3. Kehidupan Kristen yang Normal

Disoroti berdasarkan tiga-bagian-lukisan Roma 6, 7 dan 8 oleh Jan Wesseling Banyak orang Kristen hanya mencari gampangnya saja, dan mereka hidup setiap hari dengan keyakinan bahwa Allah mengampuni dosa-dosa mereka. Dan itu sudah cukup menurut mereka. Perjuangan untuk dapat hidup penuh dedikasi dan dengan kudus di hadapan Allah, sudah mereka hentikan. Mereka bahkan barangkali belum pernah mengusahakannya. Tampaknya hidup kekristenan yang suam-suam kuku, dan tidak dingin atau panas (Why. 3:16), mereka anggap wajar saja. Apakah itu normal? Soalnya, orang Kristen yang tulus dan sungguh-sungguh percaya, pasti ingin bertumbuh dalam kekudusan, dalam iman dan dalam semangat. Dia pasti ingin lebih bebas dari segala dosa dan kekurangannya, dan ingin menjalani hidup rohani di mana dosanya hampir tidak berkutik, dan tanpa perlawanan dapat diasingkan ke tempat yang gelap dan sunyi, di bawah permukaan kehidupannya sehari-hari.

1. Pendahuluan

Siapakah yang berkuasa?

Pernah ada seorang pria yang sepanjang hidupnya mengarungi lautan dengan kapalnya sendiri. Setelah usianya bertambah, dia memutuskan untuk menjual kapal itu. Seorang pemuda bersedia membelinya untuk memakainya mencari nafkah. Namun, dalam akta pembeliannya tertera ketentuan yang aneh. Si pemilik yang sudah tua itu harus diizinkan tetap mendiami sebuah kabin kecil di kapal itu. Soalnya, dia tidak dapat berpisah dari kapalnya.

Akan tetapi, notaris mengatakan dengan tegas kepada si pemilik baru, ”Dengarkan baik-baik. Mulai saat ini kitalah yang berkuasa di kapal ini, bukan dia. Miliknya hanyalah kabin kecil itu.

Kalau dia suka, boleh saja dia ikut berlayar ke mana pun, tetapi dia tidak boleh mencampuri urusan kita. Ingatlah: ini kapal kita! Mengerti?”

”Mengerti, bapak Notaris.”

Akta pembelian

Contoh di atas menjelaskan bagaimana dalam hidup orang Kristen juga telah disusun dan ditandatangani akta pembelian seperti itu.

Kalau semuanya berjalan baik, kita berpegang kepadaperaturan-peraturan sang notaris, yaitu Roh Kudus. ”Si kapten tua”, yaitu sifat berdosa yang dahulu menguasai penuh kapal hidup kita, sekarang tidak punya lagi kuasa sedikit pun di kapal kita. Namun, dia masih tinggal di atas kapal kehidupan kita.

Dia sama sekali tidak boleh ikut campur dengan urusan pelayaran. Kalau kita terus menerus mengatakan hal itu kepadanya, maka dia pasti akan menurut. Dia tahu betul ketentuan-ketentuan dalam akta pembelian itu. Akan tetapi, kitalah yang berbuat salah, kalau kadang-kadang dia dibiarkan kita keluar dari kabinnya.

Maka si kapten tua yang licik dan berpengalaman itu mengatakan, ”Coba, biarkan aku memegang kemudinya sebentar.” Dan sebelum kita menyadarinya, kemudi kapal kita sepenuhnya kembali di tangannya. Sebagai orang percaya, dengan mudah kita dipengaruhi oleh dosa. Mengapa begitu? Sebabnya ialah bahwa kita melupakan peraturan-peraturan ”sang notaris” (Roh Kudus). Dan peraturan utama adalah bahwa urusan kapten baru tidak boleh terganggu, yaitu mata kapten itu harus selalu terarah kepada Tuhan Yesus.

Firman-Nya selalu harus menjadi makanan kita sehari-hari. Doa-doa kita selalu diperhatikan kita dengan baik. Mungkin saja kita mulai sibuk dengan hal-hal duniawi yang secara rohani menarik kita ke bawah, atau bahkan dengan hal-hal duniawi yang menajiskan kita. Maka kekuatan rohani kita semakin melemah.

Akibat kebodohan sendiri

Menurut aliran teologis tertentu hal itu bukan karena tabiat kita yang penuh dosa, atau karena kenyataan bahwa bagaimanapun kita tetap adalah ”orang berdosa” sampai mati. Bukan! Ada yang katakan bahwa hal itu akibat kebodohan kita sendiri. Sebab sebenarnya kapal kita tidak dikuasai oleh kapten yang lama; kapal itu ialah ”manusia yang lama”. Manusia itu memang tetap dikuasai oleh dosa, dikemudikan oleh manusia lama itu. Nah, menurut mereka, manusia yang lama itu sudah mati di kayu salib bersamasama dengan Yesus Kristus. Kalau kita percaya, maka manusia lama digantikan oleh manusia baru. Dan manusia itu diperintah oleh Kristus melalui Roh Kudus. Ialah kekuatan yang hebat di dalam kita.

Kekuatan itu harus kita pergunakan. Kalau kita hidup dikemudikan oleh kekuatan itu, maka kita tidak akan berdosa.

Dan kalau kita mengatakan bahwa hal itu tidak realistis (sebab dosa masih tetap mempengaruhi kita) maka kita, menurut mereka, berbicara seperti orang yang kurang percaya, dan kita kurang menghargai kekuatan Kristus di dalam diri kita oleh Roh-Nya.

Contoh yang menarik

Jalan pikiran di atas seakan-akan logis dan meyakinkan. Setelah akta pembelian ditandatangani dan Tuhan Yesus menjadi ”bos” kita, maka terserahlah kepada kita untuk hidup sesuai dengan akta pembelian itu. Lagi pula kekuatan Roh Kudus tersedia untuk membantu kita. Asal saja kita menggunakan lumbung-lumbung perbekalan yang penuh anugerah Allah dan karya Roh Kudus, kita tidak akan berdosa.

Perspektifnya juga sangat menarik. Saya sendiri juga merindukan perspektif kehidupan tanpa dosa. Kehidupan di mana dosa tidak berhak lagi, dan pada akhirnya juga tidak mempunyai ruang lagi yang nyata. Dan bukankah itu menjadi tujuan Kristus bagi kita? Kita ini dibasuh bersih dari segala kenajisan, dan akan berdiri di depan Yesus dalam keadaan suci!

Segi yang juga sangat menarik bagi saya, ialah mentalitas untuk berjuang. Kehidupan Kristen yang lamban dan mencari gampangnya saja, sungguh tidak bisa diterima.

Selanjutnya saya tertarik juga bahwa menurut contoh kapal yang dijual itu, kita bertitik tolak dalam kenyataan ”akta pembelian” itu. Yang mengatakan bahwa kita bukan lagi milik kita sendiri, melainkan milik Tuhan Yesus Kristus. Dialah Tuhan kehidupanku yang mengemudikan saya. Dia berhak atas kasih hatiku dan atas seluruh waktuku. Meskipun penghargaan contohnya kapal itu, ada beberapa segi yang ingin saya pertanyakan dan bantah.

Pertanyaan-pertanyaan

- Contoh kapal bertitik tolak dari kenyataan bahwa ”manusia lama” adalah kapal yang diperintah oleh si kapten tua.

Cocokkah penggambaran itu? Apakah titik tolak itu benar, sesuai dengan situasi manusia lama atau manusia baru yang dilukiskan dalam Perjanjian Baru?

- Ada pertanyaan juga pada tujuan contoh yang digambarkan. Melaluinya kita ditempatkan dalam perspektif bahwa sebetulnya kita tidak perlu lagi berdosa.

Dosa itu masih tetap terjadi, tetapi sebetulnya (menurut contoh itu) keadaannya tidak perlu lagi ada dalam hidup kita. Apakah jangka waktu untuk tercapainya situasi itu telah ditentukan dengan baik?

- Selanjutnya, menurut ajaran contoh itu, kalau kita ”jatuh” lagi ke dalam dosa, kita ternyata membolehkan si kapten

tua muncul kembali dari kabinnya. Dengan sangat bodoh, kita mengizinkannya lagi memegang kemudi kapal. Itu akibat kebodohan kita sendiri. Seharusnya kita hafal dan ingat isi akta pembelian itu. Dari keterangan itu dapat dijabarkan bahwa dosa selalu terjadi akibat kesalahan kita sendiri. Apakah itu seluruhnya benar?

- Akhirnya, pada satu sisi dikatakan bahwa kapal itu dapat tetap berlayar dengan sempurna di bawah pimpinan kita sebagai kapten baru. Pada sisi lain contoh itu menentukan Yesus Kristus sebagai pemilik baru kapal itu. Namun, bagaimanakah hubungan antara kepemimpinan Kristus dan tanggung jawab kita sendiri? Bukankah di sini contoh itu agak menyimpang? Dan apakah peran Roh dicirikhaskan dengan tepat kalau Dia disamakan dengan notaris yang menjelaskan akta pembelian?

Baikkah penyorotannya?

Pertanyaan-pertanyaan kritis saya terarah kepada trayek antara titik tolak dan tujuan terakhir. Cocokkah gambaran rute yang diberikan? Ada banyak alasan untuk menyimak gambaran rute itu dengan lebih baik.

