesusahan di dunia. Ada yang dianiayai oleh karena (iman) mereka, baru mengalah pada penganiayaan itu. Mereka mengasihi kehidupan di dunia ini lebih daripada kehidupan yang kekal. Mereka lebih takut akan apa yang dapat dibuat oleh manusia terhadap tubuh mereka jika mereka tetap bertahan dalam iman, daripada apa yang akan Allah perbuat terhadap tubuh dan jiwa mereka, jika mereka meninggalkan iman. Ada yang mengasihi harta benda mereka lebih daripada Allah, dan yang meninggalkan iman untuk mempertahankan kekayaan mereka di dunia. Apa pun alasan yang menyebabkan orang tidak menerima panggilan Injil atau tidak bertekun dalam iman, kesalahannya tidak terletak pada Kitab Suci, tidak juga pada Kristus yang dijanjikan dalam Injil, juga tidak pada Allah yang memanggil melalui Injil, melainkan pada orang itu sendiri.
1. Bagaimana orang mencoba menyalahkan Injil karena ada orang yang dipanggil oleh Injil namun tidak menjadi percaya? Apakah betul Injil salah? Sertakan jawaban Anda dengan pembahasan 1 Korintus 2:14!
2. Bagaimana orang mencoba menyalahkan Kristus karena ada orang yang dipanggil oleh Injil namun tidak menjadi percaya? Apakah betul Kristus bersalah? Mengapa?
3. Bagaimana orang mencoba menyalahkan Allah karena ada orang yang dipanggil oleh Injil namun tidak menjadi percaya? Apakah Allah bersalah? Mengapa?
4. Jika demikian, siapakah yang dapat dipersalahkan karena ada orang yang dipanggil oleh Injil namun tidak menjadi percaya? Buktikan hal ini berdasarkan Kitab Suci!
5. Orang yang menolak Injil tidak selalu melakukannya secara langsung.
Apa tanggapan-tanggapan yang disebut dalam Kitab Suci?
1. Dalam pembahasan pasal 4, pertanyaan nomor 8 telah meminta Anda merenungkan ajaran mengenai karunia umum. Dalam pasal ini, PAD mengatakan bahwa Allah memberi berbagai karunia kepada orang yang, walaupun dipanggil, tidak menjadi percaya. Apakah berbagai karunia itu mendukung ajaran mengenai karunia umum?
2. Dalam pasa ini, PAD mengatakan bahwa ada orang yang (menerima) Firman, tetapi tidak menyimpannya di dalam hati mereka. Bagaimana mereka menerima Injil? Apakah dengan demikian mereka menerima firman Allah dengan iman yang benar?
Orang-orang lain yang dipanggil oleh pelayanan Injil, datang dan dipertobatkan. Hal itu jangan dipulangkan kepada manusia, seolah-olah kehendaknya yang bebas menyebabkan ia berbeda dari orang-orang lain, yang diperlengkapi karunia yang sama besar atau paling tidak cukup agar mereka percaya dan bertobat (seperti yang dinyatakan oleh kesesatan sombong Pelagius). Sebaliknya, hal itu harus dipulangkan kepada Allah. Sebagaimana sejak semula orang-orang kepunyaan-Nya telah dipilih-Nya dalam Kristus, demikian juga mereka dipanggil-Nya dengan ampuh dalam hidup ini. Dia mengaruniakan kepada mereka iman dan pertobatan, dan setelah melepaskan mereka dari kuasa kegelapan memindahkan mereka ke dalam kerajaan Anak-Nya. Maksud-Nya agar mereka memasyhurkan perbuatan-perbuatan besar Dia, yang telah memanggil mereka ke luar dari kegelapan kepada terang-Nya yang ajaib, dan supaya jangan mereka bermegah dalam diri mereka sendiri, melainkan di dalam Tuhan, seperti yang disaksikan kitab-kitab para Rasul di mana-mana. (Rm. 9:16; Kol. 1:13; Gal. 1:4; 1Ptr. 2:9; 1Kor. 1:31; 2Kor. 10:17; Ef. 2:8,9)
Pada pasal 9 telah kita pelajari apa sebab ada orang yang tidak datang menjadi percaya dan yang tidak dipertobatkan ketika mereka dipanggil. Mereka sendiri salah. Selanjutnya, dalam pasal ini PAD menjelaskan apa sebab orang lain yang dipanggil memang datang menjadi percaya dan dipertobatkan. Berlawanan dengan apa yang mungkin kita pikirkan, penyebabnya tidak terletak dalam diri mereka. Rasul Paulus menulis, Tidak ada seorang pun yang mencari Allah (Rm. 3:11). Hal itu sudah berlaku sejak manusia jatuh ke dalam dosa di Taman Eden. Adam dan Hawa tidak mencari Allah, malah sebaliknya mereka lari dari hadapan-Nya dengan gemetar dan takut. Sebenarnya Allah yang datang mencari Adam dan Hawa (bdk. Kej. 3:9). Dan hal itu terus berlangsung sepanjang sejarah umat manusia. Tidak ada seorang pun yang mencari Allah. Maka tidak mengherankan jika Allah berfirman melalui Nabi Yesaya, Aku telah berkenan memberi petunjuk kepada orang yang tidak menanyakan Aku; Aku telah berkenan ditemukan oleh orang yang tidak mencari Aku. Aku telah berkata: Ini Aku, ini Aku! kepada bangsa yang tidak memanggil nama-Ku ( Yes. 65:1). Untuk orang menjadi percaya, Allah sendiri yang perlu mengambil tindakan terlebih dahulu. Keburukan manusia begitu besar, sehingga manusia tidak hanya menolak mengambil inisiatif untuk mencari Allah, tetapi bahkan tidak mampu untuk menerima Injil dengan percaya jika ia dipanggil oleh Allah melalui Injil. Kristus pernah berkata, Tidak ada seorang pun yang dapat datang kepada-Ku, jikalau ia tidak ditarik oleh Bapa yang mengutus Aku, dan ia akan Kubangkitkan pada akhir zaman ( Yoh. 6:44), dan Tidak ada seorang pun dapat datang kepada-Ku, kalau Bapa tidak mengaruniakannya kepadanya ( Yoh. 6:65). Dan Paulus menulis, Karena itu aku mau meyakinkan kamu, bahwa tidak ada seorang pun yang dapat mengaku: Yesus adalah Tuhan, selain oleh Roh Kudus (1Kor. 12:3). Jika benar bahwa terserah kepada kemampuan manusia untuk menerima Injil dengan percaya, tentu tidak akan ada seorang pun yang menjadi percaya. Mereka semua tetap tinggal dalam ketidakpercayaan mereka dan kena hukuman. PAD menganggap penting untuk menyatakan hal itu, karena kaum Arminian memuji kemampuan manusia dalam hal ini. Menurut mereka, iman dan pertobatan tidak merupakan pemberian Allah, tetapi perbuatan manusia sendiri. Seperti yang sudah kita bahas berulang-ulang, kaum Arminian tidak mengakui ajaran mengenai keburukan total manusia (bdk. III/IV 1,3). Menurut mereka, manusia hanya buruk sebagian saja. Meskipun manusia sudah tidak mampu lagi untuk mematuhi seluruh hukum Allah dengan sempurna, seperti dituntut mula-mula, manusia masih tetap mampu untuk percaya, untuk bertobat dari dosanya dengan sungguh-sungguh menyesal, untuk memilih mengabdi kepada Allah, untuk lapar dan haus akan keselamatan. Manusia diciptakan lengkap dengan kemampuan itu, dan meskipun ia telah jatuh ke dalam dosa, ia tetap memiliki kemampuan itu. Dalam diri mereka, semua orang mampu datang kepada Allah dengan percaya, jika mereka dipanggil Allah, demikian ungkap kaum Arminian. Untuk menjadi percaya, Allah tidak memberi karunia tertentu kepada sebagian orang, yang tidak Dia berikan kepada yang lain. Allah sama sekali tidak menunjukkan sikap memihak terhadap siapa pun, tetapi memperlakukan semua orang dengan cara yang sama. Dia juga sama sekali tidak memaksakan kehendak-Nya kepada siapa pun. Sepenuhnya terserah kepada manusia apakah ia mau datang menjadi percaya jika ia dipanggil, atau tidak. Artinya, jika seseorang menerima janji anugerah Allah dengan percaya ketika ia dipanggil oleh Injil, menurut kaum Arminian, itu semata-mata merupakan perbuatannya sendiri. Kepercayaannya merupakan hasil kehendaknya sendiri yang bebas.82 Orang yang menerima panggilan Injil dengan percaya hatinya lebih baik daripada orang lain yang tidak mau menerimanya, walaupun mereka pun mampu. Demikian paparan kaum Arminian. Tetapi pandangan mereka bertentangan dengan Kitab Suci, yang mengajarkan bahwa iman adalah pemberian dari Allah. Paulus menulis, Sebab karena anugerah kamu diselamatkan oleh iman; itu bukan hasil usahamu, tetapi pemberian Allah, itu bukan hasil pekerjaanmu: jangan ada orang yang memegahkan diri (Ef. 2:8-9). Kaum Arminian menipu diri mereka sendiri dengan penghargaan tinggi terhadap manusia, dan tidak memberikan pujian kepada Allah yang patut Dia terima. Kalau manusia dari dirinya sendiri buruk total dan sama sekali tidak mampu untuk menerima Injil dengan percaya, bagaimana mungkin ada yang menjadi percaya? Sebab hal itu sepenuhnya terletak dalam diri Allah. Karena kehendak-Nya yang berdaulat (hak dan wewenang Allah untuk melalukan apa saja yang dikehendaki-Nya), sejak kekal Allah telah memilih orang-orang tertentu dan telah memutuskan untuk memberikan iman kepada mereka dan mempertobatkan mereka. Artinya, keputusan Allah mengenai pemilihan merupakan sebab pertama bahwa ada orang yang menerima Injil dengan percaya. Sebab yang kedua, bahwa ada orang yang menanggapi pemberitaan Injil dengan percaya, terletak dalam keampuhan panggilan Allah. Panggilan ini, yang memerintahkan manusia untuk menerima janji Injil dengan percaya, disampaikan kepada mereka melalui pemberitaan Firman. PAD membedakan dua jenis panggilan. Pertama, ada panggilan yang disebut panggilan umum. Panggilan ini disebut umum karena Janji itu harus diberitakan dan dimaklumkan kepada semua bangsa dan semua orang tanpa mengadakan pembedaan (II, 5). Selain dalam pasal ini, PAD menggunakan kata panggilan dalam arti umum, juga dalam pasal I,3; II,6; III/IV, 8, 9.
Kedua, ada panggilan yang disebut panggilan dengan ampuh. Melalui panggilan ini, Allah tidak hanya memberitakan dan memaklumkan Injil, tetapi juga dengan penuh kuasa menarik orang pilihan kepada-Nya dalam iman dan pertobatan melalui karya Roh Kudus. Panggilan ini disebut ampuh karena pemberitaan Injil kepada orang pilihan pasti dan tanpa kegagalan akan selalu menghasilkan iman dan dan pertobatan. PAD juga berbicara mengenai panggilan dengan ampuh dalam pasal I,7 dan III/IV,10. Perbedaan antara panggilan umum dan panggilan dengan ampuh adalah sesuai dengan Kitab Suci. Ada dua contoh di dalam Kitab Suci, yang di dalamnya Allah memberitakan Firman-Nya kepada umat-Nya tetapi tidak membuat mereka percaya dan bertobat. Mereka yang mendengar panggilan Allah itu, tidak mengindahkannya. Dalam Yesaya 65:12 tertulis, Aku akan menentukan kamu bagi pedang, dan kamu sekalian akan menekuk lutut untuk dibantai! Oleh karena ketika Aku memanggil, kamu tidak menjawab, ketika Aku berbicara, kamu tidak mendengar, tetapi kamu melakukan apa yang jahat di mata-Ku dan lebih menyukai apa yang tidak berkenan kepada-Ku (bdk. juga Yer. 7:13). Kitab Suci juga mengajarkan bahwa Injil diberitakan kepada orang yang tidak termasuk orang pilihan-Nya. Dalam Matius 22:14 ada tertulis, Sebab banyak yang dipanggil, tetapi sedikit yang dipilih. Ayat-ayat ini adalah contoh dari panggilan umum.
Di sisi yang lain, dalam Kitab Suci juga ada contoh panggilan dengan ampuh. Dalam Yohanes 10:3-4 tertulis bahwa Kristus adalah Gembala Yang Baik yang memanggil domba-domba-Nya, dan mereka mendengar suara-Nya dan mengikuti-Nya. Kita juga membaca dalam Roma 8:30, Dan mereka yang ditentukan-Nya dari semula, mereka itu juga dipanggil-Nya. Dan mereka yang dipanggil-Nya, mereka itu juga dibenarkan-Nya. Dalam contoh-contoh ini, orang pilihan dipanggil dengan kuasa yang begitu kuat sehingga mereka semua menjadi percaya, dan oleh iman itu mereka dibenarkan. Panggilan dengan ampuh itu juga kita temukan dalam Kisah Para Rasul 13:48, Mendengar itu bergembiralah semua orang yang tidak mengenal Allah dan mereka memuliakan firman Tuhan; dan semua orang yang ditentukan Allah untuk hidup yang kekal, menjadi percaya.
Apa sebenarnya perbedaan antara panggilan Injil yang umum dan panggilan Injil dengan ampuh? Isi kedua panggilan itu sama. Berita yang disampaikan dalam kedua panggilan itu sama, demikian pula peringatan-peringatan yang diberikan dan janji-janji yang dipermaklumkan. Apa yang membuat panggilan Injil itu berhasil dengan pengerjaan iman dan penyesalan di dalam orang pilihan adalah kuasa Roh Kudus, yang hadir dalam pemberitaan Injil kepada mereka. Artinya, iman dan pertobatan adalah anugerah-anugerah Allah, yang diberikan-Nya kepada orang pilihan-Nya melalui karya yang penuh kekuatan dari Roh Kudus melalui panggilan Injil dengan ampuh. Kalau orang mengindahkan panggilan Injil itu berarti bahwa mereka tidak hanya menerima Kristus dengan percaya tetapi juga bahwa mereka menyerahkan diri kepada Kristus dengan setia. Injil yang memanggil kita agar menjadi percaya, juga memanggil kita menjadi taat.
Sama seperti Roh Kudus mengerjakan iman melalui panggilan Injil, begitu juga Roh Kudus mengerjakan kesetiaan dan ketaatan melalui panggilan Injil. Itu serbabnya PAD mengatakan dalam pasal ini bahwa Allah setelah melepaskan mereka dari kuasa kegelapan memindahkan mereka ke dalam Kerajaan Anak-Nya. Orang pilihan dilepaskan dari kuasa dosa dan dari perbudakan iblis, seperti yang diakui oleh Paulus dalam Kolose 1:13. Meskipun orang pilihan menurut kodrat mereka buruk total, mereka diperbarui menurut gambar dan rupa Allah sehingga mereka menjadi manusia baru di dalam Kristus (bdk. 2Kor. 5:17) dan mulai mencerminkan gambar Allah dalam seluruh tingkah laku mereka. Di samping itu, mereka dipindahkan dari kerajaan kegelapan menjadi warga Kerajaan Kristus. Berarti, Kristus menjadi Tuhan dan Raja mereka, yang memerintah mereka dengan Firman dan Roh-Nya, sehingga mereka mulai hidup sebagai orang yang dengan rendah hati menaati segala perintah Allah. Allah memanggil orang dengan ampuh sehingga menjadi percaya dan setia, supaya (mereka) memberitakan perbuatan-perbuatan yang besar dari Dia, yang telah memanggil (mereka) keluar dari kegelapan kepada terang-Nya yang ajaib (1Ptr. 2:9). Sebenarnya Allah tidak akan pernah berlaku tidak adil jika Dia telah membiarkan semua orang di bawah kutuk sehingga mereka akan dihukum (bdk. I,1). Tetapi meskipun manusia sama sekali tidak layak dan buruk total, Allah telah memutuskan karena kesukaan-Nya sendiri untuk memberikan iman dan kesetiaan kepada sejumlah orang agar supaya mereka akan memuliakan nama-Nya. PAD juga menekankan bahwa dengan memuliakan nama Allah, mereka memberi segala pujian hanya kepada Allah saja. Mereka tidak bermegah dalam diri mereka sendiri, melainkan di dalam Tuhan. Tidak ada alasan apa pun sehingga mereka dapat bermegah dalam diri mereka sendiri, karena mereka telah menerima iman sebagai karunia dari Allah. Mereka tidak pernah bekerja lebih kuat atau lebih baik daripada orang lain yang tidak menerima Injil. Sebab siapakah yang menganggap engkau begitu penting? Dan apakah yang engkau punyai, yang tidak engkau terima? Dan jika engkau memang menerimanya, mengapakah engkau memegahkan diri, seolah-olah engkau tidak menerimanya? (1Kor. 4:7). Ketika ada orang yang menerima panggilan Injil dengan percaya dan setia, segala hormat dan pujian harus diberikan hanya kepada Allah saja.
1. Bagaimana Allah bertindak lebih dahulu kalau orang menjadi percaya? Mengapa Dia harus berbuat demikian? Buktikan jawaban Anda berdasarkan Kitab Suci!
2. Setelah Allah mengambil tindakan itu, apakah manusia mampu menjawab panggilan-Nya itu dari dalam dirinya sendiri? Jelaskan dan buktikan jawaban Anda berdasarkan Kitab Suci!
3. Apa jawaban kaum Arminian atas pertanyaan yang tadi? Bagaimana hal ini dapat terjadi kalau kita ingat bahwa manusia buruk total?
4. Apa yang dimaksud oleh kaum Arminian ketika mereka mengatakan bahwa Allah tidak menunjukkan sikap memihak dalam hal ini? Menurut mereka, apa yang menyebabkan bahwa ada orang yang percaya dan yang lain tidak?
5. Apa hal pertama yang menyebabkan manusia menjadi percaya dan bertobat?
6. Apa hal kedua yang Allah lakukan untuk membuat orang menjadi percaya?
7. Bagaimana orang menjadi percaya melalui panggilan Injil?
8. Ada dua jenis panggilan Injil. Jelaskan perbedaan antara kedua jenis panggilan itu!
9. Apakah Injil memanggil kita hanya untuk menjadi percaya saja, atau juga untuk sesuatu yang lain? Jika ya, hal apa itu?
10. Apa yang kita maksudkan dengan panggilan dengan ampuh?
11. Apa tujuan Allah dengan memanggil orang pilihan menjadi percaya dan setia? Apakah Anda telah memenuhi tujuan Allah itu? Jika ya, jelaskan bagaimana! Jika belum, jelaskan mengapa belum!
12. Apakah mereka yang menerima Injil bermegah dalam diri mereka sendiri? Mengapa?
1. Apakah pemberitaan Injil kepada orang pilihan akan berhasil dengan cepat dalam waktu yang singkat, atau apakah dapat saja tanggapan Injil dengan percaya itu membutuhkan waktu bertahun-tahun?
2. Berapa lama kita perlu sabar dan bertekun dalam pemberitaan Injil sebelum kita dapat melakukan apa yang diperintahkan Kristus dalam Matius 10:14?
