Apa yang pernah ada akan ada lagi, dan apa yang pernah dibuat akan dibuat lagi; tak ada sesuatu yang baru di bawah matahari (Pkh. 1:9). Jika dikaitkan dengan munculnya ajaran Arminian, ucapan ini tentu benar. Ajaran Arminian–yang keliru–bukanlah paham baru, tetapi merupakan bentuk lain dari paham yang sudah pernah tumbuh sebelumnya. Memang ada hal-hal baru di dalamnya, dan namanya juga baru, namun pada dasarnya ajaran ini sudah ada sejak dahulu. Perbedaan antara ajaran Arminius dan ajaran-ajaran yang diuraikan di bawah ini, sebenarnya hanya kecil. 1. Pada zaman Perjanjian Lama, orang Israel yang tidak setia berpendapat bahwa asalkan mereka memberikan persembahan-persembahan yang diperintahkan Allah dalam Hukum Taurat–meski hanya secara lahiriah–mereka tetap akan memperoleh berkat Allah. Dalam pikiran mereka, selama mereka memberikan persembahan yang diperintahkan Allah, Allah akan berkenan kepada mereka dan akan memberikan berkat-Nya kepada mereka karena kepatuhan mereka. Dalam Mazmur 50 kita mendengar mengenai orang Israel yang dengan berat hati dan terpaksa, datang ke Bait Allah untuk membawa persembahan yang diminta oleh Allah. Sebenarnya mereka tidak mau melakukan hal itu, tetapi mereka takut jika mereka tidak datang mempersembahkan apa yang diperintahkan Allah dalam Hukum Taurat, Allah tidak akan berkenan lagi kepada mereka dan tidak akan memberikan berkat-Nya. Mereka percaya bahwa jika mereka memberi persembahan yang ditentukan, Allah akan senang dan memberikan berkat-Nya kepada mereka. Mereka mengira bahwa dengan kepatuhan, mereka dapat memperoleh kemurahan Allah. 2. Orang Farisi menganggap dirinya benar (Luk. 18:9). Itu sebab-nya Yesus menceritakan perumpamaan tentang seorang Farisi dan seorang Pemungut Cukai. Dalam doanya, orang Farisi itu membang-gakan perbuatan-perbuatannya yang baik. Ia percaya bahwa dengan perbuatan-perbuatannya yang baik itu ia memperoleh kemurahan dan berkat Allah. Sebaliknya, Pemungut Cukai itu sadar bahwa ia tidak layak menengadahkan kepalanya ke langit, dan bahwa ia hanya dapat menaruh pengharapannya atas anugerah Allah. 3. Di kalangan orang Yahudi yang menjadi Kristen, ada kelompok (antara lain di tengah jemaat-jemaat di Galatia) yang percaya bahwa mereka dapat dibenarkan oleh karena melakukan hukum Taurat. Artinya, mereka percaya bahwa kepatuhan mereka pada Hukum Taurat Musa akan membenarkan mereka di hadapan Allah dan menyelamatkan mereka. Tetapi Paulus memperingatkan mereka, bahwa tidak seorang pun yang dibenarkan oleh karena melakukan Hukum Taurat, tetapi hanya oleh karena iman dalam Kristus Yesus (Gal. 2:16). 4. Pelagius, seorang biarawan Inggris yang hidup pada awal abad kelima, menyangkal bahwa manusia mewarisi kesalahan atau kerusakan dari dosa manusia pertama.4 Ia mengajarkan bahwa keturunan Adam sebenarnya sama sempurnanya sebagaimana Adam pada waktu dia diciptakan, dan bahwa setiap orang lahir dengan kemampuan untuk memilih melakukan hal yang baik atau jahat. Jadi, menurut Pelagius, bisa saja orang taat kepada semua perintah Allah dengan sempurna, dan berdasarkan itu menerima hidup yang kekal sebagai upahnya.