Sudah jelas bahwa hal itu sangat penting untuk kehidupan Kristen yang biasa. Pertanyaannya jelas: Apakah yang boleh kita harapkan, kalau kita dengan penuh iman mempercayakan diri kepada Yesus Kristus? Apakah itu memang berarti bahwa kita sebetulnya tidak perlu lagi berdosa? Dan apakah kita memang tidak beriman (seperti dikatakan mereka) kalau kita mengatakan bahwa hal itu (tidak usah berdosa lagi) tidak ”realistis”? Apakah kehidupan berdasarkan ”akta pembelian” itu membawa pada kehidupan yang penuh kemenangan, asal kita memasuki lumbung-lumbung perbekalan anugerah, dan mempergunakan kekuatan-kekuatan yang hebat dari Roh yang ada di dalam kita?

Pendek kata: apakah benar bahwa kita tidak menghargai kekuatan Roh Kristus, kalau kita tidak menyetujui ajaran mereka yang berkata bahwa kita tidak usah lagi berdosa setelah mengaku Kristus? Dan apakah benar bahwa dengan sendirinya kita ”terlepas dari Roh” kalau dalam hidup sehari-hari kita tidak mengenali kenyataan gambaran tadi?

Tiga bagian lukisan

Peninjauan lebih teliti terhadap trayek antara titik tolak dan tujuan terakhir akan kita lakukan dengan bantuan penafsiran Roma 6-8.

Mari kita menganggap ketiga bab dari Alkitab ini sebagai sebuah lukisan yang terdiri dari tiga bagian. Ketiga lukisan itu saling dihubungkan dengan engsel. Setiap lukisan dapat diamati dan dihayati secara terpisah. Pada hakikatnya, setiap bagian sendiri mempunyai arti dan dayanya khusus. Namun, hanya jikalau diamati bersamasama dengan kedua bagian yang lain, keseluruhannya mendapat artinya yang jelas dan bermakna. Hanya kombinasi ketiga bagian itu membuat kita memahami pesan yang ingin disampaikan Paulus.

2. Roma 6: baptisan dan tugas pelayanan

Baptisan

Di bagian lukisan yang pertama (bab 6) kita melihat gambaran tentang baptisan. Paulus sedang menghadapi orang-orang yang menyalahgunakan anugerah Allah yang diberikan-Nya secara berlimpah-limpah. Pikir mereka, bukankah ada cukup anugerah, jadi kita bisa terus berbuat dosa dengan tenang dan tanpa rasa bersalah.

Dan bukankah setiap hari kita minta maaf? Semakin banyak dosa, semakin banyak Allah memberikan anugerah-Nya. Bagus bukan?

Dan dengan demikian kita memasang anugerah Allah yang berlimpah-limpah itu di depan gerobak yang penuh berisidosa-dosa kita. Tentu saja, akibatnya ialah bahwa kita terus bertumbuh dalam hidup yang cemar dan bukan dalam hidup yang kudus. Apa yang ditabur orang, itu juga yang akan dituainya (Gal. 6:7-8).

Dengan sangat tajam Paulus mengecam cara menyalahgunakan anugerah Allah seperti itu. Untuk itu dia memilih posisi dengan menerangkan arti air baptisan. Apakah yang sebenarnya terjadi dalam baptisan? Baptisan melambangkan kenyataan bahwa di dalam Kristus, pemilik kita yang lama sudah ditukar dengan yang baru.

Sebelumnya kita dicengkeram dengan kejam oleh dosa (dan di dalamnya ada musuh Allah), tetapi sekarang tidak lagi. Baptisan itu menggambarkan bagaimana Yesus Kristus mengambil alih kekuasaan atas diri kita.

Bandingkan saja dengan bangsa Israel pada zaman dahulu.

Bangsa itu mengerang dan menderita di bawah tirani Firaun. Setelah Laut Teberau diseberangi mereka tanpa kaki mereka menjadi basah sedikit pun, maka bangsa itu, menurut Paulus, ”dibaptis dalam nama Musa” (1Kor. 10:2). Musa diberikan hak untuk memimpin bangsa itu.

Paulus menerangkan: Sama seperti itu maka baptisan Kristen menggambarkan bahwa kita kini dipimpin oleh pemerintahan Tuhan Yesus yang penuh anugerah dan kasih. Dialah yang diberikan kuasa penuh atas diri kita. Dalam perjalanan menuju bumi yang baru, seluruh hidup kita dikuasai oleh pendamaian-Nya, oleh pemeliharaan-Nya, dan oleh kekuatan-Nya yang menguduskan kita. Meskipun kita rapuh dan berkali-kali diserang musuh, tetapi dalam perjalanan melintasi padang gurun, kita boleh membangun di atas dasar yang kukuh yang dibentuk oleh janji-janji Allah dan perjanjian-Nya yang mengandung banyak harapan.

Dan kita akan bertindak bodoh, kalau kita berputar kembali, melalui air baptisan yang dalam itu, untuk menjadi budak lagi dari Iblis dan dosa. Tindakan itu bisa membawa kematian.

Pengalihan kekuasaan

Akan tetapi, setelah dibaptis ada perbedaan yang sangat radikal dengan masa lalu! Paulus membandingkannya dengan Tuhan Yesus sendiri. Ketika masih hidup di bumi, Yesus meringkuk di bawah beban dosa kita yang mahaberat. Siang malam Dia menanggung murka Allah yang berapi-api atas segala dosa itu. Pada akhirnya Dia harus mati karenanya. Dan dengan mengorbankan diri itu, Dia membayar semua dosa dan kesalahan manusia dan menghapus murka Allah. Kurban yang dipersembahkan-Nya sudah cukup dan sangat memadai. Kematian-Nya membawa perpecahan yang definitif dengan situasi yang lama. Dosa, kesalahan dan maut untuk selamanya dicabut haknya untuk menuntut keberadaan Yesus Kristus.

Sekarang segala ruang tersedia untuk hidup bersama Allah. Suci dan murni, dan penuh pengabdian. Itulah arti dan sifat kehidupan yang kekal.

Baptisan menggambarkan bahwa Allah melibatkan kita di dalam realitas situasi yang baru itu. Kita hidup di bawah nama Kristus. Artinya, hidup dan mati kita menjadi urusan-Nya. Di dalam Kristus, Allah mencabut kewajiban kita untuk melayani dosa, dan sejak itu kita berutang budi kepada Tuhan Yesus. Roh-Nya berjanji akan menguduskan hidup kita dan membaktikannya kepada Allah. Kita bahkan menerima hak untuk hidup kekal di bumi yang baru. Hari depan yang selama-lamanya bahagia menunggu kita, tanpa kesusahan apa pun.

Wajarlah bahwa dalam ayat 8 Paulus merumuskan kata-katanya dengan mengarah pada masa depan itu: kita akan hidup bersama Kristus. Tampaknya realitas dalam Kristus itu belum mencerminkan dengan lengkap kenyataan yang sebenarnya di bumi ini. Masa depan itu belum didobrak tanpa terhindari.

Realitas di dalam Kristus

Suatu hal yang penting ialah menyimak dengan baik apakah yang tepatnya digambarkan oleh bagian pertama lukisan-tiga-bagian itu.

Pertanyaannya: untuk apa sebetulnya kita harus hidup suci?

Paulus menjawabnya dengan menunjuk pada baptisan kita.

Pembenaman di dalam air melambangkan posisi kita yang sudah berubah menjadi posisi dengan dan di bawah Kristus. Karena Kristus sudah memenuhi hak Allah, kita menjadi secara resmi milik Yesus Kristus. Kita dipindahkan ke dalam kerajaan kasih Allah. Di dalam posisi itu Iblis dan seluruh kerajaannya tidak punya hak apa pun. Kadang-kadang dosa masih menggoda kita, bahkan dari dalam batin kita sendiri, tetapi secara resmi yuridis dia sama sekali tidak punya hak apa pun atas diri kita. Kebenaran keadaan itu sebenarnya tidak langsung membuat kita menjadi manusia yang lain. Sama halnya dengan seorang yang selama bertahun-tahun hidup di bawah pemerintahan diktator yang kejam. Setelah dia dibebaskan (misalnya karena diktator itu mati) dia juga tidak secara langsung dapat menikmati kemerdekaannya dengan baik. Pemerdekaan itu hanya mengawali proses untuk belajar hal itu.

Justru dengan memakai istilah-istilah hukum (yuridis), Paulus menunjukkan bahwa dia berbicara tentang realitas yuridis. Pokoknya ialah pembebasan resmi dari utang dosa, dan tuntutannya atas hidup kita. Paulus menyebutnya putusan bebas, pembenaran, dan dibebaskan secara yuridis dari dosa di dalam Kristus.

Realitas itu tidak ditemukan kita sebagai status dan fakta-fakta yang nyata, tetapi sebagai janji. Janji yang menghangatkan hati itu adalah suatu hal yang pasti. Begitulah Allah membangkitkan iman kita. Karena karya Roh-Nyalah iman kita makin hidup. Keselamatan yang kita miliki di dalam Kristus, dijadikan Roh Kudus menjadi kepunyaan kita. Hanya di dalam Dialah terletak kepastian hidup kita.

Pengambilalihan kekuasaan itu merupakan realitas untuk iman kita, dan oleh iman kita. Disertai dengan segala penghayatannya yang hangat.

Bagian lukisan yang pertama ini baru terbentang dengan sempurna kalau kita memakai ayat 11 sebagai kunci: ”Demikianlah hendaknya kamu memandangnya: bahwa kamu telah mati terhadap dosa, tetapi kamu hidup bagi Allah dalam Kristus Yesus”.

Paulus tidak menyebutkan fakta-fakta. Ia mengungkapkannya sebagai wanti-wanti: hendaknya kamu memandangnya. Seruan itu diucapkannya sebagai imbauan untuk mendesak jemaat supaya mereka benar-benar hidup berdasarkan realitas iman ini, yang telah digambarkan dalam baptisan dengan begitu tepat dan mengharukan. Hendaknya realitas iman itu berulang kali menjadi hal yang menentukan di dalam pergumulan iman kita! Hendaknya kita selalu mengindahkannya!