Akan tetapi, bilamana Allah melaksanakan perkenan-Nya itu di dalam orang pilihan, dan mengerjakan di dalam mereka pertobatan yang sejati, maka Dia tidak hanya membuat Injil diberitakan kepada mereka dan tidak hanya menerangi pikiran mereka oleh Roh sedemikian kuat, hingga mereka memahami dengan baik dan menilai hal-hal yang berasal dari Roh Kudus. Dia bahkan juga masuk sampai ke dalam batin manusia dengan keampuhan Roh Kudus yang sama itu, yang mengerjakan kelahiran kembali; hati yang tertutup dibuka-Nya, apa yang keras dilunakkan-Nya, apa yang tidak bersunat disunati-Nya, dalam kehendak dituangkan-Nya sifat-sifat baru: kehendak yang tadinya mati dihidupkan-Nya, yang jahat dijadikan-Nya baik, yang tidak bersedia dijadikan-Nya bersedia, yang melawan dijadikan-Nya taat. Dia menggerakkan dan menguatkan kehendak sedemikian, hingga kehendak itu, seperti pohon yang baik, sanggup menghasilkan buah berupa perbuatan-perbuatan baik. (Ibr. 6:4,5; 1Kor. 2:10-14; Ibr. 4:12; Kis. 16:14; Ul. 30:6; Yeh. 11:19; Yeh. 36:26; Mat. 7:18)
Dalam pasal ini dan pasal-pasal berikut, PAD membahas pertobatan manusia. Pertobatan berarti perubahan. Sebagai contoh, dengan memanaskan air, kita bisa mengubah air itu menjadi uap. Contoh lain, dengan menggunakan rumus matematika yang sederhana, kita bisa mengubah ukuran inci menjadi sentimeter, dan derajat Fahrenheit menjadi derajat Celcius. Ketika kita berbicara mengenai pertobatan manusia, kita berbicara mengenai suatu perubahan di dalam batin manusia, yaitu dalam pikirannya, dalam hatinya dan kehendaknya, dan mengenai suatu perubahan yang tampak dalam tingkah lakunya. Di dalam Katekismus Heidelberg, pertobatan dilukiskan sebagai berikut: Sungguh-sungguh menyesali bahwa kita telah menimbulkan murka Allah karena dosa kita, dan semakin membenci dan menjauhi dosa itu. Sungguh-sungguh bersukacita dalam Allah karena Kristus, dan rela serta suka akan hidup sesuai dengan kehendak Allah sambil melakukan segala perbuatan baik (p/j 89 dan 90). Menyangkut batin manusia, manusia yang telah jatuh ke dalam dosa tidak dengan sengaja mengenal Allah. Tetapi sesuah ia dipertobatkan ia mulai mengenal Allah secara akrab. Menurut kodratnya, manusia membenci Allah. Tetapi sesudah ia dipertobatkan ia mulai mengasihi Allah. Menurut kodratnya, manusia yang telah jatuh ke dalam dosa cenderung memberontak melawan Allah. Tetapi sesudah ia dipertobatkan, ia sungguh-sungguh ingin mengabdi kepada Allah. Pertobatan di dalam batin manusia mengakibatkan pertobatan yang tampak dalam kelakuannya. Orang yang telah dipertobatkan tidak lagi hidup dalam dosa (bdk. Rm. 6:2; 1Yoh. 3:9), sebaliknya memalingkan diri dari dosa dan berusaha melakukan kehendak Allah agar hidup mereka berkenan kepada-Nya (bdk. 1Tes. 4:1).
Jika kita mengaku bahwa manusia telah buruk total, maka kita pasti akan menghargai karya Allah sampai ke akar-akarnya ketika Dia mempertobatkan manusia. Apakah ada karya yang lebih mengena pada akar kehidupan, daripada menghidupkan orang yang telah mati? Demikianlah pertobatan yang dikerjakan Allah, seperti dijelaskan PAD dalam pasal ini. Perhatikanlah bahwa PAD dengan kuat menekankan kepentingan pekabaran Injil dalam pertobatan manusia. Yang pertama dan yang terutama adalah bahwa Allah memastikan bahwa Injil akan diberitakan kepada orang pilihan-Nya.
Banyak orang pilihan telah lahir di dalam lingkungan perjanjian Allah dan di dalam gereja Kristus, sehingga sejak kecil sudah menerima pendidikan mengenai firman Allah. Hal itu bukan kebetulan saja. Tidak seorang pun yang telah lahir dan dibesarkan di dalam lingkungan gereja boleh berpikir dan mengatakan, Saya beruntung karena saya dilahirkan dan dibesarkan di dalam lingkungan gereja, karena kalau tidak pasti saya akan seperti tetangga saya yang tidak percaya kepada Tuhan. Karunia dilahirkan di dalam lingkungan perjanjian dan di dalam lingkungan gereja Kristus bukan kebetulan, beruntung, atau nasib baik, melainkan akibat langsung dari apa yang direncanakan Allah bagi sejumlah besar anak-anak-Nya. Tidak semua orang pilihan Allah diberkati dengan warisan yang begitu besar seperti yang diuraikan tadi. Itu sebabnya berkenan kepada Allah supaya Injil diberitakan, juga kepada mereka yang hidup di luar perjanjian-Nya dan di luar lingkungan gereja. Kristus memanggil anggota-anggota gereja agar menjadi terang dunia. Tiap orang Kristen dipanggil untuk menjadi seorang nabi, yang mengakui nama Allah di depan manusia. Rasul Petrus mengatakan bahwa kita justru dipilih supaya kita memuliakan Dia yang telah memanggil kita keluar dari kegelapan kepada terang-Nya yang ajaib (1Ptr. 2:9). Di samping itu, kepada gereja telah diberikan amanat besar untuk memberitakan Injil (bdk. Mat. 28:19). Melalui gerejalah Allah membuat Injil diberitakan kepada semua orang pilihan-Nya.
Ketika Injil diberitakan kepada orang pilihan, pemberitaan itu selalu disertai karya Roh Kudus yang membarui. Pemberitaan Injil itu sendiri tidak punya kuasa. Seorang pendeta yang hebat sekalipun tidak akan dapat menobatkan orang melalui khotbahnya jika kuasa Roh Kudus tidak menyertainya; sedangkan seorang pekabar Injil yang sangat sederhana dapat menjadikan orang pilihan menjadi percaya dan bertobat, asalkan pemberitaannya disertai karya Roh Kudus yang ampuh. Waktu kita membahas keburukan manusia (bdk. III/IV, 1, 3), kita telah mendengar bahwa manusia telah kehilangan banyak sifat dan karunia yang Allah berikan kepadanya pada saat penciptaan–seperti karunia pikiran yang dapat mengenal Allah secara akrab, hati yang lembut yang dapat mengasihi Allah dengan hangat, dan kehendak yang bebas yang dapat mengabdi kepada Allah dengan sungguh-sungguh. Allah menarik kembali anugerah-anugerah itu sebagai hukuman atas dosa manusia. Tetapi, karena kasih-Nya, Allah senang memberikan kembali karunia dan kemampuan ini kepada orang pilihan-Nya. Hal itu dilakukan-Nya ketika Dia mempertobatkan manusia, membaruinya, melahirkannya kembali, dan menciptakannya kembali menjadi manusia baru. Baiklah kita mempelajari semuanya itu lebih dalam.
PertoBatan Pikiran ManuSia Menurut kodratnya, manusia yang telah jatuh ke dalam dosa, seberapa bijaksana dan seberapa pandai pun ia, tidak mampu dan tidak akan menerima firman Allah sebagai firman yang benar. Ia mungkin dapat mengenal Kitab Suci atau dokumen-dokumen Pengakuan, tetapi ia tidak mampu mengakui kebenarannya. Sebenarnya kebenaran yang ada di dalam Kitab Suci adalah sebuah kebodohan baginya. Karena manusia berdosa tidak merasa perlu untuk mengakui Allah, maka Allah menyerahkan mereka kepada pikiran-pikiran yang terkutuk (Rm. 1:28) dan akibatnya adalah perseteruan terhadap Allah (Rm. 8:7).
Manusia duniawi tidak menerima apa yang berasal dari Roh Allah, karena hal itu baginya adalah suatu kebodohan; dan ia tidak dapat memahaminya, sebab hal itu hanya dapat dinilai secara rohani (1Kor. 2:14). Melalui pemberitaan Injil, Roh Kudus dengan ampuh menyembuhkan dan menerangkan pikiran orang pilihan Allah, sehingga mereka mampu memahami dengan baik keadaan mereka sebagai manusia berdosa dan anugerah penebusan Allah dalam Yesus Kristus. Ingatlah akan Saulus dari Tarsus. Ia adalah seorang yang terpelajar, dididik di bawah asuhan rabi yang sangat disegani, yaitu Gamaliel. Meskipun demikian, pikirannya tetap gelap sehingga ia dengan sengaja menolak kebenaran. Tetapi Allah yang telah berfirman: Dari dalam gelap akan terbit terang! Ia juga yang membuat terang-Nya bercahaya di dalam hati (Saulus), supaya (dia) beroleh terang dari pengetahuan tentang kemuliaan Allah yang tampak pada wajah Kristus (bdk. 2Kor. 4:6).
Untuk menunjukkan kedaulatan karunia pemilihan-Nya, dan untuk menghilangkan setiap alasan bagi manusia untuk memegahkan diri, Allah menyembunyikan semuanya itu bagi orang bijak dan orang pandai, tetapi (Dia) nyatakan kepada orang kecil (Mat. 11:25). Kepada orang-orang sederhana, yaitu penjala ikan yang dipanggil Allah untuk menjadi murid-murid-Nya, diberi karunia untuk mengetahui rahasia Kerajaan Sorga, tetapi kepada (ahli Taurat dan orang Farisi) tidak (Mat. 13:11). Seperti dikatakan Paulus, Ingat saja, saudara-saudara, bagaimana keadaan kamu, ketika kamu dipanggil: menurut ukuran manusia tidak banyak orang yang bijak, tidak banyak orang yang berpengaruh, tidak banyak orang yang terpandang. Tetapi apa yang bodoh bagi dunia, dipilih Allah untuk memalukan orang-orang yang berhikmat, dan apa yang lemah bagi dunia, dipilih Allah untuk memalukan apa yang kuat (1Kor. 1:26, 27). PertoBatan Hati ManuSia Menurut kodratnya, betapa liciknya hati (manusia), lebih licik dari pada segala sesuatu, hatinya sudah membatu: siapakah yang dapat mengetahuinya? ( Yer. 17:9). Ketika dilihat TUHAN, bahwa kejahatan manusia besar di bumi dan bahwa segala kecenderungan hatinya selalu membuahkan kejahatan semata-mata (Kej. 6:5); yang ditimbulkan hatinya adalah jahat dari sejak kecilnya (Kej. 8:21). Ketika Injil diberitakan kepada orang pilihan, Roh Kudus menyebabkan Injil itu masuk ke dalam hati orang. Kami menekankan peranan Roh Kudus. Dalam pelayanan-Nya selama Dia masih hidup di bumi, Yesus memberitakan Injil, tetapi hanya sedikit orang yang menjadi percaya bahwa Dia adalah Mesias. Tetapi waktu Injil yang sama diberitakan sesudah Roh Kudus dicurahkan, hati mereka sangat terharu, dan banyak orang menjadi percaya, di antaranya pastilah orang yang sebelumnya menolak Injil waktu mendengarnya dari mulut Yesus sendiri (bdk. Kis. 2:37). Allah telah bernubuat mengenai karya agung Roh Kudus ini melalui Nabi Yehezkiel. Allah telah berjanji untuk memperbarui hati bangsa Israel yang suka membangkang kepada-Nya. Dia berfirman, Kamu akan Kuberikan hati yang baru, dan roh yang baru di dalam batinmu dan Aku akan menjauhkan dari tubuhmu hati yang keras dan Kuberikan kepadamu hati yang taat. Roh-Ku akan Kuberikan diam di dalam batinmu dan Aku akan membuat kamu hidup menurut segala ketetapan-Ku dan tetap berpegang pada peraturan-peraturan-Ku dan melakukannya ( Yeh. 36:26,27). Sebenarnya Allah telah menjanjikan hal ini kepada bangsa Israel ketika Dia mengadakan perjanjian-Nya dengan mereka di tanah Moab. Dan TUHAN, Allahmu, akan menyunat hatimu dan hati keturunanmu, sehingga engkau mengasihi TUHAN, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu, supaya engkau hidup (Ul. 30:6). PertoBatan keHendak ManuSia Menurut kodratnya, kehendak manusia adalah hamba dosa dan iblis. Kristus berkata kepada orang-orang Yahudi yang belum percaya kepada-Nya, Aku berkata kepadamu, sesungguhnya setiap orang yang berbuat dosa, adalah hamba dosa Iblislah yang menjadi bapamu dan kamu ingin melakukan keinginan-keinginan bapamu ( Yoh. 8:34, 44). Rasul Paulus juga mengajarkan bahwa menurut kodratnya semua orang adalah hamba dosa (bdk. Rm. 6:17, 20). Tetapi ketika Roh Allah mengerjakan pertobatan, keinginan kita pun dibebaskan dari penindasan dosa, sehingga kita mulai melakukan kehendak Bapa di Surga (bdk. Rm. 6:17, 18, 22). Iblis tidak lagi menguasai kehendak kita. Kita tidak lagi berada di bawah kuasanya. Paulus berkata mengenai orang yang telah ditobatkan, karena Allahlah yang mengerjakan di dalam kamu baik kemauan maupun pekerjaan menurut kerelaan-Nya (Flp. 2:13). Dalam surat Ibrani, penulisnya berdoa, Maka Allah damai sejahtera kiranya memperlengkapi kamu dengan segala yang baik untuk melakukan kehendak-Nya, dan mengerjakan di dalam kita apa yang berkenan kepada-Nya, oleh Yesus Kristus (Ibr. 13:20, 21). Ketika pikiran, hati dan kehendak diperbarui, manusia mulai menghasilkan buah-buah perbuatan yang baik. Tetapi buah Roh ialah: kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan, kelemahlembutan, penguasaan diri dan kebaikan, keadilan, dan kebenaran (Gal. 5:22, 23; Ef. 5:9). Tidak mungkin pohon yang baik tidak menghasilkan buah yang baik (bdk. Mat. 7:17-19). Tiap orang yang telah menjadi percaya dan yang menjadi anggota tubuh Kristus, pasti akan berbuah banyak (bdk. Yoh. 15:5). Dengan demikian, melalui kelahiran kembali, manusia mulai lagi memenuhi tugas yang diberikan kepadanya pada waktu ia diciptakan. Ia sudah mulai lagi mencerminkan Allah. Ia mulai memperlihatkan gambar dan rupa Allah. Dalam pasal terakhir PAD (V,2), kita mendengar bahwa memang masih banyak kelemahan dan kesalahan dalam hidup orang-orang percaya. Walaupun demikian, mereka sudah mulai hidup sesuai dengan semua perintah Allah. Kaum Arminian tidak menyetujui uraian pertobatan ini. Di dalam penolakan III/IV, 6 PAD menjelaskan dan menolak pandangan mereka:
Ajaran Keliru Apabila manusia bertobat dengan sunguh-sungguh, Allah tidak mungkin mencurahkan sifat-sifat, kemampuan-kemampuan atau karunia-karunia yang baru ke dalam kehendaknya. Maka itu, iman–yang mengawali pertobatan kita dan yang menyebabkan kita disebut orang-orang beriman–bukanlah suatu sifat atau karunia yang dicurahkan Allah, melainkan perbuatan manusia semata-mata. Iman itu hanya dapat disebut (karunia) dari sudut pandangan kemampuan untuk mencapainya.
Penolakannya
Dengan hal ini, mereka membantah Kitab Suci, yang bersaksi bahwa Allah mencurahkan sifat-sifat baru dalam hati kita, yaitu iman, ketaatan, dan kesadaran akan kasih-Nya, Aku akan menaruh Taurat-Ku dalam batin mereka dan menuliskannya dalam hati mereka ( Yer. 31:33). Dan, Aku akan mencurahkan air ke atas tanah yang haus, dan hujan lebat ke atas tempat yang kering. Aku akan mencurahkan Roh-Ku ke atas keturunanmu ( Yes. 44:3). Dan, kasih Allah telah dicurahkan di dalam hati kita oleh Roh Kudus yang telah dikaruniakan kepada kita (Rm. 5:5). Begitu pula ajaran itu bertentangan dengan kebiasaan Gereja Allah yang tak berkeputusan, yang dalam Kitab Nabi Yeremia berdoa begini, Bawalah aku kembali, supaya aku berbalik ( Yer. 31:18).
Menurut kaum Arminian, manusia hanya kehilangan sebagian sifatnya dan kekuatannya, tetapi tidak semuanya. Ia tidak mampu memenuhi syarat yang ditentukan Allah pada awal perjanjian. Artinya, ia tidak lagi mampu untuk mematuhi seluruh hukum Allah secara sempurna. Tetapi manusia tetap mampu untuk memenuhi persyaratan perjanjian baru, yaitu: bertobat dan percaya. Manusia tidak memerlukan pertolongan apa pun dari Allah untuk menjadi percaya dan bertobat. Dengan menggunakan sifat-sifat dan kekuatan-kekuatan yang masih tersisa di dalamnya sesudah ia jatuh ke dalam dosa, manusia mampu bertobat dan percaya. Kaum Arminian bersikeras bahwa Allah sama sekali tidak berpihak kepada siapa pun, dan memperlakukan semua orang itu sama. Sebab itu, menurut mereka, Allah tidak mengaruniakan sikap atau kekuatan yang baru kepada siapa pun sebelum orang bertobat. Menurut kaum Arminian, pertobatan (iman dan penyesalan) itu bukanlah sesuatu yang dikerjakan Allah, melainkan sepenuhnya hasil usaha manusia sendiri. Arminius mengatakan, Jika seseorang mengatakan bahwa tiap orang di seluruh dunia memiliki kemampuan untuk menjadi percaya dan untuk memperoleh keselamatan jika dia mau, dan bahwa kemampuan itu terletak dalam kodratnya, apa yang bisa kalian katakan untuk membantahnya?83 Pada Sinode Dordrecht, seorang Arminian yang lain (Corvinus) mengatakan, Pertobatan berada dalam kuasa kita yang bebas sehingga kita bisa membalik atau tidak membalik diri kita sendiri.84 Seorang pengikut lain lagi (Grevinchovius) berkata, Saya membantah bahwa prinsip utama iman, yang menjadi persyaratan dalam Injil, adalah sesuatu yang ditanam oleh Allah.85 Episcopius, seorang pemimpin kaum Arminian sesudah kematian Arminius, membantah bahwa Roh Kudus perlu mengerjakan apa pun pada pengertian atau kehendak manusia agar manusia dapat percaya Firman yang diberitakan kepadanya, atau bahwa hal itu dijanjikan dalam Kitab Suci.86
Tetapi Kitab Suci cukup jelas, bahwa memang benar Allah menanamkan sikap-sikap yang baru ke dalam hati manusia. Hanya melalui pemberian sikap-sikap yang baru itulah manusia mampu untuk menjadi percaya dan menyesal, dan dipertobatkan kepada Allah.
Tetapi beginilah perjanjian yang Kuadakan dengan kaum Israel sesudah waktu itu, demikianlah firman TUHAN: Aku akan menaruh Taurat-Ku dalam batin mereka dan menuliskannya dalam hati mereka; maka Aku akan menjadi Allah mereka dan mereka akan menjadi umat-Ku ( Yer. 31:33).
Sebab Aku akan mencurahkan air ke atas tanah yang haus, dan hujan lebat ke atas tempat yang kering. Aku akan mencurahkan Roh-Ku ke atas keturunanmu, dan berkat-Ku ke atas anak cucumu ( Yes. 44:3).
Dan pengharapan tidak mengecewakan, karena kasih Allah telah dicurahkan di dalam hati kita oleh Roh Kudus yang telah dikaruniakan kepada kita (Rm. 5:5). Selain dari ayat-ayat yang dikutip PAD, ada ayat-ayat lain lagi yang menunjukkan bahwa sebenarnya bukan manusia sendiri yang mengerjakan perubahan dalam pikiran, hati, dan kehendaknya sendiri.