5. Penolakan ajaran Pelagius oleh Agustinus berhasil, sehingga ajaran Pelagianisme yang keliru tidak pernah diterima di dalam gereja kuno. Namun ajaran itu tidak hilang begitu saja dari pikiran para ahli teologi pada abad-abad itu. Setelah Agustinus meninggal, suatu bentuk aja-ran Pelagius yang agak dilunakkan, yang disebut Semi-Pelagianisme, dengan perlahan-lahan masuk ke dalam gereja kuno dan menjadi doktrin gereja yang sah. Semi-Pelagianisme itu adalah doktrin yang mengatakan bahwa manusia itu memang sakit, yaitu cenderung untuk berbuat jahat, tetapi tidak mati, sehingga ia masih mempunyai kemampuan untuk melakukan sesuatu yang baik. Menurut doktrin ini, manusia membutuhkan bantuan anugerah Allah agar ia dapatmemperoleh keselamatan. Artinya, dari dirinya sendiri manusia tidak mampu untuk memperoleh keselamatan, namun keselamatan itu bu-kan sepenuhnya merupakan pemberian Allah: manusia harus bekerja sama dengan Allah. Gereja Katolik Roma telah menerima ajaran dari Semi-Pelagianisme ini, dan sampai sekarang masih mempertahankan-nya. Tokoh-tokoh Reformasi, yang membebaskan gereja Kristus dari ajaran ini, sangat tertolong oleh karangan-karangan Agustinus. 6. Baru setengah abad setelah kematian John Calvin, tokoh besar aliran Reformasi, ajaran Semi-Pelagianisme yang sudah berabad-abad tumbuh di dalam gereja, dihidupkan kembali dalam bentuk yang baru, yaitu Arminianisme. Ajaran ini ditolak pada Sinode Dordrecht tahun 1618-1619,5 (dan ditolak juga dalam buku ini). 7. Kesalahan yang sama juga ditemukan di dalam hati kita sendiri, karena kita pun cenderung mengklaim bahwa paling kurang sebagian keselamatan kita merupakan hasil usaha kita sendiri. Itulah sebabnya, ajaran Arminius masih terus disukai oleh banyak orang Kristen. Pandangan itu tidak hanya terbatas pada salah satu (denominasi). Banyak gereja-gereja Protestan masih terus mengajarkan dan memberitakan ajaran Arminius. Karena itu, PAD sama sekali belum kedaluwarsa atau ketinggalan zaman. Sebaliknya, penelitian dokumen pengakuan ini masih tetap aktual dan relevan bagi kita sekarang ini.
Bangkitnya keMBali Suatu HereSi Jika kita hendak menceritakan peristiwa-peristiwa yang menye babkan kelahiran kembali ajaran dari kelompok heresi yang berasal dari abad-abad pertama maka kita harus membuka kembali lembaran sejarah mulai dari tahun 1560, tahun kelahiran Jacob Arminius. Beberapa tahun sebelumnya, api Reformasi dinyalakan. Pada tahun 1517, Martin Luther memakukan ke-95 dalilnya pada pintu gereja di Wittenberg. Luther meninggal pada tahun 1546. Calvin masih hidup sampai tahun 1564, dan penggantinya Theodorus Beza sampai tahun 1605. Pada saat itu, kobaran api Reformasi sudah tersebar luas, bahkan sampai ke Belanda, dan menyala terang pada tahun kelahiran Arminius. Jacob Arminius dilahirkan di Oudewater, salah satu kota kecil di Belanda. Ia adalah anak bungsu dari Harmen Jacobszoon (artinya: anak Jacob) dan isterinya Elborch, sehingga namanya sebenarnya Jacob Harmenszoon (artinya: anak Harmen). Sesuai dengan kebiasaan kaum terpelajar pada zaman itu dia (menerjemahkan) namanya ke dalam bahasa Latin, menjadi Jacobus Arminius. Ayahnya, Harmen, meninggal sebelum atau mungkin tidak lama setelah Jacob lahir. Jacob dibesarkan oleh sepupu ibunya yang bernama Dirk Almergerszoon, seorang pastor Gereja Katolik Roma di Utrecht yang bersimpati terhadap aliran Reformasi. Di Utrecht, Jacob belajar bahasa Latin, bahasa Yunani, dan teologi. Sangat mungkin, di sekolah di Utrecht itulah Jacob bertemu dengan sahabat karibnya di kemudian hari, Johan Uitenbogaert. Setelah Dirk Amelgerszoon meninggal, untuk sementara Jacob kem bali ke rumah ibunya. Tidak lama setelah itu, dia bertemu dengan seorang sepupu ibunya yang lain, yang bernama Roelof van Roijen van Schadenbroek, (kemudian diubah menjadi Rudolphus Snellius). Orang dari Oudewater ini adalah guru besar Matematika di Universitas di Marburg (di Jerman). Ia adalah pengikut Peter Ramus, seorang sarjana dari Perancis yang dalam pengajarannya menekankan bahwa manusia mempunyai kehendak bebas. Snellius yang mengurus agar Jacob belajar di Universitas Marburg hingga studinya selesai pada tahun 1574.
Pada 7 Agustus 1575, pasukan Spanyol menyerang dan menghancurkan kota Oudewater. Waktu Jacob kembali ke kampung halamannya, ternyata semua sanak saudaranya yang ketika ia pergi masih hidup, sudah dibunuh dalam pembantaian itu. Dengan demikian, Jacob sudah menjadi yatim piatu pada umur 15 tahun. Ia ditolong oleh Jean Taffin, seorang pendeta Prancis yang melayani jemaat Protestan berbahasa Prancis di Leiden, yang juga menjadi pendeta keluarga Pangeran Willem van Oranje. Jacob menginap di rumah seorang penolong yang lain yang bernama Peter Bertius, seorang pendeta di Rotterdam. Kedua orang ini membiayai studi teologinya di Universitas di Leiden, yang baru saja didirikan oleh Pangeran
Willem. Salah satu dari para pendeta di Leiden, Caspar Coolhaes,6 untuk sementara waktu sempat mengajar teologi di Universtas Leiden menjelang Jacob menyelesaikan studinya tahun 1581 pada usia 21 tahun. Berkat bantuan dari Persatuan Pedagang di Amsterdam, Arminius kemudian mendapat kesempatan untuk berstudi di Jenewa, di bawah bimbingan Theodorus Beza, pengganti John Calvin. Jacob mulai belajar di sana sekitar awal 1582. Di sinilah ia menjadi teman akrab Uitenbogaert, orang yang setelah Arminius meninggal sangat berperan dalam penyebaran ajarannya. Pada pertengahan tahun 1582, Arminius meninggalkan Jenewa karena terlibat perselisihan. Setengah tahun kemudian, setelah sempat belajar di Basel, dia kembali ke Jenewa dan menyelesaikan pendidikannya pada tahun 1586. Setelah melakukan beberapa perjalanan, pada akhir tahun 1587 ia kembali ke Amsterdam.