”Manusia lama” hanya kuat pada masa lalu?

Kalau kita saling memadukan realitas dalam Kristus yang dijanjikan itu dan realitas kehidupan orang Kristen yang sebenarnya, gambaran-gambarannya menjadi campur baur. Kalauwarna-warna lukisan Roma 6 menjadi luntur, maka tidak mengherankan bahwa lanjutan penjelasannya juga luntur. Gambarnya menjadi cacat.

Gambarnya yang bersifat sakramen itu menunjukkan bahwa kita harus benar-benar menyadari bagaimana kita memakai kata ”kuasa”. Ada orang yang menjelaskan bahwa kita tidak perlu berdosa lagi. Kita sudah bebas dan tidak berada lagi dalam kuasa dosa. Manusia lama kita sudah mati dan apa yang sudah mati tidak mampu mempengaruhi kita.

Hal itu sering diungkapkan dengan sangat kuat dan pasti: manusia lama kita sudah tiada! Hilang! Itu suatu kenyataan!

Sudah mati! Sudah menjadi mayat! ”Kalau kita harus mengatakan setiap hari bahwa kita harus berperang melawan ”manusia lama”, maka percayalah, kita berperang melawan mayat.” (W.J. Ouweneel). Menurut pendapat ini ”pendosa” hanya masih dihubungkan dengan masa sebelum kita bertobat. Atau dihubungkan dengan orang-orang yang tidak peduli akan Allah maupun perintah-perintah-Nya. Atau denganorang-orang yang masih dicengkeram kuat oleh dosa dan memenuhi segala tuntutannya.

Penjelasan itu menimbulkan berbagai pertanyaan. Misalnya, bagaimana hubungan antara saya dengan manusiaku yang lama?

Bagaimanakah aku harus memandang gagasan ini: apakah di Golgota manusia lamaku sudah mati? Sebagaimana diungkapkan Ouweneel secara kuat: ”Setiap orang percaya telah tergantung di Golgota itu”. Hubungan ini antara dahulu dan sekarang, bagi saya tampaknya kurang benar. Manusia lamaku sudah mati bersama Kristus. Itulah yang dijanjikan. Sifat janji itulah membuat Paulus berseru: ”Sebab itu, hendaklah dosa jangan berkuasa lagi di dalam tubuhmu yang fana, supaya kamu jangan lagi menuruti keinginannya”, Roma 6:12. Kalau sifatnya bukan janji tetapi fakta, maka kenapa masih takut dan berseru itu? Pertanyaan yang juga tidak dijawab (jika memang manusia lama kita sudah mati!) ialah mengapa dalam Efesus 4, di mana Paulus menyapa beberapa orang sebagai orang-orang percaya dan orang-orang kudus di dalam Kristus Yesus(!), kemudian mendesak mereka supaya menanggalkan manusia lama mereka. Cara berbicara ini jauh lebih tegas menunjuk kepada sebuah proses, yaitu sebuah trayek pengudusan, ketimbang pada situasi nyata di mana manusiaku yang lama sudah mati ribuan tahun lamanya, di Golgota.

Dalam pilihan kata-katanya, Paulus menunjukkan bahwa dalam jemaat-jemaat yang pertama, kehidupan Kristen yang normal tidak selalu kelihatan segar bugar. Itulah realitas yang dihadapi Paulus. Realitas itu selalu mendorong kita kepada Kristus, dan menyebabkan kita mengakui dosa-dosa dan kesalahan, dan menyebabkan pula kita berdoa kepada Roh Kristus, dan berjuang serta bertumbuh lagi. Kata-kata kerja yang dipakai dalam surat Efesus itu menunjuk kepada sebuah proses atau kepada upaya yang selalu perlu diperbarui lagi: hendaknya hidup yang lama ditanggalkan; hiduplah berdasarkan kasih Kristus. Senantiasa, berulang-ulang, dan melalui proses itu semakin lebih.

Juga surat kepada jemaat di Kolose dialamatkan Paulus kepada ”saudara-saudara yang kudus dan yang percaya” (Kol. 1:2). Dia menyerukan supaya mereka tetap mengingat dunia yang di atas, di mana Kristus ada (Kol. 3:1). Dan setelah itu hendaknya manusia lama ditanggalkan dan manusia baru dikenakan (Kol. 3:12). Hal itu harus terus-menerus dilakukan sebagai kegiatan imani yang dilakukan dengan tiada hentinya.

Dua makna kata kuasa

Mereka yang berpendapat bahwa manusia lama sudah tidak berkuasa lagi (karena sudah mati) memperadukan dua arti kata ”kuasa”.

Kuasa dapat berarti: kewenangan, hak untuk menentukan.

Dalam arti itu manusia lama tidak lagi mempunyai hak untuk menentukan maupun hak apa pun atas kita. Kewenangannya untuk mengatur kita sudah dicabut dengan tuntas dari padanya.

Akan tetapi, kuasa dapat juga berarti: kekuatan, pengaruh, dampak. Sesuai arti itu maka Iblis dan manusia lama masih tetap mempengaruhi orang-orang percaya. Pengambilalihan kekuasaan dilambangkan dalam baptisan dan berarti bahwa orang-orang percaya tidak lagi ditaklukkan oleh kuasa dosa. Kita sudah ”mati” bagi dosa. Namun, itu tidak mengisyaratkan bahwa orang-orang percaya sudah begitu rupa berubah, sehingga dosa tidak lagi berkuasa atas diri mereka atau pun mempengaruhi hidup mereka. Seakan-akan dampak dari dosa sudah sama sekali tidak ada di dalam diri mereka, asal mereka benar-benar percaya.

Seandainya saja keadaannya begitu! Seandainya saja orang-orang percaya sudah mati bagi dosa! Namun, seluruh Perjanjian Baru memperlihatkan bahwa hal itu tidak benar.

Keuntungan

Meskipun ada pertanyaan-pertanyaan yang begitu mengesankan, dan hubungan-hubungan yang belum jelas serta pemakaian kata yang membingungkan, saya juga ingin memperlihatkan kebaikan ajaran mereka yang berpendapat bahwa manusia lama sudah mati (seperti Ouweneel, lihat juga Watchman Nee).

Penjelasan dan penekanan mereka lahir berdasarkan protes terhadap iman yang tidak melihat apa pun lagi selain kenyataan bahwa kita ini orang-orang berdosa yang tidak berdaya dan yang selalu kalah melawan dosa. Dalam suasana itu akhirnya hanya tinggal kata-kata sengsara dan keluh kesah bahwa apa pun yang kita lakukan, semua tetap cemar dan busuk karena dosa. Hal itu segera memberi pengalaman yang suram, yang tidak menyinarkan banyak sukacita dan kurang merangsang orang untuk hidup suci dan melawan dosa.

Dengan benar mereka mengatakan bahwa dalam suasana itu, orang cenderung akan meremehkan dosa dalam praktik, karena tetap ada dan tidak dapat dihentikan. Orang cenderung menyepelekannya serta mengatakan: ”kita manusia saja, berdosa, bukan?”. Hati nurani orang seperti itu tidak lagi terusik oleh dosadosa itu. Kita berhenti berusaha keras untuk memperbaiki hidup kita. Memang, kalau kita terlalu berfokus pada tabiat kita yang berdosa, hal itu dapat mengakibatkan bahwa dalam hidup seharihari kita akan menyepelekan dosa, dan bersamaan dengan itu, kita akan kurang menghargai dampak pengambilalihan kekuasaan dosa oleh Kristus serta kekuatan Roh-Nya.

3. Roma 7: terkoyaknya batin seorang Kristen

Baru setelah lukisan yang pertama itu disoroti benar, kita dapat juga mengerti kedua lukisan yang lain secara saling tergantung; nilai masing-masing bagian hanya dapat dinyatakan dalam ketergantungan dengan yang lain. Cara melihat Roma 7 sangat ditentukan oleh cara memandang bab 6 (dan 8). Sebaiknya kita mengerti hal itu dengan teliti. Meskipun sangat banyak orang Kristen segera mengenali dirinya sendiri dalam pengalaman hidup Paulus (dilukiskan dalam bab 7), ada juga banyak orang yang berpendapat lain. Mereka bersikukuh bahwa Paulus dalam bab 7 tidak mungkin mengungkapkan pengalaman dalam kehidupan orang Kristen yang normal. Apakah mereka benar?

Marilah kita mengamati lukisan yang kedua (bab 7) dengan teliti.

Kesalahannya tidak terletak pada hukum Allah...

Sungguh menarik bahwa dalam bagian pertama Roma 7, Paulus masih melanjutkan sebentar keterangannya tentang perubahan radikal berdasarkan ”posisi dalam Kristus”. Untuk itu dia memakai contoh mengenai wanita yang telah menikah. Kalau suaminya meninggal, si istri bebas dari kewajiban untuk setia kepada suaminya. Menurut hukum pernikahan, dia setelah kematiannya bebas untuk mengikat janji kasih dan setia dengan pria lain. Gambar ini dipakai Paulus untuk menerangkan hubungan kita dengan dosa (hubungan lama) dan dengan Kristus (hubungan baru). Sebagai berikut: Kematian Kristus di kayu salib membebaskan kita dari kewajiban terhadap (dan keterikatan dengan) dosa. Sekaligus, Kristus, dalam kebangkitan-Nya dari kematian, membuka jalan bagi kita untuk menjalin ikatan kasih dan setia yang baru, yaitu dengan Dia sendiri. ”Hukum yang dahulu” kehilangan haknya atas kehidupan kita, segala tuntutannya habis.