Dapatkah orang Etiopia mengganti kulitnya atau macan tutul mengubah belangnya? Masakan kamu dapat berbuat baik, hai orang-orang yang membiasakan diri berbuat jahat? ( Yer. 13:23). Bukan kamu yang memilih Aku, tetapi Akulah yang memilih kamu. Dan Aku telah menetapkan kamu, supaya kamu pergi dan menghasilkan buah dan buahmu itu tetap, supaya apa yang kamu minta kepada Bapa dalam nama-Ku, diberikan-Nya kepadamu ( Yoh. 15:16). Sebab siapakah yang menganggap engkau begitu penting? Dan apakah yang engkau punyai, yang tidak engkau terima? Dan jika engkau memang menerimanya, mengapakah engkau memegahkan diri, seolah-olah engkau tidak menerimanya? (1Kor. 4:7).
Sebab karena anugerah kamu diselamatkan oleh iman; itu bukan hasil usahamu, tetapi pemberian Allah (Ef. 2:8). Sebab kepada kamu dikaruniakan untuk percaya kepada Kristus (Flp. 1:29).
1. Apa yang dimaksud dengan kata pertobatan? Berikan beberapa contoh penggunaan kata ini dalam kehidupan sehari-hari!
2. Apa arti rohani dari kata pertobatan? Apa akibatnya pada diri manusia yang dipertobatkan?
3. Apa hal pertama yang harus terjadi dalam proses pertobatan manusia? Bagaimana Allah mengurusnya dalam hal sejumlah besar orang pilihan-Nya? Cara lain apa yang dipakai Allah untuk mengerjakan hal itu?
4. Di mana sebenarnya letak kekuatan pemberitaan Injil? Di mana yang tidak?
5. Sebutlah beberapa kata lain untuk pertobatan manusia!
6. Berkaitan dengan pikiran manusia:
- Menurut yang dikatakan Tuhan kita Yesus Kristus dalam Yohanes 3:3 dan 7, kita perlu dilahirkan kembali, karena jika tidak maka kita tidak akan dapat masuk Kerajaan Allah. Renungkanlah pemberitaan Injil yang Anda dengar setiap hari Minggu, dan mempertimbangkan apakah persyaratan itu betul-betul dimaklumkan atau tidak. Jika benar, jelaskan dengan cara bagaimana hal itu diberitakan! Jika tidak, apa alasannya sehingga hal itu tidak diberitakan?
Semata-mata
Inilah kelahiran kembali, pembaruan, penciptaan baru, pembang-kitan dari antara orang mati, dan karya menghidupkan, yang dimasyhurkan dalam Alkitab dan yang dikerjakan oleh Allah tanpa kita di dalam kita. Kelahiran kembali itu tidak terjadi dalam diri kita hanya melalui bunyi kata-kata pemberitaan, tidak juga oleh nasihat yang lemah lembut ataupun karya yang begitu rupa sehingga setelah Allah menyelesaikan karya itu maka manusia masih dapat menentukan apakah ia dilahirkan kembali atau tidak dan dipertobatkan atau tidak. Sebaliknya, hal itu jelas merupakan karya adikodrati, yang amat kuat sekaligus amat lembut, ajaib, tersembunyi, dan tak terkatakan. Menurut kesaksian Alkitab (yang diilhami oleh Dia yang melakukan karya itu), daya karya itu tidak kalah besar dibandingkan dengan penciptaan atau pembangkitan orang mati. Olehnya semua orang yang hatinya menjadi tempat Allah bekerja dengan cara yang menakjubkan ini, pasti dilahirkan kembali dengan cara yang tak tergagalkan dan ampuh, serta benar-benar menjadi percaya. Lalu kehendak yang telah diperbarui itu tidak hanya digerakkan dan didorong Allah, tetapi setelah digerakkan Allah, maka kehendak itu sendiri juga bergerak. Oleh sebab itu, dikatakan juga dengan tepat bahwa, oleh karunia yang telah diterimanya, manusia sendiri percaya dan bertobat. ( Yoh. 3:3; 2Kor. 4:6; 2Kor. 5:17; Ef. 5:14; Yoh. 5:25; Rm. 4:17; Flp. 2:13)
Pada pasal yang lalu kita telah mempelajari bahwa Allah mengerjakan pertobatan manusia, dengan menanamkan sikap-sikap baru di dalam manusia, yaitu sika-sikap seperti yang dahulu sudah dimilikinya waktu ia diciptakan, tetapi yang kehilangan waktu ia jatuh ke dalam dosa. Tanpa sikap-sikap yang baru itu ditanam di dalamnya, manusia akan tetap berada dalam kematian karena dosa. Penting untuk ditekankan sekali lagi bahwa menurut kodrat, kita telah mati di dalam dosa. Kecuali jika kita mengakui hal itu, kita tidak dapat mengakui bahwa pertobatan kita adalah karya Allah semata-mata; dan justru itulah tujuan yang tertentu dari pasal ini. Jika kita menghibur diri kita dan percaya bahwa manusia yang telah jatuh ke dalam dosa masih memiliki kemampuan tertentu untuk melakukan perbuatan yang baik, maka kita akan menganggap pertobatan kita sebagai hasil usaha kita sendiri, atau paling tidak sebagai sesuatu yang kita bangkitkan dan yang di dalamnya kita bekerja sama. Istilah-istilah dan berbagai uraian yang dipakai Kitab Suci untuk melukiskan pertobatan manusia menyatakan dengan jelas bahwa pertobatan itu merupakan karya Allah semata. Pertobatan disebut sebagai kelahiran kembali (bdk. Tit. 3:5). Sama seperti kelahiran jasmani kita, dalam Kitab Suci dengan tepat digambarkan sebagai karya Allah yang tersembunyi dan ajaib (bdk. Mzm. 139:13-16), demikian juga kelahiran rohani kita dikerjakan oleh Allah. Sama seperti manusia, tidak dapat mengambil keputusan untuk dilahirkan, dan sama seperti manusia, tidak dapat turut bekerja dalam pengandungan dan kelahiran jasmaninya, demikian juga tidak mungkin manusia mengambil keputusan sendiri untuk dilahirkan kembali atau untuk turut bekerja dalam pengandungan kehidupan baru. Kitab Suci juga menyebut pertobatan manusia sebagai ciptaan baru (bdk. 2Kor. 5:17, Gal. 6:15). Sama seperti Allah menciptakan kehidupan jasmani yang baru yang di dalamnya sebelumnya tidak ada kehidupan sama sekali, begitu juga Allah menciptakan kehidupan rohani yang baru di dalam manusia yang telah mati dalam dosa. Sama seperti manusia tidak turut bekerja dalam penciptaannya, demikian juga ia tidak turut bekerja dalam penciptaannya yang baru.
Kitab Suci juga menguraikan pertobatan sebagai membangkitkan orang mati dan menghidupkan (bdk. Rm. 6:4, 13; 8:11). Seorang yang mati tidak dapat memohon dihidupkan kembali ataupun turut mengerjakan kelahiran kembali itu. Demikian juga, seseorang yang secara rohani mati, tidak dapat memohon dihirupkan kembali secara rohani, atau turut menghidupkan dirinya secara rohani. Istilah dan uraian untuk pertobatan ini mengajarkan kepada kita bahwa pertobatan manusia dikerjakan oleh Allah semata. Pertobatan dikerjakan Allah di dalam kita dan tanpa kita. Kita sepenuhnya pasif dalam karya Allah yang menciptakan kehidupan rohani yang baru.
Kalau hal ini sudah jelas, perlu kami jelaskan bahwa kata pertobatan dapat dipakai dalam dua cara. Kadang-kadang kata ini dipakai untuk melukiskan karya awal Allah yang menentukan, ketika Dia memberi kehidupan kepada orang yang menurut kodratnya mati, yaitu sesuatu yang terjadi hanya sekali saja, dan tidak akan terulang lagi. Karena benih kelahiran kembali atau pertobatan adalah benih yang tidak fana (bdk. 1Ptr. 1:23). Dalam arti inilah kata pertobatan dipakai dalam pasal ini. Tetapi kadang-kadang kata pertobatan juga dipakai dalam arti yang lain, yaitu untuk melukiskan pembaruan rohani yang terus berlangsung dan yang sedang terjadi sepanjang kehidupan orang-orang kudus. Dalam arti inilah kata pertobatan dipakai dalam pasal I,16 dan dalam Katekismus Heidelberg (p/j 88).
Karena itu kita dapat membedakan antara pengandungan kehidupan baru dan pertumbuhannya. Seorang anak dilahirkan pada suatu saat tertentu, tetapi ia tidak lahir sebagai orang dewasa. Ia akan bertumbuh secara perlahan-lahan, baik fisik maupun intelektualnya. Begitu juga dengan orang pilihan, pada saat tertentu diberikan kehidupan rohani, sesuatu yang tidak mereka miliki sebelumnya. Itu merupakan awal pertobatan mereka kepada Allah. Tetapi meskipun mereka telah dilahirkan kembali, mereka belum dewasa. Pada awalnya, mereka akan diberi minum susu Injil (bdk. 1Kor. 3:2). Dengan menerima makanan rohani terus-menerus, mereka bertumbuh menjadi orang Kristen yang dewasa (bdk. Ef. 4:13). Itulah pertobatan mereka yang terus berlangsung.
Kalau kita mengatakan bahwa pertobatan adalah karya Allah semata di dalam kita dan tanpa kita, kita berbicara mengenai pertobatan awal kita. Manusia tidak mampu memprakarsai atau turut bekerja dalam pengandungan rohani dan kelahirannya kembali. Tetapi dalam pertobatan yang terus berlangsung, manusia turut bekerja. Pertobatan itu merupakan karya Allah di dalam kita dan bersama kita. Semakin seorang Kristen muda menjadi dewasa, semakin dia mulai aktif dalam pertumbuhan rohaninya. Ia mulai mempelajari Kitab Suci, dan berdoa memohon penerangan dari Roh Kudus. Ia mulai menemukan hal-hal baru yang ada di dalam Kitab Suci, dan mulai menerapkannya dalam iman dan kelakuannya. Sesudah pada awalnya Allah yang bekerja di dalamnya, dia sendiri juga mulai bekerja. Dengan demikian, manusia yang pasif dalam pertobatan awal (yang dikerjakan oleh Allah semata) menjadi aktif dalam pertobatan yang terus berlangsung. Itulah yang dimaksud PAD dalam pasal ini: Lalu kehendak yang telah diperbarui itu tidak hanya digerakkan dan didorong Allah, tetapi setelah digerakkan Allah, maka kehendak itu sendiri juga bergerak. Oleh sebab itu, dikatakan juga dengan tepat bahwa, oleh karunia yang telah diterimanya, manusia sendiri percaya dan bertobat.
Tetapi hal itu tidak berarti bahwa pertobatan yang terus berlangsung merupakan usaha manusia itu sendiri, karena sebenarnya pertobatan itu pun tetap merupakan karya Roh Kudus. Namun orang yang sudah ditobatkan oleh Allah turut mengerjakan pertobatannya yang terus berlangsung.
Pandangan kaum Arminian mengenai peranan manusia dalam perto-batan awalnya kepada Allah sangat berbeda dengan pandangan Reformasi. Mereka percaya bahwa manusialah yang menentukan apakah ia akan ditobatkan dan menjadi percaya kepada Allah atau tidak. Pandangan ini sesuai dengan apa yang telah kita pelajari sebelumnya mengenai ajaran mereka. Menurut mereka, Allah tidak memilih seorang pun untuk diselamatkan; sebaliknya, manusia sendiri yang memilih untuk diselamatkan. Demikian juga, bukan Allah yang memilih untuk menobatkan sejumlah orang, dan untuk meninggalkan yang lain. Sebaliknya, manusia sendirilah yang menentukan apakah ia akan dipertobatkan atau tidak.
Pandangan kaum Arminian itu dibahas dalam Penolakan III/IV, 9:
Ajaran Keliru | Rahmat dan kehendak bebas mengerjakan secara bersama, masing-masing untuk sebagian, awal pertobatan, dan rahmat tidak mendahului kegiatan kehendak bebas dalam hal urutan sebab-akibat. Artinya, setelah kehendak sendiri bergerak dan menuju ke pertobatan, barulah Allah membantu kehendak manusia dengan ampuh. |
Penolakannya | Gereja Lama pun sudah menolak ajaran ini pada zaman dahulu, ketika menolak kaum Pelagian, berdasarkan perkataan Sang Rasul, Jadi hal itu tidak tergantung pada kehendak orang atau usaha orang, tetapi kepada kemurahan hati Allah (Rm. 9:16). Demikian pula, Sebab siapakah yang menganggap engkau begitu penting? Dan apakah yang engkau punyai, yang tidak engkau terima? (1Kor. 4:7). Karena Allah-lah yang mengerjakan di dalam kamu baik kemauan maupun pekerjaan menurut kerelaan-Nya (Flp. 2:13). |
Kaum Arminian percaya bahwa Allah bersedia menolong manusia dalam perjuangannya melawan dosa dan dalam usahanya mencari kekudusan. Allah akan membantunya dalam pertobatannya. Tetapi Allah tidak akan menolong siapa pun kecuali kalau orang itu sendiri lebih dahulu ingin dipertobatkan. Artinya, manusia perlu lebih dulu memilih untuk menerima Kristus di dalam hatinya sebelum Kristus akan masuk ke dalam hatinya dan menolongnya.
Pandangan Arminian itu dikemukakan dengan sangat jelas dalam bagian cerita novel yang berikut. Di dalam novel itu, salah seorang perempuan Kristen dewasa menjelaskan kepada seorang anak perempuan, kenapa Allah tidak berdiam dalam hati setiap orang:
Allah itu bagaikan seorang lelaki sejati, yang tidak akan datang ke rumah orang lain jika Dia tidak diundang. Oleh sebab itu, Allah hanya tinggal dalam hati orang, baik laki-laki maupun perempuan, yang membuka pintu lubuk hati mereka. Allah ingin berdiam di dalam kita. Tetapi Dia menunggu dengan sabar dan tidak pernah mendobrak pintu hati manusia.
Anak kunci untuk membuka pintu hati seseorang hanya ada satu saja, dan anak kunci itu adalah dalam tangan kita. Allah memang Maha Kuasa, tetapi di sisi yang lain, ada satu hal yang tidak mampu Allah lakukan–yaitu mendobrak pintu hati kita. Allah ingin berdiam dalam hati setiap orang, dan saya berharap pada suatu saat Dia betul akan berdiam dalam hati setiap orang, saya tidak tahu. Tetapi sementara ini Allah hanya berdiam dalam hati orang yang terlebih dahulu dari dalamnya sudah membuka pintu bagi-Nya.87
Dengan demikian kaum Arminian telah menaklukkan kehendak Allah pada kehendak manusia. Manusia harus bertindak terlebih dahulu, dan sesudah itu Allah baru dapat bertindak. Kehendak Allah tidak berdaulat, tetapi bergantung pada kehendak manusia. Manusialah yang memprakarsai pertobatannya, bukan Allah.
PAD mengutip sejumlah ayat dari Kitab Suci untuk membantah pandangan kaum Arminian itu. Ayat-ayat itu menyatakan bahwa Allahlah yang memprakarsai pertobatan kita. Allah berkata, Aku akan menaruh belas kasihan kepada siapa Aku mau menaruh belas kasihan dan Aku akan bermurah hati kepada siapa Aku mau bermurah hati. Jadi hal itu tidak tergantung pada kehendak orang atau usaha orang, tetapi kepada kemurahan hati Allah (Rm. 9:15,16). Allah menaruh belas kasihan kepada manusia bukan karena manusia menghendakinya, melainkan karena yang Allah menghendakinya. Kehendak Allah-lah yang berdaulat, bukan kehendak manusia. Paulus juga berkata, Sebab siapakah yang menganggap engkau begitu penting? Dan apakah yang engkau punyai, yang tidak engkau terima? Dan jika engkau memang menerimanya, mengapakah engkau memegahkan diri, seolah-olah engkau tidak menerimanya? (1Kor. 4:7). Dalam konteks ayat ini, Paulus memperingatkan jemaat di Korintus agar mereka jangan membanggakan diri, seolah-olah mereka telah melakukan sesuatu yang tidak dilakukan oleh orang lain. Ia mengatakan kepada mereka bahwa hanya oleh karena anugerah Allah sehingga mereka telah menjadi anggota
Book 2), Bethany House Publications, 1990, hal. 177-178. umat-Nya, dan bukan karena sesuatu dalam diri mereka sendiri. Apakah sekarang mereka memiliki iman, sedangkan orang lain tidak? Itu bukan hasil usaha mereka, melainkan pemberian Allah (Ef. 2:8). Apakah mereka hidup setia sebagai orang beriman, dengan menghasilkan buah? Itu bukan hasil usaha mereka, melainkan hasil karya Kristus di dalam mereka ( Yoh. 15:5,6). Menurut kodrat mereka tidak ada perbedaan antara mereka dan orang lain yang mati dalam dosa mereka. Bahwa telah ada perbedaan merupakan hasil karya Allah, yang menyebabkan mereka menjadi berbeda oleh karunia kelahiran kembali.
Di dalam Filipi 2:13, Paulus mengatakan, karena Allah-lah yang mengerjakan di dalam kamu baik kemauan maupun pekerjaan menurut kerelaan-Nya. Kita sama sekali tidak memiliki keinginan maupun kemampuan untuk melakukan kehendak Allah. Keduanya harus dikerjakan Allah di dalam diri kita. Kitab Suci juga memperlihatkan bahwa kaum Arminian salah, kalau mereka mengatakan bahwa manusialah yang memprakarsai gerakan Allah untuk menunjukkan karunia dan kemurahan-Nya terhadap dirinya. Paulus menulis kepada jemaat di Filipi bahwa ia yakin sepenuhnya, yaitu Ia, yang memulai pekerjaan yang baik di antara kamu, akan meneruskannya sampai pada akhirnya pada hari Kristus Yesus (Flp. 1:6). Ayat ini menunjukkan bahwa menurut Paulus Allah-lah yang mengerjakan awal kehidupan rohani mereka sebagai orang yang percaya kepada Allah, bukan mereka sendiri. Kristus berkata, Bukan kamu yang memilih Aku, tetapi Akulah yang memilih kamu ( Yoh. 15:16). Pilihan kita selalu akibat dari pilihan Allah di dalam Kristus. Yakobus menulis: Atas kehendak-Nya sendiri Ia telah menjadikan kita oleh firman kebenaran, supaya kita pada tingkat yang tertentu menjadi anak sulung di antara semua ciptaan-Nya ( Yak. 1:18). Ia mengatakan bahwa Allah-lah yang memutuskan untuk melahirkan kita. Yang ia maksudkan bukan kelahiran jasmani, melainkan kelahiran kembali secara rohani yang dikerjakan Allah melalui pemberitaan Injil-Nya. Kelahiran kembali kita, pembaruan hidup kita, dan pertobatan kita adalah hasil kehendak Allah, bukan hasil kehendak kita.