Untuk sementara, kita tinggalkan kisah Jacob Arminius, untuk me-nelisik suasana perkembangan teologi pada tahun-tahun pertumbuhan Arminius. Pada zaman itu pengaruh ajaran Reformasi sangat kuat di Belanda, meskipun demikian tidak semua orang menerimanya. Pengajaran Desiderius Erasmus (1466-1536), sarjana humanis terkenal dari Belanda, membawa pengaruh yang besar dalam perkembangan teologi pada zamannya. Erasmus sangat menghormati kecakapan manusia, dan menegaskan bahwa manusia memiliki kehendak yang bebas untuk memilih yang baik atau yang jahat. Seorang Belanda yang lain yang bernama Dirk Coornhert (1522-1590), adalah pengikut dan pengagum Erasmus yang sangat rajin. Ia adalah seorang Katolik Roma yang menghina iman Reformasi, dan yang dengan gigih menulis dan berceramah menentang ajaran predestinasi, dosa turunan, dan keburukan total. Ia tetap mempertahankan kedaulatan kehendak manusia. Baik Erasmus maupun Coornhert adalah anggota Gereja Katolik Roma. Tetapi di lingkungan Gereja Reformasi pun ada ahli-ahli teologi yang menentang pokok-pokok ajaran yang merupakan asas aliran Reformasi. Dalam Pengantar Sejarah pada PAD, tertulis bahwa ada sejumlah pastor yang mengabaikan kepausan, tetapi yang belum sepenuhnya lepas dari ajaran Katolik Roma. Mereka diterima sebagai pendeta di Gereja Reformasi tanpa melalui penelitian yang cukup cermat. Mereka terus mengajarkan ajaran Pelagius, heresi gereja kuno, yang pengajarannya telah menghancurkan Gereja Katolik Roma. Beberapa nama dapat disebutkan, diantaranya Caspar Coolhaes, pendeta di Leiden, Herman Herberts di Dordrecht, dan Cornelis Wiggerts di Hoorn. Mereka ini tentu sangat mempengaruhi suasana teologi pada tahun-tahun Arminius bertumbuh, dan pasti juga mempengaruhi perkembangan pandangan teologi Arminius. Pada 27 Agustus 1588, setelah diuji, Arminius ditahbiskan menjadi pendeta di Gereja Reformasi di Amsterdam. Sejak saat itulah pengajarannya mulai menimbulkan kecurigaan. Salah satu contoh yang jelas adalah kotbahnya mengenai Roma 7:18, yang di dalamnya Paulus berkata, Sebab aku tahu bahwa di dalam aku, yaitu di dalam aku sebagai yang bersifat daging, tidak ada sesuatu yang baik. Sebab menghendaki yang baik memang ada padaku, tetapi melakukan apa yang baik, tidak. Dalam kotbahnya, Arminius menjelaskan bahwa Paulus berbicara mengenai dirinya sendiri sebelum bertobat. Ia menggunakan nas ini untuk membuktikan bahwa kehendak alamiah manusia yang belum dilahirkan kembali adalah bebas memilih yang baik atau yang jahat. Ketika Arminius berkotbah mengenai Roma 9, banyak masalah yang berkaitan dengan ajaran pemilihan dan penolakan tidak dibicarakannya, sehingga kotbahnya itu menghidupkan kecurigaan yang lebih dalam lagi. Meskipun banyak kontroversi yang timbul dalam pelayanannya selama 14 tahun di Amsterdam, pada 1603, Arminius dipilih untuk menjadi guru besar di Universitas Leiden, menggantikan Fransiscus Junius yang telah meninggal dunia. Pengangkatannya menimbulkan banyak kerisauan. Majelis gereja di Amsterdam sadar bahwa kesejahteraan Gereja-gereja Reformasi bergantung pada kecakapan para guru besar yang mengajar pelayan-pelayan masa depan. Karena itu, majelis gereja itu berusaha membujuk pimpinan universitas agar tidak mengangkat orang yang ajarannya dicurigai. Tetapi pimpinan universitas di Leiden tetap mempertahankan keputusan mereka untuk mengangkat Arminius sebagai guru besar, dan meminta majelis gereja di Amsterdam melepaskan Jacob Arminius dengan hormat, agar dia dapat menduduki jabatannya di universitas di Leiden.