Meskipun kebenaran itu, dalam praktik kita mengalami betapa sulitnya untuk hanya mengasihi dan melayani Yesus Kristus semata. Apakah dalam hal ini hukum Allah dapat dipersalahkan?

Jawaban Paulus terdengar nyaring dan jelas: sama sekali tidak.

Hukum Allah adalah sempurna, sangat berguna dan baik. Dan tuntutan Allah terhadap hidup kita hanya mengandungmaksud-maksud yang baik saja. Tujuannya hanya mendorong kita untuk hidup!

Namun, justru dalam praktik hal itu tampak jelas betapa kukuhnya dosa bersarang di dalam hidupku. Hukum Allah bagaikan pisau yang membuka kehidupanku sehingga penyakitku yang parah kelihatan dengan jelas. Maka keganasan dosa kita ditemukan. Bahkan keadaan kita begitu parah sehingga pemberian hukum yang begitu baik dan murni itu merangsang dosa kita sehingga menjadi lebih giat lagi.Buah-Buahan yang terlarang tiba-tiba tampak paling menggiurkan dan menggairahkan. Dan biasanya rasanya pun sangat lezat.

Meskipun kelezatan itu sering disusul oleh rasa asam dan pahit.

Hal-hal yang terlarang, itulah justru yang kita cari. Hal-hal yang tidak baik untuk kita, itulah yang kita lakukan dengan satu dan lain cara. Dengan demikian hukum membawa kita jauh dari tujuannya yang baik, malahan semakin mendekatkan kita kepada maut. Padahal itu sama sekali berlawanan dengan maksud Allah yang penuh kasih. Dosaku mendemonstrasikan sifatnya yang jahat.

Hukum Allah diberikan untuk kita hidup. Namun, kita berhasil untuk menjadikan efeknya berlawanan dengan tujuan itu.

Karena salah kita sendiri. Dan karena ketidakberdayaan kita sendiri.

Ketidakberdayaan

Paulus membahas lebih jauh ketidakberdayaan itu. Dia melakukannya dengan sangat terbuka dan secara pribadi. Bukan untuk bersembunyi di baliknya dan dengan demikian membela dirinya. Juga ketidakberdayaannya adalah kesalahannya.

Menurut Roma 6:7 ia secara resmi sudah bebas dari dosa.

Namun, ia mengaku bahwa ia sesungguhnya hampir-hampir tidak berdaya untuk menggunakan kebebasan itu dengan baik.

Meskipun Allah melihat dia di dalam Kristus, dan kesalahannya sudah ditebus, tetapi itu belum berarti bahwa hati nalurinya yang penuh dosa sudah hilang menguap bagaikan salju ditimpa sinar matahari.

Paulus menyebut dirinya ”bersifat daging”, yang terjual di bawah kuasa dosa (Rm. 7:14). Wah, sungguh mengerikan! Secara harfiah, dia mengatakan, aku ini ”terdiri dari daging”, takluk pada dosa. Dalam Alkitab, ”daging” sering berarti, manusia yang telah ditulari dan digerogoti oleh dosa, sehingga menjadi lemah, mudah diserang, bersifat fana, dan hampir mati.

Menurut statusnya dalam Kristus, Paulus seorang yang merdeka, tetapi pikiran dan perbuatannya yang nyata, terusmenerus menunjukkan bahwa dia telah dicemari oleh dosa sampai ke tulang-belulangnya. Seluruh kepribadiannya telah rusak karenanya. Hal itu dialaminya sendiri setiap hari.

Kita mendengar kesedihannya yang memilukan ketika ia mengatakannya. Aku tidak memahami perbuatanku sendiri, sebab apa yang aku perbuat, aku tidak tahu. Karena bukan apa yang aku kehendaki yang aku perbuat, tetapi apa yang aku benci, itulah yang aku perbuat. Jadi jika aku perbuat apa yang tidak aku kehendaki, aku menyetujui, bahwa hukum Taurat itu baik.

Kalau demikian bukan aku lagi yang memperbuatnya, tetapi dosa yang ada di dalam aku”. ”Demikianlah aku dapati hukum ini: jika aku ingin melakukan apa yang baik, yang jahat itu ada padaku. Sebab di dalam batinku aku suka akan hukum Allah, tetapi di dalam anggota-anggota tubuhku aku melihat hukum lain yang berjuang melawan hukum akal budiku dan membuat aku menjadi tawanan hukum dosa yang ada di dalamanggota-anggota tubuhku”(Rm.7:21-23).

Paulus tampak seperti putus asa.

Apakah Paulus melukiskan kehidupannya sebagai orang Kristen?

Di sini Paulus menceritakan kisahnya dengan nada otentik. Sebab dia telah mengalaminya sendiri. Namun, cerita kehidupannya itu juga bersifat ilustratif untuk... ya, untuk siapa sebetulnya? Untuk semua orang Kristen?

Apakah pengalaman hidupnya benar-benar cocok dengan kehidupan Kristen yang normal? Apakah lukisan ini memperlihatkan kekuatan Roh yang mengalahkan segalagalanya? Bagaimana kita dapat menyesuaikan gambaran sikap yang begitu putus asa ini dengan keadaan kita yang ”sudah mati bagi dosa”, seperti tertulis dalam Roma 6? Apakah pasal 7 tidak mudah menggoda kita supaya bersikap pasrah dan mengatakan:

”Bagaimanapun, kita ini semua manusia yang berdosa, bukan?

Kita semua memerlukan pengampunan.” Benarkah bahwa dalam hidup kristen kita tidak dapat berhasil lebih banyak, kecuali seruan yang penuh putus asa ini, ”aku memang mau, tetapi aku tak sanggup”?

Siapakah si ”aku” dalam lukisan Paulus dalam bab 7?

Ada beberapa opsi: Apakah yang tampak di sini seorang manusia yang belum dilahirkan kembali? Ataukah Paulus semata-mata berbicara tentang dirinya sendiri? Tentangsaat-saat kelemahannya, di mana dia hidup lagi tanpa bantuan Roh dan atas kekuatannya sendiri, seperti orang yang tidak percaya? Ataukah mungkin Paulus memindahkan dirinya dalam diri orang lain dan dia menggambarkan pengalaman orang-orang yang masih hidup di bawah hukum, misalnya orang Yahudi yang belum mengakui Yesus? Ataukah Paulus memang melukiskan sebuah segi yang mengharukan dari kehidupan Kristen yang normal?

Penuh Roh

Kalau kita membaca bab 7 dengan sangat tenang dan menghayatinya sungguh-sungguh, kita akan melihat betapa banyak kekuatan Roh ada di dalamnya. Sebenarnya Roh tidak banyak disebut secara langsung, tetapi itu tidak berarti bahwa Ia tidak mengandung banyak arti. Hal yang sama bisa juga dikatakan tentang pasal 6. Meskipun begitu, pelukisan Paulus tidak bersifat kurang ”rohani”.

Paulus terus-menerus berbicara tentang ”aku”, secara sangat pribadi dan dengan memakai bentuk masa kini. Karena itu tidak mungkin bahwa dia di sini, sebagai orang Kristen melukiskan masa lalunya sebagai orang Yahudi, sebelum ia bertobat dan mengakui Yesus sebagai Juru Selamatnya. Hanya melalui kacamata yang sebelumnya orang pasang, maka mereka dapat berpendapat bahwa Paulus di sini tidak membicarakan dirinya sendiri sebagai orang Kristen yang normal. Naskahnya tidak menunjukkan bahwa ia secara tiba-tiba dan tanpa keterangan tambahan, mulai menyebut dirinya sebagai ”seorang Kristen yang-belum-dilahirkan-kembali” atau pun sebagai ”seorang percaya yang-telah-jatuh-dari-Kristus”. Juga pendapat bahwa Paulus kadang-kadang menderita keinginan untuk taat lagi kepada tuntutan Hukum Taurat, hanyalah bersifat spekulasi yang tidak mendapat dukungan dari Kitab Suci.

Dengan jelas Paulus menyiratkan bahwa Roma 7 tidak menggambarkan lukisan yang lengkap. Sampai dua kalikata-katanya mengandung suatu syarat, ketika dia berbicara tentang dirinya sendiri (ayat 17 dan 20). Dia mengadakan perbedaan antara ”di dalam batinku” aku suka akan hukum Allah, dan ”di dalam anggota-anggota tubuhku” aku menjadi tawanan hukum dosa. Kesukaan akan hukum Allah yang ada dalam batinnya, adalah jelas pekerjaan Roh Kristus.

Cara memandang Roma 7 itu (sebagai bagian lukisan-tigabagian bab 6,7,8) tidak mengungkapkan pendapat yang baru.

Calvin sudah menulis bahwa Paulus dengan penuh kesadaran merumuskan kata-katanya seperti itu, karena khawatir bahwa dia akan memberi kesan bahwa dalam hidup ini tidak ada lain kecuali realitas dosa yang pada hakikatnya tidak dapat dilawan. Kesimpulan itu, menurut dia, ternyata menghina kuasa anugerah Allah di dalam diri orang Kristen. Dengan demikian Calvin mewakili penjelasan yang sejak Agustinus sudah dijunjung tinggi oleh semua gereja dan teolog yang berwarna Reformasi. Semua tokoh reformasi golongan Calvin dan Luther memandang Roma 6, 7 dan 8 sebagai lukisantiga-bagian, yang sebagai keseluruhannya mencerminkan kehidupan kristiani yang normal.

Sambil membaca kita mendapati bahwa Paulus benar-benar memperhitungkan posisinya yang baru dalam Kristus. Justru berdasarkan sudut pandangan itu dia menggambarkan dirinya. Di antara baris-baris tulisannya, Paulus agak mengambil jarak. Si ”aku yang sungguh-sungguh” ialah dia di dalam Kristus, yaitu identitasnya yang baru. Sedangkan dagingnya adalah si ”aku yang asing”.