Menurut PAD, pertobatan manusia merupakan karya adikodrati, yang amat kuat Menurut kesaksian Alkitab (yang diilhami oleh Dia yang melakukan karya itu), daya karya itu tidak kalah besar dibandingkan dengan penciptaan atau pembangkitan orang mati. Olehnya semua orang yang hatinya menjadi tempat Allah bekerja dengan cara yang menakjubkan ini, pasti dilahirkan kembali dengan cara yang tak tergagalkan dan ampuh, serta benar-benar menjadi percaya. Telah kita lihat bahwa pertobatan manusia adalah hasil kehendak Allah yang telah ditetapkan-Nya sebelum dunia dijadikan. Allah hendak menobatkan mereka yang telah dipilih-Nya. Manusia tidak mungkin dapat mengalahkan kehendak Allah itu. Semua orang yang telah dipilih Allah pasti dilahirkan kembali dengan cara yang tidak tergagalkan dan ampuh. Tidak ada syarat-syarat atau pengecualian, dan pertobatan itu juga bukannya tidak mungkin terjadi. Karena dengan kuat dan lembut Allah akan menundukkan kehendak mereka sehingga mereka dipertobatkan. Kaum Arminian menyangkal kuasa Allah yang berdaulat dalam karya kelahiran kembali, seperti dijelaskan dalam Penolakan III,IV, 7 dan 8:
Ajaran Keliru | Anugerah yang olehnya kita berpaling kepada Allah itu tidak lain dari suatu anjuran lembut. Atau (sebagaimana diterangkan orang-orang lain), cara kerja yang paling mulia dalam hal pertobatan manusia serta yang paling cocok dengan kodratnya, ialah cara kerja melalui anjuran-anjuran. Tidak ada alasan untuk beranggapan seakan-akan anugerah yang menganjurkan ini sendiri saja tidak cukup untuk membuat manusia kodrati menjadi manusia rohani. Bahkan, Allah tidak menghasilkan persetujuan kehendak selain melalui cara menganjurkan itu. Keampuhan karya Allah, yang menyebabkan karya itu melebihi karya iblis, terdiri dari hal ini, bahwa Allah menjanjikan harta kekal, sedangkan iblis menjanjikan harta sementara. |
Penolakannya | Hal ini seluruhnya sama dengan ajaran Pelagius dan bertentangan dengan seantero Kitab Suci. Selain cara tadi, Kitab Suci mengenal cara berkarya Roh Kudus yang lain lagi dalam pertobatan manusia, yang jauh lebih ampuh dan ilahi, sebagaimana terdapat dalam Yehezkiel, Kamu akan Kuberikan hati yang baru, dan roh yang baru di dalam batinmu dan Aku akan menjauhkan dari tubuhmu hati yang keras dan Kuberikan kepadamu hati yang taat (Yeh. 36:26). |
Ajaran Keliru | Dalam hal kelahiran kembali manusia, Allah tidak memakai kekuatan-Nya yang maha kuasa, yang begitu rupa hingga olehnya kehendak manusia akan ditundukkan-Nya dengan cara yang unggul dan tak tergagalkan kepada iman dan pertobatan. Sebaliknya, meskipun semua karya anugerah sudah dilaksanakan, yang dipergunakan Allah untuk membuat manusia bertobat, namun manusia masih juga dapat melawan dan nyata-nyata melawan Allah dan Roh Kudus, yang berusaha demi kelahirannya kembali dan yang berkehendak melahirkannya kembali, sedemikian rupa hingga ia bahkan menghalangi sama sekali kelahirannya kembali. Maka itu, manusia sendiri berkuasa memutuskan apakah ia akan dilahirkan kembali atau tidak. |
Penolakannya | Hal ini tidak lain dan tidak bukan meniadakan sama sekali keampuhan anugerah Allah dalam pertobatan kita dan membuat kegiatan Allah yang Maha Kuasa kalah terhadap kehendak manusia. Hal ini bertentangan dengan apa yang diajarkan Para Rasul, Betapa hebat kuasa-Nya bagi kita yang percaya, sesuai dengan kekuatan kuasa-Nya (Ef. 1:19), dan, Supaya Allah dengan kekuatan-Nya menyempurnakan kehendakmu untuk berbuat baik dan menyempurnakan segala pekerjaan imanmu (2Tes. 1:11), dan, Kuasa ilahi-Nya telah menganugerahkan kepada kita segala sesuatu yang berguna untuk hidup yang saleh (2Ptr. 1:3). |
Menurut kaum Arminian, peranan Allah dalan proses pertobatan manusia seumpama kekuasaan orang tua yang menegur anak remajanya yang nakal, atau seumpama kekuasaan seorang penatua atau pendeta yang memanggil kembali anggota jemaatnya yang telah meninggalkan gereja. Orang tua itu hanya dapat menjelaskan alasan kepada anaknya mengapa perbuatannya itu salah, tetapi orang tua tidak dapat mengubah pikiran dan keinginan anaknya. Sama halnya dengan penatua, ia hanya dapat menjelaskan kehendak Allah kepada anggota jemaatnya yang telah sesat, dan menasihatinya mengenai akibat yang menakutkan kalau ia menolak anugerah Allah, tetapi ia tidak dapat mengerjakan pertobatan di dalam hati orang itu.
Peranan Allah dalam pertobatan manusia, demikian ujar kaum Arminian, sama saja dengan peranan iblis dalam pemberontakan manusia. Baik Allah maupun iblis tidak menggunakan kekuasaan lain kecuali membujuk. Memang kaum Arminian mengaku bahwa kuasa bujukan Allah lebih besar, tetapi itu semata-mata karena Allah menawarkan sesuatu yang jauh lebih baik kepada manusia. Allah dapat memberikan harta yang kekal, sedangkan iblis hanya dapat memberikan harta yang sementara. Iblis dapat memberikan hal semacam kekayaan dan kekuasaan di dunia ini, tetapi semuanya itu tidak lama bertahan. Sedangkan Allah dapat memberikan harta dan kemuliaan surgawi yang tetap tinggal untuk selama-lamanya. Tetapi selain dari itu kekuasaan Allah untuk mempengaruhi manusia tidak lebih besar daripada kekuasaan iblis. Pemikiran kaum Arminian ini didasarkan pada pandangan mereka yang agak positif mengenai kemampuan manusia. Menurut mereka, sangat menghina, merendahkan dan memalukan manusia jika Allah menggunakan kuasa yang lebih kuat dari bujukan untuk mempertobatkan manusia. Sebagai contoh, jika seseorang memaksa orang lain untuk melakukan sesuatu yang sebenarnya juga ingin ia lakukan, orang itu pasti akan berkata dengan marah, Kau tidak perlu memaksa saya; kau hanya perlu minta saja! Saya pasti akan melakukannya! Begitu juga seorang anak yang sudah dapat mengikat sendiri tali sepatunya, pasti akan menolak tawaran ayah atau ibunya untuk mengikatkan tali sepatunya, dengan berkata, Tidak! Saya sudah bisa mengikat tali sepatuku! Dia tidak suka tawaran ayah atau ibunya, karena mencemoohkan kemampuannya! Demikian juga kaum Arminian meyakini bahwa kaum Reformasi mencemoohkan kemampuan yang ada pada manusia ketika mereka mengajarkan bahwa Allah mengerjakan pertobatan manusia dengan kuat. Menurut kaum Arminian, manusia sepenuhnya mampu untuk menobatkan dirinya sendiri. Oleh sebab itu mereka percaya bahwa ajaran mereka mengenai pertobatan manusia adalah cara kerja yang paling mulia dalam hal pertobatan manusia serta yang paling cocok dengan kodratnya.
Tetapi, bujukan apa pun tidak akan mampu membangkitkan manusia yang secara rohani mati. Tidak cukup untuk memperkenalkan kebenaran firman Allah kepadanya agar ia dapat menerimanya dengan percaya. Paulus dengan cara yang jelas pada waktu mengatakan bahwa manusia duniawi tidak mampu untuk menerima kebenaran sorgawi. Tetapi manusia duniawi tidak menerima apa yang berasal dari Roh Allah, karena hal itu baginya adalah suatu kebodohan; dan ia tidak dapat memahaminya, sebab hal itu hanya dapat dinilai secara rohani (1Kor. 2:14). Hanya jika Roh Kudus bekerja dalam hatinya, manusia dapat menerima apa yang dikatakan firman. Karena Roh Kudus-lah yang memulihkan kembali pikiran manusia dan memampukannya untuk mengerti kebenaran firman. Tanpa Roh Kudus, manusia tidak akan mampu untuk memahami dan menerimanya. Kitab Suci juga mengajarkan bahwa manusia hanya dapat memahami dan menerima kebenaran jika Allah memperbarui hatinya. Musa berkata kepada bangsa Israel, Tetapi sampai sekarang ini TUHAN tidak memberi kamu akal budi untuk mengerti atau mata untuk melihat atau telinga untuk mendengar (Ul. 29:4). Tetapi setelah mengatakan ini, Musa segera memberitahukan janji Allah, yaitu bahwa Dia akan memberikan mereka kemampuan untuk mengenal dan mengasihi-Nya. Dan TUHAN, Allahmu, akan menyunat hatimu dan hati keturunanmu, sehingga engkau mengasihi TUHAN, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu, supaya engkau hidup (Ul. 30:6). Janji yang sama sekali lagi diberikan kepada bangsa Israel yang telah dibuang ke Babel oleh karena mereka dengan sengaja memberontak terhadap Allah. Allah menjanjikan bahwa saatnya akan tiba, waktu Allah akan memperbarui hati mereka sehingga mereka akan hidup setia; tanpa karya kuasa Allah mereka tentu tidak mampu. Allah berfirman, Kamu akan Kuberikan hati yang baru, dan roh yang baru di dalam batinmu dan Aku akan menjauhkan dari tubuhmu hati yang keras dan Kuberikan kepadamu hati yang taat. Roh-Ku akan Kuberikan diam di dalam batinmu dan Aku akan membuat kamu hidup menurut segala ketetapan-Ku dan tetap berpegang pada peraturan-peraturan-Ku dan melakukannya ( Yeh. 36:26-27). Selain itu, Allah mengatakan, Tetapi beginilah perjanjian yang Kuadakan dengan kaum Israel sesudah waktu itu, demikianlah firman TUHAN: Aku akan menaruh Taurat-Ku dalam batin mereka dan menuliskannya dalam hati mereka; maka Aku akan menjadi Allah mereka dan mereka akan menjadi umat-Ku ( Yer. 31:33). Kalau Allah menuliskan hukum-Nya di dalam pikiran dan hati manusia, tentu lebih dari sekadar bujukan. Allah akan membuat bangsa Israel mengerti apa yang dikehendaki-Nya, dan Dia juga akan membuat mereka menghendaki melakukannya. PAD juga mengutip ayat-ayat lain, yang berbicara mengenai kekuatan yang besar yang dipakai Allah untuk mengerjakan iman di dalam hati kita sehingga kita dapat mengenal dan menerima kebenaran firman Allah. Paulus mengatakan bahwa kita percaya, sesuai dengan kekuatan kuasa-Nya (Ef. 1:19). Iman, yang merupakan hal yang perlu untuk pertobatan kita kepada Allah, dikerjakan oleh kuasa Allah di dalam diri kita. Iman tidak timbul dari dalam diri kita; tidak ada satu pun kemampuan di dalam diri kita yang bisa menghasilkan iman. Di tempat lain, Paulus berdoa bagi jemaat di Tesalonika supaya Allah kita menganggap kamu layak bagi panggilan-Nya dan dengan kekuatan-Nya menyempurnakan kehendakmu untuk berbuat baik dan menyempurnakan segala pekerjaan imanmu (2Tes. 1:11). Juga dalam ayat ini iman digambarkan sebagai karya Allah yang dikerjakan-Nya di dalam diri kita dengan kuasa-Nya. Terakhir, PAD mengutip Petrus, yang mengatakan bahwa kuasa Allah telah menganugerahkan kepada kita segala sesuatu yang berguna untuk hidup yang saleh oleh pengenalan kita akan Dia (2Ptr. 1:3). Apa yang ia maksudkan dengan segala sesuatu yang berguna untuk hidup yang saleh oleh pengenalan kita akan Dia tentu saja juga mencakup konsepsi hidup baru itu serta pertumbuhannya. Konsepsi hidup baru ini dikerjakan oleh kuasa Allah yang mulia dan ajaib. Kelahiran kembali manusia adalah sepenuhnya karya kuasa Allah semata. Ada satu hal lagi yang ingin kita bahas di sini. PAD mengatakan,
Olehnya semua orang yang hatinya menjadi tempat Allah bekerja dengan cara yang menakjubkan, pasti dilahirkan kembali dengan cara yang tidak tergagalkan dan ampuh, serta benar-benar menjadi percaya. Menurut PAD, kelahiran kembali menghasilkan iman. Atau dengan kata lain, PAD mengemukakan bahwa iman sebagai buah kelahiran kembali. Dalam Pengakuan Iman Gereja Belanda (Confessio Belgica, PIB), Guido de Brès mengatakan, Kita percaya, bahwa iman yang sejati itu, yang dihasilkan dalam hati manusia oleh pendengaran akan firman Allah dan oleh pekerjaan Roh Kudus, membuat manusia lahir kembali dan menjadi manusia baru (Pasal 24). Artinya menurut pasal ini, iman menghasilkan kelahiran kembali. Atau dengan kata lain, kelahiran kembali adalah buah iman. Apakah kedua ucapan itu bertentangan? Manakah dari kedua pernyataan itu yang benar?
Sebenarnya tidak ada pertentangan antara PAD dan PIB. Keduanya benar. Dalam pembahasan pasal ini sudah kita lihat bahwa kata (pertobatan) bisa dipakai dengan dua cara. Demikian juga halnya dengan kata kelahiran kembali, kata yang searti dengan (pertobatan). Kata itu dapat dipakai untuk menunjuk ke titik awal kelahiran kembali (konsepsi hidup baru), tetapi juga untuk menunjuk ke proses kelahiran kembali (pertumbuhan hidup baru itu). Bahkan kata itu dapat dipakai untuk menunjuk ke penyelesaian kehidupan kembali (kesempurnaan kehidupan rohani, bdk. Mat. 19:28).88
Ada saat tertentu dalam kehidupan manusia, ketika hidup baru itu dikandung. Tetapi hidup baru itu tidak langsung matang. Kalau PAD dalam pasal ini berbicara mengenai kelahiran kembali, maka yang dimaksud ialah konsepsi hidup baru. Hanya mereka yang telah menerima hidup baru itu (konsepsi), yang dapat menjadi percaya. Sedangkan pasal 24 PIB berbicara mengenai pertumbuhan hidup baru itu, dan dalam pertumbuhan itu iman mempunyai peranan yang besar.
Awal kelahiran kembali (Konsepsi hidup baru) PAD, III/IV, 12 | >> iman >> | Proses kelahiran kembali (pertumbuhan hidup baru) PIB 24 (bdk. PAD, I, 16) |
1. Ajaran mana yang mendasari keyakinan bahwa pertobatan merupakan karya Allah semata?
2. Kalimat atau istilah apa yang dipakai dalam Kitab Suci untuk menekankan bahwa pertobatan merupakan karya Allah semata?
3. Kata (pertobatan) dapat dipakai dengan dua cara; jelaskanlah dua cara itu, dan berikan contoh mengenai kedua cara itu dari dokumen-dokumen pengakuan!
4. Dalam hubungannya dengan perbedaan antara dua jawaban pada pertanyaan di atas, jelaskan apa peranan manusia dalam pembaruan hidupnya? Apakah dapat dikatakan bahwa pembaruan hidup manusia itu merupakan hasil usahanya?
5. Apa pendapat kaum Arminian mengenai peranan manusia dalam awal pertobatannya? Apa pendapat mereka mengenai peranan Allah dalam proses pertobatan selanjutnya?
6. Apa pengaruh ajaran Arminian mengenai pertobatan terhadap kedaulatan Allah?
7. Buktikanlah dari Kitab Suci bahwa gagasan yang mengatakan bahwa manusialah yang harus lebih dahulu bertindak dalam pertobatannya itu salah!
8. Apakah ada ketidakpastian mengenai pertobatan orang pilihan Allah? Mengapa?
9. Menurut kaum Arminian, dengan hal apa peranan Allah dalam awal pertobatan manusia dapat diibaratkan?
10. Menurut kaum Arminian:
1. Dalam Efesus 5:14 Paulus mengatakan Bangunlah, hai kamu yang tidur dan bangkitlah dari antara orang mati dan Kristus akan
bercahaya atas kamu. Jika memang sebenarnya Allah yang harus membangunkan orang yang mati secara rohani, mengapa manusia diperintahkan untuk bangkit dari antara orang mati?
2. Apakah ayat-ayat seperti Yohanes 5:25 dan Roma 4:17 berbicara mengenai pertobatan atau mengenai kebangkitan? Jelaskan alasannya!Cara karya ini tidak dapat dipahami sepenuhnya oleh orang percaya selama hidup ini. Sementara itu mereka merasa tenteram karena mengetahui dan merasa, bahwa oleh karunia Allah, mereka percaya dengan hati dan mengasihi Juru Selamat mereka. ( Yoh. 3:8; Rm. 10:9)
Seorang yang bijaksana tahu mengendalikan diri dalam hal bicara–ia tidak akan terlalu pendiam, juga tidak terlalu banyak bicara. Seorang yang bijaksana juga tahu mengendalikan diri dalam hal mencari jawaban–ia tidak akan menyelidiki hal-hal yang tersembunyi yang dalam kuasa Allah, tetapi dalam pada itu ia berusaha untuk memahami segala sesuatu yang telah dinyatakan Allah kepada manusia (bdk. Ul. 29:29). Dalam pasal-pasal sebelumnya, PAD telah menjelaskan ajaran mengenai kelahiran kembali. Tentu mereka menyadari bahayanya mengatakan terlalu sedikit atau terlalu banyak mengenai pokok itu. Bagaimanapun, kelahiran kembali merupakan misteri. Namun, kelahiran kembali itu dinyatakan dalam Kitab Suci. Nikodemus merasa heran, bagaimana mungkin seorang dewasa dapat dilahirkan kembali. Jawaban yang diberikan Kristus kepadanya menunjukkan bahwa ada banyak hal mengenai pokok itu yang tidak bisa dipahami manusia.
Berkat ilmu meteorologi, kita sekarang dapat menjelaskan apa yang menyebabkan angin bertiup. Tetapi pada zaman itu orang hampir tidak tahu mengenai hal itu. Angin bertiup ke mana ia mau, dan engkau mendengar bunyinya, tetapi engkau tidak tahu dari mana ia datang atau ke mana ia pergi. Demikianlah halnya dengan tiap-tiap orang yang lahir dari Roh ( Yoh. 3:8). Pada zaman itu orang tahu bahwa angin itu ada, karena mereka bisa merasakan hembusannya di wajah mereka, dan mereka bisa mendengar desirannya. Mereka tahu bahwa Allah-lah yang menyebabkan angin itu bertiup. Tetapi lebih dari itu mereka tidak tahu.