Majelis gereja di Amsterdam menolak melepaskan Arminius dari pelayanannya, kecuali jika ia setuju untuk lebih dahulu berbicara secara terbuka dengan guru besar Gomarus dari Universitas di Leiden dan menghilangkan semua kecurigaan terhadap ajarannya. Pada 6 Mei 1603, diadakan pertemuan di s-Gravenhage (Den Haag, pen.) dengan Gomarus, yang dihadiri oleh perwakilan pimpinan universitas di Leiden dan utusan dari Sinode Provinsi Holland-Utara dan Holland-Selatan. Di sana Arminius ditanyai mengenai pandangan-pandangannya. Ia mengatakan bahwa ia menolak ajaran Pelagius mengenai kehendak bebas manusia, mengenai dosa turunan, dan mengenai keburukan total manusia yang telah jatuh ke dalam dosa. Ia mempertahankan bahwa ajarannya sesuai dengan Katekismus Heidelberg dan Confesio Belgica,7 dan ia berjanji tidak akan mengajarkan sesuatu yang bertentangan dengan kedua dokumen pengakuan itu. Sesudah itu majelis gereja di Amsterdam membebaskannya dari pelayanannya di jemaat mereka agar ia dapat menjadi guru besar di universitas di Leiden. Guru Besar Gomarus menentang pengangkatan Arminius menjadi guru besar. Meskipun demikian, Arminius tetap diangkat, dan pada tahun itu juga ia menerima gelar Doktor. Banyak anggota pimpinan universitas memandang pengangkatan Arminius sebagai salah satu cara untuk mengurangi dominasi dan untuk mengimbangi aliran yang mereka anggap (fanatik) dari orang seperti Gomarus.8
Demi memperkuat kedudukannya di universitas, untuk sementara Arminius tidak mengungkapkan gagasannya yang keliru. Namun sesudah beberapa waktu secara diam-diam ia mulai menanamkan pemahamannya ke dalam pikiran murid-muridnya. Pada awalnya ia melakukan hal itu dalam pelajaran privat di rumahnya. Lambat laun ia semakin berani dan mulai mengajarkan gagasannya itu pada pelajaran secara tertutup dalam gedung universitas. Berbeda dengan para pelayan di jemaat yang pengajarannya selalu diawasi oleh majelis gereja, guru besar teologi pada saat itu dibiarkan tanpa pengawasan. Gomarus agak kecewa karena benar-benar tidak berdaya untuk menghentikan Arminius mempengaruhi para mahasiswa di universitas. Paling-paling ia dapat menyangkal dan membantah gagasan yang diajarkan rekannya. Dengan demikian Gomarus menjadi (musuh) besar Arminius, yang dengan gigih mempertahankan iman dan yang dengan terang-terangan menentang apa yang diajarkan Arminius. Akibatnya, universitas tidak lagi sepakat mengenai ajaran. Sebagian mahasiswa menerima ajaran yang diajarkan Arminius, sementara yang lain tetap setia pada iman yang telah mereka terima dari orang tuanya dan yang diajarkan Gomarus. Keterpisahan ini tidak hanya terbatas di lingkungan universitas. Mahasiswa yang sudah menyelesaikan studi di universitas, kemudian diuji oleh jemaat-jemaat. Walaupun jemaat-jemaat menemukan bahwa beberapa di antara mereka ada yang dianggap keliru, mereka tetap diangkat menjadi pendeta. Dengan demikian perselisihan antara Arminius dan Gomarus segera menular ke jemaat-jemaat dan menimbulkan banyak percekcokan. Sesudah beberapa waktu, kegelisahan dalam jemaat-jemaat berkembang begitu besar hingga Pengadilan Tinggi Provinsi Holland9 memanggil Arminius dan Gomarus untuk menjelaskan pertentangan-pertentangan mereka. Arminius mengaku bahwa pemerintah mempunyai hak dan kekuasaan untuk mengadili perkara mereka, tetapi Gomarus tidak menyetujui pendapatnya. Menurut Gomarus, pemerintah sama sekali tidak mempunyai hak hukum atas gereja. Ia mempertahankan pendapatnya bahwa perkara ini harus diputuskan oleh suatu Sidang Sinode Nasional. Perlu diingat bahwa pada zaman itu Gereja-gereja Reformasi di provinsi-provinsi di Belanda merupakan Gereja Negara. Seandainya suatu Sinode Nasional (yang mewakili jemaat-jemaat di seluruh provinsi di Belanda) akan mengadili perkara ini, Sinode itu pasti akan membenarkan Gomarus dan ajarannya; tetapi jika yang diadakan itu adalah Sinode yang hanya mewakili jemaat-jemaat di wilayah Provinsi Holland, jelas bahwa Sinode itu akan memihak kepada Arminius. Sebab, pengaruh ajaran Arminius di wilayah Provinsi Holland, Utrecht, dan Overijssel lebih kuat. Demikianlah adanya, para anggota Dewan Provinsi Holland10 yang pro-Arminius tentu akan menolak permintaan Gomarus, sehingga tidak akan terjadi Sinode Nasional. Pada tahun 1609 Arminius meninggal karena penyakit TBC, tetapi benih ajarannya yang telah ia tanamkan ke dalam benak para pengikutnya terus tumbuh dengan subur. Jacob Uitenbogaert, pendeta keluarga Pangeran Maurits, mengumpulkan 42 pendeta yang setuju dengan ajaran Arminius. Di bawah pimpinannya, pada 1610, golongan Arminian merumuskan dan mengajukan Remonstransi11 kepada Pemerintah Provinsi Holland. Remonstransi ini adalah pernyataan yang menguraikan kepercayaan mereka mengenai pokok-pokok yang diperdebatkan. Di dalam dokumen ini, mereka menyatakan bahwa mereka sama sekali tidak bermaksud mengubah Confesio Belgica, tetapi hanya meminta supaya pengakuan tersebut akan direvisi. Di samping itu, mereka juga mohon perlindungan dan pembenaran dari Pemerintah Provinsi Holland. Pada 1611, alih-alih mengumpulkan suatu sinode provinsi, Pemerintah Provinsi Holland malah memutuskan untuk mengadakan konferensi di Den Haag. Orang Arminian maupun orang Reformasi diminta untuk mengajukan pandangan mereka dalam bentuk tulisan pada konferensi tersebut. Orang Arminian mengajukan Remonstransi bersama dengan keberatan-keberatan mereka terhadap ajaran Reformasi, sedangkan orang