Penjelasan yang lain

Orang sering mengemukakan penjelasan yang lain. Menurut pandangan ini Roma 7 melukiskan kehidupan Kristen yang ”lebih rendah”. Sedangkan ada kemungkinan untuk meraih kehidupan Kristen yang tingkatnya lebih tinggi, di mana kita tidak perlu lagi berdosa. Perang batin yang dilukiskan Paulus dalam Roma 7 tidak boleh atau tidak perlu lagi terjadi dalam kehidupan Kristen yang normal. Dalam kehidupan Kristen, Roma 7 menjadi fase yang lebih rendah, tahap yang mendahului ”kehidupan penuh kemenangan” yang dilukiskan Roma 6 dan 8. Diperkirakan bahwa Paulus melukiskan saat-saat pahitnya, di mana dia jauh dari Kristus. Atau dia menggambarkan dengan warna-warna yang sangat terang periode sebelum dia bertobat.

Dengan penjelasan ini mau tidak mau kita sampai pada jalur baptisan-ulang (”anabaptis”): karya Roh ”dipaksa” sedemikian rupa, sehingga sebagian besar kehancuran ciptaan ini dan dampak dosa dapat dikalahkan. Sebab itu tempo dulu (mulai abad ke-16) ”para anabaptis” disebut ”pemaksa roh”. Menurut mereka, karya Roh yang begitu hebat dapat dikenali karena karya itu hangat, spontan, langsung, segera, sangat mengesankan, intuitif dan luar biasa. Roh menjulang lebih tinggi daripada ciptaan yang fana ini dan segala kerusakan yang penuh dosa. Dan, menurut pendapat Anabaptis itu, dalam melakukan itu, Roh sudah menjangkau ke depan, pada kemuliaan kita pada masa mendatang.

Lebih daripada biasa

Maka menurut mereka, hanya percaya kepada Yesus Kristus, tidak lagi sudah cukup. Tidak cukup, jikalau pertumbuhan rohani hanya berupa kasih yang semakin bertumbuh bagi Tuhan Yesus dan pengenalan yang makin bertambah tentang firman-Nya. Itulah awalnya semata. Namun, kita harus memaksa diri untuk mengalami lebih banyak daripada itu. Anugerah Allah mungkin sudah cukup bagi orang Kristen ”biasa”, tetapi barang siapa betul-betul dipenuhi oleh Roh, mengalami lebih banyak daripada itu.

Syaratnya untuk meraih keadaan itu ialah bahwa harus ada kerinduan, rasa lapar dan haus akan lebih banyak dari Roh, melalui jalan pemenuhan secara sungguh-sungguh dengan Roh Kristus.

Yang menentukan dalam proses ini (masih tetap menurut aliran seperti Anabaptis, tetapi pendapat ini juga ditemukan dalam banyak aliran lain masa kini) ialah pertanyaan apakah kita benar-benar terbuka untuk menerima lebih dari Roh, dan apakah kitasungguh-sungguh mau menerimanya. ”Memiliki Roh” tidak cukup, hal itu tidak sama dengan ”penuh dengan Roh”.

Dalam pendekatan ini kehidupan Kristen mendapat ”strukturdua-tingkat” (two levels). Dan hal itu melahirkan ”kekristenan-yangbertingkat”: ada orang Kristen di tingkat pertama (”lantai bawah”) dan ada orang Kristen lain yang sudah di tingkat kedua (”lantai atas”).

Tanpa kasihan

Efeknya dapat bersifat sangat kejam, seperti misalnya jelas dalam kata Ouweneel: ”Betapa banyak orang percaya membiarkan getah kehidupan mereka diserap habis oleh kelakuan mereka yang najis dan pikiran-pikiran mereka yang jahat, atau olehkesenangan-kesenangan murah yang ditawarkan oleh dunia, sehingga mereka jatuh semakin lama semakin dalam. Orang-orang percaya sama sekali tidak dapat memperbolehkan diri untuk melakukanhal-hal seperti itu. Bukankah hal-hal itu tetap mengikat mereka di tingkat rendah, sehingga mereka tidak pernah bertumbuh!

Maka alangkah mudah dan nyamannya kalau seorang manusia meninabobokan dirinya sendiri dengan pemikiran, ”Yah, bukankah kita semua manusia yang berdosa, sampai mati pun kita berdosa!”

Namun, aku mengatakan, ”Apa itu? Anda hanya mencari alasan saja. Anda sendiri yang membiarkan diri Anda ditarik ke bawah.

Anda bermain-main saja dengan hidup baru yang ada dalam diri Anda. Anda tidak berupaya sehingga hidup baru itu menghasilkan buah berdasarkan firman Allah, dan berdasarkan kehidupan doa, dan berdasarkan kehadiran Anda di dalam pertemuan-pertemuan orang-orang percaya. Anda tidak pernah mulai bertumbuh secara rohani, Anda masih tetap seorang bayi. Demikianlah Anda memang mendapati bahwa sifat penuh dosa yang ada dalam diri Anda selalu kembali berkuasa. Sebentar lagi, maka kekuasaan dosa mengambil alih kembali kapal kehidupan Anda, dan dosa mencengkeramnya lagi. Akan tetapi, itu akibat kesalahan dan kebodohan Anda sendiri! Itu bukan kesalahan Allah, itu bukan karena orang Kristen selalu ”manusia yang berdosa” semata, tetapi karena Anda tidak mempergunakan lumbung-lumbung persediaan anugerah Allah dan kekuatan serta kemajuan Roh Kudus. Itu adalah tanggung jawab Anda sendiri saja, dan kesalahan Anda sendiri!”

Dari satu segi hal itu benar; benar bahwa anak-anak Allah karena kesalahan sendiri sering terjebak dalam dosa-dosa yang berat dan parah. Dan memang juga benar bahwa kata ”kita manusia saja, bukan?” merupakan alasan yang terlalu mudah, sebuah dalih yang dicari-cari untuk menghindari tanggung jawab dan menutupi perbuatan yang salah.

Namun, kesalahan kata Ouweneel terutama terletak dalam nadanya: ”Awas! Celakalah Anda jikalau Anda berkata ”Aku manusia saja sampai mati!” Dengan alasan yang murah itu Anda tidak dapat menghindari tanggung jawab Anda. Seandainya Anda jatuh, maka hal itu bukanlah kesalahan tabiat Anda untuk berdosa, dan hal itu bukan dikarenakan karena Anda tidak dapat meluputkan diri Anda dari kemanusiaan Anda. Bukan, salahnya terletak pada diri Anda sendiri!” Apakah yang harus bersifat hujan anugerah yang menyegarkan (pada saat kita jatuh dalam dosa) dan yang dapat membuat kita terhibur dan cerah kembali, tetapi lain hal pada Ouweneel.

Jika Ouweneel menjadi pastor kita, maka kata-katanya akan menghajar kita sampai kulit kita babak belur. Sebab ”kita harus suci” dan ”salah kita sendiri”! Kata-katanya turun di atas kita bagaikan hujan es batu. Buluh yang patah terkulai diputuskannya, sumbu yang pudar nyalanya dipadamkannya.

Tanpa ampun

Tampaknya dilema yang kita hadapi ialah begini: atau kita ingin bertumbuh sampai kita tidak lagi berdosa, atau kita dituduh tidak menggunakan kekuatan dan pekerjaan Roh Kudus. Dengan demikian pertumbuhan rohani menjadi sesuatu yang harus ada.

Persyaratannya ialah bahwa kita menggunakan Roh Kudus.

Tampaknya kitalah yang perlu mengambil prakarsa. Bukan lagi Allah, yang bebas melakukan atau tidak melakukan sesuatu menurut kehendak-Nya. Tidak. Allah Roh Kudus dan segala kekuatan-Nya bisa dikerahkan atas wewenang kita.

Di sini terjadi pembalikan antara peran tukang periuk dan tanah liat, antara peran Roh Kudus dan manusia yang fana. Persis pada titik inilah terletak perubahan besar dalam pandangan kita terhadap kehidupan Kristen yang normal. Disinilah keputusan jatuh, secara teologis. Apakah pengudusan kita yang terusmenerus berlangsung sesuatu yang kita sungguh-sungguh ingin dan mengontrol? Bukankah anugerah Allah tersedia dengan berlimpah-limpah dan tersimpan dalam lumbung-lumbung perbekalan? Hanya menunggu kita untuk mau menimba dari situ?

Tidak selalu pandangan itu (yang memimpin kita ke atas jalan yang buntu) akan diungkapkan sebegitu tajam. Juga tidak selalu akan ditarik konsekuensinya yang begitu jauh.

Namun, ada baiknya apabila kita menginsafi bahwa ajaran ini menyuruh manusia melihat kembali kepada dirinya sendiri dan kehendaknya sendiri. Suruhan untuk melihat kembali kepada diri kita sendiri mendapat akarnya dalam kesesatan yang lama, tetapi yang selalu muncul secara baru dan segar: ”pada akhirnya keselamatan dan kepercayaan kita tergantung pada keputusan bebas kehendak manusia. Apakah dia mau atau tidak mau percaya, bertekun dan menjadi kudus.