Demikian juga halnya dengan kelahiran kembali. Kita mengalaminya dalam kehidupan kita, dan dalam kehidupan orang lain. Tetapi kita tidak dapat memahaminya. Rancangan Allah tidak sama dengan rancangan kita, dan jalan-Nya tidak sama dengan jalan kita. Seperti tingginya langit dari bumi, demikianlah tingginya jalan-Ku dari jalanmu dan rancangan-Ku dari rancanganmu ( Yes. 55:8,9). Apalagi, pikiran kita kabur akibat kita telah jatuh ke dalam dosa, sehingga kita melihat dalam cermin suatu gambaran yang samar-samar (1Kor. 13:12). Karena itu, kita tidak mampu memahami bagaimana cara Allah mengerjakan kelahiran kembali. Hal itu tetap merupakan suatu misteri bagi kita. Tetapi itu tidak berarti bahwa kita harus berdiam diri mengenai kelahiran kembali, karena Allah telah menyatakan kebenaran itu kepada kita dalam firman-Nya. Dari firman-Nya, kita dengar bahwa kelahiran kembali teristimewa merupakan karya Roh Kudus, Pribadi ketiga dalam Trinitas. Kita dengar melalui alat-alat seperti pemberitaan Injil. Kita juga dapat menguraikan hasil kerja itu dalam hidup kita, yaitu bahwa kita menjadi mengenal Allah dengan pikiran kita, mengasihi-Nya dengan hati kita, dan mengabdi kepada-Nya dengan kehendak kita. Kita dapat menguraikan buah-buah karya Roh Kudus yang mulai kelihatan dalam hidup kita. Kita juga belajar dari Kitab Suci bahwa semuanya itu sepenuhnya adalah karya Allah semata, karya yang tidak mungkin kita tolak. Jadi, ada banyak hal yang dapat kita jelaskan mengenai kelahiran kembali. Tetapi mengenai bagaimana cara Allah mengerjakan kelahiran kembali di dalam manusia, hanya sedikit saja yang dapat kita katakan. Apa sebenarnya yang Allah lakukan di dalam hati dan pikiran kita? Dengan menggunakan mikroskop yang canggih, kita dapat melihat proses pembentukan embrio pada manusia. Dengan menggunakan alat ultrasonografi kita dapat melihat perkembangan janin di dalam rahim seorang ibu. Tetapi kita tidak dapat meletakkan kehidupan spiritual manusia di bawah sebuah mikroskop untuk meneliti apa yang sedang terjadi di dalam batin kita. Kita bahkan tidak dapat menunjukkan dengan tepat kapan kelahiran kembali itu terjadi. Kalau demikian halnya, apa sebabnya para penyusun PAD menitipkan pasal ini? Mungkin mereka melakukan itu untuk membela diri. Mungkin saja dituduh oleh lawan-lawan mereka bahwa mereka mau menyelidiki hal-hal yang dirahasiakan Allah, seolah-olah mereka dapat mengungkapkan seluruh misteri ini. Di satu pihak mereka mengaku bahwa mereka tidak dapat memahami secara lengkap bagaimana cara Allah mengerjakan hal ini. Tetapi di pihak lain mereka mengatakan bahwa mereka bukan tidak tahu sama sekali mengenai hal itu. Mereka telah menguraikan karya Allah dalam kelahiran kembali dengan tidak melangkahi batas yang ditentukan oleh penyataan Allah. Mungkin juga para penyusun PAD menitipkan pasal ini sebagai peringatan yang halus bagi para anggota gereja. Sama seperti anak-anak yang selalu ingin tahu, orang percaya pun selalu cenderung mencari jawaban-jawaban yang sebenarnya tidak dinyatakan Allah. PAD menyatakan bahwa tidak seorang pun yang mampu memahami dengan sepenuhnya kelahiran kembali yang dikerjakan Allah. Orang percaya tidak patut menyelidiki hal-hal yang tersembunyi yang tidak dinyatakan Allah. Alasan ketiga yang mungkin saja menjadi sebab para penyusun PAD metitipkan pasal ini adalah untuk menghibur mereka yang berjuang dengan keterbatasan pemahaman kita. PAD menyatakan bahwa tidak perlu dan tidak penting bagi kita untuk memahami perincian kelahiran kembali. Sama seperti seorang anak yang mungkin tidak memahami atau tidak dapat menjelaskan kepada teman-temannya apa pekerjaan ayahnya, dan bagaimana ia memperoleh gajinya, tetapi yang merasa terhibur karena menikmati hasil dari pekerjaan ayahnya. Setiap hari ia diberi makanan dan minuman, pakaian dan perlindungan, dan semua kebutuhan hidup lainnya. Dengan tersedianya semuanya itu, seharusnya ia puas.
Begitu juga dengan kelahiran kembali yang dikerjakan Bapa. Meskipun kita tidak dapat memahaminya, kita merasa tenteram karena mengetahui dan merasa karya Allah di dalam hati kita. Tidak penting bagaimana cara kelahiran kembali itu terjadi, tetapi yang penting adalah bahwa kelahiran kembali itu terjadi. Karena Kristus berkata, Aku berkata kepadamu, sesungguhnya jika seorang tidak dilahirkan kembali, ia tidak dapat melihat Kerajaan Allah ( Yoh. 3:3). Untuk penghiburan hati mereka, anak-anak Allah harus mampu melihat di dalam diri mereka tanda-tanda kelahiran kembali. PAD menyebutkan hanya dua hal yang merupakan buah kelahiran kembali, yaitu percaya dengan hati dan mengasihi Juru Selamat mereka. Pasal ini berfokus pada pemahaman dengan pikiran, tetapi buah-buah yang disebut menyangkut hati. Seakan-akan para penyusun pasal ini ingin menekankan bahwa kelahiran kembali tidak menjadi jelas asal kita memahami doktrin itu secara intelektual, tetapi hanya kalau kita dengan segenap hati kita percaya kepada Yesus dan mengasihi-Nya. Kalau orang yang percaya manyaksikan hal-hal itu dalam hidup mereka, pengetahuan itu sudah cukup untuk meyakinkan mereka bahwa mereka akan melihat Kerajaan Allah ( Yoh. 3:3).
1. Apa yang kita maksudkan ketika kita mengatakan bahwa kelahiran kembali merupakan suatu misteri? Apakah itu berarti bahwa kita tidak bisa mengatakan apa-apa mengenai kelahiran kembali itu?
2. Apa mungkin alasan-alasan para penyusun PAD menitipkan pasal ini?Maka iman merupakan karunia Allah. Bukan karena iman itu ditawarkan Allah kepada manusia, agar manusia berbuat sekehendaknya, melainkan karena iman itu sesungguhnya diberikan, diilhamkan, dan dicurahkan kepada manusia. Bukan juga karena Allah hanya memberikan kemampuan untuk percaya, dan sesudah itu mengharapkan persetujuan atau percaya yang nyata dari kehendak manusia yang bebas, melainkan karena Dia yang mengerjakan baik kemauan maupun pekerjaan, bahkan mengerjakan semuanya di dalam semua orang, Dialah yang mengerjakan di dalam manusia baik kemauan untuk percaya maupun iman itu sendiri. (Ef. 2:8; Flp. 2:13)
Dalam suratnya kepada jemaat di Efesus, Rasul Paulus menulis, Sebab karena anugerah kamu diselamatkan oleh iman; itu bukan hasil usahamu, tetapi pemberian Allah (Ef. 2:8).89 Demikian pula Paulus menulis dalam suratnya kepada jemaat di Filipi, Sebab kepada kamu dikaruniakan bukan saja untuk percaya kepada Kristus, melainkan juga untuk menderita untuk Dia (Flp. 1:29). Kata (dikaruniakan), secara harfiah berarti diberikan dengan cuma-cuma, atau diberikan sebagai hadiah. Dengan cuma-cuma, Allah memberikan hadiah iman kepada jemaat di Filipi. Paulus mengatakan, Sebab siapakah yang menganggap engkau begitu penting? Dan apakah yang engkau punyai, yang tidak engkau terima? Dan jika engkau memang menerimanya, mengapakah engkau memegahkan diri, seolah-olah engkau tidak menerimanya? (1Kor. 4:7). Apa sebenarnya yang dimaksudkan dengan iman adalah hadiah?
Apakah itu berarti bahwa Allah menawarkan iman kepada manusia, tetapi manusialah yang menentukan apakah menerima karunia itu atau tidak?
Dalam kehidupan kita sehari-hari, kadang-kadang ada perusahaan yang menawarkan produknya secara gratis untuk mempromosikannya. Tetapi jelas selalu ada kaitannya. Siapa yang mau menerima hadiah itu, perlu menghadiri dulu kegiatan promosi dari perusahaan itu, atau diminta mengisi daftar-daftar pertanyaan. Mereka memang menawarkan sesuatu, tetapi juga mengharapkan imbalan. Sering terjadi bahwa orang yang menerima tawaran semacam itu, menolaknya. Meskipun sebenarnya mereka suka menerima produk itu dengan cuma-cuma, mereka merasa hadiah yang ditawarkan tidak seimbang dengan imbalan yang harus mereka berikan. Apakah mungkin sama halnya dengan pemberian iman? Apakah Allah menawarkan iman kepada kita, dan membiarkan kita sendiri memutuskan apakah kita akan menerima tawaran-Nya atau tidak?
PAD menyatakan bahwa iman adalah pemberian, bukan karena iman itu ditawarkan Allah kepada manusia, agar manusia berbuat sekehendaknya, melainkan karena iman itu sesungguhnya diberikan, diilhamkan, dan dicurahkan kepada manusia.
Allah bukan seperti seorang pedagang yang menawarkan produknya kepada manusia, tetapi membiarkan manusia memutuskan apakah menerima tawaran-Nya atau tidak. Allah sesungguhnya memberikan iman kepada orang pilihan-Nya, mengilhamkan, dan mencurahkannya kepada mereka. Aku akan menaruh Taurat-Ku dalam batin mereka dan menuliskannya dalam hati mereka; maka Aku akan menjadi Allah mereka dan mereka akan menjadi umat-Ku ( Yer. 31:33). Kamu akan Kuberikan hati yang baru, dan roh yang baru di dalam batinmu dan Aku akan menjauhkan dari tubuhmu hati yang keras dan Kuberikan kepadamu hati yang taat ( Yeh. 36:26). Kasih Allah telah dicurahkan di dalam hati kita oleh Roh Kudus yang telah dikaruniakan kepada kita (Rm. 5:5). Itu sebabnya Kitab Suci mengatakan, dan semua orang yang ditentukan Allah untuk hidup yang kekal, menjadi percaya (Kis. 13:48). Kitab Suci dengan gamblang menyatakan bahwa manusia tidak dibiarkan apakah ia mau menerima iman atau tidak. Firman Allah melalui Nabi Yesaya, Aku telah berkenan memberi petunjuk kepada orang yang tidak menanyakan Aku; Aku telah berkenan ditemukan oleh orang yang tidak mencari Aku. Aku telah berkata: Ini Aku, ini Aku! kepada bangsa yang tidak memanggil nama-Ku ( Yes. 65:1). Paulus mengatakan bahwa harapan (iman) yang diletakkan oleh orang-orang pada Allah, adalah karya Allah yang di dalam segala sesuatu bekerja menurut keputusan kehendak-Nya, dan tidak menurut keputusan kehendak manusia: di dalam Dialah kami mendapat bagian yang dijanjikan–kami yang dari semula ditentukan untuk menerima bagian itu sesuai dengan maksud Allah, yang di dalam segala sesuatu bekerja menurut keputusan kehendak-Nya–supaya kami, yang sebelumnya telah menaruh harapan pada Kristus, boleh menjadi puji-pujian bagi kemuliaan-Nya (Ef. 1:11-12). Kepada yang seorang Roh yang sama memberikan imansemuanya ini dikerjakan oleh Roh yang satu dan yang sama, yang memberikan karunia kepada tiap-tiap orang secara khusus, seperti yang dikehendaki-Nya (1Kor. 12: 9,11). Kalau kita berbicara mengenai iman sebagai sesuatu yang dihadiahkan, perlu kita sadari bahwa manusia yang berdosa adalah (mati) di dalam dosa (bdk. Ef. 2:1), bukan hanya (sakit) seperti dikatakan kaum Arminian. Perlu kita bayangkan, manusia berdosa itu berada di dalam kamar mayat, bukan dalam rumah sakit. Seorang dokter akan mengoperasi pasien yang sakit hanya jika pasiennya bersedia dan setuju untuk dioperasi. Tetapi andaikan seorang dokter mampu menghidupkan kembali orang mati, ia tidak bisa menunggu orang mati itu menyatakan bersedia dan setuju sebelum ia akan dihidupkan kembali. Karena mayat itu tidak mungkin dapat menjawab tawarannya. Keputusan untuk menghidupakan atau tidak hanya dapat diambil oleh dokter sendiri.
Demikian juga dalam hal memberikan iman atau tidak, kehendak Allah berdaulat, dan menentukan. Allah tidak hanya sekadar menawarkan hadiah iman, kemudian menunggu apakah manusia itu akan menerimanya.
Orang pilihan sama sekali tidak mampu dalam dirinya sendiri mengambil keputusan untuk menerima Injil, karena mereka adalah mati di dalam dosa. Tetapi karena Allah dengan kuasa-Nya yang mengerjakan iman itu di dalam hati orang pilihan-Nya maka mereka semua, dan hanya mereka saja yang telah dipilih Allah, pasti dan tetap menjadi percaya. Kesimpulan bahwa Allah dengan kuasa-Nya memberikan iman kepada orang pilihan, tidak berarti bahwa iman yang diberikan kepada manusia bertentangan dengan kemauannya. Tentu tidak! Segera sesudah iman diberikan kepada orang-orang pilihan, mereka bergembira. Iman diberikan Allah kepada manusia tanpa persetujuan manusia. Tetapi segera sesudah iman diberikan kepadanya, manusia sendiri juga mau percaya dan sama sekali tidak ingin menolak iman yang diberikan kepadanya. Pokok ini akan dibahas lebih dalam pada pasal 16.
PAD meneruskan menolak pandangan-pandangan salah mengenai iman sebagai pemberian Allah. Bukan juga karena Allah hanya memberikan kemampuan untuk percaya, dan sesudah itu mengharapkan persetujuan atau percaya yang nyata dari kehendak manusia yang bebas. Kaum Arminian berpendapat bahwa iman adalah pemberian Allah dalam arti yang sama seperti bakat untuk musik adalah pemberian Allah. Ada anak yang ternyata memiliki bakat untuk musik. Telinga mereka tajam akan nada dan harmonisasi, dan mereka memiliki daya kreativitas yang memungkinkan mereka hingga mereka dapat memainkan alat musik dengan piawai. Tetapi tidak semua anak yang memiliki bakat untuk musik itu bersedia untuk memanfaatkan dan mengembangkannya. Terjadi juga bahwa orang yang memiliki kemampuan yang luar biasa menyia-nyiakan bakatnya itu, hanya karena mereka tidak ingin mengembangkannya. Demikian pula halnya dengan pemberian iman, menurut kaum Arminian. Allah memberikan kemampuan untuk percaya, tetapi tidak semua orang ingin untuk percaya. Itu sebabnya, sebagian manusia tidak mejadi percaya, kata mereka.
Menurut kaum Arminian, Allah memberikan kemampuan itu kepada semua orang! Allah telah memperlengkapi semua orang dengan karunia yang sama yang memungkinkan tiap orang untuk menjadi percaya. (Karunia) ini diberikan kepada manusia di dalam Firdaus. Meskipun manusia berdosa telah kehilangan banyak kemampuan dan kesanggupannya, namun menurut kaum Arminian manusia tidak kehilangan semuanya. Berkat kemampuan yang masih tersisa di dalamnya, menurut mereka, manusia berdosa masih memiliki kemampuan untuk bertobat dan menjadi percaya. Dalam pembahasan pasal 10, telah kami berikan beberapa kutipan dari tokoh-tokoh Arminian. Agar pembahasan kami lengkap, kami akan berikan sekali lagi. Arminius pernah mengatakan, Jika seseorang mengatakan bahwa tiap orang di seluruh dunia memiliki kemampuan untuk menjadi percaya dan untuk memperoleh keselamatan jika dia mau, dan bahwa kemampuan itu terletak dalam kodratnya, apa yang bisa kalian katakan untuk membantahnya?90 Pada Sinode Dordrecht, seorang tokoh Arminian yang lain (Corvinus) mengatakan, Pertobatan berada dalam kuasa kita yang bebas sehingga kita bisa membalik atau tidak membalik diri kita sendiri.91 Seorang lain lagi (Grevinchovius) berkata, Saya membantah bahwa prinsip utama iman, yang menjadi persyaratan dalam Injil, adalah sesuatu yang ditanam oleh Allah.92 Episcopius, seorang pemimpin kaum Arminian sesudah kematian Arminius, membantah bahwa Roh Kudus perlu mengerjakan apa pun pada pengertian atau kehendak manusia agar manusia dapat mempercayai firman yang diberitakan kepadanya, atau bahwa hal itu dijanjikan dalam Kitab Suci.93
Pandangan mereka juga ditulis dalam Penolakan III/IV, 6: Maka itu, iman–yang mengawali pertobatan kita dan yang menyebabkan kita disebut orang-orang beriman–bukanlah suatu sifat atau karunia yang dicurahkan Allah, melainkan perbuatan manusia semata-mata. Iman itu hanya dapat disebut (anugerah) dari sudut pandangan kemampuan untuk memcapainya.
Untuk menolak pandangan mereka, lebih dahulu perlu kita bantah gagasan bahwa manusia dapat menjadi percaya tanpa pertolongan istimewa dari Allah, asal ia menggunakan kemampuannya yang masih tersisa di dalamnya sejak manusia jatuh ke dalam dosa. Seperti yang dikatakan Rasul Paulus, Tetapi manusia duniawi tidak menerima apa yang berasal dari Roh Allah, karena hal itu baginya adalah suatu kebodohan; dan ia tidak dapat memahaminya, sebab hal itu hanya dapat dinilai secara rohani (1Kor. 2:14). Berarti, bahwa pengetahuan iman perlu diberikan kepada manusia. Kristus berkata kepada murid-murid-Nya, Kepadamu diberi karunia untuk mengetahui rahasia Kerajaan Sorga, tetapi kepada mereka (ahli Taurat dan orang Farisi) tidak (Mat. 13:11). Menurut Kitab Suci, iman dan kasih terikat erat (bdk. 1Tes. 5:8; 2Tim. 1:13; Flm. 1:5). Iman bekerja melalui kasih (bdk. Gal. 5:6), dan tanpa kasih, iman itu sia-sia (bdk. 1Kor. 13:2). Artinya, iman itu bukan hal pikiran saja, tetapi juga hal hati. Tetapi menurut kodratnya, Betapa liciknya hati, lebih licik dari pada segala sesuatu, hatinya sudah membatu: siapakah yang dapat mengetahuinya? ( Yer. 17:9). Ketika dilihat TUHAN, bahwa kejahatan manusia besar di bumi dan bahwa segala kecenderungan hatinya selalu membuahkan kejahatan semata-mata (Kej. 6:5). Hanya melalui Roh Kudus, manusia menjadi terharu hatinya (bdk. Kis. 2:37). Hanya melalui karunia yang diberikan Allah maka kasih Allah telah dicurahkan di dalam hati kita oleh Roh Kudus yang telah dikaruniakan kepada kita (Rm. 5:5). Selain itu, iman juga meliputi perbuatan kehendak manusia yang menerima atau menolak karunia Allah dalam Kristus. Tetapi menurut kodratnya kehendak kita budak kejahatan. Kristus berkata kepada orang-orang Farisi: Iblislah yang menjadi bapamu dan kamu ingin melakukan keinginan-keinginan bapamu ( Yoh. 8:44). Paulus berkata kepada orang Kristen di Roma: Dahulu memang kamu hamba dosa (Rm. 6:17,20). Pernyataan itu berlaku sama bagi kita semua.