Reformasi mengajukan suatu Kontra-Remonstransi 12 yang menguraikan ajaran Reformasi dan keberatan-keberatan mereka terhadap ajaran Arminian. Tetapi konferensi ini gagal membawa titik temu bagi kedua belah pihak. Pada 1614, Pemerintah Provinsi Holland mengeluarkan Undang-undang Toleransi, yang menuntut kedua belah pihak untuk saling membiarkan. Pengikut Arminius dan pengikut Gomarus tidak diperbolehkan saling menyalahkan dalam khotbah. Tetapi tentu saja Gomarus tidak mungkin berdiam diri. Bersama dengan pengikut-pengikutnya, ia merasa terikat untuk memperingatkan jemaat-jemaat terhadap bahaya ajaran kelompok Arminian. Akibatnya, terjadi penyiksaan terhadap orang Reformasi, oleh campur tangan Pemerintah Provinsi Holland. Sekali lagi, perlu kita sadari bahwa Gereja Reformasi pada zaman itu merupakan Gereja Negara, yang berada di bawah kewenangan pemerintah negara. Di wilayah Provinsi Holland, pendeta-pendeta yang mempertahankan ajaran Reformasi diberhentikan dari jabatan mereka. Bahkan ada yang diusir keluar dari kota kediaman mereka. Adapun beberapa majelis gereja di provinsi itu, yang mempertahankan ajaran Reformasi, juga memberhentikan pelayan kelompok Arminian. Tetapi majelis-majelis tersebut diberhentikan oleh dewan kota-dewan kota. Dewan kota yang gagal menekan majelis gereja untuk membiarkan pendeta Arminian berkhotbah, oleh Pemerintah Provinsi Holland dibubarkan dan diganti. Pangeran Maurits sebenarnya tidak mau terlibat dalammasalah-masalah agama yang mengganggu ketenteraman wilayah Provinsi Holland. Tetapi akhirnya ia menyadari bahwa sudah waktunya untuk menegakkan sumpahnya, yaitu untuk selalu mempertahankan iman Reformasi. Ia menyuruh Pemerintah kota Den Haag memberikan sebuah gedung gereja kepada orang Reformasi untuk dipakai beribadah. Ketika pemerintah kota menolak, Pangeran Maurits merelakan istananya dipakai sebagai tempat ibadah. Kemudian ia memaksa pemerintah kota memberikan sebuah gedung gereja kepada orang Reformasi.
Pemerintah Provinsi Holland berharap Pangeran Maurits akan memihak kepada mereka dan menggunakan bala tentaranya untuk meniadakan kebebasan ibadah bagi orang Reformasi. Namun ketika mereka menyadari bahwa Pangeran Maurits tidak akan menghalangi orang Reformasi beribadah, mereka mengesahkan undang-undang yang memperbolehkan setiap kota membentuk pasukan bersenjata di wilayahnya sendiri. Komandan pasukan-pasukan bersenjata ini bahkan diperintahkan untuk menentang ketentaraan Pangeran Maurits! Dengan demikian muncul ancaman pecahnya perang saudara! Tetapi, pasukan-pasukan bersenjata yang baru dibentuk itu takut melawan tentara-tentara yang terlatih, dan segera menyerahkan senjatanya dan kemudian dibubarkan. Komandan pasukan-pasukan bersenjata, Johan van Oldenbarneveldt, yang juga pengacara negara, dan yang dengan pengaruhnya menguasai Pemerintah Provinsi Holland, akhirnya diadili, dihukum karena pengkhianatan terhadap negara, dan dieksekusi. Atas pengaruh Pangeran Maurits, dipanggil suatu rapat Sinode Nasional yang dihadiri oleh perwakilan jemaat-jemaat di seluruh Provinsi Belanda. Sinode inilah yang harus mempertimbangkan dan memutuskan perselisihan ajaran antara orang-orang Reformasi dan orang-orang Arminian. Dengan demikian, terselenggaralah Sinode Dordrecht yang terkenal, yang diadakan pada 1618-1619. Penilaian terHadaP HereSi Karena dukungan Pangeran Maurits, pemerintah negara akhirnya setuju bahwa perselisihan antara orang Arminian dan orang Reformasi akan dinilai oleh Sinode Nasional Gereja-gereja Reformasi di Belanda, dan bukan hanya oleh Sinode Gereja-gereja di Provinsi Holland saja. Sinode Nasional yang terkenal ini mulai di Dordrecht pada 13 November 1618. Sinode ini dihadiri oleh 18 pejabat politik (pengacara, hakim, polisi, walikota, dan lain-lain) yang diutus oleh pemerintah negara untuk mengawasi jalannya persidangan sinode dan melaporkan hasilnya. Jemaat-jemaat di Belanda diwakili oleh 57 orang pendeta dan majelis. Adapun lima orang guru besar teologi yang diutus, yaitu Gomarus, Polyander, Sibrandus, Thysius, dan Walaeus.