Tidak secara kebetulan bahwa perbedaan antara kaum Reformasi dan kaum Remonstran (pada abad ke-17) menjadi begitu tajam persis pada titik ini. Pertanyaan yang paling mendasar ialah: bagaimanakah hubungan antara Allah Yang Mahakuasa dan manusia yang fana? Siapakah yang pada hakikatnya menentukan segala sesuatu? Di dalam kesesatan-kesesatan kaum Remonstran, jawabannya atas pertanyaan itu sangat jelas dan tegas. Yaitu, semuanya tergantung dari keputusan bebas dari manusia (lihat Pasal-pasal Ajaran Dordecht pasal V, penolakan ajaran sesat 2). Bukan saja ketekunan manusia, tetapi juga pembenarannya (yaitu apakah seorang memperoleh pengampunan dosa dan hidup yang kekal) tergantung pada kehendak bebas manusia. Manusia itu harus berusaha untuk meraih anugerah yang ditawarkan tanpa memandang bulu itu (F.A.D. pasal II, penolakan ajaran sesat 6). Dalam hal pertobatan manusia, hal yang sama kembali lagi: ”Iman yang mengawali pertobatan kita dan yang menyebabkan kita disebut orang-orang beriman bukanlah suatu atau karunia yang dicurahkan Allah, melainkan perbuatan manusia semata-mata. Iman hanya dapat disebut ’karunia’ dari sudut pandangan kemampuan untuk mencapainya” (F.A.D. pasal III/VI, penolakan ajaran sesat 6).

Dalam penolakan ajaran yang sesat ini, nenek moyang Reformasi selalu memperlihatkan akarnya dalam ajaran Pelagius (seorang biarawan dari abad kelima. Dia menyangkal adanya dosa warisan, dan mengatakan bahwa manusia dapat diselamatkan oleh kekuatannya sendiri). Racun gagasan-gagasan yang menyesatkan terbalik dari tujuannya, sebab membuat manusia tergantung dari dirinya sendiri, sehingga tetap tidak bebas. Hal itu bertentangan dengan apa yang diajarkan oleh seluruh Kitab Suci, dan juga merenggut kehormatan Allah. Injil mengambil dari manusia semua alasan untuk memegahkan diri, dan membuat dia mengakui bahwa hanya anugerah Allah saja patut mendapat kehormatan atas karunia pertobatan, iman dan ketekunan. Rasanya tak dapat dicegah bahwa dalam ajaran ini pengudusan menjadi sesuatu yang bersifat keharusan yang tegas. Keharusan yang begitu saja membebani manusia dengan kuk baru yang keras dan tidak tahu ampun. Meskipun kata ”anugerah” dipakai berulang kali, tetapi pada hakikatnya kata itu tidak tahu ampun pada saat yang menentukan. Seorang anak Allah, yang seperti Paulus bergumul dengan dosanya, disuruh kembali kepada dirinya sendiri. Dan setiap manusia yang ditinggalkan pada dirinya sendiri, tidak mudah dihibur.

Kasih yang penuh belas kasihan

Yang tidak ditemukan dalam ajaran yang keras ini ialah kasih Tuhan Yesus Kristus, kasih yang lembut dan menghangatkan jiwa. Dia berjanji bahwa buluh yang patah terkulai tidak akan diputuskan-Nya, dan sumbu yang pudar nyalanya tidak akan dipadamkan-Nya (Mat. 12:20). Aku tidak mendengar bahwa pada intinya adalah Allah yang menggerakkan bahkan kemauan kita, sehingga kita sendiri juga mau (F.A.D. pasal III/IV, #11). Allahlah yang mengerjakan di dalam kita baik kemauan maupun pekerjaan menurut kerelaan-Nya (Flp. 2:13). Saya tidak mendengar apa pun di kalangan mereka tentang bimbingan Allah, yang juga mengizinkan mereka untuk bersalah dan melakukan perbuatan-perbuatan yang tidak baik. Dalam hal itu mereka menyimpang dari bimbingan kasih dan menuruti godaan keinginan-keinginan daging. Karena kesalahan mereka sendiri! (F.A.D. pasal V, #4). Tetaplah, juga di sini, penekanan akan kesalahan sendiri!

Namun, tidak kata terakhir. Ada lebih banyak yang dapat dikatakan.

Dan tentang yang ”lebih banyak” itulah yang ingin saya dengar lebih banyak di lingkungan mereka yang menekankan kehendak bebas manusia. Alasan saya tidak untuk sekali lagi berdalih dan mencari alasan untuk menghindari tanggung jawab saya. Namun, untuk menyoroti sisi Allah dalam hubungan-Nya dengan manusia. Agar kita jangan kehilangan pegangan dan harapan kita kepada Allah yang berdaulat.

Pada intinya tidaklah tergantung pada kehendak orang atau usaha orang, tetapi kepada kemurahan hati Allah (Rm. 9:16). TUHAN berjanji dalam Injil bahwa Dia akan meneguhkan kita sampai pada kesudahannya, sehingga kita tak bercacat pada hari Tuhan kita Yesus Kristus (1Kor. 1:8). Itulah berkat yang penuh penghiburan, yang dibekalkan kepada pemuda-pemudi ketika mereka mengakui di depan umum iman dan kepercayaan mereka kepada Allah Yang Tunggal itu. Dia yang memanggil mereka adalah setia, Ia juga akan menggenapinya (1Tes. 5:24).

Dari atas salib terdengar seruan yang memberi kelegaan, ”Marilah kepada-Ku, semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberi kelegaan kepadamu” (Mat. 11:28). Bukankah Roh Kristus selalu membawa kita kepada salib lebih dahulu, sehingga di situ kita disegarkan kembali?

Syukur kepada Allah, karena Kristus telah menuntaskan juga pengudusanku: Dia yang sempurna itu, telah menggantikan tempatku.

Juga dalam perjuanganku untuk dikuduskan, Kristus tetap merupakan kebenaranku di hadapan Allah (Katekismus Heidelberg, s/j 62). Bahkan kalau hati nuraniku menuduh aku tanpa hentinya.

Meskipun dosa-dosa saya Allah mengaruniakan Kristus kepadaku.

Dengan penuh kasih dan dengan penuh belas kasihan, Kristus mengulurkan tangan-Nya kepadaku dalam Injil.

Kalau semua itu kita hayati, maka detak jantung Reformasi masih tetap memberi hidup dalam gereja. Hanya dalam kitab Suci Allah datang kepadaku (Sola Scriptura). Aku hanya hidup berdasarkan anugerah, juga dalam pengudusanku (Sola Gratia). Dan hanya oleh iman, Kristus dengan keselamatan-Nya menjadi milikku (Sola Fide).

Segala kehormatan hanya patut diberikan kepada Allah dan bukan kepada manusia (Sola Deo Gloria).

Motif-motif

Motif-motif apakah saja yang menyebabkan bahwa Roma 7 (menurut ajaran sesat) tidak mendapat tempat dalam kehidupan Kristen yang normal? Pertanyaan-pertanyaan yang berikut ini memperlihatkan motif-motif mereka:

Apakah kita mengindahkan seruan Paulus dalam Roma 6:11: perhitungkanlah kenyataan bahwa kamu telah mati terhadap dosa, tetapi kamu hidup bagi Allah dalam Kristus Yesus? Apakah pengambilalihan kuasa di dalam Kristus itu pada pertimbangan imani dan pilihan-pilihan kita menentukan kehidupan kita?

Apakah kita memberikan kepercayaan kita sepenuhnya kepadaNya? Apakah kita secara pribadi dan penuh kasih terikat erat kepada Yesus Kristus? Apakah dengan perkataan maupun dengan perbuatan kita, dengan sungguh-sungguh kita mengizinkan Dia menjadi Tuhan dan Pemimpin hidup kita?

Apakah sebagai orang Kristen kita mengalami hal-hal yang lebih daripada hanya realitas yang pahit dan mengecewakan, seperti yang tertulis dalam Roma 7? Apakah kita mungkin terikat pada sebuah kehidupan Kristen di mana kita selalu berupaya keras, selalu juga jatuh kembali, dan tidak atau hanya sangat sedikit bertumbuh dalam pengudusan? Apakah di dalam hal itu kita tidak mudah hanyut dalam kehidupan yang ditentukan hukum-hukum lagi?

Apakah sebagai orang Kristen, kita mencari identitas kita dalam perilaku yang mudah dikenali, peraturan-peraturan yang baku dan kebiasaan-kebiasaan yang dapat diramalkan, atau terutama dalam menuruti Kristus dan mengindahkan suara-Nya?

Dan, apakah yang kita harapkan dari kekuatan Roh Kudus yang hebat dan menakjubkan itu?

Lapisan yang lebih dalam

Di balik pilihan untuk memandang Roma 7 ”tidak normal” dapat juga tersembunyi alasan-alasan lain. Motifnya begini:

Entah mengapa, Anda sudah bosan dengan agama yang kurang bersemangat dan kurang meriah itu. Anda merindukan pertumbuhan rohani yang lebih subur, lebih banyak pengalaman imani, lebih banyak kemenangan atas dosa-dosa kita. Barangkali Anda sendiri pernah mengalami bahwa Roh mengerjakan hal-hal yang ajaib di dalam diri Anda. Lalu Anda menyarankan rencana langkah-demi-langkah yang terdapat dalam Roma 6 dan 8 sebagai obat manjur terhadap dampak Roma 7 yang melumpuhkan itu.

Mungkin Anda cepat merasa ”minder” dan kurang dihargai. Anda tidak menemukan banyak kelegaan di dalam Kristus. Sudah cukup sulit bagi Anda untuk menghadapi dengan terus terang kekurangan-kekurangan dan cacat-cacat Anda sendiri. Maka menurut perasaan Anda, Roma 7 hanyalah menaburkan garam dalam luka Anda.

Tampak jelas bahwa pada motif-motif yang tadi disebut, dengan sendirinya terjadi jalinan motif-motif yang religius dan psikologis.