Kehendak kita perlu dibebaskan oleh Allah, agar kita menghendaki melakukan lagi apa yang baik. Karena Allahlah yang mengerjakan di dalam kamu baik kemauan maupun pekerjaan menurut kerelaan-Nya (Flp. 2:13). Tetapi syukurlah kepada Allah! Dahulu memang kamu hamba dosa, tetapi sekarang kamu dengan segenap hati telah menaati pengajaran yang telah diteruskan kepadamu Tetapi sekarang, setelah kamu dimerdekakan dari dosa dan setelah kamu menjadi hamba Allah, kamu beroleh buah yang membawa kamu kepada pengudusan dan sebagai kesudahannya ialah hidup yang kekal (Rm. 6:17,22). Akibat keburukan kita, manusia, tidak seorang pun mampu dari dirinya sendiri menerima panggilan Injil dengan percaya. Seperti yang Kristus katakan, Tidak ada seorang pun yang dapat datang kepada-Ku, jikalau ia tidak ditarik oleh Bapa yang mengutus Aku ... ( Yoh. 6:44). Tidak ada seorang pun yang dari dirinya sendiri mampu mengaku percaya kepada Yesus supaya ia dapat diselamatkan (Rm. 10:9). Karena tidak ada seorang pun yang berkata-kata oleh Roh Allah, dapat berkata: Terkutuklah Yesus! dan tidak ada seorang pun, yang dapat mengaku: Yesus adalah Tuhan, selain oleh Roh Kudus (1Kor. 12:3). Berdasarkan kesaksian Kitab Suci itulah maka PAD mengatakan, iman merupakan karunia Allah karena Dia yang mengerjakan baik kemauan maupun pekerjaan, bahkan mengerjakan semuanya di dalam semua orang, Dialah yang mengerjakan di dalam manusia baik kemauan untuk percaya maupun iman itu sendiri.
1. Kebenaran penting apa yang tersingkap dalam Efesus 2:8 dan Filipi 1:29?
2. Apa yang dimaksud PAD dengan mengatakan bahwa iman bukan saja ditawarkan, tetapi sungguh-sungguh dikerjakan?
3. Hal apa yang perlu selalu kita ingat mengenai keadaan manusia ketika kita berbicara mengenai iman sebagai pemberian dari Allah? Bagaimana hal ini mempengaruhi jawaban Anda atas pertanyaan tadi, mengenai iman yang ditawarkan atau iman yang dikerjakan?
4. Apakah kenyataan bahwa Allah mengerjakan iman alih-alih menawarkannya, berarti bahwa iman dipaksakan Allah atas manusia menentang kemauannya?
5. Bagaimana pandangan kaum Arminian mengenai iman sebagai pemberian Allah? Kepada siapa karunia itu diberikan? Kapan?
6. Iman adalah pengetahuan yang membuat kita menerima firman Allah sebagai firman yang benar. Buktikan berdasarkan Kitab Suci:
- Sebelumnya PAD telah berbicara mengenai jaminan pemilihan yang memberi kepastian kepada orang pilihan mengenai pemilihan mereka (bdk. I, 12). Apakah seseorang dapat memperoleh kepastian bahwa ia telah dilahirkan kembali? Jika ya, bagaimana? Jika tidak, mengapa tidak? Dalam menjawab pertanyaan ini, perhatikan hubungan antara kelahiran kembali dan iman, yang juga mencakup kepercayaan (KH, p/j 21).
Allah tidak berkeharusan memberikan karunia ini kepada seorang pun. Sebab, apakah keharusan-Nya kepada seseorang yang tidak dapat terlebih dahulu memberikan kepada-Nya sesuatu apa pun yang wajib diganjar? Tambahan lagi, apakah gerangan keharusan Allah kepada seseorang yang hanya memiliki dosa dan dusta? Jadi, barang siapa yang menerima karunia ini, hanya kepada Allah ia berhutang syukur untuk selama-lamanya, dan hanya kepada Allah ia memang memberi syukur. Barang siapa yang tidak menerima karunia ini, ia sama sekali acuh tak acuh akan perkara-perkara rohani ini dan bersenang-senang atas hal-hal kepunyaannya, ataupun karena merasa dirinya aman ia bermegah dengan tidak beralasan seakan-akan memiliki apa yang tidak dimilikinya. Namun, sesuai dengan teladan para Rasul, mereka yang mengaku imannya secara lahiriah dan yang membenahi hidupnya, harus dinilai dan disebut dengan sebaik-baiknya, sebab kita tidak mengenal lubuk hati manusia. Adapun orang lain, yang belum dipanggil, orang harus mendoakan mereka pada Allah, yang menjadikan apa yang tidak ada menjadi ada. Jangan sekali-kali kita berlaku sombong terhadap mereka, seolah-olah kita sendirilah yang menyebabkan kita berbeda dari mereka. (Rm. 11:35; Am. 6:1; Yer. 7:4; Rm. 14:10 ; Rm. 4:17 ; 1Kor. 4:7)
Pada umumnya, kita selalu cenderung menyamakan persamaan dengan kejujuran, dan ketidaksamaan dengan ketidakjujuran. Menurut kita manusia, kejujuran menuntut bahwa semua orang diperlakukan sama. Kebenaran itu kuat masuk ke pikiran saya, ketika pada suatu kali saya ikut dengan darmawisata anak-anak sekolah ke pabrik roti. Setelah berkeliling melihat-lihat pabrik roti itu, guru yang memimpin perjalanan itu meminta saya untuk menuntun anak-anak keluar sementara ia ada urusan sedikit di dalam pabrik roti itu. Tidak lama kemudian, guru itu keluar dengan membawa beberapa kantong di tangannya. Melihat hal itu, anak-anak tidak sabar untuk mencicipi isinya. Tiap anak dapat sebuah kue coklat. Kemudian, guru menyuruh salah seorang murid untuk memberikan satu kantong kepada saya. Ketika saya membuka kantong itu, ternyata saya mendapatkan sebuah kue donat. Kue coklat memang enak, tetapi saya merasa (sama seperti guru itu) bahwa kue donat lebih enak. Tanpa sempat berpikir, spontan saya mengatakan, Ini tidak jujur! Saya merasa bersalah karena saya mendapat kue yang lebih enak dibanding yang anak-anak lain dapatkan. Tetapi dengan tenang dan yakin sang guru berkata, Itu memang adil!
Guru tersebut benar, dan saya salah. Dengan pernyataan spontan, saya telah menuduhnya berlaku curang dan tidak jujur. Tetapi sebenarnya dia sama sekali tidak berlaku curang. Ia membeli kue-kue dan donat itu atas ongkosnya sendiri. Ia sama sekali tidak diharuskan untuk membeli sesuatu bagi anak-anak itu atau bagi saya. Mengantar kami berdarmawisata sebenarnya merupakan pemberian yang cukup. Ia tidak berutang apa pun kepada kami, sehingga ia bebas untuk membeli apa saja yang ia mau, bagi anak-anak dan bagi saya. Demikian juga halnya yang berkaitan dengan karunia yang diberikan Allah. Kita selalu cenderung menyamakan persamaan dengan kejujuran, dan ketidaksamaan dengan ketidakjujuran. Tetapi dalam pasal ini PAD menunjukkan bahwa jalan pikiran manusiawi itu tidak sesuai dengan apa yang tertulis dalam Kitab Suci. Rancangan Allah tidak sama dengan rancangan kita, dan jalan pikiran-Nya tidak sama dengan jalan pikiran kita (bdk. Yes. 55:8). O, alangkah dalamnya kekayaan, hikmat dan pengetahuan Allah! Sungguh tak terselidiki keputusan-keputusan-Nya dan sungguh tak terselami jalan-jalan-Nya! Sebab, siapakah yang mengetahui pikiran Tuhan? Atau siapakah yang pernah menjadi penasihat-Nya? Atau siapakah yang pernah memberikan sesuatu kepada-Nya, sehingga Ia harus menggantikannya? (Rm. 11:33-35). PAD mengutip kalimat dari Paulus itu untuk mengingatkan kita akan satu hal yang sangat penting, yaitu bahwa Allah sama sekali tidak berutang apa pun kepada kita. Sebenarnya hal itu tidak hanya berlaku bagi orang berdosa, tetapi juga sudah berlaku bagi manusia di dalam Firdaus. Sebelum Adam jatuh ke dalam dosa, ia pun tidak pantas mendapatkan apa-apa berdasarkan perbuatannya atau bakatnya. Karena segala kemampuan dan bakat yang Adam miliki diberikan kepadanya oleh Allah. Ketika orang Israel mempersembahkan harta benda mereka untuk pembangunan Bait Allah, dengan tepat mereka katakan, Sebab dari pada-Mulah segala-galanya dan dari tangan-Mu sendirilah persembahan yang kami berikan kepada-Mu (1Taw. 29:14). Adam hanya dapat mempersembahkan kepada Allah apa yang sebelumnya telah Allah berikan kepadanya. Hadiah yang diberikan kembali kepada orang yang sebelumnya memberikannya tidak akan menghasikan utang budi. Itu sebabnya manusia di Taman Firdaus sama sekali tidak berhak mendapat kebaikan apa pun dari Allah.
Camkan juga apa yang dikatakan Yesus, Siapa di antara kamu yang mempunyai seorang hamba yang membajak atau menggembalakan ternak baginya, akan berkata kepada hamba itu, setelah ia pulang dari ladang: Mari segera makan! Bukankah sebaliknya ia akan berkata kepada hamba itu: Sediakanlah makananku. Ikatlah pinggangmu dan layanilah aku sampai selesai aku makan dan minum. Dan sesudah itu engkau boleh makan dan minum. Adakah ia berterima kasih kepada hamba itu, karena hamba itu telah melakukan apa yang ditugaskan kepadanya? Demikian jugalah kamu. Apabila kamu telah melakukan segala sesuatu yang ditugaskan kepadamu, hendaklah kamu berkata: Kami adalah hamba-hamba yang tidak berguna; kami hanya melakukan apa yang kami harus lakukan (Luk. 17:7-10).
Sama seperti itu, Adam di Taman Firdaus tidak pantas mendapatkan apa pun karena ketaatannya. Seandainya dia pernah taat, Allah sama sekali tidak berutang padanya, bahkan tidak untuk mengucapkan ?terima kasih kepadanya, karena Adam hanya melakukan apa yang ia wajib perbuat. Kalau hal itu berlaku bagi manusia yang masih berada di Taman Firdaus, apalagi bagi manusia berdosa! Tidak dapat dibayangkan bahwa Allah bisa berutang kepada orang berdosa untuk menunjukkan kebaikan-Nya kepadanya, padahal orang itu hatinya buruk total (bdk. Yer. 17:9) dan kesalehannya seperti kain kotor (bdk. Yes. 64:6). Apakah gerangan keharusan Allah kepada seseorang yang hanya memiliki dosa dan dusta?
Walaupun demikian, Allah menunjukkan kemurahan-Nya kepada sebagian orang. Dengan karunia ini PAD menunjuk pada karunia pertobatan, atau karunia kelahiran kembali dan iman, seperti yang telah dibahas pada pasal-pasal sebelumnya. Allah tidak menunjukkan kasih setia-Nya kepada semua orang. Seperti tertulis dalam pasal 11, Allah melaksanakan perkenan-Nya itu di dalam orang pilihan, dan mengerjakan di dalam mereka pertobatan yang sejati
Janganlah ada seorang pun menyalahkan Allah karena Dia memberikan karunia-Nya hanya kepada orang pilihan-Nya! Karena seperti apa yang ditekankan PAD dalam pasal pertama, semua orang telah berdosa di dalam Adam, hidup di bawah kutuk, dan layak mendapatkan kematian yang kekal. Allah tidak akan pernah berlaku tidak adil seandainya Dia telah membiarkan seluruh umat manusia tetap tinggal di dalam dosa dan di bawah kutuk dan menghukum mereka semua karena dosa. Allah sama sekali tidak berutang budi kepada seorang pun. Daripada menyalahkan Allah karena Dia tidak menunjukkan kemurahan hati-Nya kepada semua orang, seharusnya kita memuliakan Allah karena tiap orang yang menerima kemurahan-Nya itu!
Dalam penjelasan selanjutnya, PAD memaparkan sikap yang pantas terhadap karunia Allah yang sebenarnya kita tidak layak kita dapatkan. Dalam garis besar dipaparkan: (1) sikap manusia terhadap Allah, (2) sikap orang percaya terhadap orang lain, dan (3) sikap orang percaya terhadap dirinya sendiri.
Bagian ini dapat dibagi lebih lanjut dalam dua bagian, (a) sikap orang yang menerima karunia ini, dan (b) sikap orang yang tidak menerima karunia ini. Pasal ini dimulai dengan pernyataan, Allah tidak berkeharusan memberikan karunia ini kepada seorang pun. Berbeda sekali bunyi pernyataan dalam bagian ini: Jadi, barang siapa yang menerima karunia ini, hanya kepada Allah ia berutang syukur untuk selama-lamanya, dan hanya kepada Allah ia memang memberi syukur. Allah tidak berutang apa pun kepada manusia; tetapi manusia berutang budi kepada Allah untuk selama-lamanya. Dalam firman Allah ada banyak contoh mengenai orang-orang kudus yang memuliakan Allah karena karunia yang diberikan-Nya kepada mereka, dan yang mendesak orang lain untuk berbuat yang sama. Dalam Kitab Mazmur kita mendengar pujian, Bagaimana akan kubalas kepada TUHAN segala kebajikan-Nya kepadaku? Aku akan mempersembahkan korban syukur kepada-Mu, dan akan menyerukan nama TUHAN (Mzm. 116:12,17).
Paulus menulis: Terpujilah Allah dan Bapa Tuhan kita Yesus Kristus yang dalam Kristus telah mengaruniakan kepada kita segala berkat rohani di dalam sorga. Sebab di dalam Dia Allah telah memilih kita sebelum dunia dijadikan, supaya kita kudus dan tak bercacat di hadapan-Nya. Dalam kasih Ia telah menentukan kita dari semula oleh Yesus Kristus untuk menjadi anak-anak-Nya, sesuai dengan kerelaan kehendak-Nya, supaya terpujilah kasih karunia-Nya yang mulia, yang dikaruniakan-Nya kepada kita di dalam Dia, yang dikasihi-Nya (Ef. 1:3-6). Petrus berkata, Tetapi kamulah bangsa yang terpilih, imamat yang rajani, bangsa yang kudus, umat kepunyaan Allah sendiri, supaya kamu memberitakan perbuatan-perbuatan yang besar dari Dia, yang telah memanggil kamu keluar dari kegelapan kepada terang-Nya yang ajaib (1Ptr. 2:9). Apa yang kita berikan kepada Allah rupanya terlalu sedikit dan tidak cukup jika dibandingkan dengan karunia yang kita terima dari Allah. Namun Allah tidak menuntut apa pun selain pernyataan terima kasih dengan mempersembahkan syukur kepada-Nya dan hidup setia kepada-Nya (Mzm. 50:14,23). Kita diciptakan-Nya agar kita memuliakan-Nya, dan kita ditebus agar kita memuliakan-Nya. Tidak mengherankan bahwa Calvin memulai Katekismus yang ditulisnya dengan menekankan bahwa tujuan utama kehidupan manusia ialah memuliakan Allah. Itulah tujuan kehidupan kita sekarang ini, dan tetap akan tinggal menjadi tujuan kehidupan kita nanti.
Perhatikanlah bahwa PAD mengatakan bahwa mereka yang menerima karunia Allah berutang syukur sekaligus memberi syukur kepada-Nya. Barang siapa yang menerima karunia ini, hanya kepada Allah ia berhutang syukur untuk selama-lamanya, dan hanya kepada Allah ia memang memberi syukur. Mengucapkan syukur kepada Allah bukan hanya sekadar perintah, melainkan merupakan sesuatu yang pasti terjadi. Orang yang telah menerima karunia iman dan telah bertobat kepada Allah, pasti dan tetap akan mempersembahkan syukur dan pujian kepada Allah, karena hal itu merupakan salah satu buah yang pasti dan mutlak yang dihasilkan oleh kelahiran kembali. Tetapi tidak semua orang menerima karunia Allah. Kemudian apa sikap mereka yang tidak menerimanya? Kita dapat membagi mereka dalam tiga kelompok:
A) Sikap Mereka yang Tidak Pernah Mendengar Pemberitaan Karunia Injil
Kelompok ini adalah orang yang belum pernah mendengar pemberitaan Injil. Kita jangan berpikir bahwa mereka sebenarnya rindu dan ingin menerima karunia pertobatan dan iman, padahal semua itu tidak diberikan kepada mereka. Karena seperti tidak seorang pun yang mencari Allah, mereka tidak mencari karunia yang dapat mendamaikan mereka dengan Allah. Mereka merasa senang tetap tinggal dalam ketidaktahuan dan dosa mereka.
B) Sikap Mereka yang Pernah Mendengar Pemberitaan injil, Tetapi Menolaknya
Kelompok yang kedua adalah mereka yang pernah mendengar pemberitaan Injil tetapi yang tidak menerima karunia yang dijanjikan di dalam Injil. Mereka ini adalah kaum tertolak, yang telah ditentukan Allah untuk dibiarkan dalam dosa dan kesengsaraan mereka, dan yang menolak undangan Injil. Mereka sama sekali acuh tak acuh akan perkara-perkara rohani ini dan bersenang-senang atas hal-hal kepunyaannya. Kita jangan berpikir bahwa mereka sebenarnya rindu akan sesuatu yang tidak diberikan kepada mereka. Sebaliknya, mereka merasa senang tetap tinggal dalam dosa dan kesengsaraan mereka. Ingat misalnya orang-orang Yahudi yang dimaksudkan Paulus dalam Roma 10:3. Mereka tidak peduli sedikit pun untuk menerima karunia Allah yang dapat membenarkan mereka dalam Kristus. Mereka merasa senang dalam kebenaran mereka sendiri.
C) Sikap Mereka yang Menyatakan Telah Menerima Karunia Injil, Padahal Sebenarnya Mereka Tidak Menerimanya.
Kelompok yang terakhir adalah mereka yang menyatakan telah menerima karunia ini, dan secara lahiriah menunjukkan perilaku yang rupanya adalah buah pertobatan dan iman, padahal sebenarnya mereka tidak menerima karunia itu. Orang-orang ini adalah orang munafik. Mereka tidak merindukan karunia pertobatan dan iman, karena mereka terlena dan merasa aman karena keliru berpikir bahwa mereka telah menerimanya, padahal tidak. Meskipun mereka mendengar nasihat-nasihat Kitab Suci untuk jangan menjadi munafik, mereka tidak dengan sungguh-sungguh memeriksa diri mereka sendiri, karena mereka puas tinggal berkhayal bahwa mereka aman dan selamat.
Kelompok ini pun dapat dibagi dalam dua bagian, yaitu (a) mereka yang mengaku imannya dan membenahi hidupnya, dan (b) mereka yang belum dipanggil.
(A) Sikap Kita Terhadap Mereka yang Mengaku Imannya dan Membenahi Hidupnya
PAD menekankan bahwa kita tidak boleh mempermainkan Allah. Kitab Suci mengajarkan bahwa Allah mengetahui rahasia hati manusia (bdk.