Meskipun sinode ini sebenarnya adalah Sinode Jemaat-jemaat di Belanda, gereja-gereja di luar Belanda juga diundang untuk mengirimkan delegasinya. Sinode ini dihadiri oleh 25 orang utusan dari gereja-gereja di Britania Raya (Inggris, Skotlandia, Irlandia), negara bagian Palz dan
Hessen (dua wilayah yang kini termasuk Jerman), Swiss, dan dari kota Jenewa, kota Bremen, dan kota Emden. Gereja Reformasi di Perancis juga diundang, tetapi Raja Perancis yang menentang gerakan Reformasi melarang utusannya pergi ke Dordrecht untuk menghadiri sinode itu. Agar suara mereka didengar, gereja-gereja Perancis mengirim surat ke Sinode; yang di dalamnya mereka mengungkapkan pandangan mereka mengenai kekeliruan Arminius. Dengan demikian Sinode Dordrecht memang merupakan suatu Sinode Nasional dari jemaat-jemaat di Belanda, yang dikumpulkan oleh pemerintah Belanda, namun nasihat dari gereja-gereja Reformasi di negara-negara lain juga diminta dan diterima.
Para anggota Sinode serta pejabat-pejabat politik menganggap layak memberi kesempatan kepada orang Arminian untuk menjelaskan pendirian mereka dalam rapat Sinode. Jadi, empat hari setelah pembukaan Sinode, 15 sarjana dari aliran Arminian ditunjuk untuk menghadiri Sinode. Dari orang-orang yang ditunjuk oleh sinode ini ada 14 orang yang bersedia datang, diantaranya ada Episcopius, seorang guru besar di Leiden yang dipandang sebagai pemimpin orang Remonstran. Mereka tiba pada 13 Desember, dan selama lima hari mereka mengajukan pandangan dan perasaan mereka kepada sinode, di antaranya suatu dokumen dengan sejumlah dalil, Pandangan-pandangan Orang Remonstran. Orang Arminian menegaskan bahwa sebenarnya bukan mereka yang menyebabkan kekacauan dalam gereja, tetapi para lawan mereka. Oleh karena itu mereka tidak menganggap diri mereka sebagai pihak yang bersalah yang sedang diadili. Mereka tetap berpendapat bahwa Sinode sebenarnya bersifat konferensi yang mempertemukan dua kubu yang sederajat, yang di dalamnya mereka dapat membicarakan pokok-pokok perselisihan mereka. Tetapi Sinode dengan tegas menyatakan, bahwa mereka dipanggil untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan kepada mereka, dan bahwa jawaban-jawaban mereka akan dinilai oleh Sinode berdasarkan firman Allah. Karena tidak puas dengan prosedur ini, orang-orang Arminian berusaha mengacaukan Sinode dan menghambat acara rapat sehingga Sinode tidak dapat menyelesaikan pekerjaannya. Merasa bahwa sidang terus-menerus dihambat, membuat kesabaran pimpinan Sinode sampai pada batasnya, akhirnya ketua sidang, Pdt. Johanes Bogerman dengan penuh amarah berkata: Kalian telah menolak untuk mendengarkan kami. Dengan sengaja kalian sudah terus-menerus menghasut. Kalian telah berdusta dan menipu. Oleh karena itu, kami tidak mau lagi kalian berada terus di tengah-tengah kami. Kalian diusir. Keluar!...Keluar!...Keluar!12
Setelah kelompok Arminian diusir, para anggota Sinode dibagi dalam beberapa panitia, berdasarkan jumlah ketujuh Provinsi Belanda, kelima guru besar, dan para utusan dari negara-negara lain. Tugas pertama yang harus diselesaikan oleh setiap panitia adalah merumuskan pandangan ajaran Arminian dengan menggunakan tulisan-tulisan mereka sendiri sebagai sumber utama. Panitia-panitia sibuk dengan tugas itu dari tanggal 17 Januari sampai 6 Maret 1619.13