Meskipun kita akan melangkah terlalu jauh untuk membahas hal itu lebih mendalam, ada baiknya juga kalau kita memperhatikan kemungkinan adanya rasa tidak damai yang psikis dan/atau rasa bersalah dan rasa marah yang tersembunyi, yang menyebabkan penolakan terhadap realitas Roma 7 yang pahit itu. Isi naskah itu terlalu menyentuh rasa nyeri batiniah Anda dan terlalu membingungkan bagi keinginan yang ada dalam lubuk hati kita. Dengan demikian penolakan Roma 7 sebagai realitas yang aktual dalam hidup Anda sendiri, tiba-tiba menjadi rute pelarian.

Perjuangan batin

Barang siapa yang terlalu terpaku pada Roma 7, memang melihat gambaran yang menyedihkan tentang seorang Kristen, meskipun gambaran itu menyimpang dan tidak dapat disebut ”khas Reformasi”. Dapat dimengerti kalau ada orang yang protes terhadap pendapat itu.

Namun, perlawanan kita dapat juga menggerakkan kita untuk menyingkirkan lukisan Roma 7 dari lukisan-tiga-bagian itu.

Selanjutnya hanya Roma 6 dan 8 melukiskan realitas yang lengkap mengenai pertumbuhan rohani yang sangat segar dan subur.

Dalam kedua hal itu, kita tidak memperlihatkan dengan baik realitas yang lengkap dari Kristus dan keberadaan kita yang sudah tercabik-cabik karena dosa. Lukisan-tiga-bagian itu, sebagai keseluruhan menggambarkan kehidupan seorang Kristen. Kita boleh saja mengamati dan meneliti masing-masing bagian secara terpisah, tetapi kita harus membiarkan seluruh lukisan itu berfungsi sebagai suatu keseluruhan. Ini bukan pilihan antara hidup oleh Roh atau jatuh kembali ke dalam daging. Kekuatan Roh Kristus dan praktik dosa kita pada saat yang sama aktual dan nyata dalam satu manusia yang sama. Manusia yang lama belum mati, tetapi memang sudah tidak mempunyai kekuatan lagi. Kristus telah memperoleh hak untuk menyingkirkan manusia yang lama itu pada akhirnya. Dalam perjalanan waktu, Roh-Nya akan membuat kita memiliki apa yang sudah ada pada kita di dalam Kristus.

Karena kita percaya kepada hal itu, kita menjadi terlibat dalam perang rohani yang sengit. Daging bertarung melawan Roh. Dan sebaliknya juga. Maka batin kita menjadi tercabik-cabik (Gal. 5:13 dst.). Meskipun proses itu kadang-kadang berlangsung dengan sangat menyakitkan, kita tidak perlu menjadi putus asa karenanya.

Bukankah manusia baru di dalam kita ialah milik Kristus, dan merupakan ciptaan Roh-Nya yang mengandung banyak janji, sebuah ciptaan baru? Manusia baru itu masih muda, belum berhenti bertumbuh, jadi semangat hidup dan perspektif masa depannya masih bergelora. Dalam perang batiniah itu, sudah tampak pancaran cahaya perspektif kemenangan.

Siapakah yang akan membebaskan kita dari keberadaan fana yang sudah ditakdirkan untuk mati, yang secara hakiki hanya dapat takluk pada dosa?

Satu-satunya harapan kita ialah Yesus Kristus, Tuhan dan Pemimpin kita. Kita ini milik-Nya untuk selama-lamanya. Harapan itulah yang memberi hidup.

4. Roma 8: mukjizat kehidupan baru yang masih rentan

Dengan penuh harapan, kita membuka bagian ketiga lukisan Paulus itu. Sambil dengan jelas terbayang-bayang dalam ingatan kita gambar yang pertama dan kedua. Mengingat itu adalah syarat untuk mengerti Roma 8, dan warna-warnanya jernih dan cerah menjadi jelas.

Hidup baru

Sebab satu hal sudah pasti, realitas Kristus adalah lebih besar dan menjangkau lebih jauh daripada hanya Roma 7. Demi Kristus harus dikatakan lebih banyak ketimbang kenyataan bahwa ”kita ini hanyalah manusia yang berdosa”. Seakan-akan keberadaan kita hanyalah dicap oleh pembenaran; hanyalah bergerak bolak-balik antara dosa dan pengampunan, tanpa pernah maju selangkah pun dalam iman, kasih dan pengudusan.

Ada juga hidup di dalam diri kita, oleh Roh Kudus!

Bunyinya sorak-sorai, seruan yang riang gembira seperti yang terdengar pada kelahiran baru di dunia ini. Hidup orang Kristen tidak hanya dicirikan kekalahan yang berulang-ulang. Bukan hanya berisi derita dan sengsara.

Kita percaya kepada Roh Kehidupan, yang adalah Tuhan dan yang memberi hidup. Dia bersabda sehingga apa yang tidak ada di dalam diri kita, menjadi ada. Hak untuk pekerjaan Roh Kehidupan dalam hidup kita telah diperoleh Kristus karena pengorbanan-Nya. RohNya mengembuskan napas kehidupan-Nya ke dalam diri kita, dan dengan demikian kita menjadi manusia baru. Kita bagaikan mukjizat yang berkaki dua. Persis seperti ketika Allah menciptakan langit dan bumi sehingga yang tidak ada menjadi ada (Rm. 4:17). Persis seperti dibangkitkan-Nya kembali seorang kekasih yang sudah mati.

Kebenaran itu merupakan dampak dari pengambilalihan kekuasaan oleh Kristus. Baptisan melambangkan bahwa kita dibenamkan bukan saja dalam darah Kristus, tetapi juga dalam Roh-

Nya. Kalau kita mengingkari, mengabaikan atau menodai realitas itu, kita sangat merugikan citra Kristus dan Roh-Nya.

Belajar berjalan

Sebelum mengenal Kristus maka hukum dosa dan hukum maut menentukan kehidupan kita. Akan tetapi, Kristus telah memerdekakan kita. Ternyata hukum Roh Kehidupan menyelamatkan kita dari nasib buruk itu.

Juga di sini Paulus melukiskan hukum sebagai kuasa yang bertindak keras dalam kehidupan diri kita dan yang boleh memerintah kita dengan semena-mena. Hukum itu berkuasa atas diri kita, menuntut jam-jam kita, waktu kita, hati kita, perasaan kita, akal budi kita, bahkan seluruh keberadaan kita. Hanya Roh Tuhanlah yang penuh kasih menuntut keberadaan kita. Dia membuka jalan sehingga kita mengalami lebih banyak daripada hanya dosa, kesalahan, kemarahan, derita dan sengsara. Maka bertunaslah kehidupan baru oleh Roh.

Itu tidak berarti bahwa perang batin seperti yang tertulis dalam Roma 7 serta merta ada di belakang kita, bagaikan tahap yang sudah usai. Kehidupan normal seorang Kristen mengenal kedua hal itu pada saat yang bersamaan, yaitu: ketidakberdayaan kita sendiri dan kekuatan Roh.

Itu tidak berarti bahwa hukum Allah yang baik sudah tidak berlaku lagi. Namun, dalam hidup yang baru itu kita tidak belajar untuk berjalan atas kekuatan sendiri, melainkan berjalan oleh Roh. Dibimbing oleh perintah-perintah Allah (ay. 4). Dengan jatuh dan bangun.

Yang menjadi pokok ialah mentalitas batin kita, hidup menurut Roh atau hidup menurut daging, dan pikiran kita menurut Roh, atau menurut daging (ay.5). Apakah keinginan kita? Keinginan mana yang mewarnai identitas kita?? Karena keinginan daging adalah maut, tetapi keinginan Roh adalah hidup dan damai sejahtera. Apakah yang ada dalam lubuk hati kita? Apakah tekad kita? Apakah tujuan keinginan kita?

Pertanyaan itu ialah permintaan akan kasih di dalam hati kita.

Permintaan supaya kita hidup dipegang oleh Kristus, sehingga kita berjuang untuk dikuduskan. Sebab tanpa pengudusan tak seorang pun dapat melihat Tuhan.

Dalam Roma 8 Paulus juga tetap mengingatkan kita pada masa depan yang dijanjikan itu. Apabila Roh Allah yang telah membangkitkan Yesus dari kematian, tinggal di dalam kita dan diam di dalam kita, maka Dia juga akan menghidupkan kembali tubuhtubuh kita yang fana, oleh kekuatan Roh yang ada di dalam kita.

Rasa sakit yang mengiringi pertumbuhan

Dengan demikian maka hidup oleh Roh belum menjadi ”hidup penuh kemenangan”. Roh Kristus diam di dalam kita. Secara terbuka Dia berbicara dengan kita, dan mengatakan bahwa kita harus mengambil bagian dalam penderitaan Kristus. Dia berbicara tentang:

- penderitaan pada zaman sekarang
- kerinduan besar dan penantian penuh harapan akan kedatangan Tuhan Yesus
- kesia-siaan
- kefanaan
- mengerang dan berkeluh kesah
- rasa sakit yang menyertai kelahiran hidup yang baru ini
- mengharapkan apa yang belum kita lihat dan alami
- menantikan dengan tekun
- keluhan-keluhan Roh sendiri yang tidak terucapkan Roh Kudus yang berasal dari surga mengenal betul kehidupan di dunia. Dia sanggup mengukur kedalaman hati manusia sampai kepada dasarnya. Dia tahu segala-galanya tentang penderitaan, kesengsaraan, penganiayaan, rasa lapar, kemiskinan,kekuatan-kekuatan ajaib, kuasa-kuasa yang tidak kelihatan di atas atau di bawah kita. Dia tahu tentang cengkeraman maut yang tidak dapat dihindari.