Mzm. 44:22; 139:23; Kis. 15:8), hanya Dia saja yang tahu (bdk. 1Sam. 16:7). Kita dapat menilai pohon hanya dari buah yang dihasilkannya (bdk. Mat. 7:16-18). Artinya, kita bisa menilai orang hanya dari pengakuannya dan dari kelakuannya. Jika kedua hal itu telah sesuai dengan Kitab Suci maka kita harus menilai dan menyebut mereka dengan sebaik-baiknya. Perhatikan bahwa PAD memakai kata (menilai) dan (menyebut). Kita tidak boleh membiarkan pikiran negatif mengenai orang lain timbul dalam hati kita, dan janganlah kata-kata negatif mengenai orang lain keluar dari mulut kita, kecuali jika ada bukti dalam penyataan atau kelakuan mereka yang dapat membenarkan penilaian yang negatif itu. Hal itu perlu untuk menjaga hormat dan martabat orang lain, tetapi juga untuk mencegah timbulnya keraguan dalam hati orang lain yang juga menerima karunia Allah. (B) SikaP kita terHadaP Mereka yang BeluM diPanggil Adapun orang lain, yang belum dipanggil, orang harus mendoakan mereka pada Allah, yang menjadikan apa yang tidak ada menjadi ada. Siapakah yang dimaksud dengan ucapan itu? Apakah kalimat ini menunjuk kepada mereka yang belum pernah mendengar pemberitaan Injil, atau kepada mereka yang telah mendengar pemberitaan Injil tetapi belum menerimanya? Pertanyaan ini wajar, karena PAD menggunakan kata (panggilan) dalam dua arti.94 Konteks pembicaraan harus menentukan arti kata itu. Mengenai orang yang belum dipanggil, PAD mengatakan bahwa kita harus mendoakan mereka pada Allah, yang menjadikan apa yang tidak ada menjadi ada. Apa yang dimaksud dengan apa yang tidak ada menjadi ada? (lih. Rm. 4:17). Dalam bagian itu, Paulus berbicara mengenai kuasa Allah yang dalam riwayat Abraham telah memberikan hidup kepada orang yang telah mati. Ucapan Paulus itu berkenaan dengan Allah yang menciptakan hidup (benih perjanjian) di dalam rahim Sarai melalui Abraham yang usianya sudah begitu lanjut sehingga sebenarnya ia telah mati pucuk (Ibr. 11:12). Dari konteks itu dapat disimpulkan bahwa ketika PAD berbicara mengenai mereka yang belum mendengar pemberitaan Injil, yang mereka maksudkan adalah mereka yang belum sungguh-sungguh dipanggil Injil. Walaupun mereka sudah mendengar pemberitaan Injil, mereka belum menerima karunia kelahiran kembali. Misalnya kaum muda-mudi di gereja, atau juga mungkin orang yang sudah dewasa, yang selalu pergi ke gereja tetapi belum mengaku imannya. PAD menasihati orang percaya agar jangan menganggap mereka sebagai orang yang tertolak, tetapi sebaliknya mendoakan mereka supaya Allah menjadikan kehidupan rohani yang baru di dalam diri orang yang belum memiliki kehidupan rohani. (3) SikaP orang Percaya terHadaP dirinya Sendiri
Jangan sekali-kali kita berlaku sombong terhadap mereka, seolah-olah kita sendirilah yang menyebabkan kita berbeda dari mereka. Orang yang telah menerima karunia ini, sama sekali tidak boleh membanggakan diri karenanya. Pada saat kita berpikir bahwa Allah memberikan karunia itu kepada kita karena suatu kebaikan dalam diri kita, maka apa yang kita bicarakan sebenarnya bukanlah karunia lagi. Karena arti dari karunia sebenarnya adalah kemurahan yang tidak pantas kita dapatkan. Rasul Paulus dengan jelas menyatakan hal ini dalam suratnya kepada jemaat di Korintus, Ingat saja, saudara-saudara, bagaimana keadaan kamu, ketika kamu dipanggil: menurut ukuran manusia tidak banyak orang yang bijak, tidak banyak orang yang berpengaruh, tidak banyak orang yang terpandang. Tetapi apa yang bodoh bagi dunia, dipilih Allah untuk memalukan orang-orang yang berhikmat, dan apa yang lemah bagi dunia, dipilih Allah untuk memalukan apa yang kuat, dan apa yang tidak terpandang dan yang hina bagi dunia, dipilih Allah, bahkan apa yang tidak berarti, dipilih Allah untuk meniadakan apa yang berarti, supaya jangan ada seorang manusia pun yang memegahkan diri di hadapan Allah (1Kor. 1:26-29). Dan sekali lagi, Sebab siapakah yang menganggap engkau begitu penting? Dan apakah yang engkau punyai, yang tidak engkau terima? Dan jika engkau memang menerimanya, mengapakah engkau memegahkan diri, seolah-olah engkau tidak menerimanya? (1Kor. 4:7). Paulus sendiri juga rendah hati, seperti nyata ketika ia mengaku bahwa Kristus Yesus datang ke dunia untuk menyelamatkan orang berdosa, dan di antara mereka akulah yang paling berdosa (1Tim. 1:15).
1. Dengan apa manusia selalu cenderung untuk menyamakan persamaan? Apakah itu benar? Jelaskan mengapa!
2. Apakah Allah berutang budi kepada manusia di Taman Firdaus? Jelaskan mengapa!
3. Mengapa manusia tidak boleh menyalahkan Allah karena membatasi karunia-Nya hanya pada orang pilihan-Nya?
4. Apa seharusnya balasan mereka yang telah menerima karunia Allah? Dalam dua cara apa mereka dapat melakukan hal itu? Apa yang tersirat dalam ungkapan berutang syukur dan memberi syukur?
5. Apa sikap mereka yang tidak menerima karunia Allah? Apakah mereka rindu akan karunia Allah?
6. Apa sikap orang-orang munafik terhadap karunia Allah?
7. Apa seharusnya sikap orang percaya terhadap orang lain yang mengaku imannya dan membenahi hidupnya? Sikap apa yang perlu dihindari berkaitan dengan hal ini? Mengapa?
8. Siapakah yang dimaksud oleh PAD ketika berbicara mengenai mereka yang belum dipanggil? Apa dasar jawaban Anda?
9. Sikap apa yang perlu dihindari terhadap orang yang belum dipanggil? Apa yang seharusnya diperbuat oleh orang percaya bagi mereka?
10. Apa seharusnya sikap orang percaya terhadap dirinya sendiri?
Mengapa?
- Dalam Matius 9:37 tertulis: Tuaian memang banyak, tetapi pekerja sedikit. Selain itu, dalam Yohanes 4:35 Lihatlah sekelilingmu dan pandanglah ladang-ladang yang sudah menguning dan matang untuk dituai! Apakah benar jika kita mengatakan bahwa ada orang yang belum pernah mendengar pemberitaan Injil padahal mereka sangat merindukan karunia Injil?
Akan tetapi, manusia, meskipun ia telah jatuh ke dalam dosa, adalah tetap manusia, yang diperlengkapi akal dan kehendak. Dan dosa, yang telah menjalar kepada seluruh umat manusia, tidak memusnahkan kodrat manusia itu, tetapi merusakkannya dan mematikannya secara rohani. Begitu pula, karunia ilahi, yakni kelahiran kembali itu juga tidak bekerja di dalam manusia seolah-olah ia adalah sebongkah kayu dan sebuah batu, dan karunia itu tidak memusnahkan kehendak manusia dan sifat-sifat kehendak itu, dan tidak memaksa manusia berlawanan dengan kehendaknya. Tetapi karunia ilahi itu menghidupkan kehendak secara rohani, menyembuhkannya, memperbaikinya, dan menundukkannya secara lembut sekaligus kuat, sehingga di mana dahulu kedegilan dan perlawanan daging merajalela, sekarang oleh Roh mulai berkuasa ketaatan yang rela dan tulus. Itulah yang merupakan pembaruan dan kebebasan kehendak kita yang sejati dan rohani. Ya, jika Pembuat segala sesuatu yang baik, yang patut dikagumi itu, tidak bertindak sedemikian rupa terhadap kita, maka janganlah manusia berharap dapat bangkit dari kejatuhan melalui kehendaknya yang bebas, yang olehnya ia telah menceburkan diri ke dalam kebinasaan pada waktu ia masih berdiri. (Rm. 8:2; Ef. 2:1; Mzm. 51:12; Flp. 2:13)
Waktu saya duduk dan menunggu istri dan anak-anak saya di tepi kolam renang, saya melihat seorang ibu sedang menolong anaknya yang cacat berat, baik fisik maupun mental. Ternyata anak itu sangat tenang dan diam, dan rupanya ia sama sekali tidak memiliki kemauan sendiri. Ia kelihatan senang saja berbuat apa pun yang ibunya inginkan ia perbuat, dan senang mengikuti ibunya ke mana saja ia pergi. Ibunya menguasainya sama sekali. Ia menjalankan kehendaknya dalam segala hal, dan anaknya menerima pimpinannya. Agaknya anaknya sama sekali tidak memiliki kehendak sendiri. Dalam pasal-pasal sebelumnya, telah kita dengar bahwa kelahiran kembali yang dikerjakan Allah tidak terjadi dalam diri kita hanya melalui bunyi kata-kata pemberitaan, tidak juga oleh nasihat yang lemah lembut ataupun karya yang begitu rupa sehingga setelah Allah menyelesaikan karya itu maka manusia masih dapat menentukan apakah ia dilahirkan kembali atau tidak dan ditobatkan atau tidak. Olehnya semua orang yang hatinya menjadi tempat Allah bekerja dengan cara yang menakjubkan ini, pasti dilahirkan kembali dengan cara yang tak tergagalkan dan ampuh, serta benar-benar menjadi percaya (III/IV, 12). Apakah manusia sebenarnya sama seperti anak cacat itu, dan Allah sama seperti ibunya? Apakah manusia kehilangan kehendaknya sejak ia jatuh ke dalam dosa, sedangkan Allah menjalankan kuasa-Nya atas kehidupan kita sehingga kita sama sekali tidak giat lagi?
PAD menolak pandangan itu. Pikiran dan kehendak manusia adalah dua bagian kodratnya yang penting. Akibat dosa pertama, pikiran dan kehendak manusia memang sangat buruk. Ingatlah apa yang tertulis dalam pasal pertama dalam bab ini: Manusia telah mendapatkan bagi dirinya: kebutaan, kegelapan yang mengerikan, pertimbangan yang bebal dan jahat dalam akal budinya; kekejian, pemberontakan, dan ketegaran dalam kehendak hatinya (III/IV, 1). Walaupun demikian, sesudah ia jatuh ke dalam dosa manusia juga tetap memiliki pikiran dan kehendaknya. Otaknya masih tetap berfungsi, sekalipun tidak sempurna lagi. Manusia telah kehilangan pengetahuan kebenaran. Bahkan ia memilih dusta, seka-li pun kebenaran telah diperkenalkan kepadanya. Selain itu manusia tetap memiliki kehendaknya, meskipun kehendaknya itu juga tidak sempurna lagi. Pada awalnya manusia mampu memilih yang baik dan yang jahat. Waktu itu kehendaknya masih bebas. Tetapi karena ia sudah jatuh ke dalam dosa, kehendaknya telah diperbudak dosa sehingga manusia dapat memilih hanya yang jahat saja. Namun perlu dipertahankan bahwa manusia selalu bertindak bebas menurut kehendaknya yang buruk. Manusia berlaku jahat karena ia melakukan kemauannya sendiri, bukan karena ada paksaan. Sama seperti dosa pertama tidak memusnahkan pikiran dan kehen-daknya, demikian juga kelahiran kembali yang dikerjakan Allah tidak memusnahkan pikirannya dan kehendaknya. Memang Allah menjalankan kehendak-Nya yang berdaulat dengan kuat sehingga kita pasti dilahirkan kembali dengan cara yang tidak tergagalkan dan ampuh, tetapi itu tidak berarti bahwa kita sama seperti anak kecil dalam cerita tadi. Kita bukan orang yang sama sekali tidak giat lagi secara rohani. Setelah kita ditobatkan oleh Allah, kita masih terus memiliki pikiran dan kehendak kita sendiri. Kita terus berpikir dan memilih sendiri. Sebelum kami meneruskan penjelasan ini, kami perlu lebih dahulu membantah salah paham lain yang mungkin muncul, yaitu bahwa Allah memaksa kehendak manusia menjadi rela mengikuti kehendak-Nya.
Tadi saya menceritakan mengenai anak yang agaknya tidak memiliki kemauan sendiri. Tetapi pada hari itu saya juga melihat seorang ibu lain dengan anaknya. Ibu itu mau pulang, tetapi anaknya (yang berumur tiga atau empat tahun) tidak mau ikut. Akhirnya mereka saling tarik-menarik. Jelas Si Ibu yang menang, karena ia lebih besar dan lebih kuat daripada anaknya, sehingga si anak dipaksa ikut pulang, bertentangan dengan kemauannya. Anak itu diseret, dan waktu ia bersikeras dan duduk, ibunya mengangkatnya dan menggendongnya pulang, tidak hirau dengan kemauan anaknya meskipun ia meronta-ronta. Apakah Allah memaksakan kehendak-Nya atas kita, sama seperti ibu itu memaksa anaknya? Menurut kodrat kita, kita semua hidup di dalam hawa nafsu daging dan menuruti kehendak daging dan pikiran kita yang jahat (Ef. 2:3). Menurut kodrat kita, kita tidak mau hidup dengan percaya dan taat. Kita tidak mau ditobatkan dan dilahirkan kembali. Dalam keadaan kita sebagai orang berdosa, kita selalu ingin melaksanakan kehendak iblis, bapa kita (bdk. Yoh. 8:44). Namun Allah dengan kuasa-Nya dan dengan cara yang tidak tergagalkan melahirkan kita kembali. PAD menyatakan: karunia ilahi, yakni kelahiran kembali itu juga tidak memusnahkan kehendak manusia dan sifat-sifat kehendak itu, dan tidak memaksa manusia berlawanan dengan kehendaknya. Allah tidak memaksakan apa-apa kepada kita melawan kehendak kita. Bavinck mengatakan, panggilan Allah begitu kuat sehingga tidak dapat ditaklukkan, tetapi sekaligus begitu penuh kasih sehingga tidak ada paksaan sama sekali. 95 Dalam pasal 12, PAD sudah menyatakan bahwa kelahiran kembali yang dikerjakan Allah adalah karya adikodrati, yang amat kuat sekaligus amat lembut.
Alangkah baiknya kami coba jelaskan hal ini dengan menggunakan contoh yang telah kami pakai sebelumnya. Manusia berdosa dapat dibandingkan dengan orang yang telah meninggal dunia yang berada di rumah duka. Seandainya seorang dokter dapat menghidupkannya kembali, jelas operasi itu harus dilakukannya tanpa persetujuan dari mayat itu, karena orang yang telah mati tidak mungkin memberikan persetujuannya. Dokter sendiri yang harus memprakarsai operasi itu. Tetapi setelah mayat itu telah dihidupkan kembali, maka hati, pikiran, dan kehendaknya mulai berfungsi kembali. Setelah dihidupkan kembali, ia mulai mengungkapkan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada dokter yang telah menghidupkannya kembali. Dan jika dokter itu belum selesai dengan tindakan operasinya, ia pasti akan segera mengungkapkan harapannya agar dokter itu segera meneruskan dan menyelesaikan pekerjaannya. Pertanyaannya, apakah yang dilakukan dokter itu berlawanan dengan kehendak orang mati itu? Tentu tidak! Meskipun dokter melakukan operasi itu tanpa persetujuannya, tentu tidak berlawanan dengan kehendaknya. Meskipun dokter itu memulai pekerjaannya tanpa persetujuan orang itu, dokter itu meneruskan pekerjaannya dengan persetujuannya. Demikian pula halnya di bidang rohani. Manusia telah mati di dalam dosa (bdk. Ef. 2:1). Artinya, ia tidak dapat memohon kepada Allah untuk memulai operasi-Nya pada hati, pikiran, dan kehendaknya. Tetapi Kitab Suci dengan jelas menyatakan bahwa bila manusia telah dihidupkan kembali (kelahiran kembali), ia akan rindu dan berdoa kepada Allah agar Roh Kudus melanjutkan operasi-Nya pada hati, pikiran, dan kehendaknya. Daud berdoa dalam Mazmur, Jadikanlah hatiku tahir, ya Allah, dan perbaruilah batinku dengan roh yang teguh (Mzm. 51:12). Itu sebabnya PAD menyatakan, dan kita mengaku, bahwa karunia ilahi, yakni kelahiran kembali itu tidak memusnahkan kehendak manusia dan sifat-sifat kehendak itu, dan tidak memaksa manusia berlawanan dengan kehendaknya. Tetapi karunia ilahi itu menghidupkan kehendak secara rohani, menyembuhkannya, memperbaikinya, dan menundukkannya secara lembut sekaligus kuat. Maka, di mana dahulu kedegilan dan perlawanan daging merajalela, sekarang oleh Roh mulai berkuasa ketaatan yang rela dan tulus.
Sama seperti kelahiran kembali tidak dikerjakan dengan paksaan, demikian pula ketaatan yang dihasilkan oleh kelahiran kembali itu tidak dikerjakan dengan paksaan. PAD menekankan hal ini dengan menggam-barkan ketaatan itu sebagai rela dan tulus. Berarti, orang yang telah dila-hirkan kembali mempersembahkan ketaatan kepada Allah dengan setulus-tulusnya atas kehendaknya sendiri.
Kitab Suci memberi bukti yang jelas mengenai ketaatan yang rela dan tulus ini. Dalam Mazmur, Daud menyanyikan pujian, Aku suka melakukan kehendak-Mu, ya Allahku; Taurat-Mu ada dalam dadaku (Mzm. 40:8). Dalam satu doa yang panjang, Mazmur 119 mengungkapkan kerinduan hatinya untuk melayani Allah: Dengan segenap hatiku aku mencari Engkau, janganlah biarkan aku menyimpang dari perintah-perintah-Mu. Dalam hatiku aku menyimpan janji-Mu, supaya aku jangan berdosa terhadap Engkau (Mzm. 119:10-11). Perhatikan perbedaan yang mencolok di dalam diri manusia sebelum dan sesudah ia dilahirkan kembali. Sebelum ia dipertobatkan, kedegilan dan perlawanan daging merajalela. Setelah ia dipertobatkan mulai berkuasa ketaatan yang rela dan tulus.
Pertama, ada perbedaan besar antara merajalela dan mulai berkuasa. Meskipun keburukan manusia akibat dosa adalah total dan mutlak, kelahirannya kembali tidak akan pernah total dan mutlak sampai sesudah kehidupan ini. Itu sebabnya PAD memakai kata mulai berkuasa.
Perbedaan kedua adalah antara perlawanan daging yang merajalela pada orang yang belum dipertobatkan, dan ketaatan oleh Roh Kudus yang mulai berkuasa pada orang yang dilahirkan kembali. Tadi kita sudah melihat bahwa kelahiran kembali yang dikerjakan Allah dalam kehidupan ini belum sama luas dan dalamnya seperti keburukan manusia. Tetapi PAD juga menyatakan bahwa kelahiran kembali yang dikaruniakan Allah memenangkan keburukan manusia, seperti nyata dari kata berkuasa.96 Gagasan ini akan dibahas lebih lanjut dalam bab V, pasal 1. Patut diperhatikan bahwa hasil kelahiran kembali adalah bahwa manusia mempunyai kehendak bebas kembali. Melawan kaum Arminian, orang-orang Reformasi menyangkal bahwa manusia berdosa masih memiliki kehendak bebas. Menurut kodratnya, kehendak manusia adalah hamba dosa. Tetapi berkat karunia kelahiran kembali, kehendak manusia dibebaskan dari perbudakan dosa. Roh Kudus menjadikan aku (manusia berdosa yang dilahirkan kembali) sungguh-sungguh rela dan siap untuk selanjutnya mengabdi kepada-Nya (KH, p/j 1). Tingkat kebebasan kehendak kita itu seiring dengan tingkat pembaruan hidup kita. Semakin kita diperbarui, semakin kehendak kita dibebaskan. Baru setelah kehidupan kita di bumi ini maka pembaruan kehidupan kita akan selesai sehingga kehendak kita akan sepenuhnya bebas. Kaum Arminian menyangkal bahwa manusia telah buruk total, dan bahwa kehendak manusia adalah hamba dosa. Itulah sebabnya mereka juga tidak mengakui kedaulatan kehendak Allah. Mereka tidak mengakui bahwa Allah melaksanakan kehendak-Nya pada manusia. Menurut mereka, Allah hanya memberi anjuran dan dorongan lembut. Menurut mereka, inilah cara kerja yang paling mulia dalam hal pertobatan manusia serta yang paling sesuai dengan kodratnya.97
Tetapi dalam pasal ini, PAD menyatakan, jika Pembuat segala sesuatu yang baik, yang patut dikagumi itu, tidak bertindak sedemikian rupa terhadap kita (yaitu dengan menjalankan kehendak-Nya yang berdaulat pada manusia), maka janganlah manusia berharap dapat bangkit dari kejatuhan melalui kehendaknya yang bebas.