Dari tanggal 6-21 Maret, Sinode mempelajari pernyataan yang telah dirumuskan oleh panitia-panitia itu. Sinode menyusun Pasal-pasal ajaran Dordrecht (PAD) dari tanggal 15 Maret sampai 16 April. Rumusan PAD ini dibacakan dari tanggal 16-22 April, setelah itu ditandatangani oleh semua utusan, baik yang berasal dari gereja di Belanda maupun dari gereja-gereja negara lain. Sinode Dordrecht ditutup pada 26 Mei 1619, setelah berlangsung selama sekitar setengah tahun (180 sesi). Tidak semua sesi membahas tentang ajaran Arminian. Ada banyak hal lain yang juga dibahas, seperti yang akan dijelaskan pada halaman-halaman berikut dalam buku ini. PeneriMaan HereSi Sungguh mengherankan bahwa gereja-gereja di Belanda pada zaman itu begitu cepat terpengaruh oleh suatu ajaran yang mengancam segala sesuatu yang telah diperoleh gereja-gereja melalui Reformasi, yang dimulai hanya seratus tahun sebelumnya, yakni ketika Luther memakukan 95 dalilnya pada pintu gereja di Wittenberg. Apa sebab kekeliruan ini begitu menarik dan dengan begitu cepat diterima oleh begitu banyak orang? Ada sekurang-kurangnya dua faktor yang perlu disebut:
1. Ketika Reformasi menjalar pada abad ke-16, sejumlah besar pastor dari Gereja Katolik Roma masuk aliran Reformasi. Di antara mereka ada banyak yang hanya dengan satu alasan saja menjadi Reformasi, yaitu karena keburukan moral di dalam Gereja Katolik Roma. Mereka tidak pernah melepaskan diri mereka dari keyakinan Katolik Roma. Ajaran Arminius lebih sesuai dengan pandang mereka dibandingkan dengan ajaran Calvin, karena ada persamaan yang besar antara ajaran Semi-Pelagianisme yang dianut oleh Gereja Katolik Roma dengan ajaran Arminius. 2. Orang Remonstran berpendapat bahwa gereja sebaiknya di bawah pimpinan pemerintah. Sesuai dengan bentuk pemerintahan gereja yang dikemukakan oleh Thomas Erastus,14 mereka mengakui para pejabat pemerintah setempat sebagai pemimpin-pemimpin gereja. Para pejabat pemerintah senang menerima tambahan kuasa ini dan memihak kaum Remonstran demi keuntungan mereka sendiri. Dan karena kedudukan mereka yang berpengaruh, mereka dapat membujuk banyak orang lain juga supaya berpihak kepada aliran Arminian. daMPak leBiH lanjut dari Sinode dordrecHt Orang Remonstran tidak menghargai peranan dokumen-dokumen pengakuan di dalam Gereja. Dengan saleh mereka menyatakan bahwa firman Allahlah yang menjadi Katekismus mereka. Apalagi, pada waktu seorang pastor (menerima) keyakinan Reformasi, ia tidak perlu lagi menyatakan persetujuannya dengan kedua dokumen pengakuan yang berlaku pada zaman itu, yaitu Katekismus Heidelberg dan Confessio Belgica (Pengakuan Iman Gereja Belanda). Karena itu, Sinode Dordrecht menyusun sebuah Surat Pernyataan yang wajib ditandatangani oleh setiappejabat gereja. Sampai saat ini, Surat Pernyataan tersebut masih dipakai di banyak Gereja Reformasi.
Dengan menandatangani surat itu, orang-orang mengakui ajaran firman Allah sesuai dengan ringkasannya dalam Tiga Rumus Keesaan (PAD bersama dengan kedua dokumen pengakuan yang tadi disebut), dan berjanji mempertahankannya dengan menolak setiap ajaran yang bertentangan dengan ketiga dokumen pengakuan itu. Di samping itu, mereka berjanji bahwa jika terjadi bahwa ada perasaan lain yang timbul di dalam hatinya mengenai salah satu pokok ajaran, ia akan membiarkan pandangannya dinilai oleh majelis gereja dan perkumpulan-perkumpulan gerejawi yang lebih luas (klasis, sinode). Salah satu dokumen lain yang ditetapkan oleh Sinode Dordrecht adalah tata gereja, yang sekarang dikenal sebagai Tata Gereja Dordrecht. Berbeda dengan Tata Gereja dari Erastus yang diunggulkan oleh orang Arminian, Sinode Dordrecht menyusun suatu tata gereja berciri Reformasi, yang menetapkan bahwa hanya pejabat-pejabat gerejawilah (yaitu pelayan firman Allah, penatua, dan diaken) yang menerima wewenang dari Allah atas warga jemaat (artinya, pemerintah tidak mempunyai kuasa apa pun di dalam gereja). Sampai sekarang ini, di banyak gereja Reformasi, Tata Gereja ini masih merupakan dasar utama dalam tata pemerintahan gerejawi.