Jikalau kita yakin bahwa kita ini terangkum dalam pekerjaan Bapa, Anak dan Roh, kita juga boleh tahu bahwa Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia, yaitu bagi mereka yang terpanggil sesuai dengan rencana Allah (ay. 28 dst). Kalau Allah yang tidak menyayangkan Anak-Nya sendiri, tetapi yang menyerahkan-Nya bagi kita semua, bagaimanakah mungkin Ia tidak mengaruniakan segala sesuatu kepada kita bersama-sama dengan Dia? Kalau Allah sudah membenarkan kita di dalam Kristus, pudarlah segala gugatan yang lain.

Sekarang, setelah Tuhan Yesus tak dapat dijamah dan berada di surga yang mahatinggi, ikatan kasih-Nya dengan kita tidak mungkin dirusak. Tidak ada kuasa di bumi ini yang dapat memisahkan kita dari Allah, yang mengasihi kita di dalam Yesus Kristus. Ialah ”Pemilik” kita. Ia telah membeli kita melalui pengorbanan-Nya.

Hal itu adalah kenyataan yang melegakan. Bahkan seandainya anak-anak Allah dibantai sebagai hewan ternak, sebagai domba domba sembelihan. Atau dikejar-kejar tanpa ampun sebagai domba-domba tanpa gembala. Namun, dalam semuanya itu kita lebih daripada orang-orang yang menang, oleh Dia yang telah mengasihi kita (ay. 37).

Dengan sangat sadar aku berdiri sejenak di depan lukisan yang ketiga. Kita harus membiarkan Roh Kristus berbicara. KemenanganNya sudah mulai tampak... Namun, Dia baru akan mencapai puncak kemuliaan-Nya apabila kita berdiri di hadapan Kristus dan bertatapan mata dengan Dia, tanpa cacat cela, dan dengan sehat walafiat. Ia akan mengubah tubuh kita yang hina ini, sehingga serupa dengan tubuh Kristus yang mulia, menurut kuasa-Nya yang dapat menaklukkan segala sesuatu kepada diri-Nya. Kita akan melihat Dia sebagaimana Dia sebenarnya, dalam kemuliaan-Nya!

Identitas baru kita yang penuh janji

Pemulihan hidup kita dan penyembuhan semua luka-luka sudah dijanjikan kepada kita. Didukung oleh janji itu, kita hidup kehidupan Kristen karena percaya, bukan karena melihat (2Kor. 5:7).

Di dalam kehidupan ini pengusiran dosa terjadi melalui proses. Manusia lama sedang sekarat, tetapi kejang-kejangnya yang terakhir masih cukup kuat. Manusia yang baru semakin bertumbuh, tetapi kadang-kadang masih mudah diserang, kurang tenaga dan kurang semangat hidup. Dan semua itu bukan hanya karena ”salah sendiri”. Adalah kebijakan Allah untuk sudah membebaskan kita dari penindasan dan perbudakan dosa. Dengan penuh kasih dan anugerah, Dia memberi kita hak untuk hidup dalam Kerajaan Anak-Nya. Hak itu sering kita dapatkan tanpa kita minta dan sejak kelahiran kita.Namun, belum melepaskan kita sama sekali dari daging dan dari tubuh dosa adalah kebijakanNya (F.A.D. pasal V, #1).

Untuk apa sebetulnya kita belum dilepaskan sama sekali? Kalau kita begitu rindu untuk mengalami lebih banyak pertumbuhan, untuk memiliki lebih banyak iman, lebih banyak kasih, lebih banyak pengudusan, lebih banyak..., nah mengapa kita diperlakukanNya sedemikian rupa? Melalui jalan ini, Tuhan sedang memperdalam wawasan kita mengenai dosa dan kelepasan dari dosa. Kita setiap kali terkejut melihat dosa itu. Dan semakin bertambah pula rasa kagum dan syukur kita atas penyelamatan kita. Semakin lebih kita tidak lagi mengharapkan diri sendiri, dan semakin lebih pula kita berharap kepada Kristus dan belajar bermegah di dalam-Nya. Bersama itu kita akan semakin lebih merasa iba kepada orang lain. Apabila mereka jatuh ke dalam dosa, kita tak punya alasan apa pun untuk menertawakan mereka atau dengan sombong menghina mereka.

Pendek kata: dengan demikian kita makin lama makin menjadi manusia di dalam Kristus. Roh Allah membuka mata kita supaya kita bisa mendapati bahwa lukisan-tiga-bagian Roma 6, 7 dan 8 itu, dengan sangat jelas menggambarkan kehidupan Kristen yang normal.

Realitas yang sempurna

Kalau lukisan-tiga-bagian itu dipandang kita dengan pengertian itu, tidak perlu kita menghapus Roma 7 dari kehidupan Kristen yang normal. Justru tidak. Kita tidak perlu menjangkau ke depan untuk meraih kemuliaan yang menyiratkan cahayanya di cakrawala. Juga tidak dengan menyugestikan bahwa sekarang ini kita tidak perlu lagi berdosa, asal kita berusaha kuat. Sekaligus, barang siapa mengakui kebenaran Roma 6 dalam kehidupan imannya, tidak akan pernah merasa puas tentang dirinya sendiri, atau mendapati kelegaan dalam dosanya dan merasa senang dengan hasil pengudusannya yang tidak sempurna. Sebab Kristus hidup di dalam dia dan telah menyelamatkannya dari tubuh yang dikuasai oleh hukum dosa.

Barang siapa mengenali Roma 7 sebagai sesuatu yang terjadi dalam hidupnya sendiri, tidak perlu memandang dirinya sebagai orang Kristen yang selalu jatuh kembali ke dalam dosa. Apabila kita dikonfrontasi dengan ketidakberdayaan kita sendiri, maka kita tidak dapat berbuat lain kecuali berharap sepenuhnya kepada Kristus!

Barang siapa menghadapi Roma 8, lalu benar-benar menghayati isinya, akan hidup sekarang menuju masa depannya yang keemasan. Hidup oleh Roh, mengurus dan memberi makan manusia yang baru dengan kasih sayang... Dalam kesadaran penuh bahwa sesudah masa penderitaan yang singkat, anak-anak Allah boleh ikut mengenyam kemuliaan Kristus. Kemuliaan itu sudah menyinarkan sinar-sinarnya dalam kehidupan kini, dalam masa penderitaan yang singkat ini, dalam kehidupan Kristen normal. ”Dan Allah, sumber segala anugerah, yang telah memanggil kamu dalam Kristus kepada kemuliaan-Nya yang kekal, akan melengkapi, meneguhkan, menguatkan dan mengokohkan kamu, sesudah kamu menderita seketika lamanya” (1Ptr. 5:10). Hanya Dialah yang layak dimuliakan.

Takkah patut ’ku bernyanyi syukur bagi Tuhanku, Kar’na rahmat tak berbanding yang melimpah selalu?

Memang sungguh dan setia, tak terhingga kasih-Nya

Dan kekal bimbingan-Nya bagi yang mengabdi Dia.

Biar dunia lenyap, kasih Allah ’kan tetap. (Kidung Jemaat 290)

Pertanyaan-pertanyaan untuk dibahas

1. Marilah Anda sejenak merenungkan hal baptisan. Sejauh manakah Anda percaya dengan penuh kesadaran bahwa di dalam Kristus telah terjadi pengambilalihan kekuasaan yang sangat menentukan dalam hidup Anda? Bagaimana kebenaran itu menghidupkan kewajiban baru untuk melayani Tuhan, sambil mendorong pilihan dan pertimbangan Anda ke arah yang baik?
2. Boleh saja benar bahwa dosa tidak berhak lagi untuk memerintah Anda, tetapi apakah yang masih Anda alami dari pengaruh dan daya tariknya? Apakah yang Anda kenali dari sikap yang ditentang oleh Paulus (Rm. 6:1), yaitu: Bolehkah Anda bertekun dalam dosa, supaya semakin bertambah kasih karunia dalam kehidupan Anda?
3. Apakah Anda sendiri kenal pengalaman pahit dan perjuangan batin yang sengit, seperti yang diungkapkan Paulus dalam Roma 7? Coba, ceritakan sedikit tentang hal itu seorang kepada yang lain.
4. Apakah menurut Anda alasan nenek moyang Reformasi untuk mengambil sikap yang begitu tajam dalam Pasal Ajaran Dordrecht, antara lain terhadap kesesatan-kesesatan ajaran Pelagius (tentang kehendak bebas manusia)? Bagaimana pendapat Anda mengenai hal itu? Apakah yang ditentukan dalam ajaran Reformasi secara mendasar berhubungan dengan itu?
5. Dapatkah Anda menceritakan sesuatu berdasarkan pengalaman sendiri tentang mukjizat ”hidup baru” yang dikerjakan Roh di dalam diri Anda? Bagaimana Anda mengalami dan menghargai hal itu?
6. Apakah Anda juga mengalami rasa sakit yang mengiringi pertumbuhan, seperti yang digambarkan dalam Roma 8?
7. Apakah Anda juga mengakui kebenaran dalam protes terhadap agama Kristen yang kurang meriah di satu pihak, dan di pihak lain risiko iman yang tidak pernah tenang dan selalu mengejar kekudusan melalui tahap-tahap tertentu? Bagaimana Anda mencari jalan di antara kedua kesulitan itu, dan menemukan ketenangan di dalam Kristus?

Pdt. J. Wesseling (1958) adalah pendeta jemaat Gereja Reformasi di Belanda.

Informasi Buku

  1. PDF
  2. Penulis:
    Henk ten Brinke, J.W. Maris, dkk.
  3. ISBN:
    978-602-0904-42-9
  4. Copyright:
    © De Vuurbaak, 2004
  5. Penerbit:
    Literatur Perkantas