Manusia telah menceburkan diri ke dalam kebinasaan melalui kehendaknya yang bebas. Sebagai akibatnya, manusia berdosa tidak lagi punya harapan untuk bangkit kembali dari kejatuhannya melalui kehendaknya yang bebas. Satu-satunya harapan bagi manusia untuk bangkit dari kejatuhannya adalah kalau Allah memberikan kehendak baru kepadanya. Ingatlah kembali akan contoh mengenai mayat di rumah duka. Jika dokter itu menyerahkan begitu saja kepada orang yang telah meninggal itu mengambil keputusan sendiri untuk memberi persetujuannya sebelum dokter akan menghidupkannya kembali, jelas tidak akan ada satu orang pun yang telah meninggal yang akan dihidupkan kembali, karena seorang yang telah meninggal tidak lagi mampu memberi persetujuannya. Demikian juga, jika benar bahwa orang berdosa harus memprakarsai penebusannya melalui kehendaknya sendiri dengan memberi persetujuannya sebelum Allah akan menebusnya maka tidak ada satu orang pun yang dapat berharap akan bangkit dari kejatuhan, karena secara rohani manusia adalah mati. Kehendaknya adalah hamba dosa. Ia tidak lagi mampu memberi persetujuannya sebelum Allah akan menghidupkannya kembali. Tidak ada kemungkinan lain bagi manusia untuk dapat diselamatkan kecuali jika Allah melaksanakan kehendak-Nya yang berdaulat atas manusia.
1. Apakah manusia kehilangan kehendaknya setelah ia jatuh ke dalam dosa? Jelaskan jawaban Anda! Apa pengaruh kejatuhan ke dalam dosa itu terhadap kehendak manusia?
2. Apakah kelahiran kembali yang dikerjakan Allah itu memusnahkan kehendak manusia? Apa pengaruh kelahiran kembali terhadap kehendak manusia?
3. Apakah Allah melahirkan orang kembali berlawanan dengan kehendaknya? Atau tanpa mengindahkan kehendaknya? Atau dengan persetujuannya? Jelaskan jawaban Anda!
4. Apakah kelahiran kembali secara total oleh Roh Kudus sama seperti keburukan manusia oleh dosa adalah adalah total? Apa maknanya bagi ketaatan manusia?
5. Apa yang mencirikan atau menguasai hidup manusia yang telah dilahirkan kembali: ketidaktaatannya karena dosa, atau ketaatannya akibat kelahiran kembali? Jelaskan arti kuasa itu!
6. Apakah manusia di Taman Firdaus memiliki kehendak bebas? Apakah manusia memiliki kehendak bebas setelah ia jatuh ke dalam dosa? Apakah orang yang dilahirkan kembali memiliki kehendak bebas? Terangkan tingkat kebebasan itu!
7. Jelaskanlah pandangan kaum Arminian mengenai pertanyaan di atas! Menurut keyakinan mereka, apa yang tidak dilakukan Allah dan apa yang dilakukan-Nya?
8. Jika Allah berlaku seperti yang diajarkan kaum Arminian, apa akibatnya? Mengapa?
- Pada bagian akhir pasal ini, PAD menyebut kehendaknya yang bebas.
Apakah yang dimaksudkan adalah kehendak bebas sebelum manusia jatuh ke dalam dosa, atau kehendaknya setelah ia jatuh ke dalam dosa?
Karya Allah yang Maha Kuasa, yang olehnya Dia menciptakan hidup kodrati kita dan memeliharanya, tidak mencegah pemakaian sarana-sarana yang olehnya Allah dalam hikmat dan kebaikan-Nya yang tak terhingga ingin melaksanakan kekuatan-Nya itu, tetapi justru menuntut pemakaiannya. Demikian pula halnya karya adikodrati Allah yang tersebut di atas, yang olehnya kita dilahirkan-Nya kembali: karya ini sekali-kali tidak mencegah atau meniadakan pemakaian Injil yang telah ditentukan Allah yang berhikmat itu menjadi benih kelahiran kembali dan makanan bagi jiwa. Oleh karena itu, jangan sekali-kali tokoh-tokoh jemaat yang mengajar anggota-anggota jemaat lainnya, ataupun mereka yang diajar berani mencobai Allah dengan jalan menceraikan apa yang menurut perkenan-Nya dikehendaki-Nya supaya tetap tergabung erat. Begitu pula dahulu Para Rasul, dan guru-guru yang telah menggantikan mereka, dengan penuh ketakwaan mengajar rakyat mengenai karunia Allah itu demi kemuliaan Allah dan untuk menekan seluruh keangkuhan manusia. Sementara itu, mereka rajin berupaya, melalui pengajaran kudus dari Injil, supaya rakyat itu tetap terkumpul di bawah pelayanan teratur firman, sakramen-sakramen, dan disiplin gereja. Sebab, anugerah diberikan oleh pengajaran itu. Semakin kita berusaha melakukan kewajiban kita, semakin mulialah tampak anugerah Allah di dalam diri kita. Dengan demikian pekerjaan-Nya akan maju dengan cara yang paling tepat. Baik atas sarana-sarana itu, maupun atas buah dan keampuhannya yang mendatangkan keselamatan, hanya Allah saja yang patut menerima segala kemuliaan sampai selama-lamanya, Amin. ( Yes. 55:10,11; 1Kor. 1:21; Yak. 1:18; 1Ptr. 1:23,25; 1Ptr. 2:2; Kis. 2:42; 2Kor. 5:11-21; 2Tim. 4:2; Rm. 10:14-17; Yud. 24,25)
Kitab Suci mengajarkan bahwa penghamilan adalah karya Allah (bdk. Ayub 10:10,11; Mzm. 19:13-16). Proses biologis itu adalah keajaiban yang di-kerjakan Allah. Berkenan kepada Allah untuk melakukan perbuatan yang ajaib itu dengan menggunakan sarana-sarana. Penghamilan adalah hasil seorang suami yang bersetubuh dengan isterinya, dan melalui alat-alat tu-buh yang menghasilkan keturunan masing-masing mereka memberikan separuh kode genetik yang dibutuhkan untuk pembentukan janin. Keselu-ruhan mangsa manusia telah dilahirkan dengan pemakaian sarana-sarana itu, kecuali Adam, Hawa, dan Yesus. Kaum Arminian dan kaum Reformasi sependapat bahwa Allah menggunakan pemberitaan Injil sebagai sarana untuk mengerjakan kehidupan rohani yang baru dalam manusia. Tetapi soalnya adalah apakah Allah selalu menggunakan sarana ini saja kalau Ia mengerjakan kehidupan rohani yang baru. Seperti tadi kita lihat, dalam hal pembentukan kehidupan jasmasi pernah ada beberapa pengecualian, ketika Allah menciptakan kehidupan baru dengan tidak menggunakan sarana-sarana yang biasa digunakan-Nya. Apakah mungkin ada pengecualian semacam itu juga dalam kehidupan rohani, bahwa Allah kadang-kadang menciptakan kehidupan rohani yang baru dengan tidak menggunakan sarana-sarana yang biasa digunakan-Nya, yaitu pemberitaan Injil?
Perhatikanlah inti pertanyaan itu. Apakah Allah mampu menciptakan kehidupan rohani baru dengan tidak menggunakan sarana-sarana yang biasa digunakan-Nya, tidak dipersoalkan. Saya yakin bahwa tidak ada seorang Kristen pun yang meragukan apakah Allah mampu membuat demikian. Tetapi soalnya, apakah Allah memang membuat demikian. Kaum Arminian meyakini bahwa orang bisa dilahirkan kembali tanpa pernah mendengar pemberitaan Injil. Arminius mengatakan, Sarana-sarana yang biasa digunakan dalam kelahiran kembali manusia adalah pemberitaan Firman yang Kudus oleh manusia yang fana, dan itulah sebabnya semua orang terikat padanya. Tetapi Roh Kudus tidak mengikat dirinya pada sarana itu dalam arti bahwa Ia tidak mampu mengerjakan kelahiran kembali dengan cara yang luar biasa, tanpa campur tangan dan bantuan manusia, bagaimanapun juga dipandang baik oleh-Nya. Dan lagi ia mengatakan, Bukan kesesatan atau kekeliruan jika kita mengatakan bahwa meskipun tanpa melalui sarana ini (yaitu tanpa pemberitaan Injil) Allah dapat mempertobatkan orang. Dan lagi, Apa bahayanya atau keliruannya, jika seorang mengatakan, Allah mempertobatkan banyak orang (yaitu banyak sekali) dengan memberikan wahyu langsung dari Roh Kudus atau oleh pelayanan malaikat.98
Kitab Suci tidak memberikan satu contoh pun tentang orang yang dipertobatkan tanpa menerima pemberitaan firman Allah. Arminius sendiri pun mengakui hal itu. Kesaksian Kitab Suci malah sebaliknya! Kitab Suci menunjukkan kepada kita bahwa Allah menggunakan pemberitaan Injil. Allah berkenan menyelamatkan mereka yang percaya oleh kebodohan pemberitaan Injil (1Kor. 1:21). Dan, Tetapi bagaimana mereka dapat berseru kepada-Nya, jika mereka tidak percaya kepada Dia? Bagaimana mereka dapat percaya kepada Dia, jika mereka tidak mendengar tentang Dia Jadi, iman timbul dari pendengaran, dan pendengaran oleh firman Kristus (Rm. 10:14,17). Paling jelas apa yang dikatakan Petrus, Karena kamu telah dilahirkan kembali bukan dari benih yang fana, tetapi dari benih yang tidak fana, oleh firman Allah, yang hidup dan yang kekal (1Ptr. 1:23). Selain itu, kata Yakobus, Atas kehendak-Nya sendiri Ia telah menjadikan kita oleh firman kebenaran ( Yak. 1:18). Hal ini membuktikan bahwa yang berkenan kepada Allah adalah mengerjakan kelahiran kembali melalui pemberitaan Injil. PAD juga mengingatkan bahwa kehidupan manusia dipelihara melalui sarana-sarana. Sesudah dilahirkan, bayi perlu diberi makanan dan minuman agar tetap hidup. Memang pernah ada keajaiban, misalnya Elisa yang makan dan minum, dan oleh kekuatan makanan itu ia berjalan empat puluh hari empat puluh malam lamanya sampai ke gunung Allah, yakni gunung Horeb (1Raj. 19:8). Tetapi biasanya Allah menggunakan 21-22. sarana makanan dan minuman sehari-hari untuk memelihara kehidupan manusia. Demikian pula halnya dengan kehidupan rohani. Agar kehidupan rohani kita tidak mati, kita terus membutuhkan makanan rohani. Makanan rohani itu pertama-tama pemberitaan Injil. Firman Allah adalah makanan bagi jiwa kita. Ada sarana lain lagi yang digunakan Allah untuk memelihara iman kita dan menguatkan kehidupan rohani kita, yaitu sarana Sakramen (Baptisan dan Perjamuan Kudus) dan juga sarana Disiplin Gerejawi. Karena orang percaya terus-menerus membutuhkan makanan rohani itu maka Para rasul tidak hanya mengajar orang tentang karunia Allah untuk mempertobatkan mereka, tetapi juga memperingatkan mereka supaya mereka terus menggunakan sarana-sarana karunia (pemberitaan Injil, sakramen, dan disiplin gerejawi).
Mengingat kesesatan-kesesatan kaum Arminian, PAD memberi nasihat kepada gereja: jangan sekali-kali tokoh-tokoh jemaat yang mengajar anggota-anggota jemaat lainnya, atau mereka yang diajar berani mencobai Allah dengan jalan menceraikan apa yang menurut perkenan-Nya dikehendaki-Nya supaya tetap tergabung erat. Kita tidak boleh memisahkan pertobatan atau kelahiran kembali dari pemberitaan Injil. Hal itu berlaku baik bagi permulaan kelahiran kembali atau pertobatan, maupun bagi proses kelahiran kembali atau pertobatan yang berlangsung sepanjang hidup ini. Kehidupan rohani lahir dan tumbuh dengan menggunakan saran-sarana itu. PAD juga berbicara mengenai kontradiksi, yang rupanya ada, dengan karunia Allah. Dengan jelas sekali PAD telah menyatakan bahwa kelahiran kembali atau pertobatan dikerjakan oleh Allah, dan bahwa iman merupakan anugerah yang diberikan oleh Allah. Tetapi jika demikian, dapat timbul pikiran bahwa tidak patut pelayan Firman menyuruh para pendengarnya untuk berpaling kepada Allah dengan percaya dan bertobat. Tetapi sebenarnya tidak ada kontradiksi. Dengan tepat PAD mengatakan, anugerah diberikan oleh pengajaran. Allah mengerjakan iman di dalam hati orang melalui peringatan supaya mereka percaya. Allah mengerjakan pertobatan melalui peringatan supaya mereka bertobat. Melalui pemberitaan peringatan ini, dengan kekuatan-Nya, Allah mengerjakan iman dan pertobatan.
Penciptaan kembali dikerjakan Allah dengan cara yang sama. Dia telah menciptakan langit dan bumi. Pada mulanya Allah memerintahkan terang bercahaya, maka terang bercahaya. Dia memerintahkan air yang ada di bawah cakrawala itu dipisahkan dari air yang ada di atasnya, dan jadilah demikian. Dia memerintahkan air berkumpul pada satu tempat, dan Dia memerintahkan tanah kering mulai kelihatan. Melalui perintah-Nya, Allah mengerjakan segala mukjizat-Nya ketika Dia menciptakan langit dan bumi. Dan dengan memerintahkan manusia bertobat dan percaya, Allah mengerjakan mukjizat penciptaan kembali.
Ada contoh lain yang menunjukkan bahwa Allah mengerjakan karunia dalam diri manusia dengan sarana peringatan atau perintah. Kristus berkata kepada orang yang sebelah tangannya mati, Ulurkanlah tanganmu! Dan ia mengulurkannya, maka pulihlah tangannya itu, dan menjadi sehat seperti tangannya yang lain (Mat. 12:13). Dan Petrus berkata kepada pengemis yang lumpuh yang duduk di dekat pintu gerbang Bait Allah, Demi nama Yesus Kristus, orang Nazaret itu, berjalanlah! (Kis. 3:6). Baik Yesus maupun Petrus memberikan perintah kepada orang yang tidak mampu melakukan apa yang diperintahkan. Tetapi di sini juga tampak kontradiksi yang menakjubkan itu: Allah mengerjakan penyembuhan melalui perintah-Nya. Demikian pula halnya di bidang rohani. Meskipun iman dan penyesalan adalah hadiah yang diberikan Allah, Yesus memerintahkan orang, Bertobatlah dan percayalah kepada Injil! (Mrk. 1:15). Meskipun pertobatan dikerjakan oleh Allah, Petrus memerintahkan orang, sadarlah dan bertobatlah, supaya dosamu dihapuskan (Kis. 3:19). Kalau kita mengatakan bahwa Allah mengerjakan karunia pertobatan melalui pemberitaan Injil, kami tidak membatasi pemberitaan Injil pada khotbah yang disuarakan dari atas mimbar. Hal itu memang sarana yang utama, tetapi ada juga sarana-sarana lain. PAD menjelaskan bahwa Allah menggunakan tiga sarana untuk mengerjakan pertobatan, yaitu (1) pemberitaan Injil dengan mulut dari atas mimbar, (2) pemberitaan yang kelihatan melalui sakramen-sakramen, dan (3) pemberitaan firman Allah melalui disiplin gerejawi yang (diberitakan) oleh penatua-penatua di rumah-rumah orang yang hidup dalam dosa, yaitu dengan mengajak mereka hidup berdasarkan firman Allah dan dengan mengizinkan atau melarang mereka menerima sakramen-sakramen. Para pelayan Firman dipanggil untuk melaksanakan tugas mereka, yaitu untuk memberitakan Firman, untuk meyakinkan, menegur, dan menasihati (bdk. 2Tim. 4:2), untuk melayani sakramen-sakramen dengan baik dan setia, dan untuk bersama dengan para penatua menjalankan disiplin gerejawi terhadap mereka yang sesat. Anggota-anggota jemaat Allah dipanggil untuk melaksanakan kewajiban mereka, yaitu untuk mendengarkan firman Allah, untuk menerima sakramen-sakramen, dan untuk menaklukkan diri pada disiplin gerejawi. Karena berkenan kepada Allah adalah mengerjakan karunia-Nya dengan menggunakan sarana-sarana itu.
PAD menutup pasal ini dengan mengatakan, Semakin kita berusaha melakukan kewajiban kita, semakin mulialah tampak anugerah Allah di dalam diri kita. Artinya, kalau para pelayan Firman setia dan rajin menjalankan sarana-sarana yang dipakai Allah untuk menciptakan dan menumbuhkan kehidupan rohani, dan jika anggota-anggota jemaat setia dan rajin menggunakan sarana-sarana itu maka kita akan melihat tanda-tanda kelahiran kembali yang mulia dan ajaib yang dikerjakan Allah. Dalam diri orang yang menurut kodratnya mati di dalam dosa, Allah akan mengerjakan kehidupan rohani yang baru, sehingga mereka akan bertobat dan menjadi percaya. Sedangkan mereka yang telah menerima kehidupan rohani yang baru, akan terus bertumbuh di dalam iman dan kesetiaan. Janganlah kita meremehkan sarana-sarana yang diberikan Allah untuk mengerjakan dan menguatkan kehidupan rohani. Meskipun Injil diberitakan dengan kelemahan dan kekurangan, meskipun sakramen-sakramen sangat sederhana, dan meskipun disiplin gerejawi dirasa kejam, kita tidak boleh memandang rendah sarana-sarana karunia Allah. Karena berkenan kepada Allah untuk menggunakan sarana-sarana ini adalah untuk mengerjakan karunia-Nya. Baik atas sarana-sarana itu, maupun atas buah dan keampuhannya yang mendatangkan keselamatan, hanya Allah saja yang patut menerima segala kemuliaan sampai selama-lamanya, Amin.
1. Sarana-sarana apa yang dipakai Allah untuk menciptakan kehidupan baru secara jasmani? Sarana-sarana apa yang dipakai Allah untuk menciptakan kehidupan baru secara rohani?
2. Apakah Allah mampu mengerjakan kehidupan rohani baru dengan tidak menggunakan sarana-sarana ini? Menurut kaum Arminian, apakah Allah memang berbuat demikian? Menurut mereka, dengan cara apa orang dapat dilahirkan kembali? Apakah ada contohnya dalam Kitab Suci? Apa yang diajarkan oleh Kitab Suci?
3. Sarana-sarana apa yang biasanya dipakai Allah untuk memelihara kehidupan jasmani manusia? Sarana-sarana apa yang biasanya dipakai Allah untuk memelihara kehidupan rohani manusia?
4. Jika kelahiran kembali (atau pertobatan) dan buah-buahnya yaitu penyesalan dan iman merupakan karunia Allah, bagaimana mungkin para pelayan Firman dapat memerintahkan orang bertobat dan percaya? Jelaskan jawaban Anda dengan menggunakan contoh!
- Kadang-kadang orang berpikir bahwa disiplin gerejawi harus dijalankan hanya kepada anggota-anggota gereja yang telah dilahirkan kembali. Orang yang berpandangan demikian tidak mau menjalankan disiplin gerejawi kepada anak-anak perjanjian di dalam gereja yang tidak menanggapi panggilan Injil dan yang mulai sesat. Apakah pandangan itu dapat dibenarkan dalam terang pasal ini dan dalam terang Kitab Suci?