Di samping itu, Sinode Dordrecht menyusun suatu tata cara pelayanan baptisan kudus kepada orang dewasa. Selain itu, Sinode Dordrecht meninjau kembali naskah sejumlah tata cara lain yang sudah ditetapkan dan dipakai sebelumnya (tata cara pelayanan Baptisan Kudus kepada anak-anak, tata cara perayaan Perjamuan Kudus, tata cara pengucilan dari jemaat, dan tata cara penerimaan kembali orang yang telah dikucilkan ke dalam jemaat Kristus, tata cara peneguhan pelayan-pelayan firman Allah, penatua, dan diaken, dan tata cara peneguhan nikah di depan jemaat Kristus). Ada gereja-gereja Reformasi yang masih tetap menggunakan tata-tata cara tersebut.15
Sinode Dordrecht juga mengambil keputusan untuk menerjemahkan Alkitab ke dalam bahasa Belanda. Memang pada saat itu sudah ada beberapa terjemahan Alkitab, tetapi semuanya mempunyai kekurangan yang membuatnya tidak cocok untuk dipakai dalam gereja-gereja Reformasi. Karena itu, Ketua Sinode, Johanes Bogerman, dengan penuh gairah mengajukan permohonan akan adanya terjemahan baru. Sidang sinode setuju dan mengajukan usulan ini kepada pemerintah negara. Pada awalnya, pemerintah menolak usulan sinode, tetapi setelah empat tahun (1624) akhirnya pemerintah memberi izin untuk memulai proses penerjemahan Alkitab. Tugas berat ini selesai dan disetujui oleh pemerintah negara Belanda pada tahun 1637. Terjemahan yang baru ini dikenal sebagai Staten Bijbel (Alkitab Negara), dan dapat diperbandingkan dengan King James Version, terjemahan Inggris yang dibuat di bawah pengawasan James I, Raja Inggris. Staten Bijbel tidak berkaitan dengan masalah Arminian, namun merupakan hasil dari Sinode Dordrecht dan ternyata mendapat dampak yang sangat besar dan bermanfaat bagi gereja-gereja Reformasi di Belanda.
1. Apakah ajaran Arminius yang keliru merupakan kekeliruan yang baru? Jika tidak, berikan beberapa contoh dari sejarah di mana kekeliruan ini diajarkan.
2. Peristiwa-peristiwa sejarah apa yang terjadi pada masa Arminius lahir?
3. Berikanlah nama beberapa tokoh di Belanda yang tidak menerima ajaran Reformasi pada masa menjelang perselisihan Arminian! Apakah mereka semua anggota Gereja Reformasi?
4. Di mana Arminius bertumbuh, dan apa nama jemaat di mana dia menjadi pelayan Firman? Dokumen-dokumen pengakuan apa yang dipakai oleh gereja ini?
5. Jelaskan tujuan Konferensi yang diadakan di Den Haag pada tahun 1603!
6. Apa sebab pimpinan Universitas di Leiden bersedia mengangkat Arminius, yang ajarannya menimbulkan kecurigaan di dalam jemaat-jemaat?
7. Bagaimana mungkin Arminius dapat mengajarkan ajarannya di Universitas di Leiden tanpa dikenai disiplin, baik dari pimpinan universitas maupun dari pihak gereja?
8. Siapa lawan ajaran Arminius di Universitas di Leiden? Apa yang ia lakukan untuk menentang kekeliruan itu? Apa hasilnya?
9. Sampai sejauh mana Jemaat-jemaat Reformasi di Belanda menerima ajaran Arminius?
10. Di bawah pimpinan siapa Remonstransi ditulis, dan apa isi dokumen itu? Kepada siapa Remonstransi ditujukan?
11. Apa yang terjadi pada konferensi yang diadakan di Den Haag pada tahun 1611? Apa dampak dari konferensi itu?
12. Apa itu Undang-undang Toleransi yang dikeluarkan pada tahun 1614? Siapa yang mengeluarkannya? Apa dampaknya terhadap guru-guru besar, pelayan-pelayan, dan penatua-penatua di Gereja Reformasi di Belanda?
13. Siapa Johan van Oldenbarneveldt? Peran apa yang dimainkannya? Apa yang terjadi dengan dia? Apakah itu adil?
14. Apa peran Pangeran Maurits dalam sejarah perselisihan ajaran Arminian?
15. Siapa yang hadir dalam Sinode Dordrecht? Apakah itu sinode nasional atau internasional?
16. Apakah orang Arminian tinggal lama dalam Sinode tersebut? Apa sebabnya?
17. Berapa lama Sinode Dordrecht berlangsung? 18. Berikan dua alasan mengapa gereja Reformasi di Belanda begitu cepat dipengaruhi oleh ajaran Arminian yang berbahaya!
19. Apa Surat Pernyataan yang harus ditandatangani, yang ditetapkan oleh Sinode Dordrecht? Apakah itu baik?
20. Apa itu Tata Gereja Dordrecht? Menurut tata gereja ini, siapa yang memiliki kewenangan di dalam gereja? Tata gereja apa yang juga dianjurkan pada masa itu? Apa bedanya dengan Tata Gereja Dordrecht?
21. Apa itu Staten Bijbel? Apa dampaknya bagi gereja-gereja Reformasi di Belanda?